HUBUNGAN LAMA FASE KALA II TERHADAP KEJA

HUBUNGAN LAMAFASE KALA II TERHADAP KEJADIAN ASFIKSIA
BAYI BARU LAHIRDI RSUD PALEMBANGBARI
TAHUN 2016

Proposal Penelitian
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan Pendidikan ProgramDIII
Akademi Kebidanan Pondok Pesantren Assanadiyah Palembang

Di Ajukan Oleh:

FUJI ASTUTI
135.13.047

AKADEMI KEBIDANAN PONDOK PESANTREN ASSANADIYAH
PALEMBANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persalinan merupakan proses membuka dan menipisnya serviks dan janin

turun kedalam jalan lahir kemudian berakhir dengan pengeluaran bayi yang cukup
bulan atau hampir cukup bulan atau dapat hidup diluar kandungan disusul dengan
pengeluaran plasenta dan selaput janin dari tubuh ibu melalui jalan lahir atau jalan
lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri). Persalinan dianggap
normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu)
tanpa disertai adanya penyulit. Persalinan dimulai (inpartu) sejak uterus berkontraksi
dan menyebabkan perubahan pada serviks (membuka dan menipisI dan berakhir
dengan lahirnya plasenta secara lengkap (Marmi, 2012).
Tahap-tahapan persalinan meliputi Kala I disebut dengan kala pembukaan
yang berlangsung antara pembukaan nol sampai pembukaan lengkap (10 cm). Kala
II adalah kala pengeluaran bayi, dimulai dari pembukaan lengkap sampai bayi lahir.
Dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang berlangsung tidak
lebih dari 30 menit. Kala IV dimaksudkan untuk melakukan observasi karena
perdarah postpartum paling sering terjadi 2 jam pertama (Marmi, 2012).
Kala II adalah kala pengeluaran bayi, dimulai dari pembukaan lengkap
sampai bayi lahir. Uterus dengan kekuatan hisnya ditambah kekuatan meneran
akan mendorong bayi hingga keluar. Proses ini biasanya berlangsung 2 jam pada
ibu primigravida dan 1 jam pada multigravida.diagnosa ditegakkan dengan
melakukan pemeriksaaan dalam untuk memastikan pembukaan sudah lengkap dan
kepala janin sudah tampak di vulva dengan diameter 5-6 cm (Sulistyawati, 2010).


Partus Lama dalam Kala II Begitu cervix mencapai dilatasi penuh, jangka
waktu sampai terjadinya kelahiran tidak boleh melampaui 2 jam pada primigravida
dan 1 jam pada multipara. Pengalaman menunjukan bahwa setelah batas waktu ini,
morbiditas maternal dan fetal akan naik. Sekiranya terjadi gawat janin atau ibu,
tindakan segera merupakan indikasi (Harry dan William, 2010).
Menurut Oxom dan Forte (2010). Bahaya kala II lama pada ibu dan janin
meliputi :Bahaya bagi ibu ; Meningkatkatnya insiden atonia uteri, laserasi,
perdarahan, infeksi, kelelahan ibu dan shock. Bahaya bagi janin ; Asfiksia akibat
partus lama itu sendiri, trauma cerebri yang disebabkan oleh penekanan pada
kepala janin, cedera akibat tindakan ektraksi dan rotasi dengan forceps yang sulit
pecahnya ketuban lama sebelum kelahiran.
Asfiksia adalah bayi baru lahir yang tidak bernapas spontan segera setelah
Penilaian asfiksia dengan menggunakan penilaian / skor Apgar (SA) yang meliputi:
warna kulit, denyut jantung, refleks, tonus otot dan pernapasan yang dinilai pada
menit ke1, ke 5 dan ke 10. AS pada menit 1: > 7 normal, 4 - 6 asfiksia sedang dan 0
- 3 asfiksia berat. Asfiksia ditandai dengan keadaan hipoksemia, hiperkarbia dan
asidosis yang menyebabkan hipoksik iskemik ensefalopati (HIE), merupakan etiologi
terjadinya kerusakan otak permanen /cacat neurologik. Resusitasi ialah prosedur
yang diaplikasikan pada bayi asfiksia dengan tujuan ntuk memperbaiki fungsi

