BAB 1 PENDAHULUAN - Kerjasama Lembaga Pemerintah Daerah dengan DPRD dalam Pembuatan Peraturan Daerah di Kabupaten Dairi Tahun 2009-2014

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Sistem Demokrasi diberbagai negara di dunia menerapkan konsep trias

  

politica sebagai pelengkap dalam pemerintahan. Baik demokrasi dan konsep trias

politica merupakan dua hal saling mendukung satu dengan yang lainnya. Dalam

  perkembanganan pemikirannya, konsep teori Trias Politica itu adalah sebuah doktrin tentang pembagian kekuasaan (Distribution of power). Baik pemisahan kekuasaan (saparation of power) maupun pembagian kekuasaan (distribution of

  

power ) mempunyai argumentasi yang didasarkan kepada kontekstualitas yang

  1 berbeda.

  Pemisahan kekuasaan ataupun pembagian kekuasaan seperti yang dijelaskan sebelumnya memang memiliki perbedaan, namun penggunaan salah satu konsep

  

Trias Politica tersebut bertujuan untuk menciptakan sebuah pemerintahan yang

  baik (good governance). seperti halnya di Indonesia, Menurut Undang-Undang dasar 1945 disimpulkan bahwa Indonesia menganut sistem Trias Politica.

  Sejarah mencatat bahwa teori ini dikemukakan oleh Jhon Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755).

  Konsep Trias Politica yang menyatakan adanya pemisahan kekuasaan negara menjadi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif 1                                                               P. Antonius Sitepu, 2012. Teori‐Teori Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 69.  tentunya memiliki tugas dan fungsi pokok yang berbeda. Posisi setiap kekuasaan negara tersebut sejajar dan sama kuat dalam menjalankan roda pemerintahan.

  Namun walaupun memiliki tugas masing-masing, setiap elemen pemerintahan tersebut harus tetap saling terhubung dan saling membutuhkan agar tidak ada ketimpangan diantara ketiganya yang dapat mengganggu kestabilan negara.

  Setelah 68 tahun Negara Republik Indonesia merdeka, demokrasi sebagai sebagai sistem politik di Indonesia masih jauh dari harapan dan cita-cita bangsa yang tertuang dari UUD 1945. Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi

  2

  sejarah Indonesia dapat dibagi kedalam empat masa, yaitu : 1.

  Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi (Konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai yang karena itu dinamakan demokrasi parlementer.

  2. Masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya, dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat.

  3. Masa Republlik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa demokrasi pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. 2                                                               Miriam Budiardjo, 2008. Dasar‐Dasar Ilmu poliitik, Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia, Hal 127. 

  4. Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang), yaitu masa reeformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktek-praktek politik yang terjadi pada masa republik Indonesia III. Dari antara periode tersebut, demokrasi yang lebih baik iyalah yang dimulai sejak runtuhnya rezim Orde baru dan digantikan dengan Era Reformasi. Banyak perubahan fenomena politik yang terjadi dalam sistem politik di Indonesia. Salah satunya adalah sistem sentralisasi yang digantikan dengan sistem disentralisasi.

  Demokratisasi dan aktivitas-aktivitas politik sudah lebih terbuka, bukan hanya di pemerintahan pusat. Daerah-daerah yang dulunya berada dibawah komando pusat kini diharapkan harus mampu berdiri sendiri dalam membangun daerahnya masing-masing tanpa campur tangan pusat yang berlebihan.

  Setelah perubahan sistem sentralistik digantikan dengan sistem disentralisasi, hubungan antara ketiga lembaga negara kembali menghirup angin segar. Jika kita menyorot pada kembali kepada masa Presden Soeharto, kekuasaan eksekutif sangat mendominasi dan bahakan memilki fungsi legislasi nasional berada pada presiden. Namun pada Era Reformasi, Keterlibatan lembaga eksekutif dalam hal pembuatan konstitusi dikarenakan adanya perubahan pertama terhadap UUD 1945 yang terjadi pada 19 oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR yang berlangsung tanggal 14-21 oktober 1999. Dalam perubahan ini, terjadi pergeseran kekuasaan presiden (eksekutif) dalam membentuk undang-undang, yang diatur dalam pasal 5. Berubah menjadi presiden (eksekutif) berhak mengajukan rancangan undang-undang, dan dewan perwakilan rakyat memegang kekuasaan

  3 membentuk undang-undang (pasal 20).

  Otonomi daerah menjadi salah satu dampak sistem disentralisasi merupakan suatu fenomena yang sangat mempengaruhhi perpolitikan di Negara Indonesia.

  Perubahan masa sentralisasi yang sangat identik dengan masa pemerintahan Orde Baru secara spontan digantikan oleh sistem disentralisasi yang dianggap paling tepat untuk membantu pembangunan disetiap daerah. Setiap aparat pemerintahan baik itu legislatif, yudikatif dan eksekutif di daerah tingkat I maupun II kini sudah lebih memiliki tanggungjawab. Jika dilihat dari sejarah perjalan Otonomi daerah tersebut, titik berat otonomi daerah tingkat II (kabupaten dan kotamadya) yang

  4 merupakan amanah pasal 11 ayat 1 UU No.5 tahun 1974 belum terwujud.

