Judul Asli : 150 Qishshah wa Qishshah lil Imam Asy Syafi’i

Judul Asli

: 150 Qishshah wa Qishshah lil Imam Asy

Judul Terjemahan

: 150 Kisah Imam Asy Syafi’i

Pengarang

: Majdi Fathi As Sayyid

Penerbit

: Al Maktabah At Taufiqiyah

Cetakan

: -

Negara


: Kairo - Mesir

Penterjemah

: M. Habiburrahim, Lc.

Syafi’i

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Mukaddimah
Segala Puji bagi Allah. kepada-Nya kami memuji, memohon pertolongan dan
meminta ampunan. Kepada-Mu, Ya, Allah! Aku berlindung dari kejahatan
jiwa dan keburukan perbuatan. Barangsiapa yang mendapat petunjuk Allah,

maka tiada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan,
maka tiada petunjuk baginya.
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah, melainkan Allah
semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan Rasul-Nya.

Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah, sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imraan: 102).
Allah Swt berfirman, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan
biakkan

isterinya;

laki-laki

dan

dan

dari

perempuan


pada
yang

keduanya
banyak.

Dan

Allah

memperkembang

bertakwalah

kepada

Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa`: 1). Allah Swt berfirman,
“Hai


orang-orang

katakanlah

yang

perkataan

beriman,
yang

bertakwalah

benar,

niscaya

kamu
Allah


kepada

Allah

memperbaiki

dan

bagimu

amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barangsiapa menta'ati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar.” (QS. Al Ahzaab: 70-71).
Amma Ba’du
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Saw. Sejelek-jelek perkara adalah
sesuatu yang baru (yang tidak ada perintahnya dalam agama) dan setiap
hal yang baru adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap
kesesatan berada dalam neraka.

Buku

ini

mengumpulkan

kisah-kisah

kehidupan

Imam

Asy

Syafi’i

dalam

berbagai hal. Semoga Allah memberikan manfaat buku ini kepada seluruh
kaum muslimin dan muslimat.

Penutup do’a kami adalah Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin.
Abu Maryam

Kata Pengantar
Dalam lembaran-lembaran buku ini, kita akan hidup bersama salah satu
Imam terkemuka dalam sejarah Islam. Ulama terdepan pada masanya dan
pembela Hadits pada jamannya.
Dialah Muhammad bin Idris bin Al Abbas, Abu Abdullah Asy Syafi’i.
Asy Syafi’i dilahirkan di Ghaza, pada tahun 150 H. Ayahnya meninggal,
ketika beliau masih kecil, sehingga dia hidup dalam keadaan yatim. Dia
diasuh oleh ibunya, lalu ibunya membawanya ke Mekah dan beliau besar di
sana.

Beliau

sebayanya

hobi

dan


memanah,

beliau

sehingga

menyukai

sastra

bisa

mengungguli

Arab,

teman-teman

sehingga


mahir

dalam

menggubah sya’ir Arab. Setelah itu, beliau tertarik pada fikih, sehingga
beliau menjadi ulama terkemuka pada jamannya. Beliau mengarang banyak
buku, menulis dalam berbagai bidang ilmu dan menjawab argumen orangorang yang keliru. Beliau juga menulis dalam ushul fikih dan cabangcabangnya.

Karena

keilmuannya

yang

hebat

ini,

maka


beliau

banyak

didatangi oleh para pencari ilmu.
Ulama-ulama Islam, baik pada masanya maupun sekarang telah mengakui dan
mengagumi kehebatannya, sehingga banyak buku dan tulisan menerangkan
keilmuan dan keutamaannya.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Pada setiap seratus tahun, sesungguhnya
Allah

telah

mentakdirkan

bagi

umat


manusia,

orang

yang

mengajarkan

Sunnah kepada mereka dan menolak kebohongan dari hadits Rasulullah Saw.
Maka kami perhatikan, ternyata pada seratus tahun pertama, adalah Umar
bin Abdul Aziz dan Pada seratus tahun kedua, adalah Asy Syafi’i. Inilah
yang kami lihat dari Asy Syafi’i. Sejak tiga puluh tahun yang lalu, aku
senantiasa mendo’akan dan memintakan ampunan baginya.”
Abu Tsaur berkata, “Siapa saja menyangka bahwa dirinya setara dengan Asy
Syafi’i

dalam

keilmuannya,

kefashihannya,

keteguhannya

dan

keluasan

wawasannya, maka sungguh dia telah dusta. Tidak ada yang menandingi Asy
Syafi’i semasa hidupnya.”
Ahmad bin Sayyar Al Mawarzi berkata, “Seandainya tidak ada Imam Asy
Syafi’i, pastilah Islam akan sirna.”
Abu Zur’ah Ar Razi berkata, “Tidak ada hadits yang salah dalam hafalan
Imam Asy Syafi’i.”
Ali Ibnu Al Madini berkata kepada anaknya, “Jangan biarkan satu huruf
yang keluar dari lisan Imam Syaf’i, tanpa engkau catat! Karena dalam
perkataannya terdapat ilmu pengetahuan.”
Abu Hatim berkata, “Beliau sangat mahir dalam ilmu fikih dan jujur.”

Ayub bin Suwaid berkata, “Tidak mungkin, aku dapatkan orang seperti
dia.”
Yahya bin Sa’id Al Qaththan berkata, “Aku tidak menjumpai orang yang
lebih cerdas dan lebih pandai dari Asy Syafi’i dan aku mendo’akannya
secara khusus dalam setiap shalatku.”
Ibnu Abdil Hakam berkata, “Jika ada seseorang menjadi Hujjah dalam satu
bidang ilmu, maka Imam Asy Syafi’i adalah hujjah dalam segala bidang.”
Abu Abdurrahman An Nasa`i berkata, “Imam Asy Syafi’i adalah salah satu
ulama yang terpercaya.”
Beliau meninggal pada tahun 204 H. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya
kepada beliau.
Marilah kita ikuti kisah-kisah Imam Asy Syafi’i berikut, dengan memohon
ampunan, petunjuk dan kemudahan kepada Allah Swt. Sesungguhnya Dia Maha
Kuasa terhadap segala sesuatu.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh.
Abu Maryam/Majdi Fathi As Sayyid

1.

Asy Syafi’i dan Putra Khalifah

Muhammad bin Idris Asy Syafi’i berkata, “Suatu hari aku menghadap salah
seorang putra khalifah. Ibnu Da`eb ada di sana. Aku mengucapkan salam
kepadanya. Putra Khalifah bertanya kepadaku, “Engkau keturunan siapa?”
Jawabku, “Aku keturunan Bani Al Muthallib.” Dia menyelaku dan bertanya,
“Al

Muthallib

bin

Abu

Wida’ah?”

Jawabku,

“Bukan.”

Tanyanya,

“Al

Muthallib bin Hanthab?” Jawabku, “Bukan.” Ibnu Da`eb menyela percakapan
kami dengan memukulkan tangan ke pahanya dan berkata, “Semoga Allah
menambahkan

kebaikan

kepada

Pangeran!

Demi

Allah,

dia

ini

adalah

keturunan Al Muthallib bin Abdi Manaf, kakeknya adalah juga kakek anda.
Al Muthallib memiliki dua saudara, yaitu Hasyim dan Abdu Syamsi. Al
Muthallib dihormati, karena sifatnya yang mulia pada masa jahiliyah.”
(Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi, 1/82).
2.

Mencari Ilmu

Mush’ab bin Abdullah Az Zubairi berkata, “Pada awalnya, Asy Syafi’i
mempelajari

syair,

sejarah

dan

sastra.

