Judul Asli : 150 Qishshah wa Qishshah lil Imam Asy Syafi’i
Judul Asli
: 150 Qishshah wa Qishshah lil Imam Asy
Judul Terjemahan
: 150 Kisah Imam Asy Syafi’i
Pengarang
: Majdi Fathi As Sayyid
Penerbit
: Al Maktabah At Taufiqiyah
Cetakan
: -
Negara
: Kairo - Mesir
Penterjemah
: M. Habiburrahim, Lc.
Syafi’i
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Mukaddimah
Segala Puji bagi Allah. kepada-Nya kami memuji, memohon pertolongan dan
meminta ampunan. Kepada-Mu, Ya, Allah! Aku berlindung dari kejahatan
jiwa dan keburukan perbuatan. Barangsiapa yang mendapat petunjuk Allah,
maka tiada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan,
maka tiada petunjuk baginya.
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah, melainkan Allah
semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan Rasul-Nya.
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah, sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imraan: 102).
Allah Swt berfirman, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan
biakkan
isterinya;
laki-laki
dan
dan
dari
perempuan
pada
yang
keduanya
banyak.
Dan
Allah
memperkembang
bertakwalah
kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa`: 1). Allah Swt berfirman,
“Hai
orang-orang
katakanlah
yang
perkataan
beriman,
yang
bertakwalah
benar,
niscaya
kamu
Allah
kepada
Allah
memperbaiki
dan
bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barangsiapa menta'ati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar.” (QS. Al Ahzaab: 70-71).
Amma Ba’du
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Saw. Sejelek-jelek perkara adalah
sesuatu yang baru (yang tidak ada perintahnya dalam agama) dan setiap
hal yang baru adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap
kesesatan berada dalam neraka.
Buku
ini
mengumpulkan
kisah-kisah
kehidupan
Imam
Asy
Syafi’i
dalam
berbagai hal. Semoga Allah memberikan manfaat buku ini kepada seluruh
kaum muslimin dan muslimat.
Penutup do’a kami adalah Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin.
Abu Maryam
Kata Pengantar
Dalam lembaran-lembaran buku ini, kita akan hidup bersama salah satu
Imam terkemuka dalam sejarah Islam. Ulama terdepan pada masanya dan
pembela Hadits pada jamannya.
Dialah Muhammad bin Idris bin Al Abbas, Abu Abdullah Asy Syafi’i.
Asy Syafi’i dilahirkan di Ghaza, pada tahun 150 H. Ayahnya meninggal,
ketika beliau masih kecil, sehingga dia hidup dalam keadaan yatim. Dia
diasuh oleh ibunya, lalu ibunya membawanya ke Mekah dan beliau besar di
sana.
Beliau
sebayanya
hobi
dan
memanah,
beliau
sehingga
menyukai
sastra
bisa
mengungguli
Arab,
teman-teman
sehingga
mahir
dalam
menggubah sya’ir Arab. Setelah itu, beliau tertarik pada fikih, sehingga
beliau menjadi ulama terkemuka pada jamannya. Beliau mengarang banyak
buku, menulis dalam berbagai bidang ilmu dan menjawab argumen orangorang yang keliru. Beliau juga menulis dalam ushul fikih dan cabangcabangnya.
Karena
keilmuannya
yang
hebat
ini,
maka
beliau
banyak
didatangi oleh para pencari ilmu.
Ulama-ulama Islam, baik pada masanya maupun sekarang telah mengakui dan
mengagumi kehebatannya, sehingga banyak buku dan tulisan menerangkan
keilmuan dan keutamaannya.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Pada setiap seratus tahun, sesungguhnya
Allah
telah
mentakdirkan
bagi
umat
manusia,
orang
yang
mengajarkan
Sunnah kepada mereka dan menolak kebohongan dari hadits Rasulullah Saw.
Maka kami perhatikan, ternyata pada seratus tahun pertama, adalah Umar
bin Abdul Aziz dan Pada seratus tahun kedua, adalah Asy Syafi’i. Inilah
yang kami lihat dari Asy Syafi’i. Sejak tiga puluh tahun yang lalu, aku
senantiasa mendo’akan dan memintakan ampunan baginya.”
Abu Tsaur berkata, “Siapa saja menyangka bahwa dirinya setara dengan Asy
Syafi’i
dalam
keilmuannya,
kefashihannya,
keteguhannya
dan
keluasan
wawasannya, maka sungguh dia telah dusta. Tidak ada yang menandingi Asy
Syafi’i semasa hidupnya.”
Ahmad bin Sayyar Al Mawarzi berkata, “Seandainya tidak ada Imam Asy
Syafi’i, pastilah Islam akan sirna.”
Abu Zur’ah Ar Razi berkata, “Tidak ada hadits yang salah dalam hafalan
Imam Asy Syafi’i.”
Ali Ibnu Al Madini berkata kepada anaknya, “Jangan biarkan satu huruf
yang keluar dari lisan Imam Syaf’i, tanpa engkau catat! Karena dalam
perkataannya terdapat ilmu pengetahuan.”
Abu Hatim berkata, “Beliau sangat mahir dalam ilmu fikih dan jujur.”
Ayub bin Suwaid berkata, “Tidak mungkin, aku dapatkan orang seperti
dia.”
Yahya bin Sa’id Al Qaththan berkata, “Aku tidak menjumpai orang yang
lebih cerdas dan lebih pandai dari Asy Syafi’i dan aku mendo’akannya
secara khusus dalam setiap shalatku.”
Ibnu Abdil Hakam berkata, “Jika ada seseorang menjadi Hujjah dalam satu
bidang ilmu, maka Imam Asy Syafi’i adalah hujjah dalam segala bidang.”
Abu Abdurrahman An Nasa`i berkata, “Imam Asy Syafi’i adalah salah satu
ulama yang terpercaya.”
Beliau meninggal pada tahun 204 H. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya
kepada beliau.
Marilah kita ikuti kisah-kisah Imam Asy Syafi’i berikut, dengan memohon
ampunan, petunjuk dan kemudahan kepada Allah Swt. Sesungguhnya Dia Maha
Kuasa terhadap segala sesuatu.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh.
Abu Maryam/Majdi Fathi As Sayyid
1.
Asy Syafi’i dan Putra Khalifah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i berkata, “Suatu hari aku menghadap salah
seorang putra khalifah. Ibnu Da`eb ada di sana. Aku mengucapkan salam
kepadanya. Putra Khalifah bertanya kepadaku, “Engkau keturunan siapa?”
Jawabku, “Aku keturunan Bani Al Muthallib.” Dia menyelaku dan bertanya,
“Al
Muthallib
bin
Abu
Wida’ah?”
Jawabku,
“Bukan.”
Tanyanya,
“Al
Muthallib bin Hanthab?” Jawabku, “Bukan.” Ibnu Da`eb menyela percakapan
kami dengan memukulkan tangan ke pahanya dan berkata, “Semoga Allah
menambahkan
kebaikan
kepada
Pangeran!
Demi
Allah,
dia
ini
adalah
keturunan Al Muthallib bin Abdi Manaf, kakeknya adalah juga kakek anda.
Al Muthallib memiliki dua saudara, yaitu Hasyim dan Abdu Syamsi. Al
Muthallib dihormati, karena sifatnya yang mulia pada masa jahiliyah.”
(Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi, 1/82).
2.
Mencari Ilmu
Mush’ab bin Abdullah Az Zubairi berkata, “Pada awalnya, Asy Syafi’i
mempelajari
syair,
sejarah
dan
sastra.
Setelah
itu,
dia
mempelajari
fikih. Awal mula Asy Syafi’i tertarik mempelajari fikih, diceritakan
bahwa pada suatu hari, dia sedang berjalan-jalan dengan menunggang unta
bersama seorang juru tulis ayahku. Asy Syafi’i melantunkan beberapa bait
syair, maka juru tulis ayahku menyodok perutnya dengan pegangan cambuk
dan
berkata,
“Dimanakah
muru’ahmu
(harga
dirimu),
apakah
kamu
tidak
memiliki fikih?” Perkataan juru tulis ayahku menyadarkan Asy Syafi’i dan
mendorongnya
untuk
mempelajari
fikih.
Lalu
dia
mendatangi
majlis
pengajian Az Zanji bin Khalid, seorang mufti Mekah. Setelah itu, dia
pergi ke Madinah dan menjadi murid Malik bin Anas.” (Hulliyatul Auliya`,
(9/70-71) dan Tawaala At Ta`sis, karya Al Fakhrurrazi, halaman: 50-51).
3.
Mimpi Bertemu Nabi Saw
Ar Rabi’ bin Sulaiman mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Suatu malam aku
mimpi
bertemu
Jawabku,
“Ada
keturunan
Nabi
Saw,
apa
Wahai,
siapa?”
beliau
berkata
Rasulullah!”
Jawabku,
“Dari
kepadaku,
Beliau
keturunan
“Hai,
bertanya,
Anda,
Ya,
anak
muda!”
“Kamu
dari
Rasulullah!”
Beliau berkata, “Mendekatlah kepadaku!” Maka aku mendekatinya. Beliau
mengambil air ludahnya. Aku membuka mulutku, lalu beliau mengusapkan
ludahnya ke mulut, bibir dan lidahku. Beliau berkata, “Pergilah! Semoga
Allah
memberkatimu.”
bahwa
aku
salah
Setelah
dalam
mimpi
itu,
mengucapkan
tak
hadits
pernah
atau
teringat
syair.”
olehku,
(Tawaala
At
-ketika
aku
Ta`sis, karya Al Fahrurrazi, halaman: 52).
4.
Mendapatkan Timbangan dalam Mimpi
Harmalah
mendengar
Asy
Syafi’i
berkata,
“Sewaktu
kecil,
tinggal di Mekah- aku pernah bermimpi melihat seorang laki-laki yang
berwibawa
mengimami
memberikan
shalat
pengajian
di
kepada
Masjidil
orang-orang.
Haram.
Lalu
Selesai
aku
shalat
dia
mendekatinya
dan
meminta kepadanya, “Ajari aku!” Dia mengeluarkan timbangan dari lengan
bajunya
dan
memberikannya
kepadaku,
sambil
berkata,
“Ini
untukmu.”
Paginya aku menceritakan mimpiku kepada seorang ahli tafsir mimpi, dia
berkata, “Engkau akan menjadi imam dalam ilmu pengetahuan dan berjalan
sesuai
dengan
Al
Qur’an
dan
Sunnah,
karena
imam
Masjidil
Haram
menunjukkan keutamaan dan kelebihan dari imam-imam yang ada, sedangkan
timbangan menunjukkan bahwa engkau mengetahui hakekat sesuatu secara
mendalam.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi, 1/99).
5.
Asy Syafi’i Menemui Malik bin Anas
Harmalah mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Aku menemui Malik bin Anas
pada usia tiga belas tahun. Pada waktu itu yang menjadi gubernur di
Madinah adalah sepupuku. Dia banyak bercerita tentang Malik kepadaku.
Aku
tertarik
hadapannya.
Jawabku,
mendatanginya
Malik
“Aku
untuk
berkata,
akan
membaca
“Carilah
membacanya
saat
bukunya
orang
ini
lain
juga.”
(Al
Muwaththa`)
untuk
di
mengajarimu!”
Akhirnya
aku
membaca
bukunya di hadapannya. Sesekali dia berkata kepadaku tentang sesuatu
yang telah aku baca, “Ulangi hadits ini!” Maka aku mengulanginya dengan
tanpa membuka buku. Kelihatannya hal ini membuatnya tertarik kepadaku.
Aku
bertanya
Kemudian
kepadanya
persoalan
tentang
yang
lain
suatu
dan
persoalan
seterusnya.
dan
Malik
dia
menjawabnya.
berkata,
“Sudah
sepantasnya engkau menjadi seorang Qadhi.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya
Al Baihaqi, 1/101).
6.
Bersama Hudzail dan Malik bin Anas
Ar Rabi’ bin Sulaiman mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Aku keluar dari
Mekah, pergi menuju suku Hudzail di pedalaman. Aku belajar perkataan dan
bahasa mereka. Suku Hudzail adalah suku yang paling fashih di kalangan
suku-suku Arab. Aku tinggal bersama mereka dalam waktu yang cukup lama.
Aku
ikut
ke
mana
mereka
pergi
dan
di
mana
mereka
berhenti.
Ketika
kembali ke Mekah, aku telah bisa menggubah sya’ir dan menguasai sejarah
suku-suku
Arab.
Sewaktu
aku
sedang
melantunkan
sya’ir
dan
bercerita
kepada orang-orang tentang peristiwa-peristiwa bersejarah bangsa Arab,
tiba-tiba seorang laki-laki dari suku Zamrayin lewat di dekatku dan
berkata,
“Wahai,
Abu
Abdullah!
Sangat
disayangkan
bila
anda
tidak
memiliki ilmu dan fikih. Pengetahuanmu yang mendalam tentang bahasa dan
sastra tidak ada artinya, jika dibandingkan dengan orang yang memiliki
ilmu dan fikih.” Aku bertanya, “Siapakah yang engkau maksud dengan orang
yang memiliki ilmu dan fikih?” Orang itu menjawab, “Anas bin Malik,
pemimpin kaum muslimin.”
Perkataan orang tersebut masuk dalam hatiku. Kemudian aku mencari kitab
Al Muwaththa`. Aku mendapatkannya dengan meminjam dari tetanggaku, lalu
aku
menghafalnya.
Setelah
hafal,
aku
menemui
gubernur
Mekah
untuk
meminta surat jalan darinya. Aku membawa surat gubernur Mekah untuk
gubernur
Madinah
menyerahkan
surat
dan
Malik
tersebut
bin
kepada
Anas.
Sesampainya
gubernur
Madinah.
di
Madinah,
Ketika
aku
gubernur
Madinah selesai membaca surat tersebut, dia berkata, “Anakku! Jika aku
disuruh berjalan dari ujung Mekah ke ujung Madinah dengan berjalan tanpa
alas kaki, maka lebih ringan bagiku daripada harus pergi menuju rumah
Malik. Sungguh aku tidak merasa terhina, hingga aku berdiri di depan
pintu rumahnya.”
Aku
berkata,
Gubernur
“Bagaimana
Madinah
kalau
berkata,
anda
“Tidak
mengundangnya
Mungkin,
dia
datang
tidak
kemari?”
mungkin
datang
kemari. Begini saja, kita pergi ke sana! Mungkin dengan perantara debu
medan Aqiq yang mengotori kita, bisa menjawab keperluan kita.” Kami
berjanji akan pergi setelah Ashar. Habis shalat Ashar, kami pergi ke
rumah Malik. Seseorang di antara kita maju dan mengetuk pintu. Lalu
seorang pembantu perempuan keluar menemui kami. Gubernur Madinah berkata
kepadanya,
“Katakan
kepada
tuanmu,
aku
datang
untuk
menemuinya.”
Pembantu perempuan itu masuk, beberapa saat kemudian dia keluar dan
berkata, “Majikan saya berkata, jika anda menemuinya untuk menanyakan
suatu
masalah,
memberikan
telah
maka
jawaban.
tahu
jadwal
tulislah
Jika
anda
dalam
secarik
menemuinya
pengajiannya.”
kertas,
beliau
akan
belajar
hadits,
anda
untuk
Gubernur
Madinah
berkata,
“Katakan
kepadanya, aku membawa surat dari gubernur Mekah, penting!” Pembantu itu
masuk,
kemudian
hadapan
kami.
berumur
dan
berwibawa.
keluar
Malik
dengan
keluar
berperawakan
Gubernur
membawa
menemui
tinggi.
