HAK ATAS TANAH MEMPUNYAI FUNGSI SOSIAL (1)
1
HAK ATAS TANAH MEMPUNYAI FUNGSI SOSIAL
Oleh: Nirmala Sari
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tanah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut dengan UUPA)
dimana Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi
bahwa, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran
rakyat”, merupakan dasar dari politik agraria nasional. Berbicara mengenai
tanah tidak terlepas dari hak-hak atas tanah diantaranya adalah hak milik, hak
guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, dan hak-hak lainnya
yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA.
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau sering disebut dengan
UUPA pada Pasal 6, menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial”. Rumusan Pasal tersebut mendapat penjelasan dalam Penjelasan
Umum, Angka Romawi II Angka 4 UUPA, yaitu hak atas tanah apapun yang
ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya akan
dipergunakan atau tidak
dipergunakan semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada
haknya, hingga bermanfaat bagi baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.
Kemudian jika dikaitkan antara ketentuan Pasal 6 dengan Pasal 15
UUPA, maka semua hak atas tanah harus dipelihara baik-baik, agar bertambah
kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah tidak
hanya menjadi beban pemilik atau pemegang hak semata, melainkan menjadi
beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai
suatu hubungan hukum dengan tanah.
Tanah merupakan komponen yang sangat vital bagi kelangsungan
social, khususnya tanah publik kaitannya dengan fungsi sosial tanah yang
dimilikinya. Dalam hal ini, tak jarang fungsi sosial tersebut memiliki
2
konsekuensi logis. Misalnya saja permasalahan yang berhubungan dengan
pelepasan tanah pribadi untuk kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan
sosial. Untuk memperoleh tanah ini peranan pemerintah sangat diperlukan
karena terkadang tanah yang akan didirikan atau bangunan tersebut adalah
milik rakyat, sehingga untuk memperolehnya harus melalui pemerintahan
yaitu dengan cara pencabutan hak atas tanah dan pembebasan hak atas tanah.
Peranan pemerintah atas tanah dalam rangka pembangunan sangat
penting sekali sehingga dalam hal ini pemerintah harus dapat menjalankan
fungsinya dengan baik dan benar.
Pembangunan ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah
dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan
saja harus mengindahkan prinsip – prinsip hukum akan tetapi juga harus
memperhatikan kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan
agar masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang
mengganggu stabilitas masyarakat.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini, antara lain:
1.
Apakah tanah yang berstatus hak milik dapat berfungsi sosial?
2.
Bagaimana upaya pemerintah di dalam menyelesaikan permasalahan
tanah berkaitan dengan pembangunan nasional?
1.3.
Tujuan
1.
Sebagai bahan untuk menambah wawasan dan sebagai evaluasi kaitannya
dengan masalah-masalah tanah yang berfungsi sosial.
2.
Memberikan gambaran dan solusi-solusi yang dibutuhkan dalam
menyelesaikan kasus-kasus terkait dengan politik hukum pertanahan.
1.4.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah jenis
penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap studi kepustakaan,
3
terdiri dari, norma-norma hukum yang bersifat mengikat, dalam hal ini
adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria beserta literatur yang akan dikaitkan dengan
permasalahan yang dibahas.
2. Jenis Pendekatan
Pendekatan masalah dalam skripsi ini dilakukan dengan menggunakan
metode statue approach dan conceptual approach.
Statue Approach adalah pendekatan yang
dilakukan
dengan
mengidentifikasikan serta membahas peraturan perundang-undangan
yang berlaku berkaitan dengan permasalahan yang dibahas, yaitu
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di
Atasnya, Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara
Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan
Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya,
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Conceptual approach yaitu suatu pendekatan dengan cara membahas
pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat
dalam hal ini berupa peraturan perundang-undangan yaitu:
a.
Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945);
b.
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;
c.
UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah
dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya;
d.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara
Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan
dengan Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang
ada diatasnya;
e.
