TINJAUAN RELEVANSI PENERAPAN PASAL 284 K

TINJAUAN RELEVANSI PENERAPAN PASAL 284 KITAB UNDANGUNDANG HUKUM PIDANA PADA MASYARAKAT DI JAWA
Oleh: Henu Astantya

Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, maka negara
berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara
terencana, terpadu dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang
menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat dilihat betapa pentingnya suatu konsep negara hukum
dalam rangka mencapai tujuan negara. Konsep negara hukum sendiri sebenarnya
sebuah konsep yang mengalami banyak perdebatan dan dinamika yang panjang
dalam perdebatannya mengenai negara dan kekuasaan.
Menurut Prof, Dr. Wirjono Projadikoro, S.H. bahwa penggabungan katakata “Negara dan Hukum” yaitu Istilah “Negara Hukum”, yang berarti suatu
negara yang di dalam wilayahnya:
1.

semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan
dari pemerintah dalam tindakan-tindakannya baik terhadap warga negara
maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenangwenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang
berlaku, dan


2.

semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturanperaturan hukum yang berlaku2
Salah satu cerminan dari suatu negara hukum adalah terwujudnya

kehidupan ketatanegaraan dan sistem pemerintahan yang selalu berdasarkan atas
hukum untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari pihak pemerintah yang

1

Konsiderans huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
2
Abdul Aziz hakim. Negara Hukum dan Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.2015. hlm 9.

1

absolut dan tindakan sewenang-wenang rakyat menurut kehendaknya sendiri yang
anarkhis.

Sistem adat dalam masyarakat merupakan beberapa faktor yang memiliki
pengaruh yang kuat dalam menjamin apakah suatu ketentuan perundangundangan dapat dilaksanakan/diterapkan atau tidak. Dalam masyarakat Indonesia,
hukum nasional bersandingan dengan hukum adat yang berlaku di masyarakat,
bahkan tidak jarang dalam penyelesaian permasalahan hukum pidana, masyarakat
adat lebih cenderung mengunakan hukum pidana adat sebagai penyelesai
permasalahan, contohnya di Sumatera Barat bahwa hukum pidana adat masih di
gunakan oleh masyarakat dalam menyelesaikan tindak pidana perzinaan. Adatistiadat dijadikan pedoman dan materi norma dalam mengatur hubungan hukum di
masyarakat adat, hal tersebut dikarenakan adat mempunyai akar nilai yang kuat
terhadap tingkah laku, sistem sosial dan pola budaya masyarakat.
Menurut pendapat penulis, partisipasi masyarakat menjadi sangat penting
dalam pembentukan suatu produk hukum. Hal tersebut dikarenakan pada
prinsipnya produk hukum adalah kebutuhan masyarakat dengan pemerintah
sebagai fasilitator dalam pembentukannya, sehingga produk hukum yang baik
salah satu indikatornya adalah produk hukum yang dapat menjawab kebutuhan
dari masyarakat dan bukan semata-mata merupakan kehendak dari penguasa.
Selain itu dengan adanya partisipasi masyarakat diharapkan bahwa nilai-nilai yang
ada di dalam masyarakat dapat menjadi unsur dalam pembentukan suatu produk
hukum sehingga produk hukum dapat dilaksanakan atau diterapkan.
Tindak pidana perzinahan (overspel) digolongkan sebagai salah satu
kejahatan terhadap kesusilaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana penjara paling
lama sembilan bulan. Perzinahan sebagaimana diatur dalam KUHP

memliki

batasan:
1. a.

Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal
diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata (asas monogami) berlaku baginya;

b.

Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal
diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata (asas monogami) berlaku baginya.

2. a.

Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;


b. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan
Pasal 27 KUH Perdata (asas monogami) berlaku baginya.
Definisi zina dalam agama Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas
masyarakat jawa diartikan secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji.
Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki
dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan
perkawinan. Para fuqaha (ahli hukum Islam) mengartikan zina, yaitu melakukan
hubungan seksual dalam arti memasukkan zakar (kelamin Pria) kedalam vagina
wanita yang dinyatakan haram, bukan karena syubhat, dan atas dasar syahwat.3
Adanya perbedaan pemahaman antara KUHP dan hukum islam yang
berlaku di masyarakat tentang perzinahan, dan perzinahan yang terjadi di
kalangan masyarakat baik yang ada di pedesaan maupun di perkotaan apapun
bentuknya sebenarnya merupakan fenomena sosial dalam kategori permasalahan
hukum pidana, namun karena keukurangpahaman masyarakat dan resiko sanksi
yang bersumber dari nilai-nilai sosial dan budaya di masyarakat sehingga
menjadikan tindak pidana perzinahan untuk tetap dijadikan perkara privasi
masing-masing rumah tangga.
Permasalahan-permasalahan tersebut, lebih lanjut membuat pengaturan

