AKSES DI DALAM SISTEM JAMINAN SOSIAL NAS

AKSES DI DALAM SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL ( SJSN )
A. Konsep Dasar / Alasan Perlunya Asuransi Kesehatan Nasional
Pembiayaan kesehatan merupakan faktor terpenting dala upaya meningkatkan
derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia pembiayaan kesehatan
masih sangat kecil yaitu 2,5 % dari GDP atau12 dolar AS/kapita/tahun dan menempat
posisi terendah dibandingkan Negara ASEAN lainnya. Adapun pembiayaan kesehatan
didominasi pembiayaan yang berasal dari nonpemerintah 70%-75% yang sebagian
besar merupakan pengeluaran langsung oleh masyarakat, 75% berupa out of pocket
payment. Pengeluaran biaya kesehatan secara out of pocket ini tidak berarti
mencerminkan adanya kemampuan masyarakat untuk membayar biaya kesehatan
karena biasanya dapat dilakukan dengan kredit atau adanya kebersamaan keluaga
menanggung biaya tersebut. Sementara itu biaya pelayanan kesehatan semakin
meningkat, antara lain karena perubahan demografi dengan bertambahnya umur
harapan hidup sehingga meningkatkan jumlah penduduk usia lanjut. Akibatnya,
terjadinya peningkatan kasus penyakit degenerative yang biasanya diderita penduduk
usia lanjut dengan perawatan dan pengobatan seumur hidup.
Kemudian adanya perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit
degenerative kronis misalnya penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan lain-lain.
Penyakti-penyakit ini membutuhkan pengobatan dengan obat yang mahal dan jangka
waktu yang lama atau seumur hidup. Kemudian, peningkatan pengetahuan
masyarakat sehingga meningkatkan need dan demand terhadap pelayanan kesehatan

yang bermutu. Masyarakat makin menuntut tersedianya fasilitas pelayanan yang baik
dengan konsekunsi peningkatan sarana dan prasarana lebih baik, peralatan canggih
yang pada akhirnya meningkatkan biaya pelayanan kesehatan. Lalu adanya
penyebaran dan peningkata kemampuan sarana dan fasilitas serta tenaga kesehatan
akibat kemajuan dalam dunia kedokteran. Penyebaran ini meningkatkan kasus yang
dapat dilayani baik jenis maupun jumlahnya. Adanya teknologi canggih bidang
kedokteran sering dimanfaatkan tidak sesuai dengan indikasi medis. Sementara
kenaikkan biaya pelayanan kesehatan tidak diimbangi peningkatan pendapatan dan
kemampuan seseorang untuk membayar sehingga dapat mengakibatkan turunnya
aksebilitas

masyarakat

memperoleh

pelayanan

kesehatan

sesuai


dengan

kebutuhannya. Karena tidak memperoleh pelayanan kesehatan, akan meningkatkan
waktu produktif akibat sakit yang berdampak pada turunnya tingkat pendapatan.
Perlu diketahui bahwa sakit adalah resiko yang dihadapi setiap orang yang tidak
diketahui kapan dan seberapa besar terjadinya resiko tersebut. Sebab itu, perlu
mengubah ketidakpastian tesebut menjadi suatu kepastian dengan memperoleh
jaminan adanya pelayanan kesehatan pada saat resiko itu terjadi. Asuransi kesehatan
atau jaminan pemeliharan kesehatan adalah upaya untuk menciptakan suatu risk
pooling, yaitu mengalihkan resiko pribadi menjadi resiko kelompok sehingga menjadi
risk sharing. Makin besar jumlah peserta dalam kelompok makin meningkatkan
kemampuan menjamin pemeliharaan kesehatan yang lebih luas (law of the large
number). Dalam UU Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan jaminan
pemeliharaan kesehatan adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan
yang

paripurna

berdasarkan


asas

usaha

bersama

dan

kekeluargaan

yang

berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin, serta pembiayaan yang
dilaksanakan secara pra-upaya. Dengan demikian, jaminan pemeliharaan kesehatan
atau asuransi kesehatan merupakan alternative terbaik bagi masyarakat mengatasi
pembiayaan kesehatannya dengan mengharapkan asas gotong royong. Dalam hal ini,
terjadi risk sharing yaitu resiko pribadi menjadi resiko kelompok dan adanya subsidi
silang; peserta yang sehat membantu pembiayaan peserta yang sakit.
Dalam amandemen keempat UUD 1945 yang disetujui dalam sidang Umum