pernapasan dan jantung bayi yang tidak bernapas.
Pada tahun 2012 setiap tahunnya 120 juta bayi lahir didunia, secara global 4
juta (33 per 1000) bayi lahir mati dan 4 juta (33 per 1000) lainnya meninggal dalam
usia 30 hari (neonatal lanjut). Kira-kira 3,6 juta (3%) dari 120 juta bayi mengalami

asfiksia neonatorum, hampir 1 juta (27,78%) bayi ini meninggal. Laporan WHO juga
menyebutkan bahwa AKB kawasan Asia Tenggara merupakan kedua yang paling
tinggi yaitu sebesar 142 per 1.000 setelah kawasan Afrika. Di tahun 2011, Indonesia
merupakan negara dengan AKB tertinggi kelima untuk negara ASEAN yaitu 35 per
1.000, dimana Myanmar 48 per 1.000, Laos dan Timor Leste 46 per 1.000, Kamboja
36 per 1.000 ( WHO, 2012 ).
Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator penting dalam
menentukan tingkat kesehatan masyarakat. Bahwa AKB pada tahun 2010 sebesar
34/1000 kelahiran hidup, tahun 2011 sebesar 34/1000 kelahiran hidup. Tahun 2012,
32/1000 kelahiran hidup, mengalami penurunan dari 2010 dan sebanyak 47%
meninggal pada masa neonatus. Penyebab kematian Bayi Baru Lahir (BBL)
diantaranya adalah asfiksia (27%) yang merupakan penyebab ke 2 setelah Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR) (SDKI, 2012).
Berdasarkan data pada tahun 2008 jumlah kelahiran yaitu 156.348 orang
dengan jumlah kematian bayi yaitu 3,4% (537 kematian bayi), sedangkan pada

tahun 2009 jumlah kelahiran 102.205 orang dengan jumlah kematian bayi yaitu
0,8% (79 kematian bayi). Persentase kematian tertinggi terjadi di Kabupaten Ogan
Komering Ilir (OKI) (1,31%) dan Lahat (0,82%), persentase terendah di Kabupaten
Muara Enim (0,14%) dan Empat Lawang (0,13%) (Dinkes Provinsi Sumatra Selatan,
2010).
Berdasarkan data Angka Kematian Bayi (AKB) pada tahun 2011 sebanyak
1,5% per 1.000 kelahiran hidup, meningkat pada tahun 2012 sebesar 1,6%per 1.000
kelahiran hidup, meningkat kembali pada tahun 2013 sebanyak 1,8% per 1.000

kelahiran hidup dan semua itu disebabkan berbagai masalah mulai dari pernapasan
(asfiksia), infeksi pada bayi, berat bayi lahir rendah, dan hipotermi (Dinkes Kota
Palembang, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian lain oleh Mardani dan Putri (2012), didapatkan
kejadian partus lama paling banyak terjadi pada primigravida yaitu 69 kasus
(61,6%). Kejadian asfiksia neonatorum paling banyak terjadi pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu primigravida yaitu 16 kasus (80%).
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti di atas maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian penelitian yang berjudul “ Hubungan Lama Fase Kala
II Terhadap Kejadian Asfiksia Bayi Baru Lahir Di RSUD Palembang BARI
Tahun 2016”.

1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka didapat rumusan masalah peneliti
sebagai berikut: “Adakah Perbedaan Lama Fase Kala II Terhadap Kejadian Asfiksia
Bayi Baru Lahir di RSUDPalembang BARI Tahun 2016 ?”

1.3

Pertanyaan Penelitian
Apakah ada perbedaan lama fase kala II terhadap kejadian asfiksia bayi baru
lahir di RSUDPalembang BARI Tahun 2016?

1.4

Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui Perbedaan Lama Fase Kala II Terhadap Kejadian
Asfiksia Bayi Baru Lahir di RSUDPalembang BARI Tahun 2016.