  Kebijakan disentraliasi (politik dan fiskal) kemudian berlanjut dengan dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah.

  Kemampuan dari setiap daerah untuk menentukan arah jalannya pemerintahan tentunya harus didukung oleh kemampuan dari setiap aparat yang mengambil bagian dalam pemerintahan. Posisi legislatif, eksekutif dan yudikatif daerah harus berada pada jalur yang tepat agar tidak terjadi penyimpangan kekuasaan dalam lembaga pemerintahan tersebut. Hubungan dari setiap lembaga 3                                                               Ni’matul Huda,2006. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal 

  166 4 ‐167.   Syamsuddin Haris, 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: desentralisasi, Demokratisasi dan  Akuntabilitas  Pemerintah Daerah, Jakarta: LIPI Press. Hal 4.   harus benar-benar tetap terjaga agar mampu saling mendukung dalam pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing lembaga. Fungsi pemerintah sebagai pembentuk dan pelaksana kebijakan publik diantaranya adalah dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (perda). Pembuatan perda ini sendiri yang menjadi

  Jika kita mengarah pada pemerintahan di daerah Kabupaten Dairi, proses pembangunan masih kurang menunjukkan perkembangan dari tahun ketahun.

  Peraturan Daerah yang menjadi diskusi panjang antar lembaga pemerintahan yang sangat penting terutama bagi lembaga Pemerintah Daerah dan DPRD. Peran kedua lembaga ini tidak lepas dari kepentingan-kepentingan politik di daerah Kabupaten Dairi. Pemilihan kepalah daerah yang pada Pilkada tahun 2008 yang memenangkan pasangan KRA.Jhonni Sitohang Adinegoro dan Irwansyah Pasi yang merupakan usungan partai Golongan Karya (Golkar). Sebagai kepala daerah atau yang menduduki jabatan tertinggi dalam eksekutif di daerah tigkat 2, bupati memiliki wewenang untuk mengajukan rancangan Peraturan Daerah.

  Jika menyoroti struktur lembaga DPRD di Kabupaten Dairi, sebanyak 30 kursi DPRD telah di isi oleh orang-orang yang dilatarbelakangi dari partai-partai politik yang sangat beragam. Berikut susunan keanggotaan DPRD Kabupaten Dairi :

  

Tabel. 1.1

Perolehan kursi DPRD Kabupaten Dairi

Tahun 2009-2014

  No Nama partai Perolehan kursi

  1. PNKB

  1

  2 PPRN

  2

  3 P.Barnas

  1

  4 PAN

  2

  5 PDK

  4

  6 Pelopor

  1

  7 GOLKAR

  4

  8 PDS

  1

  9 PNBKI

  1

  10 PDIP

  4

  11 P. Patriot

  1

  12 P. Demokrat

  4

  13 PKDI

  1

  14 P. Merdeka

  1

  15 P. Buruh

  2

  

(Sumber: adaptasi dari data DPRD Kabupaten Dairi)

  Dari keseluruhan anggota DPRD Kabupaten Dairi, perwakilan dari partai Golkar yakni Dra. Delpi Ujung terpilih sebagai ketua DPRD Kabupaten Dairi.

  Dari beragammnya latarbelakang setiap anggota legislatif tersebut, sangat rentan akan terjadinya interpensi kepentingan. Ketika tarik menarik kepentingan mulai berbicara dalam perjalanan perpolitikan, tentunya akan mempengaruhi kinerja masing-masing lembaga. Jika melihat kinerja lembaga legislatif, DPRD Kabupaten Dairi dalam hal pembuatan Praturan Daerah masih tergolong kurang produktif. Dari hasil diskusi dengan salah satu anggota DPRD Kabupaten Dairi, beliau mengatakan bahwa pembuatan peraturan Dearah merupakan tugas dari DPRD, namun rancangan usulan perda yang akan dibuat ada yang berasal dari lembaga eksekutif dan dari lembaga legislatif sendiri. Namun jika kita berbicara mengenai pembangunan, sumber pendaanaan yang digunakan secara langsung berasal dari APBD daerah. Sehingga sebagai lembaga yang memiliki fungsi

  

budgeting, DPRD memiliki peran yang juga sangat penting dalam penyusuna

Perda tersebut.