Setelah

itu,

dia

mempelajari

fikih. Awal mula Asy Syafi’i tertarik mempelajari fikih, diceritakan
bahwa pada suatu hari, dia sedang berjalan-jalan dengan menunggang unta

bersama seorang juru tulis ayahku. Asy Syafi’i melantunkan beberapa bait
syair, maka juru tulis ayahku menyodok perutnya dengan pegangan cambuk
dan

berkata,

“Dimanakah

muru’ahmu

(harga

dirimu),

apakah

kamu

tidak

memiliki fikih?” Perkataan juru tulis ayahku menyadarkan Asy Syafi’i dan
mendorongnya

untuk

mempelajari

fikih.

Lalu

dia

mendatangi

majlis

pengajian Az Zanji bin Khalid, seorang mufti Mekah. Setelah itu, dia
pergi ke Madinah dan menjadi murid Malik bin Anas.” (Hulliyatul Auliya`,
(9/70-71) dan Tawaala At Ta`sis, karya Al Fakhrurrazi, halaman: 50-51).
3.

Mimpi Bertemu Nabi Saw

Ar Rabi’ bin Sulaiman mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Suatu malam aku
mimpi

bertemu

Jawabku,

“Ada

keturunan

Nabi

Saw,

apa

Wahai,

siapa?”

beliau

berkata

Rasulullah!”

Jawabku,

“Dari

kepadaku,
Beliau

keturunan

“Hai,

bertanya,
Anda,

Ya,

anak

muda!”

“Kamu

dari

Rasulullah!”

Beliau berkata, “Mendekatlah kepadaku!” Maka aku mendekatinya. Beliau
mengambil air ludahnya. Aku membuka mulutku, lalu beliau mengusapkan
ludahnya ke mulut, bibir dan lidahku. Beliau berkata, “Pergilah! Semoga
Allah

memberkatimu.”

bahwa

aku

salah

Setelah

dalam

mimpi

itu,

mengucapkan

tak

hadits

pernah

atau

teringat

syair.”

olehku,

(Tawaala

At

-ketika

aku

Ta`sis, karya Al Fahrurrazi, halaman: 52).
4.

Mendapatkan Timbangan dalam Mimpi

Harmalah

mendengar

Asy

Syafi’i

berkata,

“Sewaktu

kecil,

tinggal di Mekah- aku pernah bermimpi melihat seorang laki-laki yang
berwibawa

mengimami

memberikan

shalat

pengajian

di

kepada

Masjidil

orang-orang.

Haram.
Lalu

Selesai
aku

shalat

dia

mendekatinya

dan

meminta kepadanya, “Ajari aku!” Dia mengeluarkan timbangan dari lengan
bajunya

dan

memberikannya

kepadaku,

sambil

berkata,

“Ini

untukmu.”

Paginya aku menceritakan mimpiku kepada seorang ahli tafsir mimpi, dia
berkata, “Engkau akan menjadi imam dalam ilmu pengetahuan dan berjalan
sesuai

dengan

Al

Qur’an

dan

Sunnah,

karena

imam

Masjidil

Haram

menunjukkan keutamaan dan kelebihan dari imam-imam yang ada, sedangkan
timbangan menunjukkan bahwa engkau mengetahui hakekat sesuatu secara
mendalam.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi, 1/99).
5.

Asy Syafi’i Menemui Malik bin Anas

Harmalah mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Aku menemui Malik bin Anas
pada usia tiga belas tahun. Pada waktu itu yang menjadi gubernur di
Madinah adalah sepupuku. Dia banyak bercerita tentang Malik kepadaku.
Aku

tertarik

hadapannya.
Jawabku,

mendatanginya
Malik

“Aku

untuk

berkata,

akan

membaca

“Carilah

membacanya

saat

bukunya

orang
ini

lain

juga.”

(Al

Muwaththa`)

untuk

di

mengajarimu!”

Akhirnya

aku

membaca

bukunya di hadapannya. Sesekali dia berkata kepadaku tentang sesuatu
yang telah aku baca, “Ulangi hadits ini!” Maka aku mengulanginya dengan
tanpa membuka buku. Kelihatannya hal ini membuatnya tertarik kepadaku.
Aku

bertanya

Kemudian

kepadanya

persoalan

tentang

yang

lain

suatu
dan

persoalan

seterusnya.

dan
Malik

dia

menjawabnya.

berkata,

“Sudah

sepantasnya engkau menjadi seorang Qadhi.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya
Al Baihaqi, 1/101).
6.

Bersama Hudzail dan Malik bin Anas

Ar Rabi’ bin Sulaiman mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Aku keluar dari
Mekah, pergi menuju suku Hudzail di pedalaman. Aku belajar perkataan dan
bahasa mereka. Suku Hudzail adalah suku yang paling fashih di kalangan
suku-suku Arab. Aku tinggal bersama mereka dalam waktu yang cukup lama.
Aku

ikut

ke

mana

mereka

pergi

dan

di

mana

mereka

berhenti.

Ketika

kembali ke Mekah, aku telah bisa menggubah sya’ir dan menguasai sejarah
suku-suku

Arab.

Sewaktu

aku

sedang

melantunkan

sya’ir

dan

bercerita

kepada orang-orang tentang peristiwa-peristiwa bersejarah bangsa Arab,
tiba-tiba seorang laki-laki dari suku Zamrayin lewat di dekatku dan
berkata,

“Wahai,

Abu

Abdullah!

Sangat

disayangkan

bila

anda

tidak

memiliki ilmu dan fikih. Pengetahuanmu yang mendalam tentang bahasa dan
sastra tidak ada artinya, jika dibandingkan dengan orang yang memiliki
ilmu dan fikih.” Aku bertanya, “Siapakah yang engkau maksud dengan orang
yang memiliki ilmu dan fikih?” Orang itu menjawab, “Anas bin Malik,
pemimpin kaum muslimin.”
Perkataan orang tersebut masuk dalam hatiku. Kemudian aku mencari kitab
Al Muwaththa`. Aku mendapatkannya dengan meminjam dari tetanggaku, lalu
aku

menghafalnya.

Setelah

hafal,

aku

menemui

gubernur

Mekah

untuk

meminta surat jalan darinya. Aku membawa surat gubernur Mekah untuk
gubernur

Madinah

menyerahkan

surat

dan

Malik

tersebut

bin
kepada

Anas.

Sesampainya

gubernur

Madinah.

di

Madinah,

Ketika

aku

gubernur

Madinah selesai membaca surat tersebut, dia berkata, “Anakku! Jika aku

disuruh berjalan dari ujung Mekah ke ujung Madinah dengan berjalan tanpa
alas kaki, maka lebih ringan bagiku daripada harus pergi menuju rumah
Malik. Sungguh aku tidak merasa terhina, hingga aku berdiri di depan
pintu rumahnya.”
Aku

berkata,

Gubernur

“Bagaimana

Madinah

kalau

berkata,

anda

“Tidak

mengundangnya

Mungkin,

dia

datang

tidak

kemari?”

mungkin

datang

kemari. Begini saja, kita pergi ke sana! Mungkin dengan perantara debu
medan Aqiq yang mengotori kita, bisa menjawab keperluan kita.” Kami
berjanji akan pergi setelah Ashar. Habis shalat Ashar, kami pergi ke
rumah Malik. Seseorang di antara kita maju dan mengetuk pintu. Lalu
seorang pembantu perempuan keluar menemui kami. Gubernur Madinah berkata
kepadanya,

“Katakan

kepada

tuanmu,

aku

datang

untuk

menemuinya.”

Pembantu perempuan itu masuk, beberapa saat kemudian dia keluar dan
berkata, “Majikan saya berkata, jika anda menemuinya untuk menanyakan
suatu

masalah,

memberikan
telah

maka

jawaban.

tahu

jadwal

tulislah

Jika

anda

dalam

secarik

menemuinya

pengajiannya.”

kertas,

beliau

akan

belajar

hadits,

anda

untuk

Gubernur

Madinah

berkata,

“Katakan

kepadanya, aku membawa surat dari gubernur Mekah, penting!” Pembantu itu
masuk,

kemudian

hadapan

kami.

berumur

dan

berwibawa.

keluar

Malik

dengan

keluar

berperawakan
Gubernur

membawa

menemui

tinggi.

