MENUJU SEBUAH TEORI KONFLIK SOSIAL (1)

RALF DAHRENDORF : TEORI KONFLIK SOSIAL1
Terjemahan oleh : Aulia Rahmat

I
Setelah rentang waktu kurang lebih 50 tahun, sebuah tema muncul kembali dalam
bahasan sosiologi yang mempengaruhi orisinalitas disiplin ilmu tersebut, melebihi wilayah
subjek bahasan disiplin ilmu lainnya. Dari Marx dan Comte ke Simmel dan Sorel, konflik sosial
terutama revolusi, menjadi salah satu tema dalam penelitian sosial. Keadaan ini juga
dibenarkan oleh beberapa pakar sosiologi anglo-saxon terdahulu (sekalipun dalam pekerjaan
mereka, masalah revolusi sudah dikategorikan sebagai sesuatu hal yang diabaikan), sebagai
contoh Webbs di Inggris dan Sumner di Amerika. Bagaimanapun, ketika Talcott Parsons pada
tahun 1937 membangun sebuah konvergensi pada teori sosiologi Alfred Marshall, Emile
Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Webber2, dia tidak terlalu fokus dalam menganalisis
konflik sosial, dia lebih tertarik untuk menyelesaikan masalah integrasi sistem sosial oleh
sebuah organon yang berhubungan dengan kelompok. Pertanyaan yang muncul sekarang
adalah “Apakah masyarakat bisa dipegang bersama ?”—tidak lebih lama, “Apakah mereka
dapat berjalan terus menerus ?”. Pengaruh Parsonian yang terdapat dalam pertanyaan
tersebut pada sosiologi sekarang ini (dan tidak hanya terbatas pada sosiologi Amerika) bisa
menjadi sangat bernilai. Hal ini memungkinkan kebangkitan kembali kajian terhadap konflik
sosial yang muncul pada dekade terakhir mungkin tidak begitu berkelanjutan dalam bagian
tradisi penelitian sebagaimana halnya dalam sebuah temuan tematik yang baru—dalam

sebuah ironi dialektika pada pengembangan ilmu pengetahuan.
Pada masa sekarang, pendekatan kajian sistematis pada konflik sosial masih relatif
asing, sama halnya dengan pekerjaan yang tidak begitu penting pada stratifikasi sosial atau
pada struktur dan fungsi institusi tertentu, organisasi dan masyarakat. Tetapi, tesis tentang
kebangkitan kembali kajian konflik sosial masih membenarkan dengan hormat pekerjaan
Aron, Philip, Brinton, Kerr, Coser, Brinkmann, Geiger, Gluckman dan lain-lain, dan juga sebuah
usaha untuk menentukan tempat yang sistematis dan sebuah framework yang spesifik untuk
sebuah teori conflik pada analisis sosiologis.
Dikutip dari Ralf Dahrendorf, “Toward a Theory of Social Conflict”, The Journal of Conflict Resolution, XI,
(1958), no-2, h.170-183.
2
Cf. Talcott Parsons, The Structure of Social Action (New York: 1973, The Free Press), ed-2.
1

1|P a g e

JENIS DAN KEBERAGAMAN KONFLIK SOSIAL
Untuk memulai dengan sebuah observasi biasa, permasalahan dalam konflik tidak
begitu rumit daripada integrasi dalam masyarakat. Sekarang kita mengetahui bahwa usaha
untuk mengurangi semua konflik aktual yang terjadi di antara kelompok sosial menjadi hal

yang biasa, dapat dikatakan bahwa golongan-golongan adalah steril. Hal ini mempunyai
peran penting di antara usaha untuk mengosongkan generaliasi (seperti “setiap masyarakat
mempunyai pengalaman konflik sosial”) atau penyederahanaan yang berlebihan pada data
empiris yang tidak dapat dibenarkan (seperti “sejarah semua masyarakat yang begitu jauh
sudah menjadi sejarah pertarungan golongan”). Hal ini terlihat layak, pertama untuk
membedakan dan mengklasifikasikan masalah-masalah yang tersusun di bawah bahasan
besar “konflik sosial”. Sebuah refleksi supervisi pun mengantarkan pada perbedaan seri
dalam sebuah jenis.
Seperti halnya perang, keberadaan konflik di antara partai-partai politik –
pertarungan di antara dua hal yang berbeda secara terang-terangan. Dengan merujuki
kepada masyarakat biasa, A, seseorang mungkin mengatakan bahwa di sana ada konflik
eksogenous yang dibawa atau dimasukkan ke A dari sisi luar, dan juga konflik endogenous
yang timbul di antara A. Di antara dua kategori tersebut –yang dalam analitis paling sedikit,
bisa dibedakan secara relatif tepat—juga ada beberapa jenis lagi. Mari kita batasi perhatian
kita pada peristiwa—yang ditampilkan secara biasa—pada konflik endogenous. Kemudian
sub divisi lebih jauh diperhatikan secara langsung: budak melawan orang bebas di Roma,
orang berkulit hitam melawan orang berkulit putih di Amerika, Protestan melawan Khatolik di
belanda, kelompok Fleming melawan kelompok Walloon di Belgia, kelompok konservatif
melawan kelompok labouris di Inggris, serikat pekerja melawan majikan di beberapa negara.
Semuanya merupakan kelompok perlawanan atau yang dikenal dengan konflik. Boleh jadi

setiap contoh tersebut tidak dimasukkan dalam kategori yang terpisah; akan tetapi, tentu
saja mereka semua tidak dimasukkan dalam jenis tunggal dalam konflik sosial. Apapun
mempunyai batasan atau ketentuan tertentu untuk diklasifikasikan—sebagai contoh, objek
pertikaian, atau struktur asli kelompok yang bertikai, atau bentuk konflik—beberapa jenis
mempunyai hasil yang nyata.

