Merajut Kebhinekaan dan Kearifan Budaya Bagi Kemajuan dan Kesejahteraan Indonesia - repository civitas UGM

"

MERAJUTKEBHINEKAAN
DANKEARIFAN
BUDAYABAGIKEMAJUANDAN
KESEJAHTERAAN
INDONESIA

Pidato IImiah
Disampaikan pada
Rapat Universitas Gadjah Mada

dalam Rangka

.

Peringatan Dies Natalis ke-63
Yogyakarta, 19 Desember 2012

Oleh:
Prof. Dr. Bambang Purwanto


MERAJUTKEBHINEKAAN
DANKEARIFAN
BUDAYABAGIKEMAJUAN,'DAN
KESEJAHTERAAN
INDONESIA

Pidato IImiah
Disampaikan pada
Rapat Universitas Gadjah Mada
dalam Rangka
Peringatan Dies Natalis ke-63
Yogyakarta, 19 Desember 2012

Oleh:
Prof. Dr. Bambang Purwanto

Yang terhormat
Sri Sultan Hamengku Buwono X,
Pimpinan dan anggota Majelis Wali Amanat Universitas

Mada,
Pimpinan dan anggota Senat Akademik Universitas
Mada,
Pimpinan dan anggota Majelis Guru Besar Universitas
Mada,
Rektor dan para Wakil Rektor Universitas Gadjah Mada,
Dosim, tenaga kependidikan, mahasiswa, dan seluruh
akademika Universitas Gadjah Mada,
Para tamu undangan dan hadirin sekalian

Gadjah
Gadjah
Gadjah

civitas

Selamat pagi,
Assalammu'alaikum warakhmatullaahi wabarakatuh
Di hari yang berbahagia ini, ketika kita semua
memperingati Dies Natalis ke-63 Universitas Gadjah Mada,

pertama-tama perkenankan kami menyampaikan terima kasih
yang tulus kepada semua pihak yang telah membangun UGM
menjadi sebuah balai nasional ilmu pengetahuan dan
kebudayaan yang bermanfaat baik bagi bangsa Indonesia
maupun umat manusia secara umum selama ini. Pada
kesempatan ini kami ingin mengajak ibu, bapak, dan para
hadirin semua untuk mengingat kembali pesan yang telah
disampaikan setahun yang lalu dalam acara serupa. Pada saat
itu, UGM diharapkan menjadi lembaga pendidikan tinggi "yang
responsif terhadap kepentingan masyarakat". UGM yang tidak
"hanya mempersiapkan anak-anak kita untuk dunia", melainkan
juga lembaga yang "juga harus mempersiapkan dunia untuk
anak-anak kita" (Mas'oed: 2011).
Pesan itu terasa semakin relevan jika dihubungkan
dengan berbagai keterasingan yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, yang mengancam arah masa

2

depan bangsa beserta keberagamannya untuk dapat
menciptakan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Perguruan tinggi beserta para intelektual dan kearifan budaya
yang ada di dalamnya, seharusnya mampu menjadi' yang
terdepan untuk menahan arus yang mengancam itu. Jika UGM
tetap setia dengan jati diri yang dimiliki dan misi keberadaannya
untuk bertanggung jawab dan peduli, maka "cita-cita Bangsa
Indonesia yang termaktub dalam Pancasila, kebudayaan
kebangsaan Indonesia seluruhnya" sebagai tugas yang
diamanatkan pada saat
pembentukannya, akan tercapai
(Sutaryo, ed: 2010). Kita semua tentu tidak menginginkan
peringatan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama
Mohammad Hatta hampir 80 tahun lalu menjadi kenyataan,
ketika tindakan "kaum intelek Indonesia, yang sudah seringkali
menyuruh rakyat berharap dengan sia-sia" mengakibatkan
rakyat "tidak bermimpi lagi kepada pemimpin yang tidak akan
datang"

(Hatta: 1933).

<


Para hadirin yang mulia,
Dalam dinamika kehidupan masyarakat seiring dengan
proses globalisasi dan perkembangan kecanggihan teknologi
yang cepat dalam dua dasa warsa pertama abad ke-2.1 ini,
terjadi berbagai perubahan yang bermuara pada transformasi
budaya. Pada satu sisi, perubahan itu mendukung terciptanya
kemajuan dan kesejahteraan seperti yang selalu diharapkan.
Akan tetapi di sisi yang lain, perubahan itu muncul sebagai
faktor penghambat gerakan untuk mengembangkan ekonomi
dan penghidupan yang layak, keadilaljl sosio-kultural, dan
demokratisasi politik yang merupakan perwujudan dari
kemajuan dan kesejahteraan umat manusia (Harrison &
Huntington, eds: 2011).
Salah satu unsur penting yang menyebabkan perubahan
itu adalah kecanggihan teknologi informasi, yang telah

3

mengalihkan kehidupan umat manusia ke dalam bentuk-bentuk

baru yang hampir-hampir tidak dikenal sebelumnya. Mengikuti
cara berpikir Umar Kayam, budayawan Indonesia ternama yang
juga guru besar UGM semasa hidupnya, secara teoretik
transformasi itu akan diikuti oleh pembentukan "sosok baru
yang akan mapan" (Kayam: 1989), ketika sebuah proses
mencapai batas tertentu. Akan tetapi, kecanggihan teknologi
informasi yang ada saat ini memberi kesan seolah-olah sebuah
kemapanan tidak pernah terbentuk, karena perubahan yang
terus .terjadi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada
yang berpendapat bahwa kemapanan adalah perubahan itu
sendiri.
Majelis Dies yang berbahagia,
Ketika kebudayaan dibicarakan secara bersama-sama
dan setara dengan teknologi informasi dalam konteks
transformasi ini, salah satu asumsi dasar adalah, kecanggihan
teknologi informasi akan menjadi perekat bagi terbentuknya
solidaritas atas nilai-nilai sehingga mampu mewujudkan citacita kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan
dengan hal itu, kecanggihan teknologi informasi menjadi
katalisator dan wahana distribusi pendapat dan pengetahuan,
sehingga masyarakat menjadi lebih terpelajar dan mampu

bersikap kritis atas berbagai hal yang mengarah pada
disintegrasi bangsa. Peranan "knowledge managemenf' yang
melekat pada teknologi informasi memungkinkan sebuah
bangsa menjadi semakin cerdas, sehingga mampu mencegah
satu generasi mengulang-ulang kesalahan yang pernah
dilakukan sebelumnya. Namun di sisi yang lain, kecanggihan
teknologi informasi akan berfungsi sebagai peretas yang
menimbulkan penyimpangan dan keterasingan sehingga
menempatkan kebudayaan dengan keberagamannya sebagai
unsur statis dan sekaligus pengganggu dalam proses yang

