TUGAS HUKUM DAN PEMBANGUNAN PERTEMUAN 5

TUGAS HUKUM DAN PEMBANGUNAN
PERTEMUAN 5 : HUKUM PIDANA DAN HUKUM ACARA PIDANA

Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum yang
mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan
dilarang oleh peraturan perundang - undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa
pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya. Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis
perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya
bertentangan dengan peraturan perundang - undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai
moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan
mendapatkan sanksi berupa pemidanaan,
Hukum Pidan adalah bagian dari keseluruhanhukum yang berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturanuntuk:
a. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidakbolehdilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut; Criminal Act
b. menentukan kapan dan dalamhal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan ;
Criminal Liability/ Criminal Responsibility
a) danb) = Substantive Criminal Law / Hukum PidanaMateriil
c. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut . Criminal Procedure/ Hukum

AcaraPidana
ASAS-ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
1. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan
denganwaktu dan tempat perbuatan
dilakukan.
Serta
berlakunya
hukum
pidana
menurut waktumenyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang
melakukan perbuatan (feit) pidana sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum
diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali
tidak dapat dipidana.

Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali)
Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan
perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang

(paksaan psikologis)” dimana adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege
poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
a. Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
b. Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
c. Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang- undang pidana
yang terlebih dulu ada).
2. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT
Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana nasional menurut tempat terjadinya.
Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua)
pendapat yaitu :
Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi
diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas
territorial).
Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh
warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah Negara.
Pandangan ini disebut menganut asas personalatau prinsip nasional aktif.
Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat :
A. Asas Teritorial.
Asas ini diatur dalam KUHP yaitu dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan :
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang

melakukan suatu tindak pidana di Indonesia.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :
Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar
wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air atau pesawat udara
Indonesia”.

B. Asas Personal (nasional aktif).
Pasal 5 KUHP menyatakan :
(1). Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara
yang di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II
Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh
suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan,
sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam
dengan pidana.
(2). Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika
terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan.
Sekalipun rumusan Pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia
yang diluar wilayah Indonesia”’, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi
sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional
pasif)

karena Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah territorial wilyah
Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan
terhadap kepentingan nasional.

C.Asas Perlindungan (nasional pasif)
Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena Pasal 4 KUHP ini memberlakukan
perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia
melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu :
a. Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan
Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1).
b. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel /
materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2).
c. Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang
dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3).
d. Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara
Indonesia (pasal 4 ke-4).

D.Asas Universal
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum
internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah

dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum
sedunia (hukum internasional).
Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi :
a. Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak
eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka.
b. Duta besar Negara asing beserta keluarganya mereka juga mempunyai hak eksteritorial.
c. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar
kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang
mempunyainya.
d. Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.
Asas-Asas dalam KUHAP terdiri dari :
1. Asas Legalitas.
Pelaksanaan penerapan KUHAP seharusnya bersumber pada the rule of law, artinya semua
tindakan penegakan hukum harus berdasarkan pada :
a. Ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku.
b. Menempatkan kepentingan hukum dan undang-undang diatas segala-galanya.
Bertentangan dengan asas legalitas, KUHAP-pun menganut asas "Oportunitas" yaitu suatu asas
yang mengenyampingkan atau "Mendeponir" perkara dengan tidak mengajukan kepengadilan
meskipun
bukti-bukti

telah
memenuhi
syarat-syarat
hukum.
Pasal 8 Undang-Undang No. 15/1961,sekarang diatur dalam pasal 32 huruf c Undang-Undang
Kejaksaan RI. No. 5/1991 memberi wewenang kepada Kejaksaan Agung untuk
mendeponir/mengenyampingkan suatu perkara berdasarkan alasan "Demi Kepentingan
Umum" selain itu kewenangan untuk mendeponir dipertegas lagi oleh Buku Pedoman
Pelaksanaan KUHAP dan KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas tersebut.
Disisi lain berdasarkan pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP dihubungkan dengan pasal 14,
menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum,
penuntut umum harus menuntut di muka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum.

