PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN TRA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
TRANSAKSI ELEKTRONIK DI INDONESIA
Oleh: Yudha Sugama
Jl. Siliwangi Ksatrian Paspampres Rt3/4 no. 6 Bogor Selatan. Kota Bogor
Email: sugamayudha@yahoo.com
ABSTRAK
Seiring dengan perkembangan globalisasi, dunia perdagangan dan dunia
bisnis ikut berkembang dengan munculnya model transaksi bisnis dengan
teknologi tinggi (high-tech improvement) Transaksi elektronik diatur dalam
KUHPerdata yang menganut asas kebebasan berkontrak. Di samping itu, harus
memenuhi syarat sah kontrak sebagaimna yang tercantum dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Perjanjian itu sendiri terjadi pada saat kedua belah pihak mencapai
kata sepakat mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan. Dalam bidang
perdagangan, adanya teknologi internet atau cybernet memungkinkan transaksi
bisnis tidak hanya dilakukan secara langsung (face to face, direct selling),
melainkan dapat menggunakan teknologi internet. Aktivitas atau transaksi
perdagangan melalui media internet ini dikenal dengan istilah electronic
commerce (e-commerce). Efisiensi merupakan salah satu keuntungan dalam
transaksi melalui media internet karena penghematan waktu, baik karena tidak
perlunya penjual dan pembeli bertemu secara langsung, tidak adanya kendala
transportasi dan juga sistem pembayaran (payment) yang mudah. namun di pihak

lain membawa keraguan terutama untuk permasalahan hukum mengenai legal
certainty atau kepastian hukum, keabsahan transaksi bisnis,), hukum yang
ditunjuk jika terjadi pelanggaran kontrak (breach of contract), masalah yurisdiksi
hukum serta hukum yang diterapkan (aplicable law) bila terjadi sengketa, pajak
(tax), juga perlindungan terhadap konsumen pengguna (protections of consumers).
kebutuhan perlindungan terhadap konsumen terutama konsumen yang melakukan
transaksi bisnis dengan menggunakan teknologi elektronik (e-commerce), maka
urgensi untuk membuat legislasi yang mengatur mengenai hal ini sudah sangat
tinggi. Hal ini disebabkan karena peraturan perundang-undangan yang ada
terutama undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen belum
mengakomodasi kebutuhan tersebut.
Kata kunci: Transaksi Elektronik, Aspek Hukum, Perlindungan Konsumen , Perjanjian
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perkembangan teknologi di berbagai bidang khususnya

bidang


informatika memudahkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain
khususnya dalam hubungan hukum antara para pihak tersebut. Pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan berbagai dampak
baik dampak positif maupun dampak yang negatif. Salah satu hasil
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini antara lain adalah
teknologi dunia maya yang dikenal dengan istilah internet.
Internet dan teknologi informasi merupakan inovasi baru pada dekade
terakhir ini yang mempengaruhi kehidupan manusia. Beberapa aktifitas
manusia berubah secara signifikan dengan mengambil keuntungan dari
efisiensi, efektifitas dan mobilitas. Sayangnya, kemajuan teknologi ini juga
memperkenalkan permasalahan-permasalahan baru saat digunakan secara
tidak tepat atau menyalahi dari yang semestinya. Kejahatan Cyber
(Cybercrime) adalah bentuk ancaman baru yang belum pernah ada
sebelumnya pada masyarakat dunia. Untuk itu tentu dibutuhkan suatu aturan
yang dapat memberikan kepastian hukum dunia maya di Indonesia. Maka di
terbitkanlah Undang – Undang No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan
transaksi elektronik yang lazim dikenal dengan istilah “UU ITE”
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di
Indonesia saat ini kegiatan bisnis perdagangan melalui internet yang dikenal
dengan istilah Electronic Commerce atau sering kita kenal jual beli online

yaitu suatu kegiatan yang banyak dilakukan oleh setiap orang, karena
transaksi jual beli secara elektronik ini dapat mengefektifkan dan
mengefisiensikan waktu sehingga seseorang dapat melakukan transaksi jual
beli dengan setiap orang dimanapun dan kapanpun. Hubungan hukum
menggunakan sarana informatika dilakukan dalam bentuk transaksi elektronik
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik.

