PENDIDIKAN TINGGI kepariwisataan PARIWISATA Kontribusi

PENDIDIKAN TINGGI PARIWISATA,
Kontribusi Untuk Daya Saing Nasional dalam Membangun
Pariwisata Berkelanjutan

Himawan Brahmantyo dan Kusmayadi
Orasi Ilmiah disampaikan pada Lustrum VII Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti. Auditorium
Kampus Pesona, 2 Juni 2004.

Pendahuluan
Competitiveness is a country’s capacity to sustain and expand its share of international markets and at
the same time to improve its people’s standard of living. (Fajnzylber, 1988)

Isu rendahnya daya saing bangsa (nation competitiveness) dapat ditelusuri dari berbagai studi dengan
menggunakan berbagai indikator. Survey Polititical and Economic Risk Consultancy (PERC)
tentang penilaian kualitas pendidikan di kawasan Asia, menyimpulkan bahwa Indonesia berada
pada urutan ke-102 atau setingkat di bawah Vietnam. Menurut survey tersebut, Indonesia memiliki sistem pendidikan terburuk di kawasan Asia yang berbanding terbalik dengan Korea Selatan
yang memiliki sistem pendidikan terbaik. Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia
merupakan Negara yang memiliki peringkat system pendidikan baik. Penelitian lain (IMD, 2000
dalam Taufik, 2001) telah mensurvei 47 negara menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tingkat
kompetisi Indonesia berada pada posisi ke-45, Singapura urutan ke-2, Malaysia urutan ke-25,
Thailand dan Philippina masing-masing pada urutan ke-33 dan 38. Penelitian tersebut juga

menempatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara keseluruhan berada pada posisi ke46 dari 47 negara yang disurvey, kapabilitas ilmu dan teknologi urutan ke-42, dan manajemen
kapabilitas sumberdaya manusia berada pada urutan ke-44.
Daya saing di bidang pariwisata, WTTC (2003) telah mensurvei lebih dari 200 negara di dunia
dengan menggunakan enam indeks. Sepuluh negara diantaranya digunakan dalam tulisan ini
sebagai perbandingan. Hasilnya menunjukkan bahwa indeks daya saing harga, Indonesia sejajar
dengan Bangladesh, Philipina dan Zimbabwe yang berada di atas rata-rata. Tingginya indeks ini
diduga berkaitan dengan rendahnya daya beli masyarakat dan tidak berharganya nilai mata uang.
Indeks sumber daya manusia pariwisata dan indeks penerapan teknologi jauh di bawah Malaysia

1

dan Philipina yang mencapai lebih dari 90 persen. Sedangkan indeks sumber daya manusia (HRI)
Indonesia hampir dua poin di bawah Zimbabwe (Tabel 1).
Tabel 1. Perbadingan enam indeks untuk beberapa Negara (2003)

Negara

Price
Competitiveness
Index


Human
Tourism
Index

Infrastructure
Index

Human
EnvironTechnology Resources
ment Index Index
Index

Bangladesh

79.5

2.0

47.9


48.1

1.1

5.1

Burma

Na

na

33.4

Na

1.4

41.4


Cambodia

59.1

35.8

10.2

39.9

3.9

27.9

Indonesia

80.7

31.7


44.7

48.2

31.3

48.6

Laos

100.0

na

45.1

27.3

1.9


12.6

Malaysia

57.7

73.4

Na

57.5

94.7

50.5

Philippine

79.4


28.3

55.7

54.1

90.4

75.9

Thailand

67.2

46.0

56.8

43.3


69.6

58.8

Vietnam

65.4

na

39.1

46.4

8.1

58.8

Zimbabwe


81.6

37.0

42.1

12.3

50.5

48.7

Sumber: WTTC, 2004 (diolah)
Note:
Green, amber and red lights indicate respectively, above average, average and below average performance.

The nation’s competitiveness can only be achieved under the framework of strong nation’s character and
civilization


Beberapa hasil studi di atas merupakan fakta empiris yang menunjukkan betapa rendahnya daya
saing bangsa ini, padahal daya saing bangsa merupakan suatu kekuatan untuk membangun,
pertumbuhan, sustainability dan pengakuan dari bangsa-bangsa lain pada abad ke-21 ini (Ruhanen
dan Cooper, 2003).
Langkah awal untuk meningkatkan daya saing hanya dapat ditempuh melalui kerangka kerja yang
sistematis dalam menguasai pengetahuan, teknologi, dan informasi. Sistem pendidikan untuk
menghasilkan sumberdaya berkualitas merupakan satu-satunya pilihan.

Kebijakan Pendidikan Tinggi untuk Daya Saing
Lemahnya daya saing sebagimana diuraikan di atas telah direspon melalui kebijakan dasar
pengembangan pendidikan tinggi jangka panjang 2003-2010. Hal tersebut sepenuhnya disadari
bahwa daya saing bangsa melalui produk perekonomian di pasar dunia tidak lagi bertumpu pada
kekayaan sumber daya alam atau ongkos buruh yang murah namun semakin ditentukan oleh
inovasi (teknologi) dan/atau kreativitas dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan.
Untuk itu, kerangka pengembangan pendidikan tinggi jangka panjang (KPPTJP) 1996-2005 telah
diperbaharui dengan KPPTJP IV 2003-2010. Prinsip dasar kebijakan tersebut mencakup: (1) daya

2

saing bangsa, (2) Otonomi dan desentralisasi dan (3) kesehatan organisasi. Kebijakan dasar ini

ditetapkan untuk mewujudkan visi pendidikan nasional 2010 dalam rangka tercapainya (1)
peningkatan Kualitas, (2) Akses dan ekuitas, dan (3) otonomisasi.
National prosperity will be determined by a nation’s intellectual capabilities and its ability to expertly
transfer, deploy and capitalize on that knowledge base
(Shariq, 1997)