Madinah
kursi,
kami.
Dia
lalu
Malik
seorang
mengenakan
menyerahkan
surat
meletakkannya
jubah
kepada
yang
dan
di
sudah
tampak
Malik.
Malik
membacanya. Ketika dia sampai pada tulisan yang berbunyi, “Sesungguhnya
dia adalah seorang yang mulia, baik dari keturunan maupun sifatnya.
Ajarilah dia hadits dan ilmu-ilmu yang engkau miliki!” Malik melempar
surat
itu
dan
berkata,
“Maha
Suci
Allah!
Kini
ilmu
Rasulullah
Saw
didapatkan dengan perantara.” Aku menoleh ke arah gubernur Madinah, dia
kelihatan segan untuk berbicara, maka aku maju dan berkata kepadanya,
“Semoga Allah menambahkan kebaikan pada anda! Aku adalah keturunan Bani
Muthallib.” Ketika Malik mendengar perkataanku, dia memandangku beberapa
saat. Malik memiliki firasat yang kuat, lalu berkata kepadaku, “Sungguh
engkau
akan
menjadi
orang
yang
terkenal
dan
berpengaruh.”
Jawabku,
“Semoga begitu, insya Allah.” Malik berkata, “Besok datanglah kemari!
Akan ada orang yang mengajarkan Al Muwaththa` kepadamu.” Aku berkata,
“Aku telah menghafalnya.” Lalu kami pulang. Keesokan harinya aku pergi
menemui Malik dan mulai belajar darinya. Dia kelihatan sangat senang dan
tertarik pada bacaan i’rabku. Setiap kali aku merasa bahwa Malik lelah
dalam menyimak bacaanku dan aku ingin berhenti, dia berkata, “Teruskan,
nak! Jangan berhenti.” Sehingga aku selesai membaca Al Muwaththa` hanya
dalam beberapa hari saja. Kemudian aku menetap di Madinah sampai Malik
bin Anas Ra meninggal dunia.” ( Hulliyatul Auliya`, karya Abu Nu’aim
(9/69), Adabu Asy Syafi’i, karya ibnu Abi Hatim (halaman: 27), Tawaala
At Ta`sis, karya Al Fakhrurrazi (halaman: 51) dan Manaqib Asy Syafi’i,
karya Al Baihaqi (1/301)).
7. Kisah Perjalanan Mencari Ilmu
Asy Syafi’i berkata, “Aku belajar berbagai macam ilmu pengetahuan dan
hadits dari para ulama. Aku ingin mencatat apa yang aku dengar. Karena
tidak memiliki uang untuk membeli kertas, maka aku mencari tulang-tulang
yang lebar untuk aku gunakan sebagai tempat mencatat ilmu yang aku
pelajari,
sehingga
Kemudian
salah
penguasa
daerah
mereka
untuk
terkumpul
seorang
pamanku
Yaman.
menemui
Ibuku
dirumahku
dua
dari
Muthallib
Bani
menemui
pamanku
yang
guci
tulang-belulang.
diangkat
saudara-saudaranya
diangkat
menjadi
menjadi
dan
meminta
penguasa
Yaman.
Mereka memintanya agar mengajakku ikut serta ke Yaman. Dia mengijinkan.
Akhirnya aku menemaninya berangkat ke Yaman. Di Yaman ada salah seorang
kepercayaan Harun Ar Rasyid, bernama Hamad Al Barbari. Hamad Al Barbari
menulis surat kepada Harun Ar Rasyid, memperingatkan tentang orang-orang
pengikut setia Ali dan dia menyebut namaku dalam suratnya. Katanya,
“Bersama orang yang anda angkat menjadi penguasa Yaman, ada seorang anak
muda
bernama
senjata
seorang
menghadap
Kemudian
lainnya
Muhammad
ksatria.
kepada
aku
anda.”
dan
dibawa
bin
Idris.
Jika
Surat
seorang
menghadap
Perkataannya
anda
ingin,
jawaban
dari
Bani
Harun
Ar
lebih
aku
dari
akan
Harun
Muthallib
Rasyid.
Ar
serta
Kami
mematikan
dari
membawa
mereka
Rasyid
datang.
beberapa
dihadapkan
orang
padanya
sepuluh orang sepuluh orang, lalu diinterogasi satu persatu. Harun Ar
Rasyid
menanyai
pengawalnya
untuk
kami
dari
balik
membunuh
orang
tirai,
yang
setelah
telah
itu
ditanya.
ia
menyuruh
Hingga
tiba
giliranku. Aku berkata, “Wahai, Amirul Mukminin! Aku, Muhammad bin Idris
Asy Syafi’i, adalah hamba dan pelayanmu.” Dia berkata, “Bunuh dia!” Aku
berkata,
“Wahai,
Amirul
Mukminin!
Berilah
aku
kesempatan
untuk
berbicara. Tanganmu ada dimana-mana, kekuasaanmu kuat dan tidak ada yang
menghalangimu untuk berbuat apa saja kepadaku.” Dia berkata, “Katakan
apa
maumu!”
Aku
berkata,
“Wahai,
Amirul
Mukminin!
Anda
telah
salah
dengan menuduhku menyimpang dari perintahmu dan condong kepada mereka
yang keluar dari ketaatanmu. Aku akan membuat permisalan tentang Anda
dan mereka yang tidak taat kepada anda. Apa pendapat Amirul Mukminin
terhadap
seorang
satunya
dianggap
laki-laki
yang
seperti
mengasuh
anak
dua
sendiri.
anak
pamannya.
Menyamakan
Salah
nasab
dan
kedudukannya. Hartanya haram baginya, kecuali dengan seijinnya. Anak
perempuannya haram baginya, kecuali dengan mengawininya dan haknya sama
dengan dirinya. Sedangkan keponakannya yang lain dianggap lebih rendah
darinya,
dia
perempuan
baginya
adalah
baginya.
tanpa
budaknya
Anak
perlu
dan
perempuan
ijinnya
dan
anak
perempuannya
keponakannya
hartanya
yang
adalah
adalah
satu
ini
miliknya.
budak
halal
Kepada
siapakah anda akan menjadi wali, bagi yang pertama atau yang kedua? Ini
adalah permisalan Anda dan mereka.” Harun Ar Rasyid meminta kepadaku
untuk
mengulangi
mengulanginya,
perkataanku
aku
menggunakan
sampai
kalimat
tiga
yang
kali.
berbeda,
Setiap
namun
kali
maknanya
sama. Harun Ar Rasyid berkata, “Penjarakan dia!” Maka aku ditahan di
Daarul ‘Ammah. Di sana aku tidak memiliki teman yang dekat, kecuali
Muhammad
bin
Hasan.
Aku
condong
kepadanya,
karena
keilmuannya.
Aku
berharap semoga dia bisa membantuku memintakan syafaat kepada Harun Ar
Rasyid. Pada suatu hari Muhammad bin Hasan datang. Dia menghina kota
Madinah dan merendahkan orang-orangnya, namun memuji teman-temannya di
Irak dan mengangkat derajat mereka. Muhammad bercerita bahwa dia pernah
menulis sebuah buku untuk orang-orang Madinah. Dia berkata, “Jika aku
mendapatkan seorang penduduk Madinah mengkritik satu huruf bukuku, maka
aku akan mencarinya dan membunuhnya.” Orang-orang Muhajirin dan Anshar
tidak
senang
mendengar
hinaan
terhadap
Madinah
dan
orang-orangnya.
Sementara teman-teman Muhammad bin Hasan gembira mendengar pujiannya.
Maka aku menimbang di antara dua perkara. Bagaimana caranya agar Harun
Ar
Rasyid
tidak
bertambah
benci
kepadaku
dan
membuat
orang-orang
Muhajiran dan Anshar senang atau membiarkan saja hal ini, dengan harapan
Muhammad bin Hasan mau memintakan syafaat kepada Harun Ar Rasyid bagiku.
Maka aku memilih ridla Allah Swt dalam hal ini. Aku berlutut di hadapan
Muhammad bin Hasan dan berkata, “Wahai, Abu Abdullah! Aku melihatmu
menghina
Madinah
dan
menjelekkan
maksudkan
dengan
hinaan
tersebut
orang-orangnya.
adalah
tempatnya,
Jika
yang
anda
ketahuilah
bahwa
Madinah adalah tempat terhormat bagi Rasulullah Saw, tempat yang aman
bagi beliau dan tempat tujuan hijrah. Di Madinah wahyu turun. Di sana
beliau membangun masyarakat dan di sana pula kuburannya. Rasulullah Saw
menyebutnya Thabah (yang baik) dan di sana terdapat salah satu taman
surga. Namun jika yang anda maksudkan dengan hinaan tersebut adalah
orang-orangnya,
ketahuilah
Rasulullah,
keluarga
melapangkan
jalan
dekat
keimanan.
bahwa
mereka
beliau
dan
Mereka
adalah
mereka
menjaga
sahabat-sahabat
adalah
wahyu
penolong
dan
dalam
mengumpulkan
Sunnah. Dan jika yang anda kehendaki dengan hinaanmu itu adalah salah
seorang penduduk Madinah, yaitu Malik bin Anas Ra, maka tidak ada apaapa bagimu menyebut namanya dan jangan sebut Madinah dengan sebutan yang
merendahkan seperti itu!” Muhammad bin Al Hasan berkata, “Tidak ada yang
aku maksudkan, selain Malik bin Anas.”
Asy Syafi’i berkata, “Aku telah membaca buku yang anda tulis untuk
penduduk Madinah dan aku mendapatkan kesalahan dalam perkataan-perkataan
yang anda tulis antara “Bismillahirrahmanirrahim” dan “Wa shallallahu
‘ala
Muhammad.”
(maksudnya
terdapat
kesalahan
dalam
isi
buku
yang
ditulis oleh Muhammad bin Hasan). Aku mendapatkan anda menolak hukum
Kitabullah dalam seratus tiga puluh tempat:
Anda berpendapat pada persoalan dua orang yang berselisih dalam dinding
rumah dan tidak ada bukti di antara keduanya, bahwa dinding itu milik
orang
yang
dinding
rumahnya
tersambung
dengan
dinding
yang
diperselisihkan.
Anda
mengatakan
tentang
perabot
rumah
tangga
yang
diperebutkan
oleh
pasangan suami isteri, ketika bercerai, bahwa apa yang pantas bagi lakilaki, maka menjadi milik suami dan apa yang pantas untuk perempuan, maka
menjadi milik istri.
Anda mengatakan tentang permasalahan seorang laki-laki yang mengingkari
anak yang dibawa istrinya dengan alasan bahwa istrinya meminjam anak itu
dari orang lain dan dia tidak melahirkannya, bahwa kesaksian satu dukun
bayi di terima.
Anda
mengatakan
dalam
permasalahan
rak-rak
yang
diperebutkan
antara
pemilik kedai dan penyewa, jika rak-rak itu bukan bangunan asli maka
menjadi milik penyewa, namun jika merupakan bangunan asli, maka menjadi
milik pemilik tempat.
Anda memberikan pendapat tentang masalah ini dan semisalnya –lalu anda
menyebutkan semua hukum-hukumnya- dengan tanpa bukti dan sumpah. Padahal
Rasulullah Saw telah menetapkan, bahwa bukti bagi orang yang menuntut
dan sumpah bagi terdakwa.
Anda mengingkari saksi dan sumpah, padahal itu adalah sunnah Rasulullah
Saw, pendapat Ali bin Abi Thalib dan pendapat pemimpin-pemimpin kami di
Hijaz.
Apakah anda mengatakan ini semua hanya berdasarkan ijtihad akal dengan
menolak sunnah? Anda menyebutkan banyak hal yang menyalahi kami dan
bertentangan dengan Sunnah.”
Pada waktu itu Hartsamah, seorang juru tulis istana, ada disana. Maka ia
mencatat kejadian yang baru saja terjadi antara Asy Syafi’i dan Muhammad
bin Al Hasan. Orang-orang Muhajirin dan Anshar senang, ketika mendengar
bahwa
ada
Muhammad
Ketika
orang
bin
yang
Hasan
Hartsamah
membela
dan
Madinah
dan
teman-temannya
menghadap
Harun
Ar
orang-orangnya,
merasa
tidak
Rasyid,
dia
sementara
senang
dan
menanyakan
iri.
perihal
kejadian yang terjadi di Daarul ‘Ammah. Maka Hartsamah menceritakannya.
Harun Ar Rasyid berkata, “Mengapa Muhammad bin Hasan tidak mengingkari
perkataan laki-laki dari Bani Abdi Manaf? Temuilah Asy Syafi’i, katakan
padanya bahwa aku telah memaafkannya sebelum engkau mengucapkan salam.
Sampaikan salamku untuknya dan beritahu bahwa aku telah menghadiahkan
lima ribu dinar baginya, diambilkan dari Baitul Mal daerah Khudhrah. (Al
Khabar fi Adabi Asy Syafi’i wa Manaqibihi, halaman: 166).
Maka Hartsamah menemui Asy Syafi’i dan mengabarkan bahwa Amirul Mukminin
telah
memaafkannya.
memberitahukan
Dia
bahwa
juga
Amirul
menyampaikan
Mukminin
salam
Amirul
menghadiahkan
Mukminin
lima
ribu
dan
dinar
untuknya.
Hartsamah berkata, “Seandainya Amirul Mukminin tidak memberimu hadiah,
maka
aku
akan
menyiapkan
memberimu
hadiah
empat
hadiah.
ribu
Aku
dinar
telah
memerintahkan
untukmu.”
Asy
pembantuku
Syafi’i
berkata,
“Terima kasih banyak, semoga Allah membalas kebaikanmu. Seandainya aku
tidak menerima hadiah, kecuali dari orang yang lebih tinggi dariku,
niscaya
aku
terima
hadiahmu.
Lakukanlah
apa
yang
diperintahkan
oleh
Amirul Mukminin!”
Hartsamah
memberikan
uang
kepada
Asy
Syafi’i.
Kemudian
Asy
Syafi’i
memanggil tukang bekam. Setelah berbekam, Asy Syafi’i memberikan lima
puluh dinar untuk tukang bekam. Asy Syafi’i mengambil uang hadiahnya dan
menjadikannya
dalam
kantong-kantong
kecil,
setelah
itu
membagikannya
kepada orang-orang Quraisy yang tinggal di Hudhrah. Ketika pulang ke
rumah, dia hanya membawa kurang dari seratus dinar. (Al Khabar fi Adabi
Asy Syafi’i wa Manaqibihi, halaman: 166). Hartsamah menemui Asy Syafi’i
dan mengatakan kepadanya agar bersiap-siap menghadap Amirul Mukminin,
maka Asy Syafi’i mempersiapkan diri. Asy Syafi’i masuk menghadap amirul
Mukminin dan Muhammad bin Hasan telah ada di sana. Lalu Asy Syafi’i dan
Muhammad
bin
Hasan
berdebat
di
depan
Amirul
Mukminin.
Asy
Syafi’i
bertanya,
“Apa
pendapat
anda
tentang
qasaamah?1
Muhammad
bin
Hasan
berkata, “Minta penjelasan.” Asy Syafi’i berkata, “Demi Allah! Dia kafir
wahai,
Amirul
Mukminin!
