KEPASTIAN DAN KEBENARAN ILMU PENGETAHUAN

KEPASTIAN DAN KEBENARAN
ILMU PENGETAHUAN
Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah
“Filsafat Ilmu”

Disusun Oleh:
Intan Wijayanti (212213021)

Dosen Pengampu:
Dr. Muh. Tashrif, M.Ag

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2013

KEPASTIAN DAN KEBENARAN
ILMU PENGETAHUAN
A. PENDAHULUAN
Telah kita temukan beberapa pokok atau masalah yang sering muncul

mengenai cara kerja ilmu, dan rupanya sulit dipecahkan. Masalah-masalah itu
muncul sehubungan dengan cara kerja, namun sekaligus melampaui batas dan
kemampuan ilmu serta cara kerja ilmu itu sendiri.
Masalah mengenai kepastian, kebarangkalian, kesementaraan, dan kesesatan
dalam ilmu empiris dan ilmu pasti misalnya, serta penilaian tentang tahapan itu.
Lalu masalah sekitar objektivitas dan subjektivitas dalam segala macam ilmu yang
berbeda, masalah ada-tidaknya nkebenaran, dan kalau ada maka kebenaran itu
apa. Lalu di mana perbedaannya dengan ketepatan pengetahuan serta
penyimpulan.
Dalam pembahasan ini, kita akan meninjau gejala kepastian serta taraftarafnya yang muncul dalam ilmu. Sehubungan dengan itu, masalah subjektivitas
pengetahuan dan cita-cita objektivitas ilmu akan disoroti. Cara kerja yang akan
kita ikuti ialah mengingat apa yang telah kita jumpai dalam berbagai ilmu, lalu
berusaha mengadakan suatu refleksi atas data-data itu. Kemudian kita akan
menuju pokok inti seluruh filsafat,yaitu masalah tentang apa itu kebenaran.

1

B. TARAF-TARAF KEPASTIAN
Kesadaran subjek pengenal tentang objek yang dikenalnya disebut
pengetahuan, di mana terang terjadi dari pihak subjek yang dapat membedakan

objek dalam hubungan dengan dirinya, maupun dari pihak objek yang seolah-olah
membuka diri kepada subjek yang berhubungan dengan dirinya. Dalam
keseluruhan proses pengetahuan itu dapat dibedakan dua hal, yaitu evidensi dan
kepastian. Dalam kesatuan subjek-objek itu, evidensi terletak pada pihak objek.
Sedangkan kepastian terletak pada pihak subjek. Evidensi seolah-olah merupakan
terang atau daya objek yang menampakkan diri, sedangkan kepastian merupakan
keyakinan dalam diri subjek bahwa yang dikenalnya adalah betul-betul objek
yang memang ingin diketahuinya.1
1. Taraf-taraf Kepastian dalam Ilmu Empiris
Semua ilmu empiris, termasuk ilmu-ilmu kemanusiaan, mengejar
kepastian dalam dua arti. Pertama, kepastian tentang explanans gejala-gejala
yang diselidiki. Kedua, kepastian mengenai kesimpulan yang dapat ditarik dari
suatu hukum yang berlaku.
Akan tetapi, yang tercapai hanyalah suatu taraf ketepercayaan yang tak
pernah dapat mencapai nilai 1. Bahkan, kendati hipotesa dan hukum sangat
tepercaya, keduanya harus tetap terbuka untuk dibuktikan salah. Maka,
keduanya pun bersifat sementara. Dalam penerapan harus diperhatikan bahwa
secara konkret kepastian yang ditandai nilai 1 tak pernah bisa tercapai. Dari
lain sudut harus diperhatikan bahwa nilai 0 tidak dapat diterima dalam rangka
ilmu-ilmu empiris konkret. Memang, kesesatan sementara wajar diterima, asal

selalu siap untuk dibetulkan. Dengan begitu, terletak antara 0 dan 1. Namun,
kesesatan tetap atau mutlak, serta hukum atu hipotesa yang tak bersifat empiris
(semuanya diberi nilai 0) tidak diterima dalam ilmu-ilmu empiris konkret.
Rumusnya adalah: 0 < p(H,P) < 1
Setiap ilmu empiris, ada arah atau kecenderungan bawaan yaitu bahwa
ketepercayaan segala ungkapan makin mendekati nilai 1, sekaligus tidak akan
1 Verhaak & Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1995), 111.