Kualitas pendidikan diperguruan tinggi dapat diketahui dengan adanya (a) efektivitas dan link
antara kebutuhan mahsiswa dalam mengembangkan intelektual dan kapabilitas mereka agar
menjadi orang yang bertanggungjawab dan memberikan kontribusi terhadap daya saing nasional.
(b) program penelitian sebagai incubator dan kebutuhan dalam adaptasi, keberlanjutan
(sustainability), ekonomi berbasis pengetahuan dan state-of-the-art dalam mamaksimalkan akses dan
penggunaan teknologi untuk meningkatkan pengetahuan, (c) memberikan kontribusi bagi
pengembangan demokrasi, keberadaban, sosial, dan akuntabilitas, (d) struktur pengelolaan
keuangan yang transparan. Kesehatan organisasi menyangkut pengelolaan lembaga pendidikan
tinggi dalam usahanya untuk menghasilkan lulusan berkualitas. Kapasitas institusi perlu dibangun
agar mampu memberikan jaminan kualitas secara konsisten menuju suatu standard tertentu melalui
tata pamong (good governance), academic atmosphere, dengan meningkatkan partisipasi seluruh
stakeholder.

Pariwisata Makin Penting dalam Pembangunan
Apabila digunakan sebagai alat pembangunan, pariwisata bukan merupakan suatu tujuan. Ini
mengandung pemahaman bahwa pariwisata dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam
pembangunan nasional maupun sektoral. Berbicara pembangunan pertanian berkelanjutan
misalnya, pariwisata dapat mendekatinya dengan konsep agri-tourism atau farm-tourism,
pembangunan kelautan dapat didekati dengan marine-tourism, atau eco-tourism dalam pembangunan
kehutanan dan banyak lagi yang lainnya.
Beberapa alasan penting yang kasat mata antara lain pariwisata sebagai penggerak ekonomi,
industri luas dan variatif, mendukung sustainability, dan alat untuk poverty alleviation dan social
harmony.

Pariwisata Penggerak Ekonomi
Pariwisata memiliki dimensi yang sangat luas yang merupakan agen perubahan unik dan dinamik.
Dinamika tersebut baik yang telah lalu maupun diproyeksikan ke masa depan menunjukkan bahwa
pertumbuhan sector pariwisata memberikan dampak besar baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap seluruh kegiatan ekonomi, khususnya bagi negara-negara berkembang cocok
sebagai alat pembangunan.

3

Pariwisata dan
pembangunan:
Stimulant,
mendorong
kegiatan ekonomi,
menciptakan
lapangan kerja

Dalam konteks ekonomi, pariwisata berdampak antara lain terhadap penciptaan lapangan kerja,
investasi atraksi, pertukaran mata uang. Dalam konteks sosial, berdampak terhadap penyerapan
tenaga kerja muda, memperkaya dan memperkuat jati diri masyarakat, ekualitas gender, dan
pemeliharaan serta penjagaan budaya. Ilustrasi secara tepat pariwisata sebagai stimulant
pembangunan dilihat pada Gambar 1 berikut:

Gambar 1. Pariwisata sebagai stimulant pembangunan (WTTC, 2003)
Bukti lain yang menunjukkan bahwa sektor pariwisata merupakan penggerak ekonomi dunia dapat
dilihat dari kontribusinya sebagai penghasil devisa dan penyerapan jutaan tenaga kerja. Catatan
World Tourism Organization (WTO, 2004), pada tahun 2003 jumlah wisatawan dunia mencapai 694
juta orang dengan penerimaan dari kunjungan wisatawan mencapai US$474 milyar pada tahun
2002. Sementara itu World Travel and Tourism Council (WTTC) melaporkan data tahun 2003 sektor
ini mampu menghasilkan 3.7 persen dari PDB dan 67,441,100 pekerjaan. Sementara itu, nilai
ekonomi travel & tourism diharapkam memberikan 10.2 persen dari total PDB dan 194,562,000
lapangan kerja. Melihat ke depan, estimasi permintaan terhadap sektor ini tumbuh 2.9 persen
(pertumbuhan real tahun 2003) dan 4.6 persen per per tahun antara tahun 2004 sampai tahun 2013
(WTTC, 2004).
…daya saing rendah, citra buruk, membuat pariwisata Indonesia sangat terpuruk

4

Sebagai konsekuensi dari besarnya pengaruh aktivitas pariwisata terhadap perekonomian tersebut,
telah mendorong setiap negara di dunia untuk menarik wisatawan sebanyak-banyaknya dengan
mengeksploitasi sumber daya pariwisata yang dimilikinya. Ambil contoh pertumbuhan empat
besar komoditi ekspor negara-negara berkembang dan belum berkembang antara tahun 1990
sampai 2000 menunjukkan sektor pariwisata berada pada urutan ketiga (Tabel 2).
Tabel 2. Pertumbuhan Ekspor Empat Sektor Negara-negara Berkembang dan Belum
Berkembang tahun 1990-2000.
Ekspor
Manufaktur
Makanan
Pariwisata
Migas

Negara Berkembang (%)

Urutan

Negara Belum
berkembang (%)

Urutan

208

1

217

2

58

2

-71

4

154

3

47

3

16

4

1.444

1

Sumber: WTO, 2002 (diolah)

Namun Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan sumber daya pariwisata terkaya di
dunia, belum mampu menggarap sektor ini dengan baik, sehingga jauh tertinggal oleh negaranegara lain. Hal ini antara lain disebabkan karena masih lemahnya pengelolaan daya tarik wisata,
dan rendahnya daya saing bangsa ini. Citra buruk sebagai negara ‘teroris’ melekat di benak
sementara orang wisatawan, lemahnya hukum, tidak adanya aturan yang pasti dan fleksibelnya
penerapan hukum serta rendahnya penghargaan terhadap hak-pribadi orang lain (HAM) telah
memperparah citra pariwisata Indonesia.