tindak pidana perzinahan sedikit sulit untuk diterapkan di masyarakat terutama
pulau jawa karena pengaturan tindak pidana perzinahan yang merupakan warisan
penjajahan belanda tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Kemudian bagaimana tingkat efektivitas penerapan Pasal 284 KUHP yang
mengatur tentang Tindak Pidana perzinahan, untuk memperoleh jawaban atas
permasalahan tersebut, penulis akan mengambil rumusan masalah yang akan
dibahas lebih lanjut dalam makalah ini:
1.

Bagaimana pengaturan Pasal 284 KUHP yang mengatur tentang perzinahan
di Indonesia?

2.
3

Bagaimana Relevansi penerapan Pasal 284 KUHP y pada masyarakat Jawa?

H.Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 2007 hlm 37.

Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan dalam Pasal 284 KUHP

Seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang permasalahan,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia
hingga saat ini masih merupakan salah satu dari sekian ratus peraturan hukum
warisan kolonial Belanda. Indonesia tetap mempertahankan dan mengadopsi
peraturan hukum warisan Belanda ini serta mulai diberlakukan secara resmi
di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918 hingga sekarang.
Pada umumnya menurut Marasinghe, negara-negara yang telah
merdeka jarang mempertahankan sistem, tradisi dan teori-teori hukum yang
diwariskan oleh para penjajahnya, negara-negara ini akan selalu berusaha
mengganti sistem, tradisi dan teori-teori hukum yang ada dengan yang baru
yang dinilai paling sesuai. Perubahan memerlukan waktu yang cukup panjang
karena seringkali negara-negara tersebut masih mencari corak sistem hukum,
teori/aliran hukum yang sesuai sehingga dalam perjalanannya untuk
sementara diberlakukan sistem dan teori hukum yang berasal dari penjajah.4
KUHP warisan zaman Kolonial Belanda ini menganut sistem hukum
kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan the
Romano-Germanic Family. The Romano Germanic family ini dipengaruhi
oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme
(individualism, liberalism, and individual right). Hal ini sangat berbeda
dengan budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai

sosial dan adat. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku,
acap kali akan terjadi benturan nilai dan kepentingan yang muncul antara
masyarakat dan pemerintah.
Terkait dengan tindak pidana perzinahan, Pasal 284 KUHP
menyatakan bahwa:

4

Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta. Sinar Grafika. 2005, hlm 4.

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan :
1.
a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak
(overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata
(asas monogami) berlaku baginya;
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak,
padahal diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata (asas
monogami) berlaku baginya.
2.
a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu,

padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah
kawin;
b. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta
melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa
yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 KUH Perdata
(asas monogami) berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri
yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27
KUHPerdata, dalam tenggang waktu 3 bulan diikuti dengan
permintaan bercerai, atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu
juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73 dan 75 KUHP.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami/istri berlaku Pasal 27 KUH Perdata, pengaduan
tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena
perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan
tempat tidur menjadi tetap.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat kita lakukan analisis

bagaimana seseorang dapat dikatakan telah melakukan perzinahan yaitu
apabila telah memenuhi tiga kriteria yaitu:
a. melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suami
atau bukan istrinya;
b. bagi dirinya berlaku Pasal 27 KUHPerdata (asas monogami);
c. dirinya sedang berada dalam perkawinan.
Sedangkan untuk dapat dikatakan turut serta dalam tindak pidana
perzinahan yaitu apabila laki-laki atau perempuan yang melakukan zina itu
tidak berlaku Pasal 27 KUH Perdata sedangkan perempuan atau laki-laki
yang menjadi kawannya melakukan zina itu tunduk pada Pasal 27 KUH
Perdata dan diketahuinya bahwa laki-laki atau perempuan yang berzina itu
tunduk pada KUH Perdata, kualitasnya bukanlah melakukan kejahatan zina,