Transaksi elektronik menurut Pasal 1 angka 2 UU ITE adalah “perbuatan
hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer,
dan/atau media elektronik lainnya”.Transaksi yang berarti adanya suatu
hubungan hukum yaitu hubungan yang menimbulkan akibat hukum antara
dua pihak atau lebih yang dilakukan dengan menggunakan sarana komputer,
jaringan komputer dan atau media elektronik lainnya. Transaksi tersebut
menggunakan sarana komputer, jaringan komputer dan atau media elektronik.
Komputer yaitu alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau
sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan”.
Transaksi diartikan sebagai persetujuan jual beli yang menggunakan sarana
elektronika berupa komputer yang terhubung dengan dunia maya, karena
sebagaimana Pasal 17 ayat (1) UUITE, bahwa “Penyelenggaraan Transaksi

Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat..”. Aktivitas
atau transaksi perdagangan melalui media internet ini dikenal dengan istilah
electronic commerce (e-commerce). E-commerce tersebut terbagi atas dua
segmen yaitu perdagangan antar pelaku usaha (business to business ecommerce) dan perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen (business
to consumer e-commerce). Segmen business to business e-commerce memang
lebih mendominasi pasar saat ini karena nilai transaksinya yang tinggi, namun
level business to consumer e-commerce juga memiliki pangsa pasar
tersendiri yang potensial.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana dasar aturan hukum mengenai transaksi elektronik saat ini?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen transaksi elektronik
di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengaturan Hukum Transaksi Elektronik
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 UUITE bahwa
transaksi elektronik adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan

menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya”. Kehadiran UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (ITE) akan memberikan manfaat, beberapa
diantaranya:
1. Menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan
transaksi secara elektronik
2. Mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia;
3. Sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan
berbasis teknologi informasi;
4. Melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan
teknologi informasi.
Transaksi menggunakan sartana elektronik dapat dilakukan dilakukan
dalam lingkup publik ataupun privat sesuai dengan Pasal 17 ayat (1)
UUITE.
Pada pembahasan berikutnya materinya dibatasi transaksi elektronik
dalam lingkup hukum privat. Di dalam transaksi elektronik antara pihakpihak hanya mengandalkan itikad baik, karena memang transaksi
elektronik dikenal di dunia maya yang tidak saling mempertemukan antara
pihak-pihak yang bertransaksi sesuai dengan Pasal 17 ayat (2) UUITE
yang menentukan bahwa para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik
wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi
berlangsung.

Jual beli adalah perjanjian, yang berarti perjanjian sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 1313 KUH Perdata adalah "suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih". Subekti mengartikan perjanjian adalah "suatu peristiwa di
mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Perjanjian jual beli agar
mempunyai kekuatan mengikat terhadap kedua belah pihak, maka harus
dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian.1
1

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, h. 1.

Perjanjian jika dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka
perjanjiantersebut mengikat kedua belah pihak sejak tercapainya kata
sepakat mengenai hal-hal yang pokok, demikian halnya dengan perjanjian
jual beli sesuai dengan ketentuan Pasal 1458 KUH Perdata. 2
Penipuan secara online pada prinisipnya sama dengan penipuan
konvensional. Yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya
yakni menggunakan Sistem Elektronik (komputer, internet, perangkat
telekomunikasi). Sehingga secara hukum, penipuan secaraonline dapat

diperlakukan

sama

sebagaimana

delik

konvensional

yang

diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Dasar hukum
yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378
KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun

dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang
maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun."3
Sedangkan, jika dijerat menggunakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), maka pasal yang
dikenakan adalah Pasal 28 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik.
Ancaman pidana dari pasal tersebut adalah penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2]
UU ITE). Lebih jauh, simak artikel Pasal Untuk Menjerat Pelaku Penipuan
2

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,, h. 84.

3

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985. H.75


Dalam Jual Beli Online. Untuk pembuktiannya, APH bisa menggunakan
bukti elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai perluasan bukti
sebagaimana Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di samping bukti konvensional
lainnya

sesuai

dengan Kitab

Undang-Undang

Hukum

Acara

Pidana (KUHAP).

