Demokrasi berasal dari bahasa yunani yai

1) Demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu Demos dan Kratos, Demos yg berarti Rakyat dan
Kratos yg berati Kekuasaan, maka demokrasi sering juga di sebut dengan "Kekuasaan Rakayat".
Demokratis adalah penyebutan untuk pemerintahan yg telah menggunakan System Demokrasi
dalam perpolitikan nya,
Biasanya ciri-ciri negara yg demokratis adalah:
Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung
maupun tidak langsung (perwakilan).
Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga
negara).
Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan
hukum
Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol
perilaku dan kebijakan pemerintah.
Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara
dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya

2) Menurut Soepono Djojowando, selain maksud-maksud yang tidak pernah diungkapkan, reaksireaksi penolakan terhadap demokrasi terpimpin didasarkan pada alasan, bahawa pengertian

terpimpin bertentangan dengan asas demokrasi. Syarat mutlak demokrasi adalah kebebasan ,
sedangkan istilah terpimpin sudah menghilangkan (minimal mengurangi) kebebasan. Oleh sebab
itu, demokrasi terpimpin disamakan dengan diktator, atau setidak–tidaknya pasti menuju kea rah
diktator. Dan ada pula yang menghubungkan demokrasi terpimpin dengan komunis.

Demokrasi terpimpin (tahun 1959-1965)
Friday, March 19, 2010 5:57:02 AM

Pada sistem ini berlaku sejak dikeluarkannya Dekrit President 5 Juli 1959 yang berbunyi sebagai
berikut:
1) Pembubaran konstituante.
2) Berlakunya Kembali UUD 1945.
3) Pemberontakan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dalm demokarsi terpimpin ini menggunakan sistam presidensil. Presidensil ini mempunyai 2 hal

yang perlu diingat, sebagai berikut:
1) Kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
2) Para menteri bertanggungjawab kepada presiden.
Adapun ciri-ciri demokrasi terpimpin sebagai berikut:
1) Dominasi presiden, Presiden Soekarno berperan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan.

2) Terbatasnya peran partai politik.
3) Meluasnya peran militer sebagai unsur politik.
4) Berkembangnya pengaruh Partai Komunis Indonesia.
Di dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin banyak mengalami penyimpangan sebagai berikut:
1. Kaburnya sistem kepataian dan lemahnya peranan partai politik.
2. Jaminan hak-hak dasar warga negara masih lemah.
3. Terbatasnya kebebasan-kebebasan perssehingga banyak media massa yang gagal terbit.
4. Terjadinya sentralisasi kekuasaan pada hubungan pusat dan daerah. Pemerintah memiliki
kewenangan besar dalam mengatur daerah.
Demokrasi Pancasila (1965-1998/Orde Baru)
Demokrasi Pancasila berlaku semenjak lahirnya Orde Baru. Demokrasi Pancasila merupakan
demokrasi yang menjiwai kelima sila yang ada dalam pancasila, sebagai berikut:
1) Berdasakan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
2) Dilaksanakan dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa.
3) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaaan yang adil dan beradab.
4) Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
5) Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah Orde Baru justru mengarah pada pemerintahan
sentralistik yang diarahkan pada kepentingan pemerintah/kelompok/penguasa. Kepresidenan

menjadi pusat dari seluruh proses politik menjadi pembentuk dan penentu agenda nasional,
mengontrol kegiatan politik, dan pemberi legacies bagi seluruh lembaga pemerintahan negara.
Hal ini mengakibatkan harapan tentang majunya kehidupan demokrasi justru mengalami
kemunduran.
Beberapa penyebab mengapa demokrasi tidak dapat terwujud pada masa orde baru sebagai
berikut:
1) Rekruitmen politik yang tertutup.
2) Pemilu yang jauh dari semangat demokrasi.
3) Pengakuan terhadap hak-hak dasar yang masih terbatas.
4) Rotasi kekuasaan eksekutif hampir tidak ada.
Ada beberapa penyebab kegagalan pada masa orde baru, yaitu:
1) Hancurnya ekonomi nasional yang ditandai terjadinya krisis ekonomi yang tak kunjung
teratasi.
2) Terjadinya krisis politik dan runtuhnya legitimasi politik. Rakyat yang sudah trauma dengan
masa sebelumnya, yakni pada masa demokrasi liberal dan terpimpin menjadi sangat kecewa dan
menderita.

