IMPLEMENTASI SALAM DAN ISTISHNA DI LKS D

FIQIH KONTEMPORER
PERBANKAN
IMPLEMENTASI SALAM DAN
ISTISHNA’ DI LKS DITINJAU DARI
PERSPEKTIF FIQIH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Dosen Pengampu : Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

Disusun Oleh:
Muhamad Darwis Rolan
NPM. 1602100257P
Kelas : D

Jurusan S1 Perbankan Syariah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
Tahun Akademik 1438 H / 2017 M

Konsep Dasar Salam dan Istishna’
A. Pendahuluan

Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih
muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai
belasan bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak
itu, ada tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok
dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu
murabahah, salam, dan istishna ’.

Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah
penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas
resiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual
beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan
bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang
yang

dijual.

Transaksi

jual


beli

dibedakan

berdasarkan

bentuk

pembayarannya dan waktu penyerahan barang.
Pada makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan salam dan istishna ’.
Jual beli dengan salam dan istishna ’ ini, akadnya sangat jelas, barangnya
jelas, dan keamanannya juga jelas. Maka jual beli salam dan istishna ’ wajar
jika masih banyak diminati.
B. Konsep Dasar Salam
1. Pengertian Salam
Salam sinonim dengan salaf. Dikatakan aslama ats-tsauba lilkhiyath, artinya ia membeikan atau menyerahkan pakaian untuk dijahit.

Dikatakan Salam karena orang yang memesan menyerahkan harta
pokoknya dalam majelis. Dikatakan salam karena ia menyerahkan
uangnya terlebih dahulu sebelum barang daganganya. 1 Dalam pengertian

sederhana, salam berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian
hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.2
1

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 113.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : dari Teori ke Prktik, (Jakarta : Gema Insani,
2001), h. h.108.
2

1

Salam secara etimologi artinya pendahuluan, sedangkan secara

muamalah adalah penjualan suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya
sebagai persyaratan jual beli dan barang yang dibeli masih dalam
tanggungan penjual, dimana syaratnya ialah mendahulukan pembayaran
pada waktu akad.3
Berikut ini beberapa pendapat ulama fiqih dan ilmuwan mengenai
pengertian Salam:
a. Menurut Atang Abd. Hakim dalam bukunya Fiqih Perbankan Syariah

mengatakan bahwa Salam adalah akad pembiayaan barang dengan cara
pemesanan danpembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu
dengan syarat tertentu yang disepakati.4
b. Menurut Wahbah al-Zuhailī yang dikutip dalam buku Imam Mustafa
yang berjudul Fiqih Muamalah Kontemporer mengatakan baswa jual
beli salam

atau salaf adalah jual beli dengan sistem pesanan,

pembayaran dimuka, sementara barang yang diserahkan di waktu
kemudian. Dalam hal ini pembeli hanya memberikan rincian spesifikasi
barang yang dipesan.5
c. Menurut Ascarya dalam bukunya mengatakan bahwa salam adalah
bentuk jual beli dengan pembayaran di muka dan penyerahan barang di
kemudian hari (advanced payment atau forward buying atau future
sales) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat

penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.6
d. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Salam adalah jasa
pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembiayaannya

dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.7
e. Menurut Ismail dalam bukunya menyatakan bahwa salam adalah akad
jual beli pesanan antara pembeli dan penjual dengan pembayaran
3

Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 152.
Atang Abd. Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h.233.
5
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer,(Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h.86.
6
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.90.
7
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab I Pasal 20 ayat (34).