BATASAN DAN TUJUAN SEBUAH TEORI KONFLIK SOSIAL
Sebuah sosiologi yang ideal pada dasarnya tidak bisa meniadakan salah satu kategori
dan jenis konflik berdasarkan analisis. Meskipun demikian, jenis-jenis yang disebutkan secara
keseluruhan tidaklah mempunyai kepentingan yang sama untuk analisis sosiologis. Sebuah
laporan singkat mengingatkan sebuah teori konflik sosiologis mengungkapkan kontribusi

2|P a g e

sosiologi dalam memahami konflik (seperti halnya kontribusi konflik dalam proses sosial)
dalam intansi yang spesifik atau yang lebih besar dalam beberapa kasus daripada di dalam
hal lainnya.
Maksud teori konflik sosiologis adalah untuk mengatasi kesewenang-wenangan
kekuasaan alami dari kejadian-kejadian sejarah yang tidak bisa dijelaskan dengan mengambil
kejadian tersebut dari bagian-bagian struktur sosial mereka, dengan kata lain untuk

menjelaskan proses tertentu dengan hubungan-hubungan prognostik. Tentu saja, ini penting
untuk menggambarkan konflik antara pekerja dengan majikan secara alamai begitu saja;
akan tetapi ini lebih penting untuk menghasilkan sebuah bukti bahwa suatu konflik berasal
dari susunan-susunan struktur sosial tertentu, dan sebab itu membatasi kecenderungan
pertumbuhan susunan-susunan struktur sosial. Sehingga hal ini menjadi tugas sosiologi
untuk mengambil konflik dari struktur sosial tertentu, dan tidak menurunkan konflik tersebut
pada variabel-variabel psikologis (aggressivess/ sikap agresif) atau kepada sejarah-deskriptif
saja (seperti masuknya orang-orang Negro ke Amerika) atau untung-untungan.
Dalam pengertian analisis sosial seksama, konflik bisa dipertimbangkan dan
dijelaskan jika mereka bisa menunjukkan pertumbuhan dari struktur pada kedudukan sosial,
tergantung pada orientasi populasi dan fakta sejarah dei ex machina. Kepentingan ini
merupakan sebuah formulasi yang sangat abstrak; sebagai pengganti merincikannya, hal ini
mungkin bisa mengillustrasikan maksudnya dengan perlakuan pengikut sebuah bentuk
konflik sosial. Pertama, walau bagaimanapun, marilah kita menarik sebuah konsekuensi dari
formulasi ini yang akan membantu kita untuk membuat kita menemukan masalah menjadi
lebih tepat.
Sejak dikenalnya kekurangan teori imperialisme Marx-Lenin, penjelasan konflik
eksogenus pada dasar struktur masyarakat sekali lagi menimbulkan sebuah masalah,
perlakuan yang tidak mungkin terjadi telah dimulai. Hal ini terlihat –lebih dari itu—bahwa
penjelasan mengenai konflik eksogenus3 dengan menggunakan alat analisis struktur sosial

hanya mungkin dilakukan dalam sebuah pengertian metafora—yakni, hanya dimana seluruh
masyarakat (atau kurang komprehensif “sistem sosial”) membawa pada suatu bentuk
kesatuan struktur baru, adalah dimana C dianalisis dalam term struktur dari elemen A dan B
tanpa mempertimbangkan struktur yang ada dalam A dan B. Berdasarkan alasan-alasan ini,
hal tersebut terlihat masuk akal untuk menghilangkan konflik eksogenus untuk waktu yang
sedang berjalan dari sebuah teori konflik sosial.

3

Kami menyebut ulang bahwa sebuah konflik yang, dari titik pandang masyarakat A, terlihat seperti
konflik eksogenus yang direpresentasikan dari titik pandang lain sebagai sebuah konflik di antara dua masyarakat
atau sistem, antara A dan B.

3|P a g e

Di sisi lain, contoh konflik eksogenus seperti yang diungkap di atas, jika
dipertimbangkan dari segi pandangan signifikasi struktur mereka, terbagi kepada dua
kelompok. Pada satu sisi, mereka berpendapat bahwa konflik yang terbentuk hanya dalam
masyarakat tertentu pada kondisi sejarah tertentu (orang kulit hitam dan kulit putih di
Amerika, Protestan dan Khatolik di Belanda, Flemming dan Walloon di Belgia; di sisi lain,

walau bagaimanapun, ada beberapa konflik yang bisa dipahami sebagai pernyataan dari
struktur umum corak masyarakat, atau masyarakat yang ada pada tingkat perkembangan
yang sama (Konservatif melawan Laboritis di Inggris; serikat kerja melawan asosiasi majikan).
Tentu saja pada kedua kasus tersebut sebuah analisis yang mendorong ke arah generalisasi
mungkinsaja terjadi; sebuah teori minoritas atau konflik keagamaan berartikan konflik
golongan. Meskipun demikian, bobot mereka masing-masing di antara sebuah teori umum
tentang masyarakat dengan jelas dapat dibedakan. Tidaklah mengherankan bahwa teori
konflik “klasik”—yang saya maksudkan di sini terutama adalah tingkatan teori konflik—yang
telah disebutkan di atas memungkinkan timbulnya pergeseran sosial yang dihasilkan dari
struktur masyarakat dengan bebas dari data sejarah insidental terstruktur.
Pendekatan berikut ke arah teori konflik juga menghubungkan mereka sendiri pada
konflik-konflik berdasarkan struktur. Sejauh ini, kita sama sekali tidak mempertimbangkan
sebuah toeri umum tentang konflik sosial, meskipun demikian, saya akan mencoba untuk
mempertahankan sebuah pernyataan bahwa di sini kita berhubungan dengan sesuatu hal
yang paling penting --apabila tidak paling penting-- jenis konflik sosial. Betapa penting pun
masalah-masalah konflik sosial seperti St. Bartholomew’s Night, Crystal Night dan Little Rock
mungkin, Revolusi Perancis, Pemogokan Massal orang-orang Inggris pada Tahun 1926 dan
kejadian di Berlin Timur pada 17 Juni 1953, bagi saya telihat lebih mempunyai hubungan erat
dengan analisis struktural. Untuk menjadikannya sedikit lebih dramatis, teori konflik
sosiologis akan memberikan batasan terhadap waktu yang sedang berjalan untuk

menjelaskan pergeseran antara penguasa dan anggota pada organisasi yang telah ada.