akan tetapi telah turut serta melakukan zina yang dibebani tanggung jawab
yang sama dengan si pembuat zina itu sendiri. 5
Sehingga dapat disimpulkan empat kriteria turut serta dalam tindak
pidana perzinahan adalah:
a. Melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan
suaminya atau bukan istrinya (Orang ini tidak harus telah menikah);
b. Dirinya tidak tunduk pada Pasal 27 KUH Perdata;

c. Temannya yang melakukan persetubuhan itu tunduk pada Pasal 27 KUH
Perdata.
d. Diketahuinya (unsur kesalahan: kesengajaan) bahwa:
1) Temannya melakukan persetubuhan itu telah bersuami atau beristri,
2) Pasal 27 KUH Perdata berlaku bagi temannya bersetubuh itu.

Sehingga berdasarkan Pasal 284 KUHP, apabila baik laki-lakinya
maupun perempuannya tidak tunduk pada Pasal 27 KUH Perdata baik lakilakinya maupun perempuannya tidaklah melakukan tindak pidana perzinahan,
dengan demikian juga tidak ada yang berkualitas sebagai pembuat pesertanya.
Begitu juga apabila baik laki-lakinya maupun perempuannya tidak
sedang terikat perkawinan, artinya tidak sedang beristri atau tidak sedang
bersuami walaupun dirinya tunduk pada Pasal 27 KUH Perdata maka keduaduanya laki-laki atau perempuannya yang bersetubuh itu tidak melakukan
tindak pidana perzinahan maupun turut serta melakukan tindak pidana
perzinahan.
Pasal 27 KUH Perdata adalah mengenai asas monogami, di mana
dalam waktu yang bersamaan seorang laki-laki hanya boleh kawin dengan
satu istri, dan seorang perempuan hanya boleh dengan satu suami. Asas
monogami dalam perkawinan di Indonesia berlaku mutlak bagi istri, tetapi
tidak mutlak bagi suami. Asas monogami, dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, memiliki pengecualian, dimana pasal 3 ayat

(2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memberikan
ketentuan, bahwa pengadilan dapat memberi izin pada seorang suami untuk
5

Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

beristri lebih dari seorang (poligami) apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan dan istri mengizinkan untuk itu
Definisi bersetubuh diartikan “memasukkan kemaluan si pria ke
kemaluan wanita sedemikian rupa yang normaliter atau yang dapat
mengakibatkan kehamilan. Jika kemaluan si pria hanya “sekedar nempel” di
atas kemaluan si wanita, tidak dapat dipandang sebagai persetubuhan,
melainkan percabulan dalam arti sempit.6 R. Soesilo berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan bersetubuh adalah peraduan antara anggauta kemaluan lakilaki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi
anggota laki-laki harus masuk kedalam anggauta perempuan, sehingga
mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arrest Hoge Raad 5 Februari 1912
(W.9292).7 Apabila alat penis tidak sampai masuk ke dalam vagina walaupun
telah mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak sampai keluar sperma,
menurut pengertian bersetubuh seperti

itu, maka belumlah terjadi

persetubuhan. Namun, telah terjadi percobaan persetubuhan, dan menurut
ketentuan Pasal 53 KUHP telah dapat dipidana karena telah masuk percobaan
berzina, karena belum terpenuhinya syarat seperti tersebut di atas.
Latar belakang yang mendasari pengertian zina menurut Pasal 284
KUHP yang mensyaratkan laki-laki atau perempuan yang sedang terikat
perkawinan tersebut di atas adalah adanya anggapan orang Belanda bahwa
zina itu sebagai bentuk pengingkaran perkawinan. Hal tersebut berbeda
dengan hukum adat yang cenderung berlatar belakang pada penodaan nilainilai kesucian daripada persetubuhan.
Ancaman pidana yang ditetapkan dalam pasal 284 ayat (1) KUHP
adalah pidana penjara sembilan bulan, baik bagi pelaku yang telah menikah
maupun bagi orang yang turut serta melakukan perbuatan zina itu. Ketentuan
yang mengatur mengenai persaksian tidak diatur secara khusus dalam tindak
pidana perzinahan menurut KUHP. Maka tindak pidana perzinahan memiliki

