PAJAK BUMI DAN BANGUNAN doc
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena
adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan
yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya.
Dasar Hukum
1. UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun
1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
2. KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak
Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
3. KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual
Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
4. KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau Perwakilan Organisasi
Internasional yang Menggunakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Yang Tidak
Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara Penetapan Besarnya
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan
Bangunan.
6. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003 Tentang Penyesuaian
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun Pajak 2004.
7. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan dan Penjelasan
Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial Untuk Kawasan Industri dan
Real Estate.
Istilah Penting dalam UU PBB
( Pasal 1 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No. 12 Tahun 1994)
1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya;
2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan;
3. Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli
yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual
Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau
nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti;
4. Surat Pemberitahuan Obyek Pajak adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak
untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan undang-undang ini;
5. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak;
Obyek Pajak
( Pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Yang menjadi objek pajak adalah Bumi dan Bangunan
Pengertian Bumi
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Pengertian Bangunan
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan.
Yang termasuk pengertian bangunan adalah :
a. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel,
pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan
kompleks bangunan tersebut;
b. jalan TOL;
c. kolam renang;
d. pagar mewah;
e. tempat olah raga;
f. galangan kapal, dermaga;
g. taman mewah;
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
i. fasilitas lain yang memberikan manfaat;
Klasifikasi Bumi dan Bangunan
( Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai
jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang
terhutang.
Subyek PBB
( Pasal 4 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Yang menjadi subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata :
a.
mempunyai hak atas bumi/tanah, dan/atau;
b.
memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan/atau;
c.
memiliki, menguasai atas bangunan dan/atau;
d.
memperoleh manfaat atas bangunan.
Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut UU
PBB.
Apabila suatu objek pajak tidak diketahui secara jelas siapa yang akan menanggung pajaknya
maka yang menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak adalah Direktorat Jenderal Pajak.
Penetapan ini ditentukan berdasarkan bukti-bukti :
Apakah ada perjanjian antara pemilik dan penyewa yang mengatur ?
Siapa yang menanggung kewajiban pajaknya ?
Dan siapa yang secara nyata mendapat manfaat atas bidang tanah dan bangunan
tersebut?
Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 % (lima persepuluh persen).
Dasar Pengenaan PBB
( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. Pasal 2 (3) KMK523/KMK.04/1998)
Yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya Nilai Jual
Objek Pajak ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu
ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.
Meskipun pada dasarnya penetapan nilai jual objek pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali, namun
untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan nilai jual objek
pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai
jual, Menteri Keuangan mendengar pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas self
assessment.
Nilai jual sebagai Dasar Pengenaan PBB dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok A dan
kelompok B (KMK-523/KMK.04/1998).
Dalam hal ada objek pajak yang nilai jual per M2 nya lebih besar dari ketentuan Nilai Jual Objek
Pajak, Nilai Jual Objek Pajak yang terjadi di lapangan tersebut digunakan sebagai dasar
pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
Dasar Penghitungan Pajak
( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. PP No.25 Tahun 2002).
Yang menjadi dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) atau
NJKP, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. NJKP ditetapkan serendahrendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen).
Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan
kondisi ekonomi nasional.
Contoh :
Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp 1.000.000,00 persentase Nilai Jual Objek Pajak
misalnya 20% maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak : 20% x Rp 1.000.000,00 = Rp200.000,00
Dasar Penghitungan Pajak
( Pasal 7 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994).
Secara umum besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus
dibawah ini:
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
XXXXX
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOTKP)
XXXXX (-)
Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak
XXXXX
(NJOPKP)
XXXXX
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
= 20% X NJOPKP (untuk NJOP < 1 Miliar); atau
= 40% X NJOPKP (untuk NJOP 1 Miliar atau lebih)
XXXXX
Besarnya PBB terutang = 0,5 % X NJKP
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
Istilah Penting dalam UU BPHTB
( Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000)
1. Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan.
3. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
4. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang
masih harus dibayar.
6. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang
telah ditetapkan.
7. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah
surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah
pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang.