Bunyi Pasal 5 UU ITE:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara
yang berlaku di Indonesia
Sebagai catatan, beberapa negara maju mengkategorikan secara
terpisah delik penipuan yang dilakukan secara online (computer related
fraud) dalam ketentuan khusus cyber crime. Sedangkan di Indonesia, UU
ITE yang ada saat ini belum memuat pasal khusus/eksplisit tentang delik
“penipuan”. Pasal 28 ayat (1) UU ITE saat ini bersifat general/umum
dengan titik berat perbuatan “penyebaran berita bohong dan menyesatkan”
serta pada “kerugian” yang diakibatkan perbuatan tersebut.
Tujuan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut adalah untuk
memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan konsumen.
Perbedaan prinsipnya dengan delik penipuan pada KUHP adalah unsur
“menguntungkan diri sendiri” dalam Pasal 378 KUHP tidak tercantum lagi
dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE, dengan konsekuensi hukum bahwa
diuntungkan atau tidaknya pelaku penipuan, tidak menghapus unsur
pidana atas perbuatan tersebut dengan ketentuan perbuatan tersebut
terbukti menimbulkan kerugian bagi orang lain4.

4

Wibowo, Arrianto Mukti dkk., Kerangka Hukum Digital Signature dalam Electronic Commerce,
dalam http://www.geocities.com/amwibowo/resource/hukum_ttd/hukum_ttd.html
Di akses tanggal 1 Desember 2013.

Delik khusus “penipuan” dalam UU ITE, baru akan dimasukkan
dalam Rancangan Undang-Undang tentang Revisi UU ITE yang saat ini
dalam tahap pembahasan antar-kementerian.

2.2 Perlindungan hukum terhadap konsumen transaksi elektronik.
Salah satu kelebihan atau keuntungan dalam e-commerce adalah
informasi yang beragam dan mendetail yang dapat diperoleh konsumen
dibandingkan dengan perdagangan konvensional tanpa harus bersusah
payah pergi ke banyak tempat. Melalui internet misalnya konsumen dapat
memperoleh aneka informasi barang dan jasa dari berbagai situs yang
beriklan dalam berbagai variasi merek lengkap dengan spesifikasi harga,
cara pembayaran, cara pengiriman, bahkan fasilitas pelayanan track and
trace yang memungkinkan konsumen melacak tahap pengiriman barang
yang dipesannya.
Kondisi tersebut memberi banyak manfaat bagi konsumen karena
kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain
itu juga terbuka kesempatan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang
dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan finansial konsumen
dalam waktu yang relatif efisien.
Namun demikian, e-commerce juga memiliki kelemahan. Metode
transaksi elektronik yang tidak mempertemukan pelaku usaha dan
konsumen secara langsung serta tidak dapatnya konsumen melihat secara
langsung barang yang dipesan berpotensi menimbulkan permasalahan
yang merugikan konsumen.
Salah satu contoh adalah ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang
yang dijanjikan, ketidaktepatan waktu

pengiriman barang atau

ketidakamanan transaksi. Faktor keamanan transaksi seperti keamanan
metode pembayaran merupakan salah satu hal urgen bagi konsumen.
Masalah ini penting sekali diperhatikan karena terbukti mulai bermunculan
kasus-kasus dalam e-commerce yang berkaitan

dengan

keamanan

transaksi, mulai dari pembajakan kartu kredit, stock exchange fraud,
banking fraud, akses ilegal ke sistem informasi (hacking) perusakan web
site sampai dengan pencurian data.
Beragam kasus yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan transaksi
terutama faktor keamanan dalam e-commerce ini tentu sangat merugikan
konsumen. Padahal jaminan keamanan transaksi e-commerce sangat
diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen penggunanya.
Pengabaian terhadap hal tersebut