4

berlangsung. Berdasarkan cara pandang ini, kebudayaan dan
keberagamannya tidak diposisikan sebagai sesuatu yang
menentukan bagi kemajuan dan kesejahteran masyarakat.
Padahal mengutip Daniel Patrick Moynahan, jika mengikuti cara
pandang kelompok konservatif, maka "budayalah yang
menentukan kesuksesan sebuah masyarakat", bukan politik
seperti yang diyakini kelompok liberal (Harrison & Huntington,

eds: 2011).
Pada konteks Indonesia, salah satu representasi dari
kenyataan di atas dapat dilihat pada proses serta dampak dari
berbagai gejolak sosio-kultural dan politik yang terjadi akhirakhir ini. Kerusuhan sektoral dan horizontal yang terjadi di
berbagai wilayah di tanah air itu, mengancam Gita-Gita
kemerdekaan dan keberlanjutan semboyan nasional bhineka
tunggal ika. Ketika bara api dari puing-puing tempat ibadah dan
rumah masyarakat di Sampang, Nusa Tenggara Barat, dan
berbagai wilayah lain di Pulau Jawa belum benar-benar padam
sebagai contoh, api lain telah disulut di Balinuraga Lampung.
Peristiwa-peristiwa itu tidak, hanya meluluhlantakkan harta
benda melainkan juga nilai-nilai kemanusiaan dan rajutan
budaya yang telah terbentuk sebelumnya. Selain mengisyaratkan kembali betapa rapuhnya sendi-sendi kehidupan
kebangsaan Indonesia, peristiwa-peristiwa itu sekaligus .juga
membenarkan pendapat sebagian orang yang menyatakan
kebudayaan bukan sebagai penyelamat, kebanggaan dan
inspirasi bagi bangsa Indonesia yang majemuk ini, melainkan
sumber dari berbagai carut marut dan kegagalan komunikasi di
dalam keberagaman.
Akan tetapi, pengalaman lain menunjukkan kenyataan

sebaliknya yang memberi harapan. Pada saat yang bersamaan, nilai, sikap, kesadaran, kepedulian, dan tanggung jawab
bersama berkembang luas di dalam masyarakat sebagai
sebuah gerakan budaya. Fenomena-fenomena seperti gerakan
nasional "koin solidaritas" bagi mereka yang termarjinalkan,

5

dukungan massal terhadap kampanye anti korupsi, doa dan
pernyataan keprihatinan bersama lintas iman serta sosial bagi
mereka yang tertindas, meningkatnya apresiasi serta respon
kaum muda terhadap pengabdian di wilayah terpencil dan
terluar, dan kepedulian untuk bersama-sama bangkit dengan
cepat dari keterpurukan serta bencana, menunjukkan bahwa
secara kultural semangat untuk tetap hidup bersama dalam
kebinekaan yang dibingkai oleh kemajuan dan kesejahteraan
masih tetap tegar.
Para.hadtrin yang berbahagia
Satu hal penting yang perlu diperhatikan dari semua hal di
atas, yaitu adanya perbedaan yang mendasar dalam proses
terbentuknya fenomena-fenomena atau kenyataan-kenyataan

akhir-akhir ini, dibandingkan dengan apa yang terjadi di masa
lalu. Kecanggihan teknologi informasi telah mengakibatkan
proses dan dampak dari peristiwa-peristiwa itu melewati batasbatas yang dikenal sebelumnya. Media jejaring sosial yang
merupakan salah satu representasi dari kecanggihan teknologi
informasi sebagai contoh, telah mentransformasi peristiwaperistiwa itu dari sekedar masalah personal menjadi masalah
nasional dan bahkan global, dan secara temporal terbentuk
dalam waktu yang sangat singkat. Hak kepemilikan atas
sebuah kenyataan sosial kadang-kadang menjadi tidak jelas.
Hak-hak privat begitu mudah berubah menjadi hak-hak publik,
begitu pula sebaliknya.Kesepakatan atau ketidaksepakatan
budaya tidak lagi didasarkan pada pengalaman bersama yang
panjang dan dalam ruang nyata yang sarna, melainkan dengan
mudah terbentuk karena kepercayaan atau ketidakpercayaan
semu yang dihasilkan oleh proses pencitraan sesaat yang
berulang-ulang secara terus-menerus di dunia maya.
Masyarakat juga seakan-akan hidup dalam budaya yang
tidak mengenal kata pemisah, sehingga kata batas kehilangan