8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat
ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah
pajak yang dibayar.
9. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang
terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau
Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan.
10. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan
tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
11. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan oleh Wajib Pajak.
12. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Dasar Hukum
1. UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2. KMK Nomor : 630/KMK.04/1997 Tentang Badan atau Perwakilan Organisasi
Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Objek Pajak
( Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. Pemindahan Hak karena :
1. Jual beli
2. Tukar Menukar
3. Hibah
4. Hibah Wasiat, adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas
tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku
setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
5. Waris
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, adalah pengalihan hak atas
tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau
badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan
hukum lainnya tersebut.
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, adalah pemindahan sebagian hak
bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama
pemegang hak bersama.penunjukan pembeli dalam lelang;
8. Penunjukan pembeli dalam lelang, adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat
Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai
pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak
kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
10. Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara
tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha
lainnya yang menggabung.
11. Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara
mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung
tersebut.
12. Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau
lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan
pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha
yang lama.
13. Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau
bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
b. Pemberian hak baru karena :
1. Kelanjutan pelepasan hak; Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena
kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan
hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
2. Diluar pelepasan hak. Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak
adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari
Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Hak Atas Tanah
( Pasal 2 ayat (3) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud hak atas tanah adalah :
1. Hak milik, adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2. Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan
yang berlaku.
3. Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
4. Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Hak milik atas satuan rumah, adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan
dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
6. Hak pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan
peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau
bekerja sama dengan pihak ketiga.
Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB adalah sebesar 5 % (lima persen).
Dasar Pengenaan
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu
dalam hal :
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar-menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar;
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah
Lelang.
Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai
dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan
dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan
pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
Nilai Pasar
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar
yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.
Nilai Perolehan Objek Pajak Yang Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK516/KMK.04/2000
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau
hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-masing
Kabupaten/Kota.
Tata Cara untuk menentukan besarnya NPOPTKP
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK516/KMK.04/2000
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Tata Cara untuk menentukan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah
sebagai berikut :
1. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak ditetapkan untuk setiap
Kabupaten/Kota.
2. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak untuk setiap Kabupaten/Kota dapat
diusulkan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak setempat, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun pajak
dimulai.
3. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan
menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan
memperhatikan usulan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam point 2.
4. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mengajukan usulan sebagaimana dimaksud dalam
point 2, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan dengan
mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan
besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan ketentuan:
1. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang
masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas
atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
2. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan
Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui
KPR Bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan
Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui
KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp 49.000.000,00 (empat puluh sembilan
juta rupiah);
3. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil
atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat
Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah);
4. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);
5. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b
ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
ditetapkan pada huruf d;
6. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c
ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
ditetapkan pada huruf d."
Penghitungan Pajak
( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
Nilai
Perolehan
Objek
Pajak
XXXXX
Tidak
Kena
Pajak XXXXX (-)
(NPOPTKP)
Nilai
Perolehan
XXXXX
Objek
Pajak
Kena
(NPOPKP)
Pajak
XXXXX
Besarnya BPHTB terutang = 5 % X NPOPKP
OBJEK BEA METERAI
PENGERTIAN BEA METERAI
Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undangundang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea
Meterai harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan
cara lain sebelum dokumen itu digunakan.
DASAR HUKUM
1.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.
3.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna, Dan Desain
Meterai Tempel Tahun 2005
4.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai
dengan Menggunakan Cara Lain.
5.
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
6.
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan.
7.
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi.
8.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea Meterai
dengan Cara Pemeteraian Kemudian.
9.
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemeteraian Kemudian.
10. Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan Bea
Meterai.
ISTILAH-ISTILAH
- Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang
perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak lain yang
berkepentingan.
- Benda Meterai adalah Meterai tempel dan Kertas Meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia.
- Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf,
teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai
pengganti tanda tangan.
- Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat
Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana
mestinya.
- Pejabat pos adalah pejabat PT Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan
pemeteraian kemudian.
OBJEK BEA METERAI
Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen menyatakan nilai
nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan
di muka pengadilan, antara lain :
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai
alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
b Akta-akta notaris termasuk salinannya.