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
4
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berupa literatur
maupun karya ilmiah dari para sarjana atau ahli hukum.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian dan Implementasi Hak atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial
Tanah merupakan salah satu bentuk karunia yang diberikan Tuhan pada
Negara kita. Untuk itulah supaya tidak timbul masalah, pemerintah berusaha
mengaturnya dengan baik. Keadaan Negara kita sebagai Negara berkembang
menuntut kita melakukan banyak perbaikan dan pembangunan. Banyaknya
manusia yang memerlukan tanah, tetapi tidak bertambahnya jumlah tanah yang
ada menjadi salah satu inti permasalahannya. Mau tidak mau untuk menjalankan
pembangunan, diadakan proses pengadaan tanah yang asalnya dari tanah yang
sudah dihaki oleh rakyat. Proses tersebut cukup memakan waktu yang lama,
oleh karena salah satu pihak merasa adanya ketidak-adilan. Proses yang cukup
lama ini, otomatis membuat jalannya pembangunan menjadi tersendat. Maka itu
dengan memperkenalkan pada masyarakat akan pentingnya fungsi sosial yang
dipunyai oleh seluruh hak-hak atas tanah kiranya dapat membantu mengubah
cara berpikir individual masyarakat. Dengan prinsip ini kepentingan pribadi atas
tanah tidak dibiarkan merugikan kepentingan banyak orang (umum). Apalagi
ditambah dengan peraturan baru yaitu PERPRES Nomor 36 Tahun 2005 dan
PERPRES Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum. Begitu juga dengan pihak pemerintah,
harus memperhatikan jumlah kerugian yang wajar, layak dan adil untuk
pemegang tanah. Dengan begitu tujuan UUPA untuk mencari keseimbangan
antara dua kepentingan rakyat (pembangunan) dan kepentingan individu dapat
segera terwujud dengan baik.
Salah satu contoh bentuk implementasi dari asas fungsi sosial hak atas
tanah adalah Sebidang tanah milik salah satu warga yang mana didepan
halaman rumahnya terkena pelebaran jalan, jadi pemilik tanah harus merelakan
sebagian tanahnya untuk diberikan guna pelebaran jalan untuk kepentingan
umum. Namun dari tanah yang direlakan untuk digunakan pelebaran jalan
tersebut pemilik tanah mendapatkan uang ganti rugi dari pemerintah. Dari
contoh tersebut seharusnya pemilik tanah memiliki kesadaran menerapkan asas
fungsi sosial atas tanah bagi kepentingan umum.
6
Pada masa pembangunan sekarang ini sering terlihat adanya masalah
bahwa tanah adalah sumber konflik, yaitu jika pemerintah membutuhkan tanah
yang dimiliki penduduk untuk keperluan pembangunan. Konflik itu bisa timbul
karena pemerintah di satu pihak memerlukan tanah itu dan di pihak lainya
penduduk juga ingin mempertahankan tanah miliknya sebagi sumber mata
pencaharian (lahan pertanian misalnya) dan tempat pemukiman.
Menurut ketentuan hukum yang berlaku di indonesia pemerintah
memang di berikan wewenang untuk mengambil allih tanah penduduk guna
keperluan pembangunan, tetapi pengambilan itu tidak boleh di lakukan dengan
sewenang –wenang. Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah.
Jadi kedua pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk
melakukan
ambil
alih
atas
tanah-tanah
masyarakat
untuk
keperluan
pembangunan.
Dan juga menurut hukum yang berlaku di indonesia ada dua cara yang
di tempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang dimiliki
oleh warga masyarakat, yaitu cara pembebasan/pelepasan hak atas tanah
(prijsgeving) dan cara pencabutan hak atas tanah (onteigening).
Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan
hukum antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian
ganti rugi yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak
sedangkan pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa
oleh negara atas tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu
menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian
dalam memenuhi kewajiban hukumnya.
Ada perbedaan dalam pembebasan dan pencabutan hak atas tanah baik
mengenai dasr hukumnya maupun mengenai prosedur dan penyelesaianya.
Secara yuridis tentang pencabutan hak atas tanah di atur dalam UU No. 20
tahun 1961, PP No. 39 tahun 1973 dan inpres No. 9 tahun di dalam PMDN No.
15 tahun 1975, PMDN No. 2 tahun 1976, surat edaran dritjen agraria No.
12/108/12/75, surat edaran agraria No. BTU 2/268/2/76 dan lain-lain.
2.2. Hak Milik berfungsi Sosial
Pengertian Hak Milik menurut Pasal 20 UUPA bahwa:
7
“Hak milik adalah Hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”
Terkuat dan terpenuh dalam kandungan pengertian hak milik
merupakan hak mutlak tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Ini
dimaksudkan untuk membedakan dengan hak atas tanah lainnya. Akan tetapi
di dalam kemutlakan hak milik tersebut melekat sebuah ikatan hukum yang
bersifat umum dengan segala kepentingannya yang seimbang, yaitu fungsi
sosial tanah.
Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Seseorang
tidak
dibenarkan
mempergunakan
atau
tidak
mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan
pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat
karena sesuai dengan asas fungsi sosial ini hak milik dapat hapus jika
kepentingan umum menghendakinya.