Dia
menganggap
bahwa
Rasulullah
Saw
meminta
penjelasan kepada orang Yahudi.”2
Harun Ar Rasyid berkata, “Hukum mati, Muhammad bin Al Hasan!” Ketika
Harun Ar Rasyid memerintahkan hal itu, aku merasa takut. Aku berkata
kepada Harun Ar Rasyid, “Wahai Amirul Mukminin! Jika dia ingkar dalam
hal ini, sungguh dia berkata yang sama di tempat yang lain. Akan tetapi
orang
yang
dengan
berdebat,
bukti-bukti
masing-masing
yang
akan
dimilikinya.”
mempertahankan
Kelihatannya
pendapatnya
Amirul
Mukminin
menerima perkataanku, lalu dia memaafkan Muhammad bin Hasan.
Ketika aku dan Muhammad bin Hasan keluar dari hadapan Amirul Mukminin,
dia berkata kepadaku, “Abu Abdullah! Bunuhlah aku!” Aku berkata, “Jika
aku ingin, sudah aku lakukan sebelumnya.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al
Baihaqi (1/111-117), Adabu Asy Syafi’i, karya Ibnu Abi Hatim (halaman:
166-167).
8. Debat Asy Syafi’i dengan Muhammad bin Hasan
Asy Syafi’i berkata, “Muhammad bin Hasan adalah seorang ulama yang agung
dan mulia, aku menghormatinya. Aku telah menghabiskan enam puluh dinar
untuk membeli buku-bukunya. Hingga suatu saat kami dipertemukan dalam
majlis Harun Ar Rasyid. Muhammad bin Hasan memulai lebih dahulu, dia
berkata, “Amirul Mukminin! Sesungguhnya penduduk Madinah telah menyalahi
1
Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (12/202), “Al Qasamah adalah kata
benda dari qasama yang berarti sumpah yang dilakukan oleh wali korban
pembunuhan, jika ingin menuntut darah.”
2
Perkataan ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Sahal bin Abi
Histmah,
disebutkan
bahwa
serombongan
kaum
muslimin
pergi
menuju
Khaibar. Mereka berpencar, lalu mendapatkan bahwa salah seorang dari
mereka
terbunuh.
Dalam
hadits
tersebut
dinyatakan
bahwa
Nabi
Saw
berkata, “Dapatkan bukti bagi orang yang membunuhnya.” Mereka berkata,
“Kami tidak memiliki bukti apa-apa.” Nabi Saw berkata, “Kalau begitu,
apakah mereka mau bersumpah?” Mereka menjawab, “Engkau tidak akan rela
terhadap sumpah orang Yahudi.” Nabi Saw tidak menyukai darah orang islam
hilang begitu saja, maka beliau menebusnya dengan seratus ekor unta dari
unta shadaqah. Nabi Saw tidak meminta penjelasan kepada orang Yahudi,
tetapi kepada orang-orang Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Al Baihaqi,
halaman: 120.
nas Kitabullah, keputusan-keputusan Rasulullah Saw, ijma’ umat Islam dan
mereka menerima kesaksian dan sumpah dalam pengadilan.”
Hal ini mengusik pikiranku. Aku berkata, “Wahai, Muhammad bin Hasan!
Anda
telah
berprasangka
jelek
terhadap
orang-orang
Madinah,
padahal
mereka telah menerima Nabi Saw dengan baik dan Al Qur’an diturunkan pada
mereka.
Anda
telah
menetapkan
hukum
yang
tidak
benar
pada
mereka,
padahal pusara Rasulullah Saw ada di tengah-tengah mereka. Mengapa anda
menjelekkan mereka? Lalu apa alasan anda menerima kesaksian satu orang
dukun bayi? Apakah supaya dia dapat mewarisi dari Khalifah harta yang
banyak?”
Muhammad
bin
Hasan
menjawab,
“Dengan
pendapat
Ali
bin
Abi
Thalib.” Aku berkata, “Sesungguhnya perawi yang meriwayatkan pendapat
ini dari Ali adalah seorang yang tidak dikenal, yaitu Abdullah bin Naja,
kemudian
Abdullah
bin
Naja
meriwayatkannya
kepada
Jabir
Al
Ju’fi,
seorang yang dituduh oleh para ulama menganut paham Raj’iyah. Sufyan bin
‘Uyainah pernah berkata kepadaku, ‘Suatu ketika Jabir pernah menemuiku
dan bertanya tentang perdukunan.’ Ketahuilah wahai, Muhammad bin Hasan!
Bahwa saksi dan sumpah adalah hukum yang dijalankan oleh Rasulullah Saw,
juga Ali bin Abi Thalib ketika di Kufah. Lalu apa pendapat anda tentang
Qasamah?” Muhammad bin Hasan berkata, “Qasamah adalah minta penjelasan.”
Aku
berkata,
memutuskan
“Kalau
hukum
begitu
kepada
anda
umatnya
menyangka
dengan
tidak
bahwa
yakin.
Rasulullah
Beliau
Saw
menanyai
mereka, kemudian tidak menetapkan hukum bagi mereka.”
Harun
mengikuti
perdebatan
ini,
lalu
dia
menyuruh
algojonya
untuk
menghukum mati Muhammad bin Hasan. Asy Syafi’i berkata, “Wahai, Amirul
Mukminin! Ini bukanlah keyakinannya. Sesungguhnya ketetapannya berbeda
dengan
yang
bersumpah
baru
disini,
saja
diucapkan.
kemudian
Maksudku
setelah
keluar
orang-orang
dari
sini,
yang
berdebat
mereka
akan
membayar kifarat sumpah mereka. Wahai, Amirul Mukminin! Ketahuilah bahwa
apabila dua orang berdebat, maka masing-masing akan membela pendapatnya
dengan argumen-argumen yang bisa menjatuhkan lawannya.” Perkataanku ini
diterima oleh Amirul Mukminin, Harun Ar Rasyid, lalu dia membebaskan
Muhammad bin Hasan dari hukuman mati.
Ketika kami keluar, Muhammad bin Hasan berkata kepadaku, “Engkau telah
menumpahkan darahku.” Aku berkata, “Sekarang Allah telah menciptakanmu
kembali.” (Tarikh Baghdad, karya Al Khatib (2/178-179) dan Manaqib Asy
Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/117-120).
9. Asy Syafi’i dan Penduduk Madinah
Abu Tsaur mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Suatu hari aku mendatangi
sebuah
majlis
pengajian,
ternyata
Muhammad
bin
Hasan
ada
di
situ
dikelilingi oleh sekelompok orang dari Bani Hasyim, Quraisy dan orangorang yang mencari ilmu lainnya. Muhammad bin Hasan berkata, “Aku telah
menulis sebuah buku, jika aku mengetahui ada seseorang yang mengkritik
sesuatu
dari
buku
menemuinya.”
Aku
itu,
berkata
selama
unta
kepadanya,
bisa
mendatanginya,
“Aku
telah
membaca
aku
isi
pasti
bukumu
seluruhnya, ternyata setelah Bismillahirrahmanirrahim semuanya tidak ada
yang benar. Muhammad bin Hasan berkata, “Apa saja yang salah menurutmu?”
Aku
berkata,
“Anda
sering
mengulang-ulang
“Telah
berkata
orang
Madinah...” Perkataan anda ini mengandung dua penafsiran, apakah yang
anda maksud dengan orang Madinah adalah semua penduduk Madinah atau
Malik bin Anas saja? Jika yang anda maksud dengan orang Madinah adalah
semua
penduduk
Madinah,
maka
anda
telah
salah,
karena
ulama-ulama
Madinah tidak semuanya seperti yang anda ceritakan. Tetapi jika yang
anda maksud dengan orang Madinah adalah Malik bin Anas saja, lalu anda
menyebutnya dengan orang Madinah, maka anda juga salah, karena di antara
ulama
Madinah
pendapat
yang
ada
yang
tidak
berpendapat
sama
dengan
menerima
mereka.
taubatnya
Sehingga
Malik
apapun
dalam
yang
anda
maksudkan, anda tetap salah.”
Asy Syafi’i berkata, “Akhirnya orang-orang yang ada di majlis tersebut
menjadi jelas dalam permasalahan ini dan orang-orang Hijaz yang hadir di
situ merasa senang.” (Manaqib Asy Syafi’i, (1/121-122).
10. Asy Syafi’i dan Kesaksian Dukun Bayi
Asy
Syafi’i
penduduk
berkata
Madinah,
kepada
padahal
Muhammad
anda
telah
bin
Hasan,
tahu
“Anda
perkataan
telah
mencela
Rasulullah
Saw
tentang Madinah dan keutamaannya dari kota-kota yang lain. Jika anda
bermaksud mencela Madinah, maka sesungguhnya Madinah adalah tempat yang
telah dipilih Allah Swt kepada Rasul-Nya Saw; dan jika anda bermaksud
mencela penduduknya, maka sesungguhnya penduduk Madinah adalah sahabatsahabat Rasulullah Saw dan anak dari para sahabat. Siapakah yang anda
maksud dengan hinaan ini, tempatnya atau orangnya?” Muhammad bin Hasan
berkata, “Aku maksudkan dengan hinaanku adalah orang yang berpendapat
diterimanya saksi dan sumpah, karena ia telah menyalahi Kitabullah.” (Al
Khabar fi Manaqibi Asy Syafi’i, karya Fahrurrazi (halaman: 31-32) dan
Tawaala At Ta`sis (halaman: 69-70). Aku bertanya, “Dimana dia menyalahi
Kitabullah?” Jawabnya, “Allah Swt berfirman, “Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian),” (QS. Al
Baqarah: 282) dan firman yang berbunyi, “Dengan dua orang saksi yang
adil di antara kalian.” (QS. Ath Thalaak: 2) Disini tidak dinyatakan
sumpah dan saksi.” Aku bertanya, “Katakan padaku apa penafsiran firman
Allah Swt, ‘Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antara kalian).’ (QS. Al Baqarah: 282) Apakah ini suatu hukum
yang tetap, tidak boleh kurang dari dua orang saksi ataukah hukum yang
bisa dirubah?” Jawabnya, “Itu adalah keputusan yang tetap, tidak boleh
kurang dari dua orang saksi.” Aku berkata, “Kalau memang pendapat anda
seperti itu, bahwa hukum itu pasti, tidak boleh kurang dari dua orang
saksi, maka anda dan pengikut anda telah menyalahi Kitabullah.” Dia
berkata,
“Dimana
kami
telah
menyalahi
Kitabullah?”
Aku
berkata
kepadanya, “Pendapat anda yang menerima kesaksian satu orang dukun bayi
tanpa ada saksi lain dalam soal kelahiran.” Dia berkata, “Kesaksian satu
orang
dukun
membolehkan
bisa
diterima.”
kesaksian
satu
Aku
orang
berkata
kepadanya,
perempuan
tanpa
“Anda
ada
telah
saksi
lain
bersamanya. Sungguh anda telah menyalahi Kitabullah?!” Dia berkata, “Ali
bin Abi Thalib juga telah membolehkan kesaksian satu orang dukun bayi.”
Aku berkata kepadanya, “Riwayat ini tidak shahih berasal dari Ali. Anda
telah menyalahi pendapat yang shahih dari Rasulullah Saw dan Ali yang
menghukumi dengan saksi dan sumpah.”
Asy Syafi’i berkata, “Sahabat-sahabatku senang dengan jawabanku. Maka
mulai hari itu aku menampakkan sikap kritisku dan perbedaanku dengan
Muhammad bin Hasan. Setelah itu aku menulis jawaban terhadap buku yang
dia tulis untuk penduduk Madinah.” (Manaqib Asy Syafi’i, (1/123-124).
11. Asy Syafi’i Menemui Harun Ar Rasyid
Disebutkan dalam kisah masuknya Asy Syafi’i menemui Harun Ar Rasyid,
bahwa dia membaca do’a. Fadhel bin Ar Rabi’ bertanya kepadanya tentang
do’a
itu.
berikut,
(yang
Maka
“Allah
berhak
Asy
Syafi’i
menyatakan
disembah),
mengajarkannya.
bahwasanya
Yang
tidak
menegakkan
Do’a
ada
itu
adalah
Tuhan
keadilan.
Para
sebagai
melainkan
Dia
Malaikat
dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).
Tak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Islam.”
Sesungguhnya
(QS.
Ali
agama
Imraan:
(yang
18-19).
diridhai)
Kemudian
disisi
dia
Allah
hanyalah
mengucapkan,
“Aku
menyatakan dengan kesaksian yang dinyatakan oleh Allah. Aku titipkan
kesaksian ini kepada-Nya, semoga menjadi simpananku di sisi-Nya yang
akan
Dia
berikan
kepadaku
kelak
pada
hari
Kiamat.
Ya,
Allah!
aku
berlindung kepada-Mu dengan cahaya kekudusan-Mu, keagungan kesucian-Mu
dan
barakah
kebesaran-Mu,
aku
berlindung
dari
segala
musibah
dan
penyakit, serta dari segala bisikan malam dan siang –dalam sebagian
riwayat: dari bisikan jin dan manusia- kecuali bisikan dalam kebaikan.
Ya,
Allah!
Engkau
pertolongan,
Engkau
adalah
Penolongku,
adalah
tempat
maka
kepada-Mu
bergantungku,
maka
aku
memohon
kepada-Mu
aku
bergantung dan Engkau adalah Pelindungku, maka kepada-Mu aku berlindung.
Wahai Tuhan yang merendahkan para penguasa yang lalim dan menundukkan
fir’aun-fir’aun yang durjana! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu,
dari terbukanya penutup aibku, dari meninggalkan dzikir kepada-Mu dan
jauhkanlah aku dari kemusyrikan. Ya, Allah! aku berada dalam lindunganMu
–dalam
riwayat
yang
lain:
dalam
kecukupan-Mu-
baik
siang
maupun
malam, dalam tidur dan terjagaku, dalam diam dan gerakku, dalam hidup
dan
matiku.
Dzikir
kepada-Mu
adalah
semboyanku,
pujianku
kepada-Mu
adalah selimutku, tiada Tuhan yang berhak disembah, selain diri-Mu. Maha
suci Engkau lagi Maha Terpuji, sebagai penghormatan terhadap keagunganMu, pemuliaan terhadap keindahan wajah-Mu. Jauhkanlah diriku dari siksaMu dan dari kejahatan hamba-hamba-Mu! Lindungilah aku dengan penjagaanMu dan masukkan aku dalam perlindungan-Mu! Limpahkanlah kebaikan pada
diriku, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih di antara para pengasih –dalam
sebagian riwayat: jagalah aku dengan kebaikan-Mu dari gangguan jin dan
manusia, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih di antara para pengasih! Tiada
daya
untuk
ketaatan,
menolak
kecuali
kemaksiatan
dari
dan
pertolongan
tiada
Allah
kekuatan
Yang
untuk
Maha
menjalankan
Agung
lagi
Maha
Mulia. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi yang
diridlai,
Muhammad
dan
keluarganya.”
(Manaqib
Asy
Syafi’i,
karya
Al
Baihaqi (1/139-140).
12. Pemilihan Penarik Pajak yang Jujur
Asy
Syafi’i
berkata,
“Amirul
Mukminin,
Harun
Ar
Rasyid,
hendak
mengirimkan petugas penarik pajak ke Yaman. Maka dia mencari orang-orang
shalih
yang
jujur.
Akhirnya
berhasil
didapatkan
enam
orang
dan
aku
adalah salah satu di antara mereka yang terpilih dan yang paling muda.