.
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.
d Surat yang memuat jumlah uang yaitu:
.
- yang menyebutkan penerimaan uang;
- yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank;
- yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
- yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau
diperhitungkan.
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.
f. Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan sebagai
alat
pembuktian
di
muka
pengadilan
yaitu
surat-surat
biasa
dan
surat-surat
kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dan maksud
semula.
TIDAK DIKENAKAN BEA METERAI
Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang berhubungan
dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara.
Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:
1. Dokumen yang berupa:
- surat penyimpanan barang;
- konosemen;
- surat angkutan penumpang dan barang;
- keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang,
konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang;
- bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
- surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
- surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.
2. Segala bentuk ijazah
3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada
kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan
pembayaran itu.
4. Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh
bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut
8. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.
9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun.
TATA CARA PELUNASAN BEA METERAI
SAAT TERUTANG
Saat terutangnya bea meterai adalah saat sebelum dokumen yang terutang bea meterai tersebut
digunakan. Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 1985 disebutkan saat terutangnya Bea
Meterai adalah:
Dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
Dokumen yang dibuat oleh lebih dan satu pihak adalah pada saat selesainya dokumen dibuat;
Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia,
-
CARA PELUNASAN BEA METERAI
A. Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Meterai Tempel
Cara mempergunakan meterai tempel :
Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen
-
yang dikenakan Bea Meterai.
Meterai Tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.
Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun
-
dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan di
atas kertas dan sebagian lagi di atas Meterai Tempel.
Jika digunakan lebih dan satu Meterai Tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian
-
di atas semua Meterai Tempel dan sebagian di atas kertas.
- Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel tetapi tidak memenuhi
ketentuan di atas, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
B Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Kertas Meterai
.
Cara mempergunakan kertas meterai :
Sehelai Kertas Meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian.
Kertas Meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di
-
atas Kertas Meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat
digunakan kertas tidak bermeterai.
Jika sehelai Kertas Meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini
-
belum ditandatangani oleh yang berkepentingan, sedangkan dalam Kertas Meterai telah
terlanjur ditulis dengan beberapa kata/kalimat yang belum merupakan suatu dokumen
yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada Kertas Meterai tersebut dicoret dan
dimuat tulisan atau keterangan baru, maka Kertas Meterai yang demikian dapat digunakan
dan tidak Perlu dibubuhi meterai lagi.
- Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi, dokumen yang
bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
C. Pelunasan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan
Pelunasan dengan cara membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan
memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:
1. Pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan kepada
penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari
minimal sebanyak 50 dokumen.
2. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan
meterai harus melakukan prosedur sebagai berikut:
- mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan
meterai yang akan digunakan, serta melampirkan surat pernyataan tentang jumlah
rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap hari.
- melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp 15.000.000,- (lima
belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Ke Kas Negara melalui
Bank Persepsi.
- Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap bulan.
- Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal
ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
D. Pelunasan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Sistem
Komputerisasi
1.
Pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi hanya diperkenankan untuk
dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dalam Pasal 1 huruf d PP
No. 24 Tahun 2000 dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap hari minimal sebanyak
100 dokumen.
- mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan
mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan
dilunasi Bea Meterai setiap hari.
- pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang
harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(ke Kas Negara melalui Bank Pensepsi).
- menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea Meterai
kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan.
2.
Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan
sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat
mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.
E. Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Teknologi Percetakan
1. Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan hanya diperkenankan
untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
2. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan
teknologi pencetakan harus melakukan prosedur sebagai berikut:
- pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang harus
dilunasi Bea Meterai, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas
Negara melalui Bank Persepsi.
- mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak
dengan mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan
jumlah Bea Meterai yang telah dibayar.
3. Perum Peruri dan perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea
Meterai Lunas pada cek, bilyet giro, atau efek dengan nama dan dalam bentuk
apapun, harus menyampaikan laponan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak
paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
4. Pelunasan Bea Meterai bagi dokumen yang dibuat di Luar Negeri
Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang
tidak digunakan di Indonesia.