Arti hak milik mempunyai fungsi sosial ini ialah hak milik yang
dipunyai oleh seseorang tidak boleh digunakan semata-mata untuk
kepentingan pribadi atau perseorangan, melainkan juga harus memperhatikan
kepentingan masyarakat umum. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran
bahwa hak milik atas tanah tersebut perlu dibatasi dengan fungsi sosial dalam
rangka mencegah penggunaan hak milik yang tidak sesuai dengan fungsi dan
tujuannya.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA
mengandung beberapa prinsip keutamaan antara lain :
Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah
yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hakhak atas tanah menurut prinsip Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep
Hukum Tanah Nasional memiliki sifat komunalistik religius, yang mengatakan
bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa, bangsa Indonesia
dan merupakan kekayaan nasional.
8
Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang
mempunyai hak itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai
konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya
kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat
dan diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat.
Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai
hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan
keadaannya, artinya keadaan tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal
tersebut dimaksudkan agar tanah harus dapat dipelihara dengan baik dan
dijaga kualitas kesuburan serta kondisi tanah sehingga kemanfaatan tanahnya
dinikmati tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi juga masyarakat
lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu tidak saja dibebankan
kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga
menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai
suatu hubungan hukum dengan tanah.
UUPA menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi
penggunaannya yang bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga timbul
keseimbangan, kemakmuran, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat maupun
pribadi yang memiliki tanah. Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya
dalam memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan
umum maka haknya akan berpindah untuk kepentingan umum.
2.3.
Upaya Pemerintah di dalam menyelesaikan permasalahan tanah
berkaitan dengan pembangunan nasional
1.
Pencabutan Hak atas Tanah
Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang
diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga
negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan
bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan
pembangunan. Dalam pasal 1 UU nomor 20 tahun 1961 dinyatakan
bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan
pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah
9
mendenangar menteri agraria, kehaiman dan mentri yang bersangkutan
dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di
atasnya”
Memperhatikan ketentuan yang ada pada pasal 1 UU nomor
20 tahun 1961 di atas, maka sebelum presiden mengeluarkan keputusan
terhadap tanah yang akan di cabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti
dilakukan suatu permohonan yang di ajukan kepada yang berkepentingan
seperti yang telah tertuang di dalam pasal 2 UU nomor 20 tahun 1961
Dan dasar pokok dari UU No 20 tahun 1961 tentang
pencabutan hak atas tanah itu adalah ketentuan pasal 18 UU No. 5 tahun
1960 (UUPA) yang menggariskan untuk kepentingan umum negara dapat
melakukan pencabutan hak atas tanah. Pada pasal 18 UUPA tersebut
selengkapnya sebagai berikut:
“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bersama dari
rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”
Terhadap salah satu hak atas tanah yaitu hak milik, maka berlaku
ketentuan Pasal 27 ayat 1 UUPA yang menyebutkan bahwa, “hak milik
hapus jika tanahnya jatuh kepada negara karena pencabutan hak
berdasarkan Pasal 18 UUPA”.
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 18 UUPA tentang Ontiegening
tersebut dituntut persayaratan tegas dan ketat sebagai berikut:
1. Pencabutan hak hanya dapat dilaksanakan bilamana kepentingan
umum benar-benar menghendaki. Unsur kepentingan umum ini harus
2.
tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini;
Sesuai dengan ketentuan UU No. 20 tahun 1961 pencabutan hak atas
3.
tanahnya dapat dilakukan atas izin presiden.
Pencabuatan hak atas tanah tersebut harus di sertai ganti rugi yang
layak.
Pencabutan
mengindahkan
hak
yang
persyaratan
dilakukan
tersebut
oleh
adalah
pemerintah
merupakan
tanpa
perbuatan
melanggar hukum atau menyalahgunakan wewenang oleh pemerintah.
2.
Pembebasan Hak atas Tanah
Salah satu cara berakhirnya hak atas tanah adalah apabila terjadinya
pembebasan hak atas tanah tersebut. Masalah pembebasan tanah sekarang
ini dapat di jumpai aturanya di dalam berbagai peraturan, surat edaranatau
10
intruksi yang di keluarkan oleh Dapertemen Dalam Negeri. Beberapa di
antartaranya:
1) Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDP) No. 15 tahun 1975 (tanggal
13 Desember 1975) tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara
pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah.
2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976 tentang penggunaan
acara pembebasan tanah untuk swasta.
3) Surat edaran Direktorat jendral agraria tanggal 28 februari 1978 No.
BTU
2/268/1979 tentang PMDN No. 15 tahun 1975 tentang
ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.