6

SR. Sianturi, S,H,. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM
Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.231. Diakses dari https://parismanalush.blogspot.sg/2014/08/unsurpasal-285-kuhp-sd-pasal-289-kuhp.html pada tanggal 9 November 2016 pukul 09.00 WIB.
7
R.Soesilo (KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal), Politea Bogor,
Tahun 1996. Hal.211-209. Diakses dari https://parismanalush.blogspot.sg/2014/08/unsur-pasal285-kuhp-sd-pasal-289-kuhp.html pada tanggal 9 November 2016 pukul 09.00 WIB.

sistem pembuktian yang sama dengan sistem pembuktian delik-delik yang
lain. Artinya, alat bukti yang digunakan dalam membuktikan adanya
perbuatan zina sama seperti alat-alat bukti tindak pidana lain, yaitu8 :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Selanjutnya diatur pula bahwa keterangan seorang saksi saja cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
Hukum adat terhadap pelaku perzinahan dalam masyarakat Indonesia
terutama masyarakat adat masih berlaku, sebagai contoh masyarakat yang ada
di Desa Sumare, Kecamatan Simboro, Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat yang
pernah melakukan eksekusi terhadap warganya yang tertangkap tangan
sedang melakukan perzinahan dengan berdasarkan keputusan Tua-Tua Adat
menghukum para pelaku dengan membuang mereka ke laut lepas dan
disaksikan oleh warga desanya dengan sangat ramainya. Di Minangkabau
juga berlaku hukum mengisi adat bagi pelaku perzinahan. Mengisi adat yaitu
hukuman yang diputuskan dalam musyawarah adat berupa denda yang harus
dibayar oleh pelaku perzinahan. Sebelum denda tersebut dipenuhi, pelaku dan
keluarganya dikucilkan hingga mereka terasing dari dinamika sosial di
kampungnya. Mereka tidak dibawa soto (diikutsertakan) dalam setiap
kegiatan sosial masyarakat kampung. Setelah denda itu dicabut baru mereka
menjadi bagian dari masyarakat itu kembali.9
Penulis berpendapat hukuman-hukuman yang sudah terkonstruksi
dalam masyarakat adat di Indonesia tersebut sebenarnya merupakan bentuk
pencegahan dan penolakan terhadap ketidaksetiaan dan pengingkaran atas
ikrar baik kepada masing-masing pasangan, keluarga, masyarakat dan kepada

8

Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Silfia Hanani Ph.D. Panggung Sandiwara Perselingkuhan. Rifka Media. Yogyakarta. 2013. Hlm
14.

9

Tuhan yang diucapkan ketika pernikahan yang termanifestasi dalam nilainilai sosial.
Karena diawali oleh ketidakjujuran, maka perzinahan dilakukan
secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Peluang tindak pidana perzinahan
menjadi semakin besar apabila kontrol sosial yang ada dimasyarakat juga
semakin besar atau dengan kata lain semakin kecil kepedulian dan perhatian
masyarakat terhadap lingkungan sosialnya, maka akan semakin besar tingkat
terjadinya tindak pidana perzinahan. Kondisi sosial masyarakat perkotaan
yang semakin hari semakin kehilangan perhatian dan kehidupan bersosial,
kehilangan solidaritas sosial, kehilangan peran institusi dan seterusnya
ternyata memberikan kebebasan dalam ruang gerak individu untuk
melakukan tindakan-tindakan di luar batas norma yang berlaku.10
Lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat yang ada dipedesaan,
kasus-kasus perzinahan yang terjadi di desa tidak mudah untuk hilang pada
masyarakat desa. Masyarakat desa memiliki cara-cara adat dalam
menyelesaikan perzinahan dimana pada satu sisi sanksi sosial yang kuat
membuat para pelaku perzinahan untuk menutup-nutupi perzinahan mereka.
Mereka merasa takut bila warga mengetahui perzinahan mereka, karena acap
kali dalam masyarakat adat di Indonesia akan memantau dan tidak segansegan melakukan penggerebekan atas pelaku perzinahan. Belum lagi
pengucilan dalam kehidupan sosial dan lebih berat lagi berupa pengusiran
dari lingkungan sosial masyarakat. Belum lagi beban aib dan rasa malu yang
sangat, akan ditanggung oleh pihak keluarga pelaku perzinahan. Oleh karena
itu dalam masyarakat pedesaan yang memiliki sistem kultur sosialnya kuat,
mereka akan memendam permasalahan perzinahan yang dihadapi. Hal
tersebut tentunya menjadi kendala dalam penegakan hukum pidana terkait
tindak pidana perzinahan.