4

2

dilakukan di muka pada saat akad dan pengiriman barang dilakukan
pada saat kontrak. Barang pesanan harus jelas spesifikasinya. 8

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa
salam adalah adakd jual beli barang dengan cara pemesanan berdasarkan

persyaratan dan kriteria tertentu sesuai kesepakatan serta pembayaran tunai
terlebih dahulu secara penuh.
2. Dasar Hukum Salam
Dasar hukum atau legalitas akad salam terdapat pada Al-Quran, AlHadis, Fatwa DSN MUI dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah:
a. Al-Quran

ۚ ‫يٓأَُه َا ِا َي َ َا ُ ٓ ۟ َ َ َ ي َ ُن َ ْ ٍي َ ٓ َ َ ٍ ها َس ًمى َا ْا ُ ُ ُو‬
ِ
ِ
٢٨٢:‫ ل قرة‬... ۚ ْ َ ْ‫َولْ َي ْك ُتب ِ ْ َ ُ ْ َ ۢب ل‬
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar,...” (QS. Al-Baqarah : 282)9
Menurut tafsir Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tuhan
memerintahkan kita, para mukmin, agar setiap mengadakan perjanjian

utang-piutang dilengkapin dengan perjanjian tertulis (membuat surat
perjanjian). Hal ini penting, apabila pelunasan utang dilakukan dalam
jangka waktu yang berselang lama. Apabila jangka waktu utang telah
jatuh tempo, penagihan utang bisa dilakukan secara baik dan sekaligus
menghindari persengketaan.10

8

Ismail, Perbankan Syariah, h. 152-153.
QS. Al-baqarah(2): 282.
10
Teungku Muhammad Hasbu ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’an Majid An-Nūr,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 498.
9

3

b. Al-Hadis

‫ َ َم َلنِ هِ صى ه عليه‬: َ ‫ َا‬-‫ِ َ ِ َُ َع ْ ُْ َما‬

َ َ - ٍ ‫َعي ْبي َع ِا‬
‫ ( َا ْي‬: َ ‫ َقَا‬, ْ َ َ‫ َو ُ ْ ُْسل ُ َو َلل ِ َما َل ِسَنَ َ َو ل ِسَن‬, َ َ‫ووس َلْ َم ين‬
ْ ‫َ ْولَ َ َ ْم ٍر َلْ ُ ْسل‬
ٍ َ َ َ ,‫ َو َو ْ ٍو َا ْ لُ ٍم‬,‫َا ْي ٍ َا ْ لُ ٍم‬
ِ
ٍَْ
َ َ‫ َا ْي َ ْول‬: ِ ‫ َو لْ ُ َا‬.‫َا ْ لُ ٍم ) ُاتِ َ ٌ عَلَ ْيه‬
Artinya :
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke
Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa
setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "barang siapa yang
melakukan salaf (salam) yang dijamin hendaklah ia melakukan dengan
yang jels dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang
diketahui.” Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa
meminjamkan sesuatu." 11

c. Fatwa DSN MUI No.05/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Salam.
Ketentuan hukum dalam FATWA DSN MUI No.05/DSNMUI/IV/2000 Tentang JUAL BELI SALAM ini adalah sebagai
berikut:12
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:

1) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa
uang, barang, atau manfaat.
2) Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang:
1) Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2) Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3) Penyerahannya dilakukan kemudian.

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, h. 108.
DSN MUI, Fatwa 05/DSN-MUI/IV/2000: Jual Beli Salam, http://mui.or.id/index.php/
2010/03/26/fatwa-dsn-mui-no-no-05dsn-muiiv2000-tentang-jual-beli-salam/, diunduh tanggal 8
maret 2017
11

12

4

4) Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan

kesepakatan.
5) Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel:
Dibolehkan

melakukan salam paralel dengan syarat, akad kedua

terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama.
Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
1)

Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan
kualitas dan jumlah yang telah disepakati.

2)

Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih
tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.


3)

Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih
rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh
menuntut pengurangan harga (diskon).

4)

4. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang
disepakati dengan syarat

kualitas dan jumlah barang sesuai

dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
5)

Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu
penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela
menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:

6)

membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,

7)

menunggu sampai barang tersedia.

Kelima : Pembatalan Kontrak:
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak
merugikan kedua belah pihak.