Sedangkan pasal 14 huruf h hanya memberi wewenang kepada penuntut umum untuk menutup
suatu perkara berdasarkan "demi kepentingan hukum" dan bukan " demi kepentingan umum".
Kedua ketentuan hukum tersebut di atas merupakan ketentuan yang saling bertentangan, disatu
pihak Kejaksaan Agung diberi wewenang untuk mengenyampingkan/mendeponir suatu perkara
demi kepentingan umum suatu asas "oportunitas", sedangkan dipihak lain penuntut umum
diberi wewenang untuk mendeponir/mengenyampingkan suatu perkara "demi kepentingan

hukum" (asas Legalitas).
2. Asas Keseimbangan.
Asas keseimbangan dijumpai dalam konsideran huruf c yang menyatakan dengan tegas bahwa
dalam setiap penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara
dua kepentingan yaitu :
a. Perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia (HAM), dengan
b. Perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat.
Setelah kehadiran KUHAP, maka harkat dan martabat tersangka sebagai manusia mulai
memperoleh perhatian dnperlindungan, aparat penegak hukum tidak dapat sewenang-wenang
melakukan penangkapan dan penahanan atas seseorang yang diduga melakukan
perbuatan/tindak pidana.
Pasal 17 KUHAP memaks penyidik jika akan melakukn penangkapan orang yang diduga telah
melakukan perbuatan/tindak pidana, maka terlebih dahulu harus ada "bukti permulaan yang
cukup" bukan berdasarkan suka atau tidak suka "like or dislike"
Penjelasan pasal tersebut mengaskan, bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan
dengan sewenang-wenang tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak
pidana.
Demikian dengan tersangka/terdakwa juga diberi hak daan sekaligus merupakan kewajiban
penyidik setelah melakukan penangkapan, sejak semula orang yang ditahan dan keluarganya :
a. wajib diberitahu alasan penahanan dan sangkaan atau dakwaan yang dipersalahkan

kepadanya;
b. keluarga yang ditahan harus segera diberitahukan tentang penahanan serta tempat dimana ia
ditahaan;

c. tersangka/terdakwa mauapun keluarganya diberitahu dengan pasti berapa lama ia ditahan di
masing-masing tingkat pemeriksaan.
Dengan berlakunya KUHAP sudah seharusnya system penyelidikan menggunakan metode ilmiah
atau "scientific crime detection" yang dapat diartikan sebagai "teknik dan taktis penyidikan
kejahatan"

3. Asas praduga tak bersalah.
Salah satu asa terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas praduga tak bersalah atau
"presumtion of innocent" terdapat dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP dan pasal 8
UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14/1970.
Asas praduga tak bersalah mengandung arti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan/atau diperiksa di pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum
memperoleh putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
4. Asas pembatasan penahanan.
Dalam KUHAP, setiap tindakan penahanan terperinci batas waktu dan statusnya dengan

seksama, sehingga dapat diketahui siapa melakukan penangkapan maupun penahanan
terhadap tersangka/terdakwa.
5. Asas ganti rugi dan rehabilitasi.
Setlah dikeluarkannya peraturan pelaksanaan Pasal 9 UU Poko Kekuasaan Kehakiman No.
14/1970, seperti yaang diatur dalam bab XII KUHAP, Pasal 95-97 sudah ada pedoman tata cara
penuntutan ganti rugi dan rehabilitasi sudah tidak ada kendala seperti belum dikeluarkannya
peraturan pelaksanaan UU No. 14/1970.
6. Asas penggabungan perkara;
Dalam KUHAP diatur dua perkara yang digabungkan menjadi satu, yakni :
1. Perkara pidana dengan perkara perdata, dan
2. Perkara pidana sipil dengan pidana militer (koneksitas).

7. Asas unifikasi.
Unifikasi hukum acara pidana, merupakan suatu usaha untuk mengikis pengkotak-kotakan
kelompok masyarakat warisan politik kolonial Belanda yang mengelompokan hukum
bardasarkan daerah, golongan, keturunan dan membedakan acara pidana yang berlaku untuk
Jawa-Madura dengan daerah Indonesia lainnya dan diskriminasi hukum acara pidana yang
berlaku antara Bumi Putra dengan keturunan Eropa.
8. Asas diferensiasi fungsional.
Diferensiasi fungsional adalah penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat

penegak hukum acara pidana secara instansional.
Pembagian tugas dan wewenang diatur sedemikian rupa sehingga tetap terbina saling korelasi
dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkesinambaungan
antara satu instansi dengaan instansi lainnya, sampai ke tingkat proses eksekusi.
9. Asas saling koordinasi.
Hubungan

koordinasi

fungsional

antara

aparat

penegak

hukum,

antara


lain.