Pariwisata Industri Luas dan Variatif
Perdebatan istilah ‘industri pariwisata’ dengan ‘usaha jasa pariwisata’ sering muncul di dalam
diskusi kalangan industri, birokrasi dan akademisi. Perdebatan pemahaman atas pariwisata sebagai
industri, merupakan salah satu faktor penghambat dalam pengembangan pariwisata, karena
kebijakan makro akan berpengaruh terhadap implementasinya di lapangan. Ambil contoh, oleh
pemerintah sekarang, pariwisata dikelompokkan pada sektor kesejahteraan rakyat (Kesra) dan
tidak di bawah koordinator Ekuin. Akibatnya, kebijakan ekonomi untuk pengembangan pariwisata
sangat tidak menguntungkan.
.…tourism industries as all establishments whose principal productive activity is a tourism
characteristic activity

Dari sudut pandang ekonomi, industri diartikan sebagai suatu group atau individu yang secara
independen menghasilkan suatu produk (Davidson, 1994) baik yang bersifat tangible maupun
intangible (Kotler, 2000). Industri juga menekankan adanya revenue yang diperoleh, serta
menghasilkan dan menjual suatu produk yang dihasilkan tersebut. Bila ditinjau dari pemahaman

5

di atas, maka pariwisata merupakan industri yang memiliki perspektif sangat luas di dalam
kegiatan ekonomi, karena dapat menghasilkan pendapatan, nilai tambah, capital invesment
penciptaan lapangan kerja maupun pajak (Theobalt, 1994; Davidson, 1994). Menurut Seth (1999)
industri pariwisata dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu:
a. direct provider of service, yaitu provider yang secara langsung memberikan service terhadap
wisatawan. Contoh kategori ini adalah airline, hotel, transportasi, restoran dan cinderamata.
b. support service to direct suplier, yang termasuk ke dalam kategori ini antara lain adalah tour
organizer, laundry, kontraktor catering, travel publication,
c. kategori ketiga termasuk di dalamnya organisasi pengembangan pariwisata seperti planner,
institusi keuangan, institusi pendidikan.
Pendapat lain dari Jackson (1989), menyebutkan bahwa “The tourism industry encompasses all activities
by individuals, companies or organisations which supply, directly or indirectly, goods or services to tourists at
their destinations”.
Adapun Tourism Satellite Account (TSA) mendefinisikan “…tourism industries as all establishments
whose principal productive activity is a tourism characteristic activity”. Untuk kepentingan klasifikasi,
WTO mengembangkan Standard International Classification of Tourism Activities (SICTA) yang
dipadankan atas Standard Industrial Classification of all Economic Activities (ISIC). Di samping
itu, ditetapkan pula pengklasifikasian Tourism Characteristic Product (TCP) yang mengacu pada
pengkodean yang digunakan oleh UN Central Product Classification (CPC). Di dalam CPC,
industri pariwisata terdapat pada tujuh kelompok besar (WTO, 2000) yaitu:
a. accomodation services. Industri ini meliputi jasa hotel dan motel, pusat liburan dan home holiday
service, jasa penyewaan furniture untuk akomodasi, youth hostel service, jasa training anak-anak
dan pelayanan kemping, pelayanan kemping dan caravan, sleeping car service, time-share, bed and
breakfast dan pelayanan sejenis.
b. food and beverage-serving services. Yang termasuk ke dalam industri adalah full-restoran dan
rumah makan, kedai nasi, catering service, inflight catering, café, coffee shop, bar dan sejenis yang
menyediakan makanan dan minuman bagi wisatawan.
c. passenger transport services. Yang termasuk kelompok ini antara lain jasa angkutan darat seperti
bis, kereta api, taxi, mobil carteran; jasa angkutan perairan baik laut, danau, maupun sungai
meliput jasa penyeberangan wisatawan, cruise ship dan sejenisnya. Dan terakhir adalah jasa
angkutan udara melalui perusahan-perusahaan airlines. Di samping itu, sector pendukung
antara lain navigation and aid service, stasion bis, jasa pelayanan parker penumpang, dan lainnya.
d. travel agency, tour operator and tourist guide services. Yang termasuk kepada kelompok ini antara
lain, agen perjalanan, konsultan perjalanan, biro perjalanan wisata, pemimpin perjalanan dan
yang sejenis.
e. cultural services. Jasa pagelaran tari dan fasilitas pelayanan tarian, biro pelayanan penari dan
sejenisnya. Jasa pelayanan museum kecuali gedung dan tempat bersejarah, pemeliharaan
6

gedung dan tempat bersejarah, botanical and zoological garden service,
perlindungan alam termasuk suaka margasatwa.
f.

pelayanan pada

recreation and other entertainment services. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah
pelayanan olah raga dan olah raga rekreasi, pelayanan golf course, ski, sirkuit balapan, taman
rekreasi dan pelayanan pantai. Pelayanan taman bertema, taman-taman hiburan, pelayanan
pameran dan sejenisnya.

g. miscellaneous tourism services. Yang temasuk kelompok ini adalah jasa keuangan, asuransi,
tempat penukaran mata uang dan yang sejenis.
Demikian luasnya cakupan pariwisata, maka tidak ada alasan untuk me-nafi-kan pariwisata sebagai
industri, dan merupakan argumen kuat untuk menjadikan pariwisata sebagai alat atau pendekatan
dalam pembangunan setiap sektor.