Kami berangkat ke Yaman untuk menarik pajak hasil bumi di sana. Kami
mendatangi
orang-orang
kaya
dan
mengambil
pajak
mereka,
lalu
kami
membagikannya kepada orang-orang miskin di sana, dengan berlandaskan
pada hadits Nabi Saw, ketika mengutus Mu’adz ke Yaman. Ada yang melapor
kepada Amirul Mukminin, “Sesungguhnya petugas-petugas pajak yang Anda
utus ke Yaman, tidak mengirimkan apa-apa ke Baitul Mal.” Maka Amirul
Mukminin marah dan berkata, “Bawa mereka menghadap kepadaku!” Akhirnya
kami dibawa kembali ke Baghdad. Kami merasa bahwa maut telah menanti
atau siksaan yang berat akan menimpa kami. Aku mempersiapkan diri dengan
kain
kafan
dan
berpuasa.
Kami
dibawa
menghadap
Amirul
Mukminin
dan
disuruh duduk jauh darinya. Kami dipanggil satu persatu. Salah seorang
di
antara
mukminin
kami
dipanggil
bertanya
dan
kepadanya,
disuruh
“Kemana
berdiri
saja
dihadapannya.
kamu?”
Amirul
Jawabnya,
“Wahai,
Amirul Mukminin! Hamba bersama rombongan pemungut pajak yang anda utus
ke
Yaman.”
Harun
Ar
Rasyid
bertanya,
“Lalu
apa
yang
kalian
bawa?”
Jawabnya, “Kami melakukan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.”
Amirul
Mukminin
berkata
kepadanya,
“Kami
tidak
mengharapkan
jawaban
seperti itu, masuk ke rumah itu!” –rumah yang dindingnya dilapisi dengan
kulit binatang tebal- Aku merasakan kepalanya jatuh ke lantai. Akhirnya
tiba
giliranku,
lalu
aku
disuruh
berdiri
di
hadapannya.
Aku
sangat
takut. Amirul Mukminin bertanya, “Kemana saja kamu pergi?” Jawabku, “Ke
Yaman.” Dia bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengan hasil pajak yang
kamu ambil?” Maka aku mengucapkan apa yang terlintas dalam pikiranku.
Dia
mengambil
tongkat
dari
bambu
yang
ada
di
tangannya
dan
mengetukkannya ke lantai. Tiba-tiba Abu Yusuf masuk. Abu Yusuf berkata,
“Anak muda yang bernama Asy Syafi’i telah datang pada anda, Wahai,
Amirul Mukminin! Dia adalah anak paman anda. Dialah pemuda yang sering
aku ceritakan pada anda.” Abu Yusuf lalu memujiku dengan ucapan-ucapan
yang manis. Amirul Mukminin berkata kepadanya, “Diam! Sungguh aku tidak
pernah
bertemu
dengan
orang
Arab
yang
perkataannya
seindah
dia.”
Kemudian Amirul Mukminin mengulang pertanyaannya kepadaku, “Dimana kamu
selama ini?” Maka aku menjawab pertanyaannya dengan kalimat yang aku
bolak-balik, namun intinya sama, seperti jawabanku pertama kali. Ketika
aku
selesai
memujiku.
berdiri
menjawab
Amirul
dan
pertanyaan
Mukminin
dibawa
keluar
Amirul
berkata,
istana.
Mukminin,
“Aku
Ketika
Abu
Yusuf
mengampuninya.”
aku
sudah
Aku
berada
kembali
disuruh
di
luar
istana, tiba-tiba serombongan pengawal Amirul Mukminin menyusulku. Aku
kaget,
ketika
melihat
mereka.
Aku
mengucapkan,
“Innalillahi,
(sesungguhnya kita akan kembali kepada Allah), Amirul Mukminin telah
berubah pikirannya.” Mereka memberi salam kepadaku dan berkata, “Amirul
Mukminin telah mengampunimu dan beliau menghadiahkan uang untukmu.” Aku
bersyukur kepada Allah dan terus melangkah hingga sampai di depan pintu
gerbang istana. Tiba-tiba serombongan utusan yang lain menyusulku. Aku
sangat khawatir. Mereka mendekat lalu mengucapkan salam kepadaku dan
berkata,
“Pergilah
ke
istana
itu,
karena
Amirul
Mukminin
menyuruhmu
untuk tinggal di sana. Abu Yusuf mengucapkan salam untukmu dan dia
berkata, “Tulislah sebuah buku, karena anda pantas untuk mengarang buku
pada
zaman
ini
dari
orang
permasalahan
yang
telah
permasalahan
itu
begini
lain!
aku
Jauhilah
ketahui
–dia
dari
memberikan
berbicara
tentang
dua
karena
dua
perkataanmu,
isyarat
dengan
tangannya
menyilang di tenggorokan, maksudnya kematian.- Permasalahan yang pertama
adalah budak perempuan yang melahirkan anak dari majikannya, sedangkan
yang kedua adalah iman yang dipaksa.”
Asy
Syafi’i
membahas
berkata,
dua
“Aku
permasalahan
tidak
mematuhi
tersebut.
permintaannya,
Ketika
aku
maka
dipanggil
aku
untuk
menemuinya, aku tidak memiliki semangat untuk membicarakannya, kecuali
akhir perkataanku adalah, “Laa ilaha illallah.” (Manaaqib Ays Syafi’i,
karya Al Baihaqi (1/145-146)).
13. Mimpi Bertemu Ali bin Abi Thalib
Ar Rabi’ berkata, “Aku mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Ketika aku
berada dalam penjara di Baghdad, aku mimpi bertemu Ali bin Abi Thalib
Ra. Ali masuk dan duduk di depanku. Dia melepas cincin yang ada di
jarinya dan memakaikannya di jariku. Keesokan paginya aku minta bertemu
dengan Muhammad bin Hasan, aku berkata kepadanya, “Semalam aku bermimpi,
bisakah kamu memanggilkan seseorang yang bisa menafsirkan mimpi.” Maka
Muhammad bin Hasan mengirimkan Ja’ad, sang peramal mimpi, kepadaku, dia
menemuiku dalam penjara dan berkata, “Apa yang anda lihat dalam mimpi
semalam?” Aku berkata kepadanya, “Aku melihat Ali bin Abi Thalib masuk
dalam
penjara
ini
dan
menemuiku,
lalu
dia
melepas
cincinnya
dan
memasangnya di jariku.” Sang peramal mimpi berkata, “Jika mimpi anda
benar, maka tidak ada tempat baik di Timur maupun di Barat, melainkan
nama anda akan disebut-sebut dan perkataan anda akan diamalkan oleh
banyak orang.” (Manaaqib Ays Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/148-149)).
14. Kisah Qadhi Yaman
Asy
Syafi’i
Setelah
berkata,
mengucapkan
“Suatu
salam,
ketika
aku
aku
berkata
menghadap
Harun
kepadanya,
Ar
“Wahai,
Rasyid.
Amirul
Mukminin! Aku telah meninggalkan Yaman tanpa ada seorang qadhi pengganti
di sana.” Dia berkata, “Kalau begitu carilah seorang Hakim yang pantas
menggantikanmu dan angkatlah dia menjadi qadhi di sana.” Tatkala kembali
ke tempat mengajar, aku melihat Ahmad bin Hanbal. Aku menemuinya dan
kukatakan
padanya,
“Amirul
Mukimin
telah
memberikan
mandat
kepadaku
untuk memilih seorang qadhi, sebagai penggantiku di Yaman. Aku telah
memilih
engkau
untuk
menggantikanku.
Bersiap-siaplah!
Aku
akan
mengajakmu menghadap Amirul Mukminin, sehingga dia bisa mengesahkanmu
menjadi qadhi Yaman.” Ahmad bin Hanbal berkata, “Sesungguhnya aku datang
menemui anda untuk mencari ilmu. Apakah anda akan menyuruhku menemui
penguasa itu untuk mendapatkan jabatan? Celakalah anda!” Akhirnya Asy
Syafi’i membatalkan niatnya dan ia merasa malu.” (Manaqib Asy Syafi’i,
(1/154)).
15. Rahasia Dibalik Penciptaan Lalat
Mu’ammar bin Syabib berkata, “Aku mendengar Al Makmun bertanya kepada
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, “Wahai, Asy Syafi’i! Apa sebabnya Allah
menciptakan lalat?” Asy Syafi’i berpikir sebentar, kemudian berkata,
“Untuk merendahkan para raja, wahai, Amirul Mukminin?” Al Makmun tertawa
dan bertanya, “Asy Syafi’i! Engkau melihat lalat hinggap di pipiku?” Asy
Syafi’i berkata, “Benar, wahai, Amirul Mukminin! Sewaktu Anda bertanya
kepada saya, saya tidak memiliki jawaban apa-apa, saya bingung. Tibatiba
saya
melihat
lalat
hinggap
di
pipi
anda.
Tempat
yang
tidak
tersentuh oleh ratusan pedang dan tombak, maka hadirlah jawaban itu
dalam otak saya.” Al Makmun berkata, “Sungguh Allah telah melimpahkan
anugerah kepadamu, wahai, Asy Syafi’i!” (Manaqib Asy Syafi’i, (1/154)).
16. Ba’iat kepada Al Amin dan Al Makmun
Muhammad bin Ibrahim Al Mu`adzdzin berkata, “Aku mendengar Muhammad bin
‘Adi, seorang ulama terkenal berkata, “Diceritakan kepada kami, bahwa
ketika Harun Ar Rasyid memerintahkan rakyatnya untuk memba’iat Al Amin
dan Al Makmun, dia naik ke mimbar, lalu memuji Allah dan dan menyanjungNya. Maka orang pertama yang naik mimbar untuk menyatakan ba’iat adalah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. Asy Syafi’i meletakkan tangannya di atas
kepala Al Amin dan Al Makmun, seraya berkata,
Jangan halangi mereka berdua dari kekuasaan dan jangan berikan pada
keduanya
Hingga anugerah kekuasaan itu sirna pada dirimu
Kemudian dia menangis dan orang-orangpun ikut menangis. Maka sejak saat
itu, Asy Syafi’i dikenal oleh orang banyak.
Kami menyebutkan dari riwayat yang lain, bahwa kejadian ini berlangsung
di
Mekah.
Orang-orang
bertanya,
“Siapa
anak
muda
yang
menggabungkan
antara ucapan selamat dan ucapan bela sungkawa dalam satu bait syair?”
Ada yang menjawab, “Dia adalah anak muda dari suku Quraisy, namanya
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi
(1/157)).
17. Tidak Boleh Berfatwa, Kecuali Dengan Hal Ini
Yunus bin Abdul A’la berkata, “Asy Syafi’i berkata kepadaku, “Suatu hari
aku berdebat dengan Muhammad bin Hasan. Waktu itu, dia memakai baju yang
usang. Dia berdebat dengan semangat, tampak urat-urat lehernya mengeras,
sehingga
kancing
bajunya
lepas,
begitu
beberapa
kali,
hingga
semua
kancing bajunya lepas. Dia berkata, “Sahabatmu tidak boleh memberikan
fatwa –dengan akalnya- karena dia tidak memiliki akal.” Aku bertanya
kepadanya, “Aku mengingatkanmu kepada Allah! Apakah sahabatku menguasai
Kitabullah?”
menguasai
Tanyaku,
Jawabnya,
Hadits
“Dia
“Ya,
Rasulullah
mengetahui
dia
menguasainya.”
Saw?”
Jawabnya,
pendapat
Tanyaku,
“Ya,
dia
sahabat-sahabat
“Apakah
dia
menguasainya.”
Rasulullah
Saw?”
Jawabnya, “Ya, dia mengetahuinya.” Aku bertanya, “Aku mengingatkanmu
kepada Allah! Apakah sahabatmu menguasai Kitabullah?” Jawabnya, “Tidak.”
Tanyaku, “Apakah sahabatmu menguasai Hadits Rasulullah Saw?” Jawabnya,
“Tidak.” Tanyaku, “Apakah pengikutmu mengetahui pendapat sahabat-sahabat
Rasulullah Saw?” Jawabnya, “Tidak, akan tetapi dia berakal.” Aku berkata
kepadanya, “Sahabatku memiliki tiga hal, yang harus ada dalam berfatwa,
namun jika dia tidak memiliki akal, maka dia tidak boleh berfatwa.
Sedangkan
sahabatmu
tidak
memiliki
tiga
hal
yang
harus
ada
dalam
berfatwa. Walaupun dia manusia yang paling berakal, namun tetap saja dia
tidak boleh berfatwa.”
Yunus bin Abdul A’la berkata, “Maksud dari perkataan “Tidak memiliki
akal” adalah tidak memiliki pendapat, yaitu tidak memiliki kemampuan
untuk ijtihad dan qiyas. Kami telah meriwayatkan dari Abdurrahman bin
Mahdi, “Tidak ada yang lebih berakal dari Malik bin Anas.” (Manaqib Asy
Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/182-183)).
18. Membandingkan di antara Dua Imam
Muhammad
bin
Abdullah
bin
Abdul
Hakam
berkata,
“Aku
mendengar
Asy
Syafi’i bercerita, “Pada suatu hari Muhammad bin Hasan berkata kepadaku,
‘Aku tinggal di dekat rumah Malik bin Anas selama tiga setengah tahun
dan mendengar darinya lebih dari tujuh ratus hadits.’ (Tarikh Baghdad,
(2/173) dan Al Jawahir Al Mudhiyah (2/42)). Apabila Muhammad bin Hasan
meriwayatkan hadits dari Malik, maka rumahnya akan penuh sesak dengan
orang-orang yang ingin mendengarkan hadits. Namun jika dia meriwayatkan
hadits selain dari Malik, maka yang datang hanya beberapa orang. Kalau
sudah
begitu,
Muhammad
bin
Hasan
akan
berkata,
“Aku
tidak
melihat
manusia yang lebih buruk penghargaannya atas sahabat-sahabatnya daripada
kalian. Jika aku meriwayatkan hadits dari Malik, maka kalian memenuhi
tempat ini, namun jika aku meriwayatkan hadits dari selain Malik, kalian
datang dengan terpaksa.” Muhammad bin Hasan berkata kepadaku, “Sahabat
kami lebih berilmu dari pada sahabat kalian.” Aku bertanya kepadanya,
“Engkau ingin menyombongkan diri atau kebenaran?” Jawabnya, “Kebenaran.”
Tanyaku, “Apa dasarnya?” Jawabnya, “Kitab, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.”
Tanyaku,
“Aku
mengetahui
mengingatkanmu
Kitabullah,
sahabat
kepada
kami
Allah!
atau
Siapakah
sahabat
yang
kalian?”
lebih
Jawabnya,
“Jika engkau mengingatkanku dengan nama Allah, maka sahabat kalian lebih
mengetahui Kitabullah daripada sahabat kami.” Tanyaku, “Siapakah yang
lebih
mengetahui
Sunnah
Rasulullah
Saw,
sahabat
kami
atau
sahabat
kalian?” Jawabnya, “Sahabat kalian lebih mengetahui Sunnah Rasulullah
Saw daripada sahabat kami.” Tanyaku, “Siapakah yang lebih mengetahui
pendapat-pendapat
sahabat
Rasulullah
Saw,
sahabat
kami
atau
sahabat
kalian?” Jawabnya, “Sahabat kalian.” Tanyaku, “Adakah yang tertinggal,
selain qiyas?” Jawabnya, “Tidak.” Aku berkata, “Kami menggunakan qiyas
lebih banyak dari yang kalian gunakan, yaitu mengqiyaskan dengan ushul
(kaidah-kaidah hukum). Barangsiapa tidak mengenal ushul, maka dia tidak
mengenal qiyas.” Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam berkata, “Maksud
dari “Sahabat” disini adalah Malik bin Anas, semoga Allah merahmatinya.”
(Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/183-184)).