10

Ibid. Hlm. 16

Permasalahan

dalam

Penegakan

Tindak Pidana

Perzinahan

di

Masyarakat Jawa pada umumnya.
Konsep Hubungan Suami-Istri dalam Karakteristik Masyarakat Jawa
Dalam sub bab sebelumnya sudah diutarakan sedikit permasalahan
dalam penegakkan tindak pidana perzinahan, sehingga masyarakat yang
menjadi korban tindak pidana perzinahan seringnya lebih memilih untuk tetap
membuat permasalahan tindak pidana perzinahan berada dalam ranah
kehidupan pribadi mereka. Karena sifatnya sebagai delik aduan maka tindak
pidana perzinahan hanya dapat diproses dan memiliki sanksi serta akibat
hukum apabila sudah terdapat aduan dari suami/istri pelaku.
Di dalam masyarakat jawa perkawinan adalah salah satu upaya yang
dilakukan untuk membangun rumah tangga untuk mencapai kebahagiaan,
yang dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang dilakukan oleh orangorang yang normal sehingga apabila dalam masyarakat jawa jika terdapat
seorang laki-laki atau perempuan yang tidak kunjung menikah di usia yang
sudah sepantasnya menikah akan dianggap suatu hal yang tabu. Didalam
kehidupan pernikahan atau keluarga di masyarakat jawa dikenal dengan
istilah “tentrem bebrayan”. Menurut Ki Ageng Suryomentaram suami istri
akan mencapai tingkat tentrem atau bahagia hanya dengan tiga hal sederhana
bersenggama, berkeluarga, dan menikmati keindahan. Istilah tentrem
bebrayan jika dalam ilmu psikologi dikenal dengan istilah homeostatis11yang
didefinisikan sebagai konsep bertumbuh bersama pada tiap pasangan dan
keluarga. Suami tumbuh, istri tumbuh, dan anak-anak tumbuh menjadi diri
yang harmonis. Sehingga tercipta keluarga yang seimbang, karena sejati
pernikahan juga merupakan sebuah komitmen saling percaya untuk tumbuh
bersama. Dalam konteks keluarga homeostasis suatu proses internal yang
dilakukan oleh tiap-tiap anggota keluarga secara terus menerus untuk
menciptakan keharmonisan dan keseimbangan internal keluarga. Mekanisme

11

Ryan Sugiarto. Mimpi Bahagia dalam Berkeluarga. Rifka Media. Yogyakarta. 2013. Hlm 14.

homeostasis akan menjaga keluarga agar tetap seimbang peran sosialnya
ketika muncul perubahan-perubahan perilaku anggota keluarganya12.
Kondisi homeostatis atau tentrem bebrayan ini tidak semua pasangan
dan keluarga dapat mencapainya, salah satu kendalanya adalah pesoalan
kesetiaan yang merupakan permasalahan terbesar yang menghambat
pasangan suami istri atau keluarga mencapai keadaan tentrem bebrayan
dengan merusak kepercayaan dan komitmen awal ketika menikah dan
membentuk keluarga. Permasalahan kesetiaan ini pula menjadi salah satu
penyebab maraknya kasus perzinahan di masyarakat merusak kepercayaan
dalam kehidupan pasangan suami istri dan keluarga. Banyak persoalan yang
dapat memicu munculnya ketidaksetiaan suami atau istri dengan variabel
yang sangat luas, bisa karena permasalahan ekonomi, permasalahan keluarga,
permasalahan watak, permasalahan seksual, permasalahan dalam komunikasi,
dan lain-lain. Namun sebagian besar masalah perzinahan yang terjadi di
masyarakat akan lebih berdampak kepada wanita yang memiliki suami
sebagai pelaku dalam perzinahan. Banyak kaum istri yang memutuskan untuk
bercerai daripada harus hidup dalam tekanan batin dan berlarut-larut dalam
permasalahan tersebut, bahkan termasuk dalam kategori tindak kekerasan
secara psikis13.
Hal tersebut juga yang menjadi dasar sebagian besar mereka yang
menjadi korban atau suami/istri pelaku perzinahan terutama untuk kaum istri
tidak mempermasalahkan hal ini di pengadilan. Dalam konteks masyarakat
jawa,

keputusan yang diambil oleh kebanyakan istri pelaku perzinahan

adalah bagaimana cara seorang wanita jawa mengambil simbol jawa14 yang
menyebutkan simbolisasi peran dan sifat wanita berasal dari pemaknaan dari
keberadaan perempuan dalam masyarakat jawa itu sendiri. Perempuan dalam
masyarakat jawa lebih dikenal dengan sebutan wanito yang bersumber dari
anasir kata berani (wani) dan sengsara (topo).15

