BAB II KAJIAN PUSTAKA - Komunikasi Antarpribadi Pasien Dan Dokter (Studi Kasus Komunikasi Antarpribadi Pasien Dan Dokter Di Poli Orthopaedi RSUP H. Adam Malik Medan)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Penelitian

  Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan suatu kebenaran. Usaha untuk mencari kebenaran dilakukan oleh peneliti melalui model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma. Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian yang berfungsi (perilaku di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu) (Maleong, 2005:49).

  Perspektif atau paradigma yang peneliti gunakan adalah kualitatif dimana pendekatan sistematis dan subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris). Sementara itu penelitian kualitatif tidak menggunakan statistik, data hasil penelitian diperoleh secara langsung, misalnya observasi partisipan, wawancara mendalam, dan studi dokumen sehingga peneliti mendapat jawaban apa adanya dari responden.

  Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif – kualitatif. Fokusnya adalah penggambaran secara menyeluruh tentang bentuk, fungsi, dan makna ungkapan larangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bog dan dan Taylor (1975) yang menyatakan ”metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Maleong, 2005: 3). Dengan kata lain, penelitian ini disebut penelitian kualitatif karena merupakan penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.

  Penelitian kualitatif harus mempertimbangkan metodologi kualitatif itu sendiri. Metodologi kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan di masyarakat bahasa (Djajasudarma,2006: 11). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendekatan kualitatif yang menggunakan data lisan suatu bahasa memerlukan informan. Pendekatan yang melibatkan masyarakat bahasa ini diarahkan pada latar dan individu yang bersangkutan secara holistik sebagai bagian dari satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, dalam penelitian bahasa jumlah informan tidak ditentukan jumlahnya. Dengan kata lain, jumlah informannya ditentukan sesuai dengan keperluan penelitian.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Pengertian Komunikasi

  Komunikasi menurut Hovland adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication is the procces to modify the behaviour of other individuals). Jadi dalam berkomunikasi bukan sekedar memberitahu, tetapi juga berupaya mempengaruhi agar seseorang atau sejumlah orang melakukan kegiatan atau tindakan yang diinginkan oleh komunikator, akan tetapi seseorang akan dapat mengubah sikap pendapat atau perilaku orang lain, hal ini bisa terjadi apabila komunikasi yang disampaikan bersifat komunikatif yaitu komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan harus benar-benar dimengerti dan dipahami oleh komunikan untuk mencapai tujuan komunikasi yang komunikatif. Hovland juga mengungkapkan bahwa yang dijadikan objek studi ilmu komunikasi bukan hanya penyampaian informasi melainkan juga pembentukan pendapat umum dan sikap public yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan peranan yang amat penting (Effendy, 2001:10).

  Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin, communis yang berarti “sama” atau dalam bahasa Inggris: common. Komunikasi merupakan suatu proses sosial yang sangat mendasar dan vital dalam kehidupan manusia. Dikatakan mendasar karena setiap masyarakat manusia, baik yang primitif maupun yang modern, berkeinginan mempertahankan suatu persetujuan mengenai berbagai aturan sosial melalui komunikasi. Dikatakan vital karena setiap individu memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan individu-individu lainnya sehingga meningkatkan kesempatan individu itu untuk tetap hidup (Effendy, 2000: 1).

  Dalam penelitian ini, arti kata “sama” bisa dimaknai sebagai pemaknaan yang sama tentang kondisi pasien, penyakit orthopaedi, resiko dalam penanganan penyakit ini antara dokter dan paisen. Ada banyak defenisi mengenai komunikasi dalam berbagai perspektif, namun defenisi komunikasi diatas menurut peneliti sesuai dengan penelitian ini.

2.1.2 Fungsi Komunikasi

  Apabila komunikasi dipandang dari arti yang lebih luas tidak hanya diartikan sebagai pertukaran berita atau pesan, tetapi sebagai kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar- menukar data, fakta, dan ide maka fungsinya dalam setiap sistem sosial adalah sebagai berikut:

  1. Informasi, pengumpulan, penyimpanan, pemprosesan, penyebaran berita, data, gambar, fakta, pesan, opini dan komentar yang dibutuhkan agar dapat dimengerti dan beraksi secara jelas terhadap kondisi lingkungan dan orang lain agar dapat mengambil keputusan yang tepat.

  2. Sosialisasi (pemasyarakatan), penyediaan sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif sehingga ia sadar akan fungsi sosialnya dan dapat aktif didalam masyarakat.

  3. Motivasi, menjelaskan kepada masyarakat tujuan jangka pendek maupun jangka panjang, mendorong orang menentukan pilihan dan keinginannya, mendorong kegiatan individu dan kelompok berdasarkan tujuan bersama yang akan dicapai atau diraih.

  4. Perdebatan dan diskusi, menyediakan dan saling menukar fakta yang diperlukan untuk memungkinkan persetujuan atau menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai masalah publik, menyediakan bukti-bukti relevan yang diperlukan untuk kepentingan umum agar masyarakat lebih melibatkan diri dengan masalah yang menyangkut kepentingan bersama.

  5. Pendidikan, pengalihan ilmu pengetahuan dapat mendorong perkembangan intelektual, pembentukan watak, serta membentuk keterampilan dan kemahiran yang diperlukan pada semua bidang kehidupan.