3) Desakan semangat demokratis dari para pendukung demokrasi. Para pendukung demokrasi
terutama lawan politik orde baru banyak yang tampil kembali menuntut pembubaran pemerintah.
Adanya krisis multidimensional menyebabkan rakyat tidak percaya pada pemerintah orde baru.

Mereka menuntut agar pemerintahan orde baru segera mundur dan digantikan dengan
pemerintahan yang baru. Mereka juga menuntut agar pemerintahan orde baru segera turun,
termasuk presiden Soeharto untuk mengundurkan diri serta para pejabat yang tersangkut KKN
segera diusut dan diadili, agar tidak menambah penderitaan rakyat yang berlarut-larut. Pada
tanggal 21 mei 1998 tuntutan rakyat dapat terwujud, Presiden Soeharto resmi mengundurka diri
dan digantikan oleh wakilnya Ir. Ing. B. J Habibie, dengan berakhirnya masa orde baru
digantikan oleh masa reformasi.

1. Pers masa orde baru
Tidak bisa dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa
pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke pemerintahnya maupun
sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang tidak bisa diremehkan. Konsepsi
Riswandha (1998 : 101) mengatakan bahwa ada empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah
satunya adalah kaum intelektual atau pers. Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsepkonsep yang diterapkan pada setiap kebijakan.
Pada masa orde baru, pers bisa dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara. Pers sangat
terlihat hanya sebagai boneka penguasa. Tidak ada kebebasan berpendapat yang dijanjikan
pemerintah pada awal awal kekuasaan orde baru. Keberadaan pers diawasi secara ketat oleh
pemerintah di bawah naungan departemen penerangan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
hal – hal buruk di dalam pemerintahan orde baru sampai di telinga masyarakat. Pers tidak bisa
melakukan apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi

masyarakat untuk pemerintah tidak tersalurkan sama sekali. Hal ini dikarenakan komunikasi
politik yang terjadi hanya top – down. Artinya pers hanya sebagai komunikator dari pemerintah
ke rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah.
Selain itu, pemberitaan yang disalurkan ke masyarakat mengenai pemerintah harus merupakan
berita – berita yang menjunjung tinggi keberhasilan pemerintah. Yang diberitakan hanyalah
sesuatu yang baik. Apabila suatu media nekat menerbitkan pemberitaan – pemberitaan miring
soal pemerintah, bisa di pastikan nasib media tersebut berada di ujung tanduk.
Berdasarkan teori politik yang dipaparkan diatas, jelas bahwa pers pada masa orde baru sangat
dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap pers tidak dapat diragukan lagi,
begitu juga dengan pegaruhnya. Kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan pemerintah orde baru
sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni
Surat Izin untuk Penerbitan Pers, yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan
saat dituntut untuk melasanakan fungsi – fungsi yang secara alamiah melekat padanya,
khususnya fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi masyarakat adalah menampilkan
informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan ekonomi, dengan
didominasi subyek negara serta kecenderungan pers untuk lebih berat ke sisi negara harus
dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis.

Tidak hanya itu, 9 elemen dasar Bill Kovach mengenai jurnalisme yang seharusnya diamalkan
oleh pers tidak terlaksana. 9 elemen dasar tersebut adalah :

1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran
2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara
3. Esensi utama jurnalisme adalah disiplin verifikasi
4. Jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek liputannya
5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan
6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi
7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personelnya
Jika sudah begitu, bisa dikatakan pers telah kehilangan jati dirinya. Contoh kediktatoran
pemerintah terhadap pers adalah peristiwa 21 Juni 1994. Saat itu beberapa media massa seperti
Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah
mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh
pejabat-pejabat Negara. Akan tetapi, meskipun pemerintah telah membungkam media
sedemikian rupa, tetapi saja ada media yang pantang menyerah melakukan perlawanan pada
pemerintah. Salah satunya adalah Tempo. Pemerintah orde baru selalu merasa terancam dengan
keberadaan Tempo. Hal tersebut wajar karena sikap pantang menyerah yang ditanamkan media
tersebut kepada wartawan – wartawannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Tempo menjadi media
terpenting pada masa orde baru.
Sesungguhnya pada masa orde baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu

Dewan Pers. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen
yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan
meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat UU, dewan pers meiliki 7 fungsi :
1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga
masyarakat
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik
4. Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers

5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan
meningkatkan kualitas profesi wartawan
7. Mendata persahaan pers
Namun sangat disayangkan bahwa dewan pers masa orde baru tidak melaksanakan fungsinya
dengan efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis. Hal tersebut
terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak anggota dewan pers yang tidak
meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers dipaksa menyetujui langkah pemerintah
tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah.
Menolak sama artinya dengan melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers

masa orde baru hanya sebatas formalitas.
2. Pers masa reformasi
Bagaimana dengan kebebasan pers pada masa reformasi? Tidak bisa dipungkiri bahwa pers pada
masa orde baru sangat berbeda dengan pers pada masa reformasi. Tidak ada kebebasan pers pada
masa orde baru. Namun, saat orde baru tumbang, pers seperti kehilangan kendali. Arus
kebebasan dibuka lebar – lebar secara spontan. Gelombang kebebasan pers tercipta secara besar
besaran, bukan perlahan dengan proses yang seharusnya.
Suatu kebijakan yang monumental karena dianggap sebagai tonggak dimulainya kebebesan pers
di Indonesia yakni dikeluarkannya Permenpen No. 01/per/Menpen/1998, tentang Kententuan –
Ketentuan SIUPP. Pada Permenpen ini, sanksi pencabutan SIUPP maupun pembreidelan bagi
pers ditiadakan. Ada lima peraturan, baik berupa Peraturan Menteri maupun Surat Keputusan
Menteri, yang keseluruhannya menghambat ruang gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah
dikeluarkannya Undang- Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal di dalam
undang-undang ini yang menyatakan pencabutan semua undang- undang pers yang ada
sebelumnya. Sejak saat itu, tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang memberatkan pers.
Akibatnya, permintaan untuk izin penerbitan meningkat.
Pers masa reformasi selalu dihubungkan dengan demokrasi. Yang mana demokrasi berarti
kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah satu indikator demokrasi adalah
terciptanya jurnalisme yang independen. Walaupun pada kenyataannya saat ini, terkadang pers
masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Pers masa reformasi

bebas menuliskan apapun kritik mereka terhadap pemerintah. Tidak ada pembungkaman, apalagi
pembredelan. Jika pemerintah tersinggung dengan apa yang disampaikan oleh pers, jalan untuk
melawannya bukan dengan memberedel pers, tetapi dengan memanfaatkan pers itu sendiri
sebagai alat komunikasi yang efektif antara masyarakat dan pemerintah. Dengan kata lain, pers
masa reformasi menempatkan dirinya sebagai perantara rakyat dan pemerintah supaya tidak
terjadi perbedaan persepsi.
Pers masa reformasi sedikit banyak telah menemukan jati dirinya. Pers menjadi lemabga yang
independen. Pada masa reformasi, komunikasi politik yang terjadsi antara masyarakat dan

pemerintah tidak hanya komunikasi top – down, melainkan juga bottom – up. Pers menjadi
sarana masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, baik berupa tuntutan maupun dukungan. Pers
juga menjadi sarana pemerintah mensosialisasikan kebijakan – kebijakan yang telah diambilnya.
Pers menjadi wadah pemerintah untuk mengetahui apakah kebijakan – kebijakan yang akan
diambil disetujui rakyat atau tidak. Apabila suatu kebijakan telah diambil dan dilaksanakan, pers
dapat mengambil perannya sebagai pengontrol kebijakan. Intinya, pers masa reformasi
senantiasa melaksanakan fungsinya pada setiap proses sistem politik. Pada masa ini, 9 elemen
dasar serta fungsi – fungsi pers cukup terlaksana.
Namun, kebebasan pers yang tercipta pada masa reformasi bukan berarti tidak menimbulkan
masalah apapun. Kebebasan pers masa reformasi terkadang terlewat batas. Terdapat
ketidakseimbangan antara keinginan masyarakat dengan kepentingan pers. Pers cenderung