19. Perdebatan tentang Gerhana Matahari
Diriwayat
: 150 Qishshah wa Qishshah lil Imam Asy
Judul Terjemahan
: 150 Kisah Imam Asy Syafi’i
Pengarang
: Majdi Fathi As Sayyid
Penerbit
: Al Maktabah At Taufiqiyah
Cetakan
: -
Negara
: Kairo - Mesir
Penterjemah
: M. Habiburrahim, Lc.
Syafi’i
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Mukaddimah
Segala Puji bagi Allah. kepada-Nya kami memuji, memohon pertolongan dan
meminta ampunan. Kepada-Mu, Ya, Allah! Aku berlindung dari kejahatan
jiwa dan keburukan perbuatan. Barangsiapa yang mendapat petunjuk Allah,
maka tiada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan,
maka tiada petunjuk baginya.
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah, melainkan Allah
semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan Rasul-Nya.
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah, sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imraan: 102).
Allah Swt berfirman, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan
biakkan
isterinya;
laki-laki
dan
dan
dari
perempuan
pada
yang
keduanya
banyak.
Dan
Allah
memperkembang
bertakwalah
kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa`: 1). Allah Swt berfirman,
“Hai
orang-orang
katakanlah
yang
perkataan
beriman,
yang
bertakwalah
benar,
niscaya
kamu
Allah
kepada
Allah
memperbaiki
dan
bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barangsiapa menta'ati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar.” (QS. Al Ahzaab: 70-71).
Amma Ba’du
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Saw. Sejelek-jelek perkara adalah
sesuatu yang baru (yang tidak ada perintahnya dalam agama) dan setiap
hal yang baru adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap
kesesatan berada dalam neraka.
Buku
ini
mengumpulkan
kisah-kisah
kehidupan
Imam
Asy
Syafi’i
dalam
berbagai hal. Semoga Allah memberikan manfaat buku ini kepada seluruh
kaum muslimin dan muslimat.
Penutup do’a kami adalah Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin.
Abu Maryam
Kata Pengantar
Dalam lembaran-lembaran buku ini, kita akan hidup bersama salah satu
Imam terkemuka dalam sejarah Islam. Ulama terdepan pada masanya dan
pembela Hadits pada jamannya.
Dialah Muhammad bin Idris bin Al Abbas, Abu Abdullah Asy Syafi’i.
Asy Syafi’i dilahirkan di Ghaza, pada tahun 150 H. Ayahnya meninggal,
ketika beliau masih kecil, sehingga dia hidup dalam keadaan yatim. Dia
diasuh oleh ibunya, lalu ibunya membawanya ke Mekah dan beliau besar di
sana.
Beliau
sebayanya
hobi
dan
memanah,
beliau
sehingga
menyukai
sastra
bisa
mengungguli
Arab,
teman-teman
sehingga
mahir
dalam
menggubah sya’ir Arab. Setelah itu, beliau tertarik pada fikih, sehingga
beliau menjadi ulama terkemuka pada jamannya. Beliau mengarang banyak
buku, menulis dalam berbagai bidang ilmu dan menjawab argumen orangorang yang keliru. Beliau juga menulis dalam ushul fikih dan cabangcabangnya.
Karena
keilmuannya
yang
hebat
ini,
maka
beliau
banyak
didatangi oleh para pencari ilmu.
Ulama-ulama Islam, baik pada masanya maupun sekarang telah mengakui dan
mengagumi kehebatannya, sehingga banyak buku dan tulisan menerangkan
keilmuan dan keutamaannya.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Pada setiap seratus tahun, sesungguhnya
Allah
telah
mentakdirkan
bagi
umat
manusia,
orang
yang
mengajarkan
Sunnah kepada mereka dan menolak kebohongan dari hadits Rasulullah Saw.
Maka kami perhatikan, ternyata pada seratus tahun pertama, adalah Umar
bin Abdul Aziz dan Pada seratus tahun kedua, adalah Asy Syafi’i. Inilah
yang kami lihat dari Asy Syafi’i. Sejak tiga puluh tahun yang lalu, aku
senantiasa mendo’akan dan memintakan ampunan baginya.”
Abu Tsaur berkata, “Siapa saja menyangka bahwa dirinya setara dengan Asy
Syafi’i
dalam
keilmuannya,
kefashihannya,
keteguhannya
dan
keluasan
wawasannya, maka sungguh dia telah dusta. Tidak ada yang menandingi Asy
Syafi’i semasa hidupnya.”
Ahmad bin Sayyar Al Mawarzi berkata, “Seandainya tidak ada Imam Asy
Syafi’i, pastilah Islam akan sirna.”
Abu Zur’ah Ar Razi berkata, “Tidak ada hadits yang salah dalam hafalan
Imam Asy Syafi’i.”
Ali Ibnu Al Madini berkata kepada anaknya, “Jangan biarkan satu huruf
yang keluar dari lisan Imam Syaf’i, tanpa engkau catat! Karena dalam
perkataannya terdapat ilmu pengetahuan.”
Abu Hatim berkata, “Beliau sangat mahir dalam ilmu fikih dan jujur.”
Ayub bin Suwaid berkata, “Tidak mungkin, aku dapatkan orang seperti
dia.”
Yahya bin Sa’id Al Qaththan berkata, “Aku tidak menjumpai orang yang
lebih cerdas dan lebih pandai dari Asy Syafi’i dan aku mendo’akannya
secara khusus dalam setiap shalatku.”
Ibnu Abdil Hakam berkata, “Jika ada seseorang menjadi Hujjah dalam satu
bidang ilmu, maka Imam Asy Syafi’i adalah hujjah dalam segala bidang.”
Abu Abdurrahman An Nasa`i berkata, “Imam Asy Syafi’i adalah salah satu
ulama yang terpercaya.”
Beliau meninggal pada tahun 204 H. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya
kepada beliau.
Marilah kita ikuti kisah-kisah Imam Asy Syafi’i berikut, dengan memohon
ampunan, petunjuk dan kemudahan kepada Allah Swt. Sesungguhnya Dia Maha
Kuasa terhadap segala sesuatu.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh.
Abu Maryam/Majdi Fathi As Sayyid
1.
Asy Syafi’i dan Putra Khalifah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i berkata, “Suatu hari aku menghadap salah
seorang putra khalifah. Ibnu Da`eb ada di sana. Aku mengucapkan salam
kepadanya. Putra Khalifah bertanya kepadaku, “Engkau keturunan siapa?”
Jawabku, “Aku keturunan Bani Al Muthallib.” Dia menyelaku dan bertanya,
“Al
Muthallib
bin
Abu
Wida’ah?”
Jawabku,
“Bukan.”
Tanyanya,
“Al
Muthallib bin Hanthab?” Jawabku, “Bukan.” Ibnu Da`eb menyela percakapan
kami dengan memukulkan tangan ke pahanya dan berkata, “Semoga Allah
menambahkan
kebaikan
kepada
Pangeran!
Demi
Allah,
dia
ini
adalah
keturunan Al Muthallib bin Abdi Manaf, kakeknya adalah juga kakek anda.
Al Muthallib memiliki dua saudara, yaitu Hasyim dan Abdu Syamsi. Al
Muthallib dihormati, karena sifatnya yang mulia pada masa jahiliyah.”
(Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi, 1/82).
2.
Mencari Ilmu
Mush’ab bin Abdullah Az Zubairi berkata, “Pada awalnya, Asy Syafi’i
mempelajari
syair,
sejarah
dan
sastra.
Setelah
itu,
dia
mempelajari
fikih. Awal mula Asy Syafi’i tertarik mempelajari fikih, diceritakan
bahwa pada suatu hari, dia sedang berjalan-jalan dengan menunggang unta
bersama seorang juru tulis ayahku. Asy Syafi’i melantunkan beberapa bait
syair, maka juru tulis ayahku menyodok perutnya dengan pegangan cambuk
dan
berkata,
“Dimanakah
muru’ahmu
(harga
dirimu),
apakah
kamu
tidak
memiliki fikih?” Perkataan juru tulis ayahku menyadarkan Asy Syafi’i dan
mendorongnya
untuk
mempelajari
fikih.
Lalu
dia
mendatangi
majlis
pengajian Az Zanji bin Khalid, seorang mufti Mekah. Setelah itu, dia
pergi ke Madinah dan menjadi murid Malik bin Anas.” (Hulliyatul Auliya`,
(9/70-71) dan Tawaala At Ta`sis, karya Al Fakhrurrazi, halaman: 50-51).
3.
Mimpi Bertemu Nabi Saw
Ar Rabi’ bin Sulaiman mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Suatu malam aku
mimpi
bertemu
Jawabku,
“Ada
keturunan
Nabi
Saw,
apa
Wahai,
siapa?”
beliau
berkata
Rasulullah!”
Jawabku,
“Dari
kepadaku,
Beliau
keturunan
“Hai,
bertanya,
Anda,
Ya,
anak
muda!”
“Kamu
dari
Rasulullah!”
Beliau berkata, “Mendekatlah kepadaku!” Maka aku mendekatinya. Beliau
mengambil air ludahnya. Aku membuka mulutku, lalu beliau mengusapkan
ludahnya ke mulut, bibir dan lidahku. Beliau berkata, “Pergilah! Semoga
Allah
memberkatimu.”
bahwa
aku
salah
Setelah
dalam
mimpi
itu,
mengucapkan
tak
hadits
pernah
atau
teringat
syair.”
olehku,
(Tawaala
At
-ketika
aku
Ta`sis, karya Al Fahrurrazi, halaman: 52).
4.
Mendapatkan Timbangan dalam Mimpi
Harmalah
mendengar
Asy
Syafi’i
berkata,
“Sewaktu
kecil,
tinggal di Mekah- aku pernah bermimpi melihat seorang laki-laki yang
berwibawa
mengimami
memberikan
shalat
pengajian
di
kepada
Masjidil
orang-orang.
Haram.
Lalu
Selesai
aku
shalat
dia
mendekatinya
dan
meminta kepadanya, “Ajari aku!” Dia mengeluarkan timbangan dari lengan
bajunya
dan
memberikannya
kepadaku,
sambil
berkata,
“Ini
untukmu.”
Paginya aku menceritakan mimpiku kepada seorang ahli tafsir mimpi, dia
berkata, “Engkau akan menjadi imam dalam ilmu pengetahuan dan berjalan
sesuai
dengan
Al
Qur’an
dan
Sunnah,
karena
imam
Masjidil
Haram
menunjukkan keutamaan dan kelebihan dari imam-imam yang ada, sedangkan
timbangan menunjukkan bahwa engkau mengetahui hakekat sesuatu secara
mendalam.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi, 1/99).
5.
Asy Syafi’i Menemui Malik bin Anas
Harmalah mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Aku menemui Malik bin Anas
pada usia tiga belas tahun. Pada waktu itu yang menjadi gubernur di
Madinah adalah sepupuku. Dia banyak bercerita tentang Malik kepadaku.
Aku
tertarik
hadapannya.
Jawabku,
mendatanginya
Malik
“Aku
untuk
berkata,
akan
membaca
“Carilah
membacanya
saat
bukunya
orang
ini
lain
juga.”
(Al
Muwaththa`)
untuk
di
mengajarimu!”
Akhirnya
aku
membaca
bukunya di hadapannya. Sesekali dia berkata kepadaku tentang sesuatu
yang telah aku baca, “Ulangi hadits ini!” Maka aku mengulanginya dengan
tanpa membuka buku. Kelihatannya hal ini membuatnya tertarik kepadaku.
Aku
bertanya
Kemudian
kepadanya
persoalan
tentang
yang
lain
suatu
dan
persoalan
seterusnya.
dan
Malik
dia
menjawabnya.
berkata,
“Sudah
sepantasnya engkau menjadi seorang Qadhi.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya
Al Baihaqi, 1/101).
6.
Bersama Hudzail dan Malik bin Anas
Ar Rabi’ bin Sulaiman mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Aku keluar dari
Mekah, pergi menuju suku Hudzail di pedalaman. Aku belajar perkataan dan
bahasa mereka. Suku Hudzail adalah suku yang paling fashih di kalangan
suku-suku Arab. Aku tinggal bersama mereka dalam waktu yang cukup lama.
Aku
ikut
ke
mana
mereka
pergi
dan
di
mana
mereka
berhenti.
Ketika
kembali ke Mekah, aku telah bisa menggubah sya’ir dan menguasai sejarah
suku-suku
Arab.
Sewaktu
aku
sedang
melantunkan
sya’ir
dan
bercerita
kepada orang-orang tentang peristiwa-peristiwa bersejarah bangsa Arab,
tiba-tiba seorang laki-laki dari suku Zamrayin lewat di dekatku dan
berkata,
“Wahai,
Abu
Abdullah!
Sangat
disayangkan
bila
anda
tidak
memiliki ilmu dan fikih. Pengetahuanmu yang mendalam tentang bahasa dan
sastra tidak ada artinya, jika dibandingkan dengan orang yang memiliki
ilmu dan fikih.” Aku bertanya, “Siapakah yang engkau maksud dengan orang
yang memiliki ilmu dan fikih?” Orang itu menjawab, “Anas bin Malik,
pemimpin kaum muslimin.”
Perkataan orang tersebut masuk dalam hatiku. Kemudian aku mencari kitab
Al Muwaththa`. Aku mendapatkannya dengan meminjam dari tetanggaku, lalu
aku
menghafalnya.
Setelah
hafal,
aku
menemui
gubernur
Mekah
untuk
meminta surat jalan darinya. Aku membawa surat gubernur Mekah untuk
gubernur
Madinah
menyerahkan
surat
dan
Malik
tersebut
bin
kepada
Anas.
Sesampainya
gubernur
Madinah.
di
Madinah,
Ketika
aku
gubernur
Madinah selesai membaca surat tersebut, dia berkata, “Anakku! Jika aku
disuruh berjalan dari ujung Mekah ke ujung Madinah dengan berjalan tanpa
alas kaki, maka lebih ringan bagiku daripada harus pergi menuju rumah
Malik. Sungguh aku tidak merasa terhina, hingga aku berdiri di depan
pintu rumahnya.”
Aku
berkata,
Gubernur
“Bagaimana
Madinah
kalau
berkata,
anda
“Tidak
mengundangnya
Mungkin,
dia
datang
tidak
kemari?”
mungkin
datang
kemari. Begini saja, kita pergi ke sana! Mungkin dengan perantara debu
medan Aqiq yang mengotori kita, bisa menjawab keperluan kita.” Kami
berjanji akan pergi setelah Ashar. Habis shalat Ashar, kami pergi ke
rumah Malik. Seseorang di antara kita maju dan mengetuk pintu. Lalu
seorang pembantu perempuan keluar menemui kami. Gubernur Madinah berkata
kepadanya,
“Katakan
kepada
tuanmu,
aku
datang
untuk
menemuinya.”
Pembantu perempuan itu masuk, beberapa saat kemudian dia keluar dan
berkata, “Majikan saya berkata, jika anda menemuinya untuk menanyakan
suatu
masalah,
memberikan
telah
maka
jawaban.
tahu
jadwal
tulislah
Jika
anda
dalam
secarik
menemuinya
pengajiannya.”
kertas,
beliau
akan
belajar
hadits,
anda
untuk
Gubernur
Madinah
berkata,
“Katakan
kepadanya, aku membawa surat dari gubernur Mekah, penting!” Pembantu itu
masuk,
kemudian
hadapan
kami.
berumur
dan
berwibawa.
keluar
Malik
dengan
keluar
berperawakan
Gubernur
membawa
menemui
tinggi.