  6. Memajukan kehidupan, menyebarkan hasil kebudayaan dan seni dengan maksud melestarikan warisan masa lalu, mengembangkan kebudayaan dengan memperluas horizon seseorang, serta membangun imajinasi dan mendorong kreativitas dan kebutuhan estetiknya.

7. Hiburan, penyebarluasan sinyal, simbol, suara, dan imajinasi dari drama, tari kesenian, kesastraan, musik, olahraga, kesenangan kelompok dan individu.

  8. Integrasi, menyediakan bagi bangsa kelompok dan individu kesempatan untuk memperoleh berbagai pesan yang mereka perlukan agar mereka dapat saling kenal dan mengerti serta menghargai kondisi pandangan dan keinginan orang lain (Gustina, 2008).

2.2.3 Jenis Komunikasi

  Jenis komunikasi dibagi dalam tiga bentuk yakni verbal, non-verbal, dan para- verbal.

  1. Komunikasi verbal : yakni pesan yang disampaikan dalam bentuk kata-kata atau ucapan, berisi informasi melalui pembicaraan atau bahasa tulisan. Komunikasi verbal bergantung pada bahasa.

  2. Komunikasi non-verbal : yakni bentuk pesan yang berupa / disampaikan dengan gerakan tubuh (tidak diucapkan), antara lain dengan facial expression, eye

  movement, lips movement, body movement, dan physical appearance.

  3. Komunikasi para – verbal : yakni bentuk pesan yang mungkin bersama dengan bentuk pesan verbal (tetapi tidak langsung), misalnya menggunakan saluran radio, televisi, kaset, telepon, alat cetak, dan lain-lain.

2.2.4. Unsur-unsur komunikasi

  Komunikasi yang dianggap sebagai proses, mempunyai unsur-unsur komunikasi sebagai berikut(Rochimah, 2008) :

  a. Sumber (komunikator)

  Dalam komunikasi, setiap orang ataupun kelompok dapat menyampaikan pesan- pesan komunikasi itu sebagai suatu proses, dimana komunikator dapat menjadi komunikan dan sebaliknya komunikan dapat menjadi komunikator, hal-hal yang harus diperhatikan oleh komunikator adalah:

  1. Penampilan

  2. Penguasaan masalah

  3. Penguasaan bahasa

  b. Penerima pesan (komunikan)

  Komunikan adalah objek, sasaran atau audiens dari suatu sasaran dari kegiatan komunikasi atau orang yang menerima pesan atau lambang. Komunikan bisa berupa klien atau indivudi, keluarga maupun kelompok masyarakat.

  c. Isi pesan (message)

  Pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator. Pesan ini mempunyai inti pesan atau tema yang sebenarnya menjadi pengarah di dalam suatu usaha mencoba mengubah sikap dan tingkah laku komunikan. Pesan dapat mengupas berbagai segi, namun inti pesan dari komunikasi akan selalu mengarah kepada tujuan akhir komunikasi, sehingga harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Penyampaian pesan: dapat dilakukan melalui lisan, tatap muka, langsung, atau menggunakan media / saluran.

  2. Bentuk pesan Informatif: bersifat memberikan keterangan (fakta-fakta), kemudian

  • komunikan mengambil kesimpulan dan keputusan sendiri. Dalam situasi tertentu pesan informatif justru lebih berhasil daripada persuasif, misalnya jika audiens adalah kalangan cendikiawan.
  • manusia bahwa apa yang disampaikan akan memberikan perubahan sikap, tetapi perubahan ini adalah atas kehendak sendiri (bukan dipaksa). Perubahan tersebut diterima atas kesadaran sendiri.

  Persuasif: berisikan bujukan, yakni membangkitkan pengertian dan kesadaran

  • sanksi-sanksi apabila tidak dilaksanakan. Bentuk yang terkenal dari penyampaian model ini adalah agitasi dengan penekanan-penekanan yang menimbulkan tekanan batin dan ketakutan dikalangan publik. Koersif dapat berbentuk perintah-perintah, instruksi ataupun ultimatum dan sebagainya.

  Koersif: penyampaian pesan yang bersifat memaksa dengan menggunakan

  3. Merumuskan pesan yang baik Pesan yang akan disampaikan harus tepat. Ibarat membidik dan menembak, maka peluru harus cocok sesuai dengan sasaran. Pesan yang baik harus memenuhi beberapa syarat antara lain:

  Umum: mudah di pahami oleh komunikan

  • Jelas dan gamblang
  • Bahasa jelas
  • Positif -

  Seimbang

  • Sesuai dengan keinginan dan kebutuhan komunikan
  • 4.

  Hambatan-hambatan terhadap pesan Seringkali kita mengalami hal-hal yang tidak diharapkan dalam berkomunikasi, lain yang dituju atau lain juga yang diperoleh. Dengan perkataan lain yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini disebabkan adanya hambatan-hambatan terutama adalah: Hambatan bahasa

  • Pesan akan disalah-artikan sehingga tidak mencapai apa yang diinginkan, apabila bahasa yang digunakan tidak dipahami oleh komunikan. Termasuk dalam pengertian ini penggunaan istilah-istilah yang mungkin dapat diartikan berbeda atau tidak dimengerti sama sekali.
  • Pesan dapat tidak utuh diterima komunikan karena gangguan teknis, misalnya suara tidak sampai karena pengeras suara rusak, bunyi-bunyian, halilintar, lingkungan yang berisik dan sebagainya.