12

Ibid.
Ibid.
14
Christina S. Handayani – Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta : LkiS, 2004.
15
Ibid.
13

Dalam kehidupan keluarga Jawa tidak terdapat kesamaan kedudukan
antara suami dan isteri. Suami mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan
penting serta mempunyai kekuasaan yang lebih besar. Namun begitu isteri
juga mempunyai peranan penting bahkan dalam hal-hal tertentu lebih besar
dari peranan suami. Isteri mempunyai peranan yang lebih besar dalam
mengurus anak, demikian pula dalam hal mengendalikan perputaran roda perekonomian keluarga sehari-hari. Keadaan yang demikian ini lebih nampak di
desa-desa. Karena adanya perbedaan peran penting tersebut itu membiaskan
perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan.
Dalam hubungan antara suami dengan isteri, masyarakat jawa
mengenal tata-krama yang salah satu di antaranya dikenal dengan istilah sing
bekti marang laki. Dinamakan bekti jika isteri dapat melakukan tugasnya
yang baik sebagai isteri dalam hal melayani dan membantu kebutuhan suami.
Ada ucapan yang kiranya tidak hanya untuk isteri saja, yaitu agar
menghindari malu.16
Perbuatan apa saja yang menyebabkan malu harus dihindari, terutama
yang menyangkut hubungan antara suami dan isteri. Dalam hal ini
nampaknya memang berat sebelah yaitu membebani isteri semata-mata untuk
kepentingan suami, akan tetapi jika diperhatikan lebih seksama, sebenarnya
justru sangat menghargai isteri yaitu meletakkan isteri pada kedudukan
sedemikian rupa agar menjadi orang yang terhormat di dalam keluarga. Hal
ini

juga

merupakan

salah

satu

penyebab

istri

cenderung

tidak

mempermasalahkan tindakan perzinahan yang dilakukan oleh suaminya ke
hadapan hukum.
Masyarakat jawa cenderung bersifat patriarki, patriarki adalah
ideologi yang mengacu pada perbedaan gender yang menganggap bahwa lakilaki lebih unggul daripada perempuan.
Sebagai suatu sistem kekeluargaan, patriarki dapat didefinisikan
secara ringkas sebagai kekuasaan laki-laki, yang secara hubungan sosial lakilaki menguasai patriarkhi.17

16
17

Ibid.
Ryan Sugiarto, op. cit

Pada hakekatnya tugas semua isteri baik isteri seorang pejabat atau
bukan, yaitu membantu memperlancar dan memperingan tugas suaminya
sesuai dengan kemampuan masing-masing. Seorang isteri dikatakan berbakti
jika ia mematuhi semua nasihat, petunjuk, bahkan larangan dari suaminya.
Semuanya ini ia lakukan agar rumah tangga mereka dapat berjalan baik,
sejahtera, aman dan tenteram. Hal ini didasarkan atas paham masyarakat jawa
yang menginginkan bahwa isteri harus memiliki perasaan dan tingkah laku
yang lebih halus daripada suami.18
Perihal Pernikahan Siri
Fakta yang ada dalam perkembangan masyarakat jawa, pernikahan siri
sering menjadi solusi ketika seorang suami ingin menikah kembali.
Pernikahan siri secara umum merupakan suatu pernikahan yang dilakukan
secara sembunyi-sembunyi. Tidak dikabarkan pada orang lain, aiartkan tetapi
sah secara agama atau dengan kata lain pernikahan yang secara hukum islam
telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan namun tidak sah secara undangundang karena tidak dicatatkan kepada negara melalui pejabat urusan
perkawinan. Jika melihat dari sudut pandang hukum pidana maka pernikahan
siri yang dilakukan oleh mereka yang telah memiliki pasangan yang sah
adalah suatu tindak pidana perzinahan dan diancam berdasarkan Pasal 284
KUHP. Namun jika dilihat dari sudut pandang agama islam yang merupakan
agama yang memiliki pemeluk terbesar di pulau jawa, pernikahan siri adalah
sah hukumnya jika memenuhi persyaratan dan rukun nikah secara hukum
islam. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pun
memperbolehkan perkawinan poligami, hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 4
ayat 2 yang disebutkan bahwa alasan suami dapat berpoligami apabila istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, istri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat
melahirkan keturunan.