menampilkan sesuatu yang berbau komersil dan hanya memikirkan keuntungan perusahaan.
Berita yang disajikan terkadang tidak objektif. Tidak hanya itu, pers juga terkadang melanggar
kode etik nya sendiri. Norma dan nilai yang ada di masyarakat diabaikan. Dalam pencarian berita
pun pers sering meniadakan kesopan santunan. Pers tidak lagi menghargai privatisasi sumber
berita. Sebagai contoh, pers seharusnya fokus hanya pada masalah – masalah yang berhubungan
dengan kepentingan masyarakat, seperti kebijakan pemerintah, akan tetapi pers
menambahkannya dengan urusan pribadi sumber berita. Hal itu sangat melanggar norma.
Kekhawatiran masyarakat terhadap kebebasan pers, sempat muncul dalam aksi perlawanan
dalam bentuk kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian Jawa Pos
di Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid (alam Emilianus, 2005: 128).
Intinya, pers menjadi lupa bahwa kebebasan pun masih harus ada batasnya. Di masa reformasi
pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat dengan kekuasaan dan modal. Dan hal ini
harus diantisipasi oleh masyarakat sebagai pengawas atas perilaku pers di Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa kebebasan pers pada
masa orde baru sangat berbeda dengan kebebasan pers pada masa reformasi. Pada masa orde
baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya sebagai boneka pemerintah untuk
melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada masa reformasi, kebebasan pers sangat
terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat luas. Pers dapat melakukan fungsi top – down dan

bottom – up, walaupun terkadang masih dimanfaatkan sebagai alat penguasa serta pemilik
modal. Kebebasan pers masa reformasi juga bukan berarti tanpa masalah, banyak masalah yang
timbul akibat dari kebebasan pers itu sendiri.

KEBEBASAN BERPENDAPAT BERDASAR ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG
KEBEBASAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT DI MUKA

UMUM DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK
ASASI MANUSIA
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Sanksi pelanggaran pasal disebutkan pada Pasal 45 ayat 1 adalah :
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dasar–dasar diajukannya permohonan pengujian ini adalah karena Pasal 27 ayat (3) UU No 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2),
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 D ayat (1),
Pasal 28 E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE menurut para pemohon telah bertentangan dengan prinsip–prinsip
negara hukum yang menginginkan setiap pembentukan UU dijelaskan secara jelas, dapat
dimengerti, dan dapat dilaksanakan secara adil. Selain itu Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan
asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.

Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, dimana rakyat berhak memilih
para penyelenggara negara melalui pemilu. Untuk itu rakyat berhak untuk menerima, mengolah,
membuat, mengirimkan, dan menyebarluaskan informasi latar belakang dari para calon
penyelenggara negara. Informasi tersebut, akan sangat mudah berbelok menjadi tindak pidana
penghinaan, sehingga membuat para pemohon tidak lagi dapat secara bebas untuk menerima,
mengolah, membuat, mengirimkan, dan menyebarluaskan informasi latar belakang dari para
calon penyelenggara negara yang akibatnya para pemohon kehilangan kesempatan untuk
menentukan pilihannya secara tepat, bijak, dan rasional.
Pasal 27 ayat (3) telah melanggar asas lex certa dan kepastian hukum karena pasal 27 ayat (3)
tidak dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya dan perumusan ketentuan pidana yang tidak
jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum.
Selain itu rumusan pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) mempunyai efek jangka panjang yang
menakutkan karena, jika ancaman pidana lebih dari 5 tahun dapat secara efektif menghambat hak
para pemohon untuk menduduki jabatan – jabatan publik dan menjadi bagian dari profesi hukum.
Untuk itu Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik agar ketentuan tersebut dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi

Pada pokoknya dalam permohonan tersebut para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 27 ayat (3)
UU ITE telah mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum, melanggar prinsip-prinsip kedaulatan
rakyat, melanggar prinsip lex certa dan kepastian hukum, Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempunyai
potensi disalahgunakan, melanggar kemerdekaan berekspresi, berpendapat, menyebarkan
informasi, dan Pasal 27 ayat (3) mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan.
Keseluruhan dalil Para Pemohon tersebut sangat relevan mengingat bahwa masalah reputasi
sesungguhnya telah diatur secara rinci dan rigid dalam KUHP, sehingga pengaturan delik
reputasi yang sama sekali baru tentu harus dipertanyakan motif dari para perumus UU tersebut.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia
juga menunjukkan dengan baik bahwa di negara-negara hukum modern seperti Belanda,
Singapura, dan Australia sekalipun tidak memiliki delik reputasi yang secara khusus diatur dalam
peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
Di dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE terdapat 2 unsur, yaitu
1) unsur obyektif dan
2)

unsur subyektif.
Unsur-unsur obyektif di dalam pasal tersebut adalah:
1. Perbuatan:



Mendistribusikan



Mentransmisikan



Membuat dapat diaksesnya.
2. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”
3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik.
Unsur subyektif adalah berupa kesalahan, yaitu yang dimaksud dengan “dengan sengaja”.
Ketiga perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya suatu
informasi dan/atau dokumen elektronik tidak dapat diketemukan penjelasannya di dalam UU ITE
tersebut baik dari sisi yuridis maupun sisi IT. Kalau kita lihat konteks pengundangan ini, maka
sebenarnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini merupakan lex specialis dari KUHP karena merupakan
pengkhususan dari penghinaan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya
disebut KUHP) di ranah internet.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengetahui bahwa Pasal 27 ayat 3 UU ITE dapat
dipakai dalam kasus penghinaan di dalam ranah internet sedangkan tidak ada penjelasan
tersendiri terhadap pasal ini.
Permasalahan ini sempat menjadi polemik dikemudian hari setelah pengundangan UU ITE.
Kasus pertama dari UU ITE ini adalah kasus pencemaran nama baik oleh seorang jurnalis
bernama Narliswandi Piliang atau biasa disebut dengan Iwan Piliang kepada Alvien Lie seorang
anggota DPR melalui milis Forum Pembaca Kompas. Berdasarkan laporan Alvien Lie kepada
polisi tersebut pada tanggal 25 November 2008 Iwan Piliang menggugat pasal tersebut kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) yang didukung oleh Masyarakat Telematika (MASTEL) dan
Asosisasi Pengusaha Warnet dan Komunitas Telematika (Apwkomitel).

Demokrasi adalah sistem pemerintahan kufur yang sangat tidak Islami. Yang paling banyak
itulah yang menjadi kebenaran. Demokrasi memungkinkan membuat tindakan buruk dengan
segala cara untuk mendapatkan kemenangan, karena hanya dinilai dari siapa yang paling banyak
setuju. Demokrasi sangat mentrigger kecurangan. Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno
yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap sebagai
contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun,
arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang
berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita
kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi adalah bentuk
atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat
(kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pada
intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai suatu kebenaran.
“Many forms of Government have been tried, and will be tried in this world of sin and woe. No
one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is the
worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time.”
—Winston Churchill (Hansard, November 11, 1947)
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik
negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara
yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain.
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga

negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and
balances.
Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini
disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu
negara. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu
negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang
diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip
semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah
mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk
membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali
menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan
berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan
anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk
rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada
mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme
ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara
tersebut.
Sebuah negara dikatakan demokratis apabila negara tersebut terus berproses menuju ke
masyarakat demokratis. Salah satu indikasi kuat kreteria negara demokratis adalah adanya
pemilihan umum yang jujur dan adil. Seperti diakui oleh pengamat Internasional bahwa sejak
tahun 1999 Indonesia sudah melaksanakan pemilu secara relatif adil dan jujur. Bahkan pada
pemilu tahun 1955 pun diakui sebagai pemilu yang adil.
Masalahnya sekarang kenapa dari pelaksanaan pemilu ataupun pilkada di banyak daerah selalu
diwarnai oleh keributan yang tidak jarang menjadi kerusuhan? Padahal jika kita menilik nilainilai demokrasi sejatinya hal tesebut justru bertentangan dengan demokrasi. Dalam pengamatan
selanjutnya ternyata Indonesia masih dalam tataran melakasanakan demokrasi pada tingkatan
prosedural yaitu sesuai dengan prosedur demokratis seperti adanya pemilu, adanya lembagalembaga perwakilan dan seterusnya.
Indonesia belum mencapai pada pelaksanaan demokrasi yang subtansial yaitu sikap-sikap dan
prilaku demokratis. Hal ini tampak bukan hanya pada masyarakat sendiri tapi juga terutama pada
pemerintah. Karena itu tidak mengherankan jika keributan pada pilkada masih mewarnai proses
demokrasi Indonesia. Disamping karena tingkat rasionalitas politik masyarakat pada umumya
dinilai masih rendah juga karena demokrasi subtansial belum dilaksanakan. Kiranya hal ini
mengindikasikan jalan panjang demokrasi Indonesia masih penuh dengan hambatan dan
tantangan justru dari efek dari demokrasi itu sendiri.
Oleh karena itu, Indonesia masih belum bisa menerapkan nilai-nilai demokrasi secara utuh,
sebagai contoh kasus prita yang baru-baru ini meramaikan stasiun TV di Indonesia dan
menggugah hati nurani semua masyarakat Indonesia.