  Ditengah kurang produktifnya kedua lembaga ini dalam membuat Peraturan daerah tentunya memberikan pertanyaan mengenai kinerja dari kedua lembaga tersebut. Keinginan penulis untuk meneliti relasi kekuasaan kedua lembaga tersebut Dalam proses pembuatan Peraturan Daerah dirasa penting untuk diangkat. Peraturan Daerah No.07 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2009-2014 ini bisa disepakati dan disahkan oleh lembaga legislatif dan eksekutif menjadi study kasus yang tepat untuk diteliti. Dengan dikeluarkannya Perda tersebut, suatu point yang bisa dilihat bahwa sebenarnya pada momen-momen tertentu baik lembaga legislatif dan eksekutif mampu bekerjasama. Hal ini seharusya dijadikan contoh dan pelajaran dalam pembuatan peraturan daerah lainnya. Secara sgkat perda No.07 Tahun 2009 iini berisiskan tentang motto kerja pemerintahan dan rencana pembangunan infrastuktur yang akan dijalankan oleh lembaga eksekutif.

  Ketertarikan peneliti untuk mengangkat pembahasan mengenai kerjasama yang terjadi antara lembaga Pemerintah Daerah Kabupaten Dairi dengan DPRD Kabupaten Dairi dalam hal pembuatan peraturan daerah. supaya kita sebagai masyarakat mengetahui dan mengerti kinerja dari setiap lembaga pemerintahan.

  Karena kita ketahui bersama masyarakat yang merupakan objek dari kebijakan publik yang di tetapkan oleh pemerintah baik itu peraturan daerah dan peraturan- peraturan lainnya. Dengan demikian lembaga Pemerintahan Kanupaten Dairi dan DPRD Kabupaten Dairi sebagai aparatur pemerintahan Daerah mampu bekerjasama dalam pembuatan Peraturan daerah tujuan akhirnya adalah mensejahterakan rakyatnya dengan menjalankan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance).

1.2 Rumusan masalah

  Dalam pembuatan sebuah penelitian, permasalahan yang diangkat seorang peneliti merupakan unsur yang sangat penting. Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting, dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah yang menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu

  

5

  dijawab atau dicari jalan pemecahannya. Masalah peneliitian harus tampak dan dirasakan sebagai suatu tantangan bagi peneliti untuk dipecahkan dengan mempergunakan keahlian atau kemapuan profesonalnya, yang tidak mungkin diselesaikan oleh semua orang, khususnya orang-orang diluar disiplin ilmu yang

  6 berkenaan dengan masalah tersebut.

  Oleh sebab itu, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1.

  Bagaimana proses kerjasama yang terjadi antara Pemerintah Daerah

  dengan DPRD Kabupaten Dairi dalam pembuatan Peraturan daerah?” 2.

  Apa saja yang masalah yang terjadi dalam pembuatan Peraturan

  Daerah di Kabupaten Dairi?

1.3 Pembatasan Masalah

  Pembatasan masalah berfungsi untuk untuk membatasi pembahasan yang diangkat dalam sebuah karya ilmiah/penelitian agar tidak melebar dan tetap pada jalur permasalahan yang akan diteliti. Yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini adalah objek penelitian yang dilakukan fokus pada kerjasama yang melibatkan lembaga Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Dairi dalam proses pembuatan Peraturan Daerah sebagai salah satu contoh dari peraturan Daerah yang telah dibentuk yakni No.07 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kbupaten Dairi Tahun 2009-2014 di Kabupaten Dairi. 5                                                              6  Husni Usman dan Pramono, 2000. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Bumi Aksara. Hal.26   Hadari Nawawi dan Martini Hadari. 2006. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: 

  Gadjah  Mada University Press. Hal.24. 

1.4 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan yang ingin dicapai atau didapatkan dari penelitian ini adalah: 1.

  Untuk mengetahui tahap-tahap pembuatan Peraturan daerah di Pemerintahan Daerah tingkat II (dua).

  2. Untuk mengetahui peran dan proses kerjasama yang terjadi antara lembaga Pemerinta Daerah dan DPRD dalam pembuatan Peraturan Daerah.

3. Untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi oleh lembaga Pemerintah Daerah dan DPRD dalam membuat Peraturan Daerah.

1.5 Manfaat Penelitian

  Dalam penelitian ini, manfaat yang akan diperoleh adalah sebagai berikut: 1.

  Secara akademis penelitian ini bermanfaat sebagai penambah referensi bagi para mahasiswa, khususnya Departemen Ilmu Politik – FISIP USU 2. Bagi penulis penelitian ini sangat bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan berfikir dan menulis karya ilmiah di bidang politik dengan melihat fenomena politik yang terjadi.

  3. Hasil penelitian ini dapat menambah informasi dan pengetahuan tentang gambaran kerjasama yang terjadi antara lembaga pemerintah daerah dan DPRD dalam pembuatan peraturan daerah, serta menjadi sumbangan pemikiran bagi semua kalangan dalam membuat penelitian mengenai relasi kekuasaan.

1.6 Kerangka teori

  Sebagai penelitian yang baik dan benar, landasan teori merupakan suatu yang sangat penting dalam penulisan karya ilmiah. Fungsi dari teori ini sendiri digunakan sebagai suatu landasan berpikir dalam menganalisis sebuah fenomena yang sedang diteliti. Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep dan kontruksi defensi dan proposis untuk menerangkan sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep. Dengan kata lain, teori adalah hubungan

  7 suatu konsep dengan konsep lainnya untuk menjelaskan fenomena tertentu.

  Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah sebagai berikut:

1.6.1 Teori kebijakan Publik

  Kebijakan publik adalah keputusan atau peraturan yang dibuat oleh yang berwenang untuk mengatasi masalah publik, sehingga diharapakan tujuan organisasi dapat dicapai dengan baik. Ciri-ciri utama kebijakan publik adalah suatu peraturan dan ketentuan yang diharapkan dapat mengatasi masalah publik.

  Cochran dan Malone mengemukakan: Public policy is the study of goverments decision and actions designed to del with mtter of public concern”.

  Dari pengertian yang dikemukakan sebelumnya, maka keputusan menteri, keputusan Direktoral Jendral, Keputusan Direktur Depertemen dan peraturan Daerah sekalipun pada dasarnya adalah merupakan Public Policy. Dye mendefenisiskan kebijakan publik sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah, bagaimana mengerjakannya, mengapa perlu dikerjakan dan perbedaan apa yang 7                                                               Masri Singarimbun & Sofian Ependi. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta : LP3ES. Hal. 37  dibuat. Dye seperti yang dikutip oleh Winarno berpandangan lebih luas dalam merumuskan pengertiankebijakan, yaitu sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever goverments choose to do or

  8 not to do). kebijakan publik merupakan proses penggunaan kewenangan negara yang bereksperimen terhadap nasib orang banyak. Dari pemaknaan tersebut, para ilmuwan

cenderung melakukan simplifikasi terhadap teori kebijakan publik sehingga

mengakibatkan permasalahan di level implementasi. Para ilmuwan telah banyak

melakukan pemaknaan terhadap kebijakan publik tersebut namun sebagian besar

proses itu bias ilmuwan dan justru dimanfaatkan sebagai instrumen bagi kenyamanan penguasa.

  Setidaknya terdapat empat lapis pemaknaan dari kebijakan publik. Yang

pertama adalah memahami kebijakan publik sebagai decision making. Kedua,

kebijakan dimaknai sebagai serangkaian fase kerja pejabat publik. Ketiga, kebijakan

publik bisa berupa ‘intervensi’ sosio kultural dengan mendayagunakan berbagai

instrumen untuk mengatasi persoalan publik. Sedangkan lapis pemaknaan yang paling

dalam adalah bagaimana memahami kebijakan publik sebagai interaksi negara

dengan rakyatnya dalam rangka mengatasi persoalan publik.

  Melalui keempat lapis pemaknaan di atas, tulisan ini akan mencoba melakukan

klasifikasi terhadap pemaknaan yang telah banyak dilakukan para ilmuwan dalam

teori-teori kebijakan publiknya. Klasifikasi tersebut akan menunjukkan bahwa 8                                                               Budi Winarno 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo. Hal. 39  sebagian besar ilmuwan masih banyak yang justru mereduksi esensi kebijakan publik sebatas pada lapis pemaknaan yang sempit.

a. Kebijakan Publik sebagai Suatu bentuk Decision Making

  Erwan Agus purwanto (1997) dalam tesisnya berpendapat bahwa kebijakan

publik selalu berhubungan dengan keputusan-keputusan pemerintah yang sangat

berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat melalui instrumen-instrumen kebijakan

yang dimiliki oleh pemerintah berupa hukum, pelayanan, transfer dana, pajak dan

  9 anggaran-anggaran.

  Graham Allison(1971) dalam Lele (1999), Kebijakan publik merupakan hasil kompetisi dari berbagai entitas atau departemen yang ada dalam suatu negara dengan

lembaga-lembaga pemerintahan sebagai aktor utamanya yang terikat oleh konteks,

  10 peran, kepentingan, dan kapasitas organisasionalnya.

  Menurut Carl Friedrich, kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu

yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap

kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai

  11

suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu. Dalam hal ini,

pemerintah berhak memberi hambatan dan kesempatan terhadap kebijakan tersebut.

  

Pemerintah masih bisa dikatakan otoritatif meskipun kebijakan tersebut memiliki

9                                                               Safrina, Dian. Skripsi: Studi Formulasi Kebijakan.Studi Kasus: Penentuan Harga Crude Palm Oil di Sumatra Utara. Jurusan Administrasi Negara, UGM: 2003. hal.19 10

    11  Ibid, Hal.22    Winarno, Budi. Op. Cit, hal 36. 

  

tujuan dan sasaran demi kepentingan masyarakat. Kebijakan publik merupakan

arahan-arahan yang bersifat otoritatif untuk melaksanakan tindakan-tindakan

pemerintahan di dalam yurisdiksi nasional, regional, dan local.