1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui perbedaan rata-rata lama fase kala II pada ibu bersalin
primigravida dan multigravida di RSUDPalembang BARI Tahun 2016.
2. Untuk mengetahui perbedaan rata-rata lama fase kala II ibu bersalin
primigravida pada bayi baru lahir dengan asfiksia dan tidak asfiksia di
RSUDPalembang BARI Tahun 2016.
3. Untuk mengetahui perbedaan rata-rata lama fase kala II ibu bersalin
multigravida pada bayi baru lahir dengan asfiksia dan tidak asfiksia di
RSUDPalembang BARI Tahun 2016.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Institusi Pendidikan
Untuk menambah referensi dalam proses belajar mengajar mengenai
fase lama kala II dan kejadian asfiksia dapat dijadikan sebagai sumber bacaan
bagi dosen maupun mahasiswa serta dapat menjadi bahan atau data dasar
bagi penelitian lebih lanjut di Akademi Kebidanan Pondok Pesantren
Assanadiyah Palembang.
1.5.2 Bagi Tempat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai masukan bagi petugas
kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan di RSUD Palembang BARI
tentang kemungkinan terjadinya resiko bayi asfiksia pada ibu bersalin

primigravida dan multigravida yang mengalami kala II lama dan dapat
mengenali tanda awal kejadian asfiksia dan cara penangannya.

1.5.3 Bagi Peneliti
Dengan penelitian ini dapat menambah pengetahuan, penerapan serta
pengalaman peneliti secara langsung didalam mengaplikasikan ilmu, sebagai
penerapan dalam mata kulia metodologi penelitian yang telah dipelajari dalam
bentuk karya tulis ilmiah. Penelitian ini berharap dapat menambah wawasan
dan pengalaman bagi peneliti lain, khususnya dalam menerapkan ilmu
pengetahuan tentang Lama Fase Kala II dan Asfiksia Bayi Baru Lahir. Dan
untuk penelitian selanjutnya bisa menggunakan metode yang berbeda dan uji
yang berbeda.

1.6 Kerangka Fikir
Persalinan

Fase Kala I

Fase Kala III


Fase Kala II

Fase Kala IV

Kala II Lama

Bahaya bagi bayi :
- Asfiksia
- Trauma cerebri
- cedera

Bahaya bagi ibu :
- Atonia Uteri
- Laserasi
- Pendarahan
- Infeksi
- Shock

Asfiksia


Manfaat
APGAR :
A= Appreanrance
P = Pulse
G= Grimace
A= Activity
R= Respiration

Penilaian Cepat :
- Menangis
- Tidak menangis

Hasil Penelitian
Ada Perbedaan/Tidak
ada Perbedaan

observasi

checklist


Pengumpulan data
hasil observasi

Memasukkan Data yang Sudah ada ke
Program IBM SPSS 23

Sumber : Modifikasi Firman (2016).
Bagan 1.1 Krangka Fikir

Melakukan Analisa
Data Analisa Univariat,
Analisa Bivariat

Melakukan Pengolahan
Data Editing, Coding,
Processing Cleaning

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kala II

2.1.1 Pengertian Kala II
Kala II adalah kala pengeluaran bayi, dimulai dari pembukaan lengkap
sampai bayi lahir. Uterus dengan kekuatan hisnya ditambah kekuatan meneran
akan mendorong bayi hingga keluar. Proses ini biasanya berlangsung 2 jam
pada ibu primigravida dan 1 jam pada multigravida.diagnosa ditegakkan
dengan melakukan pemeriksaaan dalam untuk memastikan pembukaan sudah
lengkap dan kepala janin sudah tampak di vulva dengan diameter 5-6 cm
(Sulistyawati, 2010).
G.b 2.1
Persalinan Normal

(Sumber : medicalstore.com)