1. Hubungan penyidik polri dengan penyidik pegawai negeri sipil tertentu.
2, Hubungan penyidik dengan penuntut umum.
3. Hubungan penyidik dengan hakim/pengadilan.
4. Hubungan tersangka, terdakwa, penasihat hukum dan aparat hukum.
10. Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Asas ini dalam prakteknya sulit untuk diwujudkan, atau dengan kata lain tiada dana tidak ada
keadilan.
11. Asas peradilan terbuka untuk umum.
Meskipun pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan terbuka untuk umum, tetapi yang dapat
melihat dan mendengarkan atau menyaksikan sidng harus berumur 17 tahun keatas.
Apabila hakim pengadilan dalam memeriksa terdakwa melanggar ketentuan terbuka untuk
umum kecuali perkara kesusilaan atau terdakwnya masih anak-anak, maka putusan pengadilan
tersebut batal demi hukum.

Demikian juga jika pemeriksaan terdakwa dalam perkara susila atau terdakwanya masih anakanak dilakukan dalam pemeriksaan terbuka untuk umum, maka putusan pengadilan tersebut
batal demi hukum.
Meskipun pemeriksaan dalam perkara susila atau terdakwanya masih anak-anak dik=lakukan
tertutup untuk umum, tetapi dalam putusan pengadilan harus dibacakan secara terbuka untuk
umum.

Proses Peradilan
Secara sederhana sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dapat dipahami sebagai
suatu usaha untuk memahami serta menjawab pertanyaan, apa tugas hukum pidana di
masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana didalam undang-undang dan
bagaimana hakim menerapkannya.
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat
bersifat phisik dalam arti sinkronisasi stuktural (structural syncronization), dapat pula bersifat
substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (cultural
syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan dan keselarasan dituntut dalam
mekanisme administrasi peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak
hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial, maka keserempakan ini mengandung makna baik
vertical maupun horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku.
Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah bahwa sistem ini mulai bekerja pada saat adanya
laporan kejahatan dari masyarakat (delik aduan), maupun pada saat-saat adanya perbuatan
yang menyimpang dari kacamata hukum pidana Indonesia yang mana atas perbuatan tersebut
pemerintah melalui Jaksa Penuntut Umum berkewajiban untuk menuntutnya melalui proses
peradilan pidana.
Secara operasional, perundang-undangan pidana mempunyai kedudukan strategis terhadap
sistem peradilan pidana, dimana perundang-undangan tersebut telah memberikan defenisi
tentang perbuatan-perbuatan apa yang dirumuskan sebagai suatu tindak pidana, serta
memberikan batasan tentang pidana yang dapat diterapkan untuk setiap kejahatan. Dengan
kata lain, perundang-undangan pidana menciptakan “legislated environment” (lingkungan
perundang-undangan) yang mengatur segala prosedur dan tata cara yang harus dipatuhi
didalam sistem peradilan pidana.
Ada beberapa sub sistem yang tergantung didalam sistem peradilan pidana, yang masingmasing sub sistem tersebut mempunyai tujuan yang tersendiri pula. Namun demikian, pada

dasarnya tujuan akhir pada masing-masing sub sistem tersebut adalah sama yaitu
“penanggulangan Kejahatan”. Untuk mencapai tujuan yang sama inilah mangharuskan sub-sub
sistem ini untuk saling koordinasi dan bekerja sama didalam proses kerjanya. Suatu sub sistem
harus memperhitungkan sub sistem yang lainnya didalam proses peradilan.
Sistem peradilan pidana mengandung gerak sistematis dari masing-masing sub sistem yang
mendukungnya, yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha
mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan sistem
peradilan pidana. Keterpaduan garis sistematis sub-sub sistem peradilan pidana dalam proses
penegakkan hukum, tentunya sangat diharapkan dalam pelaksanaannya. Oleh karenanya, salah
satu indicator keterpaduan sistem peradilan pidana ini adalah “sinkronisasi” pelaksanaan
penegakan hukum guna mencapai tujuan penanggulangan kejahatan didalam masyarakat.
Keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, diharapkan akan mampu menanggulangi
kejahatan. Apabila terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat tersebut
kedalam salah satu sub sistem dari sistem peradilan pidana, maka belum tentu ia akan
menjalani semua sub sistem. Hal ini wajar adanya, sebab dianutnya asas praduga tak bersalah
atau asas presumption of innocence sebagaimana yang terkandung dalam KUHAP. Asas praduga
tak bersalah ini membuka peluang bagi anggota masyarakat yang diduga melakukan kesalahan
tersebut untuk keluar dari sub sistem yang tergabung dalam sistem peradilan pidana.