Pariwisata Mendukung Konsep Keberlanjutan (Sustainability)
Sustainability saat ini sudah diadopsi oleh berbagai bidang yang sangat luas, tidak hanya untuk
lingkungan dan ekonomi. Konsep mengenai sustainable development telah diperkenalkan oleh World
Commision on Environtment and Development di Brundtland Report pada tahun 1987, yang
mendefinisikannya sebagai "development that meets the needs of the present without compromising the
ability of future generations to meet their own needs". Sedangkan Pariwisata berkelanjutan memiliki
konsep yang beragam (dan seringkali diperdebatkan). Sesuai dengan definisi dari Federation of
Nature and National Parks, pariwisata yang berkelanjutan adalah "seluruh bentuk dari pengembangan,
pengelolaan dan kegiatan pariwisata yang berpedoman lingkungan, integritas sosial dan ekonomi, alam yang
tertata dengan baik serta mengembangkan sumberdaya budaya secara terus menerus." (FNNP, 1993).
Sedangkan Tourism Concern and the World Wide Fund for Nature mendefinisikan sebagai "operates
within natural capacities for the regeneration and future productivity of natural resources; recognises the
contribution that people and communities, custom and lifestyles, make to the tourism experience; accepts that
these people must have a equitable share in the economic benefits of tourism; and is guided by the wishes of
local people and communities in the host areas".
… dalam mendukung pelaksanaan konsep keberlanjutan, sektor pariwisata , sejak 1992 telah telah
menghasilkan berbagai dokumen teknis dan kesepakatan global…

Ecologycal sustainability, yang berarti pembangunan pariwisata tidak disebabkan oleh perubahan
yang irreversible dalam suatu ekosistem yang telah ada, dan menjadi dimensi yang secara umum
diterima sejak adanya kebutuhan untuk melindungi sumberdaya alam dari dampak negatif
kegiatan pariwisata. Pertumbuhan umum dari kesadaran lingkungan telah secara signifikan
dikontribusikan ke dalam trend ini. Social sustainability sesuai dengan kemampuan suatu kelompok
untuk menyerap wisatawan tanpa menimbulkan ketidakharmonisan hubungan sosial. Cultural
sustainability dalam konteks ini mengasumsikan bahwa kelompok mampu menyerap perilaku
budaya yang disebut "tourist culture" dan "residual culture" yang dimiliki oleh pengunjung (Jafari,
1987). Economic sustanability berarti tingkatan dari kegiatan ekonomi yang timbul dari kegiatan

7

pariwisata yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat serta untuk menutupi
seluruh biaya yang dikeluarkan dalam hal melayani para wisatawan.
Oleh karena pentingnya aspek sustainability dalam mengembangkan pariwisata, sejak tahun 1992
WTO telah memesankan negara-negara anggotanya untuk memperluas dan menerapkan prinsipprinsip Agenda 21. Petunjuk implementasi tersebut telah disusun antara lain (1) Agenda 21 for the
Travel and Tourism Industry (2) Global Code of Ethics for Tourism (3) National and regional tourism
planning (4) Guide for local authorities on developing sustainable tourism (5) Indicators of sustainable
tourism (6) Voluntary initiatives for sustainable tourism (7) Compilation of good practices in sustainable
tourism (8) Sustainable tourism development at specific destinations: coastal areas and islands, cultural
heritage sites, natural and rural areas (9) International Year of Ecotourism, 2002: (a) Guidelines for
Sustainable Tourism in Protected Areas (b) Compilation of good practices in ecotourism (c) Ecotourism
market studies (d) Regional conferences and seminars (e) World Ecotourism Summit (Quebec, Canada, May
2002) (f) Quebec Declaration on Ecotourism.
Tourism: a driving force for poverty alleviation, job creation and social harmony
(World Tourism Day, 2003)

Jadi tidak ada alasan untuk menuding pariwisata sebagai sector yang merusak sumber daya alam
dan lingkungannya. Oleh karena itu, pemahaman secara utuh atas pembangunan dengan
pendekatan pariwisata perlu diperluas ke setiap stakeholder.

Pariwisata Mengurangi Kemiskinan dan Harmonisasi Sosial
Konsep ini mulai dicanangkan pada hari pariwisata dunia tahun 2003, yang ditindaklanjuti dengan
berbagai kegiatan antara lain jaringan Sustainable Tourism-Eliminating Poverty (STEP) yang
mengkoordinasikan pilot project dan mobilisasi pendanan. Dalam mengurangi kemiskinan, pada
hakekatnya pariwisata tidak berbeda dengan sektor produktif lain, namun ada empat keunggulan
yang potensial pada sektor ini (WTO, 2003) yaitu (1) memiliki potensi lebih besar untuk link dengan
pengusaha lokal lainnya karena kastemer datang ke daerah tujuan wisata, (2) intensif tenaga kerja
dan penyerapan tenaga wanita relative tinggi, (3) potensial pada negara-negara miskin dan wilayah
yang tidak memiliki daya saing komoditi ekspor (4) produk pariwisata dapat dikembangkan
berdasarkan sumber daya alam dan budaya yang merupakan asset yang dimiliki masyarakat lokal.
Dalam kaitan dengan harmonisasi social, pariwisata merupakan sarana yang dianggap paling
efektif. Interaksi yang terjadi antara wisatawan, operator pariwisata, komunitas lokal maupun
pemerintah setempat, senantiasa terjadi dalam setiap perjalanan wisata. Interaksi ini akan harmonis
bila ditunjang oleh adanya saling pengertian dan keinginan untuk saling membantu. Kondisi ini
perlu ditunjang pula oleh aspek keamanan dan kenyamanan yang merupakan faktor penting dalam
berwisata. Instabilitas politik, social dan keamanan merupakan penghambat utama dalam
pembangunan dengan pendekatan pariwisata.

8

Pendidikan Tinggi Pariwisata dalam Membangun Pariwisata Berkelanjutan
Secara umum peranan pendidikan tinggi adalah untuk (1) menghasilkan sumber daya manusia
yang berkualifikasi tinggi dan mampu beradaptasi terhadap perubahan IPTEKS, (2) secara berkesinambungan melahirkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan baru, dan (3) selalu meningkatkan
akses dan adaptasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia.