6


makna. Ketika fenomena dan kenyataan dalam peristiwaperistiwa di atas dilihat secara bersama-sama, ada benang
merah yang menunjukkan kekaburan esensial yang sama, baik
atas sesuatu yang dianggap sebagai penyimpangan maupun
sebagai sesuatu yang seharusnya berlaku. Pada saat yang
bersamaan, batas antara nyata dan maya, antara benar dan
salah, antara asli dan palsu atau antara identitas dan citra, atau
antara cukup dan rakus menjadi kabur. Jika di masa lalu
ketidaktahuan yang berimbas pada kenaifan nilai-nilai dan
sikap lebih disebabkan oleh keterbatasan informasi yang
diterima, maka akhir-akhir ini ketidaktahuan dan kenaifan itu
dibentuk oleh keberadaan informasi yang berlebihan. Menyitir
ucapan sastrawan dan budayawan Indonesia D. Zawawi Imron
yang memenangkan hadiah sastra se Asia Tenggara beberapa
w.aktu lalu, "ketika orang tergila-gila pada kecanggihan teknologi informasi, maka mereka akan menjadi budak dari informasi
itu sendiri. Akibatnya, mereka akan kehilangan hati nurani".
Oleh karena itu, fungsi "knowledge managemenf' yang ada
pada teknologi informasi harus merupakan sebuah inisiatif yang
tidak boleh dibiarkan liar.
Adanya kesempatan untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin yang selalu dihubungkan dengan praktek
demokratisasi sebagai contoh, ternyata selain memberi akses
yang semakin luas bagi terbentuknya masyarakat sipil yang
kritis tetapi juga menggiring masyarakat pada situasi anarkis
dan menjauh dari makna demokrasi itu sendiri. Akibatnya,
selain menjadi sumber ilmu pengetahuan dan kearifan,
informasi juga berubah menjadi sampah yang membawa serta
berbagai jenis racun yang menimbulkan pembusukan tidak
produktif, baik pada ranah privat maupun publik. Mengikuti cara
pandang yang pesimistik, transformasi budaya yang terjadi
seiring dengan kecanggihan teknologi informasi itu menimbulkan kecanggungan bukan keselarasan budaya. Akibatnya,
pada satu sisi masyarakat mulai terasing dari kebudayaannya

7

sendiri, dan di sisi yang lain tidak benar-benar memahami
kebudayaan yang baru.
Ibu, bapak, saudara, dan para hadirin yang terhormat,
Sikap pesimistik terhadap kebudayaan itu semakin memuncak, ketika disadari bahwa peristiwa-peristiwa yang
mengingkari kemajuan dan kesejahteraan masyarakat itu terjadi
pada saat kampanye tentang arti penting kearifan lokal sebagai
jawabah untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang
muncul telah menjadi gejala umuril, yang tumbuh dan
berkembang baik di kalangan masyarakat awam maupun elite
politik dan ilmuwan. Ketika kearifan lokal sebagai representasi
dari kebudayaan dipromosikan sebagai obat paling mujarab
yang diyakini mampu menyembuhkan segala penyakit yang
disebabkan oleh persoalan yang muncul dari kebinekaan
misalnya, ternyata nilai-nilai unggulan itu sebaliknya membentuk eksklusivisme baru yang memperkuat pendakuan diri,.
berkembangnya sikap anti sosial, dan melemahnya kesetiakawanan. Akibatnya, masa depan kebinekaan semakin
terancam. Hal itu berarti mengingkari nilai-nilai dasar yang
menyertai pembentukan negara bangsa Indonesia, seperti yang
termaktub dalam Proklamasi, Undang Undang Dasar 1945, dan
Pancasila, sebagai tiga unsur utama nasionalisme Indonesia.
Bagi sebagian orang, globalisasi sering disebut sebagai
penyebab tidak berfungsinya kearifan lokal itu. Sebelum itu,
kekuasaan kolonial, proses pembaratan, modernitas dan
berbagai isme yang disebut "asing" dianggap sebagai biang
keladi dari ketidakberdayaan kearifan lokal untuk berfungsi
sebagaimana layaknya, seiring dengan memudarnya kebudayaan asli. Akibatnya, orang mulai berandai-andai untuk
mengembalikan kejayaan masa lalu dengan membawa masa
lalu ke masa kini.

8

Berdasarkan cara pandang lain yang diilhami oleh
pemikiran kebudayaan Soedjatmoko (Oahlan, ed.: 2001), salah.
satu cendikiawan besar yang pernah dimiliki Indonesia, kondisi
di atas sebenarnya terjadi karena pemahaman terhadap apa
yang dimaksud dengan kearifan lokal bersifat ahistoris, tidak
memperhatikan konteks waktu dan kondisi yang melingkuprnya,
ketika konsep itu dimunculkan atau menjadi kebutuhan masyarakat. Makna kearifan lokal yang dikenal saat ini telah bergeser
dari kearifan budaya dalam arti luas yang terdapat dalam satu
lingkungan masyarakat pendukungnya tanpa terikat pada
batas-batas primordial, menjadi kearifan etnik yang bersifat
ekslusif dan hanya berlaku pada satu lingkup tertentu yang
terbatas. Oi dalam konteks kearifan etnik itu, konsep keaslian
dan kemurnian kebudayaan yang mengingkari keberadaan
elemen luar menjadi inti persoalan. Penyempitan makna ini
mengakibatkan hadirnya berbagai paradoks, sehingga sampai
batas tertentu bertentangan dengan kearifan-kearifan pada
ruang sosial yang lain. Pada,hal,sebuah kearifan budaya hanya
akan berfungsi dengan baik, bila memiliki kualifikasi historis
yang mampu bersinergi dengan unsur-unsur yang lain, bukan
menimbulkan ketegangan yang bermuara pada pertentangan
dan penyimpangan yang menjauh dari makna kearifan itu
sendiri.
Dleh karena itu tidak mengherankan di dalam kearifan
lokal yang dipahami saat ini cenderung tidak mengandung
muatan yang dapat dikategorikan sebagai "kearifan bangsa",
yang merupakan ekspresi simbolik hasil rajutan atas beragam
elemen baik yang berasal dari dalam maupun luar untuk
membentuk identitas bersama sebagai sebuah bangsa.
Padahal Indonesia sebagai sebuah entitas dan identitas baru
yang terbentuk pada awal abad ke-20, secara historis di
dalamnya telah bersemi kearifan-kearifan budaya sebagai
representasi dari keindonesiaan. Beberapa di antara kearifan
bangsa itu antara lain, digunakannya bahasa Melayu sebagai