2

pernah bisa mencapainya. Segala taraf kepastian konkret dalam ilmu-ilmu
empiris bersifat bebas. Artinya, tidak pernah ada semacam paksaan pada akal
agar sesuatu disetujui. Dengan kata lain, evidensi dalam bidang ilmu-ilmu
empiris selalu bersifat nisbi, dengan akibat bahwa kepastian juga bersifat nisbi,
sehingga perlu disetujui berdasarkan pilihan bebas tanpa paksaan.
2. Taraf-taraf Kepastian dalam Ilmu Pasti
Dalam ilmu pasti dikenal adanya aksioma dan dalil-dalil, tidak ada
hipotesa lagi, yang tidak bisa lain selain bernilai 1. Segala aksioma dan dalil itu
selalu berlaku dan berlaku di mana-mana tanpa bisa diragukan dalam rangka

sistem itu sendiri. Apabila isi ilmu-ilmu itu dirumuskan dalam pernyataan P,
maka ketepercayaan p dari setiap aksioma A maupun dalil D, dapat dirumuskan
sebagai berikut:
(a)

p(AD,P) = 1
Maka kesementaraan hanya terdapat dalam tahap penemuan ilmu pasti,

yang belum merupakan bagian dari ilmu pasti itu sendiri. Kesesatan sementara
yang merupakan sifat kesementaraan ilmu empiris tidak terdapat dalam ilmu
pasti. Kesesatan mutlak pun tidak dapat diterima. Tetapi ilmu pasti tidak
bersifat empiris. Karena itu, ketepercayaan ilmu pasti dapat dirumuskan:
(b)

p(AD,P) = 0
Dari kedua rumus di atas, tergantung pada sikap si ilmuwan, apakah ilmu

pasti dianggap sebagai puncak perkembangan ilmu empiris yang tidak dapat
dicapai ilmu-ilmu itu sendiri (a), atau sebagai cabang pengetahuan yang paling
jauh dari ilmu empiris (b).

Kepastian itu bersifat bebas, dalam arti bahwa setiap orang bebas
memilih mau masuk sistem ilmu pasti yang mana. Akan tetapi, setelah dia
masuk salah satu sistem tertentu, dia sudah mengikat diri dan tidak bebas lagi
untuk meragukan maupun menolak hasil sistem ilmu bersangkutan. Atau
dengan kata lain, kepastian ilmu pasti tidak bebas karena bersifat mutlak, dan
evidensi ilmu pasti juga bersifat bebas.
3. Refleksi
Taraf-taraf kepastian subjek dalam ilmu terjadi berdasarkan evidensi
objek yang dikenal. Evidensi dan kepastian itu perlu dilihat dari sudut kesatuan
3

asli subjek dan objek dalam gejala pengetahuan manusia pada umumnya.
Makin dekat bidang ilmu tertentu pada pengalaman manusia seutuhnya, makin
besar kesatuan subjek dan objek, makin besar juga peranan subjek dalam
kesatuan yang hidup itu. Jadi, evidensi dan kepastian diwarnai subjektivitas
yang membangun.
Demikianlah yang terjadi dalam filsafat dan ilmu kemanusiaan. Makin
jauh bidang ilmu tertentu dari pengalaman manusia seutuhnya, makin kurang
kesatuan subjek dan objek, makin kuranglah juga peranan subjek dalam
kesatuan itu. Jadi, evidensi dan kepastian lebih diwarnai suatu objektivitas