  William N. Dunn merumuskan kebijaksanaan publik sebagai berikut:

Kebijaksanaan Publik (Public Policy) adalah pedoman yang berisi nilai-nilai dan

norma-norma yang mempunyai kewenangan untuk mendukung tindakan-tindakan

pemerintah dalam wilayah yurisdiksinya. Konsep kebijaksanaan publik menurut

David Easton sebagai berikut: Alokasi nilai yang otoritatif untuk seluruh masyarakat

akan tetapi hanya pemerintahlah yang dapat berbuat secara otoritatif untuk seluruh

masyarakat, dan semuanya yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau untuk

tidak dikerjakan adalah hasil-hasil dari alokasi nilai-nilai tersebut. Meskipun definisi

ini bisa juga diklasifikasikan dalam pemaknaan kebijakan sebagai bentuk intervensi,

namun nuansa kebijakan yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan maupun tidak

dikerjakan masih kental dalam definisi ini.

b. Kebijakan Publik sebagai Serangkaian Fase Kerja Pejabat Publik

  Randall B. Ripley menganjurkan agar kebijakan publik dilihat sebagai suatu

proses dan melihat proses tersebut dalam suatu model sederhana untuk dapat

memahami konstelasi antar aktor dan interaksi yang terjadi di dalamnya. James, A.

Anderson, “…….a purposive course of action followed by an actor or set of actors in

dealing with a problem or matter concern. ” (serangkaian tindakan yang mempunyai

tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok

  12

pelaku guna memecahkan suatu masalah. Dalam konteks definisi ini, seorang atau

sekelompok pelaku bisa disamakan dengan pemerintah atau pejabat publik.

  

Selanjutnya, Anderson mengatakan bahwa public policies are those policies

developed by governmental bodies and official (kebijakan negara adalah

kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh badan dan pejabat-pejabat

pemerintah).

  Charles O’Jones, istilah kebijakan (policy term) digunakan dalam praktek

sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang

sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan (goals), standard,

  12

proposal, dan grand design. William Jenkins, kebijakan publik adalah sebuah

rangkaian yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau

sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara

untuk mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan itu pada prinsipnya masih

berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan daripada aktor tersebut. Woll

(1966), kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan

masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang

  13 mempengaruhi kehidupan masyarakat. 12                                                               Anderson, James, Public Policy‐making, Second edition, Holt, Rinehart and Winston: 1979  dalam  Islamy, Irfan, Prinsip‐Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Cetakan 12, Bumi Aksara, 

  Jakarta:2003. 13  Hal, 37  Tangkilisan,   Drs Hessel  Nogi  S,  2003.  Kebijakan  Publik  yang  Membumi.  Yogyakarta:  Lukman  Offset

   YPAPI, hal.2     

  c. Kebijakan Publik sebagai Proses Intervensi Sosio Kultural Sulit mengklasifikasikan beberapa definisi dalam kelompok ini karena proses

intervensi yang dilakukan pemerintah dalam pemecahan masalah sosial yang terlihat

dari kata kunci dalam beberapa definisi dan teori masih sangat tergantung pada

keputusan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan. Proses

intervensi lebih banyak menjadi salah satu bentuk pemaknaan kebijakan dalam

klasifikasi administratif atau berbentuk decision making. Seperti halnya definisi dari

Easton, kebijakan publik dimaknai sebagai alokasi nilai unutk seluruh masyarakat,

namun dalam hal ini, pemerintah masih bersifat otoritatif terhadap kebijakan tersebut.

  d. Kebijakan Publik sebagai Interaksi Negara dan Rakyatnya John Erik Lane (1995) dalam Lele (1999) membagi wacana kebijakan publik ke

dalam beberapa model pendekatan, yaitu (1) pendekatan demografik yang melihat

adanya pengaruh lingkungan terhadap proses kebijakan. (2) model inkremental yang melihat formulasi kebijakan sebagai kombinasi variabel internal dan eksternal dengan tekanan pada perubahan gradual dari kondisi status quo. (3) model rasional. (4) model

garbage can dan (5) model collective choice aksentuasinya lebih diberikan pada

  14 proses atau mekanisme perumusan kebijakan.

  Pendekatan dalam memahami kebijakan publik yang diungkapkan di sini,

selain memaknai kebijakan publik sebagai mekanisme dan proses yang bersifat

teknokratis, pendekatan tersebut juga berusaha unutk menjelaskan relasi atau

14                                                               Gabriel Lele, 1999. Post Modernisme dalam Pengembangan Wacana Formulasi Kebijakan.  Jurnal

 Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogyakarta: hal 22. 

  

kombinasi faktor internal, dalam arti pemerintah dan faktor eksternal yaitu

masyarakat. Dari pendekatan tersebut, bisa dilihat bagaimana pemerintah mencoba

keluar dari sifat otoritatifnya dan berusaha untuk berinteraksi dengan masyarakat.