9

elemen inti bahasa nasional, formalisasi konsep bhinneka
tunggal ika, dan tidak boleh dilupakan Pancasila itu sendiri.
Berbeda dengan pendapat yang berkembang selama ini, tiga
hal di atas sebenarnya bukan sekedar produk politik melainkan
hasil proses historis dari kearifan budaya itu sendiri.
Dalam pandangan yang optimis, berbagai fenomena
penyimpangan itu lebih merupakan produk dari "budaya biang
kerok" di pusat-pusat kekuasaan yang gagaI beradaptasi
dengan budaya perkotaan, modernitas, dan jiwa zamannya
dalam proses transformasi budaya. Mereka tercerabut dari akar
historisnya, dan juga tidak mampu ikut serta dalam ruang
peradaban dunia untuk memajukan dan mensejahterakan
masyarakat. Akan tetapi, pada dasarnya masih ada Indonesia
lain di luar fenomena-fenomena di atas, yang di dalamnya
terdapat mereka yang tetap setia pada kearifan budaya dalam
mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan Indonesia, dengan
menolak untuk mengikuti arus pembusukan yang terus terjadi.
Kearifan budaya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dari kecerdasan budaya, yang melihat perubahan bukan
sebagai musuh melainkan kesempatan untuk selalu ikut serta
dalam proses sejarah peradaban dunia dari waktu ke waktu.
Sebagai sesuatu yang muncul dari pengalaman dan tacid
knowledge masyarakat, kearifan budaya bersifat tidak statis
dan terus dievaluasi. Keberadaan data baru dan informasi baru,
dapat merubah algoritma berpikir bangsa menuju kejayaan.
Para hadirin yang mulia,
Menurut tradisi ilmiah lama yang sangat dipengaruhi oleh
cara berpikir para orientalis, kebudayaan yang berkembang di
berbagai kelompok masyarakat di Indonesia digambarkan
sebagai sesuatu yang tidak memiliki dasar sosial dan historis
yang jelas dalam kehidupan nyata masyarakatnya, dengan
tingkat relevansi yang rendah bagi kekinian dan masa depan,
karena terjebak dalam irasionalitas dan romantisme masa lalu.

10

Cara pandang ini tentu saja mengingkari cakupan dari
kebudayaan itu sendiri "sebagai dimensi simbolik dan ekspresif
kehidupan sosial", seperti yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo
(Kuntowijoyo: 2003), salah satu guru besar dan sekaligus
budayawan ternama yang pernah dimiliki UGM. Berbeda
dengan pendapat yang lain, Kuntowijoyo merasa tidak perlu
membedakan secara tegas antara kebudayaan dan peradaban
karena pada kenyataannya seluruh "produk estetik dan
intelektual hanyalah ekspresi dari kegiatan-kegiatan sosial"
yang menjadi dasar terbentuknya baik peradaban maupun
kebudayaan. Jika kata kebudayaan dan peradaban tetap ingin
dibedakan, maka cara berpikir Taufik Abdullah tentang
hubungan antara peradaban dunia dan kebudayaan nasional
Indonesia dapat membantu untuk mempertemukan kembali
keduanya. Menurut guru besar UGM dan mantan Ketua
Lembaga IImu Pengetahuan Indonesia ini, secara historis
kebudayaan dan masyarakat yang hidup di Indonesia sejak
dulu sampai saat ini menjadi bagian yang tidak pernah
terpisahkan dari peradaban dunia. Kebudayaan Indonesia ada
di dalam peradaban dunia. Menurut Taufik Abdullah, kelahiran
bangsa Indonesia dan kebudayaan nasional yang menyertainya
merupakan hasil "keterlibatan dalam pergaulan dari berbagai
kebudayaan dan masyarakat yang hidup di kepulauan Indonesia dalam peradaban dunia" sepanjang proses sejarahnya
(Abdullah: 2010).
Berdasarkan kajian terhadap beberapa pemikiran
historiografis yang berkembang dalam tradisi Jawa dan Melayu
seperti karya-karya Pakubuwono VI, Hamengku Buwono II, dan
Raja Ali Haji dari abad ke-19 membuktikan, pemikiran budaya
visioner yang berorientasi pada kekinian dan masa depan
tanpa tercerabut dari masa lalunya merupakan salah satu
tradisi penting yang telah lama berkembang dalam masyarakat
di Nusantara. Meminjam istilah ilmuan dari Amerika Serikat
Nancy K. Florida yang banyak meneliti tentang kebudayaan

11

Jawa, tradisi historiografis "menyurat yang silam menggurat
yang menjelang" writing the past inscribing the future (Florida:
2003) merupakan kebudayaan yang berkembang luas di dalam
masyarakat Indonesia terdahulu, ketika mereka memaknai
masa lalu untuk kehidupan kekinian dan masa depannya di
tengah-tengah perubahan yang sedang terjadi. Sejarah
merupakan roh dan cahaya, yang memberi pancaran terang
untuk berjalan dan meneruskan langkah ke depan, bukan ruang
gelap di mana orang harus kembali. Oleh karena itu, sejarah
selalu ber~erak maju di masa kini menuju masa depan, dan
hanya meninggalkan jejak di masa lampau.
Bagi tiga intelektual di atas yang juga berperan sebagai
elite politik pada masanya itu, sejarah tidak dipahami sebagai
antikuarian, yang hanya berfungsi sebagai alat pembenaran
terhadap masa lalu yang telah dilalui. Sejarah pada dasarnya
adalah kaca untuk bercermin, yang refleksinya menjadi dasar
untuk hidup di masa kini dan merancang masa depan yang
diinginkan. Sama seperti yang dilakukan oleh Pakubuwono V1
dari Kasunanan Surakarta dalam Babad Jaka Tingkir dan
Hamengku Buwono II dari Kasultanan Yogyakarta dalam Serat
Surya Raja yang dibesarkan dalam tradisi Jawa dan sinkritis,

Raja Ali Haji bin RajaAhmaddalam Tuhfatal-Nafisdan karya- '
karya lainnya yang mengacu pada tradisi budaya Melayu dan
Islam, di dalam tulisannya lebih banyak menghadirkan cita-cita
bagi masa depan daripada mengagungkan atau membenarkan
tindakan yang dilakukan para pendahulunya di masa lalu
(Andaya & Matheson: 1983; Florida: 2003; Purwanto: 2002).
Walaupun Raja Ali Haji secara tegas menolak budaya Barat
karena dianggap mengancam eksistensi kemelayuan dan
keislaman masyarakatnya, cendikiawan dari Pulau Penyengat
Riau ini merespon keadaan itu dengan langkah-Iangkah yang
dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang "modern" juga,
dengan menjadikan akal dan ilmu sebagai dasar perlawanannya terhadap proses pembaratan.