  Hambatan teknis

  d. Media (saluran)

  Media adalah saluran penyampaian pesan. Media komunikasi dapat dikategorikan dalam dua bagian yaitu: Media umum adalah media yang dapat digunakan oleh segala bentuk

  • komunikasi; contohnya radio CB, OHP, dan sebagainya.
  • demikian karena sifatnya, misalnya: pers, radio, film, dan televisi.

  Media massa adalah media yang digunakan untuk komunikasi masal. Disebut

  e. Umpan balik (feed back)

  Setelah pesan diterima oleh komunikan diharapkan adanya umpan balik (feed back) yang diberikan komunikan.Umpan balik adalah informasi yang dikirimkan kembali kepada komunikan. Umpan balik dapat berasal dari diri sendiri dan sumber dari orang lain.

  • pesan yang kita produksi sendiri.

  Umpan balik dari diri sendiri adalah pesan atau informasi yang kita terima atas

  • sebagai respon terhadap pesan yang kita kirimkan (Purba, 2006 : 45-46).

  Umpan balik dari orang lain adalah informasi yang kita terima dari orang lain

  2.2.5 Proses komunikasi

  Menurut Cutlip dan Centre (2008), komunikasi yang efektif harus dilaksanakan dengan melalui empat tahap, yaitu: Fact Finding

  • Mencari, mengumpul fakta dan data sebelum seseorang melakukan kegiatan komunikasi. Untuk berbicara di depan suatu masyarakat perlu dicari fakta dan data tentang masyarakat tersebut, keinginannya, komposisinya dan sebagainya.
  • Berdasarkan fakta dan data itu dibuatkan rencana tentang apa yang akan dikemukakan dan bagaimana mengemukakannya. Bagi suatu masyarakat yang agraris tentu saja pengemukaan komunikasi haruslah menggunakan cara yang sesuai dengan ciri-ciriagraris.

  Planning

  • Setelah planning disusun maka tahap selanjutnya adalah communicating atau berkomunikasi.

  Communicating

  • Penilaian dan analisis kembali diperlukan untuk melihat bagaimana hasil komunikasi tersebut. Ini kemudian menjadi bahan bagi perencanaan melakukan komunikasi selanjutnya.

  Evaluation

  2.2.6 Hambatan Komunikasi

  Hambatan atau gangguan komunikasi dapat terjadi pada semua elemen atau unsure-unsur yang mendukungnya., termasuk faktor lingkungan dimana komunikasi itu terjadi. Menurut Shannon dan Weaver (Cangara, 2007 : 131), gangguan komunikasi terjadi jika terdapat intervensi yang mengganggu salah satu elemen komunikasi, sehingga komunikasi tidak dapat berlangsung secara efektif dan tidak sesuai dengan harapan komunikator dan komunikan.

  Sejumlah hambatan dapat memperlampat atau mengacaukan komunikasi yang efektif (Deddy Mulyana, 2005 : 29) , hambatan tersebut diantaranya :

1. Penyaringan (filtering)

  Penyaringan mengacu pada manipulasi informasi secara sengaja oleh pengirim berita sehingga informasi tersebut akan tampak lebih meneyenangkan bagi penerima informasi.

  2. Perspektif selektif Permasalahan ini dapat muncul karena si penerima informasi, dalam proses komunikasi, melihat dan mendengar sesuatu dengan selektif berdasarkan pada kebutuhan, motivasi, pengalaman, latar belakang, dan karakteristik kepribadian lainnya. Penerima informasi juga dipengaruhi oleh kepentingan dan harapan- harapannya dalam proses komunikasi ketika ia menerjemahkan informasi.

  3. Gaya Gender Laki-laki maupun perempuan menggunakan komunikasi lisan untuk alasan yang berbeda. Sehingga konsekuensinya, jenis kelamin menjadi hambatan bagi komunikasi yang efektif antara kedua jenis kelamin tersebut.

  4. Emosi Perasaan penerima informasi pada saat penerimaan pesan komunikasi akan sangat mempengaruhi cara seseorang menafsirkannya. Pesan yang sama tatkala diterima pada saat kondisi sedang marah atau bingung akan ditafsirkan berbeda pada saat seseorang tersebut dala keadaan senang. Emosi-emosi yang ekstrim pada saat senang atau saat tertekan akan berkecenderungan menghambat komunikasi yang efektif.

  5. Bahasa Kata-kata mempunyai arti yang berbeda bagi orang yang berbeda pula. Usia, pendidikan, dan latar belakang budaya adalah tiga dari sekian banyak variabel yang jelas sangat mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh seseorang dan definisi yang diberikannya pada kata-kata. Para pengirim informasi cenderung berasumsi bahwa kata-kata dan istilah-istilah yang mereka gunakan memiliki arti yang sama dengan yang dipahami oleh si penerima informasi. Asumsi ini sering tidak tepat.

  6. Petunjuk nonverbal Komunikasi nonverbal adalah cara yang penting bagi seseorang dalam menyampaikan pesan. Namun, komunikasi nonverbal selalu diiringi oleh komunikasi lisan. Selama bersesuaian, keduanya akan saling menguatkan. Ketika kata-kata pimpinan menunjukkan bahwa dia marah, nada suara, dan gerakan tubuhnya menunjukkan kemarahan, jadi dapat disimpulkan secara tepat bahwa dia sedang marah. Namun demikian, ketika petunjuk nonverbal tidak bersesuaian dengan pesan lisan, maka penerima informasi akan bingung dan pesan akan menjadi tidak jelas.