akan mengakibatkan pergeseran

terhadap falsafah efisiensi yang terkandung dalam transaksi e-commerce
menuju ke arah ketidakpastian yang nantinya akan menghambat upaya
pengembangan pranata e-commerce.
Permasalahan hukum serta pemecahan yang sudah dijelaskan di atas,
sebenarnya tidak lain dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan
perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce. Walaupun
tiak secara khusus disebutkan untuk memberikan perlindungan terhadap
konsumen, namun mengingat permasalahan yang dihadapi adalah
permasalahan

yang

umumnya

dihadapi

oleh

konsumen

serta

pemecahannya baik secara substansial maupun secara prosedural, maka
solusi yang telah diungkapkan di atas dapat digunakan untuk memberikan
perlindungan terhadap konsumen.
Dalam tulisannya, Asril Sitompul menyatakan bahwa bagaimanapun
juga masalah keamanan merupakan masalah penting dalam pemanfaatan
media elektronik khususnya internet. Tanpa jaminan keamanan, maka para
pelaku usaha akan enggan untuk memanfaatkan media ini. Untuk jaminan
keamanan ini, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah masalah
domisili perusahaan, sehingga apabila ada sengketa hukum, dapat
diketahui dengan pasti kedudukan hukum dari perusahaan yang
menawarkan produknya melalui media elektronik. Pada prinsipnya
masalah perizinan, pendirian dan pendaftaran perusahaan sama dengan

perusahaan pada umumnya, tunduk pada hukum di tempat di mana
perusahaan didaftarkan. 5
Untuk jaminan keamanan, public key infrastructure saat ini
dioperasikan oleh banyak lembaga (dalam tataran internasional, seperti
Amerika Serikat misalnya) baik untuk menunjang digital signature dan
encryption (pengacakan). Salah satu cara untuk mengimplementasikan
public key infrastructure adalah dengan melakukan sertifikasi antardomain
(interdomain certification) atau dengan kata lain penerbitan sertifikat oleh
dan antar suatu Certification Authority. Umumnya sertifikasi antar domain
ini mencerminkan pengakuan secara hukum lintas domain dari semua
komponen penting public key infrastructure, termasuk certification
authority, sertifikat, digital signatures dan rekaman pendukung transaksi
yang berlangsung.

Jadi untuk menjamin keaslian suatu dokumen dan

memastikan tanda tangan digital memang milik seseorang yang berhak
lembaga Certification Authority inilah yang menjamin keasliannya. Hal
ini tentunya sangat penting, mengingat ketidak aslian dari certification
authority, sertifikat, digital signatures dan rekaman pendukung transaksi
yang berlangsung secara potensial akan merugikan konsumen.6
Secara Nasional, pranata untuk memberikan perlindungan terhadap
konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
namun

UU

mengantisipasi

perlindungan

Konsumen

perkembangan

ini

teknologi

secara

khusus

informasi

belum

di

dalam

pengaturannya. Dalam tataran internasional, telah dibuat kesepakatankesepakatan internasional yang secara khusus dapat digunakan untuk
memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi ecommerce.

5

Sitompul, Asril, Hukum Internet : Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004 .H 34
6
Suherman, Ade Maman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Edisi Revisi, Bogor : Ghalia
Indonesia, 2005.h 65

Bagaimana dengan Pengaturan di Indonesia? Untuk menjawab
pertanyaan ini, maka di bawah ini akan dipaparkan beberapa aspek
mengenai perlindungan konsumen di Indonesia.
Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam
Transaksi E-Commerce dalam tataran Nasional.Walaupun Indonesia sudah
meratifikasi pengesahan tentang pembentukan WTO, namun sampai saat
ini perangkat yang dibutuhkan untuk itu belum cukup memadai. Setelah
meratifikasi Pengesahan pembentukan WTO tersebut memang terlihat ada
kemajuan yang cukup berarti dalam hal dibuatnya legislasi sebagai
pendukung serta perangkat menuju era perdagangan bebas.7
Indonesia telah memiliki UU yang memberikan perlindungan terhadap
hak kekayaan intelektual seperti hak Cipta, Paten dan Merk termasuk
mengesahkan UU tentang Perlindungan Konsumen. Dalam tataran
nasional usaha untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen
memang dinyatakan dengan diberlakukannya Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam salah satu butir konsiderannya dinyatakan bahwa usaha
perlindungan terhadap konsumen dilakukan karena adanya ekspansi dunia
usaha yang mengglobal. Disebutkan dalam konsideran menimbang butir 3
bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses
globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan
masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang
dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar.
Selanjutnya dalam Penjelasan UU tersebut dijelaskan bahwa
fenomena globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh
kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas
ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas
wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan
bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
7