II
Penjelasan tentang pergerakan membutuhkan dua pembatasan. Kita harus
mengetahui pandangan awal dan tujuan pergerakan atau belum akan lebih baik, pergerakan
kekuatan. Ketiadaan teori perubahan sosial atau teori konflik sosial bisa membatalkan
gambaran entitas struktural yang mengalami perubahan atau di antara konflik yang sedang
terjadi. Uraian seperti itu ditawarkan oleh integrasi teori kemasyarakatan. Bagaimanapun,
adalah suatu hal yang keliru untuk mengasumsikan bahwa sebuah uraian tentang bagaimana
elemen-elemen sebuah struktur diletakkan bersama dalam sejumlah kelompok utuh yang

4|P a g e

stabil, sehingga hal demikian merupakan sebuah pandangan awal untuk sebuah analisis
struktural pada perubahan sosial dan konflik sosial. Sejauh ini, klaim yang dikenal dengan
“struktural-fungsional” teori sosiologi modern pada status teori umum masyarakat pada
tempatnya tidak dapat dibuktikan.

SEBUAH KRITIK TERHADAP TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL
Kritik ini telah dijelaskan berulang kali dalam waktu dekat ini, paling efektif

sebagaimana yang disampaikan oleh David Lockwood4. Hal ini didasarkan pada sebuah
argument sederhana yang relatif. Sepanjang uraian ini, penjelasan kami berorientasikan pada
pertanyaan bagaimana elemen-elemen dalam sebuah masyarakat tergabung dalam sebuah
fungsi yang terkoordinasi secara utuh, kemudian representasi masyarakat sebagai sebuah
sistem sosial sebagai referensi akhir. Oleh karena itu, kita dihadapkan dengan tugas untuk
menentukan asosiasi tertentu, institusi atau proses-proses di antara keseimbangan
menyeluruh ini, itulah –dalam defenisi Merton—penentuan intentional (kesengajaan) atau
unintentional (ketidak sengajaan) sebagai konseksuensi asosiasi tersebut untuk berfungsi
dan penjagaan dalam sistem. Dalam hal ini, kita memberikan anggapan seperti “fungsi sistem
pendidikan sebagai sebuah mekanisme penugasan kedudukan sosial”. Atau “fungsi-fungsi
agama sebagai agen dalam pemersatuan nilai-nilai dominan”. Mayoritas investigasi
sosiologis dalam tahun-tahun terakhir berada dalam wilayah ini untuk melakukan analisis.
Bagaimanapun, sebuah pendekatan mengantarkan pada beberapa kesulitan, jika kita
meletakkan sebuah pertanyaan pada jenis yang berbeda. Apa fungsi serikat buruh di Inggris
pada pemogokan massal pada Tahun 1926 ?; Apa fungsi pekerja konstruksi pada kejadian
Stalin Alle tanggal 17 Juni 1953 ? Tanpa keraguan, hal ini membuktikan -- dalam beberapa
kasus-- bahwa militansi serikat buruh atau kelompok dan partai politik oposisi mempunyai
kontribusi fungsi dalam sistem yang berlaku5. Akan tetapi, pada saat kasus ini terjadi—dan
dalam dua kasus yang dikutip ini, akan sulit untuk membangunnya—kesimpulan ini akan
mejelaskan sebagian kecil dari kelompok yang dipermasalahkan. Lebih jauh lagi, hal ini

menjelaskan bahwa kesengajaan yang seperti efek ketidak-sengajaan dari beberapa
kelompok opsisi mendorong ke arah penghapusan atau penghancuran sistem yang sedang
berlaku. Kedudukan struktural fungsional memberikan suatu label kenyamanan pada
beberapa kasus; seperti organisasi-organisasi “disfungsional”, institusi-institusi dan
beberapa proses. Akan tetapi tujuan ini lagi-lagi menjelaskan kepada kita sedikit daripada
4
David Lockwood, “Some Note on The Social System”, British Journal of Sociology, VII (1956), no-2.
Walaupun argumen Lockwood mengantarkan kita pada kesimpulan yang sama, hal ini melalui proses yang
berbeda.
5
Aspek konflik sosial ini, pada kenyataannya merupakan pusat analisis Lewis Cooser yang kemudian
dilanjutkan oleh Simmel dalam tugasnya melakukan analisis terhadap fungsi konflik sosial.

5|P a g e

tidak ada sedikitpun. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh kegagalan dalam menjelaskan
tempat akan hal tersebut ada prosesnya, akan tetapi lebih pada rintangan-rintangan seperti
penjelasan dengan sebuah terminologi yang terlihat seperti tidak sebangun dengan sistem,
akan tetapi --pada pengujian terdekat—mengungkapkan dirinya sendiri sebagai sebuah
kategori residual (sisa). Apapun, tidaklah cocok untuk mengejutkan dunia dengan kata-kata

ajaib.
Pada setiap ilmu pengetahuan, kategori residual adalah sebuah lahan subur
pembentukan perkembangan baru. Hal ini terlihat bagiku bahwa sebuah analisis teliti
terhadap masalah-masalah term “disfungsi” tersembunyi pada teori sturktural fungsional
secara langsung mengantarkan kita pada jejak yang sangat berarti pada teori konflik sosial
kemasyarakatan. Pada saat yang sama, hal ini menawarkan sebuah kondisi keuntungan luar
biasa yang berhubungan dengan suatu usaha terhadap analisa masyarakat secara ilmiah.

DUA BENTUK MASYARAKAT
Jika kita memperhitungkan pendekatan-pendekatan analitis pada teori struktural
fungsional sedikit banyaknya di luar batasan-batasannya, dan menyelidiki postulat implisit
mereka, kita bisa mengkonstruksikan sebuah bentuk masyarakat yang berada pada dasar
teori dan determinasi perspektif ini. Unsur-unsur penting pada bentuk bermasyarakat adalah
sebagai berikut:
1. Setiap masyarakat adalah sebuah konfigurasi unsur-unsur yang terbentuk secara
relatif;6
2. Setiap masyarakat adalah sebuah konfigurasi unsur-unsur yang terintegrasi dengan
baik;
3. Setiap unsur pada masyarakat mempunyai kontribusi terhadap fungsinya;
4. Setiap masyarakat percaya pada konsesus anggotanya.