12

Menurut hasil penelitian Barbara Watson Andaya dan
Virginia Matheson, Raja Ali Haji yang lahir. sekitar pada tahun
1809 ini secara terang-terangan mendukung pendapat alGhazali yang menyatakan "kekuasaan pena lebih berkuasa
daripada seribu 'pedang" (Andaya & Matheson: 1983). Sebagai
reaksi terhadap penggunaan bahasa Inggris yang semakin luas
di kalangan elite dan generasi muda Melayu sebagai contoh,
Raja Ali Haji menegaskan tentang arti penting untuk menulis
sendiri buku tata bahasa Arab dan Melayu yang sistematik dan
kemudian menerbitkannya. Hal itu ia lakukan, agar masyarakat
dapat berbahasa dengan baik dan memahami dengan mudah
serta benar kandungan berbagai ajar~n di dalam kitab-kitab
yang ada, sehingga dapat memperkuat kemelayuan dan
keislaman mereka. Berbekal ilmu dan akallah, Raja Ali Haji
berhasil membangun kebinekaan yang damai di Riau, dan
sekaligus mengakhiri permusuhan antara orang Melayu dan
Bugis yang telah bersifat laten pada saat itu.
Berbeda dengan pendapat yang cenderung menekankan
pada sifat-sifat mesianistik yang dominan dalam tindakan
budaya masyarakat Indonesia pada masa kolonial, kenyataankenyataan di atas menunjukkan bahwa masyarakat sejak
dahulu tidak selalu berpikir tentang bantuan kekuatan yang
berpusat pada kerinduan pada masa lalu untuk mewujudkan
cita-cita mereka akan masa depan yang gemilang. Menunggu
kedatangan ratu adil tidak selalu menjadi pilihan budaya, ketika
masyarakat berhadapan dengan berbagai perubahan yang
terjadi. Bahkan jauh sebelum itu di akhir abad ke-16 dan awal
abad ke-17, Karaeng Matoaya dan Pattingalloang yang berasal
dari keluarga bangsawan Tallo di Sulawesi Selatan sebagai
CO!1toh,telah berinteraksi dengan ilmu pengetahuan "modern"
untuk menghasilkan apa yang disebut sejarawan Anthony Reid
sebagai "kombinasi yang luar biasa dari keunggulan intelektual
dan kearifan politik" (Reid: 1999). Mattoaya dan Pattingalloang
memanfaatan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi

13

untuk mempertemukan berbagai keberagaman sosio-kultural
dan politik yang ada di Sulawesi Selatan, sehingga terjadi
transformasi budaya di dalam masyarakat di wilayah itu.
Hasilnya, dua tokoh itu mampu membangun kebesaran dan
kemakmuran Makassar sebagai pusat perdagangan, politik,
dan Islam, yang merupakan wujud dari kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat pada masanya.
Ibu, bapak, dan seluruh hadirin yang terhormat,
Dalam dinamika sejarah masyarakat Indonesia, kebudayaan seperti di atas terus direproduksi dari masa ke masa. Cara
berpikir serupa ternyata terus tertanam di dalam masyarakat
ratusan tahun kemudian, ketika kesadaran kebangsaan
Indonesia tumbuh dan berkembang pada awal abad ke-20.
Para aktivis pergerakan nasional Indonesia sejak awal
menyadari betul bahwa Indonesia yang mereka cita-citakan
merupakan produk dari rajutan kebhinekaan berbasis kearifan
budaya, yang menurut Soedjatmoko merupakan perwujudan
dari kesadaran tentang masa lalu, kebebasan untuk
menentukan masa kini dan tanggung jawab terhadap masa
depan (Dahlan, ed.: 2001). Sebagai kelompok elite baru, para
perintis itu menyadari betul bahwa pada satu sisi keberadaan
mereka merupakan hasil dari proses modernisasi yang tidak
bisa dipisahkan dari proses pembaratan yang semakin dalam
dan luas terhadap kehidupan kekinian masyarakatnya,
terutama di perkotaan. Sementara itu di sisi yang lain,
keberadaan mereka juga tidak dapat dipisahkan dari akar
budaya yang telah lama melekat dari generasi ke generasi
pada masyarakat di mana mereka berasal dan tanggung jawab
serta peran yang akan mereka jalani di masa depan.
Cara berpikir itulah yang menurut Soedjatmoko telah
menghasilkan sebuah generasi yang "menyadari bahwa dalam
revolusi 1945 kita sebagai sebuah bangsa telah menerima

14

untuk selama-Iamanya tanggung jawab sepenuhnya atas hari
depan kita sendiri" (Dahlan, ed.: 2001). Generasi yang sadar
akan kesejarahannya, yaitu mereka yang pada kekiniannya ikut
serta dalam proses sejarah dengan cara menentukan nasib
masa depan bangsanya tanpa kehilangan kesadaran atas
masa lampaunya. Sebuah generasi yang dapat membangun
ketidakcanggungan terhadap nilai-nilai baru, namun pada saat
yang sama tidak terasing dari nilai-nilai tradisi lama dan
masyarakatnya. Mereka mewakili sebuah generasi yang juga
memaknai keberagaman itu sebagai potensi budaya, yang
mampu menempatkan Indonesia sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari peradaban dunia. Tanggung jawab dan
kepedulian terhadap masyarakat menjadi kata kunci dan
sekaligus roh, yang mendasari dan selalu mengiringi setiap
laogkah mereka.
Generasi yang mewarisi w8wasan kebudayaan yang luas
inilah yang mendirikan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada
tahun 1949 di Yogyakarta, yang pada waktu itu berstatus
sebagai ibu kota Republik Indonesia (RI) (Purwanto et. al.:
1999). Penggunaan nama Universitas Gadjah Mada tidak
hanya sekedar kelanjutan dari nama Balai Perguruan Tinggi
Gadjah Mada yang telah didirikan sebelumnya pada tahun
1946, melainkan berhubungan erat dengan semangat
kebangsaan Indonesia yang diilhami oleh cita-cita mahapatih
Gajah Mada dari Majapahit di abad ke-14 yang ingin
mempersatukan Nusantara. Bagi para pendiri UGM, cita-cita
mempersatukan Nusantara itu tidak lagi dipahami secara politis
melainkan wujud dari tanggung jawab dan kepedulian budaya.
Melalui dasar berpikir yang baru ini, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan ditempatkan sebagai unsur utama. Oleh karena itu
para pendiri UGM melakukan reinterpretasi atas cita-cita
sebelumnya, dalam merumuskan strategi yang akan dilakukan
untuk mewujudkan kesatuan Nusantara itu. Berbeda dengan
strategi masa lalu yang menekankan pada perluasan-