Yang dimana kasus itu terjadi karena hal yang sifatnya sepele saja, yaitu Pengalaman tidak
mengenakkan Prita sebagai seorang pasien dari sebuah rumah sakit, dilampiaskan dengan keluh
kesah berkirim email pada temannya. Tidak diduga oleh siapapun ternyata curahan hati itu
berdampak hukum, harus mendekam di penjara. Benarkah hanya karena memberi kritik
seseorang bisa ditahan? Mengapa sebuah keluhan seorang pasien lewat media elektronik internet
dapat berdampak hukum demikian besar?
Sebenarnya bila ditilik secara cermat, pengalaman seperti ini banyak sekali dialami baik oleh
pasien dan pihak rumah sakit. Cukup sering dijumpai seorang pasien mengadukan ketidak
puasan layanan seorang dokter dan rumah sakit baik di media cetak, elektronik dan internet.
Fenomena yang biasa terjadi ini menjadi sesuatu yang sangat besar karena baru pertamakali
sebuah rumah sakit berani menuntut dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan pasien.
Mungkin bagi sebagian masyarakat hal itu merupakan sebuah sekedar kritikan untuk sebuah
pelayanan rumah sakit. Kelompok lain mengatakan sekedar kirim email mengapa harus
mengorbankan seorang Ibu rumah tangga dengan memisahkan dua anak kecil di rumahnya.
Tetapi pihak rumah sakit yang berseteru tetap bersikeras bahwa tulisan sang ibu jelas-jelas
sebuah pencemaran nama baik.
Bila disimak lebih cermat ternyata asal muasal sengketa adalah dugaan pencemaran nama baik
oleh bekas pasien kepada rumah sakit yang pernah merawatnya. Dalam tulisan tersebut tersurat
bahwa rumah sakit berikut dokternya sebagai penipu dan rumah sakit mencari pasien berkedok
hasil laboratorium yang fiktif. Jadi sekali lagi permasalah utama adalah dugaan pencemaran
nama baik, bukan sekedar penulisan atau berkeluh kesah melalui email. Fokus masalah yang
tidak jelas inilah yang akan mengaburkan permasalahan yang sebenarnya ada. Interpretasi
pemcemaran nama baik sendiri akan terjadi multitafsir sehingga harus diarahkan pada jalur
hukum.
Dari sebuah cerita yang kecil tersebut ternyata berdampak besar dan menjadi sesuatu kontroversi
yang tiada berhenti ujungnya. Dari pengalaman yang seringkali terjadi tersebut menjadi melebar
tak tentu arah. Karena pelaku dugaan pencemaran nama baik adalah seorang ibu yang tidak
berdaya yang mempunyai anak kecil maka opini, simpati, dan dukungan mengalir secara deras
tak terbendung tanpa melihat fokus masalah dan demi kebebasan berpendapat.
Dengan suhu politisi yang tinggi ini tidak disia-siakan seorang calon presiden yang masih aktif
menjabat wakil presiden mengatakan dengan lebih cepat dan lebih baik. Bebaskan Prita, polisi
harus pelajari kasusnya lagi lebih baik. Sedangkan calon presiden lain yang biasa berhemat
kata,dengan bahasa tubuh langsung mengunjungi Prita ke tempat tahanan. Presiden sebagai calon
presiden incumbent seakan tak mau kalah menyikapinya secara jelas dan tegas mengatakan
bahwa dalam menegakkan hukum harus memakai hati nurani dan rasa keadilan. Dalam
pencitraan mungkin tindakan para calon pemimpin negeri ini sangat hebat dalam membela wong
cilik. Tetapi dari sisi hukum campur tangan terhadap penegakan hukum yang selama ini
didengungkan mereka, tampaknya akan pudar walau untuk membela kaum lemah. Bukankah di
mata hukum semua orang sama tidak ada bedanya.