Pendidikan Tinggi: Penghasil Sumber Daya Pariwisata
Untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia pariwisata, sebagaimana sektor lainnya dapat
dipenuhi oleh pendidikan tinggi dan pelatihan, yang pada berbagai literature dapat saling bertukar
makna. Jafar Jafari (2002) membedakan kedua istilah tersebut berkaitan dengan kualifikasi dan
karakteristik pasar kerja. Ia membagi tiga tingkatan pekerjaan yaitu (1) tenaga kerja semiskilled dan
unskilled (2) supervisory dan skilled personnel, (3) top manajemen. Ketiga kelompok tersebut
digambarkan dalam suatu piramida di mana top manajemen jumlahnya paling kecil dan unskilled
tenaga kerja jumlah sangat melimpah. Dalam kaitan ini, pelatihan meliputi apa yang ditawarkan
untuk mereka yang ingin mengisi hands-on atau mengkombinasikan antara pendidikan dengan
pekerjaan. Seseorang yang ingin mencapai top manajamen harus didukung oleh kemampuan field
of vision yang dimilikinya, tingkat dan jenis pendidikan, kemampuan koseptual, daya fikir,
diacrhornic (a vision of the future), dan memiliki kemampuan untuk pengetahuan “mengapa” (knowwhy). Sebaliknya, tingkatan bukan top manajemen memiliki karakteristik, menghasilkan ilmu
ditempat kerja, training, kemampuan teknik, belajar dari pengalaman, synchronic dan pengetahuan
“bagaimana: (know how). Hubungan diatas digambarkan Jafari sebagai Tourism Education-Training
Continuum (Gambar 2).

Gambar 2. Tourism Education-Training Continuum (Jafari, 2002)

9

Perbedaan bentuk batang pada gambar 2 di atas tergantung lingkungan di mana mereka bekerja,
semakin runcing kerucut batang tersebut, maka semakin kecil pula peranan pendidikan/pelatihan
yang harus diberikan. Berdasarkan Gambar 2. dapat diketahui bahwa pendidikan ditujukan untuk
menghasilkan tenaga kerja level atas, sedangkan pelatihan ditujukan untuk menghasilkan level
bawah. Pada gambar tersebut teridentifikasi sembilan kemampuan yang harus dimiliki oleh
sumber daya manusia pariwisata yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan. Dari kesembilan
kemampuan yang harus dimiliki tersebut, tiga diantaranya memiliki intensitas yang sama yang
harus dimiliki oleh ketiga level yaitu profesionalisme, hospitality dan cosmopolitanism.
Professionalisme merupakan hal yang sangat penting untuk memasuki dunia pekerjaan, sehingga
bentuk batangnya tidak mengerucut. Hal ini berarti memiliki kepentingan sama untuk setiap level.
Profesionalisme juga harus ditunjang oleh hospitality dan cosmopolitanism yang diartikan sebagai
kemampuan untuk memahami budaya wisatawan untuk mempermudah cultural communication.
Apabila diberikan analogi dengan menggunakan pensekoran, maka terlihat seperti pada tabel
berikut:
Tabel 3. Kempetensi berdasarkan level pekerjaan

Competences

Top management

Supervisory
and skilled
personnel

Semiskilled
and unskilled
labor force

Field of vision

5

3

1

Education

5

3

1

Conceptual ability

5

3

1

Minds-on

5

3

1

Diacronic

5

3

1

Know-why

5

3

1

Work station

1

3

5

Training

1

3

5

Technical skill

1

3

5

Hands-on

1

3

5

Synchronic

1

3

5

Know-how

1

3

5

Professionalism

5

5

5

Hospitality

5

5

5

Cosmopolitanism

5

5

5

Pendikan Tinggi: melahirkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan baru
Menurut Tribe (1997) pengembangan pengetahuan pariwisata dapat didekati dari tiga pendekatan
yaitu: (1) extradisciplinary, (2) multidisciplinary (3) interdisciplinary. Dalam kajiannya, teridentifikasi
10

suatu area di mana pengetahuan pariwisata dikembangkan. Salah satunya adalah pengetahuan
dikembangkan dari luar komunitas akademik yang disebut sebagai extradisciplinary. Dalam kaitan
ini pengetahuan diperoleh dari industri, pemerintah, tink-tank, kelompok pemerhati pariwisata dan
institusi penelitian dan konsultan (Tribe’s, 1999).
Untuk area baru seperti pariwisata, yang sangat kental dipengaruhi oleh kebutuhan vokasi tidak
mengherankan apabila pengetahuannya sangat didominasi oleh industri. Sebagai indikasi, secara
alami awal-awal pengetahuan pariwisata dapat dilihat dalam tulisan-tulisan tentanga pariwisata.
Sebagai contoh Burkat dan Medlik (1974) menulis referensi buku teks yang komprehensif yang
didominasi oleh pemerintah dan laporan-laporan studi. Pada saat itu sangat banyak dibahas
tentang state of knowledge yang terjadi pada waktu itu. Tipe lain dari pengetahuan diidentifikasi oleh
Tribe adalah bahwa secara tradisional pengetahuan akademik dikembangkan oleh academia yang
menurutnya dinamakan ‘disciplinary-based methodology and peer review are the hallmarks of quality
control’ (Tribe, 1999).
Berdasarkan uraian di atas, sangat jelas bahwa lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam
mengembangkan pengetahuan kepariwisataan.