Fauzi Ismail, dkk dalam bukunya menyatakan bahwa kebijakan publik adalah bentuk

menyatu dari ruh negara, dan kebijakan publik adalah bentuk konkret dari proses

persentuhan negara dengan rakyatnya. Kebijakan publik yang transparan dan

partisipatif akan menghasilkan pemerintahan yang baik. Paradigma kebijakan publik

yang kaku dan tidak responsif akan menghasilkan wajah negara yang kaku dan tidak

responsif. Demikian pula sebaliknya, paradigma kebijakan publik yang luwes dan

responsif akan menghasilkan wajah negara yang luwes dan responsif pula.

e. Definisi yang cenderung bias dan tidak dapat dikelompokkan dalam keempat lapis pemaknaan.

  Robert Eyestone memberi makna kebijakan publik sebagai hubungan suatu unit

pemerintah dengan lingkungannya. Definisi ini cenderung bias karena Robert dalam

definisinya tidak memberikan penjelasan tentang pengertian “hubungan” dan

lingkungan yang dimaksud. Hubungan tersebut bisa dimaknai sebagai hubungan yang

interventif atau hubungan yang bersifat interaktif dengan lingkungan, yaitu

masyarakat. Definisi ini sangat luas cakupannya sehingga apa yang dimaksud dengan kebijakan publik tersebut bisa meliputi banyak hal.

  Chief J. O Udoji (1981), kebijakan publik merupakan suatu tindakan bersanksi

yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau

sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi sebagian

  

besar warga masyarakat. Tindakan bersanksi di sini bisa dilakukan pemerintah

dengan otoritas dan kewenangannya, namun definisi ini tidak dengan konkret

menjelaskan baik aktor maupun proses dalam pembuatan kebijakan tersebut.

Kebijakan publik adalah membangun masyarakat secara terarah melalui pemakaian

kekuasaan (doelbewuste vormgeving aan de samenleving door middle van

  15

machtsuitoefening) . Definisi ini tidak menjelaskan bagaimana membangun

masyarakat yang terarah apakah dengan intervensi atau dengan interaksi antara

penerintah dengan masyarakat.

  Dari klasifikasi beberapa definisi yang dikemukaan para ilmuwan di atas,

terlihat bahwa pemaknaan kebijakan publik masih didominasi dan terbatas pada

pemaknaan dalam level administratif dan teknokrtis. Kebijakan publik masih berada

dalam lingkup otoritas negara. Beberapa definisi di atas tidak ada yang bisa

dikelompokkan dalam lapis pemaknaan ketiga yang memaknai kebijakan publik

sebagai intervensi soaio kultural dengan mendayagunakan berbagai instrumen unutk

mengatasi persoalan publik. Selain itu, terdapat beberapa definisi yang bias sehingga sulit unutk menentukan tujuan dan sasaran di level implementasi.

  Permasalahan kebijakan publik ternyata tidak hanya berada dalam level implementasi

tetapi juga pada level teori. Pemerintah cenderung masih menggunakan

kewenangannya secara penuh dalam menentukan kebijakan publik tanpa adanya

15                                                               A. Hoogerwerf, Politicologie : Begrippen en Problemen (Alpen aan den Rijn, Samson Uitgeverij,  1972),

 hal.. 3 8‐39 dalam skripsi Ari Dwi Astuti, ”Selamat Pagi Bupati”: Studi Tentang Efektifitas 

  Sosialisasi  Kebijakan Pemda Kebumen Melalui Siaran Radio, Jurusan Ilmu Pemerintahan, UGM,  2004   interaksi dan proses diagnosis terhadap permasalahn-permasalahan dan konflik dalam masyarakat.

1.6.2 Teori Trias Politica

  Konsep Trias Politica ini sendiri adalah bagian dari perkembangan dari teori kekuasaan. Penerapan Trias Politica adalah sebuah ide bahwa sebuah

  

pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang

  bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak. Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Doktrin ini pertama sekali dikemukakan oleh John Locke (1632-1755) dan Montesque

  16 (1689-1755) dan pada taraf itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan.

a. Jhon locke (1632-1755)

  Jhon Locke merupakan seorang filsuf berkebangsaan Ingris yang lahir pada

  29 Agustus 1632, di Wringthon sebuah desa di Somerset utara, Ingris Barat dekat Bristol Ingris dengan keadaan keadaan di negeri ini masa itu tragis dan Ironis, sebab negara Eropa abad XVII dilanda perang agama kaum Katolik dengan

17 Protestan. sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu politik maupun sosial

  melalui karya-karya yang telah dibuatnya. Keterlibatannya dalam memberi sumbangsi pemikiran akan teori asal mula negara menjadikannya salah satu ahli 16                                                              17  Miriam Budiardjo, Op.cit. hal. 282   Firdaus Syam, 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Bumi Aksara. Hal.126  terbesar dalam 4 ilmuan yang mengemukakan teori kontrak sosial (the contract

  

social theory). Selain dalam teori kontrak sosial, Jhon locke juga memberi

sumbangsi pemikiran dalam konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers).

  Pada dasarnya Jhon Locke memisahkan kekuasaann menjadi tiga bagian yang memiliki tugas masing-masing. Kekuasaan lembaga tersebut secara langsung maupun tidak langsung harus berdiri sendiri. Menurut Jhon Locke, kekuasaan dibagi menjadi lembaga eksekutif (eksekutif power), lembaga legslatif (legislatif

  power) dan lembaga federatif (federatif power).

  Pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang dikemukakan oleh Jhon Locke tersebut memliki fungsi-funsi yang secara umum yaitu; 1. lembaga legislatif yang berfungsi sebagai pembuat undang-undang maupun peraturan funda mental negara yang menjadi dasar pelaksaanaan kinerja lembaga eksekutif. Bidang legislatif tidak dapat dialihkan kepada siapa pun atau lembaga apa pun, sebab kekuasaan legislatif adalah manifestasi pendelegasian rakyat kepada negara.

  18 Legislatif sebagai

  lembaga perwakilan rakyat diyakini sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk menyusun aturan-aturan pemerintah sebagai wujud kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Undang-undang yang telah dibuat selanjutnya akan menjadi landasan lembaga eksekutif dalam melakukan tugasnya sebagai lembaga yang menjalankan roda

                                                               18  Ibid, Hal.136  pemerintahan. Oleh sebab itu, lembaga legislatif harus benar-benar melakukan tugasnya dengan mengatas namakan rakyat dan diharapkan tidak ikut serta menekan kepentingan rakyat. Dimana lembaga legislatif dapat dikatakan sebagai penghubung antara kepentingan rakyat dengan penguasa.

  2. Lembaga eksekutif yang berfungsi sebagai pelaksana undang-undang yang telah dbentuk oleh lembaga Legislatif. Dalam pemahaman Jhon Locke, sebagai lembaga pelaksana undang-undang dan peraturan-peraturan yang di bentuk lembaga legislatif, eksekutif secara langsung juga memiliki fungsi sebagai badan pengawas ataupun peradilan. Locke memandang mengadili itu sebagai uitvoering, yang termasuk pelaksanaan undang-

  19

  undang. Lembaga eksekutif dapat dikatakan sebagai lembaga yang sangat sentral posisinya dalam roda pemerintahan. Meskipun kinerja lembaga ini diawasi oleh lembaga lain, lembaga eksekutif masih memiliki wewenang (authority) untuk memutuskan langkah apa yang akan dilakukan dalam menjalankan pemerintahan.

  3. Lembaga federatif, yakni kekuasaan yang terkait dengan masalah hubungan luar negeri, mementukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara serta transaksi dengan negara asing. Locke tidak memasukkan kekuasaan federatif ke dalam kekuasaan eksekutif dengan alasan praktis.

  Untuk menjaga agar kekuasaan dapat berjalan dengan baik,maka masing- 19                                                                Miriam Boediardjo, op cit. Hal. 282  masing lembaga ataui nstitusi negara harus dipegang oleh orang-orang

  20

  yang berbeda. Kekuasaan federatif ini dirasa penting karena dipengaruhi oleh keadaan poliitik antarbangsa yang sangat rawan akan peperangan.

  Panasnya hubungan antarnegara mempengaruhi pemikiran Jhon locke untuk membagi kekuasaan federatif sebagai satu lembaga yang fokus mengurus hubungan negara dengan negara lain baik itu dalam hal kerjasama maupun peperangan.

b. Montesquieu (1689-1755)

  Charles Louis de Secondant Baron de Montesquieu yang lebih dikenal dengan Montesquieu, lahir di Bordeux, Prancis, tahun 1689. Beliau merupakan tokoh yang selanjutnya mengembangkan teori Trias Politica yang sebelumnya dikemukakan oleh Jhon Locke. Meskipun tetap membagi kekuasaan menjadi 3 lembaga yang terpisah, Jhon Locke dan Montesquieu tetap memiliki pandangan yang berbeda. Sebagaimana yang telah dikemukakan Jhon Locke, pemisahan kekuasaan versi Montesqueiu yakni kekuasaan Legislatif dan eksekutif tetap ada. Namun yang menjadi pembeda yakni penggantian kekuasaan federatif menjadi yudikatif. Montesquieu sendiri mengemukakan bahwa pembagian kekuasaan (distribution of powers) bukan berarti pemisahan kekuasaan secara mutlak (separation of powers), sebab masih adanya saling pengaruh antar badan-badan

  21 yang mengendalikan masing-masing pilar suprastruktur politik tersebut. 20                                                              21   Firdaus Syam, op.cit. Hal. 137    Ibid, Hal. 146  Penerapan pembagian kekuasaan ini yang kemudian diterapkan di negara Amerika serikat.

  Secara teoritis, fungsi dari lembaga-lembaga suprastruktur politik legislatif dan eksekutif yang dikemukakan oleh Jhon Locke masih memiliki kesamaan, hanya saja lembaga ketiga yakni yudkatif. Berikut penjelasan dari konsep Trias

  Politica menurut pandangan Montesquieu: 1.