TARIF BEA METERAI
1. Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 untuk dokumen sebagai berikut:
a. Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
pendata
b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya
c. Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih dan
Rp1.000.000,00.;
d. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:
- surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.
- surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan tujuan
semula.
2. Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan sebagai berikut:
- nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai
- nominal antara Rp250.000,- sampai Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai
Rp3.000,-
- nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-
3. Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa
batas pengenaan besarnya harga nominal.
4. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal
sampai dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang
mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp
6.000,-.
5. Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam
surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp
1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,-, sedangkan yang mempunyai harga
nominal lebih dan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp
6.000,-.
KETENTUAN KHUSUS DAN SANKSI
KETENTUAN KHUSUS
a.
Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah
dilunasi Bea Meterai yang terutang dengan cara pemeteraian kemudian.
b.
Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya,
masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan:
- Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea
Meterainya tidak atau kurang dibayar;
- Melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai
dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;
- Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dan dokumen yang Bea
Meterainya tidak atau kurang dibayar;
- Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang
dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterainya.
Pelangganan terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai
Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
SANKSI ADMINISTRASI
Sanksi ini dikenakan apabila terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan Bea Meterai yang
harus dilunasi kurang bayar.
Dokumen sebagaimana yang dimaksud dalam objek Bea Meterai tidak atau kurang
dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus
-
persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.
Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) harus
-
melunasi Bea Meterai terutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian.
DALUWARSA
Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terutang menurut
Undang-Undang Bea Meterai, daluwarsa setelah lampau waktu 5 tahun, terhitung
sejak tanggal dokumen dibuat.
KETENTUAN PIDANA
Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam KUHP:
- Barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel kertas meterai atau meniru
dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai;
- Barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau
memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat
dengan melawan hak;
- Barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan menyerahkan,
menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang
mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya
mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dana atau
menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan haknya;
- Barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya
digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan
benda meterai;
- Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain (sesuai Pasal 7 UU Bea
Meterai dipidana penjara selama-lamanya 7 tahun dan tindak pidana ini adalah
bentuk kejahatan).
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena
adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan
yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya.
Dasar Hukum
1. UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun
1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
2. KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak
Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
3. KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual
Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
4. KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau Perwakilan Organisasi
Internasional yang Menggunakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Yang Tidak
Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara Penetapan Besarnya
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan
Bangunan.
6. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003 Tentang Penyesuaian
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun Pajak 2004.
7. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan dan Penjelasan
Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial Untuk Kawasan Industri dan
Real Estate.
Istilah Penting dalam UU PBB
( Pasal 1 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No. 12 Tahun 1994)
1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya;
2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan;
3. Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli
yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual
Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau
nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti;
4. Surat Pemberitahuan Obyek Pajak adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak
untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan undang-undang ini;
5. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak;
Obyek Pajak
( Pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Yang menjadi objek pajak adalah Bumi dan Bangunan
Pengertian Bumi
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Pengertian Bangunan
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan.
Yang termasuk pengertian bangunan adalah :
a. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel,
pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan
kompleks bangunan tersebut;
b. jalan TOL;
c. kolam renang;
d. pagar mewah;
e. tempat olah raga;
f. galangan kapal, dermaga;
g. taman mewah;
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
i. fasilitas lain yang memberikan manfaat;
Klasifikasi Bumi dan Bangunan
( Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai
jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang
terhutang.
Subyek PBB
( Pasal 4 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Yang menjadi subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata :
a.
mempunyai hak atas bumi/tanah, dan/atau;
b.
memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan/atau;
c.
memiliki, menguasai atas bangunan dan/atau;
d.
memperoleh manfaat atas bangunan.
Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut UU
PBB.
Apabila suatu objek pajak tidak diketahui secara jelas siapa yang akan menanggung pajaknya
maka yang menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak adalah Direktorat Jenderal Pajak.
Penetapan ini ditentukan berdasarkan bukti-bukti :
Apakah ada perjanjian antara pemilik dan penyewa yang mengatur ?
Siapa yang menanggung kewajiban pajaknya ?