yang ditentukan dari luar pengalaman subjektivitas dalam ilmu alam, sampai
mencapai suatu evidensi, kepastian dan objektivitas buatanlepas dari
pengalaman subjektivitas dalam ilmu pasti.
C. KEBENARAN
Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan
menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.
Agama mengantarkan kepada kebenaran, dan filsafat membuka jalan untuk
mencari kebenaran. Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir dengan
menggunakan rasio dalam menyelidiki suatu objek atau mencari kebenaran yang
ada dalam objek yang menjadi sasaran. Kebenaran itu sendiri belum pasti melekat
dalam objek. Terkadang hanya dapat dibenarkan oleh persepsi-persepsi belaka,
tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal dalam filsafat.2
1. Paham “Benar” dan “Tepat” dalam Ilmu Empiris dan Ilmu Pasti
Semenjak

masa

Aristoteles,

diadakan


pembedaan

antara

hasil

pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang tepat. Istilah “benar”
menyangkut isi pengetahuan sendiri, sedangkan “tepat” berkenaan dengan
jalan yang ditempuh untuk mencapai pengetahuan yang dianggap benar itu.3
a. Dalam Ilmu-ilmu Empiris
Ada tiga arti cara kerja ilmu-ilmu empiris dikatakan tepat, yaitu:
2 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 117.
3 Verhaak, Filsafat Ilmu, 121.

4

1) Tepatnya cara kerja penemuan, baik dalam proses terjadinya ilmu-ilmu
maupun dalam penyampaian hasilnya secara didaktis. Umpamanya

dalam buku-buku pelajaran fisika, dan percobaan yang dilakukan.
2) Tepatnya cara kerja dalam penerapan hasil ilmu, yaitu dari atas ke bawah
(deduksi).
3) (Hanya untuk ilmu-ilmu kemanusiaan) Tepatnya kesadaran akan
hubungan timbal balik antara subjek pengetahuan dengan objeknya,yakni
pendekatan khusus subjek pengetahuan dengan objeknya.
Ada perbedaan mengenai arti kata “benar” di antara penganut ilmu
empiris. Sampai dengan abad ke-19 di antara para ilmuwan kiranya dapat
kita temukan dua pandangan dasar, yang dapat digolongkan sebagai
anggapan yang paling mementingkan objek yang diketahui serta bagaimana
berlangsungnya pengetahuan itu. Kedua pandangan klasik tersebut dapat
dicirikan sabagai teori tentang kebenaran sebagai persesuaian antara si
pengenal dengan apa yang dikenal (correspondence theory of truth), dan
teori tentang kebenaran sebagai keteguhan (coherence theory of truth).
Di samping kedua pandangan klasik tersebut, muncullah dua
anggapan lain tentang kebenaran. Tetapi dalam rangka ilmu-ilmu empiris
itu, peranan si pengenal sebagai subjek yang bertindak dijunjung lebih
tinggi dan lebih terpisah dari apa yang dikenal. Kedua pandangan baru itu
berasal dari dunia Anglo-Sakson (Inggris-Amerika Utara). Masing-masing
adalah teori tentang kebenaran yang terwujud dalam praktek ilmu

(pragmatic theory of truth), dan teori tentang kebenaran yang terlaksana
dalam ungkapan manusia (performative theory of truth).4 Penjelasan tentang
masing-masing teori di atas, penulis bahas pada subbab selanjutnya.
b. Dalam Ilmu-ilmu Pasti
Dalam bidang ilmu-ilmu pasti, bagi mereka yang sudah masuk ke
dalam salah satu sistem yang teguh, satu-satunya masalah ialah apakah
langkah-langkah yang ditempuh itu tepat. Benar tidaknya suatu sistem atau
suatu langkah dalam sistem tertentu ialah masalah yang berasal dari
4 Ibid., 122-124.