Kala II disebut juga kala pengeluaran, kala ini dimulai dari pembukaan
lengkap (10 cm) sampai bayi lahir. Proses ini berlangsung 2 jam pada
primigravida dan 1 jam pada multigravida (Marmi, 2012).
Kala II persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10

cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi. Kala II pada primipara berlangsung
selama 2 jam dan pada multi 1 jam (Rohani, 2011).
Persalinan kala dua berlangsung dari akhir kala satu, yaitu setelah
pembukaan lengkap, sampai lahirnya bayi. Pada akhir kala satu sebelum
pasien memasuki kala dua, kontraksi uterus menjadi lebih sering dan diikuti
dengan rasa nyeri yang paling hebat selama persalinan. Begitu sampai pada
kala dua maka rasa nyerinya berkurang (Harry dan William, 2010).
Persalinan kala II dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10
cm) dan berakhir dengan lahirnya. Kala II juga disebut sebagai kala
pengeluaran bayi. Proses kala II berlangsung 2 jam pada primipara dan 1 jam
pada multipara (Nurasiah, 2012).
Kala II adalah kala pengeluaran janin, his terkoordinir, kuat, cepat, dan
lebih lama, kira-kira 2-3 menit sekali. Kepala janin telah turun masuk ruang
panggul sehingga terjadilah tekanan pada otot dasar panggul yang secara
reflektoris menimbulkan reflek mengejan. Karena tekanan pada rectum ibu
seakan ingin buang air besar, dengan tanda anus membuka. Pada waktu his,
kepala janin mulai kelihatan, vulva membuka dan perineum meregang. Dengan
his mengejan yang terpimpin akan lahirlah kepala dan diikuti oleh seluruh janin.
Kala II pada primi : 1,5-2 jam, pada multi 0,5-1 jam (Marmi, 2012).
2.1.2 Tanda dan Gejala Kala II
Menurut Marmi (2012). Tanda dan gejala utama dari kala II adalah
sebagai berikut :
1. His semakin kuat, dengan interval 2 sampai 3 menit dengan durasi 50
sampai 100 detik

2. Menjelang akhir Kala I ketuban pecah yang ditandai dengan pengeluaran
cairan secara mendadak
3. Ketuban pecah pada pembukaan mendeteksi lengkap diikuti keinginan
mengejan, karena tertekannya flaktus frankenhauser
4. Kedua kekuatan, his dan mengejan lebih mendorong kepala bayi sehingga
terjadi : kepala membuka pintu, subocciput bertindak sebagai hipomoglion
berturut-turut lahir ubun-ubun besar, dahi, hidung dan muka serta kepala
seluruhnya.
5. Kepala lahir seluruhnya dan diikuti oleh putar paksi luar, yaitu
penyesuaian kepala pada punggung.
6. Setalah putar paksi luar berlangsung, maka persalinan bayi ditolong
dengan jalan :
a. Kepala dipegang pada osocciput dan dibawah dagu, ditarik cunam
kebawah untuk melahirkan bahu belakang.
b. Setelah kedua bahu lahir, ketiak dikait untuk melahirkan sisa badan
bayi.
c. Bayi lahir diikuti oleh air ketuban.
7. Pada primigravida kala II berlangsung rata-rata 1,5 jam dan pada
multipara rata-rata 0,5 jam.
2.1.3 Penatalaksaan Fisiologis Kala II
Penatalaksanaan didasarkan pada prinsip bahwa kala II merupakan
peristiwa normal yang diakhiri dengan kelahiran normal tanpa adanyan
intervensi. Saat pembukaan sudah lengkap, anjurkan ibu untuk meneran

sesuai dengan dorongan alamiahnya dan beristirahat di antara dua kontraksi.
Jika menginginkan, ibu dapat mengubah posisinya, biarkan ibu mengeluarkan
suara salama persalinan dan proses kelahiran berlangsung (Rohani, 2011).
Biasanya ibu akan dibimbing untuk meneran tanpa berhenti selama 10
detik atau lebih, tiga sampai empat kali perkontraksi. Meneran dengan cara ini
dikenal sebagai meneran dengan tanggorokan terkatup atau valsava manuver.
Pada banyak penelitian, meneran dengan cara ini berhubungan dengan
kejadian menurunnya DJJ dan rendahnya nilai APGAR. Oleh karena cara
berkaitan dengan buruknya keluaran janin, maka cara ini tidak dianjurkan
(Rohani, 2011).
Jika ibu mulai mendorong sebelum serviks membuka seluruhnya, bayi
mungkin tidak keluar karena bagian serviks yang masih tertutup akan
menghalangi jalan keluarnya. Selain itu juga akan membuat persalinan lebih
lama. Bahkan jika sudah tahu serviks belum membuka seluruhnya, jangan
dorong ibu untuk mendorong janinnya, atau bidan melakukan dorongan fundus.
Mendorong terlalu dini dapat mengakibatkan ibu merasa lela (Ai Nurasiah,
2012).
2.1.4 Perubahan Fisiologis Kala II
2.1.4.1 Kontraksi
1. Kontaksi Uterus
a. kontraksi bertambah kuat, datang setiap 2-3 menit dan
berlangsung antara 50-90 detik