Hal ini akan dijelaskan bahwa sebuah teori yang dibangun berdasarkan model ini
tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri pada beberapa penjelasan--tidak saja uraian—pada

6
Ada begitu banyak kontorversi yang berkaitan dengan implikasi pendekatan struktural fungsional.
Kebanyakan fungsionalis menolak untuk membuat asumsi. Tentu saja, tuntutan yang berlawan ditemukan pada
pekerjaan Parson, Merton dan lain sebagainya. Meskipun demikian, hal ini dapat menunjukkan tuntutan tersebut –
dari sudut pandang teori struktural fungsional—untuk dideklarasikan dengan segera. Gagasan akan
keseimbangan dan konsep akan sebuah sistem mempunyai sedikit pengertian jika mereka tidak membuat asumsi
tentang stabilitas masyarakat. Bagaimanapun, batasannya dapat diteliti; (1) kita harus melakukannya di sini -juga pada dua implikasi berikut-- tidak dengan menggunakan postulat metafisika, akan tetapi lebih kepada asumsi
yang dibuat untuk tujuan analisis; (2) stabilitas tidaklah bermakna statis dalam pengertian keberadaan penuh
berproses di antara “sistem”.

6|P a g e

fenomena konflik sosial dan perubahan sosial. Untuk tujuan ini, dibutuhkan suatu model
kedudukan opsisi yang dimateris pada keempat poin di atas:
1. Setiap masyarakat diberlakukan pada setiap momen perubahan; perubahan sosial
terjadi di mana saja;
2. Setiap masyarakat mempunyai pengalaman pada setiap momen konflik sosial;
konflik sosial terjadi di mana saja;
3. Setiap elemen masyarakat berkontribusi dalam perubahan tersebut;
4. Setiap masyarakat percaya pada adanya ketidak-percayaan dan paksaan di antara
sesama anggota masyarakat.

Dasar hebat teori kita menjadi jelas ketika kita menguji postulat dua kelompok
dengan menghormati nilai-nilai kepercayaan mereka, adalah jika kita mempertanyakan diri
kita sendiri perihal kedua bentuk yang memberikan harapan kegunaan lebih besar dalam
melakukan pengamatan terhadap realitas. Hal ini menunjukkan bahwa penyejajaran
pasangan postulat tersebut antara satu dengan yang lainnya secara ekslusif dengan
menghormati realitas sosial. Tidak mungkin memutuskan secara investigasi empiris –di
antara kedua model—yang benar-benar lebih dekat; postulat-postulat tersebut bukanlah
sebuah hipotesis. Lagi pula, hal ini terlihat penuh arti untuk menyatakan bahwa kedua model
tersebut merupakan pendirian tertentu secara sah dan menurut penelitian yang penuh
dengan keberhasilan. Stabilitas dan perubahan, integrasi dan konflik, fungsi dan “disfungsi”,
konsesus dan paksaan adalah –hal ini akan terlihat—dua aspek sah yang sama pada setiap
masyarakat yang ada. Mereka dipisahkan secara dialektis dan secara keseluruhan hanya pada
kombinasi sebagai sebuah gambaran beberapa masalah sosial. Barangkali, beberapa teori
umum tentang masyarakat mungkin mengangkat equivaliditas kedua bentuk tersebut, hidup
berdampingan yang tidak bisa tergabung, ke arah generalitas yang lebih tinggi. Selama ini,
kita tidak mempunyai sebuah teori, kita harus mengisi diri kita sendiri dengan menemukan
bahwa masyarakat pada saat ini menyajikan sebuah aspek ganda pada pemahaman
sosiologis, setiap bagian tidaklah lebih baik, tidak lebih benar, dibandingkan bagian lainnya.
Hal ini diikuti bahwa kecaman/kritik terhadap teori struktural fungsional untuk analisis
konflik ditujukan hanya untuk melawan sebuah klaim umum teori ini, akan tetapi
membiarkan yang tak tersentuh ini merupakan kompetensi yang berkenaan dengan masalah
integrasi. Berikutnya, pada sisi lain, teori konflik sosial dan teori perubahan sosial bukanlah
sebuah teori umum. Komparasi antara alam dan ilmu sosial selalu menimbulkan bahaya
kesalahpahaman. Bagaimanapun juga, hal ini bisa dipelihara tanpa menghubungkan pada
analogi ini lebih daripada sebuah arti logis, bahwa situasi sosiologis bukannya tidak sama

7|P a g e

dengan para ahli fisika yang berkenaan dengan teori cahaya. Sama halnya dengan fisikawan
bisa menyelesaikan beberapa masalah tertentu dengan mengasumsikan karakteristik angin
pada sahaya dan lain sebagainya, kebalikannya hanya dengan mengasumsikan teori
corpuscular dan teori momentum. Jadi, beberapa masalah sosiologi bisa dipecahkan cukup
dengan sebuah integrasi teori dan yang lainnya yang membutuhkan suatu teori konflik untuk
sebuah analisis berarti. Kedua teori bisa bekerja secara ekstensif dengan kategori-kategori
yang sama, akan tetapi mereka menekankan aspek-aspek yang berbeda. Ketika integrasi
teori mempersamakan sebuah masyarakat pada suatu bentuk lonjong, sebuah kesatuan yang
dibulatkan secara menyeluruh pada elemen-elemen ini, teori konflik melihat masyarakat
lebih sebagai suatu hiperbola, yang mempunyai kesamaan foci, akan tetapi bersikap terbuka
dalam lapangan ketegangan terhadap determinasi kekuatan.