2.3 Komunikasi Antarpribadi

  Komunikasi antarpribadi sebenarnya merupakan suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh DeVito dalam Liliweri (1991:13), komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang yang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang bersifat langsung.

  Umpan balik mempunyai peranan yang sangat penting dalam komunikasi, sebab ia menentukan berlanjutnya komunikasi atau berhentinya komunikasi yang dilancarkan komunikator. Dalam komunikasi antarpribadi, karena situasinya tatap muka, tanggapan komunikan dapat segera diketahui. Dalam hal ini komunikator perlu bersikap tanggap terhadap tanggapan komunikan.

  Komunikasi antarpribadi sering disebut dengan dyadic communication maksudnya yaitu “komunikasi antara dua orang”, dimana terjadi kontak langsung dalam bentuk percakapan. Komunikasi jenis ini bisa berlangsung secara berhadapan muka (face to face) ataupun bisa juga melalui media seperti telepon. Ciri khas dari komunikasi antarpribadi adalah sifatnya yang dua arah atau timbal balik (two ways

  

communication ). Namun, komunikasi antarpribadi melalui tatap muka mempunyai satu

  keuntungan dimana melibatkan perilaku nonverbal, ekspresi fasial, jarak fisik, perilaku paralinguistik yang sangat menentukan jarak sosial dan keakraban (Liliweri, 1991:67).

  Komunikasi antarpribadi (Interpersonal Communication) adalah komunikasi antara dua orang atau lebih secara tatap muka, yang memungkinkan adanya reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non-verbal (Mulyana, 2005:73). Sementara pendapat ahli lain mengemukakan bahwa pada hakikatnya komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan dimana komunikasi ini dianggap paling efektif dalam hal upaya untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang karena sifatnya yang dialogis, berupa percakapan, arus baliknya bersifat langsung (Effendy, 2005). Komunikator mengetahui tanggapan komunikan pada saat komunikasi dilancarkan. Komunikator mengetahui pasti apakah komunikasinya itu positif atau negatif, berhasil atau tidak.

  Effendy juga menambahkan komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang, atau diantara sekelompok kecil orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika, dan komunikasi antarpribadi dikatakan efektif dalam merubah perilaku orang lain, apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan komunikator diterima oleh komunikan.

  Cassagrande berpendapat seseorang melakukan komunikasi dengan orang lain karena :

  • membagi kelebihan.

  Setiap orang memerlukan orang lain untuk saling mengisi kekurangan dan

  Setiap orang terlibat dalam proses perubahan yang relatif cepat.

  • Interaksi hari ini merupakan spectrum pengalaman masa lalu dan menjadikan
  • orang mengatisipasi masa depan.
  • (Liliweri, 1991:48). Hubungan komunikasi interpersonal terbina melalui tahap-tahap pengembangan yaitu:

  Hubungan yang diciptakan jika berhasil merupakan pengalaman yang baru

  • dan membaui seseorang. Bila pada tahap kontak terbina persepsi yang positif maka akan membawa seseorang pada hubungan yang lebih erat yaitu persahabatan, saling terbuka dan penuh kehangatan.

  Kontak, pada tahap ini alat indera sangat diperlukan untuk melihat, mendengar,

  • mengenal orang lain dan mengungkapkan diri.

  Keterlibatan, adalah tahap pengenalan lebih jauh, mengikatkan diri kita untuk

  • seseorang dapat menjadi sahabat yang baik.

  Keakraban, pada tahap ini kita mengikat diri lebih jauh lagi bagaimana

  • pihak melemah.

  Pengrusakan, tahap ini terjadi penurunan hubungan, dimana ikatan antara kedua

  • Apabila komunikasi interpersonal terjalin tidak baik, maka akan terjadi pemutusan, misalnya dokter tidak melayani pasien dengan baik, maka akan terjadi pemutusan, dan pasien tersebut tidak akan mau berobat ke klinik tersebut. Oleh karena itu diharapkan dokter menjalin komunikasi interpersonal yang baik kepada pasien (De Vito, 2000 :233). Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Cassagrade, dapat disimpulkan bahwa keinginan berkomuniakasi secara pribadi disebabkan oleh dorongan pemenuhan kebutuhan yang belum dan tidak dimiliki seseorang sebelumnya.

  Pemutusan, tahap ini terjadi pemutusan ikatan yang mempertalikan keduanya.

2.3.1 Fungsi dan Tujuan Komunikasi Antarpribadi

  Fungsi dan tujuan komunikasi antarpribadi yaitu berusaha meningkatkan hubungan insani (human relation), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2004:33). Komunikasi antarpribadi juga dapat meningkatkan hubungan kemanusiaan diantara pihak-pihak yang melakukan komunikasi.

  Menurut Devito (1989), faktor-faktor efektivitas komunikasi antarpribadi dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu :

  1. Keterbukaan (Openness) Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya memang ini mungkin menarik, tapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut.

  Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita ucapkan. Dan kita berhak mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk dan pada ketidakacuhan, bahkan ketidak sependapatan jauh lebih menyenangkan. Kita memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.

  Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran (Bochner dan Kelly, 1974). Terbuka dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang anda lontarkan adalah memang milik anda dan anda bertanggung jawab atasnya. Cara terbaik untuk menyatakan tanggung jawab ini adalah dengan pesan yang menggunakan kata saya (kata ganti orang pertama tunggal).

  2. Empati (empathy) Empati adalah sebagai “kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu”. Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama. Orang yang empati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang. Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya.