Dalam prakteknya sekarang ini ternyata UU No. 20 tahun 1961
jarang dipergunakan, artinya untuk pengaturan tanah dalam rangka
pembangunan dan kepentingan umum prosedur yang di tempuh lebih
banyak prosedur pembebasan tanah (PMDN No. 15 tahun 1975). Hal itu
disebabkan proses pencabutan (UU No. 20 tahun 1961) akan memakan
waktu relatif lebih lama dan lebih bersifat memaksa bagi pemilik tanah;
sedangakan prosedur pembebasan (PMDN No. 15 tahun 1975) adalah
lebih cepat dan dirasakan lebih menjamin tidak timbulnya keresahan
masyarakat karena untuk adanya pembebasan itu diharuskan ada
musyawarah sehingga ada kata sepakat.
Sekalipun demikian PMDN No. 15 tahun 1975 itu memberikan
jalan keluar memberikanmu jalan keluar bilamana kita sepakat (yang di
haruskan itu) tidak bisa di capai dengan dalam musyawarah. Kenyataan
ini menimbulkan kesan bahwa PMDN No. 15 tahun 1975 merupakan
sekedar penyederhanaan pencabutan hak dengan paksa masalah lain yang
bukan sekedar menyangkut besarnya ganti rugi dalam musyawarah ialah
menyangkut masalah pemukiman dan sumber penghidupann khususnya
bagi pemilik tanah yang hidup dari bertani.
Selain itu keluarnya PMDN No. 15 tahun1975 itu pernah
menimbulkan kontoversi di kalangan sarjana hukum. Ada yang
mempersoalkan bahwa ditinjau dari segi materinya PMDN itu di uji
kepada doktrin bahwa ada pembatasan wewenang bagi badan negara
untuk membuat undang-undang dalam arti materiil dengan anggapan
bahwa pembebasan tanah sama dengan pencabutan hak berarti bahwa
PMDN itu mengantar materi undang-undang. Kebatalan itu di sebabkan:
11
a. Menteri dalam negeri tidak memeiliki wewenang membuat peraturan
yang mengikat umum tanpa adanya pendelegasian wewenag.
b. Mengenai pencabutan hak undang-undang No. 20 tahun 1961 telah
menunjuk presiden sebagai instasi yang berwenang memutuskanya
(buakan wewenag menteri)
c. PMDN tersebut mengatur soal yang telah diatur dengan undangundang yaitu UU No. 20 tahun 1961, sedangkan isi PMDN tersebut
tidak sejalan dengan undang-undang itu.
12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka adapun kesimpulan yang dapat diambil
adalah:
Setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial
1.
sebagaimana termuat di dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Ketentuan tersebut juga
berlaku terhadap hak milik sebagai salah satu dari jenis hak atas tanah yang
terkuat dan terpenuh dalam kandungan pengertian sebagai hak mutlak tidak
terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Sekalipun demikian, hak milik
tetap memiliki fungsi sosial karena di dalam Pasal 20 UUPA mengenai
2.
pengertian daripada hak milik tetap merujuk pada Pasal 6 UUPA.
Terkait dengan masalah pembangunan
yang
bertujuan untuk kepentingan umum, hak-hak atas tanah termasuk juga hak
milik dapat diupayakan pencabutan hak maupun pembebasan hak atas tanah
oleh pemerintah daerah setempat yang nantinya akan diberikan ganti rugi
atau kompensasi.
3.2. Saran
Berdasarkan pada pembahasan tersebut, undang-undang berikut peraturan
pelaksanaannya telah mengatur secara jelas dan terperinci mengenai segala hal
yang berkait erat dengan tanah. Namun dengan seringnya masalah pencabutan
maupun pembebasan hak atas tanah yang terjadi di masyarakat lebih karena
penerapan dari aturan-aturan ini yang tidak efektif. Banyak faktor yang
menyebabkan hal tersebut, dimana salah satunya adalah prosedur pelaksanaan
maupun ganti kerugian yang terbilang ketat sehingga menimbulkan banyaknya
keluhan di masyarakat. Oleh karena itu, dapat disarankan agar di dalam
pelaksanaan baik itu pencabutan ataupun pembebasan hak atas tanah yang
dilakukan demi kepentingan umum memperhatikan pula hak-hak masyarakat
yang dirugikan dalam hal ini agar nantinya tidak menimbulkan masalahmasalah baru di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sodiki, 2013, Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta
13
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung.
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia “Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya”, Djambatan, Jakarta.
____________, 2008, Hukum Agraria Indonesia “Himpunan Peraturan-Peraturan
Hukum Tanah”, Djambatan, Jakarta.
Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaya, 2004, Hak-Hak Atas Tanah, Edisi I, Kencana
Pranada Media Group, Jakarta
Santoso, Urip, 2010, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Cet. 6, Kencana,
Jakarta.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan
Benda-Benda yang Ada di Atasnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2324)
HAK ATAS TANAH MEMPUNYAI FUNGSI SOSIAL
Oleh: Nirmala Sari
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tanah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut dengan UUPA)
dimana Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi
bahwa, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran
rakyat”, merupakan dasar dari politik agraria nasional. Berbicara mengenai
tanah tidak terlepas dari hak-hak atas tanah diantaranya adalah hak milik, hak
guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, dan hak-hak lainnya
yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA.
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau sering disebut dengan
UUPA pada Pasal 6, menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial”. Rumusan Pasal tersebut mendapat penjelasan dalam Penjelasan
Umum, Angka Romawi II Angka 4 UUPA, yaitu hak atas tanah apapun yang
ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya akan
dipergunakan atau tidak
dipergunakan semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada
haknya, hingga bermanfaat bagi baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.
Kemudian jika dikaitkan antara ketentuan Pasal 6 dengan Pasal 15
UUPA, maka semua hak atas tanah harus dipelihara baik-baik, agar bertambah
kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah tidak
hanya menjadi beban pemilik atau pemegang hak semata, melainkan menjadi
beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai
suatu hubungan hukum dengan tanah.
Tanah merupakan komponen yang sangat vital bagi kelangsungan
social, khususnya tanah publik kaitannya dengan fungsi sosial tanah yang
dimilikinya. Dalam hal ini, tak jarang fungsi sosial tersebut memiliki
2
konsekuensi logis. Misalnya saja permasalahan yang berhubungan dengan
pelepasan tanah pribadi untuk kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan
sosial. Untuk memperoleh tanah ini peranan pemerintah sangat diperlukan
karena terkadang tanah yang akan didirikan atau bangunan tersebut adalah
milik rakyat, sehingga untuk memperolehnya harus melalui pemerintahan
yaitu dengan cara pencabutan hak atas tanah dan pembebasan hak atas tanah.
Peranan pemerintah atas tanah dalam rangka pembangunan sangat
penting sekali sehingga dalam hal ini pemerintah harus dapat menjalankan
fungsinya dengan baik dan benar.
Pembangunan ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah
dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan
saja harus mengindahkan prinsip – prinsip hukum akan tetapi juga harus
memperhatikan kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan
agar masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang
mengganggu stabilitas masyarakat.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini, antara lain:
1.
Apakah tanah yang berstatus hak milik dapat berfungsi sosial?
2.
Bagaimana upaya pemerintah di dalam menyelesaikan permasalahan
tanah berkaitan dengan pembangunan nasional?
1.3.
Tujuan
1.
Sebagai bahan untuk menambah wawasan dan sebagai evaluasi kaitannya
dengan masalah-masalah tanah yang berfungsi sosial.
2.
Memberikan gambaran dan solusi-solusi yang dibutuhkan dalam
menyelesaikan kasus-kasus terkait dengan politik hukum pertanahan.
1.4.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah jenis
penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap studi kepustakaan,
3
terdiri dari, norma-norma hukum yang bersifat mengikat, dalam hal ini
adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria beserta literatur yang akan dikaitkan dengan
permasalahan yang dibahas.
2. Jenis Pendekatan
Pendekatan masalah dalam skripsi ini dilakukan dengan menggunakan
metode statue approach dan conceptual approach.
Statue Approach adalah pendekatan yang
dilakukan
dengan
mengidentifikasikan serta membahas peraturan perundang-undangan
yang berlaku berkaitan dengan permasalahan yang dibahas, yaitu
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di
Atasnya, Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara
Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan
Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya,
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Conceptual approach yaitu suatu pendekatan dengan cara membahas
pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat
dalam hal ini berupa peraturan perundang-undangan yaitu:
a.
Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945);
b.
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;
c.
UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah
dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya;
d.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara
Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan
dengan Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang
ada diatasnya;
e.