TUGAS-TUGAS TEORI KONFLIK SOSIAL
Aspek ganda masyarakat dan dialektika dua bentuk teori sosiologis dalam diri mereka
sendiri adalah sebuah refleksi objek subur. Meskipun demikian, beberapa permasalahan lain
terlihat lebih penting. Teori integrasi sosial adalah pengembangan terbaru pada sebuah
negara yang berkembang dengan baik sebagai pendekatan struktural fungsional dalam
etnologi dan sosiologi. Teori konflik ini, bagaimanapun berada pada negara yang masih belum
sempurna. Hal ini merupakan sebuah pendekatan yang didasarkan pada pendalilan dimanamana tentang perubahan sosial dan konflik sosial, “disfungsionalitas” semua elemen struktur
sosial, dan katakter penghambat kesatuan sosial. Perhatian kita mengantarkan kita pada
sebuah posisi untuk merumuskan beberapa keperluan untuk sebuah teori:
1. Hal ini akan menjadi sebuah teori ilmiah (seperti halnya teori integrasi sosial), bahwa
hal ini akan dirumuskan dengan acuan yang masuk akal dan penjelasan yang dapat
dibuktikan tentang fenomena empiris;
2. Elemen-elemen teori tidak akan berkontadiksi dengan bentuk-bentuk konflik yang
terjadi dalam masyarakat;
3. Kategori-kategori yang dipakai akan –jika mungkin—sesuai dengan teori integrasi
atau paling tidak berhubungan dengan hal tersebut;
4. Sebuah teori konflik memungkinkan kita untuk memperoleh konflik sosial dari
penyusunan struktur dan menunjukkan konflik yang terjadi di antara mereka secara
sistematis;
5. Hal ini akan menjadi laporan keduanya untuk keberagaman bentuk konflik dan pada
tingkatan intensitas mereka.

8|P a g e

Tujuan akhir dari sebuah teori sosial adalah untuk mejelaskan perubahan sosial. Teori
integritas memberikan kita sebuah alat untuk mendeterminasikan titik awal terjadinya
sebuah proses. Untuk menemukan tempat kekuatan yang mengendalikan proses sosial dan
perubahan sosial merupakan tugas sebuah teori konflik. Hal ini harus berkembang menjadi
sebuah bentuk struktur asli konflik sosial yang dapat dipahami. Hal ini terlihat mungkin
dilakukan hanya apabila kita memahami konflik sebagai sebuah pertarungan di antara
kelompok sosial --hal ini—jika kita membuat tugas kita lebih seksama untuk memperkecil
cakupan analisis struktural pada kelompok yang berkonflik. Berdasarkan perkiraan ini, akan
muncul tiga pertanyaan yang harus dijawab oleh teori konflik, sebagai berikut :
1. Bagaimana

kelompok

yang

sedang

berkonflik

terbentuk

dari

struktur

kemasyarakatan ?
2. Bentuk-bentuk apa saja yang bisa dipertarungkan dengan asumsi kelompok ?
3. Bagaimanakah konflik yang terjadi dalam kelompok memberikan efek dalam sebuah
perubahan pada struktur sosial ?

III
Dimanapun manusia hidup bersama dan membentuk pondasi organisasi sosial, di
sana ada posisi-posisi yang memungkinkan orang yang memilikinya mempunyai kekuatan
untuk memerintah pada konteks tertentu dan di atas posisi tertentu dan di sisi lain adalah
orang-orang yang menjadi subjek untuk menerima perintah tersebut. Perbedaan di antara
“up” dan “down” --atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan “them” dan “us”—adalah salah
satu pengalaman fundamental bagi sebagian orang dalam masyarakat, dan lebih jauh lagi,
hal ini menjelaskan bahwa perbedaan ini terhubung secara intim dengan ketidaksamaan
distribusi kekuatan. Tesis utama yang mengikuti usaha untuk membangun sebuah model
untuk analisis struktural pada konflik adalah bahwa kita bisa melihat orisinalitas struktural
dari analisis konflik struktural atau dengan kata lain kita bisa melihat struktur asli dari konflik
sosial dalam hubungan kekuasaan yang berlaku di antara unit-unit tertentu dalam organisasi
sosial. Untuk unit-unit tersebut, akan digunakan konsep Max Webber tentang “kelompok
utama yang terkoordinasi”7. Tesis ini bukanlah hal yang baru; hal ini ditemukan
(bagaimanapun, seringkali disertai dengan modifikasi penting) dalam perumusan beberapa
ilmu sosial sebelum dan sesudah Marx. Namun kita tidak akan menelusuri jejak sejarah tesis
ini.

7

Max Weber, “Wirtschaft und Gesellschaft”, Grundriss der Sozialökomonik, III (Tübingen, 1947), h.28.

9|P a g e

KEKUASAAN DAN STRUKTUR KEKUASAAN
Konsep kekuatan dan kekuasaan merupakan suatu hal yang sangat kompleks.
Siapapun yang menggunakannya mungkin dituduh kurang teliti dan kurang jernih dalam
meningkatkan itu, ia mencoba untuk menegaskan tingkat exhaustivitas mereka. Pengaruh
seorang ayah terhadap anaknya, pengaruh kombinasi industri terhadap pemerintahan, atau
pengaruh penguasa terhadap rakyatnya merupakan suatu hal hubungan kekuasaan ? Pada
sebagian besar kasus lainnya, hal ini bukanlah sebuah pertanyaan tentang sebuah defenisi,
namun lebih ke arah pertanyaan “defenisi operasional”, seperti yang biasa disebut pada saat
ini –sebuah metode determinasi yang mengizinkan kita untuk mengidentifikasi seperti halnya
urusan-urusan negara ketika kita benar-benar dihadapkan pada hal ini. Bagaimanapun, untuk
tujuan analisis dan identifikasi, teori determinasi kekuasaan Weber –yang menyatakan
bahwa, “mungkin sekali sebuah perintah tertentu akan dipatuhi oleh orang-orang yang diberi
perintah”—sudah cukup untuk menjelaskan. Determinasi ini memuat elemen-elemen berikut
:
1. Kekuasaan merupakan suatu hubungan supraordinasi dan subordinasi ;
2. Kelompok supraordinasi menentukan sikap tertentu subordinasi dalam bentuk
perintah atau larangan ;
3. Kelompok supraordinasi mempunyai hak untuk membuat beberapa preskripsi;
kekuasaan adalah sebuah hubungan legitimasi antara supraordinasi dengan
subordinasi; kekuasaan bukanlah didasarkan pada efek personal dan kesempatan
kondusif, akan tetapi lebih pada ekspektasi yang diasosiasikan dengan kedudukan
sosial ;
4. Hak kekuasaan dibatasi pada hal-hal tertentu dan pada orang-orang tertentu ;
5. Ketidak-taatan terhadap pematuhan perintah dan preskripsi akan menimbulkan
sanksi; sebuah sistem hukum (atau sebuah kebiasaan yang menjadi hukum) menjaga
efektivitas hukum.