Madinah

kursi,

kami.

Dia

lalu

Malik

seorang

mengenakan

menyerahkan

surat

meletakkannya
jubah

kepada

yang
dan

di

sudah
tampak

Malik.

Malik

membacanya. Ketika dia sampai pada tulisan yang berbunyi, “Sesungguhnya
dia adalah seorang yang mulia, baik dari keturunan maupun sifatnya.
Ajarilah dia hadits dan ilmu-ilmu yang engkau miliki!” Malik melempar
surat

itu

dan

berkata,

“Maha

Suci

Allah!

Kini

ilmu

Rasulullah

Saw

didapatkan dengan perantara.” Aku menoleh ke arah gubernur Madinah, dia
kelihatan segan untuk berbicara, maka aku maju dan berkata kepadanya,
“Semoga Allah menambahkan kebaikan pada anda! Aku adalah keturunan Bani
Muthallib.” Ketika Malik mendengar perkataanku, dia memandangku beberapa
saat. Malik memiliki firasat yang kuat, lalu berkata kepadaku, “Sungguh
engkau

akan

menjadi

orang

yang

terkenal

dan

berpengaruh.”

Jawabku,

“Semoga begitu, insya Allah.” Malik berkata, “Besok datanglah kemari!
Akan ada orang yang mengajarkan Al Muwaththa` kepadamu.” Aku berkata,
“Aku telah menghafalnya.” Lalu kami pulang. Keesokan harinya aku pergi
menemui Malik dan mulai belajar darinya. Dia kelihatan sangat senang dan
tertarik pada bacaan i’rabku. Setiap kali aku merasa bahwa Malik lelah
dalam menyimak bacaanku dan aku ingin berhenti, dia berkata, “Teruskan,

nak! Jangan berhenti.” Sehingga aku selesai membaca Al Muwaththa` hanya
dalam beberapa hari saja. Kemudian aku menetap di Madinah sampai Malik
bin Anas Ra meninggal dunia.” ( Hulliyatul Auliya`, karya Abu Nu’aim
(9/69), Adabu Asy Syafi’i, karya ibnu Abi Hatim (halaman: 27), Tawaala
At Ta`sis, karya Al Fakhrurrazi (halaman: 51) dan Manaqib Asy Syafi’i,
karya Al Baihaqi (1/301)).
7. Kisah Perjalanan Mencari Ilmu
Asy Syafi’i berkata, “Aku belajar berbagai macam ilmu pengetahuan dan
hadits dari para ulama. Aku ingin mencatat apa yang aku dengar. Karena
tidak memiliki uang untuk membeli kertas, maka aku mencari tulang-tulang
yang lebar untuk aku gunakan sebagai tempat mencatat ilmu yang aku
pelajari,

sehingga

Kemudian

salah

penguasa

daerah

mereka

untuk

terkumpul

seorang

pamanku

Yaman.

menemui

Ibuku

dirumahku

dua

dari

Muthallib

Bani

menemui

pamanku

yang

guci

tulang-belulang.
diangkat

saudara-saudaranya

diangkat

menjadi

menjadi

dan

meminta

penguasa

Yaman.

Mereka memintanya agar mengajakku ikut serta ke Yaman. Dia mengijinkan.
Akhirnya aku menemaninya berangkat ke Yaman. Di Yaman ada salah seorang
kepercayaan Harun Ar Rasyid, bernama Hamad Al Barbari. Hamad Al Barbari
menulis surat kepada Harun Ar Rasyid, memperingatkan tentang orang-orang
pengikut setia Ali dan dia menyebut namaku dalam suratnya. Katanya,
“Bersama orang yang anda angkat menjadi penguasa Yaman, ada seorang anak
muda

bernama

senjata

seorang

menghadap
Kemudian
lainnya

Muhammad

ksatria.

kepada
aku

anda.”

dan

dibawa

bin

Idris.
Jika

Surat

seorang

menghadap

Perkataannya

anda

ingin,

jawaban

dari

Bani

Harun

Ar

lebih

aku

dari

akan

Harun

Muthallib
Rasyid.

Ar

serta

Kami

mematikan

dari

membawa

mereka

Rasyid

datang.

beberapa

dihadapkan

orang

padanya

sepuluh orang sepuluh orang, lalu diinterogasi satu persatu. Harun Ar
Rasyid

menanyai

pengawalnya

untuk

kami

dari

balik

membunuh

orang

tirai,
yang

setelah

telah

itu

ditanya.

ia

menyuruh

Hingga

tiba

giliranku. Aku berkata, “Wahai, Amirul Mukminin! Aku, Muhammad bin Idris
Asy Syafi’i, adalah hamba dan pelayanmu.” Dia berkata, “Bunuh dia!” Aku
berkata,

“Wahai,

Amirul

Mukminin!

Berilah

aku

kesempatan

untuk

berbicara. Tanganmu ada dimana-mana, kekuasaanmu kuat dan tidak ada yang
menghalangimu untuk berbuat apa saja kepadaku.” Dia berkata, “Katakan
apa

maumu!”

Aku

berkata,

“Wahai,

Amirul

Mukminin!

Anda

telah

salah

dengan menuduhku menyimpang dari perintahmu dan condong kepada mereka
yang keluar dari ketaatanmu. Aku akan membuat permisalan tentang Anda

dan mereka yang tidak taat kepada anda. Apa pendapat Amirul Mukminin
terhadap

seorang

satunya

dianggap

laki-laki

yang

seperti

mengasuh

anak

dua

sendiri.

anak

pamannya.

Menyamakan

Salah

nasab

dan

kedudukannya. Hartanya haram baginya, kecuali dengan seijinnya. Anak
perempuannya haram baginya, kecuali dengan mengawininya dan haknya sama
dengan dirinya. Sedangkan keponakannya yang lain dianggap lebih rendah
darinya,

dia

perempuan
baginya

adalah

baginya.
tanpa

budaknya

Anak

perlu

dan

perempuan

ijinnya

dan

anak

perempuannya

keponakannya
hartanya

yang

adalah

adalah

satu

ini

miliknya.

budak
halal
Kepada

siapakah anda akan menjadi wali, bagi yang pertama atau yang kedua? Ini
adalah permisalan Anda dan mereka.” Harun Ar Rasyid meminta kepadaku
untuk

mengulangi

mengulanginya,

perkataanku

aku

menggunakan

sampai
kalimat

tiga
yang

kali.

berbeda,

Setiap
namun

kali

maknanya

sama. Harun Ar Rasyid berkata, “Penjarakan dia!” Maka aku ditahan di
Daarul ‘Ammah. Di sana aku tidak memiliki teman yang dekat, kecuali
Muhammad

bin

Hasan.

Aku

condong

kepadanya,

karena

keilmuannya.

Aku

berharap semoga dia bisa membantuku memintakan syafaat kepada Harun Ar
Rasyid. Pada suatu hari Muhammad bin Hasan datang. Dia menghina kota
Madinah dan merendahkan orang-orangnya, namun memuji teman-temannya di
Irak dan mengangkat derajat mereka. Muhammad bercerita bahwa dia pernah
menulis sebuah buku untuk orang-orang Madinah. Dia berkata, “Jika aku
mendapatkan seorang penduduk Madinah mengkritik satu huruf bukuku, maka
aku akan mencarinya dan membunuhnya.” Orang-orang Muhajirin dan Anshar
tidak

senang

mendengar

hinaan

terhadap

Madinah

dan

orang-orangnya.