Madinah
kursi,
kami.
Dia
lalu
Malik
seorang
mengenakan
menyerahkan
surat
meletakkannya
jubah
kepada
yang
dan
di
sudah
tampak
Malik.
Malik
membacanya. Ketika dia sampai pada tulisan yang berbunyi, “Sesungguhnya
dia adalah seorang yang mulia, baik dari keturunan maupun sifatnya.
Ajarilah dia hadits dan ilmu-ilmu yang engkau miliki!” Malik melempar
surat
itu
dan
berkata,
“Maha
Suci
Allah!
Kini
ilmu
Rasulullah
Saw
didapatkan dengan perantara.” Aku menoleh ke arah gubernur Madinah, dia
kelihatan segan untuk berbicara, maka aku maju dan berkata kepadanya,
“Semoga Allah menambahkan kebaikan pada anda! Aku adalah keturunan Bani
Muthallib.” Ketika Malik mendengar perkataanku, dia memandangku beberapa
saat. Malik memiliki firasat yang kuat, lalu berkata kepadaku, “Sungguh
engkau
akan
menjadi
orang
yang
terkenal
dan
berpengaruh.”
Jawabku,
“Semoga begitu, insya Allah.” Malik berkata, “Besok datanglah kemari!
Akan ada orang yang mengajarkan Al Muwaththa` kepadamu.” Aku berkata,
“Aku telah menghafalnya.” Lalu kami pulang. Keesokan harinya aku pergi
menemui Malik dan mulai belajar darinya. Dia kelihatan sangat senang dan
tertarik pada bacaan i’rabku. Setiap kali aku merasa bahwa Malik lelah
dalam menyimak bacaanku dan aku ingin berhenti, dia berkata, “Teruskan,
nak! Jangan berhenti.” Sehingga aku selesai membaca Al Muwaththa` hanya
dalam beberapa hari saja. Kemudian aku menetap di Madinah sampai Malik
bin Anas Ra meninggal dunia.” ( Hulliyatul Auliya`, karya Abu Nu’aim
(9/69), Adabu Asy Syafi’i, karya ibnu Abi Hatim (halaman: 27), Tawaala
At Ta`sis, karya Al Fakhrurrazi (halaman: 51) dan Manaqib Asy Syafi’i,
karya Al Baihaqi (1/301)).
7. Kisah Perjalanan Mencari Ilmu
Asy Syafi’i berkata, “Aku belajar berbagai macam ilmu pengetahuan dan
hadits dari para ulama. Aku ingin mencatat apa yang aku dengar. Karena
tidak memiliki uang untuk membeli kertas, maka aku mencari tulang-tulang
yang lebar untuk aku gunakan sebagai tempat mencatat ilmu yang aku
pelajari,
sehingga
Kemudian
salah
penguasa
daerah
mereka
untuk
terkumpul
seorang
pamanku
Yaman.
menemui
Ibuku
dirumahku
dua
dari
Muthallib
Bani
menemui
pamanku
yang
guci
tulang-belulang.
diangkat
saudara-saudaranya
diangkat
menjadi
menjadi
dan
meminta
penguasa
Yaman.
Mereka memintanya agar mengajakku ikut serta ke Yaman. Dia mengijinkan.
Akhirnya aku menemaninya berangkat ke Yaman. Di Yaman ada salah seorang
kepercayaan Harun Ar Rasyid, bernama Hamad Al Barbari. Hamad Al Barbari
menulis surat kepada Harun Ar Rasyid, memperingatkan tentang orang-orang
pengikut setia Ali dan dia menyebut namaku dalam suratnya. Katanya,
“Bersama orang yang anda angkat menjadi penguasa Yaman, ada seorang anak
muda
bernama
senjata
seorang
menghadap
Kemudian
lainnya
Muhammad
ksatria.
kepada
aku
anda.”
dan
dibawa
bin
Idris.
Jika
Surat
seorang
menghadap
Perkataannya
anda
ingin,
jawaban
dari
Bani
Harun
Ar
lebih
aku
dari
akan
Harun
Muthallib
Rasyid.
Ar
serta
Kami
mematikan
dari
membawa
mereka
Rasyid
datang.
beberapa
dihadapkan
orang
padanya
sepuluh orang sepuluh orang, lalu diinterogasi satu persatu. Harun Ar
Rasyid
menanyai
pengawalnya
untuk
kami
dari
balik
membunuh
orang
tirai,
yang
setelah
telah
itu
ditanya.
ia
menyuruh
Hingga
tiba
giliranku. Aku berkata, “Wahai, Amirul Mukminin! Aku, Muhammad bin Idris
Asy Syafi’i, adalah hamba dan pelayanmu.” Dia berkata, “Bunuh dia!” Aku
berkata,
“Wahai,
Amirul
Mukminin!
Berilah
aku
kesempatan
untuk
berbicara. Tanganmu ada dimana-mana, kekuasaanmu kuat dan tidak ada yang
menghalangimu untuk berbuat apa saja kepadaku.” Dia berkata, “Katakan
apa
maumu!”
Aku
berkata,
“Wahai,
Amirul
Mukminin!
Anda
telah
salah
dengan menuduhku menyimpang dari perintahmu dan condong kepada mereka
yang keluar dari ketaatanmu. Aku akan membuat permisalan tentang Anda
dan mereka yang tidak taat kepada anda. Apa pendapat Amirul Mukminin
terhadap
seorang
satunya
dianggap
laki-laki
yang
seperti
mengasuh
anak
dua
sendiri.
anak
pamannya.
Menyamakan
Salah
nasab
dan
kedudukannya. Hartanya haram baginya, kecuali dengan seijinnya. Anak
perempuannya haram baginya, kecuali dengan mengawininya dan haknya sama
dengan dirinya. Sedangkan keponakannya yang lain dianggap lebih rendah
darinya,
dia
perempuan
baginya
adalah
baginya.
tanpa
budaknya
Anak
perlu
dan
perempuan
ijinnya
dan
anak
perempuannya
keponakannya
hartanya
yang
adalah
adalah
satu
ini
miliknya.
budak
halal
Kepada
siapakah anda akan menjadi wali, bagi yang pertama atau yang kedua? Ini
adalah permisalan Anda dan mereka.” Harun Ar Rasyid meminta kepadaku
untuk
mengulangi
mengulanginya,
perkataanku
aku
menggunakan
sampai
kalimat
tiga
yang
kali.
berbeda,
Setiap
namun
kali
maknanya
sama. Harun Ar Rasyid berkata, “Penjarakan dia!” Maka aku ditahan di
Daarul ‘Ammah. Di sana aku tidak memiliki teman yang dekat, kecuali
Muhammad
bin
Hasan.
Aku
condong
kepadanya,
karena
keilmuannya.
Aku
berharap semoga dia bisa membantuku memintakan syafaat kepada Harun Ar
Rasyid. Pada suatu hari Muhammad bin Hasan datang. Dia menghina kota
Madinah dan merendahkan orang-orangnya, namun memuji teman-temannya di
Irak dan mengangkat derajat mereka. Muhammad bercerita bahwa dia pernah
menulis sebuah buku untuk orang-orang Madinah. Dia berkata, “Jika aku
mendapatkan seorang penduduk Madinah mengkritik satu huruf bukuku, maka
aku akan mencarinya dan membunuhnya.” Orang-orang Muhajirin dan Anshar
tidak
senang
mendengar
hinaan
terhadap
Madinah
dan
orang-orangnya.
Sementara teman-teman Muhammad bin Hasan gembira mendengar pujiannya.
Maka aku menimbang di antara dua perkara. Bagaimana caranya agar Harun
Ar
Rasyid
tidak
bertambah
benci
kepadaku
dan
membuat
orang-orang
Muhajiran dan Anshar senang atau membiarkan saja hal ini, dengan harapan
Muhammad bin Hasan mau memintakan syafaat kepada Harun Ar Rasyid bagiku.
Maka aku memilih ridla Allah Swt dalam hal ini. Aku berlutut di hadapan
Muhammad bin Hasan dan berkata, “Wahai, Abu Abdullah! Aku melihatmu
menghina
Madinah
dan
menjelekkan
maksudkan
dengan
hinaan
tersebut
orang-orangnya.
adalah
tempatnya,
Jika
yang
anda
ketahuilah
bahwa
Madinah adalah tempat terhormat bagi Rasulullah Saw, tempat yang aman
bagi beliau dan tempat tujuan hijrah. Di Madinah wahyu turun. Di sana
beliau membangun masyarakat dan di sana pula kuburannya. Rasulullah Saw
menyebutnya Thabah (yang baik) dan di sana terdapat salah satu taman
surga. Namun jika yang anda maksudkan dengan hinaan tersebut adalah
orang-orangnya,
ketahuilah
Rasulullah,
keluarga
melapangkan
jalan
dekat
keimanan.
bahwa
mereka
beliau
dan
Mereka
adalah
mereka
menjaga
sahabat-sahabat
adalah
wahyu
penolong
dan
dalam
mengumpulkan
Sunnah. Dan jika yang anda kehendaki dengan hinaanmu itu adalah salah
seorang penduduk Madinah, yaitu Malik bin Anas Ra, maka tidak ada apaapa bagimu menyebut namanya dan jangan sebut Madinah dengan sebutan yang
merendahkan seperti itu!” Muhammad bin Al Hasan berkata, “Tidak ada yang
aku maksudkan, selain Malik bin Anas.”
Asy Syafi’i berkata, “Aku telah membaca buku yang anda tulis untuk
penduduk Madinah dan aku mendapatkan kesalahan dalam perkataan-perkataan
yang anda tulis antara “Bismillahirrahmanirrahim” dan “Wa shallallahu
‘ala
Muhammad.”
(maksudnya
terdapat
kesalahan
dalam
isi
buku
yang
ditulis oleh Muhammad bin Hasan). Aku mendapatkan anda menolak hukum
Kitabullah dalam seratus tiga puluh tempat:
Anda berpendapat pada persoalan dua orang yang berselisih dalam dinding
rumah dan tidak ada bukti di antara keduanya, bahwa dinding itu milik
orang
yang
dinding
rumahnya
tersambung
dengan
dinding
yang
diperselisihkan.
Anda
mengatakan
tentang
perabot
rumah
tangga
yang
diperebutkan
oleh
pasangan suami isteri, ketika bercerai, bahwa apa yang pantas bagi lakilaki, maka menjadi milik suami dan apa yang pantas untuk perempuan, maka
menjadi milik istri.
Anda mengatakan tentang permasalahan seorang laki-laki yang mengingkari
anak yang dibawa istrinya dengan alasan bahwa istrinya meminjam anak itu
dari orang lain dan dia tidak melahirkannya, bahwa kesaksian satu dukun
bayi di terima.
Anda
mengatakan
dalam
permasalahan
rak-rak
yang
diperebutkan
antara
pemilik kedai dan penyewa, jika rak-rak itu bukan bangunan asli maka
menjadi milik penyewa, namun jika merupakan bangunan asli, maka menjadi
milik pemilik tempat.
Anda memberikan pendapat tentang masalah ini dan semisalnya –lalu anda
menyebutkan semua hukum-hukumnya- dengan tanpa bukti dan sumpah. Padahal
Rasulullah Saw telah menetapkan, bahwa bukti bagi orang yang menuntut
dan sumpah bagi terdakwa.
Anda mengingkari saksi dan sumpah, padahal itu adalah sunnah Rasulullah
Saw, pendapat Ali bin Abi Thalib dan pendapat pemimpin-pemimpin kami di
Hijaz.
Apakah anda mengatakan ini semua hanya berdasarkan ijtihad akal dengan
menolak sunnah? Anda menyebutkan banyak hal yang menyalahi kami dan
bertentangan dengan Sunnah.”
Pada waktu itu Hartsamah, seorang juru tulis istana, ada disana. Maka ia
mencatat kejadian yang baru saja terjadi antara Asy Syafi’i dan Muhammad
bin Al Hasan. Orang-orang Muhajirin dan Anshar senang, ketika mendengar
bahwa
ada
Muhammad
Ketika
orang
bin
yang
Hasan
Hartsamah
membela
dan
Madinah
dan
teman-temannya
menghadap
Harun
Ar
orang-orangnya,
merasa
tidak
Rasyid,
dia
sementara
senang
dan
menanyakan
iri.
perihal
kejadian yang terjadi di Daarul ‘Ammah. Maka Hartsamah menceritakannya.
Harun Ar Rasyid berkata, “Mengapa Muhammad bin Hasan tidak mengingkari
perkataan laki-laki dari Bani Abdi Manaf? Temuilah Asy Syafi’i, katakan
padanya bahwa aku telah memaafkannya sebelum engkau mengucapkan salam.
Sampaikan salamku untuknya dan beritahu bahwa aku telah menghadiahkan
lima ribu dinar baginya, diambilkan dari Baitul Mal daerah Khudhrah. (Al
Khabar fi Adabi Asy Syafi’i wa Manaqibihi, halaman: 166).
Maka Hartsamah menemui Asy Syafi’i dan mengabarkan bahwa Amirul Mukminin
telah
memaafkannya.
memberitahukan
Dia
bahwa
juga
Amirul
menyampaikan
Mukminin
salam
Amirul
menghadiahkan
Mukminin
lima
ribu
dan
dinar
untuknya.
Hartsamah berkata, “Seandainya Amirul Mukminin tidak memberimu hadiah,
maka
aku
akan
menyiapkan
memberimu
hadiah
empat
hadiah.
ribu
Aku
dinar
telah
memerintahkan
untukmu.”
Asy
pembantuku
Syafi’i
berkata,
“Terima kasih banyak, semoga Allah membalas kebaikanmu. Seandainya aku
tidak menerima hadiah, kecuali dari orang yang lebih tinggi dariku,
niscaya
aku
terima
hadiahmu.
Lakukanlah
apa
yang
diperintahkan
oleh
Amirul Mukminin!”
Hartsamah
memberikan
uang
kepada
Asy
Syafi’i.
Kemudian
Asy
Syafi’i
memanggil tukang bekam. Setelah berbekam, Asy Syafi’i memberikan lima
puluh dinar untuk tukang bekam. Asy Syafi’i mengambil uang hadiahnya dan
menjadikannya
dalam
kantong-kantong
kecil,
setelah
itu
membagikannya
kepada orang-orang Quraisy yang tinggal di Hudhrah. Ketika pulang ke
rumah, dia hanya membawa kurang dari seratus dinar. (Al Khabar fi Adabi
Asy Syafi’i wa Manaqibihi, halaman: 166). Hartsamah menemui Asy Syafi’i
dan mengatakan kepadanya agar bersiap-siap menghadap Amirul Mukminin,
maka Asy Syafi’i mempersiapkan diri. Asy Syafi’i masuk menghadap amirul
Mukminin dan Muhammad bin Hasan telah ada di sana. Lalu Asy Syafi’i dan
Muhammad
bin
Hasan
berdebat
di
depan
Amirul
Mukminin.
Asy
Syafi’i
bertanya,
“Apa
pendapat
anda
tentang
qasaamah?1
Muhammad
bin
Hasan
berkata, “Minta penjelasan.” Asy Syafi’i berkata, “Demi Allah! Dia kafir
wahai,
Amirul
Mukminin!