Safrizal dan Dedi, Transaksi Elektronik Di Indonesia Terkini Edisi Revisi : Cetakan ke-29, Jakarta :
Pradnya Paramita, 2011 H 23

Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi
konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang
diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk
memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan
keinginan dan kemampuan konsumen, namun di sisi lain, kondisi dan
fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha
dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi
yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha
untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya melalui kiat promosi,
cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan
konsumen.
Tujuan perlindungan konsumen sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
2 Undang-Undang Perlindungan konsumen ini adalah untuk
1) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
2) mengangkat harkat dan

martabat

konsumen

dengan

cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa;
3) meningkatkan

pemberdayaan

konsumen

dalam

memilih,

menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
5) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha; serta
6) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Perlu pula ditegaskan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan
konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah,
yang terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh
karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan

menjadi landasan hukum untuk melakukan upaya pemberdayaan
konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.8
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur pula
hak dan kewajiban pelaku usaha serta larangan-larangan yang bertujuan
untuk memberi perlindungan terhadap konsumen dan telah pula mengatur
mengenai hak dan kewajiban konsumen. Namun khusus untuk
perlindungan hak konsumen dalam transaksi e-commerce masih rentan,
karena walaupun Undang-undang Perlindungan Konsumen telah mengatur
hak dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun kurang tepat
untuk

diterapkan

dalam

transaksi

e-commerce.

Kemajuan

ilmu

pengetahuan dan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa ternyata
belum diikuti dengan kemajuan perangkat hukum yang ada.
Beberapa hak konsumen yang diatur dalam UU perlindungan
konsumen adalah :
1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2) hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur;
4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya;
5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
8) hak untuk mendapatkan

kompensasi,

ganti

rugi

dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Namun selain haknya sebagaimana disebut di atas, konsumen juga
memiliki beberapa kewajiban, dalam hal ini supaya konsumen tidak
mendapatkan kerugian karena ketidak hati-hatiannya sendiri. Kewajiban
tersebut diantaranya adalah :
8

Magfirah, Esther Dwi, Perlindungan Konsumen dalam E Commerce, dalam
http://www.solusihukum.com/artikel/artikel31.php, 2004. Di akses 1 Desember 2013

1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut9.
Selain hak dan kewajiban konsumen seperti tersebut di atas, Pelaku
Usaha memiliki pula beberapa hak dan kewajiban sebagai pemenuhan hak
terhadap konsumen tersebut. Selain memiliki hak dan kewajiban ada
beberapa pelarangan terhadap Pelaku Usaha yang apabila dilanggar, dapat
mengakibatkan Pelaku Usaha terkena sanksi baik sanksi administratif,
sanksi pidna maupun ganti kerugian secara perdata.

Secara singkat

pelarangan tersebut adalah :
1) memproduksi serta memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang : tidak sesuai dengan standar; tidak sesuai dengan berat
bersih, isi bersih atau netto,dan jumlah serta tidak sesuai dengan
kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; tidak
mencantumkan

tanggal

kadaluwarsa;

tidak

mencantumkan

informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang.
2) menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : suatu
barang telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga
khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; barang tersebut
dalam keadaan baik dan/atau baru; tidak mengandung cacat
tersembunyi.
3) memproduksi iklan yang mengelabui konsumen; memuat
informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat.
9

Sanusi, M. Arsyad, E-Commerce : Hukum dan Solusinya, Bandung : PT. Mizan Grafika Sarana,
2001.h 78