Dan siapa yang secara nyata mendapat manfaat atas bidang tanah dan bangunan
tersebut?
Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 % (lima persepuluh persen).
Dasar Pengenaan PBB
( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. Pasal 2 (3) KMK523/KMK.04/1998)
Yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya Nilai Jual
Objek Pajak ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu
ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.
Meskipun pada dasarnya penetapan nilai jual objek pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali, namun
untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan nilai jual objek
pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai
jual, Menteri Keuangan mendengar pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas self
assessment.
Nilai jual sebagai Dasar Pengenaan PBB dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok A dan
kelompok B (KMK-523/KMK.04/1998).
Dalam hal ada objek pajak yang nilai jual per M2 nya lebih besar dari ketentuan Nilai Jual Objek
Pajak, Nilai Jual Objek Pajak yang terjadi di lapangan tersebut digunakan sebagai dasar
pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
Dasar Penghitungan Pajak
( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. PP No.25 Tahun 2002).
Yang menjadi dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) atau
NJKP, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. NJKP ditetapkan serendahrendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen).
Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan
kondisi ekonomi nasional.
Contoh :
Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp 1.000.000,00 persentase Nilai Jual Objek Pajak
misalnya 20% maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak : 20% x Rp 1.000.000,00 = Rp200.000,00
Dasar Penghitungan Pajak
( Pasal 7 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994).
Secara umum besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus
dibawah ini:
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
XXXXX
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOTKP)
XXXXX (-)
Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak
XXXXX
(NJOPKP)
XXXXX
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
= 20% X NJOPKP (untuk NJOP < 1 Miliar); atau
= 40% X NJOPKP (untuk NJOP 1 Miliar atau lebih)
XXXXX
Besarnya PBB terutang = 0,5 % X NJKP
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
Istilah Penting dalam UU BPHTB
( Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000)
1. Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan.
3. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
4. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang
masih harus dibayar.
6. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang
telah ditetapkan.
7. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah
surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah
pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang.
8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat
ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah
pajak yang dibayar.
9. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang
terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau
Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan.
10. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan
tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
11. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan oleh Wajib Pajak.
12. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Dasar Hukum
1. UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2. KMK Nomor : 630/KMK.04/1997 Tentang Badan atau Perwakilan Organisasi
Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Objek Pajak
( Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. Pemindahan Hak karena :
1. Jual beli
2. Tukar Menukar
3. Hibah
4. Hibah Wasiat, adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas
tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku
setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
5. Waris
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, adalah pengalihan hak atas
tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau
badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan
hukum lainnya tersebut.
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, adalah pemindahan sebagian hak
bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama
pemegang hak bersama.penunjukan pembeli dalam lelang;
8. Penunjukan pembeli dalam lelang, adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat
Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai
pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak
kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
10. Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara
tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha
lainnya yang menggabung.
11. Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara
mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung
tersebut.
12. Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau
lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan
pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha
yang lama.
13. Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau
bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
b. Pemberian hak baru karena :
1. Kelanjutan pelepasan hak; Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena
kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan
hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
2. Diluar pelepasan hak. Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak
adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari
Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Hak Atas Tanah
( Pasal 2 ayat (3) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud hak atas tanah adalah :
1. Hak milik, adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2. Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan
yang berlaku.
3. Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
4. Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Hak milik atas satuan rumah, adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan
dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
6. Hak pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan
peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau
bekerja sama dengan pihak ketiga.
Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB adalah sebesar 5 % (lima persen).
Dasar Pengenaan
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu
dalam hal :
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar-menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar;
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah
Lelang.
Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai
dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan
dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan
pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
Nilai Pasar
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar
yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.
Nilai Perolehan Objek Pajak Yang Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK516/KMK.04/2000
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau
hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-masing
Kabupaten/Kota.
Tata Cara untuk menentukan besarnya NPOPTKP
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK516/KMK.04/2000
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Tata Cara untuk menentukan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah
sebagai berikut :
1. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak ditetapkan untuk setiap
Kabupaten/Kota.
2. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak untuk setiap Kabupaten/Kota dapat
diusulkan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak setempat, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun pajak
dimulai.
3. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan
menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan
memperhatikan usulan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam point 2.
4. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mengajukan usulan sebagaimana dimaksud dalam
point 2, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan dengan
mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan
besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan ketentuan:
1. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang
masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas
atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
2. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan
Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui
KPR Bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan
Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui
KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp 49.000.000,00 (empat puluh sembilan
juta rupiah);
3. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil
atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat
Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah);
4. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);
5. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b
ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
ditetapkan pada huruf d;
6. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c
ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
ditetapkan pada huruf d."
Penghitungan Pajak
( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
Nilai
Perolehan
Objek
Pajak
XXXXX
Tidak
Kena
Pajak XXXXX (-)
(NPOPTKP)
Nilai
Perolehan
XXXXX
Objek
Pajak
Kena
(NPOPKP)
Pajak
XXXXX
Besarnya BPHTB terutang = 5 % X NPOPKP
OBJEK BEA METERAI
PENGERTIAN BEA METERAI
Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undangundang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea
Meterai harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan
cara lain sebelum dokumen itu digunakan.
DASAR HUKUM
1.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.
3.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna, Dan Desain
Meterai Tempel Tahun 2005
4.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai
dengan Menggunakan Cara Lain.
5.
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
6.
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan.
7.
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi.
8.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea Meterai
dengan Cara Pemeteraian Kemudian.
9.
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemeteraian Kemudian.
10. Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan Bea
Meterai.
ISTILAH-ISTILAH
- Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang
perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak lain yang
berkepentingan.
- Benda Meterai adalah Meterai tempel dan Kertas Meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia.
- Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf,
teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai
pengganti tanda tangan.
- Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat
Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana
mestinya.
- Pejabat pos adalah pejabat PT Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan
pemeteraian kemudian.
OBJEK BEA METERAI
Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen menyatakan nilai
nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan
di muka pengadilan, antara lain :
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai
alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
b Akta-akta notaris termasuk salinannya.
.
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.
d Surat yang memuat jumlah uang yaitu:
.
- yang menyebutkan penerimaan uang;
- yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank;
- yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
- yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau
diperhitungkan.
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.
f. Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan sebagai
alat
pembuktian
di
muka
pengadilan
yaitu
surat-surat
biasa
dan
surat-surat
kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dan maksud
semula.
TIDAK DIKENAKAN BEA METERAI
Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang berhubungan
dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara.
Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:
1. Dokumen yang berupa:
- surat penyimpanan barang;
- konosemen;
- surat angkutan penumpang dan barang;
- keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang,
konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang;
- bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
- surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
- surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.
2. Segala bentuk ijazah
3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada
kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan
pembayaran itu.
4. Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh
bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut
8. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.
9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun.
TATA CARA PELUNASAN BEA METERAI
SAAT TERUTANG
Saat terutangnya bea meterai adalah saat sebelum dokumen yang terutang bea meterai tersebut
digunakan. Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 1985 disebutkan saat terutangnya Bea
Meterai adalah:
Dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
Dokumen yang dibuat oleh lebih dan satu pihak adalah pada saat selesainya dokumen dibuat;
Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia,
-
CARA PELUNASAN BEA METERAI
A. Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Meterai Tempel
Cara mempergunakan meterai tempel :
Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen
-
yang dikenakan Bea Meterai.
Meterai Tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.
Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun
-
dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan di
atas kertas dan sebagian lagi di atas Meterai Tempel.
Jika digunakan lebih dan satu Meterai Tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian
-
di atas semua Meterai Tempel dan sebagian di atas kertas.
- Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel tetapi tidak memenuhi
ketentuan di atas, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
B Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Kertas Meterai
.
Cara mempergunakan kertas meterai :
Sehelai Kertas Meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian.
Kertas Meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di
-
atas Kertas Meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat
digunakan kertas tidak bermeterai.