Dia
menganggap
bahwa
Rasulullah
Saw
meminta
penjelasan kepada orang Yahudi.”2
Harun Ar Rasyid berkata, “Hukum mati, Muhammad bin Al Hasan!” Ketika
Harun Ar Rasyid memerintahkan hal itu, aku merasa takut. Aku berkata
kepada Harun Ar Rasyid, “Wahai Amirul Mukminin! Jika dia ingkar dalam
hal ini, sungguh dia berkata yang sama di tempat yang lain. Akan tetapi
orang
yang
dengan
berdebat,
bukti-bukti
masing-masing
yang
akan
dimilikinya.”
mempertahankan
Kelihatannya
pendapatnya
Amirul
Mukminin
menerima perkataanku, lalu dia memaafkan Muhammad bin Hasan.
Ketika aku dan Muhammad bin Hasan keluar dari hadapan Amirul Mukminin,
dia berkata kepadaku, “Abu Abdullah! Bunuhlah aku!” Aku berkata, “Jika
aku ingin, sudah aku lakukan sebelumnya.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al
Baihaqi (1/111-117), Adabu Asy Syafi’i, karya Ibnu Abi Hatim (halaman:
166-167).
8. Debat Asy Syafi’i dengan Muhammad bin Hasan
Asy Syafi’i berkata, “Muhammad bin Hasan adalah seorang ulama yang agung
dan mulia, aku menghormatinya. Aku telah menghabiskan enam puluh dinar
untuk membeli buku-bukunya. Hingga suatu saat kami dipertemukan dalam
majlis Harun Ar Rasyid. Muhammad bin Hasan memulai lebih dahulu, dia
berkata, “Amirul Mukminin! Sesungguhnya penduduk Madinah telah menyalahi
1
Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (12/202), “Al Qasamah adalah kata
benda dari qasama yang berarti sumpah yang dilakukan oleh wali korban
pembunuhan, jika ingin menuntut darah.”
2
Perkataan ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Sahal bin Abi
Histmah,
disebutkan
bahwa
serombongan
kaum
muslimin
pergi
menuju
Khaibar. Mereka berpencar, lalu mendapatkan bahwa salah seorang dari
mereka
terbunuh.
Dalam
hadits
tersebut
dinyatakan
bahwa
Nabi
Saw
berkata, “Dapatkan bukti bagi orang yang membunuhnya.” Mereka berkata,
“Kami tidak memiliki bukti apa-apa.” Nabi Saw berkata, “Kalau begitu,
apakah mereka mau bersumpah?” Mereka menjawab, “Engkau tidak akan rela
terhadap sumpah orang Yahudi.” Nabi Saw tidak menyukai darah orang islam
hilang begitu saja, maka beliau menebusnya dengan seratus ekor unta dari
unta shadaqah. Nabi Saw tidak meminta penjelasan kepada orang Yahudi,
tetapi kepada orang-orang Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Al Baihaqi,
halaman: 120.
nas Kitabullah, keputusan-keputusan Rasulullah Saw, ijma’ umat Islam dan
mereka menerima kesaksian dan sumpah dalam pengadilan.”
Hal ini mengusik pikiranku. Aku berkata, “Wahai, Muhammad bin Hasan!
Anda
telah
berprasangka
jelek
terhadap
orang-orang
Madinah,
padahal
mereka telah menerima Nabi Saw dengan baik dan Al Qur’an diturunkan pada
mereka.
Anda
telah
menetapkan
hukum
yang
tidak
benar
pada
mereka,
padahal pusara Rasulullah Saw ada di tengah-tengah mereka. Mengapa anda
menjelekkan mereka? Lalu apa alasan anda menerima kesaksian satu orang
dukun bayi? Apakah supaya dia dapat mewarisi dari Khalifah harta yang
banyak?”
Muhammad
bin
Hasan
menjawab,
“Dengan
pendapat
Ali
bin
Abi
Thalib.” Aku berkata, “Sesungguhnya perawi yang meriwayatkan pendapat
ini dari Ali adalah seorang yang tidak dikenal, yaitu Abdullah bin Naja,
kemudian
Abdullah
bin
Naja
meriwayatkannya
kepada
Jabir
Al
Ju’fi,
seorang yang dituduh oleh para ulama menganut paham Raj’iyah. Sufyan bin
‘Uyainah pernah berkata kepadaku, ‘Suatu ketika Jabir pernah menemuiku
dan bertanya tentang perdukunan.’ Ketahuilah wahai, Muhammad bin Hasan!
Bahwa saksi dan sumpah adalah hukum yang dijalankan oleh Rasulullah Saw,
juga Ali bin Abi Thalib ketika di Kufah. Lalu apa pendapat anda tentang
Qasamah?” Muhammad bin Hasan berkata, “Qasamah adalah minta penjelasan.”
Aku
berkata,
memutuskan
“Kalau
hukum
begitu
kepada
anda
umatnya
menyangka
dengan
tidak
bahwa
yakin.
Rasulullah
Beliau
Saw
menanyai
mereka, kemudian tidak menetapkan hukum bagi mereka.”
Harun
mengikuti
perdebatan
ini,
lalu
dia
menyuruh
algojonya
untuk
menghukum mati Muhammad bin Hasan. Asy Syafi’i berkata, “Wahai, Amirul
Mukminin! Ini bukanlah keyakinannya. Sesungguhnya ketetapannya berbeda
dengan
yang
bersumpah
baru
disini,
saja
diucapkan.
kemudian
Maksudku
setelah
keluar
orang-orang
dari
sini,
yang
berdebat
mereka
akan
membayar kifarat sumpah mereka. Wahai, Amirul Mukminin! Ketahuilah bahwa
apabila dua orang berdebat, maka masing-masing akan membela pendapatnya
dengan argumen-argumen yang bisa menjatuhkan lawannya.” Perkataanku ini
diterima oleh Amirul Mukminin, Harun Ar Rasyid, lalu dia membebaskan
Muhammad bin Hasan dari hukuman mati.
Ketika kami keluar, Muhammad bin Hasan berkata kepadaku, “Engkau telah
menumpahkan darahku.” Aku berkata, “Sekarang Allah telah menciptakanmu
kembali.” (Tarikh Baghdad, karya Al Khatib (2/178-179) dan Manaqib Asy
Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/117-120).
9. Asy Syafi’i dan Penduduk Madinah
Abu Tsaur mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Suatu hari aku mendatangi
sebuah
majlis
pengajian,
ternyata
Muhammad
bin
Hasan
ada
di
situ
dikelilingi oleh sekelompok orang dari Bani Hasyim, Quraisy dan orangorang yang mencari ilmu lainnya. Muhammad bin Hasan berkata, “Aku telah
menulis sebuah buku, jika aku mengetahui ada seseorang yang mengkritik
sesuatu
dari
buku
menemuinya.”
Aku
itu,
berkata
selama
unta
kepadanya,
bisa
mendatanginya,
“Aku
telah
membaca
aku
isi
pasti
bukumu
seluruhnya, ternyata setelah Bismillahirrahmanirrahim semuanya tidak ada
yang benar. Muhammad bin Hasan berkata, “Apa saja yang salah menurutmu?”
Aku
berkata,
“Anda
sering
mengulang-ulang
“Telah
berkata
orang
Madinah...” Perkataan anda ini mengandung dua penafsiran, apakah yang
anda maksud dengan orang Madinah adalah semua penduduk Madinah atau
Malik bin Anas saja? Jika yang anda maksud dengan orang Madinah adalah
semua
penduduk
Madinah,
maka
anda
telah
salah,
karena
ulama-ulama
Madinah tidak semuanya seperti yang anda ceritakan. Tetapi jika yang
anda maksud dengan orang Madinah adalah Malik bin Anas saja, lalu anda
menyebutnya dengan orang Madinah, maka anda juga salah, karena di antara
ulama
Madinah
pendapat
yang
ada
yang
tidak
berpendapat
sama
dengan
menerima
mereka.
taubatnya
Sehingga
Malik
apapun
dalam
yang
anda
maksudkan, anda tetap salah.”
Asy Syafi’i berkata, “Akhirnya orang-orang yang ada di majlis tersebut
menjadi jelas dalam permasalahan ini dan orang-orang Hijaz yang hadir di
situ merasa senang.” (Manaqib Asy Syafi’i, (1/121-122).
10. Asy Syafi’i dan Kesaksian Dukun Bayi
Asy
Syafi’i
penduduk
berkata
Madinah,
kepada
padahal
Muhammad
anda
telah
bin
Hasan,
tahu
“Anda
perkataan
telah
mencela
Rasulullah
Saw
tentang Madinah dan keutamaannya dari kota-kota yang lain. Jika anda
bermaksud mencela Madinah, maka sesungguhnya Madinah adalah tempat yang
telah dipilih Allah Swt kepada Rasul-Nya Saw; dan jika anda bermaksud
mencela penduduknya, maka sesungguhnya penduduk Madinah adalah sahabatsahabat Rasulullah Saw dan anak dari para sahabat. Siapakah yang anda
maksud dengan hinaan ini, tempatnya atau orangnya?” Muhammad bin Hasan
berkata, “Aku maksudkan dengan hinaanku adalah orang yang berpendapat
diterimanya saksi dan sumpah, karena ia telah menyalahi Kitabullah.” (Al
Khabar fi Manaqibi Asy Syafi’i, karya Fahrurrazi (halaman: 31-32) dan
Tawaala At Ta`sis (halaman: 69-70). Aku bertanya, “Dimana dia menyalahi
Kitabullah?” Jawabnya, “Allah Swt berfirman, “Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian),” (QS. Al
Baqarah: 282) dan firman yang berbunyi, “Dengan dua orang saksi yang
adil di antara kalian.” (QS. Ath Thalaak: 2) Disini tidak dinyatakan
sumpah dan saksi.” Aku bertanya, “Katakan padaku apa penafsiran firman
Allah Swt, ‘Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antara kalian).’ (QS. Al Baqarah: 282) Apakah ini suatu hukum
yang tetap, tidak boleh kurang dari dua orang saksi ataukah hukum yang
bisa dirubah?” Jawabnya, “Itu adalah keputusan yang tetap, tidak boleh
kurang dari dua orang saksi.” Aku berkata, “Kalau memang pendapat anda
seperti itu, bahwa hukum itu pasti, tidak boleh kurang dari dua orang
saksi, maka anda dan pengikut anda telah menyalahi Kitabullah.” Dia
berkata,
“Dimana
kami
telah
menyalahi
Kitabullah?”
Aku
berkata
kepadanya, “Pendapat anda yang menerima kesaksian satu orang dukun bayi
tanpa ada saksi lain dalam soal kelahiran.” Dia berkata, “Kesaksian satu
orang
dukun
membolehkan
bisa
diterima.”
kesaksian
satu
Aku
orang
berkata
kepadanya,
perempuan
tanpa
“Anda
ada
telah
saksi
lain
bersamanya. Sungguh anda telah menyalahi Kitabullah?!” Dia berkata, “Ali
bin Abi Thalib juga telah membolehkan kesaksian satu orang dukun bayi.”
Aku berkata kepadanya, “Riwayat ini tidak shahih berasal dari Ali. Anda
telah menyalahi pendapat yang shahih dari Rasulullah Saw dan Ali yang
menghukumi dengan saksi dan sumpah.”
Asy Syafi’i berkata, “Sahabat-sahabatku senang dengan jawabanku. Maka
mulai hari itu aku menampakkan sikap kritisku dan perbedaanku dengan
Muhammad bin Hasan. Setelah itu aku menulis jawaban terhadap buku yang
dia tulis untuk penduduk Madinah.” (Manaqib Asy Syafi’i, (1/123-124).
11. Asy Syafi’i Menemui Harun Ar Rasyid
Disebutkan dalam kisah masuknya Asy Syafi’i menemui Harun Ar Rasyid,
bahwa dia membaca do’a. Fadhel bin Ar Rabi’ bertanya kepadanya tentang
do’a
itu.
berikut,
(yang
Maka
“Allah
berhak
Asy
Syafi’i
menyatakan
disembah),
mengajarkannya.
bahwasanya
Yang
tidak
menegakkan
Do’a
ada
itu
adalah
Tuhan
keadilan.
Para
sebagai
melainkan
Dia
Malaikat
dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).
Tak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Islam.”
Sesungguhnya
(QS.
Ali
agama
Imraan:
(yang
18-19).
diridhai)
Kemudian
disisi
dia
Allah
hanyalah
mengucapkan,
“Aku
menyatakan dengan kesaksian yang dinyatakan oleh Allah. Aku titipkan
kesaksian ini kepada-Nya, semoga menjadi simpananku di sisi-Nya yang
akan
Dia
berikan
kepadaku
kelak
pada
hari
Kiamat.
Ya,
Allah!
aku
berlindung kepada-Mu dengan cahaya kekudusan-Mu, keagungan kesucian-Mu
dan
barakah
kebesaran-Mu,
aku
berlindung
dari
segala
musibah
dan
penyakit, serta dari segala bisikan malam dan siang –dalam sebagian
riwayat: dari bisikan jin dan manusia- kecuali bisikan dalam kebaikan.
Ya,
Allah!
Engkau
pertolongan,
Engkau
adalah
Penolongku,
adalah
tempat
maka
kepada-Mu
bergantungku,
maka
aku
memohon
kepada-Mu
aku
bergantung dan Engkau adalah Pelindungku, maka kepada-Mu aku berlindung.
Wahai Tuhan yang merendahkan para penguasa yang lalim dan menundukkan
fir’aun-fir’aun yang durjana! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu,
dari terbukanya penutup aibku, dari meninggalkan dzikir kepada-Mu dan
jauhkanlah aku dari kemusyrikan. Ya, Allah! aku berada dalam lindunganMu
–dalam
riwayat
yang
lain:
dalam
kecukupan-Mu-
baik
siang
maupun
malam, dalam tidur dan terjagaku, dalam diam dan gerakku, dalam hidup
dan
matiku.
Dzikir
kepada-Mu
adalah
semboyanku,
pujianku
kepada-Mu
adalah selimutku, tiada Tuhan yang berhak disembah, selain diri-Mu. Maha
suci Engkau lagi Maha Terpuji, sebagai penghormatan terhadap keagunganMu, pemuliaan terhadap keindahan wajah-Mu. Jauhkanlah diriku dari siksaMu dan dari kejahatan hamba-hamba-Mu! Lindungilah aku dengan penjagaanMu dan masukkan aku dalam perlindungan-Mu! Limpahkanlah kebaikan pada
diriku, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih di antara para pengasih –dalam
sebagian riwayat: jagalah aku dengan kebaikan-Mu dari gangguan jin dan
manusia, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih di antara para pengasih! Tiada
daya
untuk
ketaatan,
menolak
kecuali
kemaksiatan
dari
dan
pertolongan
tiada
Allah
kekuatan
Yang
untuk
Maha
menjalankan
Agung
lagi
Maha
Mulia. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi yang
diridlai,
Muhammad
dan
keluarganya.”
(Manaqib
Asy
Syafi’i,
karya
Al
Baihaqi (1/139-140).
12. Pemilihan Penarik Pajak yang Jujur
Asy
Syafi’i
berkata,
“Amirul
Mukminin,
Harun
Ar
Rasyid,
hendak
mengirimkan petugas penarik pajak ke Yaman. Maka dia mencari orang-orang
shalih
yang
jujur.
Akhirnya
berhasil
didapatkan
enam
orang
dan
aku
adalah salah satu di antara mereka yang terpilih dan yang paling muda.