b. setiap kali kontraksi, rongga uterus menjadi lebih kecil dan bagian
persentasi/kantong amnion didorong ke bawah, kedalam serviks.
Serviks pertema-tama menipis, medatar, kemudian terbuka dan
otot polos fundus menjadi tebal.
G.b.2.2
Kontraksi uterus yang normal

(Sumber : Rohani, 2011).
2. Kontraksi Abdomen
a. setelah uterus terbuka, isinya dapat didorong keluar
b. otot abdomen, dibawah kontrol sadar dapat mengencangkan
dan mengompres rongga abdomen, menambahkan tekanan
pada kantung yang terbuka dan mendorong bayi
c. sampai serviks berdilatasi sempurna, tekanan abdomen hanya
cukup untuk merobek membran amnion. Setelah berkontraksi,
upaya mengedan akan sangat membantu akhir ekspulsi bayi.
d. Ketika bagian presentasi terdapat pada rektum dan perineum,
terjadi tiba-tiba untuk mengedan (Asrinah, 2010).

Walaupun his adalah kontraksi otot rahim yang fisiologis, akan
tetapi bertentangan dengan sifat kontraksi lainnya yang bersifat nyeri.
Penyebab nyeri belum diketahui secara pasti, kemungkinan
disebabkan oleh :
a. Hypoksia pada janin
b. Penekanan ganglia saraf di serviks dan uterus bagian bawah
oleh bekas-bekas otot yang sangat bertautan
c. Peregangan serviks waktu dilaktasi
d. Peregangan peritonium yang terletak diatas fundus
e. Perasaan nyeri tergantung dari ambang nyeri penderita yang
dipengaruhi oleh kondisi jiwanya.
2.1.4.2 Perubahan-Perubahan Uterus
Keadaan Segmen Atas Rahim (SAR) dan Segmen Bawah
Rahim (SBR). Dalam persalinan perbedaan SAR dan SBR akan
tampak lebih jelas, dimana SAR dibentuk oleh korpus uteri dan bersifat
memegang peranan aktif (berkontraksi) dan dindingnya bertambah
tebal dengan majunya persalinan, dengan kata lain SAR mengadakan
suatu kontraksi menjadi tebal dan mendorong anak keluar. Sedangkan
SBR dibentuk oleh isthimulus uteri yang sifatnya memegang peranan
pasif dan makinmtipis dengan majunya persalinan (disebabkan karena
regangan), dengan kata lain SBR dan serviks mengadakan relaksasi
dan dilatasi (Marmi, 2012).

G.b.2.3
Pembukaan segmen bawah rahim dan isthmus uteri

(Sumber : Rohani, 2011).
1.1.4.3 Perubahan Pasa Serviks
Perubahan pada serviks pada kala

II ditandai dengan

pembukaan lengkap, pada pemeriksaan dalam tidak teraba lagi bibir
portio, Seggemn Bawah Rahim (SBR), dan serviks (Marmi, 2012).
G.b 2.4
Dilaktasi Serviks

(Sumber : Medical Ilustration, 2012).

G.b.2.5
Lebar Jari sebagai Skala Dilaktasi Serviks

(Sumber : Sulistyawati, 2010).