Jika sehelai Kertas Meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini
-
belum ditandatangani oleh yang berkepentingan, sedangkan dalam Kertas Meterai telah
terlanjur ditulis dengan beberapa kata/kalimat yang belum merupakan suatu dokumen
yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada Kertas Meterai tersebut dicoret dan
dimuat tulisan atau keterangan baru, maka Kertas Meterai yang demikian dapat digunakan
dan tidak Perlu dibubuhi meterai lagi.
- Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi, dokumen yang
bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
C. Pelunasan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan
Pelunasan dengan cara membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan
memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:
1. Pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan kepada
penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari
minimal sebanyak 50 dokumen.
2. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan
meterai harus melakukan prosedur sebagai berikut:
- mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan
meterai yang akan digunakan, serta melampirkan surat pernyataan tentang jumlah
rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap hari.
- melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp 15.000.000,- (lima
belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Ke Kas Negara melalui
Bank Persepsi.
- Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap bulan.
- Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal
ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
D. Pelunasan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Sistem
Komputerisasi
1.
Pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi hanya diperkenankan untuk
dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dalam Pasal 1 huruf d PP
No. 24 Tahun 2000 dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap hari minimal sebanyak
100 dokumen.
- mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan
mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan
dilunasi Bea Meterai setiap hari.
- pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang
harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(ke Kas Negara melalui Bank Pensepsi).
- menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea Meterai
kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan.
2.
Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan
sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat
mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.
E. Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Teknologi Percetakan
1. Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan hanya diperkenankan
untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
2. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan
teknologi pencetakan harus melakukan prosedur sebagai berikut:
- pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang harus
dilunasi Bea Meterai, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas
Negara melalui Bank Persepsi.
- mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak
dengan mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan
jumlah Bea Meterai yang telah dibayar.
3. Perum Peruri dan perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea
Meterai Lunas pada cek, bilyet giro, atau efek dengan nama dan dalam bentuk
apapun, harus menyampaikan laponan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak
paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
4. Pelunasan Bea Meterai bagi dokumen yang dibuat di Luar Negeri
Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang
tidak digunakan di Indonesia.
TARIF BEA METERAI
1. Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 untuk dokumen sebagai berikut:
a. Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
pendata
b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya
c. Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih dan
Rp1.000.000,00.;
d. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:
- surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.
- surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan tujuan
semula.
2. Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan sebagai berikut:
- nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai
- nominal antara Rp250.000,- sampai Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai
Rp3.000,-
- nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-
3. Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa
batas pengenaan besarnya harga nominal.
4. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal
sampai dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang
mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp
6.000,-.
5. Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam
surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp
1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,-, sedangkan yang mempunyai harga
nominal lebih dan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp
6.000,-.
KETENTUAN KHUSUS DAN SANKSI
KETENTUAN KHUSUS
a.
Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah
dilunasi Bea Meterai yang terutang dengan cara pemeteraian kemudian.
b.
Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya,
masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan:
- Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea
Meterainya tidak atau kurang dibayar;
- Melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai
dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;
- Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dan dokumen yang Bea
Meterainya tidak atau kurang dibayar;
- Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang
dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterainya.
Pelangganan terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai
Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
SANKSI ADMINISTRASI
Sanksi ini dikenakan apabila terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan Bea Meterai yang
harus dilunasi kurang bayar.
Dokumen sebagaimana yang dimaksud dalam objek Bea Meterai tidak atau kurang
dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus
-
persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.
Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) harus
-
melunasi Bea Meterai terutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian.
DALUWARSA
Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terutang menurut
Undang-Undang Bea Meterai, daluwarsa setelah lampau waktu 5 tahun, terhitung
sejak tanggal dokumen dibuat.
KETENTUAN PIDANA
Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam KUHP:
- Barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel kertas meterai atau meniru
dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai;
- Barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau
memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat
dengan melawan hak;
- Barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan menyerahkan,
menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang
mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya
mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dana atau
menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan haknya;
- Barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya
digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan
benda meterai;
- Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain (sesuai Pasal 7 UU Bea
Meterai dipidana penjara selama-lamanya 7 tahun dan tindak pidana ini adalah
bentuk kejahatan).