Pendikan Tinggi: akses dan adaptasi terhadap ilmu pengetahuan
Di era persaingan saat ini, Polloc (2004) mengidentifikasi empat dimensi utama yang
mempengaruhi dunia pekerjaan yaitu (1) digitisation, (2) Connectivity, Convergence and
Community (3) Interoperability dan (4) Automation. Dengan tekanan tersebut, setiap orang
dituntut untuk beradaptasi dengan cepat terhad pengetahuan baru. Cepatnya perubahan
pengetahuan, mempercepat inovasi dan perubahan teknologi, sehingga pendidikan harus mampu
menghasilkan lulusan yang berdaya adaptasi tinggi. Digitalisasi telah mengubah pengetahuan
menjadi hanya dua angka yaitu satu dan nol. Sedangkan konektivitas telah mendorong dunia
menjadi komunitas yang sangat sederhana.

Pendidikan Tinggi: mengelola pengetahuan
Pertumbuhan ekonomi pada abad 21 tidak lagi bertumpu pada komoditas, namun lebih didominasi
oleh pengembangan pengetahuan, inovasi dan komersialisasi (Australian Institute for
Commercialisation, 2002). Sehingga kemampuan mengelola pengetahuan benar-benar menjadi
asset dalam persaingan. Menurut Shariq (1997), kemakmuran nasional akan ditentukan oleh
kapabilitas intelektual nasional dan kemampuannya secara ekpertis dan investasi pada
pengetahuan.
Analog dengan hal itu, pengembangan pariwisata tidak hanya dikembangkan dengan pengalaman
semata-mata, namun pengaleman yang dipadukan dengan pengetahuan akan menghasilkan suatu
keahlian dan kapabilitas. Ini semua bisa terpenuhi apabila lembaga pendidikan tinggi menyadari
sepenuhnya betapa pentingnya pengelolaan pengetahuan.

11

Pendidikan Tinggi: tidak hanya vokasi
Menurut Airey (2003) pendidikan pariwisata saat ini berada pada titik di mana pendidikan sudah
cukup berbasiskan pada teori yang dengan mudah disampaikan melalui pelatihan vokasi dan
menyampaikannya kepada para mahasiswa pada kajian pengetahuan yang lebih luas dan
pendalaman teori. bagaimanapun program pendidikan pariwisata yang meninggalkan vokasi
dan/atau pengetahuan ekstradisipliner maka akan kehilangan pertumbuhan bidang vokasional.
Tantangan kuncinya adalah pendidikan pariwisata tidak untuk vokasional sempit dan sederhana
untuk memuaskan keinginan pekerja industri tetapi mengembangkan pengetahuan yang
merupakan kontribusi sukses terhadap pengembangan pariwisata secara keseluruhan. Satu dari
kekuatan terbesar dari pariwisata ialah bahwa posisi saat ini dapat menawarkan ekstradisipliner,
multidispliner sebagaimana pengetahuan interdispliner. Dengan berbasiskan pada pendekatan
tersebut maka akan mengasilkan sesuatu yang mengasikan, menantang dan area yang relevan dari
pendidikan yang merupakan kontribusi akademia bagi dunia pada abad 21.

Pendidikan Tinggi: Kontribusi untuk Pariwisata Berkelanjutan
Dukungan pendidikan terhadap pengembangan pariwisata berkelanjutan dapat dilihat dari
kurikulum pendidikan itu sendiri. Untuk saat ini, dari sejumlah pendidikan tingi pariwisata lebih
memfokuskan pada upaya untuk menyiapkan tenaga trampil untuk level menengah dan bawah.
Sedangkan untuk mencetak top manajemen masih sangat kurang. Disadari atau tidak, pendidikan
tinggi pariwisata di Indonesia seluruhnya berbasiskan vokasi, sehingga kontribusi bagi pengelolaan
pengetahuan sangat rendah.
Pengetahuan yang berasal dari industri (extradisciplinary) tampak lebih mewarnai pendidikan tinggi
pariwisata di Indonesia. Hal ini sangat berarti dalam mengembangkan pendidikan yang berbasis
vokasi. Warna ini sangat kental terlihat dari penggunaan kompetensi kerja sebagai acuan dalam
menyusun kurikulum dan proses pembelajaran.
Di sisi lain, kebutuhan untuk mengembangkan pariwiasata, pengelolaan daerah tujuan wisata,
innovasi produk pariwisata, memerlukan sumber daya berbasiskan akademik (bukan vokasi). Dari
pendidikan tinggi yang ada di Indonesia rasanya belum ada yang memfokuskan untuk itu. Oleh
karena itu, seiring dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan, maka kebutuhan sumber daya
manusianya perlu dipenuhi.

Menuju Pengelolaan Pendidikan Tinggi Pariwisata untuk Daya Saing
Di masa depan pengetahuan akan menjadi asset yang paling berharga yang menentukan arah masa
depan seseorang. Lembaga pendidikan sebagai institusi yang membentuk kapabilitas manusia
secara formal akan akan menghadapi tantangan yang sangat besar di masa-masa yang akan datang.