2.1.4.2 Perubahan Pada Vagina Dan Dasar Panggul
Setelah pembukaan lengkap dan ketuban telah pecah terjadi
perubahan, terutama pada dasar panggul yang diregangkan oleh
bagian depan janin sehingga menjadi saluran yang dinding-dindingnya
tipis karena suatu regangan dan kepala sampai di vulva, lubang vulva.
2.1.5 Partus Lama Dalam Kala II
2.1.5.1 Pengertian Kala II Lama
Kala II Lama adalah persalinan dengan tidak ada penurunan
kepala > 1 jam untuk nulipara dan multipara (Sarwono, 2012).
Partus Lama dalam Kala II Begitu cervix mencapai dilatasi
penuh, jangka waktu sampai terjadinya kelahiran tidak boleh
melampaui 2 jam pada primigravida dan 1 jam pada multipara.
Pengalaman menunjukan bahwa setelah batas waktu ini, morbiditas
maternal dan fetal akan naik. Sekiranya terjadi gawat janin atau ibu,
tindakan segera merupakan indikasi (Harry dan William, 2010).
2.1.5.2 Penyebab Kala II Lama
Menurut Harry dan William (2010). Penyebab partus lama dalam
kala II adalah sebagai berikut :
1. Disproporsi fetopelvik
a.Panggul kecil
b.Anak besar
2. Malpresentasi dan malposisi
3. Persalinan tidak efektif

a.Primary inefficien uterine contraction
b.Kelelahan myometrium : inestia sekunder
c.Cincin konstriksi
d.Ketidakmampuan atau penolakan pasien untuk mengejan
e.Anastesi berlebihan
4. Dystocia jaringan lunak
a.Canalis vaginalis yang sempit
b.Perineum kaku
2.1.5.3 Tanda dan Gejala Kala II Lama
Menurut Amalia (2014). Tanda dan gejala kala II lama adalah :
1. Dehidrasi
2. Tanda infeksi
a. Temperature tinggi
b. Nadi dan pernafasan
c. Abdomen meteorismus
3. Pemeriksaan abdomen
a.Meteorismus
b.Lingkaran bandle tinggi
c.Nyeri segmen bawah rahim
4. Pemeriksaan local vulva-vagina
a.Edema vulva
b.Cairan ketuban berbau
c.Cairan ketuban bercampur mekonium
5. Pemeriksaan dalam

a.Edema serviks
b.Bagian terendah sulit didorong ke atas
c.Terdapat kaput pada bagian terendah
6. Keadaan janin dalam rahim
a.Asfiksia sampai terjadi kematian
7. Akhir dari persalinan lama
a.Rupture uteri imminen sampai rupture uteri
b.Kematian karena perdarahan dan atau infeksi
8. Pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada
partograf.
9. Pembukaan serviks kurang dari 1 cm per jam.
10. Frekuensi kontraksi kurang dari 2 kali dalam 10 menit dan lamanya
kurang dari 40 detik.
2.1.5.4 Diagnosis Kala II Lama
Menurut Amalia (2014) , diagnosis kala II lama adalah :
a. Janin tidak lahir setelah 1 jam pada multigravida dan 2 jam pada
primigravida dipimpin mengedan sejak pembukaan lengkap.
b. Ibu tampak kelelahan dan lemah.
c. Kontraksi tidak teratur tetapi kuat.
d. Dilatasi serviks lambat atau tidak terjadi.
e. Tidak terjadi penurunan bagian terbawah janin, walaupun kontraksi
adekuat.

f. Molding-sutura tumpang tindih dan tidak dapat diperbaiki (partograf
++)
g. Lingkaran retraksi patologis (lingkaran Bandl) timbul nyeri di bawah
lingkaran Bandl merupakan tanda akan terjadi ruptura uteri.Tidak
adanya his dan syok yang tiba-tiba merupakan tanda ruptura uteri.
h. Kandung kencing ibu penuh. Kandung kencing yang penuh dapat
menahan turunnya janin dan menyebabkan persalinan lama. Pasien
dalam persalinan seharusnya sering kencing.
2.1.5.5 Bahaya Kala II Lama
Menurut Oxom dan Forte (2010). Bahaya kala II lama pada ibu
dan janin adalah sebagai berikut :
a. Bahaya bagi ibu
1. Meningkatkatnya insiden atonia uteri
2. Laserasi
3. Perdarahan
4. Infeksi
5. Kelelahan ibu dan shock
b. Bahaya bagi janin
1. Asfiksia akibat partus lama itu sendiri
2. Trauma cerebri yang disebabkan oleh penekanan pada kepala
janin
3. Cedera akibat tindakan ektraksi dan rotasi dengan forceps yang
sulit