3. Sikap mendukung (supportiveness)

  Hubungan antarpribadi yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategis, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.

  4. Sikap positif (positiveness) Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi antarpribadi terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif.

  Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.

5. Kesetaraan (Equality)

  Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih pandai, lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi antarpribadi akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl Rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan “penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.

2.3.2. Proses Komunikasi Antarpribadi

  Berkomunikasi secara efektif memiliki arti bahwa komunikator dan komunikan memiliki pengertian yang sama tentang isi suatu pesan. Komunikasi antarpribadi dikatakan efektif apabila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan dan dalam proses tersebut tercipta sebuah kebersamaan dalam makna yang secara langsung hasilnya dapat diperoleh, jika peserta komunikasi cepat tanggap dan paham terhadap setiap pesan yang dipertukarkan. Selain itu, Steward L. Tubs dan Sylva Moss menambahkan bahwa tanda-tanda komunikasi yang efektif setidaknya menimbulkan hal sebagai berikut :

  Saling pengertian

  Memberikan kesenangan

  • Mempengaruhi sikap (Rakhmat, 2004:133).
  • Komunikasi antarpribadi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui media dan tatap muka. Meskipun demikian, yang dianggap paling sukses adalah komunikasi antarpribadi secara tatap muka, sebab dalam komunikasi antarpribadi yang dilakukan melalui tatap muka pengiriman pesan dan umpan baliknya dapat diamati secara langsung dengan melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasa. Proses komunikasi antarpribadi menggunakan lambang-lambang sebagai media penyampaian pesan. Adapun lambang yaitu :

  a) Lambang Verbal

  Lambang verbal ini biasanya dalam bentuk bahasa. Oleh karena itu, dengan bahasa seorang komunikator dapat mengunggkapkan pikirannya mengenai hal atau peristiwa, baik yang kongkrit maupun yang abstrak yang terjadi pada masa lalu, masa kini dan masa depan kepada komunikannya.

  b) Lambang Non Verbal Lambang non verbal adalah lambang yang dipergunakan dalam komunikasi yang berbentuk isyarat dengan menggunakan anggota tubuh seperti kepala, mata, jari, dan lainnya. Batasan komunikasi non verbal secara garis besar sebenarnya sebagai arah dari suatu gejala seperti setiap bentuk penampilan wajah dan gerak gerik tubuh seseorang sebagai suatu cara dan simbol dari statusnya.

2.3.3. Sifat Komunikasi Antarpribadi

  Komunikasi antarpribadi sama halnya dengan ilmu-ilmu lain yang pasti memiliki sifatnya tersendiri sehingga menjadi suatu ciri khas pada ilmu tersebut. Beberapa sifat yang dapat menunjukan komunikasi antara dua orang, yang mengarah pada komunikasi antarpribadi yaitu didalamnya melibatkan perilaku verbal maupun nonverbal, yang dapat menunjukan seberapa jauh hubungan antara pihak yang terlibat di dalamanya. Berikut adalah beberapa sifat yang dimiliki oleh komunikasi antarpribadi :

  • karena kekuasaan emosi yang bebas dari campur tangan kognisi.

  Komunikasi antarpribadi melibatkan perilaku yang spontan, perilaku ini timbul

  • interaksi dan koherensi, artinya suatu komuikasi antarpribadi harus ditandai dengan adanya umpan balik serta adanya interaksi yang melibatkan suatu perubahan di dalam sikap, perasaan, perilaku dan pendapat tertentu.

  Komunikasi antarpribadi harus menghasilkan umpan balik agar mempunyai

  • merupakan suatu standar perilaku yang dikembang oleh seseorang sebagai panduan melaksanakan komunikasi, sedangkan ekstrinsik yaitu aturan lain yang ditimbulkan karena pengaruh kondisi sehingga komunikasi antar manusia harus diperbaiki atau malah harus berakhir.

  Komunikasi antarpribadi biasanya bersifat intrintik dan ekstrinsik. Intrinstik

  • dimaksud adalah suatu hubungan sebab akibat yang dilandasi adanya tindakan bersama sehinnga menghasilkan proses komunikasi yang baik.

  Komunikasai antarpribadi menunjukan adanya suatu tindakan. Sifat yang

  • dimaksud adalah suatu hubungan sebab-akibat yang dilandasi adanya tindakan bersama sehingga menghasilkan proses komunikasi yang baik (Liliweri, 1991:29).

  Komunikasi antarpribadi menunjukan adanya suatu tindakan. Sifat yang

2.3.4. Teori Self Disclosure

  Dalam komunikasi antarpribadi tidak terlepas dari teori self disclosure atau pembukaan diri adalah suatu proses mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi guna untuk memahami tanggapan terhadap orang lain dan sebaliknya. Membuka diri berarti membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukannya, atau perasaan kita terhadap suatu kejadian-kejadian yang baru saja kita saksikan. Informasi pribadi kita kepada orang lain atau sebaliknya disebut dengan self

  disclosure. (Rakhmat,2004)

  Salah satu tipe komunikasii dimana informasi mengenai diri (self) yang biasanya disembunyikan diri orang lain, kini dikomunikasikan kepada orang lain (Rakhmat, 2004:108). Josep Luft mengemukakan teori Self Disclosure berdasarkan pada modal interaksi model interaksi manusia yang disebut Johari Window (Jendela Johari). daripada pasien. Dapat dikatakan dokter memiliki legitimate power sehingga dengan mudah dapat mempengaruhi pasien. Jadi, hal-hal yang disampaikan dokter lebih efektif dalam mempengaruhi pasien. Namun perlu diingat, dengan kemajuan sistem informasi saat ini banyak pasien yang datang kepada dokter dalam keadaan well informed. Agar tercipta komunikasi dokter-pasien yang baik dan benar maka setiap dokter harus dapat menjadi pendengar aktif yaitu:

  Terimalah pasien apa adanya dan perlakukan secara individual

  • Dengarkanlah hal-hal yang diucapkan pasien dan cara menyatakannya serta
  • perhatikan nada suara, kata-kata yang dipergunakan, ekspresi wajah dan bahasa tubuh.