  Lembaga legslatif, merupakan lembaga yang menjadi lambang keterlibatan rakyat dalam suatu negara. Untuk menjaga kekuasaan yang sifatnya obsolut dan hanya menguntungkan pihak penguasa, dibutuhkan suatu lembaga yang berperan sebagai mediator raktyat dengan penguasa, sebagai komunikator serta agregator aspirasi dari kepentingan orang banyak. Lembaga legislatif ini diyakini akan menjadi sebagai dewan rakyat yang masing-masing memiliki veto atas lainnya. Mereka bukanlah wakil-wakil rakyat sebagaimana yang kita pahami pada masa sekarang ini.

  2. Lembaga eksekutif, merupakan lembaga yang menjalankan roda pemerintahan. Kekuasaan eksekutif yakni kekuasaan yang bertugas untuk melaksanakan undang-undang dan peraturan perundangan lainya dalam menyelenggarakan administrasi negara. Sebagaimana konsep pembagian kekuasaan (distribution of powers), lembaga ini sewaktu-waktu harus bekerjasama dengan lembaga negara lainnya terutama bagi lembaga legislatif. Meskipun sebagai lembaga pelaksana undang-undang, eksekutif masih diberi porsi untuk memberikan rancangan terhadap lembaga eksekutif. Dalam hal ini, kebijakan luar negeri berada dalam wewenang kekuasaan eksekutif.

  3. Lembaga yudikatif, merupakan lembaga yang memegang wewenang sebagai fungsi peradilan atas pelangaran undang-undangan. Terutama adanya lembaga yudikatif yang dtekankan oleh Montesquieu, karena disinila letaknya kemerdekaan ndividu dan hak asasi manusia dijamin dan

  22

  dipertaruhkan. Kekuasaan yudikatif penting dan harus dipisahkan dari dua kekuasaan lainnya juga untuk menghindari adanya kesewenang- wenangan penguasa. Kekuasaan ini lah yang selanjutnya akan bertugas untuk menegakkan hukum yang telah disepakati.

  Pemikiran dari Montesquieu ini kemudian banyak diadopsi di negara-negara demokrasi di dunia. Meski memiliki perbedaan penerapan disetiap negara-negara, baik pemisahan kekuasaan (separation of powers) ataupun pembagian kekuasaan (distribution of powers) tujuannya tetap untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik (good governance). Sebagai contoh yang menerapkan teori Trias

  Politica ini sendiri adalah indonesia dan Amerika serikat.

1.6.3 Teori Otonomi Daerah

  Salah satu perbedaan yang paling menonjol dalam sistem pemerintahan indonesia setelah runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru adalah penerapan 22                                                                Miriam Boediardjo, op cit. Hal. 283  otonomi daerah. Sistem sentralistik Soeharto digantikan dengan sistem disentralistik. Sebagai salah satu pilar yang dirancang untuk mendukung pembangunan daerah, sistem otonomi daerah memiliki landasan hukum yang tertuang dalam pasal 18 UUD 1945 yang menyangkut tentang pemerintahan lokal. Pemerintah daerah sebagai implikasi prinsip disentralsasi, dipahami terkait dengan seberapa besar dan luas pendelegasian kewenangan pemerintah pusat kepada daerah demi berbagai alasan dan pertimbangan. Semakin besar kewenangan yang diberikan kepada daerah, semakin besar pula peluang daerah dapat menggali potensi yang ada untuk pembangunan daerah sesuai dengan

  23 kehendak masyarakat.

Dokumen yang terkait

Kerjasama Lembaga Pemerintah Daerah dengan DPRD dalam Pembuatan Peraturan Daerah di Kabupaten Dairi Tahun 2009-2014

0 70 120

Proses Pembentukan Peraturan Daerah Studi Kasus Peraturan Daerah Kabupaten Simalungun No. 1 Tahun 2011 tentang APBD Kabupaten Simalungun tahun Anggaran 2011

0 74 83

Persepsi Pejabat Daerah Mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah (Analisa Birokrasi di Kabupaten Sumenep)

0 6 2

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Program Legislasi Daerah Dan Implementasinya Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Inisiatif DPRD Di Kabupaten Sukoharjo

0 0 13

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1LatarBelakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pemerintah Daerah Sumba Barat dalam Pengendalian Penduduk di Era Otonomi Daerah

0 0 8

Bab I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah - Peran dan Fungsi Legislasi DPRD kota Medan Periode 2009 – 2014 Dalam Pembuatan Peraturan Daerah

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) - Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Perkembangan Pembangunan di Kabupaten Dairi Tahun 2011-2013

4 17 28

1 BAB I PENDAHULUAN - Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah : Pajak Restoran Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kinerja DPRD Kabupaten Gayo Lues Periode 2009-2014

0 0 44

BAB II PROFIL DPRD KABUPATEN DAIRI PERIODE 2009-2014 DAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAIRI PERIODE 2008-2013 2.1 Profil DPRD Kabupaten Dairi - Kerjasama Lembaga Pemerintah Daerah dengan DPRD dalam Pembuatan Peraturan Daerah di Kabupaten Dairi Tahun 2009-2

0 0 31