Pertemuan ke 6 : Hukum Perdata dan Hukum Adat
Pengertian Hukum Perdata
Hukum Perdata disebut juga hukum sipil adalah hukum yang mengatur hubungan hukum
antara seseorang dengan orang lain, dimana hubungan tersebut menimbulkan hak dan
kewajiban dari masing-masing pihak.
Contoh : - Sewa menyewa;
- Jual beli, gadai;
- Warisan;
- dan lain-lain.
Jadi untuk jelasnya : Hukum Perdata ialah mengatur hubungan perseorangan sehingga berbeda
dengan Hukum Pidana yang mengatur hubungan hukum antara seorang individu dan

masyarakat dan seorang dengan Negara, maka hukum perdata tidak menyangkut kepentingan
umum, melainkan mengatur kepentingan pihak tertentu saja..
Hukum Perdata bersumber dari Kitab Undang-undang Hukum Sipil (KUHS). KUHS dipakai Pancis
sebagian besar, namun Belanda juga ikut KUHS karena orang Prancis ada juga yang tinggal di
Belanda.
Asas-Asas Hukum Perdata sebagai yang mengatur
Hukum Perdata terdiri dari :
a. Hukum Perdata Adat adalah hukum yang mengatur antar individu dengan masyarakat
adat, berkaitan dengan kepentingan-kepentingan perseorangan
b. Hukum Perdata Eropa adalah hukum yang tugasnya mengatur hubungan hukum yang
menyangkut kepentingan orang-orang Eropa dan orang-orang yang diberlakukan
ketentuan hukum itu.
c. Hukum Perdata Bersifat Nasional adalah hukum yang mengatur kepentingan perorangan
yang dibuat/diberlakukan untuk seluruh penghuni Indonesia
Adapun asas-asas yang terdapat pada hukum perdata :
1.
2.
3.
4.

Asas kebebasan para pihak;
Asas kebebasan kesepakatan;
Asas persamaan kedudukan;
Asas kecakapan bertindak dalam hukum

Hukum perdata dibagi dalam hukum perdata materil dan hukum perdata formil.
Hukum perdata formil mengatur kepentingan-kepentingan perdata. Hukum pedata materil
mengatur kepentingan-kepentingan perdata atau dengan perdata lain : cara mempertahankan
peraturan-peraturan hukum perdata materil dengan pertolongan hakim.
Apa saja yang ruang lingkup ke dalam pengertian Hukum Perdata ?
Yang termasuk ke dalam ruang lingkup Hukum Perdata antara lain :
-

Hukum Perorangan atau Pribadi (hak dan kewajiban);
Hukum Keluarga atau Perkawinan (hubungan lahir batin antara dua orang
berlainan jenis);
Hukum Kekayaan (mempunyai nilai uang);
Hukum Warih atau Hibah (cara pemindahan hak milik seseorang yang meninggal
dunia).

Hukum Adat dalam Pembangunan
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan
negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli
bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan
ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan.

Setelah hukum adat dijadikan Azas-azas Hukum Nasional, maka kemudian lahirlah antara lain :
a. Undng-undang Pokok Agraria Undang-undang No.5 Tahun 1960, undang-undang ini
merupakan Undang-undang Nasional menggantikan berbagai jenis hukum yang
mengatur masalah pertanahan di tanah air
b. Undang-undang perjanjian bagi hasil pertanian (UU No. 2 Tahun 1960)
c. Undang-undang tentang Ketentuan Pokok Kehutanan (UU No.5 tahun 1967)
d. Undang-undang tentang Ketentuan Pokok Pertambangan (UU No.11 Tahun 1967)
e. Undang-undang Pengairan (UU No. 11 Tahun 1974)
f. Dan seterusnya