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
4
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berupa literatur
maupun karya ilmiah dari para sarjana atau ahli hukum.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian dan Implementasi Hak atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial
Tanah merupakan salah satu bentuk karunia yang diberikan Tuhan pada
Negara kita. Untuk itulah supaya tidak timbul masalah, pemerintah berusaha
mengaturnya dengan baik. Keadaan Negara kita sebagai Negara berkembang
menuntut kita melakukan banyak perbaikan dan pembangunan. Banyaknya
manusia yang memerlukan tanah, tetapi tidak bertambahnya jumlah tanah yang
ada menjadi salah satu inti permasalahannya. Mau tidak mau untuk menjalankan
pembangunan, diadakan proses pengadaan tanah yang asalnya dari tanah yang
sudah dihaki oleh rakyat. Proses tersebut cukup memakan waktu yang lama,
oleh karena salah satu pihak merasa adanya ketidak-adilan. Proses yang cukup
lama ini, otomatis membuat jalannya pembangunan menjadi tersendat. Maka itu
dengan memperkenalkan pada masyarakat akan pentingnya fungsi sosial yang
dipunyai oleh seluruh hak-hak atas tanah kiranya dapat membantu mengubah
cara berpikir individual masyarakat. Dengan prinsip ini kepentingan pribadi atas
tanah tidak dibiarkan merugikan kepentingan banyak orang (umum). Apalagi
ditambah dengan peraturan baru yaitu PERPRES Nomor 36 Tahun 2005 dan
PERPRES Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum. Begitu juga dengan pihak pemerintah,
harus memperhatikan jumlah kerugian yang wajar, layak dan adil untuk
pemegang tanah. Dengan begitu tujuan UUPA untuk mencari keseimbangan
antara dua kepentingan rakyat (pembangunan) dan kepentingan individu dapat
segera terwujud dengan baik.
Salah satu contoh bentuk implementasi dari asas fungsi sosial hak atas
tanah adalah Sebidang tanah milik salah satu warga yang mana didepan
halaman rumahnya terkena pelebaran jalan, jadi pemilik tanah harus merelakan
sebagian tanahnya untuk diberikan guna pelebaran jalan untuk kepentingan
umum. Namun dari tanah yang direlakan untuk digunakan pelebaran jalan
tersebut pemilik tanah mendapatkan uang ganti rugi dari pemerintah. Dari
contoh tersebut seharusnya pemilik tanah memiliki kesadaran menerapkan asas
fungsi sosial atas tanah bagi kepentingan umum.
6
Pada masa pembangunan sekarang ini sering terlihat adanya masalah
bahwa tanah adalah sumber konflik, yaitu jika pemerintah membutuhkan tanah
yang dimiliki penduduk untuk keperluan pembangunan. Konflik itu bisa timbul
karena pemerintah di satu pihak memerlukan tanah itu dan di pihak lainya
penduduk juga ingin mempertahankan tanah miliknya sebagi sumber mata
pencaharian (lahan pertanian misalnya) dan tempat pemukiman.
Menurut ketentuan hukum yang berlaku di indonesia pemerintah
memang di berikan wewenang untuk mengambil allih tanah penduduk guna
keperluan pembangunan, tetapi pengambilan itu tidak boleh di lakukan dengan
sewenang –wenang. Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah.
Jadi kedua pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk
melakukan
ambil
alih
atas
tanah-tanah
masyarakat
untuk
keperluan
pembangunan.
Dan juga menurut hukum yang berlaku di indonesia ada dua cara yang
di tempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang dimiliki
oleh warga masyarakat, yaitu cara pembebasan/pelepasan hak atas tanah
(prijsgeving) dan cara pencabutan hak atas tanah (onteigening).
Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan
hukum antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian
ganti rugi yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak
sedangkan pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa
oleh negara atas tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu
menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian
dalam memenuhi kewajiban hukumnya.
Ada perbedaan dalam pembebasan dan pencabutan hak atas tanah baik
mengenai dasr hukumnya maupun mengenai prosedur dan penyelesaianya.
Secara yuridis tentang pencabutan hak atas tanah di atur dalam UU No. 20
tahun 1961, PP No. 39 tahun 1973 dan inpres No. 9 tahun di dalam PMDN No.
15 tahun 1975, PMDN No. 2 tahun 1976, surat edaran dritjen agraria No.
12/108/12/75, surat edaran agraria No. BTU 2/268/2/76 dan lain-lain.
2.2. Hak Milik berfungsi Sosial
Pengertian Hak Milik menurut Pasal 20 UUPA bahwa:
7
“Hak milik adalah Hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”
Terkuat dan terpenuh dalam kandungan pengertian hak milik
merupakan hak mutlak tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Ini
dimaksudkan untuk membedakan dengan hak atas tanah lainnya. Akan tetapi
di dalam kemutlakan hak milik tersebut melekat sebuah ikatan hukum yang
bersifat umum dengan segala kepentingannya yang seimbang, yaitu fungsi
sosial tanah.
Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Seseorang
tidak
dibenarkan
mempergunakan
atau
tidak
mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan
pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat
karena sesuai dengan asas fungsi sosial ini hak milik dapat hapus jika
kepentingan umum menghendakinya.