4) Mencantumkan klausula baku apabila menyatakan pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha; menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali baik barang yang sudah
dibeli

maupun

uang yang

sudah

dibayarkan

konsumen;

menyatakan mendapat kuasa dari konsumen baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak
yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran; mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan
barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan yang dibuat
sepihak; mencantumkan klausula bakuyang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti10.
Untuk transaksi e-commerce, masalah posting iklan yang dilakukan
oleh vendor di Internet misalnya harus dicermati dengan sungguh-sungguh
oleh konsumen baik mengenai penawaran, promosi, serta iklan suatu
barang dan/atau jasa. Demikian pula mengenai iklan yang mengelabui
konsumen seperti misalnya memuat informasi yang keliru, salah, atau
tidak tepat. Hal ini disebabkan karena tidak dapatnya konsumen melihat
langsung produk barang atau jasa yang ditawarkan11. UU Perlindungan
Konsumen sebenarnya telah mengantisipasi hal tersebut. Tapi untuk
transaski e-commerce, perlindungan ini tidak dapat serta merta
diberlakukan karena karakteristiknya yang khas tersebut.
Dalam rangka perlindungan terhadap konsumen, dapat dilihat pula
bahwa UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selain
memberikan sanksi administratif terhadap pelaku usaha bila melakukan
10

Nasution, Az., Konsumen dan Hukum, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995. H 21

11

Safioedin, Asis. Beberapa Hal Tentang Transaksi Elektronik. Bandung : Alumni, 2009.H 34

perbuatan-perbuatan tertentu sebagaimana diatur dalam UU, juga
melakukan kriminalisasi terhadap beberapa perbuatan sebagaimana diatur
dalam UU Perlidungan Konsumen tersebut. Ketentuan pidana yang dapat
diberikan adalah pidana penjara dan juga denda sampai dengan jumlah
maksimal sebesar Rp. 2.000.000.000,-(dua milyar Rupiah).
Semua pengaturan yang telah disebutkan di atas sungguh tepat untuk
memberikan perlindungan terhadap konsumen. Namun karena undangundang ini bertujuan untuk melindungi konsumen dalam skala nasional,
maka perlindungan konsumen dalam bertransaksi secara elektronik
sesungguhnya belum terakomodasi dalam ketentuan-ketentuan ini.
Selain pengaturan dalam UU Perlindungan Konsumen, sebenarnya
dalam tataran tertentu untuk melindungi konsumen dapat pula digunakan
hukum pidana dalam hal ini KUHP. Sungguhpun demikian, sehubungan
dengan hal tersebut, bahwa bentuk tindak pidana dalam era perdagangan
bebas tidak cukup dapat diantisipasi dengan ketentuan mengenai tindak
pidana ‘perbuatan curang’ sebagaimana diatur dalam Pasal 378 sampai 395
KUHP, tetapi seharusnya diatur dalam ketentuan baru yang lebih
komprehensif. Selanjutnya mengenai hal ini bahwa :
Sanksi pidana dalam konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya
merupakan salah satu upaya untuk memperkuat harmonisasi hubungan
antara para pihak yang terlibat, bukan sarana hukum yang dapat
memperbaiki hubungan para pihak yang telah terganggu. Penggunaan dan
harapan yang terlalu berlebihan pada kekuatan sanksi pidana dalam
konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya akan mempertaruhkan masa
depan dunia usaha ke dalam jurang kehancuran, dan tidak memperkuat
segenap segmen kehidupan dunia bisnis dan perdagangan. 12
Sebenarnya masih ada satu lagi pranata hukum yang dapat melindungi
konsumen dalam transaksi e-commerce yakni dengan asuransi. Namun
sudah sangat jelas bahwa dengan penggunaan asuransi, maka beban biaya
12

Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Cetakan Kedua,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.H . 45

yang harus diberikan oleh konsumen dalam membeli atau menggunakan
suatu produk menjadi lebih besar karena biaya pembayaran premi, karena
umumnya konsumenlah yang akan terkena beban untuk membayar premi
tersebut. Namun demikian, pranata ini dapat dijadikan salah satu upaya
untuk pemberian perlindungan terhadap konsumen.