4. Pecahnya ketuban lama sebelum kelahiran
Sekalipun tidak terdapat kerusakan yang nyata, bayi-bayi pada
pertus lama memerlukan perawatan khusus. Sementara partus lama
tipe apa pun membawa akibat yang buruk bagi anak, bahaya tersebut
lebih besar lagi kalau kemajuan persalinan pernterhenti. Kenyataannya
ini khususnya terjadi kalau kepala bayi macet pada lantai perineum
untuk waktu yang lama sementara tangkorak kepala harus terus
terbentur pada panggul ibu (Harry dan William, 2010).
Sebagian

dokter

beranggapan

sekalipun

partus

lama

meningkatkan resiko pada anak selama persalinan, namun
pengaruhnya terhadap perkembangan bayi selanjutnya hanya sedikit.
Sebagian lagi menyatakan bahwa bayi yang dilahirkan melalui proses
persalinan yang panjang ternyata mengalami defisiensi intelektual
sehingga berbeda jelas dengan bayi-bayi yang lahir setelah persalinan
normal (Harry dan William, 2010).
2.1.5.6 Penatalaksanaan Kala II Lama
Menurut Amalia (2014). Penatalaksanaan Kala II adalah sebagai
berikut :
1. Tetap memantau/ mengobservasi tanda-tanda vital ibu
2. Tetap memantau his dan mengontrol DJJ setiap setelah his.
3. Beri infus ibu bila kondisi ibu semakin melemah. Infus cairan:
a. Larutan garam fisiologis
b. Larutan glucose 5-10% pada janin pertama: 1 liter/jam

4. Tetap memperhatikan asupan gizi ibu terutama asupan cairan.
5. member perlindumgan antibiotika-antipiretika
6. Beri Oksigen (sesuai kebutuhan) bila terjadi tanda – tanda gawat
janin.
7. Posisikan ibu untuk miring ke kiri selama merujuk
2.1.6 Mekanisme Persalinan
Beberapa jam terakhir pada kehamilan manusia ditandai dengan
kontraksi uterus yang menyebabkan dilatasi serviks dan mendorong janin
melalui jalan lahir. Banyak energi dikeluarkan pada waktu ini ; oleh karena itu,
penggunaan istilah labor(kerja keras) dimaksudkan untuk menggambarkan
proses ini. Kontraksi miometrium pada persalinan terasa nyeri, sehingga istilah
nyeri

persalinan

digunakan

untuk

mendeskripsikan

proses

ini

(Cunningham, 2006).
G.b.2.6
Tahapan Persalinan

(Sumber : Medicastore.com).
Namun, sebelum kontraksi yang kuat dan terasa nyeri ini dimulai, uterus
harus dipersiapkan untuk persalinan. Pada 36 sampai 38 minggu pertama
kehamilan, miometrium tidak responsif; setelah masa tenang yang panjang ini,

diperlukan fase transisi agar ketidakresponsifan miometrium menghilang dan
serviks melunak dan mendatar. Memang, ada banyak status fungsional uterus
yang harus dilaksanakan selama kehamilan dan masa nifas; status-status
fungsional ini diuraikan belakangan dan digolong-golongkan sebagai fase-fase
uterus pada persalinan (Cunningham, 2006).
Kontraksi miometrium yang tidak menyebabkan dilaktasi serviks dapat
dirasakan kapan pun selama kehamilan. Kontraksi-kontraksi ini ditandai
dengan kejadian yang tidak dapat diramalkan, intensitas rendah, dan durasinya
singkat. Rasa tidak nyaman yang timbulkan biasanya terbatas diabdomen
bawah dan lipat paha. Menjelang akhir masa kehamilan, ketika uterus terus
mengalami persiapan untuk bersalin, kontraksi jenis ini lebih sering, khususnya
pada multipara, dan kadangkala disebut sebagai persalinan palsu. Namun,
pada beberapa ibu, kontraksi kuat uterus yang menimbulkan dilatasi serviks,
penurunan janin, dan pelahiran konseptus dimulai secara mendadak, dan
tampaknya tanpa peringatan (Cunningham, 2006).
Miometrium, yang merupakan jaringan pembentuk sebagian besar
uterus, terdiri dari kumpulan otot polos yang disatukan jaringan ikat dengan
banyak serabut elastin didalamnya. Banyaknya serabut otot pada uterus
berkurang secara progresif ke arah kaudal, sehingga pada serviks, otot hanya
meliputi 10 persen dari massa jaringan. Pada lapisan dalam dinding korpus
uteri, relatif terdapat lebih banyak otot dibandingkan lapisan luarnya,
sedangkan pada dinding anterior dan posterior terdapat lebih banyak otot
dibandingkan dinding lateral. Selama kehamilan, miometrium menjadi sangat