18

Heniy Astiyanto, Filsafat Jawa Menggali Butir-butir Kearifan Lokal, Yogyakarta : Warta
Pustaka, 2012, hlm. 3-4

Penegakan Hukum Pasal 284 KUHP
Kontroversi Pasal 284 KUHP yang disebabkan oleh perbedaan
perspektif, seharusnya ditanggapi dengan tidak memisahkan kondisi sosial
budaya yang ada di masyarakat, materi hukum dalam rangka pembentukan
produk hukum digali. Hukum mencerminkan nilai hidup yang ada dalam
masyarakat yang mempunyai kekuatan berlaku secara yuridis, sosiologis dan
filosofis.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya penegakan Pasal 284 KUHP
di masyarakat jawa mengalami permasalahan yang diantaranya disebabkan
oleh:
1. Pembuktian tindak pidana Perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP;
Dalam hukum pidana, maka tindak pidana perzinahan termasuk dalam
kategori tindak pidana formil dimana unsur-unsur pembentuk tindak
pidananya harus dibuktikan. Sehingga unsur-unsur untuk aduan delik
perzinahan harus dibuktikan termasuk juga persetubuhan yang menjadi
unsur pembentuk tindak pidana perzinahan. Berdasarkan penjelasan pada
sub bab sebelumnya tentunya membuktikan bahwa terjadi persetubuhan
hingga mengeluarkan air mani.
2. Mengadukan tindak pidana perzinahan tidak menyelesaikan permasalahan
dan tidak mengakomodir kepentingan non yuridis suami atau istri pelaku
berdasarkan konsep tentang nilai-nilai sosial dalam sudut pandang
masyarakat jawa seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kepentingan di
sini yang penulis maksudkan adalah sebagai contoh seorang istri, penulis
mengambil pihak istri karena memang secara fakta bila terjadi
permasalahan perceraian maka pihak wanita yang paling dirugikan.
Jika seorang istri mengadukan suaminya maka sang istri tersebut harus
melihat dirinya sendiri diuntungkan atau dirugikan. Berdasarkan
penjelasan sebelumnya tindak pidana tidak hanya perzinahan sebenarnya
adalah aib bagi keluarga. Sehingga apakah sang istri terutama dari sisi
batin sudah siap dengan menyandang aib tersebut melekat pada
keluarganya. Seandainya dengan mempermasalahkan tindak pidana
perzinahan ke ranah hukum pidana dan suaminya dijatuhi sanksi dan di

pecat, permasalahan selanjutnya sejauh mana kemandirian istri untuk
mengantisipasi akibat non yuridis meliputi perekonomian.
3. Masih adanya benturan kepentingan hukum antar ketentuan yang berlaku
terkait dengan pernikahan siri. Secara yuridis tersirat bahwa hukum pidana
tidak memperbolehkan pernikahan siri dan menganut asas monogami,
namun dalam hukum islam dan undang-undang perkawinan diperbolehkan
serta melegalkan asas poligami dalam perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 2007

Astiyanto, Heniy, Filsafat Jawa Menggali Butir-butir Kearifan Lokal,
Yogyakarta, Warta Pustaka, 2012
Aziz Hakim, Abdul. Negara Hukum dan Demokrasi. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 2015
Handayani, Christina S.– Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta,
2004.
Hanani, Silfia, Panggung Sandiwara Perselingkuhan. Rifka Media, Nomor 52
Periode Februari-April, Yogyakarta. 2013
Manan, Bagir, Dasar-dasar Perundang-undangan Di Indonesia, Ind Hill,
Jakarta, 1992
Muchsan, 2016, Materi Perkuliahan Politik Hukum, Magister Hukum
Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta. Sinar Grafika, 2005
Sianturi, SR, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHAEMPETEHAEM, Jakarta, cet.ke-2, 1989
Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007
Sugiarto, Ryan, Prinsip Relasi Hubungan Suami Istri, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007
Warrasih, Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah sosiologis, Penerbit
PT.Suryandaru Utama, 2005