  Tempatkan diri Anda pada sudut pandang pasien (empati)

  • Sekali-kali berikan jeda waktu bicara untuk memberi kepada pasien untuk
  • berpikir, menanyakan sesuatu dan berbicara
  • memahaminya

  Ulangi hal-hal yang telah Anda dengar sehingga pasien tahu bahwa Anda

  • yang dapat mengganggu jalannya komunikasi dan pandanglah pasien ketika dia berbicara

  Duduklah dengan nyaman, sedikit condong kedepan, hindari gerakan-gerakan

2.4.2. Komunikasi Efektif dalam Hubungan Dokter-Pasien

  Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatannya.

  Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis, adanya komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan sehingga dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien, berdasarkan kebutuhan pasien.

  Namun disadari bahwa dokter dan dokter gigi di Indonesia belum disiapkan untuk melakukannya. Dalam kurikulum kedokteran dan kedokteran gigi, membangun komunikasi efektif dokter-pasien belum menjadi prioritas. Untuk itu dirasakan perlunya memberikan pedoman (guidance) untuk dokter guna memudahkan berkomunikasi dengan pasien dan atau keluarganya. Melalui pemahaman tentang hal-hal penting dalam pengembangan komunikasi dokter-pasien diharapkan terjadi perubahan sikap dalam hubungan dokter-pasien.

  Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya (Kurtz, 1998).

  Menurut Kurzt (1998), dalam dunia kedokteran ada dua pendekatan komunikasi yang digunakan:

  • Disease centered communication style atau doctor centered communication style.

  Komunikasi berdasarkan kepentingan dokter dalam usaha menegakkan diagnosis, termasuk penyelidikan dan penalaran klinik mengenai tanda dan gejala-gejala.

  • Illness centered communication style atau patient centered communication style.

  Komunikasi berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya yang secara individu merupakan pengalaman unik. Di sini termasuk pendapat pasien, kekhawatirannya, harapannya, apa yang menjadi kepentingannya serta apa yang dipikirkannya.

  Dengan kemampuan dokter memahami harapan, kepentingan, kecemasan, serta kebutuhan pasien, patient centered communication style sebenarnya tidak memerlukan waktu lebih lama dari pada doctor centered communication style.

  Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih.

  Carma L. Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya tentang Emphatic

  

Communication in Physician-Patient Encounter (2002) , menyatakan betapa pentingnya

  empati ini dikomunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan definisi berikut: (1) kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien (a physician

  cognitive capacity to understand patient’s needs) ,

  (2) menunjukkan afektifitas/sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien (an affective

  sensitivity to patient’s feelings) ,

  (3) kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan/menyampaikan empatinya kepada pasien (a behavioral ability to convey empathy to patient).

  Sementara, Bylund & Makoul (2002) dalam Komunikasi Efektif Dokter – Pasien mengembangkan 6 tingkat empati yang dikodekan dalam suatu sistem (The Empathy ). Berikut adalah contoh aplikasi empati

  Communication Coding System (ECCS) Levels

  tersebut: Level 0 : Dokter menolak sudut pandang pasien

  Mengacuhkan pendapat pasien

  • Membuat pernyataan yang tidak menyetujui pendapat pasien seperti “Kalau
  • stress ya, mengapa datang ke sini?” Atau “Ya, lebih baik operasi saja sekarang.”

  Level 1 : Dokter mengenali sudut pandang pasien secara sambil lalu “A ha”, tapi dokter mengerjakan hal lain: menulis, membalikkan badan,

  • menyiapkan alat, dan lain-lain

  Level 2 : Dokter mengenali sudut pandang pasien secara implisit Pasien, “Pusing saya ini membuat saya sulit bekerja”

  • Dokter, “Ya...? Bagaimana bisnis Anda akhir-akhir ini?
Level 3 : Dokter menghargai pendapat pasien “Anda bilang Anda sangat stres datang ke sini? Apa Anda mau menceritakan

  • lebih jauh apa yang membuat Anda stres?”

  Level 4 : Dokter mengkonfirmasi kepada pasien “Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti seberapa besar usaha Anda

  • untuk menyempatkan berolah raga”

  Level 5 : Dokter berbagi perasaan dan pengalaman (sharing feelings and experience) dengan pasien.

  • pasien pernah mengalami aborsi spontan, kemudian setelah kehamilan berikutnya mereka sangat, sangat, khawatir”

  “Ya, saya mengerti hal ini dapat mengkhawatirkan Anda berdua. Beberapa

  Empati pada level 3 sampai 5 merupakan pengenalan dokter terhadap sudut pandang pasien tentang penyakitnya, secara eksplisit.