Determinasi kekuasaan ini memungkinkan untuk dilakukannya identifikasi terhadap
sebuah kabinet kementerian, seorang majikan dan seorang sekretaris partai sebagai
pemegang posisi kekuasaan –berlawanan dengan suatu sindikat industri atau seorang
pemimpin rakyat, dan juga untuk beberapa kasus lain yang tidak terangkum dengan contohcontoh di atas.
Hal ini bukanlah pokok perhatian dari defenisi tentang kekuasaan untuk
menyelesaikan semua masalah analisis dan masalah empiris pada kategori ini.
Sesungguhnya, langkah yang paling utama dari empat model mengantarkan kita lebih dalam

10 | P a g e

pada masalah-masalah tersebut; dalam setiap kelompok koordinasi imperatif, ada dua
agregat yang dapat dibedakan –hal yang hanya memiliki hak-hak sipil mendasar, dan hal
yang mempunyai hak kekuasaan atas pembentuknya. Berlawanan dengan martabat dan
pendapatan, sebuah rangkaian kesatuan yang mengalami transisi secara berangsur-angsur
tidak bisa dibangun utuk distribusi kekuasaan. Melainkan, di sana ada dikotomi yang jelas.
Setiap kedudukan pada kelompok koordinasi imperatif bisa dikenali sebagai hak milik orang
yang mendominasi atau seseorang yang didominasi. Kadang-kadang, mengingat organisasi
birokratis masyarakat modern yang berskala besar—di bawah pengaruh negara—asumsi ini
sekilas terlihat problematis. Bagaimanapun, sebuah analisis yang yang lebih tajam tidak
ragu-ragu menyatakan bahwa terjadi permisahan kekuasaan secara sah, sungguhpun pada
kenyataannya suatu ukuran pembedaan yang dapat dilihat di antara mereka dalam kelompok
yang mendominasi.

MODEL TEORI KONFLIK
Dikotomi peran sosial di antara kelompok koordinasi imperatif8, pembagian pada
bentuk peran kekuasaan positif dan negatif sebagai sebuah kenyataan struktur sosial. Jika
dan sepanjang konflik sosial dapat disebut sebagai situasi yang didasarkan pada fakta ini, hal
ini dapat diterangkan secara struktural. Bentuk analisis konflik sosial yang dikembangkan
melawan latar belakang sebuah asumsi melibatkan hal-hal berikut :
1. Dalam setiap kelompok koordinasi imperatif, terdapat peran kekuasaan positif dan
negatif yang mendeterminasi dua kelompok semu dengan perlawanan kepentingan yang
tersembunyi. Kita menyebutnya dengan “kelompok semu” karena kita harus melihat di
sini hanya semata-mata sebagai beberapa kumpulan, bukanlah bagian yang terorganisir;
kita membicarakan “kepentingan tersembunyi”, karena pandangan oposisi tidak
membutuhkan kesadaran pada tingkat ini; hal ini timbuk hanya karena bentuk ekspektasi
yang diasosiasikan dengan kedudukan tertentu. Kepentingan-kepentingan opsisi dalam
konteks ini benar-benar dalam kepentingan formal, yaitu, ekspektasi merupakan sebuah
keinginan akan pemeliharaan status quo uang diasosiasikan dengan peran dominasi
positif dan sebuah kepentingan untuk mengubah status quo yang diasosiasikan dengan
peran dominasi negatif ;
2. Pembawa peran dominasi positif dan negatif adalah anggota yang berlawanan dengan
kelompok semu, mengorganisir diri mereka sendiri pada sebuah kelompok dengan
muatan kepentingan tertentu, kecuali kalau kondisi variabel empiris tertentu (kondisi
8

Dalam hal ini, saya akan menunjuk peran untuk ekspektasi pengalaman kekuasaan dilampirkan sebagai
“peran dominasi positif” dan sebaliknya peranan tanpa perlakukan khushs kekuasaan sebagai “peran dominasi
negatif”.

11 | P a g e

organisasi) ikut campur tangan. Kepentingan kelompok, berlawanan dengan kepentingan
kelompok semu yang mempunyai persatuan yang terorganisir, seperti partai dan serikat
buruh; muatan kepentingan tertentu dirumuskan dalam program-program dan ideologi ;
3. Kepentingan kelompok --yang pada awalnya—dalam sikap ini merupakan konflik
konstan pada pemeliharaan atau perubahan status quo. Bentuk dan intensitas konflik
dideterminasi oleh kondisi variabel empiris (kondisi konflik) ;
4. Konflik di antara kepentingan kelompok dalam pengertian model ini mengantarkan pada
adanya perubahan struktur hubungan sosial mereka, yang membawa perubahan pada
hubungan kekuasaan. Jenis, kecepatan dan ukuran perkembangan tergantung pada
kondisi variabel empiris (kondisi perubahan struktural).