5

category mistake seperti misalnya kalau kita bertanya apakah kimia itu hijau
atau merah. Sesudah kita memeriksa keempat anggapan tentang kebenaran,
jelaslah kiranya bahwa anggapan ke-dua, yaitu tentang kebenaran sebagai
keteguhan agak dekat dengan anggapan tentang tepatnya ilmu-ilmu pasti.
2. Pokok-pokok Sejarah Filsafat tentang Kebenaran5
Pada masa kuno, anggapan kebenaran berasal dari Plato. Dewasa ini
Martin Heidegger telah berusaha menerangkan pandangan Plato dengan
menguraikan kata Yunani aletheia (kebenaran). Secara etimologis kata tersebut

berarti “tak tersembunyinya”. Menurut tafsiran Heidegger, gagasan Plato ialah
bahwa

kebenaran

merupakan

“ke-tak-tersembunyi-an

adanya”

(die

unverborgenheit des seins, the unhiddenness of being), maksudnya selama kita
masih terikat pada “yang ada” (the beings) saja tanpa masuk pada “adanya dari
yang ada itu” (the being of all beings), kita belum berjumpa dengan kebenaran
karena “adanya” (being) itu masih tersembunyi. Baru dengan hilangnya atau
diambilnya selubung yang menutup “adanya dari yang ada itu” terhadap mata
batin kita, maka terbukalah “adanya”, maka tampillah kebenaran. Menurut
Plato, kebenaran sebagai ketaktersembunyian adanya tidak dapat dicapai

manusia selama di dunia ini. Jadi, kebenaran menurut anggapan Plato adalah
sesuatu yang terdapat pada apa yang dikenal, atau pada apa yang dikejar untuk
dikenal.
Sedangkan Aristoteles agak berbeda dengan Plato. Ia tidak mau mencari
sesuatu yanf seakan-akan secara objektif memuat atau mewujudkan kebenaran,
dia mau memeriksa dan menguraikan cara berbicara khas manusiawi. Padahal
apa yang dalam gaya bicara manusiawi dianggap benar ataupun tidak benar
(sesat, salah) tidak pernah merupakan konsep atau term, melainkan hanya
putusan saja. Putusan tersebut dapat dinyatakan:
(c)

S itu P
S (subjek) mewakili apa yang saya kenal. P (predikat) ialah apa yang

saya ucapkan tentang S. Cocok tidaknya P dengan S kita nyatakan dengan kata
penghubung itu sehingga berupa penegasan atau afirmasi. Dan apabila P tidak
cocok dengan S, maka negasi atau pemungkiran:
5 Ibid., 126-131.

6

(d)

S itu bukan P
Ada tidaknya kebenaran dalam dalam putusan yang berupa penegasan (c)

atau pemungkiran (d) itu tergantung pada apakah keputusan bersangkutan
sebagai pengetahuan dalam diri si pengenal cocok atau tidak cocok dengan
kenyataan yang diamati. Yaitu, apakah ke-P-an yang diucapkan mengenai S
dalam putusan afirmatif dan dimungkiri mengenai S dalam putusan negatif itu,
memang demikian (benar) atau tidak demikian (tidak benar) dalam kenyataan.
Maksudnya begini:
(e)

P-nya S

Dalam si pengenal (idealitas) memang

Bukan P-nya S

demikian adanya dalam apa yang ia kenal
(realitas)

(f)

P-nya S

Dalam si pengenal (idealitas) bukan demikian

Bukan P-nya S

adanya dalam apa yang ia kenal (realitas)

Rumus (e) menunjukkan bahwa penegasan atau pemungkiran itu benar,
sedangkan rumus (f) itu tidak benar. Dalam rumus (e) dan (f) hendaknya
diperhatikan bahwa perlu terjalin dua macam hubungan, supaya ada kebenaran
dalam putusan afirmatif dan negatif. Dua macam hubungan tersebut yaitu:
a. Hubungan S-P: pengetahuan si pengenal = idealitas.
b. Yang diucapkan mengenai: kenyataan yang dikenal = realitas.
Demikianlah tahap awal dari teori tentang kebenaran sebagai persesuaian
antara si pengenal dengan apa yang dikenal. Dalam anggapan Aristoteles
mengenai kebenaran, subjek pengetahuan itu lebih penting. Menurut
Aristoteles, pengetahuan yang paling benar dan paling luhur terjadi kalau si
pengenal (idealitas) dan apa yang dikenal (realitas) itu identik satu sama lain
dalam pengetahuan akal yang sempurna.
Dengan melewati beberapa perkembangan, antara lain Agustinus dan
Anselmus, kita meninjau sebentar bagaimana Thomas Aquinas meneruskan,
mengembangkan dan memperkaya kedua anggapan warisan kuno tersebut. Ia
membedakan veritas ontologica (kebenaran ontologis) dari veritas logica
(kebenaran logis). Yang pertama terdapat dalam kenyataan, dan yag ke-dua
terdapat dalam akal yang mengenal. Yang ke-dua merupakan kebenaran dalam
arti yang sesungguhnya. Ia memberi batasan sebagai berikut: penyamaan akal
7