Sementara teman-teman Muhammad bin Hasan gembira mendengar pujiannya.
Maka aku menimbang di antara dua perkara. Bagaimana caranya agar Harun
Ar

Rasyid

tidak

bertambah

benci

kepadaku

dan

membuat

orang-orang

Muhajiran dan Anshar senang atau membiarkan saja hal ini, dengan harapan
Muhammad bin Hasan mau memintakan syafaat kepada Harun Ar Rasyid bagiku.
Maka aku memilih ridla Allah Swt dalam hal ini. Aku berlutut di hadapan
Muhammad bin Hasan dan berkata, “Wahai, Abu Abdullah! Aku melihatmu
menghina

Madinah

dan

menjelekkan

maksudkan

dengan

hinaan

tersebut

orang-orangnya.
adalah

tempatnya,

Jika

yang

anda

ketahuilah

bahwa

Madinah adalah tempat terhormat bagi Rasulullah Saw, tempat yang aman
bagi beliau dan tempat tujuan hijrah. Di Madinah wahyu turun. Di sana
beliau membangun masyarakat dan di sana pula kuburannya. Rasulullah Saw
menyebutnya Thabah (yang baik) dan di sana terdapat salah satu taman
surga. Namun jika yang anda maksudkan dengan hinaan tersebut adalah

orang-orangnya,

ketahuilah

Rasulullah,

keluarga

melapangkan

jalan

dekat

keimanan.

bahwa

mereka

beliau

dan

Mereka

adalah

mereka

menjaga

sahabat-sahabat

adalah
wahyu

penolong

dan

dalam

mengumpulkan

Sunnah. Dan jika yang anda kehendaki dengan hinaanmu itu adalah salah
seorang penduduk Madinah, yaitu Malik bin Anas Ra, maka tidak ada apaapa bagimu menyebut namanya dan jangan sebut Madinah dengan sebutan yang
merendahkan seperti itu!” Muhammad bin Al Hasan berkata, “Tidak ada yang
aku maksudkan, selain Malik bin Anas.”
Asy Syafi’i berkata, “Aku telah membaca buku yang anda tulis untuk
penduduk Madinah dan aku mendapatkan kesalahan dalam perkataan-perkataan
yang anda tulis antara “Bismillahirrahmanirrahim” dan “Wa shallallahu
‘ala

Muhammad.”

(maksudnya

terdapat

kesalahan

dalam

isi

buku

yang

ditulis oleh Muhammad bin Hasan). Aku mendapatkan anda menolak hukum
Kitabullah dalam seratus tiga puluh tempat:
Anda berpendapat pada persoalan dua orang yang berselisih dalam dinding
rumah dan tidak ada bukti di antara keduanya, bahwa dinding itu milik
orang

yang

dinding

rumahnya

tersambung

dengan

dinding

yang

diperselisihkan.
Anda

mengatakan

tentang

perabot

rumah

tangga

yang

diperebutkan

oleh

pasangan suami isteri, ketika bercerai, bahwa apa yang pantas bagi lakilaki, maka menjadi milik suami dan apa yang pantas untuk perempuan, maka
menjadi milik istri.
Anda mengatakan tentang permasalahan seorang laki-laki yang mengingkari
anak yang dibawa istrinya dengan alasan bahwa istrinya meminjam anak itu
dari orang lain dan dia tidak melahirkannya, bahwa kesaksian satu dukun
bayi di terima.
Anda

mengatakan

dalam

permasalahan

rak-rak

yang

diperebutkan

antara

pemilik kedai dan penyewa, jika rak-rak itu bukan bangunan asli maka
menjadi milik penyewa, namun jika merupakan bangunan asli, maka menjadi
milik pemilik tempat.
Anda memberikan pendapat tentang masalah ini dan semisalnya –lalu anda
menyebutkan semua hukum-hukumnya- dengan tanpa bukti dan sumpah. Padahal
Rasulullah Saw telah menetapkan, bahwa bukti bagi orang yang menuntut
dan sumpah bagi terdakwa.
Anda mengingkari saksi dan sumpah, padahal itu adalah sunnah Rasulullah
Saw, pendapat Ali bin Abi Thalib dan pendapat pemimpin-pemimpin kami di
Hijaz.

Apakah anda mengatakan ini semua hanya berdasarkan ijtihad akal dengan
menolak sunnah? Anda menyebutkan banyak hal yang menyalahi kami dan
bertentangan dengan Sunnah.”
Pada waktu itu Hartsamah, seorang juru tulis istana, ada disana. Maka ia
mencatat kejadian yang baru saja terjadi antara Asy Syafi’i dan Muhammad
bin Al Hasan. Orang-orang Muhajirin dan Anshar senang, ketika mendengar
bahwa

ada

Muhammad
Ketika

orang

bin

yang

Hasan

Hartsamah

membela

dan

Madinah

dan

teman-temannya

menghadap

Harun

Ar

orang-orangnya,

merasa

tidak

Rasyid,

dia

sementara

senang

dan

menanyakan

iri.

perihal

kejadian yang terjadi di Daarul ‘Ammah. Maka Hartsamah menceritakannya.
Harun Ar Rasyid berkata, “Mengapa Muhammad bin Hasan tidak mengingkari
perkataan laki-laki dari Bani Abdi Manaf? Temuilah Asy Syafi’i, katakan
padanya bahwa aku telah memaafkannya sebelum engkau mengucapkan salam.
Sampaikan salamku untuknya dan beritahu bahwa aku telah menghadiahkan
lima ribu dinar baginya, diambilkan dari Baitul Mal daerah Khudhrah. (Al
Khabar fi Adabi Asy Syafi’i wa Manaqibihi, halaman: 166).
Maka Hartsamah menemui Asy Syafi’i dan mengabarkan bahwa Amirul Mukminin
telah

memaafkannya.

memberitahukan

Dia

bahwa

juga

Amirul

menyampaikan
Mukminin

salam

Amirul

menghadiahkan

Mukminin

lima

ribu

dan

dinar

untuknya.
Hartsamah berkata, “Seandainya Amirul Mukminin tidak memberimu hadiah,
maka

aku

akan

menyiapkan

memberimu

hadiah

empat

hadiah.
ribu

Aku

dinar

telah

memerintahkan

untukmu.”

Asy

pembantuku

Syafi’i

berkata,

“Terima kasih banyak, semoga Allah membalas kebaikanmu. Seandainya aku
tidak menerima hadiah, kecuali dari orang yang lebih tinggi dariku,
niscaya

aku

terima

hadiahmu.

Lakukanlah

apa

yang

diperintahkan

oleh

Amirul Mukminin!”
Hartsamah

memberikan

uang

kepada

Asy

Syafi’i.

Kemudian

Asy

Syafi’i

memanggil tukang bekam. Setelah berbekam, Asy Syafi’i memberikan lima
puluh dinar untuk tukang bekam. Asy Syafi’i mengambil uang hadiahnya dan
menjadikannya

dalam

kantong-kantong

kecil,

setelah

itu

membagikannya

kepada orang-orang Quraisy yang tinggal di Hudhrah. Ketika pulang ke
rumah, dia hanya membawa kurang dari seratus dinar. (Al Khabar fi Adabi
Asy Syafi’i wa Manaqibihi, halaman: 166). Hartsamah menemui Asy Syafi’i
dan mengatakan kepadanya agar bersiap-siap menghadap Amirul Mukminin,
maka Asy Syafi’i mempersiapkan diri. Asy Syafi’i masuk menghadap amirul
Mukminin dan Muhammad bin Hasan telah ada di sana. Lalu Asy Syafi’i dan
Muhammad

bin

Hasan

berdebat

di

depan

Amirul

Mukminin.

Asy

Syafi’i

bertanya,

“Apa

pendapat

anda

tentang

qasaamah?1

Muhammad

bin

Hasan

berkata, “Minta penjelasan.” Asy Syafi’i berkata, “Demi Allah! Dia kafir
wahai,

Amirul

Mukminin!