Tujuan model tersebut adalah untuk membatasi wilayah permasalahan, untuk
mengidentifikasi faktor keterhubungan pada hal ini, untuk meletakkan mereka dalam urutan
–adalah untuk mengusulkan pertanyaan-pertanyaan bermanfaat—dan pada waktu yang
sama untuk mengukur ketepatan fokus analisis mereka. Kita telah membatasi wilayah
permasalahan kita dengan melihat konflik sosial sebagai sebuah konflik di antara kelompok
yang muncul dari struktur kekuasaan organisasi sosial. Kita telah mengidentifikasi faktorfaktor hubungan dalam kondisi organisasi, konflik dan perubahan. Golongan mereka, walau
bagaimanapun, bisa diungkapkan pada dasar model dalam tiga fungsi; kelompok
kepentingan (seperti; partai) sebuah fungsi kondisi organisasi jika sebuah kelompok
koordinasi imperatif dibentuk; bentuk konflik tertentu (seperti debat parlementer) sebuah
fungsi kondisi konflik jika kelompok kepentingan dibentuk; bentuk perubahan tertentu
(seperti revolusi) sebuah fungsi kondisi perubahan jika konflik di antara kelompok
kepentingan dibentuk. Jadi, tugas teori konflik ternyata adalah untuk mengidentifikasi ketiga
satuan kondisi-kondisi dan untuk menentukan ketajaman kemungkinan beban konflik
masing-masing –idealnya, dengan ukuran kuantitatif9. Keterangna-keterangan berikut lebih
dari indikasi sementara jenis variabel yang permasalahkan.

KONDISI EMPIRIS KONFLIK SOSIAL
Sejauh perhatian terhatian terhadap kondisi organisasi, tiga kelompok factor muncul
dalam benak. Pertama, kita mempunyai kondisi sosial efektif tertentu; sebagai contoh,
kemungkinan komunikasi di antara anggota kelompok semu dan metode perekrutan tertentu
pada kelompok semu. Selanjutnya, kondisi politik tertentu yang harus dipenuhi jika kelompok
9
Dengan komentar tersebut (1) sebuah rumus fungsi matematis, (2) sebuah perkembangan skala
ukuran untuk setiap kondisi, (3) penyesuaian skala yang digabungkan pada kondisi kelompok.

12 | P a g e

kepentingan akan terbentuk. Hal tersebut di atas, sebuah garansi kebebasan koalisi
sangatlah penting. Akhirnya, kondisi teknis tertentu harus dipenuhi; sebuah organisasi harus
mempunyai makna utama, pendiri, pemimpin dan sebuah ideologi.
Di bawah kondisi konflik, ada dua jenis yang langsung menarik perhatian dengan
cepat; tingkat mobilitas sosial individu (atau keluarga) dan kehadiran mekanisme efektif
untuk mengatur konflik sosial. Jika kita membayangkan sebuah rangkaian kesatuan
intensitas konflik sosial di antara kelompok kepentingan, berkisar antara perdebatan
demokratis sampai perang sipil, kita mungkin menduga bahwa kehadiran atau ketiadaan
mobilitas sosial dan mekanisme pengaturan benar-benar berpengaruh pada posisi konflik
tertentu yang muncul pada rangkaian ini. Dalam kondisi lain, determinasi bobot pasti dari
faktor-faktor tersebut menjadi tugas sebuah investigasi empiris.
Akhirnya, kelompok ketiga dari kondisi variabel mempengaruhi bentuk dan ekstensi
perubahan struktur sosial yang muncul dari konflik kelompok kepentingan. Kemungkinan
sebuah relativitas kedekatan hubungan yang ada di antara intensitas konflik dan perubahan –
adalah—terkadang di antara kondisi konflik dan perubahan struktural. Bagaimanapun, faktor
tambahan lainnya datang dan menentukan, seperti halnya kapasitas penguasa untuk berada
dalam kekuatan dan potensi tekanan kelompok kepentingan yang terkuasai. Revolusi
sosiologi dan terkhusus pada sosiologi yang tidak tertulisdari revolusi yang belum selesai
akan mempunyai kontribusi penting untuk membuat faktor-faktor tersebut tepat.
Hal ini hampir tidak membutuhkan penekanan ulang bahwa penelitian yang tidak
sistematis mampu, dengan demikian, hampir tidak menelurkan dasar sebuah teori konflik.
Meskipun demikian, kita meletakkan diri kita pada posisi mempermasalahkan pertanyaan
yang berarti keduanya pada tingkat teoritis dan dengan menghormati permasalahan empiris.
Setiap kondisi yang disebutkan tersebut menawarkan sebuah bahasan berorientasi teoritis
yang bermanfaat pada investigasi. Dan pada ruangan empiris, asosiasi sistematis faktor
dalam investigasi mengalihkan pertanyaan kita dari sebuah penelitian sembarangan ke
hubungan ad hoc dunia kebetulan pada sebuah kajian penting akan interdependensi tertentu
yang mempunyai tempat dan makna yang ditentukan dengan sebuah prespektif umum.
Dengan kajian ilmiah, eksposisi kita berada pada posisi ini harus menyisakan --sedikit
banyaknya-- dalam bentuk abstrak.
Kendatipun kerangka yang disebutkan di atas bersifat sementara, namun
memungkinkan untuk dilakukan pengujian terhadap perubahan kekuatan pada masalahmasalah empiris.