Kami berangkat ke Yaman untuk menarik pajak hasil bumi di sana. Kami
mendatangi
orang-orang
kaya
dan
mengambil
pajak
mereka,
lalu
kami
membagikannya kepada orang-orang miskin di sana, dengan berlandaskan
pada hadits Nabi Saw, ketika mengutus Mu’adz ke Yaman. Ada yang melapor
kepada Amirul Mukminin, “Sesungguhnya petugas-petugas pajak yang Anda
utus ke Yaman, tidak mengirimkan apa-apa ke Baitul Mal.” Maka Amirul
Mukminin marah dan berkata, “Bawa mereka menghadap kepadaku!” Akhirnya
kami dibawa kembali ke Baghdad. Kami merasa bahwa maut telah menanti
atau siksaan yang berat akan menimpa kami. Aku mempersiapkan diri dengan
kain
kafan
dan
berpuasa.
Kami
dibawa
menghadap
Amirul
Mukminin
dan
disuruh duduk jauh darinya. Kami dipanggil satu persatu. Salah seorang
di
antara
mukminin
kami
dipanggil
bertanya
dan
kepadanya,
disuruh
“Kemana
berdiri
saja
dihadapannya.
kamu?”
Amirul
Jawabnya,
“Wahai,
Amirul Mukminin! Hamba bersama rombongan pemungut pajak yang anda utus
ke
Yaman.”
Harun
Ar
Rasyid
bertanya,
“Lalu
apa
yang
kalian
bawa?”
Jawabnya, “Kami melakukan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.”
Amirul
Mukminin
berkata
kepadanya,
“Kami
tidak
mengharapkan
jawaban
seperti itu, masuk ke rumah itu!” –rumah yang dindingnya dilapisi dengan
kulit binatang tebal- Aku merasakan kepalanya jatuh ke lantai. Akhirnya
tiba
giliranku,
lalu
aku
disuruh
berdiri
di
hadapannya.
Aku
sangat
takut. Amirul Mukminin bertanya, “Kemana saja kamu pergi?” Jawabku, “Ke
Yaman.” Dia bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengan hasil pajak yang
kamu ambil?” Maka aku mengucapkan apa yang terlintas dalam pikiranku.
Dia
mengambil
tongkat
dari
bambu
yang
ada
di
tangannya
dan
mengetukkannya ke lantai. Tiba-tiba Abu Yusuf masuk. Abu Yusuf berkata,
“Anak muda yang bernama Asy Syafi’i telah datang pada anda, Wahai,
Amirul Mukminin! Dia adalah anak paman anda. Dialah pemuda yang sering
aku ceritakan pada anda.” Abu Yusuf lalu memujiku dengan ucapan-ucapan
yang manis. Amirul Mukminin berkata kepadanya, “Diam! Sungguh aku tidak
pernah
bertemu
dengan
orang
Arab
yang
perkataannya
seindah
dia.”
Kemudian Amirul Mukminin mengulang pertanyaannya kepadaku, “Dimana kamu
selama ini?” Maka aku menjawab pertanyaannya dengan kalimat yang aku
bolak-balik, namun intinya sama, seperti jawabanku pertama kali. Ketika
aku
selesai
memujiku.
berdiri
menjawab
Amirul
dan
pertanyaan
Mukminin
dibawa
keluar
Amirul
berkata,
istana.
Mukminin,
“Aku
Ketika
Abu
Yusuf
mengampuninya.”
aku
sudah
Aku
berada
kembali
disuruh
di
luar
istana, tiba-tiba serombongan pengawal Amirul Mukminin menyusulku. Aku
kaget,
ketika
melihat
mereka.
Aku
mengucapkan,
“Innalillahi,
(sesungguhnya kita akan kembali kepada Allah), Amirul Mukminin telah
berubah pikirannya.” Mereka memberi salam kepadaku dan berkata, “Amirul
Mukminin telah mengampunimu dan beliau menghadiahkan uang untukmu.” Aku
bersyukur kepada Allah dan terus melangkah hingga sampai di depan pintu
gerbang istana. Tiba-tiba serombongan utusan yang lain menyusulku. Aku
sangat khawatir. Mereka mendekat lalu mengucapkan salam kepadaku dan
berkata,
“Pergilah
ke
istana
itu,
karena
Amirul
Mukminin
menyuruhmu
untuk tinggal di sana. Abu Yusuf mengucapkan salam untukmu dan dia
berkata, “Tulislah sebuah buku, karena anda pantas untuk mengarang buku
pada
zaman
ini
dari
orang
permasalahan
yang
telah
permasalahan
itu
begini
lain!
aku
Jauhilah
ketahui
–dia
dari
memberikan
berbicara
tentang
dua
karena
dua
perkataanmu,
isyarat
dengan
tangannya
menyilang di tenggorokan, maksudnya kematian.- Permasalahan yang pertama
adalah budak perempuan yang melahirkan anak dari majikannya, sedangkan
yang kedua adalah iman yang dipaksa.”
Asy
Syafi’i
membahas
berkata,
dua
“Aku
permasalahan
tidak
mematuhi
tersebut.
permintaannya,
Ketika
aku
maka
dipanggil
aku
untuk
menemuinya, aku tidak memiliki semangat untuk membicarakannya, kecuali
akhir perkataanku adalah, “Laa ilaha illallah.” (Manaaqib Ays Syafi’i,
karya Al Baihaqi (1/145-146)).
13. Mimpi Bertemu Ali bin Abi Thalib
Ar Rabi’ berkata, “Aku mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Ketika aku
berada dalam penjara di Baghdad, aku mimpi bertemu Ali bin Abi Thalib
Ra. Ali masuk dan duduk di depanku. Dia melepas cincin yang ada di
jarinya dan memakaikannya di jariku. Keesokan paginya aku minta bertemu
dengan Muhammad bin Hasan, aku berkata kepadanya, “Semalam aku bermimpi,
bisakah kamu memanggilkan seseorang yang bisa menafsirkan mimpi.” Maka
Muhammad bin Hasan mengirimkan Ja’ad, sang peramal mimpi, kepadaku, dia
menemuiku dalam penjara dan berkata, “Apa yang anda lihat dalam mimpi
semalam?” Aku berkata kepadanya, “Aku melihat Ali bin Abi Thalib masuk
dalam
penjara
ini
dan
menemuiku,
lalu
dia
melepas
cincinnya
dan
memasangnya di jariku.” Sang peramal mimpi berkata, “Jika mimpi anda
benar, maka tidak ada tempat baik di Timur maupun di Barat, melainkan
nama anda akan disebut-sebut dan perkataan anda akan diamalkan oleh
banyak orang.” (Manaaqib Ays Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/148-149)).
14. Kisah Qadhi Yaman
Asy
Syafi’i
Setelah
berkata,
mengucapkan
“Suatu
salam,
ketika
aku
aku
berkata
menghadap
Harun
kepadanya,
Ar
“Wahai,
Rasyid.
Amirul
Mukminin! Aku telah meninggalkan Yaman tanpa ada seorang qadhi pengganti
di sana.” Dia berkata, “Kalau begitu carilah seorang Hakim yang pantas
menggantikanmu dan angkatlah dia menjadi qadhi di sana.” Tatkala kembali
ke tempat mengajar, aku melihat Ahmad bin Hanbal. Aku menemuinya dan
kukatakan
padanya,
“Amirul
Mukimin
telah
memberikan
mandat
kepadaku
untuk memilih seorang qadhi, sebagai penggantiku di Yaman. Aku telah
memilih
engkau
untuk
menggantikanku.
Bersiap-siaplah!
Aku
akan
mengajakmu menghadap Amirul Mukminin, sehingga dia bisa mengesahkanmu
menjadi qadhi Yaman.” Ahmad bin Hanbal berkata, “Sesungguhnya aku datang
menemui anda untuk mencari ilmu. Apakah anda akan menyuruhku menemui
penguasa itu untuk mendapatkan jabatan? Celakalah anda!” Akhirnya Asy
Syafi’i membatalkan niatnya dan ia merasa malu.” (Manaqib Asy Syafi’i,
(1/154)).
15. Rahasia Dibalik Penciptaan Lalat
Mu’ammar bin Syabib berkata, “Aku mendengar Al Makmun bertanya kepada
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, “Wahai, Asy Syafi’i! Apa sebabnya Allah
menciptakan lalat?” Asy Syafi’i berpikir sebentar, kemudian berkata,
“Untuk merendahkan para raja, wahai, Amirul Mukminin?” Al Makmun tertawa
dan bertanya, “Asy Syafi’i! Engkau melihat lalat hinggap di pipiku?” Asy
Syafi’i berkata, “Benar, wahai, Amirul Mukminin! Sewaktu Anda bertanya
kepada saya, saya tidak memiliki jawaban apa-apa, saya bingung. Tibatiba
saya
melihat
lalat
hinggap
di
pipi
anda.
Tempat
yang
tidak
tersentuh oleh ratusan pedang dan tombak, maka hadirlah jawaban itu
dalam otak saya.” Al Makmun berkata, “Sungguh Allah telah melimpahkan
anugerah kepadamu, wahai, Asy Syafi’i!” (Manaqib Asy Syafi’i, (1/154)).
16. Ba’iat kepada Al Amin dan Al Makmun
Muhammad bin Ibrahim Al Mu`adzdzin berkata, “Aku mendengar Muhammad bin
‘Adi, seorang ulama terkenal berkata, “Diceritakan kepada kami, bahwa
ketika Harun Ar Rasyid memerintahkan rakyatnya untuk memba’iat Al Amin
dan Al Makmun, dia naik ke mimbar, lalu memuji Allah dan dan menyanjungNya. Maka orang pertama yang naik mimbar untuk menyatakan ba’iat adalah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. Asy Syafi’i meletakkan tangannya di atas
kepala Al Amin dan Al Makmun, seraya berkata,
Jangan halangi mereka berdua dari kekuasaan dan jangan berikan pada
keduanya
Hingga anugerah kekuasaan itu sirna pada dirimu
Kemudian dia menangis dan orang-orangpun ikut menangis. Maka sejak saat
itu, Asy Syafi’i dikenal oleh orang banyak.
Kami menyebutkan dari riwayat yang lain, bahwa kejadian ini berlangsung
di
Mekah.
Orang-orang
bertanya,
“Siapa
anak
muda
yang
menggabungkan
antara ucapan selamat dan ucapan bela sungkawa dalam satu bait syair?”
Ada yang menjawab, “Dia adalah anak muda dari suku Quraisy, namanya
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi
(1/157)).
17. Tidak Boleh Berfatwa, Kecuali Dengan Hal Ini
Yunus bin Abdul A’la berkata, “Asy Syafi’i berkata kepadaku, “Suatu hari
aku berdebat dengan Muhammad bin Hasan. Waktu itu, dia memakai baju yang
usang. Dia berdebat dengan semangat, tampak urat-urat lehernya mengeras,
sehingga
kancing
bajunya
lepas,
begitu
beberapa
kali,
hingga
semua
kancing bajunya lepas. Dia berkata, “Sahabatmu tidak boleh memberikan
fatwa –dengan akalnya- karena dia tidak memiliki akal.” Aku bertanya
kepadanya, “Aku mengingatkanmu kepada Allah! Apakah sahabatku menguasai
Kitabullah?”
menguasai
Tanyaku,
Jawabnya,
Hadits
“Dia
“Ya,
Rasulullah
mengetahui
dia
menguasainya.”
Saw?”
Jawabnya,
pendapat
Tanyaku,
“Ya,
dia
sahabat-sahabat
“Apakah
dia
menguasainya.”
Rasulullah
Saw?”
Jawabnya, “Ya, dia mengetahuinya.” Aku bertanya, “Aku mengingatkanmu
kepada Allah! Apakah sahabatmu menguasai Kitabullah?” Jawabnya, “Tidak.”
Tanyaku, “Apakah sahabatmu menguasai Hadits Rasulullah Saw?” Jawabnya,
“Tidak.” Tanyaku, “Apakah pengikutmu mengetahui pendapat sahabat-sahabat
Rasulullah Saw?” Jawabnya, “Tidak, akan tetapi dia berakal.” Aku berkata
kepadanya, “Sahabatku memiliki tiga hal, yang harus ada dalam berfatwa,
namun jika dia tidak memiliki akal, maka dia tidak boleh berfatwa.
Sedangkan
sahabatmu
tidak
memiliki
tiga
hal
yang
harus
ada
dalam
berfatwa. Walaupun dia manusia yang paling berakal, namun tetap saja dia
tidak boleh berfatwa.”
Yunus bin Abdul A’la berkata, “Maksud dari perkataan “Tidak memiliki
akal” adalah tidak memiliki pendapat, yaitu tidak memiliki kemampuan
untuk ijtihad dan qiyas. Kami telah meriwayatkan dari Abdurrahman bin
Mahdi, “Tidak ada yang lebih berakal dari Malik bin Anas.” (Manaqib Asy
Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/182-183)).
18. Membandingkan di antara Dua Imam
Muhammad
bin
Abdullah
bin
Abdul
Hakam
berkata,
“Aku
mendengar
Asy
Syafi’i bercerita, “Pada suatu hari Muhammad bin Hasan berkata kepadaku,
‘Aku tinggal di dekat rumah Malik bin Anas selama tiga setengah tahun
dan mendengar darinya lebih dari tujuh ratus hadits.’ (Tarikh Baghdad,
(2/173) dan Al Jawahir Al Mudhiyah (2/42)). Apabila Muhammad bin Hasan
meriwayatkan hadits dari Malik, maka rumahnya akan penuh sesak dengan
orang-orang yang ingin mendengarkan hadits. Namun jika dia meriwayatkan
hadits selain dari Malik, maka yang datang hanya beberapa orang. Kalau
sudah
begitu,
Muhammad
bin
Hasan
akan
berkata,
“Aku
tidak
melihat
manusia yang lebih buruk penghargaannya atas sahabat-sahabatnya daripada
kalian. Jika aku meriwayatkan hadits dari Malik, maka kalian memenuhi
tempat ini, namun jika aku meriwayatkan hadits dari selain Malik, kalian
datang dengan terpaksa.” Muhammad bin Hasan berkata kepadaku, “Sahabat
kami lebih berilmu dari pada sahabat kalian.” Aku bertanya kepadanya,
“Engkau ingin menyombongkan diri atau kebenaran?” Jawabnya, “Kebenaran.”
Tanyaku, “Apa dasarnya?” Jawabnya, “Kitab, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.”
Tanyaku,
“Aku
mengetahui
mengingatkanmu
Kitabullah,
sahabat
kepada
kami
Allah!
atau
Siapakah
sahabat
yang
kalian?”
lebih
Jawabnya,
“Jika engkau mengingatkanku dengan nama Allah, maka sahabat kalian lebih
mengetahui Kitabullah daripada sahabat kami.” Tanyaku, “Siapakah yang
lebih
mengetahui
Sunnah
Rasulullah
Saw,
sahabat
kami
atau
sahabat
kalian?” Jawabnya, “Sahabat kalian lebih mengetahui Sunnah Rasulullah
Saw daripada sahabat kami.” Tanyaku, “Siapakah yang lebih mengetahui
pendapat-pendapat
sahabat
Rasulullah
Saw,
sahabat
kami
atau
sahabat
kalian?” Jawabnya, “Sahabat kalian.” Tanyaku, “Adakah yang tertinggal,
selain qiyas?” Jawabnya, “Tidak.” Aku berkata, “Kami menggunakan qiyas
lebih banyak dari yang kalian gunakan, yaitu mengqiyaskan dengan ushul
(kaidah-kaidah hukum). Barangsiapa tidak mengenal ushul, maka dia tidak
mengenal qiyas.” Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam berkata, “Maksud
dari “Sahabat” disini adalah Malik bin Anas, semoga Allah merahmatinya.”
(Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/183-184)).
19. Perdebatan tentang Gerhana Matahari
Diriwayat