Dia

menganggap

bahwa

Rasulullah

Saw

meminta

penjelasan kepada orang Yahudi.”2
Harun Ar Rasyid berkata, “Hukum mati, Muhammad bin Al Hasan!” Ketika
Harun Ar Rasyid memerintahkan hal itu, aku merasa takut. Aku berkata
kepada Harun Ar Rasyid, “Wahai Amirul Mukminin! Jika dia ingkar dalam
hal ini, sungguh dia berkata yang sama di tempat yang lain. Akan tetapi
orang

yang

dengan

berdebat,

bukti-bukti

masing-masing

yang

akan

dimilikinya.”

mempertahankan

Kelihatannya

pendapatnya

Amirul

Mukminin

menerima perkataanku, lalu dia memaafkan Muhammad bin Hasan.
Ketika aku dan Muhammad bin Hasan keluar dari hadapan Amirul Mukminin,
dia berkata kepadaku, “Abu Abdullah! Bunuhlah aku!” Aku berkata, “Jika
aku ingin, sudah aku lakukan sebelumnya.” (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al
Baihaqi (1/111-117), Adabu Asy Syafi’i, karya Ibnu Abi Hatim (halaman:
166-167).
8. Debat Asy Syafi’i dengan Muhammad bin Hasan
Asy Syafi’i berkata, “Muhammad bin Hasan adalah seorang ulama yang agung
dan mulia, aku menghormatinya. Aku telah menghabiskan enam puluh dinar
untuk membeli buku-bukunya. Hingga suatu saat kami dipertemukan dalam
majlis Harun Ar Rasyid. Muhammad bin Hasan memulai lebih dahulu, dia
berkata, “Amirul Mukminin! Sesungguhnya penduduk Madinah telah menyalahi
1

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (12/202), “Al Qasamah adalah kata

benda dari qasama yang berarti sumpah yang dilakukan oleh wali korban
pembunuhan, jika ingin menuntut darah.”
2

Perkataan ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Sahal bin Abi

Histmah,

disebutkan

bahwa

serombongan

kaum

muslimin

pergi

menuju

Khaibar. Mereka berpencar, lalu mendapatkan bahwa salah seorang dari
mereka

terbunuh.

Dalam

hadits

tersebut

dinyatakan

bahwa

Nabi

Saw

berkata, “Dapatkan bukti bagi orang yang membunuhnya.” Mereka berkata,
“Kami tidak memiliki bukti apa-apa.” Nabi Saw berkata, “Kalau begitu,
apakah mereka mau bersumpah?” Mereka menjawab, “Engkau tidak akan rela
terhadap sumpah orang Yahudi.” Nabi Saw tidak menyukai darah orang islam
hilang begitu saja, maka beliau menebusnya dengan seratus ekor unta dari
unta shadaqah. Nabi Saw tidak meminta penjelasan kepada orang Yahudi,
tetapi kepada orang-orang Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Al Baihaqi,
halaman: 120.

nas Kitabullah, keputusan-keputusan Rasulullah Saw, ijma’ umat Islam dan
mereka menerima kesaksian dan sumpah dalam pengadilan.”
Hal ini mengusik pikiranku. Aku berkata, “Wahai, Muhammad bin Hasan!
Anda

telah

berprasangka

jelek

terhadap

orang-orang

Madinah,

padahal

mereka telah menerima Nabi Saw dengan baik dan Al Qur’an diturunkan pada
mereka.

Anda

telah

menetapkan

hukum

yang

tidak

benar

pada

mereka,

padahal pusara Rasulullah Saw ada di tengah-tengah mereka. Mengapa anda
menjelekkan mereka? Lalu apa alasan anda menerima kesaksian satu orang
dukun bayi? Apakah supaya dia dapat mewarisi dari Khalifah harta yang
banyak?”

Muhammad

bin

Hasan

menjawab,

“Dengan

pendapat

Ali

bin

Abi

Thalib.” Aku berkata, “Sesungguhnya perawi yang meriwayatkan pendapat
ini dari Ali adalah seorang yang tidak dikenal, yaitu Abdullah bin Naja,
kemudian

Abdullah

bin

Naja

meriwayatkannya

kepada

Jabir

Al

Ju’fi,

seorang yang dituduh oleh para ulama menganut paham Raj’iyah. Sufyan bin
‘Uyainah pernah berkata kepadaku, ‘Suatu ketika Jabir pernah menemuiku
dan bertanya tentang perdukunan.’ Ketahuilah wahai, Muhammad bin Hasan!
Bahwa saksi dan sumpah adalah hukum yang dijalankan oleh Rasulullah Saw,
juga Ali bin Abi Thalib ketika di Kufah. Lalu apa pendapat anda tentang
Qasamah?” Muhammad bin Hasan berkata, “Qasamah adalah minta penjelasan.”
Aku

berkata,

memutuskan

“Kalau

hukum

begitu

kepada

anda

umatnya

menyangka

dengan

tidak

bahwa
yakin.

Rasulullah
Beliau

Saw

menanyai

mereka, kemudian tidak menetapkan hukum bagi mereka.”
Harun

mengikuti

perdebatan

ini,

lalu

dia

menyuruh

algojonya

untuk

menghukum mati Muhammad bin Hasan. Asy Syafi’i berkata, “Wahai, Amirul
Mukminin! Ini bukanlah keyakinannya. Sesungguhnya ketetapannya berbeda
dengan

yang

bersumpah

baru

disini,

saja

diucapkan.

kemudian

Maksudku

setelah

keluar

orang-orang
dari

sini,

yang

berdebat

mereka

akan

membayar kifarat sumpah mereka. Wahai, Amirul Mukminin! Ketahuilah bahwa
apabila dua orang berdebat, maka masing-masing akan membela pendapatnya
dengan argumen-argumen yang bisa menjatuhkan lawannya.” Perkataanku ini
diterima oleh Amirul Mukminin, Harun Ar Rasyid, lalu dia membebaskan
Muhammad bin Hasan dari hukuman mati.
Ketika kami keluar, Muhammad bin Hasan berkata kepadaku, “Engkau telah
menumpahkan darahku.” Aku berkata, “Sekarang Allah telah menciptakanmu
kembali.” (Tarikh Baghdad, karya Al Khatib (2/178-179) dan Manaqib Asy
Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/117-120).
9. Asy Syafi’i dan Penduduk Madinah

Abu Tsaur mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Suatu hari aku mendatangi
sebuah

majlis

pengajian,

ternyata

Muhammad

bin

Hasan

ada

di

situ

dikelilingi oleh sekelompok orang dari Bani Hasyim, Quraisy dan orangorang yang mencari ilmu lainnya. Muhammad bin Hasan berkata, “Aku telah
menulis sebuah buku, jika aku mengetahui ada seseorang yang mengkritik
sesuatu

dari

buku

menemuinya.”

Aku

itu,

berkata

selama

unta

kepadanya,

bisa

mendatanginya,

“Aku

telah

membaca

aku
isi

pasti
bukumu

seluruhnya, ternyata setelah Bismillahirrahmanirrahim semuanya tidak ada
yang benar. Muhammad bin Hasan berkata, “Apa saja yang salah menurutmu?”
Aku

berkata,

“Anda

sering

mengulang-ulang

“Telah

berkata

orang

Madinah...” Perkataan anda ini mengandung dua penafsiran, apakah yang
anda maksud dengan orang Madinah adalah semua penduduk Madinah atau
Malik bin Anas saja? Jika yang anda maksud dengan orang Madinah adalah
semua

penduduk

Madinah,

maka

anda

telah

salah,

karena

ulama-ulama

Madinah tidak semuanya seperti yang anda ceritakan. Tetapi jika yang
anda maksud dengan orang Madinah adalah Malik bin Anas saja, lalu anda
menyebutnya dengan orang Madinah, maka anda juga salah, karena di antara
ulama

Madinah

pendapat

yang

ada

yang

tidak

berpendapat

sama

dengan

menerima

mereka.

taubatnya

Sehingga

Malik

apapun

dalam

yang

anda

maksudkan, anda tetap salah.”
Asy Syafi’i berkata, “Akhirnya orang-orang yang ada di majlis tersebut
menjadi jelas dalam permasalahan ini dan orang-orang Hijaz yang hadir di
situ merasa senang.” (Manaqib Asy Syafi’i, (1/121-122).
10. Asy Syafi’i dan Kesaksian Dukun Bayi
Asy

