ORIENTASI DAKWAH ISLAM KEINDONESIAAN DAN

JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI

ORIENTASI DAKWAH ISLAM KEINDONESIAAN
DAN AKTUALISASI NILAI-NILAI LOKAL
Muhammad Sholikhin *)
*)

Muhammad Sholikhin adalah penulis buku-buku sufisme Islam, spiritualitas Jawa, dan Syekh Siti Jenar.

Abstract: In the midst of Islam’s universalism and its cultural hegemony, actually Islam in its application
have variations related with space and time of its people. Therefore, we have a duty to discern our
Indonesian- Islam discourse. At one side, Islam have universal dimension, free from local culture
influence, and on the other side, Islam have to present at the earth on its spreading and receiving by
human being with its local content. Islam famous with its accommodative feature to local culture with
basic principle maintains old good ones, and takes new better ones. Ideal form of religious life is
equilibrium state between symbolization and substance. Therefore, Indonesian-Islam didn’t lose its
preference as a part of a whole Islam. Keywords: Indonesian-Islam, local values, culture.

WACANA PEMIKIRAN ISLAM-KEINDONESIAAN
Pembicaraan mengenai Islam sebagai sistem ideologi dan sebagai fenomena budaya, kebudayaan sebagai proses
kreativitas dan inovasi manusia par-excellence, merupakan tema yang selalu aktual dan menarik sepanjang masa. Hal ini

karena di samping memancing polemik yang berkepanjangan sejak terbentuknya agama-agama itu sendiri hingga
perkembangan agama dan keberagamaannya dewasa ini, fenomena ini menjadi penyebab dominan pasang-surutnya
perkembangan pemikiran di berbagai kawasan benua Islam, seperti telah kita ketahui di atas. Di tengah universalisme Islam
dan hegemoni kulturalnya, ternyata Islam dalam aplikasinya memiliki ragam-variasi sesuai dengan masa dan tempat
diamalkan oleh pemeluknya. Kita pun memiliki keharusan untuk membaca wacana Islam keindonesiaan kita. Namun, kita
juga perlu menguasai argumentasi dasarnya terlebih dahulu, mengapa wacana Islam keindonesiaan perlu dikemukakan?
Untuk memancing persoalan ini, penulis akan memulai dengan firman Allah yang berarti, “... pada hari ini, telah
Kusempurnakan bagimu agama (yang harus kamu anut), dan Aku cukupkan nikmat-Ku atasmu, serta Aku ridlakan
untuk kamu Islam sebagai (sebuah sistem) agama bagimu.”1
Firman Allah tersebut memiliki tiga elemen kunci: penyempurnaan agama, pencukupan nikmat, dan perelaan Tuhan
atas Islam sebagai sistem keagamaan manusia. Dalam hal ini, perelaan Islam sebagai agama merupakan manifestasi dari
kehendak Tuhan untuk mencukupkan nikmat atas umat manusia, yaitu menyempurnakan wahyu-Nya kepada mereka.2
Dengan konsep di atas, tampak bahwa Tuhan dalam membimbing manusia melalui suatu proses yang dinamis dengan
pengutusan para Rasul bagi setiap komunitas manusia sebagai pemberi petunjuk, baik itu dikisahkan al-Qur’an maupun
tidak.3 Hal ini mengidentifikasikan bahwa dalam pewahyuan setiap agama terdapat suatu unsur transendentalitas yang sama
dalam semua agama yang pernah hadir, dan ada di muka bumi ini, yakni doktrin keesaan Tuhan dengan segala implikasinya
bagi manusia.4 Pada visi inilah diharapkan agama mampu menyumbangkan visi spiritual, paradigma etik dan moral, serta
kekuatan profetik yang dapat mendukung peradaban manusia agar dapat bertahan dan berkembang.5
Pada aspek peranan ini terletak dimensi lain dari agama karena agama sebenarnya merupakan fenomena sejarah dan
budaya yang berkembang dengan settingsosio-historis yang selalu berkembang.

Secara sederhana, rumusan agama sebagai sebuah “ideologi” tampak pada ranah transendensinya, sedangkan sebagai
sebuah budaya tampak pada settingpraksisme agama tersebut. Persoalannya, bagaimana membuktikan asumsi dasar ini?

Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto

KOMUNIKA
Vol.3 No.2 Juli-Desember 2009 pp.298-311

ISSN: 1978-1261

JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI

Pada dataran konseptualisasi agama dengan setting sosio-historis, kita sangat membutuhkan bantuan dari perspektif
sosiologi pengetahuan6 dalam menempatkannya sebagai sebuah ideologi ataukah sebuah sistem budaya? Untuk
memahaminya, maka paparan secara perdefinitif akan sangat diperlukan dalam pemahaman ranah teologis menjadi sistem
anthropomorphisme-transendentalini.
Suatu pengetahuan manusia yang sudah dicampuri oleh perasaan, kepentingan, dan faktor-faktor subjektivitas lainnya
dari individu atau kelompok, yang pengetahuannya tidak lagi bersifat absolut dan universal, membuat ia disebut sebagai
ideologi,7 yakni sejenis pengetahuan yang memang dipakai (sadar atau tidak) untuk menipu (bersifat propagandis) orang demi
kepentingan perbuatan atau penganut ideologi tersebut.8