5

Keenam : Perselisihan
Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya
diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
d. Salam dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Berikut ini isi Salam dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah :13
1) BAB V Akibat Bai’ Bagian Kedua Bai’ Salam
a) Pasal 100
(1) Akad bai’ salam terikat dengan adanya ijab dan kabul seperti
dalam penjualan biasa.
(2) Akad bai’ salam sebafai mana yang dimaksud pada ayat (1)
dilakuan sesuai dengan kebiasaan dan kepatutan.
b) Pasal 101
(1) Bai’ salam dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan
kualitas barang sudah jelas.
(2) Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran atau timbangan
dan/atau meteran.
(3) Spesifikasi barang harus diketahui secara sempurna oleh para
pihak
c) Pasal 102
Bai’ salam harus memenuhi syarat bahwa barang yang dijual,
waktu, dan tempat penyerahan di nyatakan dengan jelas.
d) Pasal 103
Pembayaran barang dalam bai’ salam dapat dilakukan pada waktu
dan tempat yang disepakati.

13

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab V Pasal 100-103.

6

3. Rukun dan Syarat Salam
a. Rukun Salam
Dalam pelaksanaan akad salam harus memenuhi rukun salam
seperti berikut ini:14
1) Muslam (Pembeli)
2) Muslam Ilaih (Penjual)
3) Modal atau Uang
4) Muslam fiihi (Barang)
5) Sighat (Ucapan)
b. Syarat Salam
Dalam pelaksanaan akad salam harus memenuhi syarat salam
seperti berikut ini:15
1) Pembeli harus cakap hukum dan tidak ingkar janji atas transasksi
yang telah disepakati.
2) Penjual merupakan pihak yang menyediakan barang. Penjual
disyaratkan harus cakap hukum dan tidak boleh ingkar janji.
3) Hasil produksi merupakan objek barang yang akan diserahkan pada
saat akhir kontrak oleh penjual sesuai dengan spesifikasi yang telah
ditetapkan dalam akad. Hasil produksi tidak termasuk dalam
kategori barang yang dilarang.
4) Harga disepakati pada saat awal akad antara pembeli dan penjual,
dan pembayaranya dilakukan pada saat awal kontrak. Harga barang
harus ditulis jelas dalam kontrak, serta tidak boleh berubah selama
akad.
5) Shigat atau ijab qabul ini biasanya telah dituliskan dalam formulir

yang disiapkan oleh bank syariah, sehingga dalam praktiknya bank
dapat membacakan ijab qabul atau dengan menandatanganinya.

14
15

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, h. 109.
Ismail, Perbankan Syariah, h. 154-155.

7

4. Ketentuan – Ketentuan Salam di LKS.
Berikut ini ketentuan-ketentuan umum salam di LKS adalah sebagai
berikut ini:16
a. Pembeli hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas
seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya.
b. Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan
akad, maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara
mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang
yang sesuai pesanan.
c. Mengingat bang tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya
sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk
melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua), seperti
BULOG, pedagang pasar induk atau rekan. Mekanisme ini disebut
salam paralel.

C. Konsep Dasar Istishna’
1. Pengertian Istihna’
Istishna secara etimologis merupakan mashdar dari istashna asysyai, artinya meminta membuat sesuatu, yakni meminta kepda seseorang

pembuat untuk mengerjakan sesuat berdasarkan pesanan.17 Adapun
Istihna’ secara terminologis adalah transaksi terhadap barang dagangan
dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek
transaksinya adalah barang yang harus dikerjakan dan pekerjaan
pembuatan barang itu.18
Istishna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk

membuat suatu barang pesanan dari pemesan. Istishna adalah akad jual
beli atas dasar pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu
yang diminta oleh nasabah. Bank akan meminta produsen untuk
16

Mardani, Fiqh Ekonomi, h.123.
M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah Suatu Kajian Teoritis Praktis,
(Bandung : CV Pustaka Setia, 2012), h. 159.
18
Mardani, Fiqh Ekonomi, h.124.
17