Kalau sudah orang-orang besar di negeri ini mengayuhkan langkahnya, pasti masyarakat dan
pejabat di bawahnya akan mengikuti dan bersuara lebih keras lagi. Menteri kesehatan beberapa
hari berikutnya dengan lantang mengatakan bahwa nama Internasional harus dicopot karena
menyalahi aturan, padahal banyak nama Rumah Sakit Internasional yang serupa selama ini tidak
dipermasalahkan. Kejaksaan Agung dan Polisi sebagai penegakan hukum ikut saling tuding
karena desakan masyarakat dan campur tangan pemimpin negeri ini. Bahkan karenanya, dalam
waktu singkat Prita langsung dibebaskan dari tahanan.
Begitu yang menjadi pelaku sengketa adalah Rumah Sakit dan dokter, maka kesempatan
munculnya opini yang tak terkendali menyudutkan tindakan dokter dan rumah sakit di manapun
berada. Permasalahan menjadi melebar kemana-mana. Permasalahan berlanjut pada dokter yang
dianggap tidak manusiawi, rumah sakit mata duitan, dokter tidak professional dan sebagainya.
Dokter adalah manusia biasa, sangkaan tersebut adalah hal yang mungkin saja benar terjadi
walau tidak boleh digeneralisasikan.
Etika berpendapat
Paska reformasi bangsa Indonesia adalah negara demokrasi dan negara hukum yang melindungi
setiap warga negara dalam melakukan setiap bentuk kebebasan berpendapat, menyampaikan
gagasan baik secara lisan maupun tulisan, hal ini dilindungi peraturan perundang-undangan di
Indonesia baik didalam batang tubuh UUD 1945 pasal 28, maupun diatur secara jelas dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, dimana
poin-poin hak yang harus dilindungi oleh Negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak
memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan.
Paska reformasi pula masyarakat Indonesia mengalami euphoria demokrasi yang sangat hebat.
Dahulu untuk berbicara dengan nada tinggi terhadap presiden sudah menjadi pidana, sekarang
mengkritik presiden di depan umum adalah hal biasa. Tampaknya kasus Prita ini adalah kasus
yang kesekian kali sebagai pembelajaran bagi bangsa ini dalam berdemokrasi yang sebenarnya.
Sebagai negara demokrasi kebebasan berpendapat tidak harus menjadi sekedar bebas
mengemukakan pendapat tetapi harus bertanggung jawab dan beretika dalam berpendapat.
Menentukan parameter nilai etika dalam berpendapat yang ideal sangat sulit. Setiap upaya
penentuan batas nilai etika berpendapat akan divonis sebagai pengebirian berpendapat. Bahkan
undang undang baru seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang
diciptakan oleh para ahli hukum dan pendekar demokrasi saja dianggap mengkebiri kebebasan
berpendapat.
Etika berpendapat tersebut tidak perlu harus sesuai dengan etika adat ketimuran atau etika
kesopanan. Tetapi layaknya dalam berpendapat harus sesuai dengan fakta yang sebenarnya tanpa
harus men”justifikasi” fakta yang masih belum jelas. Artinya, dalam kebebasan berpendapat
tidak boleh memutarkan balikkan fakta kebenaran yang ada. Bila hal ini terjadi akan merupakan
fitnah dan pencemaran nama baik. Bila etika berpendapat hanya melanggar etika adat, budaya
dan kesopanan tidak terlalu masalah karena sangsi yang didapat hanyalah sekedar sangsi sosial.

Pameo lama mengatakan fitnah lebih kejam dari pembunuhan sehingga wajar bila itu terjadi
akan berdampak hukum. Karena fitnah dan pencemaran nama baik akan berakibat sangat
merugikan bagi yang mendapatkannya. Ternyata dari sebuah opini yang memutarkan balikkan
fakta yang ada, dapat mematikan kehidupan dan mata pencaharian seseorang. Seorang pedagang
bakso diisukan memakai daging celeng akan membuat pedagang akan kehilangan mata
pencaharian. Begitu juga seorang dokter dituding sebagai penipu maka hancurlah citra
profesionalnya. Demikian juga sebuah perusahaan kosmetik bila diisukan memakai minyak babi
akan hancurlah perusahaan tersebut, demikian juga rumah sakit. Bila semua orang boleh bebas
berpendapat seenaknya tanpa beretika, maka akan kacaulah negera demokrasi ini.
Dan kasus Prita, merupakan potret sebuah riak kecil dalam kehidupan masyarakat dan lemahnya
hukum di Indonesia terhadap kebebasan berpendapat yang mampu menghebohkan masyarakat
Indonesia. Tampaknya fenomena ini dijadikan proses pembelajaran bagi masyarakat tentang
permasalahan yang selama ini yang terjadi.