Arti hak milik mempunyai fungsi sosial ini ialah hak milik yang
dipunyai oleh seseorang tidak boleh digunakan semata-mata untuk
kepentingan pribadi atau perseorangan, melainkan juga harus memperhatikan
kepentingan masyarakat umum. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran
bahwa hak milik atas tanah tersebut perlu dibatasi dengan fungsi sosial dalam
rangka mencegah penggunaan hak milik yang tidak sesuai dengan fungsi dan
tujuannya.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA
mengandung beberapa prinsip keutamaan antara lain :
Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah
yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hakhak atas tanah menurut prinsip Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep
Hukum Tanah Nasional memiliki sifat komunalistik religius, yang mengatakan
bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa, bangsa Indonesia
dan merupakan kekayaan nasional.
8
Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang
mempunyai hak itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai
konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya
kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat
dan diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat.
Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai
hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan
keadaannya, artinya keadaan tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal
tersebut dimaksudkan agar tanah harus dapat dipelihara dengan baik dan
dijaga kualitas kesuburan serta kondisi tanah sehingga kemanfaatan tanahnya
dinikmati tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi juga masyarakat
lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu tidak saja dibebankan
kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga
menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai
suatu hubungan hukum dengan tanah.
UUPA menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi
penggunaannya yang bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga timbul
keseimbangan, kemakmuran, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat maupun
pribadi yang memiliki tanah. Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya
dalam memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan
umum maka haknya akan berpindah untuk kepentingan umum.
2.3.
Upaya Pemerintah di dalam menyelesaikan permasalahan tanah
berkaitan dengan pembangunan nasional
1.
Pencabutan Hak atas Tanah
Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang
diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga
negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan
bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan
pembangunan. Dalam pasal 1 UU nomor 20 tahun 1961 dinyatakan
bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan
pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah
9
mendenangar menteri agraria, kehaiman dan mentri yang bersangkutan
dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di
atasnya”
Memperhatikan ketentuan yang ada pada pasal 1 UU nomor
20 tahun 1961 di atas, maka sebelum presiden mengeluarkan keputusan
terhadap tanah yang akan di cabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti
dilakukan suatu permohonan yang di ajukan kepada yang berkepentingan
seperti yang telah tertuang di dalam pasal 2 UU nomor 20 tahun 1961
Dan dasar pokok dari UU No 20 tahun 1961 tentang
pencabutan hak atas tanah itu adalah ketentuan pasal 18 UU No. 5 tahun
1960 (UUPA) yang menggariskan untuk kepentingan umum negara dapat
melakukan pencabutan hak atas tanah. Pada pasal 18 UUPA tersebut
selengkapnya sebagai berikut:
“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bersama dari
rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”
Terhadap salah satu hak atas tanah yaitu hak milik, maka berlaku
ketentuan Pasal 27 ayat 1 UUPA yang menyebutkan bahwa, “hak milik
hapus jika tanahnya jatuh kepada negara karena pencabutan hak
berdasarkan Pasal 18 UUPA”.
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 18 UUPA tentang Ontiegening
tersebut dituntut persayaratan tegas dan ketat sebagai berikut:
1. Pencabutan hak hanya dapat dilaksanakan bilamana kepentingan
umum benar-benar menghendaki. Unsur kepentingan umum ini harus
2.
tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini;
Sesuai dengan ketentuan UU No. 20 tahun 1961 pencabutan hak atas
3.
tanahnya dapat dilakukan atas izin presiden.
Pencabuatan hak atas tanah tersebut harus di sertai ganti rugi yang
layak.
Pencabutan
mengindahkan
hak
yang
persyaratan
dilakukan
tersebut
oleh
adalah
pemerintah
merupakan
tanpa
perbuatan
melanggar hukum atau menyalahgunakan wewenang oleh pemerintah.
2.
Pembebasan Hak atas Tanah
Salah satu cara berakhirnya hak atas tanah adalah apabila terjadinya
pembebasan hak atas tanah tersebut. Masalah pembebasan tanah sekarang
ini dapat di jumpai aturanya di dalam berbagai peraturan, surat edaranatau
10
intruksi yang di keluarkan oleh Dapertemen Dalam Negeri. Beberapa di
antartaranya:
1) Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDP) No. 15 tahun 1975 (tanggal
13 Desember 1975) tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara
pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah.
2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976 tentang penggunaan
acara pembebasan tanah untuk swasta.
3) Surat edaran Direktorat jendral agraria tanggal 28 februari 1978 No.
BTU
2/268/1979 tentang PMDN No. 15 tahun 1975 tentang
ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.