15

penguasaan teritorial dan pengakuan politis, UGM menekankan
pada prinsip menerima mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk
mendapat pendidikan dan pengajaran tinggi agar mereka tidak
terpisahkan dari proses sejarah peradaban dunia. Setelah
menyelesaikan studi "sebagai manusia susila yang cakap", para
lulusan kemudian disebarluaskan ke seluruh Indonesia sebagai
pemimpin yang "mempunyai keinsyafan bertanggung jawab
tentang kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya dan
dunia umumnya" untuk "membangun,. memelihara dan
.mengembangkan hidup kemasyarakatan" berdasarkan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan (Sutaryo, ed.: 2010).
Di dalam dokumen yang dapat disebut sebagai statuta
pertama, UGM dinyatakan sebagai "balai nasional ilmu
pengetahuan dan kebudayaan bagi pendidikan dan pengajaran
tinggi" dan "bertugas atas dasar cita-cita Bangsa Indonesia
yang termaktub dalam Pancasila, kebudayaan kebangsaan
Indonesia seluruhnya" (Sutaryo, ed.: 2010). UGM tidak hanya
berfungsi sebagai knowledge producer melainkan juga
pembentuk kebudayaan nasional. Berbeda dengan perguruan
tinggi yang didirikan Belanda di Indonesia pada masa revolusi
yang hanya berlandaskan pada kebenaran ilmu dan kenyataan,
Sardjito yang merupakan rektor UGM pertama menyatakan
bahwa azas perikemanusiaan dan kebangsaan merupakan
dasar utama penyelenggaraan universitas yang dipimpinnya itu
(Sardjito: 1950), selain dua azas yang bersifat universal itu.
Pembentukan UGM tidakhanya bertujuan untuk menunjukkan
keberadaan Republik Indonesia. secara politik setelah
pendudukan Belanda atas ibu kotanya pada Desember 1948,
namun sekaligus untuk membuktikan adanya kesetaraan
budaya antara mereka yang dulu terjajah dengan penjajahnya.
Para pendiri UGM sampai batas tertentu, telah memposisikan
Indonesia tidak hanya sekedar sebagai ahli waris peradaban
dunia, melainkan bangsa yang mewariskan sesuatu bagi
peradaban dunia melalui keberadaannya. Hal itu secara

16

langsung mengisyaratkan, keberadaan sebuah strategi
kebudayaan yang didasarkan pada kesadaran kebangsaan
Indonesia merupakan sesuatu yang mutlak untuk dapat
membangun kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari tanggung jawab dan
kepedulian dalam proses perjalanan sejarah peradaban dunia.
Para hadirin yang mulia,
UGM pada dasarnya merupakan perwujudan simbolik dari
keindonesiaan itu sendiri, dan secara historis juga tidak dapat
dipisahkan dari status Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta
sebagai sebuah daerah istimewa merupakan produk dari
.

kearifan politik yang dibentuk oleh kearifan budaya dan
kecerdasan personal Sultan Hamengku Buwono IX, ketika
berhadapan dengan perubahan yang menghadirkan Indonesia
(Purwanto: 2011). Dengan kata lain, Keistimewaan Yogyakarta
merupakan wujud nyata dari pandangan visioner Sultan
Hamengku Buwono IX, sebagai bentuk dari sumbangan
kemerdekaan Indonesia bagi peradaban dunia. Sebagai
cendikiawan yang mampu mengolah informasi menjadi sistem
ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk menentukan arah
masa depan yang belum terjadi, weruh sak durunge winarah,
Sultan Hamengku Buwono IX telah menempatkan Indonesia
sebagai pusat dari masa depan Yogyakarta, baik sebagai
representasi politik maupun kebudayaan. Bagi Sultan
Hamengku Buwono IX, Keistimewaan Yogyakarta bukan
representasi sebuah entitas etnik melainkan representasi dari
keberagaman yang menandai keberadaan Indonesia sebagai
sebuah entitas dan identitas sebuah bangsa yang baru.
Meminjam analogi ilmu lingkungan, keberagaman akan jauh
lebih bermanfaat, sehat, dan tidak rentan ketika terjadi anomali
daripada sesuatu yang tunggal.
Seperti UGM, Keistimewaan Yogyakarta juga berdiri di
atas fondasi rajutan keberagaman, dan dibayangkan terus