Dalam istilah Mannheim, konsep dan pemahaman ideologi berangkat dari suatu jenis pendekatan masalah pada tahap
abstraksi dan tahap kekonkretan yang diharapkan orang untuk mencapainya sehingga dengan cara yang sama terkait dengan
kehidupan sosial.9
Ini sejalan dengan pengertian ideologi secara umum atau populer (terutama secara politis), yang dimaknai sebagai
sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran. Pengetahuan yang bersifat ideologis berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan
keyakinan subjektif daripada fakta empiris sehingga memiliki ciri-ciri:
a. tidak berdasar pada informasi faktual untuk memperkaya keyakinan;
b. penganutnya cenderung menolak sistem pikiran lain yang tidak sejalan dengan ideologinya, dan yang tidak sama
dalam menjelaskan kenyataan yang sama;
c. hanya kesimpulan yang didasarkan pada ideologi mereka yang dianggap logis dan benar; dan
d. akhirnya orang yang menganut sebuah ideologisasi tertentu akan mengalami kesukaran untuk mengerti dan
memahami, serta berhubungan dengan penganut idelogi lain.10
Dengan demikian, jika sebuah agama disebut sebagai ideologi, maka pada konsep ini hanya terbatas pada agama-agama
yang secara parsial terkotak-kotak dalam sebuah institusi aliran dan sekte (sistem kultisme) tertentu. Istilah ideologi jenis ini
sangat tidak tepat dilekatkan ke dalam station agama dalam konstruk substansialnya, yang memiliki nuansa universalitas
sebagai dasar pijakannya.
Adapun definisi ideologi yang terartikulasi secara sempit (reduksisonistis) tersebut, dalam wacana sosiologi pengetahuan,
diberi nuansa makna yang baru dengan membandingkannya dengan utopia yang memiliki makna popular angan-angan
yang tidak realistis karena terlalu tinggi (melangit). Ideologi sama dengan utopia, yang keduanya merupakan gejala sosial yang
belum terjadi, keduanya bukan merupakan fakta empiris, yang letak perbedaannya, bila ideologi adalah proyeksi ke depan

(futurist) tentang gejala-gejala yang akan terjadi di kemudian hari berdasarkan sistem yang ada, maka utopia adalah ramalan
tentang masa depan yang didasarkan pada sistem lain, yang “pada saat ini” sedang tidak berlangsung. “Dengan menyebut
segala sesuatu yang melampaui tatanan yang ada sekarang sebagai utopis, orang meredam kegelisahan yang bisa muncul dari
utopia-utopia relatif yang dapat diwujudkan di dalam tatanan yang lain,” demikian kata Mannheim.11 Pada garis inilah agama
menempati lahan khusus dalam konteks sosiologi pengetahuan karena agama mengatur pranata dunia, sekaligus
memberikan deskripsi maupun fatamorgana-empirikal tatanan kehidupan akhirat pasca-kematian seluruh alam.
Pada konteks terakhir ini, maka cita dan ide keagamaan pada hakikatnya merupakan jenis ideologi (ranah syari’ah dan
mu’amalah), sekaligus merupakan kenyataan utopia (ranah “idealisme” iman, taqwa, dan Islam dengan implikasi
ukhrawiyyahnya). Sistematika la takhaf wa la takhzan, inna’l-Laha ma’ana menunjukkan kenyataan agama yang
ideological-utopianist.
Untuk menghindarkan kerancuan makna antara konsep kata ideologi klasik, ideologi definisi baru dan utopia agar tidak
tumpang tindih, maka lebih tepat jika penulis menggunakan istilah doktrin untuk menyebut ranah agama dalam wacana
ideologi (I besar)-utopia dalam istilah Mannheim di atas.
Oleh karena itu, kita sampai pada konseptualisasi wacana sosiologi pengetahuan dalam memahami sudut fenomena
keagamaan mengajarkan pola keterpisahan antara api yang bersifat permanen esensif-signifikansif, dengan abu-nya yang

Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto

KOMUNIKA
Vol.3 No.2 Juli-Desember 2009 pp.298-311


ISSN: 1978-1261

JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI

bersifat temporal dan simbolis, dengan tujuan mendapatkan inti yang sebenarnya, dengan tanpa adanya preseden mengingkari ajaran agama secara formal.
Inti ajaran setiap agama, tentu saja bukan abunya, yang coba kita tafsirkan secara kreatif dengan permasalahan sosial
yang ada sekarang. Dengan demikian, agar dapat selalu terjadi dengan kesegarannya yang baru, ajaran agama kita laksanakan
secara kreatif-inovatif, tidak pasif, dan stagnatif. Hal inilah yang nantinya dapat membedakan indikasi “pemeluk” agama
dengan “dipeluk” oleh agama.12 Jika ini dikembalikan pada firman Allah di atas, maka agama secara ideologis-doktrinal telah
sempurna. Namun, hal ini masih memerlukan usaha untuk tercukupinya nikmat atas kita. Sempurna karena dalam hal-hal
transenden manusia tidak bisa mengutak-atik lagi konsepsional-operatifnya (wacana tauhidiyyah dan ubudiyyah mahdlah),
sedangkan nikmat “cukup” berarti manusia masih diberi hak daya kreativitas yang dominan, terutama dalam bidang ibadahibadah muamalah dan kerangka tauhid-sosial.13 Dengan yang terakhir inilah, maka manusia bisa disebut telah “memeluk”
agama. Namun, jika belum mampu berkreasi dalam pola keberagamaan, maka orang itu baru dalam kerangka “dipeluk” oleh
agama yang biasanya dialami oleh orang yang mengikuti pola “ideologi” dalam artikulasi negatif (popular) di atas, dengan
corak sektarianismenya.
Kreativitas dalam beragama diperlukan agar tidak terjadi proses pembekuan dalam pola keberagamaan karena jika
kondisi kebekuan (stagnan/jumud) tetap berlangsung, maka friksi dan kontradiksi antara doktrin agama dengan realitas
sosial yang selalu berubah, dan ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang tidak dapat dihindarkan. Oleh
karena itu, perlu kembali dipupuk pola kesadaran bahwa proses purifikasi dan puritanisme Islam berpangkal pada apa yang

telah ada sejak 15 abad yang lalu, dengan sebab-sebabnya atau yang disangka sebagai penyebab turunnya aksiomatika
normatif tersebut karena nash adalah pengucapan situasional dari sesuatu yang melatarinya. Lagi pula, dalam proses
pembentukan hukum-hukum baru tidak ada yang lepas begitu saja dari perkembangan masyarakat. Verbalisasi yang
sekarang terkodifikasikan dalam teks-teks “mati” kitab suci dan Hadis selalu menuntut reorientasi dan reformulasi kontekstual
bagi pembentukan struktur masyarakat beragama yang akan membentuk suatu budaya. Untuk itu, sudah saatnya dilakukan
dekonstruksi terhadap konsep-konsep fiqhiyyah dalam kitab-kitab keagamaan yang selama ini diacu dan “disucikan” oleh
mayoritas ummat Islam, yang sebagiannya sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan peradaban yang muncul sekarang
maupun yang akan datang. Bukankah agama adalah sebuah sistem yang menyumbang terbentuknya peradaban?
Agama akan selalu bertahan dan dianut oleh pengikutnya apabila secara antropologis, sosiologis, dan psikologis mampu
memenuhi kebutuhan manusia. Di samping itu, ia selain merupakan doktrin, juga harus mampu mengakomodir faktor-faktor
kultural dalam upaya pemerian konsepsional sosio-hiostorisnya. Tanpa itu, semua agama akan mengalami kegagalan dalam
memberi sumbangan terbentuknya peradaban dalam skala mondial. Termasuk pula agama Islam, yang bagaimanapun sempurnanya, apabila tidak bisa memberikan solusi bagi problematika kemanusiaan, maka akan mengalami nasib yang sama.
Oleh karena itu, layak apabila sifat Islam yang paling mendasar adalah bukan agama yang sempit14 dan mudah untuk
dilaksanakan, sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan sendiri.15
Termasuk dalam pola kesempurnaan, Islam sebagai satu-satunya agama diklaim oleh Allah sebagai satu-satunya wacana
agama dan sistem keagamaan yang diterima –inna l-dina ‘inda’l-Lah-i al-Islam16 —, harus lebih dipahami pada dataran
pengertian yang substantif daripada pengertian atributif atau asosiatif.
Identitas seperti ini menghendaki peliputan nilai-nilai yang tidak hanya agama Islam dalam skala formalnya yang
diturunkan lewat Nabi Muhammad SAW, tetapi juga semua agama yang menekankan nilai-nilai keislaman dalam bentuk
karakter yang disandangnya (kebaikan, kesejahteraan, keselamatan, dan kedamaian). Pada ranah ini, konstruksi Islam secara

ideal merupakan esensi dari agama-agama yang pernah diturunkan Tuhan kepada umat manusia.
Hal ini dapat dilacak dalam al-Qur’an karena Islam merupakan agama yang dianut oleh Ibrahim,17 Isa,18 serta pada semua
nabi dan Rasul yang pernah diutus oleh Allah.19 Bahkan, jika kita simak doa Nabi Ibrahim, tampak seluruh nabi-nabi setelah
Ibrahim secara formal-esensial beragama Islam, dengan menyebut dirinya sebagai muslim.20
Oleh karena itu, seorang pakar tafsir al-Qur’an modern, Abdulah Yusuf Ali menafsirkan surat Ali Imran [3] ayat 85
bahwa, “Kedudukan Islam sudah jelas. Seorang muslim tidak akan menuntut agamanya itu khusus untuk dirinya sendiri.
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto

KOMUNIKA
Vol.3 No.2 Juli-Desember 2009 pp.298-311

ISSN: 1978-1261

JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI

Islam bukan agama sekte, bukan agama etnis. Dalam pandangannya, semua agama itu satu karena kebenaran itu satu. Itulah
agama yang telah diajarkan para nabi sebelumnya, yang ditetapkan dalam wahyu.”21
Sayangnya, doktrin Islam yang membudaya tersebut, yang pernah mencapai puncak-puncak kejayaan sebagai
peradaban dunia, kemudian diideologisasikan secara parsial seiring dengan terbentuknya percaturan teologis dengan
perkembangan yang selalu berubah dan saling menyerang. Hal ini tampak sampai saat ini dalam buku-buku sejarah dan

teologi yang penuh dengan sektarianisme madzhabiyyah untuk membela ideologi masing-masing.22 Inilah yang dimaksud
oleh Jalaluddin Rakhmat bahwa ideologi adalah weltanschaung yang menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu. Ideologi
adalah cara memandang realitas.23 Pada konteks ini, ideologi Islam sebenarnya hanya merupakan semacam bentuk semu dari
sektarianisme golongan tertentu dengan perspektif ideologi dengan artikulasi yang sempit dan negatif.
Adapun maksud Fazlur Rahman ketika mengatakan masyarakat muslim berdiri berdasarkan ideologi Islam24 adalah
pada dataran ideologi kesempurnaan yang berangkat dari artikulasi umum Qur’an surat al-Baqarah [2] ayat 256, yang
menyatakan bahwa tidak bisa pola keagamaan itu dipaksakan. Abdullah Yusuf Ali menafsirkan bahwa pemaksaan (dalam
bentuk ideologis) bertentangan dengan semangat agama itu sendiri, sebab: (1) agama tergantung pada iman dan kemauan,
tidak ada artinya untuk didesakkan secara kekerasan, (2) kebenaran dan keburukan itu telah jelas, yang diperlihatkan dengan
adanya perintah Allah yang tidak diragukan lagi terdapat di dalam setiap orang yang berkemauan, baik sebagai dasar iman, (3)
perlindungan Tuhan yang selalu berkesinambungan dan kehendaknya selalu membimbing keluar dari kegelapan.25
Dengan demikian, Tuhan sendiri mencatat bahwa penurunan wahyu berlangsung dalam kontinuitas dan
perkembangan yang dimulai sejak awal sejarah kemanusiaan dan sempurna dengan al-Qur’an. Namun, meskipun pada
dimensi syari’at wahyu Tuhan bersifat dinamis, sejalan dengan perkembangan kedewasan peradaban manusia, ia pada
dimensi aqidah tetap statis dengan kandungan nilai intrinsik inti keesaan Tuhan (tauhid) sebagai titik sentral dan kardinal
agama. Inilah kunci dari keseluruhan proses teleologis agama-agama yang menuju pada terciptanya nilai-nilai universal bagi
kemanusiaan (kesatuan doktrin/ideologi).
Nilai universal dengan unsur transendentalitasnya itu (aqidah), dengan keyakinan kita agama berasal dari Tuhan dan
merupakan jalan menuju Tuhan, mau tidak mau tetap mengalami bentuk transformasi telologis dari corak teologi ilahiyyah
ke dalam bentuk teologi insaniyyah dengan bentuk kehidupan beragama sebagai fenomena budaya. Artinya, manifestasi

keberagamaan mengambil tempat dalam pelataran budaya. Yang beragama manusia, dan manusia adalah makhluk budaya
yang tidak luput dari pengaruh jaring-jaring kebudayaan dalam perilakunya.26
Berbicara masalah jaring kebudayaan dan agama dalam konteks Indonesia ini, kita dapat melihat bahwa beberapa
intelektual muslim, (alm.) Nurcholish Madjid, misalnya, yang telah benar-benar melakukan upaya serius untuk menggali dan
memberi makna secara substansial kepada segala jenis ritual dan seremonial.
Menyimak fenomena ritual dan seremonial keagamaan itu, secara inheren adalah juga membicarakan persoalan sosial
sehingga dalam kajian filsafat hukum Islam (ushul fiqh), misalnya, pasti kita dapati proses pengambilan hukum Islam yang
berangkat dari persoalan sosial, yang berarti pendasaran penetapannya tidak hanya atas dasar nash Tuhan belaka, melainkan
juga dengan dasar atas kebaikan bersama (maslahah mursalah) dalam suatu masyarakat yang pada giliran selanjutnya akan
melahirkan corak dan warna Islam yang berlainan.
Nurcholish Madjid berupaya mempertemukan dua fenomena yang seakan kontradiktif itu dengan pisau bedah analisis
bentuk Islam universal dan partikularnya.
Pada satu sisi, Islam merupakan dimensi yang universal, bebas dari pengaruh budaya setempat, sedangkan pada pihak
lain, Islam harus hadir di bumi dengan penyebarannya dan penerimaannya oleh umat manusia dalam keadaan terbungkus
oleh budaya setempat. Oleh karenanya, ajaran Islam universal itu hanya dapat ditangkap dalam bentuk nilai (value) sehingga
ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia, ia menjadi bentuk, dalam artian, budaya.
Dalam bentuk budaya inilah Islam muncul dalam berbagai bentuk, warna, dan corak (satu Islam seribu warna). Dengan
begitu, Islam dikenal akomodatif terhadap budaya-budaya setempat dengan prinsip dasar mempertahankan yang lama dan
baik, serta mengambil yang baru yang lebih baik.27
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto


KOMUNIKA
Vol.3 No.2 Juli-Desember 2009 pp.298-311

ISSN: 1978-1261

JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI

Nurcholish Madjid sampai pada kesimpulan bahwa suatu bentuk budaya Islam yang ada di negeri kita ini sepenuhnya
absah, dan tidak bisa dipandang kurang “Islami” dibanding dengan tempat-tempat lain yang berkebudayaan Islam,28 maka
terciptalah rumus agama dalam sistem budaya adalah tidak bisa dipisahkan, tetapi harus dibedakan, dan tidaklah dapat
dibenarkan mencampuradukkan antara keduanya.29 Oleh karena itu, antara agama, skema doktrin (ideological) dan budaya
(dan struktur peradabannya) adalah bersifat kontaminan (cantaminated).
Pembedaan antara agama dan budaya ini bertujuan agar terdapat kejelasan wilayah-wilayah doktrinal absolut dengan
yang relatif, yang manusianya dalam, proses upaya “mencukupkan” nikmat –sebagai implementasi “kesempurnaan” agama.
Dapat melakukan kreativitas dan inovasi-inovasi (re-improvementasi) bentuk praktis-kontekstual agama sehingga akan jelas
bahwa agama an sich (sistem doktrinal) bernilai mutlak, tidak berubah menurut waktu dan tempat, tetapi budaya sekalipun
yang berdasar agama dapat berubah dari waktu ke waktu, tempat ke tempat. Hal ini meyakinkan kita bahwa ada budaya
berdasar agama, dengan peranan agama di dalamnya, tetapi tidak pernah terjadi agama yang berdasarkan budaya.
Inilah yang dapat dipahami dari wahyu Tuhan kepada para nabi dan Rasul. Dengan demikian, agama bersifat primer

dan budaya bersifat sekunder. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan, karenanya sub-ordinate terhadap
agama, tidak pernah sebaliknya.30 Di sinilah letak perbadaan antara agama dan budaya, sejauh menyangkut segi-segi proporsionalitasnya.
Letak ketidakterpisahannya adalah budaya merefleksikan dirinya sebagai identitas ibadah dan karakter amal shalih
sebagai pola wacana etika dan moralitas yang merupakan inti dari ajaran agama.
Ibadah, yang mentradisi sebagai budaya lahir dari praktik sunnahyang bermakna model atau contoh dari Rasul, sahabat,
tabi’in, dan seterusnya, merupakan bingkai dan pelembagaan iman, yang membuatnya mewujudkan diri dalam bentukbentuk tingkah laku dan tindak-tanduk nyata. Hal itu juga sebagai usaha pemeliharaan dan penambah iman itu sendiri, yang
imannya merupakan doktrin-dogmatis paling mendasar dari setiap agama dan memiliki sifat sentimentil yang cukup tinggi,
sanggup mengontrol emosionalitas manusia (sebuah sistem ideologi-dogmatis). Oleh karena iman bukanlah statis, maka ia
dinamis yang mengenal pertumbuhan negatif (menurun, berkurang, atau melemah –naqis/yanqushu) dan bertumbuhan
positif (menaik, bertambah, menguat –yazid) yang memerlukan upaya pemeliharaan terus-menerus secara maksimal.31
Dengan kata lain, ibadah adalah bentuk preferensi-konstitutifdari sistem tradisi keimanan.
Realitas tersebut mengindikasikan bahwa agama dengan ajaran transendentalitas-ritualnya saja tidaklah cukup, yang
pengkhususan dirinya pada hal-hal yang ritualistik dan formal (dalam wacana doktrin) akan sama dengan peniadaan tujuan
agama yang hakiki.32 Adapun bentuk ideal dalam kehidupan keagamaan adalah equilibriumitas antara simbolisasi dan
substansi.33 Yang pertama merupakan tradisi/budaya (simpul peradaban), sedangkan yang kedua adalah doktrin (sistem
ideologi dogmatis-teologis) agama.

MEMPERTIMBANGKAN ASPEK LOKALITAS KEINDONESIAAN
Dengan demikian, wajar jika menggunakan simbolisme sedemikian rupa sehingga agama tetap memiliki daya cekam
(magnetisme) kepada masyarakat, tetapi harus tetap ada kesadaran bahwa suatu simbol memiliki nilai instrumental dan ide
intrinsik, tidak hanya menjadi tujuan dalam diri sendiri, melainkan mengarah kepada suatu nilai yang tinggi.34 Akhirnya,
Islam-keindonesiaan pun juga tidak kehilangan preferensinya sebagai bagian menyeluruh dari Islam.
Sayangnya, sampai saat ini, upaya-upaya penggalian corak Islam-keindonesiaan masih sangat minim. Padahal, umat
Islam Indonesia mempunyai dan memiliki bahan yang tidak kurang dibanding umat Islam di kawasan lain, bahkan Timur
Tengah sekalipun, untuk mencari jati diri keislamannya sendiri. Hal ini diakibatkan antara lain karena kepedulian umat kita
terhadap keislamannya sendiri masih minim, dan penghargaan terhadap para pemikir Islam asal Indonesia sendiri sangatlah
kurang. Padahal, kita banyak memiliki pemikir Islam yang telah menginternasional, mereka telah berhasil meletakkan dasardasar keislaman yang tidak melulu “import” dari kawasan lain.
Pada abad ke-13 dan ke-14, pada saat-saat itulah Islam menyebar ke hampir semua kawasan Indonesia. Pada saat itu,
para ulama yang tergabung dalam lembaga “Walisongo” karena anggotanya diambil 9 orang. Setiap ada anggota yang pergi,
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto

KOMUNIKA
Vol.3 No.2 Juli-Desember 2009 pp.298-311

ISSN: 1978-1261

JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI

selalu dicari gantinya agar tetap berjumlah 9 sehingga pada kenyataannya jumlah anggota “Walisongo” secara keseluruhan
berjumlah puluhan, bahkan seandainya tetap lestari sampai sekarang, bisa mencapai ratusan ulama.35 Mereka cukup berhasil
menghadirkan Islam berwajah keindonesiaan, baik dalam teologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Tentu saja, unsur-unsur
perenial dan eternal keagamaan secara teologis dan fiqhiyyah selalu berada pada tataran universalisme Islam. Di antara salah
satu corak khas Islam-keindonesiaan yang memiliki berbagai ragam wajah itu adalah untaian kalung tasawuf yang sangat
kuat. Hal itu tercermin dengan pengaruh ajaran sufi yang dominan adalah dari Muhyiddin Ibn ‘Arabi dan Syaikh Imam alGhazali.
Di samping Walisongo, kita juga memiliki tokoh tasawuf yang juga mendunia, seperti Nuruddin al-Raniri, dan
Syamsuddin al-Sumatrani. Belum lagi tokoh legendaris Syaikh Yusuf dengan kitab Safinat al-Najatnya, juga Syaikh Ahmad
al-Khatib, atau Abdussamad al-Palimbani. Adapun yang sebanding, baik pemahaman maupun nasibnya, dengan sufi martir
Abu Mansur al-Hallaj adalah tokoh historis kontroversial, Syaikh Siti Jenar, yang ajaran-ajarannya hingga saat ini masih
sangat subur hidup di tengah masyarakat Jawa.36 Pemikiran-pemikiran keislaman mereka sangat khas, dan merupakan aset
yang sangat berharga bagi masa depan pemikiran Islam di Indonesia, jika segera kita sosialisasikan secara intensif. Apalagi
salah satu corak dari Islam-Keindonesiaan yang paling menonjol adalah Islam Tasawuf, baik yang tarekati maupun falsafi.
Oleh karena itu, Islam-keindonesian bisa kita telusuri, dan kemudian kita rumuskan secara lebih sistematis dengan
mengembangkan teks-teks “lokal”. Adapun, apa yang kita sebut sebagai teks lokal itu sebagian juga justru malah dicetak dan
diterbitkan, serta lebih dikenal di kawasan Timur Tengah. Dalam hal ini, teks-teks lokal itulah yang seharusnya sekarang kita
“ambil” kembali ke Indonesia setelah diterima universal oleh dunia Islam.37 Misalnya, kita memiliki ulama besar Kiai
Muhammad Nawawi Banten (1815-1897) dengan traktat kecilnya, Nur al-Dhalam, yang merupakan teks dasar seluruh
pengajaran Islam tradisional di tanah air. Bahkan, kiai ini malah diberi gelar “pemuka ulama Makkah dan Madinah” (sayyid
al- ‘ulama al-Hijaz), namun agak terlupakan di negeri sendiri. Beliau memiliki kitab legendaris Hadis, al-Arba’in, yang hampir
digunakan sebagai pengajaran wajib ilmu Hadis seluruh organisasi Islam di Indonesia. Padahal, di dunia muslim, himpunan
kitab 40 hadis (yang disusun berdasar ujaran Nabi, bahwa siapa yang hafal 40 hadis, akan masuk surga) hanya ada dua kitab,
yakni kitab Syaikh Nawawai Banten itu, dengan Kitab 40 Hadisnya Imam Khomeini bertitel (dalam edisi Inggris) 40 Hadis:
An Exposition of Ethical and Mystical Tradition(The Islamic Foundation, Teheran, 1989). Hanya saja ada perbedaan dari dua
kitab tersebut, jika Imam Khomeini memuat 40 Hadis mistik dan akhlak, maka Syaikh Nawawi menghimpun hadis-hadis
teologis, ritual, dan akhlaq. Selain itu, jika dalam kitab Khomeini benar-benar hanya mencantumkan 40 hadis, maka Imam
Nawawi memberikan “diskon” menjadi 43 hadis. Selain itu, beliau menulis kitab tafsir terkenal, yakni tafsir Murah Labib atau
juga dikenal sebagai al-Munir.
Gelar profesor, bukan hanya dimiliki Imam Nawawi ini. Kita masih memiliki tokoh internasional, Kiai Muhammad
Ihsan dari Jampes, Kediri, yang meninggalkan dua karya besar, yaitu Siraj al-Thalibin, sebuah komentar atas traktat alGhazali yang berumur ribuan tahun, Minhaj al-‘Abidin. Karya dua jilid ini memiliki nilai sangat tinggi sehingga dijadikan buku
wajib pada kajian post graduate di Al-Azhar dan beberapa Perguruan Tinggi lain di Timur Tengah, yang ironisnya tidak
dikenal oleh orang-orang akademisi IAIN. Karya kedua adalah Minhaj al-Imdad, komentar atas traktat Irsyad al-‘Ibad, yang
diburu Kiai Mas’ud Banyumas untuk diterbitkan di Mesir.
Mungkin kita ingin mengembangkan Islam-keindonesiaan dari teks yang lebih lokal lagi, maka kita tidak akan
kekurangan bahan. Misalnya, karya-karya ulama modern pertama di Indonesia, K.H. Muhammad Shalih bin Umar dari
n’Darat, Semarang, seperti Sabil al-‘Abid yang merupakan syarah ilmu teologi Jauhar al-Tauhid, atau karya orisinil beliau alMajmu’at al-Syari’ah al-Kafiyat li al-‘Awam. Boleh dikatakan, Kiai Sholeh n’Darat inilah yang menjadi penjaga gawang
ajaran al-Asy’ari, al-Ghazali, dan Ibn al-‘Arabi sekaligus di Indonesia. Selain itu, beliau, yang merupakan guru dari KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan itu—dikenal jugasebagai ulama moderat yang menggabungkan faham
Mu’tazilah dan Asy’ariyyah. Hal ini tampak misalnya pada pemahaman beliau tentang kemakhlukan al-Qur’an. Beliau
menyatakan, al-Qur’an secara dzahiri (yang bisa dibaca, ditulis, dan dipegang) adalah makhluk, sedangkan yang qadim adalah
yang tidak dalam bentuk suara, tidak tertulis, dan tidak tersaksikan manusia. Hanya saja, hal ini perlu disosialisasikan secara
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto

KOMUNIKA
Vol.3 No.2 Juli-Desember 2009 pp.298-311

ISSN: 1978-1261

JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI

hati-hati,38 sedangkan di era modern sekarang ini kita memiliki banyak pakar lokal seperti K.H. Sahal Mahfudz, K.H. Said Agil
Siraj, Dr. Nurcholish Madjid, Dr. Quraish Shihab, dan lain-lain.
Yang ingin penulis tekankan dalam wacana pemikiran ulama-ulama besar di atas, terkandungnya suatu jenis teologi atau
pemikiran keagamaan yang khas bercorak ke-Indonesiaan, yang antara doktrin dan tradisi bersama-sama mengembang
membentuk wacana Islam otentik, sebagaimana dahulu al-sunnahterbentuk di era Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian, kesatuan doktrin dan budaya dalam sistem keberagamaan, yang dalam istilah Abdullah Yusuf Ali,
merupakan penyatuan diri kita dengan Islam, bukan hanya sekadar melapisi atau menampakkan diri di luar saja,39 yang
berarti memiliki kausalitas hukum yang wajib dalam rengkuhan Islam kaffah.
Yang diperlukan adalah setelah pemahaman yang benar dan tepat tentang keuniversalan ajaran (secara doktrin atau
ideologis –penulis), pemahaman yang benar dan tepat pula pada lingkungan budaya (Islam partikular sebagai sistem
kebudayaan praktis), dan memenuhi tuntutan-tuntutannya yang pasti tidak terhindarkan itu.40

ENDNOTE
Q.S. al-Maidah [5 ]: 3.
Din Syamsudin, “Agama-agama di Dunia, Masalah Interelasi, Kontinuitas dan Perkembangan”, dalam Makalah KKA Paramadina seri ke-60,
Januari 1992.
3
Q.S. al-Mukmin/Ghafir [40] : 78.
4
Q.S. al-Anbiya [21] : 25.
5
Din Syamsudin, “Agama-agama”, hal. 4.
6
Sosiologi pengetahuan merupakan jenis ilmu pengetahuan yang relatif baru di Indonesia, yang dikembangkan oleh seorang pemikir Jerman, Karl
Mannheim, dengan memaparkan sudut pandang pengetahuan secara sosiologis. Lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia (Yogyakarta: Kanisius,
1991).
7
Ideologi adalah bentuk definisi dalam konteks artikulasi sempit dan negatif, tetapi popular di kalangan masyarakat selama ini, karena kata ideologi
tampaknya sudah sedemikian akrabnya dengan istilah politik dan kekuasaan, sehingga pengertian asalnya menjadi kabur dan tercerabut dari makna
substansinya.
8
Arief Budiman, dalam pengantar buku Karl Mannheim, Ideologi, hal. xv.
9
Ibid., hal. 301.
10
The World Book Encyclopedia, 1990, Vol. X, hal. 97.
11
Karl. Mannheim,Ideologi, hal. 214.
12
“Pemeluk” agama merupakan penganut agama yang mampu memberikan sentuhan warna dalam praktik keagamaannya, setelah memahami
makna substantif dari pesan-pesan verbal korpus kanonik (al-Quran dan Sunnah-Haditsah) menjadi semacam tradisi hidup non-verbalik dalam praxisme
agama. Orang yang “dipeluk” oleh agama adalah prototype penganut agama yang hanya mampu melaksanakan pesan tekstual, tidak mampu memberi
warna kehidupan pada agama, atau hanya bersikap taqlidbuta dalam beragama.
13
Tentang wacana ini lihat M. Amien Rais, Tauhid Sosial(Bandung: Mizan, 1998).
14
Q.S. al-Hajj [22] : 78.
15
Q.S. al-Baqarah [2] : 185, al-Nisa [4] : 28. al-Qur’an juga “dimudahkan” dalam pembacaan dan pemahamannya, lihat Q.S. ad-Dukhan [44] : 58, alQamar [54]: 17.
16
Q.S. ali Imran [3] : 19.
17
Q.S. al-Baqarah [2] : 132, Ali Imran [3] : 67, dan al-An’am [6] : 161.
18
Q.S. Ali Imran [3] : 52.
19
Q.S. Ali Imran [3] : 84.
20
Indikasi kemusliman ini juga diidentikan dengan kenyataan bahwa semua Nabi hanya memiliki satu kepercayaan, yakni tauhid, lihat Q.S. alBaqarah [2] : 133, sehingga konsekuensinya jelas, Nabi Muhammad sebagai mata rantai terakhir membenarkan Nabi dan Rasul yang terdahulu, lihat
Q.S. Ali Imran [3]: 81 dan ash-Shaffat [37]: 37.
21
Abdullah Yusuf Ali, Al-Qur’an Terjemah dan Tafsirnya(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hal. 145, catatan No. 418.
22
Kebanyakan buku sejarah Islam dan teologi Islam masih bercorak apokriftik, bahkan cenderung mengalami mitologisasi karena semangat
ashabiyyah-nya (rasa kegolongan) yang berkelebihan.
1
2

Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto

KOMUNIKA
Vol.3 No.2 Juli-Desember 2009 pp.298-311

ISSN: 1978-1261

JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI
23
Jalaluddin Rakhmat dalam (Ed.) Budhi Munawwar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Paramadina,
1994), hal. 73.
24
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur’an(Bandung: Pustaka, 1983), hal. 62.
25
Abdullah Yusuf Ali, Al-Qur’an, hal. 103, catatan No. 300.
26
Komaruddin Hidayat, Agama-Agama di Dunia, Masalah Interelasi, Kontinuitas, dan Perkembangan,hal. 14.
27
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995),
hal. vii-ix.
28
Ibid., hal. 35.
29
Ibid., hal. 36.
30
Ibid.
31
Q.S. [48] : 4. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,(Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992), hal. 62.
32
Nurcholish Madjid dalam Budhi Munawwar Rachman (Ed.), Islam, hal. 454.
33
Ibid., hal. 458.
34
Ibid.
35
Untuk mengetahui lebih jelas persoalan ini perhatikan analisis Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti
Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2004), hal. 3-6; bandingkan Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa Telaah atas Metode Dakwah Walisongo (Bandung:
Mizan, 1995), hal. 17-24.
36
Tentang Islam-Jawa dan peran Syekh Siti Jenar, lihat buku Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenardi atas.
37
Ulasan informatif tentang tokoh-tokoh lokal dan karya besarnya dapat dibaca dalam Abdurrahman Wahid, Kyai Nyentrik Membela Pemerintah
(Yogyakarta: LKiS, 1999).
38
K.H. Muhammad Shalih bin Umar al-Samarani, al-Majmu’at al-Syari’at al-Kafiyat li al-‘Awam (Semarang: Penerbit Toha Putera Semarang, TT),
hal. 16.
39
Abdullah Yusuf Ali, Al-Qur’an, hal. 199, catatan No. 428, yang merupakan penafsiran dari Q.S. Ali Imran [3] ; 102 tentang Islam kaffah.
40
Dr. Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, op.cit., hal., xviii.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Samarani, Muhammad Shalih bin Umar. TT. al-Majmu’at al-Syari’at al-Kafiyat li al-‘Awam. Semarang: Penerbit Toha Putera Semarang.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Paramadina.
. 1995. Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Mannheim, Karl. 1991. Ideologi dan Utopia. Yogyakarta: Kanisius.
Rachman, Budhi Munawwar. 1994. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Rahman, Fazlur. 1983. Tema-tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Pustaka.
Rais, M. Amien. 1998. Tauhid Sosial. Bandung: Mizan.
Saksono, Widji. 1995. Mengislamkan Tanah Jawa Telaah atas Metode Dakwah Walisongo. Bandung: Mizan.
Sholikhin, Muhammad. 2004. Sufisme Syekh Siti Jenar Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar. Yogyakarta: Narasi.
Syamsudin, Din. 1992. “Agama-agama di Dunia, Masalah Interelasi, Kontinuitas dan Perkembangan”, dalam Makalah KKA Paramadina seri
ke-60, Januari 1992.
The Word Book Encyclopedia, 1990, vol. X.
Wahid, Abdurrahman. 1999. Kyai Nyentrik Membela Pemerintah. Yogyakarta: LKiS.

Yusuf Ali, Abdullah. 1991. Al-Qur’an Terjemah dan Tafsirnya. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto

KOMUNIKA
Vol.3 No.2 Juli-Desember 2009 pp.298-311

ISSN: 1978-1261