Syafi’i

penduduk

berkata

Madinah,

kepada

padahal

Muhammad
anda

telah

bin

Hasan,

tahu

“Anda

perkataan

telah

mencela

Rasulullah

Saw

tentang Madinah dan keutamaannya dari kota-kota yang lain. Jika anda
bermaksud mencela Madinah, maka sesungguhnya Madinah adalah tempat yang
telah dipilih Allah Swt kepada Rasul-Nya Saw; dan jika anda bermaksud
mencela penduduknya, maka sesungguhnya penduduk Madinah adalah sahabatsahabat Rasulullah Saw dan anak dari para sahabat. Siapakah yang anda
maksud dengan hinaan ini, tempatnya atau orangnya?” Muhammad bin Hasan
berkata, “Aku maksudkan dengan hinaanku adalah orang yang berpendapat
diterimanya saksi dan sumpah, karena ia telah menyalahi Kitabullah.” (Al
Khabar fi Manaqibi Asy Syafi’i, karya Fahrurrazi (halaman: 31-32) dan
Tawaala At Ta`sis (halaman: 69-70). Aku bertanya, “Dimana dia menyalahi
Kitabullah?” Jawabnya, “Allah Swt berfirman, “Dan persaksikanlah dengan

dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian),” (QS. Al
Baqarah: 282) dan firman yang berbunyi, “Dengan dua orang saksi yang
adil di antara kalian.” (QS. Ath Thalaak: 2) Disini tidak dinyatakan
sumpah dan saksi.” Aku bertanya, “Katakan padaku apa penafsiran firman
Allah Swt, ‘Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antara kalian).’ (QS. Al Baqarah: 282) Apakah ini suatu hukum
yang tetap, tidak boleh kurang dari dua orang saksi ataukah hukum yang
bisa dirubah?” Jawabnya, “Itu adalah keputusan yang tetap, tidak boleh
kurang dari dua orang saksi.” Aku berkata, “Kalau memang pendapat anda
seperti itu, bahwa hukum itu pasti, tidak boleh kurang dari dua orang
saksi, maka anda dan pengikut anda telah menyalahi Kitabullah.” Dia
berkata,

“Dimana

kami

telah

menyalahi

Kitabullah?”

Aku

berkata

kepadanya, “Pendapat anda yang menerima kesaksian satu orang dukun bayi
tanpa ada saksi lain dalam soal kelahiran.” Dia berkata, “Kesaksian satu
orang

dukun

membolehkan

bisa

diterima.”

kesaksian

satu

Aku

orang

berkata

kepadanya,

perempuan

tanpa

“Anda

ada

telah

saksi

lain

bersamanya. Sungguh anda telah menyalahi Kitabullah?!” Dia berkata, “Ali
bin Abi Thalib juga telah membolehkan kesaksian satu orang dukun bayi.”
Aku berkata kepadanya, “Riwayat ini tidak shahih berasal dari Ali. Anda
telah menyalahi pendapat yang shahih dari Rasulullah Saw dan Ali yang
menghukumi dengan saksi dan sumpah.”
Asy Syafi’i berkata, “Sahabat-sahabatku senang dengan jawabanku. Maka
mulai hari itu aku menampakkan sikap kritisku dan perbedaanku dengan
Muhammad bin Hasan. Setelah itu aku menulis jawaban terhadap buku yang
dia tulis untuk penduduk Madinah.” (Manaqib Asy Syafi’i, (1/123-124).
11. Asy Syafi’i Menemui Harun Ar Rasyid
Disebutkan dalam kisah masuknya Asy Syafi’i menemui Harun Ar Rasyid,
bahwa dia membaca do’a. Fadhel bin Ar Rabi’ bertanya kepadanya tentang
do’a

itu.

berikut,
(yang

Maka

“Allah

berhak

Asy

Syafi’i

menyatakan

disembah),

mengajarkannya.
bahwasanya

Yang

tidak

menegakkan

Do’a
ada

itu

adalah

Tuhan

keadilan.

Para

sebagai

melainkan

Dia

Malaikat

dan

orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).

Tak ada

Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Islam.”

Sesungguhnya

(QS.

Ali

agama

Imraan:

(yang

18-19).

diridhai)
Kemudian

disisi
dia

Allah

hanyalah

mengucapkan,

“Aku

menyatakan dengan kesaksian yang dinyatakan oleh Allah. Aku titipkan
kesaksian ini kepada-Nya, semoga menjadi simpananku di sisi-Nya yang

akan

Dia

berikan

kepadaku

kelak

pada

hari

Kiamat.

Ya,

Allah!

aku

berlindung kepada-Mu dengan cahaya kekudusan-Mu, keagungan kesucian-Mu
dan

barakah

kebesaran-Mu,

aku

berlindung

dari

segala

musibah

dan

penyakit, serta dari segala bisikan malam dan siang –dalam sebagian
riwayat: dari bisikan jin dan manusia- kecuali bisikan dalam kebaikan.
Ya,

Allah!

Engkau

pertolongan,

Engkau

adalah

Penolongku,

adalah

tempat

maka

kepada-Mu

bergantungku,

maka

aku

memohon

kepada-Mu

aku

bergantung dan Engkau adalah Pelindungku, maka kepada-Mu aku berlindung.
Wahai Tuhan yang merendahkan para penguasa yang lalim dan menundukkan
fir’aun-fir’aun yang durjana! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu,
dari terbukanya penutup aibku, dari meninggalkan dzikir kepada-Mu dan
jauhkanlah aku dari kemusyrikan. Ya, Allah! aku berada dalam lindunganMu

–dalam

riwayat

yang

lain:

dalam

kecukupan-Mu-

baik

siang

maupun

malam, dalam tidur dan terjagaku, dalam diam dan gerakku, dalam hidup
dan

matiku.

Dzikir

kepada-Mu

adalah

semboyanku,

pujianku

kepada-Mu

adalah selimutku, tiada Tuhan yang berhak disembah, selain diri-Mu. Maha
suci Engkau lagi Maha Terpuji, sebagai penghormatan terhadap keagunganMu, pemuliaan terhadap keindahan wajah-Mu. Jauhkanlah diriku dari siksaMu dan dari kejahatan hamba-hamba-Mu! Lindungilah aku dengan penjagaanMu dan masukkan aku dalam perlindungan-Mu! Limpahkanlah kebaikan pada
diriku, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih di antara para pengasih –dalam
sebagian riwayat: jagalah aku dengan kebaikan-Mu dari gangguan jin dan
manusia, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih di antara para pengasih! Tiada
daya

untuk

ketaatan,

menolak
kecuali

kemaksiatan
dari

dan

pertolongan

tiada
Allah

kekuatan
Yang

untuk

Maha

menjalankan

Agung

lagi

Maha

Mulia. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi yang
diridlai,

Muhammad

dan

keluarganya.”

(Manaqib

Asy

Syafi’i,

karya

Al

Baihaqi (1/139-140).
12. Pemilihan Penarik Pajak yang Jujur
Asy

Syafi’i

berkata,

“Amirul

Mukminin,

Harun

Ar

Rasyid,

hendak

mengirimkan petugas penarik pajak ke Yaman. Maka dia mencari orang-orang
shalih

yang

jujur.

Akhirnya

berhasil

didapatkan

enam

orang

dan

aku

adalah salah satu di antara mereka yang terpilih dan yang paling muda.
Kami berangkat ke Yaman untuk menarik pajak hasil bumi di sana. Kami
mendatangi

orang-orang

kaya

dan

mengambil

pajak

mereka,

lalu

kami

membagikannya kepada orang-orang miskin di sana, dengan berlandaskan
pada hadits Nabi Saw, ketika mengutus Mu’adz ke Yaman. Ada yang melapor

kepada Amirul Mukminin, “Sesungguhnya petugas-petugas pajak yang Anda
utus ke Yaman, tidak mengirimkan apa-apa ke Baitul Mal.” Maka Amirul
Mukminin marah dan berkata, “Bawa mereka menghadap kepadaku!” Akhirnya
kami dibawa kembali ke Baghdad. Kami merasa bahwa maut telah menanti
atau siksaan yang berat akan menimpa kami. Aku mempersiapkan diri dengan
kain

kafan

dan

berpuasa.