2.4.3. Langkah-langkah dalam komunikasi dokter-pasien

  Dalam konseling yang juga diterapkan dalam komunikasi dokter-pasien yang baik dan benar dikenal adanya GATHER, singkatan dari Greet-Ask-Tell-Help-Explain-

  Return dengan pengertian sebagai berikut:

  • Memberi salam kepada pasien di awal pertemuan akan menciptakan hubungan yang baik. Berilah salam dengan ramah kepada tiap pasien pada saat dia datang. Katakan kepada pasien hal-hal yang diharapkan selama pertemuan tersebut dan yakinkan bahwa setiap pasien mempunyai privacy dan kerahasiaannya akan dijaga.

  Greet (memberi salam)

  Ask (bertanya)

  • Langkah berikutnya adalah bertanya, melalui pertanyaan tersebut dokter dapat membantu pasien untuk menyatakan keinginan dan kebutuhannya serta mengekspresikan perasaannya. Cara bertanya yang efektif yaitu: • Gunakan nada suara yang menunjukkan minat, perhatian dan keramahan.
    • Gunakan kata-kata yang dapat dimengerti oleh pasien.
    • Ajukan satu pertanyaan dan tunggu jawabannya dengan penuh perhatian.
    • Ajukan pertanyaan yang dapat membantu pasien untuk menyampaikan kebutuhan-kebutuhannya.
    • Gunakan kata-kata seperti “lalu?”, “dan”, “oh?”. Karena kata-kata tersebut dapat meningkatkan keinginan pasien untuk lebih banyak bicara.

  

Gambar 1

Jendela Johari

  Diketahui oleh diri sendiri Tidak Diketahui oleh diri sendiri Diketahui oleh orang lain

  1

  2 Terbuka Buta

  3

  4 Tidak diketahui oleh orang Tersembunyi Tidak diketahui lain

  Berdasarkan konsep tersebut, tingkah laku manusia dapat digambarkan secara skematis seperti terlihat pada skema di atas. Bidang I, yakni Bidang Terbuka (Open Area) menunjukkan bahwa kegiatan

  • yang dilakukan oleh seseorang disadari sepenuhnya oleh yang bersangkutan, juga oleh orang lain, yang berarti terdapat keterbukaan, dengan lain perkataan tidak ada yang disembunyikan kepada orang lain.
  • seseorang diketahui oleh orang lain, tetapi dirinya sendiri tidak menyadari apa yang ia lakukan.

  Bidang II, yakni Bidang Buta (Blind Area) menggambarkan bahwa kegiatan

  • yang dilakukan oleh seseorang disadari sepenuhnya olehnya, tetapi tidak dapat diketahui oleh orang lain. Ini berarti bahwa orang seperti itu bersikap tertutup.

  Bidang III, yakni Bidang Tersembunyi (Hidden Area) yaitu bahwa kegiatan

  • menggambarkan bahwa tingkah laku seseorang tidak disadari oleh dirinya sendiri dan tidak diketahui oleh orang lain.

  Bidang IV, adalah Bidang Tak Dikenal (Unknown Area). Bidang ini

2.4 Komunikasi Dokter dan Pasien

2.4.1. Pengertian komunikasi dokter-pasien

  Adijanti (2008) mengatakan bahwa komunikasi dokter-pasien merupakan momen yang sangat penting dalam rangka penyembuhan pasien. Dalam komunikasi dokter-pasien, karena keahliannya, dokter mempunyai posisi yang “lebih tinggi”

  • Hindari pertanyaan “mengapa?” karena dapat menimbulkan kesan mencari kesalahan.
  • Gunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka, misalnya “Ceritakan...”,

  “Bagaimana...” karena sangat bermanfaat untuk membina hubungan yang baik dengan pasien dan dapat mengorek hal-hal yang terkait dengan penyakitnya. Tell (memberi informasi)

  • Setelah pasien selesai menyatakan keluhan dan kebutuhannya, berikanlah informasi secara jelas sehingga dapat dimengerti oleh pasien yang kemudian dapat membantu pasien untuk mengambil keputusan.
  • Bantuan diberikan ketika pasien yang mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan atau dalam menentukan sikap. Dalam hal ini dokter memberikan bantuan agar pasien dapat memecahkan permasalahannya dengan mudah.

  Help (memberi bantuan)

  • Dokter memberikan penjelasan kepada pasien tentang keputusan yang telah dipilihnya. Misalnya, bila pasien memilih salah satu metode KB atau jenis tindakan tertentu, berikan penjelasan tentang pilihannya tersebut berikut dengan efek sampingnya.

  Explain (memberi penjelasan)

  • Bila dirasa perlu, berikan kesempatan pada pasien untuk datang kembali.

  Return (kontrol kembali)

2.4.2. Pengertian komunikasi dokter-pasien

2.5. Kepuasan

  Kata kepuasan (satisfaction) berasal dari bahasa Latin ”satis” (artinya cukup baik, memadai) dan ”facio” (melakukan atau membuat). Kepuasan bisa diartikan sebagai ”upaya pemenuhan sesuatu memadai”. Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2000) mendeskripsikan kepuasan sebagai ”Perasaan baik yang kamu miliki ketika kamu mendapatkan sesuatu atau ketika sesuatu yang kamu inginkan ada kemudian ada”,

  “usaha untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan”, dan ”suatu cara yang dapat diterima dalam menangani komplain, hutang, kecelakaan, dll” (Richard L).