8

membuatkan barang pesanan sesuai dengan permintaan nasabah. Setelah
selesai nasabah akan membeli barang tersebut dari bank dengan harga
yang telah disepakati bersama.19 Sedangkan menurut Kopilasi Hukum
Ekonomi Syariah, istishna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk
pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pihak pemesan dan pihak penjual.20
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa
istishna’ sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak pertama
dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak
kedua, agar pihak kedua, membuatkan suatu barang sesuai yang
diinginkan oleh pihak pertama dengan harga yang disepakati antara
keduanya, yakni pembiayaan yang dicirikan oleh pembayaran di muka dan
penyerahan barang secara tangguh.
2. Dasar Hukum Istishna’
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa qiyas dan kaidah-kaidah umum
tidak memperbolehkan Istishna’. Karena Istishna’ merupakan jual beli
barang yang belum ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh
rasulullah, karena barang yang menjadi objek jual beli tidak ada atau
belum ada pada waktu akad. Selain itu tidak bisa dinamakan Ijarah,
karena bahan yang digunakan untuk membuat barang adalah milik si
penjual atau sani’. Hanya saja bila berdasarkan pada istihsan, ulama
Hanafiyah memperbolehkan. Karena, akad semacam ini sudah menjadi
budaya yang dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat. Bahkan telah
disepakati (Ijma’) tanpa ada yang mengingkari. Imam Malik, Syafi’i dan
Ahmad

berpendafat

bahwa

Istishna’

diperbolehkan

berdasarkan

diperbolehkanya akad salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi

19

Gita Danupranata, Manjaemen Perbankan Syariah, (Jakarta : Salemba Empat, 2013),

20

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab I Pasal 20 ayat (10).

h.112

9

atau akad belum ada. Rasulullah juga pernah memesan sebuah cincin dan
mimbar.21
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam akad Istishna ’,
yaitu:22
a. Kepemilikan barang objek akad adalah pada pemesan, hanya saja
barang tersebut masih dalam tanggungan penerima pesanan, atau
pemuat barang. Sementara penerima pesanan atau penjual mendapatkan
kompensasi materi sesuai dengan kesepakatan, bisa uang bisa barang.
b. Sebelum barang yang dipesan jadi, maka akad Istishna’ bukanlah akad
yang mengikat.
c. Apabila pihak yang menerima pesanan datang dengan membawa
sebuah barang kepada pemesan, maka penerima pesanan tersebuttidak
mempunyai hak (khiyar ), karena secra otomatis ia merelakan barang
tersebut bagi pemesan.
Berikut ini dasar hukum akad Istishna’ berdasarkan Fatwa DSN
MUI dan Kompilasi Hukum Ekomomi Syariah:

a. Fatwa 06/DSN-MUI/IV/2000 :Jual Beli Istishna ’.23
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:
1) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa
uang, barang, atau manfaat.
2) Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang Barang:
1) Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2) Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3) Penyerahannya dilakukan kemudian.

21

Imam Mustofa, Fiqih Muamalah, h.86.
Ibid, h.95-96.
23
DSN MUI, Fatwa 06/DSN-MUI/IV/2000 :Jual Beli Istishna’, /, http://mui.or.id/index.p
hp/2010/03/26/fatwa-dsn-mui-no-no-06dsn-muiiv2000-tentang-jual-beli-istishna,
diunduh
tanggal 8 maret 2017.
22

10

4) Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
5) Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum
menerimanya.
6) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
7) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan
kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk
melanjutkan atau membatalkan akad.
Ketiga : Ketentuan Lain:
1) Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,
hukumnya mengikat.
2) Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di
atas berlaku pula pada jual beli istishna’.
3) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi

perselisihan

di

antara

kedua

belah

pihak,

maka

penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
b. istishna’ dalam Kompilasi Hukum Ekomomi Syariah
Berikut ini isi istishna’ dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah :24
1) BAB V Akibat Bai’ Bagian Ketiga Bai’ istishna’
a) Pasal 104
Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat
atas barang yang dipesan.
b) Pasal 105
Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang dipesan.
c) Pasal 106

24

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab V Pasal 104-108.