dengan kenyataan. Dengan demikian, hadirnya dan terlaksananya kebenaran
dalam pengetahuan manusia menurut Thomas terjadi dalam bentuk
pengarahan, melalui proses yang tak ada hentinya, dan tak bisa lepas dari
indera. Anggapan ini sesuai dengan ciri pengetahuan manusia yaitu senantiasa
bertanya.
Nominalisme abad pertengahan berhaluan skeptis. Kata “benar” menurut
aliran ini, hanyalah tempelan, atau hembusan angin yang lewat saja pada benda
atau pada ungkapan manusia. Jadi, kebenaran tidak diakui oleh para nominalis
sebagai sesuatu yang berarti atau ada.
Dengan Descartes, muncul masalah baru tentang kriterium kebenaran.
Menurut Descartes, cara untuk membedakan ada tidaknya kebenaran ialah ada
tidaknya idea yang jelas dan terpilah-pilah mengenai sesuatu. Sebagai akibat
dari anggapan itu lebih lanjut, isi idea yang jelas dan terpilah-pilah itu menjadi
“benar”. Hanya sebagai kesimpulan dari adanya kebenaran dalam idea tersebut
terwujudnya kebenaran ditegaskan sebagai suatu kenyataan.
Lingkungan Yahudi dan Timur mempunyai dimensi lain dalam
pengalaman manusia mengenai kebenaran yaitu dimensi antarmanusia. Dalam
kedua lingkungan tersebut, paham mengenai kebenaran meliputi wilayah lebih
luas daripada lingkungan Barat, meliputi kesetiaan, ketekunan, melanjutkan
apa yang sedang jadi, menyetujui dan mengucapkan apa yang kiranya
dikehendaki atau diinginkan sesama.
3. Apa itu Kebenaran?
Verhaak & Imam mengungkapkan bahwa kebenaran adalah kenyataan
adanya (being) yang menampakkan diri sampai masuk akal. 6 Kebenaran
menurut Bertrand Russel adalah suatu sifat dari kepercayaan dan diturunkan
dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran merupakan
suatu hubungan tertentu antara suatu kepercayaan dengan suatu fakta.
Kebenaran adalah sola hubungan antara pengetahuan dan apa yang jadi
objeknya, yaitu apabila terdapat persesuaian dalam hubungan antara objek dan

6 Ibid., 131.

8

pengetahuan kita tentang objek itu.7 Kebenaran menurut Plato dan Aristoteles
adalah pernyataan yang dianggap benar itu bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan sebelumnya. Kebenaran itu tampaknya bersifat relatif,
sebab apa yang dianggap benar oleh suatu masyarakat, belum tentu akan dinilai
sebagai suatu kebenaran oleh masyarakat lain.8
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kebenaran adalah sesuatu yang nyatadan sesuai dengan fakta dan bersifat
relatif.
4. Teori-teori tentang Kebenaran9
a. Koherensi (Kebenaran Sebagai Keteguhan)
Pencetus

: Phytagoras, George Hegel.