Dalam prakteknya sekarang ini ternyata UU No. 20 tahun 1961
jarang dipergunakan, artinya untuk pengaturan tanah dalam rangka
pembangunan dan kepentingan umum prosedur yang di tempuh lebih
banyak prosedur pembebasan tanah (PMDN No. 15 tahun 1975). Hal itu
disebabkan proses pencabutan (UU No. 20 tahun 1961) akan memakan
waktu relatif lebih lama dan lebih bersifat memaksa bagi pemilik tanah;
sedangakan prosedur pembebasan (PMDN No. 15 tahun 1975) adalah
lebih cepat dan dirasakan lebih menjamin tidak timbulnya keresahan
masyarakat karena untuk adanya pembebasan itu diharuskan ada
musyawarah sehingga ada kata sepakat.
Sekalipun demikian PMDN No. 15 tahun 1975 itu memberikan
jalan keluar memberikanmu jalan keluar bilamana kita sepakat (yang di
haruskan itu) tidak bisa di capai dengan dalam musyawarah. Kenyataan
ini menimbulkan kesan bahwa PMDN No. 15 tahun 1975 merupakan
sekedar penyederhanaan pencabutan hak dengan paksa masalah lain yang
bukan sekedar menyangkut besarnya ganti rugi dalam musyawarah ialah
menyangkut masalah pemukiman dan sumber penghidupann khususnya
bagi pemilik tanah yang hidup dari bertani.
Selain itu keluarnya PMDN No. 15 tahun1975 itu pernah
menimbulkan kontoversi di kalangan sarjana hukum. Ada yang
mempersoalkan bahwa ditinjau dari segi materinya PMDN itu di uji
kepada doktrin bahwa ada pembatasan wewenang bagi badan negara
untuk membuat undang-undang dalam arti materiil dengan anggapan
bahwa pembebasan tanah sama dengan pencabutan hak berarti bahwa
PMDN itu mengantar materi undang-undang. Kebatalan itu di sebabkan:
11
a. Menteri dalam negeri tidak memeiliki wewenang membuat peraturan
yang mengikat umum tanpa adanya pendelegasian wewenag.
b. Mengenai pencabutan hak undang-undang No. 20 tahun 1961 telah
menunjuk presiden sebagai instasi yang berwenang memutuskanya
(buakan wewenag menteri)
c. PMDN tersebut mengatur soal yang telah diatur dengan undangundang yaitu UU No. 20 tahun 1961, sedangkan isi PMDN tersebut
tidak sejalan dengan undang-undang itu.
12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka adapun kesimpulan yang dapat diambil
adalah:
Setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial
1.
sebagaimana termuat di dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Ketentuan tersebut juga
berlaku terhadap hak milik sebagai salah satu dari jenis hak atas tanah yang
terkuat dan terpenuh dalam kandungan pengertian sebagai hak mutlak tidak
terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Sekalipun demikian, hak milik
tetap memiliki fungsi sosial karena di dalam Pasal 20 UUPA mengenai
2.
pengertian daripada hak milik tetap merujuk pada Pasal 6 UUPA.
Terkait dengan masalah pembangunan
yang
bertujuan untuk kepentingan umum, hak-hak atas tanah termasuk juga hak
milik dapat diupayakan pencabutan hak maupun pembebasan hak atas tanah
oleh pemerintah daerah setempat yang nantinya akan diberikan ganti rugi
atau kompensasi.
3.2. Saran
Berdasarkan pada pembahasan tersebut, undang-undang berikut peraturan
pelaksanaannya telah mengatur secara jelas dan terperinci mengenai segala hal
yang berkait erat dengan tanah. Namun dengan seringnya masalah pencabutan
maupun pembebasan hak atas tanah yang terjadi di masyarakat lebih karena
penerapan dari aturan-aturan ini yang tidak efektif. Banyak faktor yang
menyebabkan hal tersebut, dimana salah satunya adalah prosedur pelaksanaan
maupun ganti kerugian yang terbilang ketat sehingga menimbulkan banyaknya
keluhan di masyarakat. Oleh karena itu, dapat disarankan agar di dalam
pelaksanaan baik itu pencabutan ataupun pembebasan hak atas tanah yang
dilakukan demi kepentingan umum memperhatikan pula hak-hak masyarakat
yang dirugikan dalam hal ini agar nantinya tidak menimbulkan masalahmasalah baru di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sodiki, 2013, Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta
13
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung.
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia “Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya”, Djambatan, Jakarta.
____________, 2008, Hukum Agraria Indonesia “Himpunan Peraturan-Peraturan
Hukum Tanah”, Djambatan, Jakarta.
Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaya, 2004, Hak-Hak Atas Tanah, Edisi I, Kencana
Pranada Media Group, Jakarta
Santoso, Urip, 2010, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Cet. 6, Kencana,
Jakarta.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan
Benda-Benda yang Ada di Atasnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2324)