Kami

dibawa

menghadap

Amirul

Mukminin

dan

disuruh duduk jauh darinya. Kami dipanggil satu persatu. Salah seorang
di

antara

mukminin

kami

dipanggil

bertanya

dan

kepadanya,

disuruh
“Kemana

berdiri
saja

dihadapannya.

kamu?”

Amirul

Jawabnya,

“Wahai,

Amirul Mukminin! Hamba bersama rombongan pemungut pajak yang anda utus
ke

Yaman.”

Harun

Ar

Rasyid

bertanya,

“Lalu

apa

yang

kalian

bawa?”

Jawabnya, “Kami melakukan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.”
Amirul

Mukminin

berkata

kepadanya,

“Kami

tidak

mengharapkan

jawaban

seperti itu, masuk ke rumah itu!” –rumah yang dindingnya dilapisi dengan
kulit binatang tebal- Aku merasakan kepalanya jatuh ke lantai. Akhirnya
tiba

giliranku,

lalu

aku

disuruh

berdiri

di

hadapannya.

Aku

sangat

takut. Amirul Mukminin bertanya, “Kemana saja kamu pergi?” Jawabku, “Ke
Yaman.” Dia bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengan hasil pajak yang
kamu ambil?” Maka aku mengucapkan apa yang terlintas dalam pikiranku.
Dia

mengambil

tongkat

dari

bambu

yang

ada

di

tangannya

dan

mengetukkannya ke lantai. Tiba-tiba Abu Yusuf masuk. Abu Yusuf berkata,
“Anak muda yang bernama Asy Syafi’i telah datang pada anda, Wahai,
Amirul Mukminin! Dia adalah anak paman anda. Dialah pemuda yang sering
aku ceritakan pada anda.” Abu Yusuf lalu memujiku dengan ucapan-ucapan
yang manis. Amirul Mukminin berkata kepadanya, “Diam! Sungguh aku tidak
pernah

bertemu

dengan

orang

Arab

yang

perkataannya

seindah

dia.”

Kemudian Amirul Mukminin mengulang pertanyaannya kepadaku, “Dimana kamu
selama ini?” Maka aku menjawab pertanyaannya dengan kalimat yang aku
bolak-balik, namun intinya sama, seperti jawabanku pertama kali. Ketika
aku

selesai

memujiku.
berdiri

menjawab

Amirul

dan

pertanyaan

Mukminin

dibawa

keluar

Amirul

berkata,
istana.

Mukminin,

“Aku
Ketika

Abu

Yusuf

mengampuninya.”
aku

sudah

Aku

berada

kembali
disuruh
di

luar

istana, tiba-tiba serombongan pengawal Amirul Mukminin menyusulku. Aku
kaget,

ketika

melihat

mereka.

Aku

mengucapkan,

“Innalillahi,

(sesungguhnya kita akan kembali kepada Allah), Amirul Mukminin telah
berubah pikirannya.” Mereka memberi salam kepadaku dan berkata, “Amirul
Mukminin telah mengampunimu dan beliau menghadiahkan uang untukmu.” Aku
bersyukur kepada Allah dan terus melangkah hingga sampai di depan pintu

gerbang istana. Tiba-tiba serombongan utusan yang lain menyusulku. Aku
sangat khawatir. Mereka mendekat lalu mengucapkan salam kepadaku dan
berkata,

“Pergilah

ke

istana

itu,

karena

Amirul

Mukminin

menyuruhmu

untuk tinggal di sana. Abu Yusuf mengucapkan salam untukmu dan dia
berkata, “Tulislah sebuah buku, karena anda pantas untuk mengarang buku
pada

zaman

ini

dari

orang

permasalahan

yang

telah

permasalahan

itu

begini

lain!

aku

Jauhilah

ketahui

–dia

dari

memberikan

berbicara

tentang

dua

karena

dua

perkataanmu,
isyarat

dengan

tangannya

menyilang di tenggorokan, maksudnya kematian.- Permasalahan yang pertama
adalah budak perempuan yang melahirkan anak dari majikannya, sedangkan
yang kedua adalah iman yang dipaksa.”
Asy

Syafi’i

membahas

berkata,

dua

“Aku

permasalahan

tidak

mematuhi

tersebut.

permintaannya,

Ketika

aku

maka

dipanggil

aku
untuk

menemuinya, aku tidak memiliki semangat untuk membicarakannya, kecuali
akhir perkataanku adalah, “Laa ilaha illallah.” (Manaaqib Ays Syafi’i,
karya Al Baihaqi (1/145-146)).
13. Mimpi Bertemu Ali bin Abi Thalib
Ar Rabi’ berkata, “Aku mendengar Asy Syafi’i bercerita, “Ketika aku
berada dalam penjara di Baghdad, aku mimpi bertemu Ali bin Abi Thalib
Ra. Ali masuk dan duduk di depanku. Dia melepas cincin yang ada di
jarinya dan memakaikannya di jariku. Keesokan paginya aku minta bertemu
dengan Muhammad bin Hasan, aku berkata kepadanya, “Semalam aku bermimpi,
bisakah kamu memanggilkan seseorang yang bisa menafsirkan mimpi.” Maka
Muhammad bin Hasan mengirimkan Ja’ad, sang peramal mimpi, kepadaku, dia
menemuiku dalam penjara dan berkata, “Apa yang anda lihat dalam mimpi
semalam?” Aku berkata kepadanya, “Aku melihat Ali bin Abi Thalib masuk
dalam

penjara

ini

dan

menemuiku,

lalu

dia

melepas

cincinnya

dan

memasangnya di jariku.” Sang peramal mimpi berkata, “Jika mimpi anda
benar, maka tidak ada tempat baik di Timur maupun di Barat, melainkan
nama anda akan disebut-sebut dan perkataan anda akan diamalkan oleh
banyak orang.” (Manaaqib Ays Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/148-149)).
14. Kisah Qadhi Yaman
Asy

Syafi’i

Setelah

berkata,

mengucapkan

“Suatu
salam,

ketika
aku

aku

berkata

menghadap

Harun

kepadanya,

Ar

“Wahai,

Rasyid.
Amirul

Mukminin! Aku telah meninggalkan Yaman tanpa ada seorang qadhi pengganti
di sana.” Dia berkata, “Kalau begitu carilah seorang Hakim yang pantas

menggantikanmu dan angkatlah dia menjadi qadhi di sana.” Tatkala kembali
ke tempat mengajar, aku melihat Ahmad bin Hanbal. Aku menemuinya dan
kukatakan

padanya,

“Amirul

Mukimin

telah

memberikan

mandat

kepadaku

untuk memilih seorang qadhi, sebagai penggantiku di Yaman. Aku telah
memilih

engkau

untuk

menggantikanku.

Bersiap-siaplah!

Aku

akan

mengajakmu menghadap Amirul Mukminin, sehingga dia bisa mengesahkanmu
menjadi qadhi Yaman.” Ahmad bin Hanbal berkata, “Sesungguhnya aku datang
menemui anda untuk mencari ilmu. Apakah anda akan menyuruhku menemui
penguasa itu untuk mendapatkan jabatan? Celakalah anda!” Akhirnya Asy
Syafi’i membatalkan niatnya dan ia merasa malu.” (Manaqib Asy Syafi’i,
(1/154)).
15. Rahasia Dibalik Penciptaan Lalat
Mu’ammar bin Syabib berkata, “Aku mendengar Al Makmun bertanya kepada
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, “Wahai, Asy Syafi’i! Apa sebabnya Allah
menciptakan lalat?” Asy Syafi’i berpikir sebentar, kemudian berkata,
“Untuk merendahkan para raja, wahai, Amirul Mukminin?” Al Makmun tertawa
dan bertanya, “Asy Syafi’i! Engkau melihat lalat hinggap di pipiku?” Asy
Syafi’i berkata, “Benar, wahai, Amirul Mukminin! Sewaktu Anda bertanya
kepada saya, saya tidak memiliki jawaban apa-apa, saya bingung. Tibatiba

saya

melihat

lalat

hinggap

di

pipi

anda.