12

Menurut Gordon (1995) kompetisi ekternal pada tahun 2005 antara lain akan terjadi (1) pergeseran
akademik di dalam pendidikan menuju pendidikan yang tinggi, (2) adopsi secara luas oleh
perusahaan dan pekerja professional terhadap standar kompetensi nasional yang lebih tinggi, (3)
tumbuhnya penyedia program pendidikan maupun materi pendidikan.
Sementara itu menurut Mihardjo (1999) melihat kompetisi yang sangat ketat di berbagai bidang
kehidupan telah menimbulkan pergeseran poros dunia dari Barat ke Timur atau dari Eropa ke Asia
Timur. Pergeseran ini memberikan bentuk atau ciri pengembangan ilmu dan teknologi (iptek)
antara lain: (1) Sumber daya manusia yang diperlukan adalah tenaga kerja tukang yang memiliki
ketrampilan tinggi (highly-skilled craft worker) (2) Manajemen sumber daya manusia yang ditekankan
untuk mengendalikan proses produksi yang digerakkan dengan mengikuti aturan-aturan yang
berulang-ulang dan rutin, (3) Orientasi produksi yang bersifat massal, terpusat dan miskin akan
nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan bermasyarakat, (4) Kebutuhan spesialisasi yang sangat
dalam sehingga menimbulkan kekakuan atau kecanggungan bila harus berganti bidang pekerjaan
yang lain.
Untuk mengantisipasi hal itu, William and Fray (1994) merumuskan enam strategi pengelolaan
pendidikan tinggi sampai tahun 2004. Strategi tersebut adalah: (1) diversity and differentiation; (2)
graduate employment; (3) qualification and the organization of teaching quality; (4) Opportunities offered by
new technology; (5) Increasing income from the private sector; dan (6) staff recruitement.
Diversifikasi dan diferensiasi. Lembaga pendidikan tinggi yang hanya menawarkan satu macam
produk dipastikan akan segera mengalami stagnasi. Hal ini terjadi karena cepat berkembangnya
pengetahuan dan teknologi yang mengakibatkan cepat usangnya ilmu dan teknologi. Di samping
itu, produk pendidikan yang ditawarkan harus memberikan warna yang berbeda dengan
pendidikan lain yang sejenis. Ini dapat dicapai apabila institusi memiliki core competence, yaitu
sumber daya dan kemampuan yang dimiliki institusi sebagai sumber keunggulan bersaing
terhadap institusi pesainnya. Apabila core competencies yang dimiliki institusi memiliki keunggulan
superior dari pada institusi competitor-nya maka disebut distinctive competence.
Pemberdayaan lulusan. Penyerapan lulusan oleh industri selalu tidak sebanding dengan jumlah
banyaknya lulusan yang ditawarkan lembaga pendidikan tinggi. Terdapat dua kemungkinan yang
utama hal ini dapat terjadi. Pertama, kesempatan kerja yang ditawarkan lebih sedikit dibandingkan
dengan supply calon tenaga kerja yang akan mengisi jabatan pekerjaan tersebut. Kedua, lulusan
tidak memenuhi kriteria kompetensi yang dibutuhkan industri. Oleh karena itu, institusi harus
membentuk jaringan kerja secara luas guna menempatkan lulusannya.
Kualifikasi dan pengelolaan kualitas pembelajaran. Kualifikasi lulusan dapat ditentukan
berdasarkan tingkat kompetensi masing-masing, yang akan diperoleh melalui kualitas
pembelajaran yang memadai. Perluasan kualifikasi lulusan ini dapat memberikan kesempatan
mereka untuk memilih peluang kesempatan kerja yang lebih luas. Dengan demikian apabila
kemampuan mengelola kualitas pembelajaran dengan baik, suatu institusi pendidikan akan dapat
bersaing dengan institusi lainnya. Adanya kurikulum lokal yang lebih besar pada saat ini akan
mendorong institusi untuk menentukan distinctive competence dalam pembelajaran.
13

Peluang pemanfaatan teknologi baru.
Teknologi computer dan informatika ternyata telah
merubah dunia secara revolusioner. Tatanan pendidikan dipastikan berubah secara cepat. Learning
without walls, tampaknya sudah tidak dibendung lagi. Akankah pendidikan dalam kelas dapat
berlangsung? Ini tergantung pada kemampuan mengelola institusi ini menawarkan produk unggul
bagi para calon mahasiswanya.
Peningkatan pendapatan dari sector swasta. Dipastikan tidak akan mencapai kualitas baik apabila
orientasi pendidikan hanya mengejar kuantitas mahasiswa dan atau lulusan. Karena jumlah
mahasiswa sebagai sumber pendapatan institusi. Untuk itu, pendapatan di luara tuition fee harus
diusakan. Membentuk unit-unit bisnis strategis yang mendukung proses pembelajaran menjadi
suatu keharusan. Atau meningkatkan distinctive competence untuk menjadi research university. Salah
satau ciri research university adalah memiliki pusat kreativitas yang dapat digunakan sector swasta
sebagai penyumbang dana. Menurut Ginkel (1994) “the university will remain the centre of creativity
and innovation well into the middle if the next century, remain firmly fixed in the middle of society [but the]
university will look rather diffrenet from university… knowledge management will occupy the centre stage”
Rekruitmen Staf. Dalam isntitusi pendidikan, staf dikelompokkan menjadi stam pengajar dan non
pengajar. Staf pengajar sebagai motor utama dalam proses pembelajaran, sangat menentukan
kualitas lulusan. Dedikasi yang tinggi, kapabilitas yang memadai, profesionalime yang menjadi
dasar perekrutan akan mendorong institusi pendidikan memiliki distinctive competence. Williams
and Fry (1994) menyimpulkan: “The university of 2004 will be evolving towards one with a small core of
high quality full-time staff, more formally specialised than at present in terms of teaching and research skills,
under-taking core teaching themselves, but also acting as creators and facilitators of high technology learning
materials and forming the nodes of networks of part-time staff”.
Belajar dari porses pendidikan tinggi di Amerika, Bruce Johnstone (1993): “American higher education
in the last decade of the twentieth century faces escalating costs, uneven demographics, faltering revenues and
a serious erosion of public confidence–not of its fundamental importance, but of its institutional integrity and
stewardship. The failure to surmount these challenges could well lead to losses that are serious and
irrevocable”.

Catatan Penutup
Pendidikan pariwisata harus dikembangkan untuk membangun daya saing bangsa melalui
penguasaan pengetahuan, teknologi dan inovasi. Pariwisata yang memiliki peran penting perlu
ditunjang oleh kemampuan sumber daya yang tidak hanya dibekali pengalaman tetapi harus
dikombinasikan dengan pengetahuan.
Pengelolaan pengetahuan untuk membangun pariwisata agar tetap sustainable memerlukan kerja
keras dari semua kalangan baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung.