17

peduli serta bertanggung jawab atas keberagaman di masa
depan, seperti yang juga menandai keberadaan Indonesia.
Oleh sebab itu, keberadaan pusat kegiatan UGM di dalam
lingkungan Kraton Kasultanan Yogyakarta sejak awal
keberadaan perguruan tinggi ini, dapat dipahami tidak hanya
sebagai sumbangan Sultan Hamengku Buwono IX secara
ekonomis dan politis, melainkan juga secara kultural. Sultan
Hamengku Buwono IX menjadi salah satu tokoh utama dalam
transformasi budaya di awal kemerdekaan, yang membentuk
. roh kebangsaan dan kebudayaan Indonesia. la mendekonstruksi paradigma berpikir lama yang berpusat pada kejawaan
serta hubungan feodal yang monolitik, dan kemudian
memformulasi sebuah kerangka berpikir baru yang bertumpu
pada keindonesiaan dan hubungan yang demokratis dalam
rajutan keberagaman (Atmakusumah: 1982). Status sebagai
sebuah daerah istimewa merupakan transformasi budaya yang
historis, dari Yogyakarta lama yang Jawa menjadi Yogyakarta
yang identik dengan Indonesia, tanpa harus kehilangan jati- diri
esensial yang telah terbentuk di masa lalu. Oleh karena itu,
ketika muncul gerakan untuk mengembalikan kejayaan Jawa
dan tradisi kekuasaan politik lama atas Yogyakarta pada tahun
1950-an, Sultan Hamengku Buwono IX dengan tegas menolaknya (Suwarno: 1994).
Berdasarkan cara pandang Sultan Hamengku Buwono IX
di atas, tidak berlebihan dikatakan bahwa UGM dan Keistimewaan Yogyakarta merupakan dwitunggal dari keindonesiaan
dan sekaligus wujud dari tanggung jawab atas masa depan dan
partisipasi langsung dalam proses sejarah bangsa dan
peradaban dunia tanpa kehilangan jati diri yang terbentuk di
masa lalu. Ketika muncul usul baik dari dalam maupun luar
negeri untuk memindahkan UGM ke Jakarta sebagai ibu kota
Republik Indonesia Serikat (RIS), para pendukung Republik
Indonesia yang masih berpusat di Yogyakarta serta-merta
menolaknya. Hal itu berkaitan erat dengan prinsip dasar yang

18

diyakini, UGM bukan semata-mata sebuah institusi pendidikan
dan pengajaran tinggi melainkan dimensi ekspresif dan simbolik
dari nasionalisme Indonesia, yaitu kebudayaan yang menemukan tempat bersemi yang terbaik di Yogyakarta. Menurut
para pendukung RI, keberadaan RIS tidak dapat mewakili jiwa
kebangsaan Indonesia dalam arti yang sebenarnya karena
masih mengandung elemen-elemen kolonial. Berbeda dengan
Jakarta sebagai ibu kota RIS, Yogyakarta dengan status keistimewaannya di bawah pimpinan Sultan Hamengku Buwono IX,
merupakan ibu kota bagi semangat nasionalisme Indonesia
yang sebenarnya, dari bangsa yang telah menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Majelis Dies yang mulia,
Nilai ke-UGM-an atau biasa disebut nilai kegadjahmadaan
pada dasarnya adalah semangat kebangsaan Indonesia.
Semangat kepedulian dan tanggung jawab atas masa depan
bangsa, yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan untuk membangun kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat. Semangat yang merajut keberagaman menjadi
kekuatan budaya untuk selalu berpartisipasi dalam sejarah
peradaban dunia, tanpa harus kehilangan jati diri dari masa lalu
dan terasing dalam kekinian. Semangat yang memposisikan
ideologi negara Pancasila sebagai kebudayaan, yang secara
historis menjadikan UGM sebagai salah satu simpul dari
pusaka kebinekaan dan kepedulian yang menempatkan
kepentingan nasionallndonesia sebagai yang utama.
Keberlanjutan kemanfaatan sema~gat itu sangat tergantung pada pilihan strategi dalam menentukan arah masa depan,
politik atau kebudayaan. Jika kebudayaan yang dipilih,
persoalan yang melilit Papua merupakan salah satu contoh
yang pantas dihadirkan di sini. Dalam perspektif historis
kebudayaan, bukan Papua yang harus mengerti Indonesia

19

melainkan elite Jakarta yang harus menyadari bahwa Papua
sudah lama menjadi bagian. yang tidak terpisahkan dari
Indonesia. Ketidakmampuan menyadari itulah yang mengakibatkan Papua selama ini ditempatkan sebagai sesuatu yang
berjarak dengan Indonesia, yang akhirnya bermuara pada
diskriminasi dan pembiaran yang berakibat pada terciptanya
konflik panjang yang seakan-akan tanpa batas dan
mematahkan jiwa (Suryawan: 2012). Mengikuti cara berpikir
berlandaskan sejarah dan kebudayan dari Daron Acemoglu dan
James A. Robinson dalam memahami kegagalan sebuah
bangsa, maka kemiskinan dan patahnya jiwa Papua dapat
dijelaskan karena dipimpin oleh "para elite berpikiran sempit
yang mengelola masyarakat untuk keuntungan diri mereka
berdasarkan pengorbanan orang banyak. Kekuasaan politik
hanya terkonsentrasi pada segelintir orang, yang kemudian
menggunakannya untuk mendapatkan kekayaan yang sebanyak-banyaknya hanya untuk dirinya sendiri" (Acemoglu &
Robinson: 2012). Dengan semangat merajut kebhinekaan bagi
kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia sebagai
perwujudan dan kearifan budaya, alangkah membahagiakan
jika diambil sebuah langkah transformatif secara budaya yang
mempresentasikan tubuh dan wajah manusia Papua sebagai
sesuatu yang identik atau merepresentasi juga tubuh dan wajah
manusia Indonesia secara simbolik. Karena Papua adalah
tubuh dan wajah Indonesia, maka dalam perspektif budaya
kemiskinan dan kegagalan Papua seharusnya dimaknai
sebagai cermin dari kemiskinan dan kegagalan Indonesia itu
sendiri.
Kebahagiaan itu akan menjadi semakin lengkap jika status
Yogyakarta sebagai daerah istimewa yang merupakan satu
kesatuan dengan keberadaan UGM, diwujudkan berdasarkan
cita-cita Sultan Hamengku Buwono IX yang telah mentransformasikannya secara kultural menjadi Indonesia. Di masa
revolusi, dari perbukitan Menoreh di Kulon Progo di mana A.H.