Tempat

yang

tidak

tersentuh oleh ratusan pedang dan tombak, maka hadirlah jawaban itu
dalam otak saya.” Al Makmun berkata, “Sungguh Allah telah melimpahkan
anugerah kepadamu, wahai, Asy Syafi’i!” (Manaqib Asy Syafi’i, (1/154)).
16. Ba’iat kepada Al Amin dan Al Makmun
Muhammad bin Ibrahim Al Mu`adzdzin berkata, “Aku mendengar Muhammad bin
‘Adi, seorang ulama terkenal berkata, “Diceritakan kepada kami, bahwa
ketika Harun Ar Rasyid memerintahkan rakyatnya untuk memba’iat Al Amin
dan Al Makmun, dia naik ke mimbar, lalu memuji Allah dan dan menyanjungNya. Maka orang pertama yang naik mimbar untuk menyatakan ba’iat adalah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. Asy Syafi’i meletakkan tangannya di atas
kepala Al Amin dan Al Makmun, seraya berkata,
Jangan halangi mereka berdua dari kekuasaan dan jangan berikan pada
keduanya
Hingga anugerah kekuasaan itu sirna pada dirimu
Kemudian dia menangis dan orang-orangpun ikut menangis. Maka sejak saat
itu, Asy Syafi’i dikenal oleh orang banyak.

Kami menyebutkan dari riwayat yang lain, bahwa kejadian ini berlangsung
di

Mekah.

Orang-orang

bertanya,

“Siapa

anak

muda

yang

menggabungkan

antara ucapan selamat dan ucapan bela sungkawa dalam satu bait syair?”
Ada yang menjawab, “Dia adalah anak muda dari suku Quraisy, namanya
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. (Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi
(1/157)).
17. Tidak Boleh Berfatwa, Kecuali Dengan Hal Ini
Yunus bin Abdul A’la berkata, “Asy Syafi’i berkata kepadaku, “Suatu hari
aku berdebat dengan Muhammad bin Hasan. Waktu itu, dia memakai baju yang
usang. Dia berdebat dengan semangat, tampak urat-urat lehernya mengeras,
sehingga

kancing

bajunya

lepas,

begitu

beberapa

kali,

hingga

semua

kancing bajunya lepas. Dia berkata, “Sahabatmu tidak boleh memberikan
fatwa –dengan akalnya- karena dia tidak memiliki akal.” Aku bertanya
kepadanya, “Aku mengingatkanmu kepada Allah! Apakah sahabatku menguasai
Kitabullah?”
menguasai
Tanyaku,

Jawabnya,

Hadits
“Dia

“Ya,

Rasulullah

mengetahui

dia

menguasainya.”

Saw?”

Jawabnya,

pendapat

Tanyaku,

“Ya,

dia

sahabat-sahabat

“Apakah

dia

menguasainya.”

Rasulullah

Saw?”

Jawabnya, “Ya, dia mengetahuinya.” Aku bertanya, “Aku mengingatkanmu
kepada Allah! Apakah sahabatmu menguasai Kitabullah?” Jawabnya, “Tidak.”
Tanyaku, “Apakah sahabatmu menguasai Hadits Rasulullah Saw?” Jawabnya,
“Tidak.” Tanyaku, “Apakah pengikutmu mengetahui pendapat sahabat-sahabat
Rasulullah Saw?” Jawabnya, “Tidak, akan tetapi dia berakal.” Aku berkata
kepadanya, “Sahabatku memiliki tiga hal, yang harus ada dalam berfatwa,
namun jika dia tidak memiliki akal, maka dia tidak boleh berfatwa.
Sedangkan

sahabatmu

tidak

memiliki

tiga

hal

yang

harus

ada

dalam

berfatwa. Walaupun dia manusia yang paling berakal, namun tetap saja dia
tidak boleh berfatwa.”
Yunus bin Abdul A’la berkata, “Maksud dari perkataan “Tidak memiliki
akal” adalah tidak memiliki pendapat, yaitu tidak memiliki kemampuan
untuk ijtihad dan qiyas. Kami telah meriwayatkan dari Abdurrahman bin
Mahdi, “Tidak ada yang lebih berakal dari Malik bin Anas.” (Manaqib Asy
Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/182-183)).
18. Membandingkan di antara Dua Imam
Muhammad

bin

Abdullah

bin

Abdul

Hakam

berkata,

“Aku

mendengar

Asy

Syafi’i bercerita, “Pada suatu hari Muhammad bin Hasan berkata kepadaku,
‘Aku tinggal di dekat rumah Malik bin Anas selama tiga setengah tahun

dan mendengar darinya lebih dari tujuh ratus hadits.’ (Tarikh Baghdad,
(2/173) dan Al Jawahir Al Mudhiyah (2/42)). Apabila Muhammad bin Hasan
meriwayatkan hadits dari Malik, maka rumahnya akan penuh sesak dengan
orang-orang yang ingin mendengarkan hadits. Namun jika dia meriwayatkan
hadits selain dari Malik, maka yang datang hanya beberapa orang. Kalau
sudah

begitu,

Muhammad

bin

Hasan

akan

berkata,

“Aku

tidak

melihat

manusia yang lebih buruk penghargaannya atas sahabat-sahabatnya daripada
kalian. Jika aku meriwayatkan hadits dari Malik, maka kalian memenuhi
tempat ini, namun jika aku meriwayatkan hadits dari selain Malik, kalian
datang dengan terpaksa.” Muhammad bin Hasan berkata kepadaku, “Sahabat
kami lebih berilmu dari pada sahabat kalian.” Aku bertanya kepadanya,
“Engkau ingin menyombongkan diri atau kebenaran?” Jawabnya, “Kebenaran.”
Tanyaku, “Apa dasarnya?” Jawabnya, “Kitab, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.”
Tanyaku,

“Aku

mengetahui

mengingatkanmu

Kitabullah,

sahabat

kepada
kami

Allah!

atau

Siapakah

sahabat

yang

kalian?”

lebih

Jawabnya,

“Jika engkau mengingatkanku dengan nama Allah, maka sahabat kalian lebih
mengetahui Kitabullah daripada sahabat kami.” Tanyaku, “Siapakah yang
lebih

mengetahui

Sunnah

Rasulullah

Saw,

sahabat

kami

atau

sahabat

kalian?” Jawabnya, “Sahabat kalian lebih mengetahui Sunnah Rasulullah
Saw daripada sahabat kami.” Tanyaku, “Siapakah yang lebih mengetahui
pendapat-pendapat

sahabat

Rasulullah

Saw,

sahabat

kami

atau

sahabat

kalian?” Jawabnya, “Sahabat kalian.” Tanyaku, “Adakah yang tertinggal,
selain qiyas?” Jawabnya, “Tidak.” Aku berkata, “Kami menggunakan qiyas
lebih banyak dari yang kalian gunakan, yaitu mengqiyaskan dengan ushul
(kaidah-kaidah hukum). Barangsiapa tidak mengenal ushul, maka dia tidak
mengenal qiyas.” Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam berkata, “Maksud
dari “Sahabat” disini adalah Malik bin Anas, semoga Allah merahmatinya.”
(Manaqib Asy Syafi’i, karya Al Baihaqi (1/183-184)).
19. Perdebatan tentang Gerhana Matahari
Diriwayat