14

Daftar Pustaka
Airey D., (2002), ‘Growth and Change in Tourism Education’ Rethinking of Education and Training
for Tourism (ed) Vukonic B and Cavlek N, Graduate School of Economics and Business,
University of Zagreb, 2002, pp 13-22
Airey D., (2003) Tourism education the dilemma of succes? Tedqual 6/1, 2003.
Airey, D., (1995), Tourism Degrees -Past, Present and Future, Inaugural Lecture, 31 January 1995,
(Nottingham: Nottingham Business School).
Amit, R., & Schoemaker, P. J. (1993). Strategic assets and organisational rent. Strategic Management
Journal, 14(1), 33–46.
Bharadwaj, S., Varadarajan, P. R., & Fahy, J. (1993). Sustainable competitive advantage in service
indus-tries: A conceptual model and research propositions. Journal of Marketing, 57(4), 83–
89.
Birkinshaw, J., Morrison, A., & Hulland, J. (1995). Structural and competitive determinants of a
global integration strategy. Strategic Management Journal, 16(8), 637–655.
Burkart, A.J. and Medlik, S., (1974), Tourism, Past Present and Future, (London: Heinemann).
Butler, R.W., (1980), ‘The Concept of A Tourism Area Cycle of Evolution; impli-cations for
management of resources’, Canadian Geographer, 24(1): 5-12.
Collis, D. J. (1994). How valuable are organisational capabilities [special issue]. Strategic Managemet
Journal, 15, 143–152.
Davidson, W. H. (1980). The location of foreign direct investment activity: Country characteristics
and experience effects. Journal of International Business Studies, 12(3), 9–22.
Dickson, P. R. (1996). The statics and dynamics of competition: A comment on Hunt and Morgan’s
comparative advantage theory. Journal of Marketing, 60(4), 102–106.
Eduardo F, Garcia and Adela M. 2002. A Modest proposal: on the tourism policy and destination
management research programme. Tedqual 5/1, 2002.
Fahy, J. (1998). The role of resources in global competition. In G. Hooley, R. Loveridge, & D. Wilson
(Eds.), Internationalisation: Process, context and markets (pp. 122–135). London: McMillan Press.
Taofik, I. 1999. Indonesian recovery and Development. Makalah Seminar daya Saing Indonesia di Era
Global.
Jafari, J. 2002. Tourism education and training model, Getting to core of destination planning and
management. Tedqual 5/1, 2002.
McIntosh, RW and C. Goeldner. 1998. Tourism: principles, practices, philosophies. 5th ed. John Wiles &
Sons. Singapore
Mihardjo, M. 1999.
Morrison, A. J., & Roth, K. (1992). A taxonomy of business level strategies in global industries.
Strategic Management Journal, 13(6), 399–418.

15

Morrison, A. J., Ricks, D. A., & Roth, K. (1991). Globalisation versus regionalisation: Which way for
the multinational? Organisational Dynamics, 19(3), 17–29.
Murtha, T. P., & Lenway, S. A. (1994). Country capabilities and the strategic state: How national
political institutions affect multinational corporations’ strategies [special issue]. Strategic
Management Journal, 15, 113–129.
Oliver, R. W. (2000). New rules for global markets. Journal of Business Strategy, 21(3), 7–9.
Peteraf, M. A. (1993). The cornerstones of competitive advantage: A resource-based view. Strategic
Management Journal, 14(3), 179–191.
Pollock, Anna. 2004. Tourism: A New Role in a New Century. Keynote Speaker PATA Conference,
Korea.
Porter, M. E. (1986). Competition in global industries: A conceptual framework. In M. E. Porter (Ed.),
Competition in global industries (pp. 15–60). Boston, MA: Harvard Business School Press.
Ruhanen, L. Chris Cooper. 2002. Developing a knowledge management approach to tourism research.
Tedqual 6/1, 2003.
Travelers’ Use of the Internet (2002), Travel Industry of America (TIA). Available:
http://www.tia.org/
Tribe, J., (1997), ‘The Indiscipline of Tourism’ Annals of Tourism Research 24(3): 628-657.
Tribe, J., (1999), The Philosophic Practitioner: Tourism Knowledge and the Curriculum, (London:
University of London, unpublished PhD thesis).
Tribe, J., (2000), ‘Balancing the vocation-al: the theory and practice of liberal edu-cation in tourism’
Tourism and Hospitality Research 2(1) 2000: 9-25.
UNESCO World Heritage Website (2003, June) [Online]. Available: http://whc.unesco.org/.
USAID

Website (2003, June).
www.raise.org/tourism.

Tourism

Rapid

Assessment.

[Online].

Available:

Walker, J. R., 2002. Introduction to Hospitality. 3rd edition. Prentice Hall. New Jersey.
Weick, K. E. (1979). The social psychology of organising. Reading, MA: Addison-Wesley.
World Tourism Organization (2002). Voluntary Initiatives for Sustainable Tourism. Madrid, Spain.
World Travel and Tourism Council (2003, June). Steps to Success. [Online]. Available:
http://www.wttc.org/resourceCentre/publi cations.asp.
WTO. 1997. International Tourism: a Global Perspective. WTO Education Network. Madrid.

16

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

ANALISIS VALIDITAS BUTIR SOAL UJI PRESTASI BIDANG STUDI EKONOMI SMA TAHUN AJARAN 2011/2012 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN JEMBE

1 50 16

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Kontribusi sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control terhadap intensi berselingkuh

3 60 92

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

1 56 92

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TANJUNG KARANG PERKARA NO. 03/PID.SUS-TPK/2014/PT.TJK TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DANA SERTIFIKASI PENDIDIKAN

6 67 59