MPR Tanggal 11 Agustus 2002, telah berhasil meletakan fondasi pembiayaan dengan
sistem jaminan, yang tertera dalam pasal 34 (2) yaitu Negara diberi tugas untuk
mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Dua tahun kemudian , tepatnya
tanggal 19 Otober 2004 disahkan Undang-Undang nomor 40 Tahun 2004 tentang
sistem jaminnan sosial nasional (SJSN), yang memberi landasan hukum terhadap
kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jaminan Sosial yang dimaksud di dalam undang-undang SJSN adalah perlindungan
sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya
yang layak, termasuk diantaranya adalah kesehatan. Selain itu juga, Deklarasi Hak
Asasi Manusia PBB tahun 1947 telah dengan jelas menyatakan bahwa setiap manusia
mempunyai hak dan jaminan kesehatan manakala ia sakit. Di Indonesia akses ini juga
telah diakui dalam UUD 45 dengan memberi hak jaminan sosial kepada setiap
penduduk. Dalam amandemen UUD 45 tahun 2000 wakil rakyat telah menetapkan

bahwa setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan. Hal ini merupakan landasan
idiil untuk memberikan garis besar tugas kepada pemerintah agar suatu ketika hak ini
dapat diberikan kepada setiap penduduk.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang melatarbelakangi
adanya/ perlunya asuransi kesehatan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Sub Sistem Pembiayaan Kesehatan

Asuransi kesehatan ada untuk:
 Upaya meningkatkan dana
 Perbaikan penyebaran dan pemanfaatan dana
 Mengendalikan biaya

2. Sifat/ Ciri Pelayanan Kesehatan
Adanya asuransi kesehatan karena:
 Uncertainly, yaitu ketidakpastian


kebutuhan

pelayanan

kesehatan, baik tempat, waktu, maupun besar biaya.
Asimetry information, yaitu pasien berada pada posisi lemah (dalam
hal




akan

finansial

untuk

membiayai

pelayanan

kesehatan

yang

dibutuhkan)
Eksternality, yaitu adanya faktor-faktor luar yang mempengaruhi

seseorang sehingga bisa sakit.
3. Respon Atas Peningkatan Biaya Kesehatan
Hal ini diakibatkan karena meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang

disertai dengan peningkatan demand masyarakat, peningkatan pertumbuhan
dan perkembangan teknologi/ industry kedokteran,peran swasta lebih tinggi,
jumlah penduduk lebih banyak, dan masalah kesehatan semakin besar baik
dari segi kualitas maupun kuantitas.
4. Kemampuan Pemerintah Terbatas
Oleh karena iu perlunya mobilisasi dana dari masyarakat melalui asuransi
kesehatan.
B. Peluang Dan Tantangan Asuransi/ Jaminan Kesehatan Dalam Sjsn Di Era
Desentralisasi
Kebutuhan asuransi kesehatan d Indonesia pada saat ini sudah mendesak untuk
merealisir fungsi pemerintah dalam memenuhi hak asasi penduduknya. Keterbatasan
dana pemerintah akibat kesalahan prioritas yang kronik dapat diatasi dengan secara
gradual menyelenggarakan asuransi/ jaminan kesehatan.

Dalam era desentralsasi, pemerintah daerah memiliki kewenangan mengatur
pelayanan kesehatan, akan tetapi pengaturan jaminan/ asuransi kesehatan merupakan
wewenang dari pusat. Namun demikian, dalam era desentraisasi masih terdapat
kekososngan pengaturan pusat, di mana daerah dapat berbuat sesuatu dengan mengatur
jaminan untuk penduduk, bukan mengatur bisnis jaminan yang secara bertahap mulai
dari kelompok yang berpenghasilan tetap/ penerima upah. Paket jaminan juga harus