Pemikiran

:

1) Kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dan pernyataan
lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui dan diakui benar.
2) Sesuatu itu benar jika ia koheren, artinya kebenaran itu konsisten
dengan kebenaran yang sebelumnya.
Contoh

: “Muhammad Abduh adalah murid Jamaluddin al-Afghani,
dikatakan benar apabila telah ada putusan kebenaran bahwa
Jamaluddin mempunyai seorang murid dan Abduh adalah salah
seorang murid Jamaluddin.

b. Korespondensi (Kebenaran Sebagai Persesuaian)
Pencetus

: Plato, Aristoteles, Moore, Ibnu Sina, Thomas Aquinas, dan
Bertrand Russel.

Pemikiran

:

1) Kebenaran

itu

dicapai

setelah

diadakan

pengamatan

dan

pembuktian (observasi dan verifikasi).
7 Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Referensi, 2012), 98.
8 Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 98.
9 Liza, Pengantar Filsafat Ilmu (Cirebon: t.p, t.t), 12.

9

2) Kebenaran adalah kesesuaian antara yang dimaksud oleh suatu
pernyataan (pendapat, informasi, kejadian) dengan fakta di
lapangan.
Contoh

: “Ibukota negara RI adalah Jakarta karena faktanya memang

demikian, bila dikatakan Bandung maka itu tidaklah benar.”
c. Pragmatisme (Kebenaran yang Terwujud dalam Praktek Ilmu)
Pencetus

: Charles S. Peirce, William James, dan John Dewey

Pemikiran

:

1) Benar tidaknya suatu pernyataan tergantung pada berfaedah
tidaknya pernyataan tersebut bagi manusia dalam hidupnya.
2) Kriteria kebenaran tergantung pada kegunaan (utility), dapat
dikerjakan (workability), dan akibat yang memuaskan (satisfactory
consecuence).
3) Sesuatu itu benar apabila dapat mengembalikan pribadi manusia di
dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan.
Sebab tujuan utama pragmatisme adalah supaya manusia selalu
dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan
penyesuaian dengan tuntutan lingkungan.
Contoh

: “Agama itu benar bukan karena Tuhan itu ada dan disembah
oleh penganut agama, tetapi penganut agama itu mempunyai
dampak positif bagi masyarakat.”

d. Performative (Kebenaran yang Terlaksana)
Pencetus

: Ramsey, Austin, dan Strawson

Pemikiran

:

1) Kata “benar” itu berlebihan saja, dan kata “salah” hanya
menyatakan bahwa kalimat bersangkutan tidak berarti sama sekali.
Contoh

: “Kalau kalimat “Saya melantik anda menjadi walikota

Madiun, dikatakan oleh yang berwenang, kebenaran ungkapan itu terjadi
sebagai akibat ungkapannya sendiri.”
e. Agama Sebagai Teori Kebenaran

10

Keempat teori kebenaran sebelumnya menggunakan akal, budi, fakta,
realitas dan kegunaan sebagai landasannya, dalam teori kebenaran agama
digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari
kebenaran, manusia dapat mencari dan menemukan kebenaran melalui
agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren
dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama
dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala
persoalan manusia, termasuk kebenaran.

BAB III
KESIMPULAN
11

Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran akan menemukan tiga bentuk
eksistensi, yaotu agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Agama mengantarkan pada
kebenaran dan filsafat membuka jalan untuk mencari kebenaran. Sedangkan ilmu
pengetahuan pada hakikatnya adalah kebenaran itu sendiri, karena manusia menuntut
ilmu dengan tujuan mencari tahu rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi
menjadi misteri.
Secara pasti, tidak ada kebenaran absolut di dunia ini. Kebenaran dan kesesatan
ilmu pengetahuan itu sendiri tergantung kepada kita yang berusaha mencari tahu
dengan menggunakan metode kriteria kebenaran seperti yang diungkapkan oleh
masing-masing teori kebenaran yang telah dibahas sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

12

Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.
Fautanu, Idzam. Filsafat Ilmu: Teori dan Aplikasi. Jakarta:Referensi. 2012.
Jalaluddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996.
Liza. Pengantar Filsafat Ilmu. Cirebon: t.p, t.t.
Verhaak & Imam, Haryono. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 1995.

13