13 | P a g e

IV
MASALAH PADA NEGARA TOTALITER
Semenjak tanggal 17 Juni 1953, atau lebih tepatnya sejak kejadian di Hungaria dan
Polandia pada musim gugur Tahun 1956, kita mengetahui bahwa konflik sosial (dan
perubahan sosial) kehilangan makna pada negara totaliter. Teori konflik menaikkan
pengetahuan ini ke kedudukan hukum. Negara –adalah—perkumpulan pada aspek-aspek
politik merupakan bentuk kelompok koordinasi imperatif. Mereka hanyalah ada pada para
penduduknya (para pemilih) dan penghuni kedudukan yang dilengkapi dengan kesempatan
untuk memerintah. Oleh karena itu, konflik politik adalah sebuah kenyataan struktural
masyarakat dalam setiap kondisi yang mungkin dapat dibayangkan. Konflik ini dapat
mengasumsuikan bentuk yang ringan ataupun berat; segenap hal ini dapat lenyap untuk
jangka waktu tertentu dari wilayah pandangan seorang peneliti dangkal, namun hal ini tidak
dapat dihapuskan. Pada saat sekarang, salah satu aspek negara totaliter adalah sebuah
usaha untuk menekan oposisi –yang secara tidak langsung—akan menekan terjadinya
konflik sosial. Permasalahan kemudian muncul, melawan latar belakang teori konflik;
Bagaimanakah pergeseran sosial menjadi masnifestasi keadaan ? Kita dapat melakukan
analisis negara totaliter dari sudut pandang kondisi organisasi kelompok kepentingan –
bahwa konflik dan perubahan struktural—dan berharap untuk sampai pada penjelasan
bermakna tentang kejadian historis dan untuk kemungkinan yang dapat diuji. Sekali lagi, hal
ini hanya memungkinkan untuk menemukan beberapa indikasi.
Mari kita awali –untuk alasan yang akan segera menjadi jelas—dengan kondisi
konflik. Intensitas konflik sosial tergantung pada tindakan mobilitas sosial dan keberadaan
mekanisme yang mengatur konflik. Keduanya, mobilitas dan regulasi dapat berada dalam
negara totaliter. Seseorang bisa membantah bahwa “pembersihan” reguler pada negara
komunis –sebuah penempatan pembawa kekuasaan—berfungsi sebagai sebuah jaminan
stabilitas (dalam pengertian meredakan atau mengurangi konflik sosial). Dalan hal yang
sama, persyaratan diskusi sistematis dengan tujuan mengambil keputusan tentang “tujuan”
politik di antara dan di luar partai nasional mungkin akan menjadi mekanisme pengaturan
yang efektif. Dalam hal ini terlihat kecenderungan yang mengikat pada sebagian besar
negara totaliter untuk melakukan isolasi secara sosial terhadap lapisan kepemimpinan dan
untuk mencegah adanya diskusi, hal ini bertujuan untuk mengabaikan mekanisme
pengaturan konflik. Dalam kasus ini, konflik sosial mengancam peningkatan intensitas
potensial dan untuk menerima sebuah katakter revolusi.
Berdasarkan sudut padang kondisi perubahan struktural, hal berarti bahwa konflik
politik pada negara totaliter lebih bertujuan untuk penggantian kelompok golongan yang

14 | P a g e

berkuasa secara mendadak. Variabel penting yang mempengaruhi kemungkinan realisasi
sebuah perubahan radikal adalah resistensi penguasa pada tekanan yang akan melahirkan
perubahan. Barangkali, hal ini berarti menentukan generalisasi empiris bahwa resistensi ini
menimbulkan peningkatan pada tingkatan tertentu seiring dengan meningkatnya tekanan,
akan tetapi kemudian membuka kesempatan akan terjadinya pembubaran secara yang relatif
cepat dan juga kemajuan perubahan.
Pusat analisis konflik pada negara totaliter --walau bagaimanapun-- adalah bentuk
kesatuan yang ketiga yaitunya kondisi (pertama, sebagaimana yang telah diurutkan dalam
teori); kondisi organisasi. Mengikuti “pengertian” negara totaliter adalah ketiadaan kondisi di
dalamnya untuk organisasi yang berlawanan dengan kelompok kepentingan. Lebih spesifik
lagi, walaupun sosial dan kondisi teknis terkadang ada, kondisi politik kurang10; tiada
kebebasab untuk berkoalisi. Dari sudut ini, resistensi daerah pemerintahan Jerman Timur
membebeaskan pemilihan umum akan menjadi jelas, seperti halnya ancaman umum yang
kejam, memungkinkan adanya konflik revolusioner pada negara totaliter. Ketika –seperti
halnya yang terlihat jelas di Hungaria atau yang sebenarnya pada 17 Juni 1957 di Berlin—
sebuah kesempatan organisasi untuk menimbulkan konflik laten antar kelompok, bangunan
utama negara totaliter mengalami keruntuhan. Lebih jauh lagi, hal ini terlihat sangat mungkin
bahwa prediski-prediksi ini akan terjadi pada beberapa kesempatan di setiap negara
totaliter11. Pada masyarakat totaliter modern yang dibangun berdasarkan ideologi partai
nasional, terdapat sebuah bahaya konstan dari sudut pandang penguasa bahwa sebuah
keizinan organisasi yang sejajar dengan partai nasional itu sendiri, boleh jadi menjadi akar
sebuah pergerakan oposisi dan konflik revolusioner.
Analisis kita akan dipatahkan pada konteks dimana hal ini memberikan harapan untuk
hasil yang dapat diuji. Hal ini bukanlah maksud diskusi ini untuk pembicaran yang mendalam
pada beberapa masalah empiris. Agaknya, kita hendak menunjukkan bahwa teori konflik
mengantarkan kita pada sebuah kedudukan untuk merumuskan masalah-masalah investigasi
empiris penting secara lebih tepat, menimbulkan kejadian-kejadian yang tidak bisa dijelaskan
di antara kita, untuk melihat apakah yang dapat diketahui dari sudut padang tambahan, dan
untuk merubah pertanyaan sementara pada penelitian sistematis –untuk melakukan
ketepatan terhadap suatu teori ilmiah yang dapat dipecahkan... Kendatipun semua kemajuan,

10
Untuk kondisi teknis organisasi tertentu, hal ini bisa saja terjadi hanya karena adanya batasan.
Sehingga likuidasi potensi pemimpin oposisi pada komponen pusat kekuasaan totaliter. Pada satu sisi, kedua
contoh –Jerman dan Hungaria—bisa dijadikan bukti-bukti yang menguatkan ketidak-efektifan kebijaksanaan ini.
11
Faktor-faktor yang berpengaruh di sini kelalaian yang dikenal baik dengan pengurangan tekanan yang
terlihat pada setiap masa pendahuluan sebelum terjadinya revolusi. Lebih jauh lagi, sebagai contoh, sebagai
sebuah relaksasi tertentu terhadap pengawasan ketertiban memungkinkan adanya sebuah organisasi ad hoc.
Kemunculan konflik terbuka semakin hangat.

15 | P a g e

teori konflik sosial masih menjadi suatu tantangan yang lebih penting bagi ahli sosiologi
dibandingkan hasil penelitiannya.

16 | P a g e

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: PT Gramedia, 1986)
Ritzer, George dan Douglas J. Gooman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prenada Media, 2004)
Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004)
Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi: Edisi Kedua (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 2000)
Zeitlin, Irving M., Memahami Kembali Sosiologi (Jogjakarta: Gajah Mada University Press,
1996)

17 | P a g e