diberikan secara bertahap dengan jaminan rawat inap dan biaya medis mahal. Namun
semuanya itu dilakukan dalam rangka antisipasi keluarnya undang-undang asuransi/
jaminan oleh pemerintah pusat. Sehingga bentuk yang akan dibentuk daerah harus
dipersiapkan agar bisa disesuaikan dan diantisipasi dengan peraturan pusat. Keinginan
memiliki bada penyelenggara sendiri di tingkat kabupaten yang mandiri dan menjamin
kasus-kasus mahal tidak realistis karena pada tingkat tertentu, tidak memenuhi syarat
asuransi (pool yang memadai). Selain itu, asuransi besifat lintas daerah dan karenanya
tidak sulit atau mahal jika dilakukan dalam pool kota/ kabupaten yang kecil.
Pemerintah sebagai pemberi baya bertujuan menjamin akses pelayanan
kesehatan bagi seluruh masyarakat, terutama keluarga miskin. Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) yang sedang digodok saat ini, bisa jadi merupakan alternative untuk
menjamin askes pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin. Dalam menjalankan program
tersebut pemerintah harus menentukan besar alokasi anggaran bagi setiap daerah yang
besarnya harus disesuaikan dengan kondisnya. Untuk itu pemerintah pusat harus
mengacu

pada

konsep


equty

dan

menggunakan

formula

yang

bisa

dipertanggungjawabkan. Namun fakta di lapangan berbicara lain, pemerintah pusat
nampaknya kebingungan bagaimana mengalokasikan dananya. Selain belum disepakati
formula alokasinya,ketiadaan data serta masih dominannya unsur politik merupakan
kendala besar yang harus segera dipecahkan.
Pada umumnya daerah dan juga pemerintah pusat tidak memiliki dana yang
memadai atau tiak memberkan prioritas membiayai kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari
kecilnya anggaran sector kesehatan di tingkat nasional maupun di tingkat daerah,
sehingga produktifitas penduduk masih sangat rendah. Ascobat Gani misalnya

menghitung besarnya anggaran pemerintah dan dana masyarakat untuk kesehatan
sebagai tampak dalam tabel berikut (dalam US $). Menurut laporan WHO dari sumber
data resmi pemerintah, pengeluaran per kapita Indonesia tahun 1999 di Thailand sebesar
US$ 133, Vietnam US$ 17, Filipina US 40, dan Malaysia US$ 110, masih sangat rendah.
Oleh karenanya, mobilisasi dana melalui mekanisme asuransi harus dipercepat agar

produktifitas penduduk dapat ditingkatkan dan mampu bersaing dengan era global dan
era AFTA yang mulai berlaku tahun depan. Tentu saja pemda juga harus meningkatkan
investasinya dalam bidang SDM dengan mengalokasikan dana sector kesehatan yang
lebih besar lagi.
Faktor manajemen dan moral hazard merupakan dua faktor penting yang harus
dipertimbangakan dalam menelenggarakan jaminan. Perlu disadari bahwa asuransi
kesehatan tradisional yang memberikan penggantian biaya (reimbuserment) akan
mengundang moral hazard yang tinggi meskipun jaminan yang diberikan hanya rawat
inap atau kasup katastropik. Sebaliknya, apabila jaminan yang diberikan hanya dalam
bentuk hasbullah Thabrany 11 askes desentralisasi pelayanan, maka moral hazard
menjadi lebih mudah dialokalisir dari pada memberikan jaminan komprehensif. Oleh
karenanya manajemen jaminan terbatas ini akan jauh lebih mudah dan lebih terkendali.
Apabila strategi ini yang diterapkan untuk asuransi wajib sementara (sambil menunggu
UU), maka dua ancaman besar kegagalan asuransi (Adverse Selection dan Moral hazard)

sudah dapat diatasi.
Kenyataan sekarang ini di level mikri misalnya pembiayaan di puskesmas
dengan adanya desentralisasi menurut lembaga pelayanan kesehatan menjadi

lebih

mandiri dalam pembiayaan. Sehingga tidak heran di beberapa yang terjadi adalah
kenaikan tarif pelayanan kesehatan yang ujung-ujungnya terjadi penurunan askes
masyarakat, terutama yang miskin. Sementara adanya PKPS BBM ternyata belum
mampu menjamin seluruh orang miskin terlindungi. Tetapi saat ini sedang digodok UU
tentang sistem jaminan sosial nasional yang bertujuan merubah secara radikal sistem
pembiayaan kesehatan, masyarakat pengguna pelayanan kesehatan dan pihak yang
membayar pelayanan permasalahan yang menyangkut jaminan asuransi kesehatan
sekarang ini adalah belum adanya standar nasional yang jelas dalam evaluasi sehingga
antar daerah sangat bervariasi. Tetapi kesimpulanya kebijakan desentalisasi merupakan
peluang karena dana daerah (APBD) meningkat dan pemda diharapkan berperan dalam
pembuatan perda guna meningkatkan dan memperlancar pembiayaan untuk jaminan
kesehatan di daerahnya masing-masing.