20

Nasution sebagai salah satu pimpinan perjuangan kemerdekaan Indonesia, setiap malam menyiarkan berbagai informasi
dari radio dengan baterai yang diisi ulang dengan cara
memutar pedal sepeda seharian. Hasilnya, keutuhan Indonesia
dapat terus dirangkai, kemerdekaan dapat dipertahankan, dan
Indonesia dapat mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa
lain yang ada di dunia baik secara politik maupun kultural.
Sekarang, media jejaring sosial dapat menyebarluaskan
informasi secara cepat dan massal melewati batas-batas ruang
dan waktu, hampir-hampir tanpa kendala teknologis. Oari
Yogyakarta dan UGM yang mewarisi pusaka kearifan dan
kecerdasan budaya, kecanggihan teknologi
informasi
seharusnya membuat rajutan kebinekaan itu menjadi semakin
halus, kemajuan serta kesejahteraan bangsa menjadi lebih
cepat tercapai dan terjamin keberlanjutannya. Hasilnya,
Indonesia tetap menjadi bangsa yang selalu bertanggung jawab
menentukan sendiri masa 'depannya, dan sekaligus selalu ikut
serta dalam proses sejarah peradaban dunia dengan memanfaatkan akal, ilmu, dan nurani, sebagai kebudayaan yang dapat
diwariskan dari generasi ke generasi. Semogai.
Terima kasih dan selamat siang
Wassalammu'alaikum warakhmatullahi wabarakaatuh

i

Ucapan terima kasih disampaikankepada semua pihak baik di dalam
maupun luar UGM yang telah membantu penyusunan naskah ini, dan
permohonan maaf karena tidak semua dari mereka dapat disebutkan satu
persatu dalam naskah ini. Terima kasih pertama-tama disampaikan
kepada Majelis Guru Besar UGM, terutama Ketua serta Sekretaris MGB,
dan para anggota komisi-komisi di Badan Pekerja MGB yang sejak awal
telah memberi hispirasi dan komentar atas naskah ini. Terima kasih yang
sarna juga ditujukan kepada Rektor UGM, yang telah mempercayakan
penyusunan naskah ini kepada tim, termasuk memberi masukan yang
sangat bermanfaat bagi terwujudnya tulisan ini.

21
Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik, 2010, "Ke arah Pemahaman Pasal 32 UUD 1945",
Endang Sri Hardiati & Rr. Triwurjani, eds., Pentas IImu di
Ranah Budaya. Sembilan Windu Prof. Dr. Edi Sedyawati.
Denpasar: Pustaka Larasan.
Acemoglu, Daron & James A. Robinson, 2012, Why Nations Fails.
The Origins of Power, Prosperity, and Poverty. London: Profile
Books.
Andaya, Barbara Watson & Virginia Matheson, 1983, "Pikiran Islam
d.anTradisi Melayu. Tulisan Raja Ali Haji dari Riau (ca.1809-ca.
1870)", Anthony Reid & David Marr, eds., Oari Raja Ali Haji
Hingga Hamka. Indonesia dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti
Pers.
Atmakusumah, ed., 1982, Tahta untuk Rakyat. Ce/ah-ce/ah
Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: Gramedia.
Dahlan, Muhidin M., ed., 2001, Soedjatmoko Kebudayaan Sosialis.
Jakarta: Melibas.
Florida, Nancy K., 2003, Menyurat yang Silam Menggurat yang
Menje/ang. Sejarah Sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial.
Yogyakarta: Bentang.
Harrison, Lawrence E. & Samuel P. Huntington, ed., 2011,
Kebangkitan Peran Budaya. Bagaimana Nilai-nilai Membentuk
Kemajuan Manusia. Jakarta: LP3ES.
Hatla, Mohammad, 1933, "Pemuda dalam Krisis", Oaulat Rakjat, No.
7, tanggal 30 Oktober.
Kayam, Umar, 1989, "Transfbrmasi Budaya", Pidato pengukuhan
jabatan guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Kuntowijoyo, 2003, "Sejarah Kebudayaan", Ku,ntowijoyo Metodologi
Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mas'oed, M. Mohtar et. al., 2011, "Untuk Apa Negara? Renungan
Akhir Tahun tentang Tanggung Jawab Penyelenggaraan
Layanan Publik", Pidato disampaikan pada rapat terbuka dalam
rangka peringatan dies natalis ke-62 Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Purwanto, Bambang, 2002 "Kanjeng Kyai Surya Raja: Beberapa
Catatan Awal Historiografis", Tashadi et. al., eds, Kanjeng Kyai
Surya Raja. Kitab Pusaka Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

22
Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia & lAIN
Sunan Kalijaga.
Purwanto, Bambang, 2011, "The Embodiment of the Nation:
Hamengkubuwono IX and the Cultural Past of the Indonesian
Nation, 1945-1970s", paper presented to a conference on
"Sites, Bodies and Stories. Indonesia, India and (Post) Colonial
Heritage Formation" organized by Department of History
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Insitut Sejarah Indonesia
and Vrije Universiteit Amsterdam.
Purwanto, Bambang et. al., 1999, Dari Revolusi ke Reformasi.
50 Tahun Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: UGM.
Reid, Anthony, 1999, "A Great Seventeenth Century Indonesian
Family: Matoaya and Pattingalloang of Makasar", Anthony Reid,
Charting The Shape of Early Modern Southeast Asia. Chiang
Mai: Silkworm Books.
Sardjito, 1950, "Tugas dari Universiteit dalam Pembangunan Negara
dan Masjarakat Indonesia", 10 Inte/egensia Tentang
Pembangunan Masjarakat dan Negara Republik Indonesia.
Jogjakarta: Usaha Penerbitan Indonesia NV.
Suryawan, I Ngurah, 2012, Jiwa yang Patah. Yogyakarta: Kepel
Press.
Sutaryo, ed., 2010, Statuta dan Peraturan Penyelenggaraan
Universitas Gadjah Mada 1949-2010. Yogyakarta: PSP Press.
Suwarno, P.J., 1994, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi
Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 Sebuah Tinjauan
Historis. Yogyakarta: Kanisius.

23
Tim Penyusun:
Prof. Dr. Bambang Purwanto
Faku/tas IImu Budaya Universitas Gadjah Mada
Prof. Dr. Jazi Eko Istiyanto, M.Sc.
Faku/tas Matematika dan IImu Pengetahuan A/am
Universitas Gadjah Mada
Ora. Sri Hartati, M.Sc., Ph.D.
Faku/tas Matematika dan IImu Pengetahuan A/am
Universitas Gadjah Mada
Ir. Lukito Edi Nugroho, M.Sc., Ph.D.
Faku/tas Teknik Universitas Gadjah Mada