11

Dalam Bai’ istishna, identitas dan deskrifsi barang yang dijual
harus sesuai permintaan pemesan.
d) Pasal 107
Pembayaran dalam Bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan
tempat yang disepakati.
e) Pasal 108
(1) Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satu pihak
pun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang
sudah di sepakati.
(2) Apa bila objek dari barang yang dipesan tidak sesuai
dengan spesifikasinya, maka pemesan dapat menggunakan
hakpilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan
pesanan.
3. Rukun dan Syarat Istishna’
a. Rukun Istishna’
Dalam pelaksanaan akad Istishna’ harus memenuhi rukun
Istishna’ seperti berikut ini:25
1) Pelaku akad, yaitu Mustashni’ (pembeli) adalah pihak yang
membutuhkan dan memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah
pihak yang memproduksi barang pesanan.
2) Objek

akad,

yaitu

barang

atau

jasa

(mashnu’)

dengan

spesifikasinya dan harga (tsaman).
3) Shighat, yaitu Ijab dan qabul.
b. Syarat Istishna’
Dalam pelaksanaan akad Istishna’ harus memenuhi syarat
Istishna’ seperti berikut ini:26
1) Istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas
barang yang dipesan.
25
26

M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan, h.159.
Mardani, Fiqh Ekonomi, h.126.

12

2) Istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan.
3) Dalam Istishna’, identifikasi dan deskrifsi barang yang dijual harus
sesuai permintan pemesan.
4) Pembayaran dalam Istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat
yang disepakati.
5) Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar
menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati.
6) Jika objek dari barang yang dipesan tidak sesuai dengan spesifikasi,
maka pemesan dapat menggunakan hak pilihan ( khiyar) untuk
melanjutkan ataau membatalkan pemesanan.
4. Ketentuan – Ketentuan Istishna’ di LKS.
Berikut ini ketentuan-ketentuan umum salam di LKS adalah sebagai
berikut ini:27
a. Barang pesanan harus jelas, macam ukuran, mutu dan jumlahnya.
b. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna’dan
tidak boleh berubah selama berlakunya akad.
c. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga
setelah akad ditanda tangani, seluruh biaya tambahan tetap ditanggung
nasabah.
D. Kesimpulan.
Dari penjelasan yang telah diuraikan pada sebelumnya, kami dapat
menarik kesimpulan Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya
ditunda, pembayaran modal lebih awal. Rukun dan syarat jual beli salam
yaitu Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan penjual, Obyek transaksi, Sighat
ijab qabul, dan alat tukar.
Istishna ’ adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya

produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem
pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir. Rukun dan
27

Mardani, Fiqh Ekonomi, h.123.

13

syarat istishna ’ mengikuti salam. Hanya

saja

pembayaran

kontan

tidak

dilakukan

secara

pada bai’
dan

tidak

istishna’
adanya

penentuan waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya
barang pada umumnya.
Perbedaan salam dan istishna’ adalah cara penyelesaian pembayaran
salam dilakukan diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran
istishna’ tidak secara kontan bisa dilakukan di awal, tengah atau akhir.

14

DAFTAR PUSTAKA

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Atang Abd. Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, Bandung: Refika Aditama, 2011.
DSN MUI, Fatwa 05/DSN-MUI/IV/2000: Jual Beli Salam, http://mui.or.id/index.
php/2010/03/26/fatwa-dsn-mui-no-no-05dsn-muiiv2000-tentang-jual-beli-sa
lam/, diunduh tanggal 8 maret 2017
____________, Fatwa 06/DSN-MUI/IV/2000 :Jual Beli Istishna’, /, http://mui.or.
id/index.php/2010/03/26/fatwa-dsn-mui-no-no-06dsn-muiiv2000-tentangjual-beli-istishna, diunduh tanggal 8 maret 2017.
Gita Danupranata, Manjaemen Perbankan Syariah, Jakarta : Salemba Empat,
2013.
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana, 2011.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab I Pasal 20 ayat
(10).
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab I Pasal 20 ayat
(34).
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab V Pasal 100103.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab V Pasal 104108.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2012.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : dari Teori ke Prktik, Jakarta : Gema
Insani, 2001.
M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah Suatu Kajian Teoritis
Praktis, Bandung : CV Pustaka Setia, 2012.
QS. Al-baqarah(2): 282.
Teungku Muhammad Hasbu ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’an Majid An-Nūr,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
15