  Oliver (1997) dalam bukunya berjudul ”Satisfaction: A Behavioral Perspective on

  

the Consumer ” menyatakan bahwa semua orang paham apa itu kepuasan, tetapi begitu

  diminta mendefenisikannya, kelihatannya tak seorangpun tahu (Tjiptono, 2011) Kepuasan dan ketidakpuasan merupakan perbandingan antara harapan kinerja sebelum membeli dan persepsi kinerja yang diterima konsumen setelah membeli. Jika harapan kinerja sebelum membeli lebih besar dari kinerja yang diterima setelah membeli maka dikatakan konsumen mengalami ketidakpuasan. Sebaliknya jika harapan kinerja sebelum membeli lebih kecil dari persepsi kinerja yang diterima setelah membeli maka kosumen mengalami kepuasan (Peter, dan Olson dalam Usmara, 2003).

  Kebutuhan dan keinginan pasien adalah hal penting untuk dipahami yang dapat memengaruhi kepuasanpasien. Pasien yang puas merupakan aset yang sangat berharga karena apabila pasien puas maka pasien akan terus melakukan pemakaian terhadap jasa sesuai pilihannya, tetapi bila tidak puas, pasien akan menceritakan dua kali lebih buruk tentang pengalaman yang telah dialami.

  Kepuasan pelanggan atau bisa disebut pelanggan pada industri rumah sakit/poliklinik merupakan konsep yang sangat terkenal dan senantiasa digunakan pada berbagai disiplin ilmu (Andreassen, 1994). Terdapat banyak defenisi mengenai kepuasan pelanggan, diantaranya adalah Oliver (1989) dalam Supranto (2001) yang mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan karakteristik pelanggan yang merasa surprise atas harapan. Tse dan Wilson (1988) menyarankan bahwa kepuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja (performa). Parasurraman et al dalam Shahin (1994); Engel et al (1994) dalam Supranto (2001) mengungkapkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purna beli yang mana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya memberikan hasil (outcome) sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil yang diperoleh tidak memenuhi harapan pelanggan. Defenisi-defenisi mengenai kepuasan pelanggan tersebut secara umum menyebutkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi atas post consumtion suatu barang dan jasa.

  Menurut Sebayang (2004), pengertian kepuasan pasien adalah merupakan nilai subyektif terhadap kualitas pelayanan yang diberikan, walaupun subyektif tetapi tetap ada dasar obyektif, artinya walaupun penilaian itu dilandasi oleh hal pengalaman masa lalu pendidikan, situasi phsikis waktu itu: tetap akan didasari oleh kebenaran dan kenyataan obyektif yang ada. Tidak semata-mata menilai buruk kalau memang tidak ada pengalaman yang menjengkelkan, tidak semata-mata bilang baik bila memang tidak ada. Suasana yang menyenangkan yang dialami.

  Penilaian kepuasan pasien penting diketahui karena : a. Bagian dari Kualitas Pelayanan

  Kepuasan pasien merupakan bagian dari kualitas pelayanan, karena upaya pelayanan haruslah dapat memberikan kepuasan tidak semata-mata kesembuhan belaka.

  b.

  Berhubungan dengan pemasaran rumah sakit c. Pasien yang puas akan memberitahu pada teman, keluarga dan tetangga d. Pasien yang puas akan datang lagi, kontrol atau membutuhkan pelayanan yang baik.

  e.

  Iklan dari mulut ke mulut akan menarik pelanggan yang baru.

  f.

  Berhubungan dengan prioritas.

  Salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan atas performance atau jasa dalam memenuhi harapan pelanggan. Pelanggan merasa puas apabila harapannya terpenuhi atau akan sangat puas jika harapan pelanggan terlampaui. Persepsi didefenisikan sebagai proses dimana individu memilih mengorganisasikan, serta mengartikan stimulus yang diterima melalui alat inderanya menjadi suatu makna, meskipun demikian, maka dari proses persepsi tersebut juga terpengaruhi pengalaman masa lalu individu yang bersangkutan (Rangkuti, 2002).

2.6. Perilaku

2.6.1 Pengertian Perilaku

Dokumen yang terkait

Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi Dalam Menangani Pasien (Studi Kasus Tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan)

18 167 161

Komunikasi Antarpribadi Pasien Dan Dokter (Studi Kasus Komunikasi Antarpribadi Pasien Dan Dokter Di Poli Orthopaedi RSUP H. Adam Malik Medan)

4 101 109

Komunikasi Antarpribadi Orangtua Anak Down Syndrome (Studi Kasus Komunikasi Antarpribadi Orangtua Anak Down Syndrome di Sekolah Luar Biasa Yayasan Pembinaan Anak Cacat Medan)

21 143 109

Komunikasi Interpersonal Antara Dokter Gigi Dan Pasien Di Ruang Praktek

1 47 40

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitian - Komunikasi Antarpribadi Penarik Becak Wanita (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarpribadi Penarik Becak Wanita Di Kampus Universitas Sumatera Utara)

0 0 24

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian - Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi Dalam Menangani Pasien (Studi Kasus Tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan)

0 1 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi Dalam Menangani Pasien (Studi Kasus Tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan)

0 0 8

Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi Dalam Menangani Pasien (Studi Kasus Tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan)

0 1 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profesionalisme - Penilaian Pasien terhadap Profesionalisme Dokter di Unit Rawat Jalan RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 10

Komunikasi Antarpribadi Pasien Dan Dokter (Studi Kasus Komunikasi Antarpribadi Pasien Dan Dokter Di Poli Orthopaedi RSUP H. Adam Malik Medan)

0 2 18