13

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka sudah sangat jelas bahwa
demi kebutuhan perlindungan terhadap konsumen terutama konsumen
yang melakukan transaksi bisnis dengan menggunakan teknologi
elektronik (e-commerce), maka urgensi untuk membuat legislasi yang
mengatur mengenai hal ini sudah sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena
peraturan perundang-undangan yang ada terutama undang-undang yang
mengatur mengenai perlindungan konsumen belum mengakomodasi
kebutuhan tersebut.
Karakteristik yang berbeda dalam sistem perdagangan melalui
teknologi elektronik tidak tercover dalam UU Perlindungan Konsumen
tersebut. Untuk itu perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw
termasuk didalamnya tentang e-commerce agar hak-hak konsumen sebagai
pengguna teknologi elektronik dalam proses perdagangan khususnya
dalam melakukan transaksi e-commerce dapat terjamin.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.

Pengaturan hukum tentang transaksi elektronik di Indonesia
khususnya liungkup hukum privat didasarkan atas ketentuan dalam
Buku III KUH Perdata tentang Perikatan yang menganut asas terbuka
atau kebebasan berkontrak, maksudnya memberikan kebebasan

13

Umar, Arief. Perlindungan Konsumen dan Jaminan Hukum. Jakarta. Grafika, 2010. H 23

kepada pihak-pihak dalam membuat perjanjian asalkan ada kata
sepakat, cakap bertindak dalam hukum, suatu hal tertentu dan suatu
sebab yang halal. Dalam transaksi elektronik dituntut adanya itikad
baik para pihak yang membuat perjanjian sesuai dengan ketentuan
2.

Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
Secara khusus pranata atau pengaturan hukum yang

dapat

memberikan perlindungan terhadap konsumen sudah terakomodasi di
Indonesia dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Namun
untuk perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce belum
terakomodasi dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Hal ini
terutama disebabkan karena karakteristik dari transaksi e-commerce
yang khusus, terutama transaski yang bersifat transnasional yang
melewati batas-batas hukum yang berlaku secara nasional.
Saran
1.

Demi memberikan perlindungan kepada para pihak dalam transaksi ecommerce serta secara khusus memberikan perlidungan terhadap konsumen
dalam transaksi e-commerce, perlu dibuat peraturan hukum mengenai
cyberlaw termasuk di dalamnya sehingga ketentuan tentang transaksi ecommerce dapat tertampung.

Dengan pengaturan tersebut, hak-hak

konsumen sebagai pengguna teknologi elektronik dalam proses perdagangan
khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat lebih terjamin.

2.

Pengaturan hukum tentang transaksi elektronik di Indonesia harus
perlu di benahi dari sisi aturan kepastian hukum agar masyrakat lebih
percaya dalam melakukan transaksi elektronik. Dan pemerintah turut
serta aktif dalam penanganan kasus kejahatan di dunia maya dalam
transaksi elektronik khususnya. Guna meningkatkan kepercayaan
masyarakat

internasional

dalam

transaksi

masyarakat di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

elektronik

dengan

Magfirah, Esther Dwi, Perlindungan Konsumen dalam E Commerce,
dalam http://www.solusihukum.com/artikel/artikel31.php, 2004.
Nasution, Az., Konsumen dan Hukum, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
1995.
Sanusi, M. Arsyad, E-Commerce : Hukum dan Solusinya, Bandung :
PT. Mizan Grafika Sarana, 2001
Wibowo, Arrianto Mukti dkk., Kerangka Hukum Digital Signature
dalam Electronic Commerce, dalam
http://www.geocities.com/amwibowo/resource/hukum_ttd/hukum_ttd.ht
ml
Sitompul, Asril, Hukum Internet : Pengenalan Mengenai Masalah
Hukum di Cyberspace, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen
Hukumnya, Cetakan Kedua, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.
Suherman, Ade Maman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Edisi
Revisi, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005.
Safrizal dan Dedi, Transaksi Elektronik Di Indonesia Terkini Edisi
Revisi : Cetakan ke-29, Jakarta : Pradnya Paramita, 2011
Safioedin, Asis. Beberapa Hal Tentang Transaksi Elektronik. Bandung :
Alumni, 2009.
Umar, Arief. Perlindungan Konsumen dan Jaminan Hukum. Jakarta.
Grafika, 2010.