membesar akibat hipertrofi ; namun tidak terjadi perubahan yang berarti pada
kandungan otot di serviks (Cunningham, 2006).
Ada ciri-ciri unik otot miometrium (otot polos lainnya) dibandingkan
dengan otot rangka. Bahwa perbedaan-perbedaan ini menciptakan keuntungan
yang istimewa bagi miometrium dari sisi efisiensi kontraksi uterus dan pelahiran
janin. Pertama, derajat pemendekan sel otot polos saat kontraksi mungkin satu
tingkat lebih besar dari pada yang dicapai oleh sel otot lurik. Kedua, pada sel
otot polos gaya-gaya kontraksi dapat diberikan ke berbagai arah, sedangkan
gaya kontraksi yang ditimbulkan oleh otot rangka selalu sejajar dengan sumbuh
serat otot. Ketiga, otot polos tidak diorganisasi dengan cara yang sama seperti
otot rangka. Pada miometrium ditemkan filamen tebal dan tipis pada berkasberkas yang panjang dan menimbulkan gaya yang lebih besar. Keempat,
terdapat keuntungan bahwa pembangkitan gaya yang multidireksional pada
otot polos miometrium memungkinkan kesanggupan pengarahan gaya dorong
ke segala arah sehingga pelahiran dapat dilakukan tanpa memandang letak
atau presentasi janin (Cunningham, 2006).
Interaksi miosin dan aktin penting untuk kontraksi otot Miosin (Mr sekitar
500.000) tediri dari rantai ganda ringan dan berat dan terletak pada miofilamenmiofilalem tebal. Interaksi miosin dan aktin, yang menyebabkan aktivitas
ATPase, hidrolisis ATP, dan pembentukan kekuatan, dipengaruhi oleh
fosforilasi enzimetik rantai ringan miosin 20-kd. Reaksi fosforilasi ini dikatalisis
oleh enzim kinase miosin rantai ringan, yang diaktifkan oleh Ca2+
(Cunningham, 2006).

Ca2+ mengikat kalmodulin, suatu protein pengatur pengikat kalsium, yang
selanjutnya akan mengikat dn mengaktifkan kinase miosin rantai ringan.
Dengan cara ini, agen-agen yang bekerja pada sel otot polos miometrium untuk
meningkatkan konsentrasi kalsium sitosol intraselular ([Ca2+] i) dapat memacu
kontraksi. Kondisi yang menyebabkan penurunan [Ca2+]

i

menimbulakan

relaksasi. Biasanya, agen-agen yang menyeababkan peningkatan kontraksi
adenosin monofosfat siklik intraselular (cAMP) atau guanosin monofosfat siklik
(cGMP) menyebabkan relaksasi uterus. Kerja cAMP dan cGMP dianggap
menyebabkan penurunan [Ca2+]i (Cunningham, 2006).
Persalinan dibagi menjadi tiga tahapan : (1) dilaktasi serviks, (2)
pelahiran bayi, dan (3) pelahiran plasenta. Pada permulaan persalinan atau
waktu pada tahap pertama, membran yag membungkus kantong amnion, atau
“kantong air” pecah. Cairan amnion (air ketuban) yang keluar dari vagina
membantu jalan lahir (Sherwood, 2012).
Tahap pertama, selama tahap pertama, serviks dipaksa melebar untuk
mengakomodasi garis tengah kepala bayi, biasanya hingga maksimal 10 cm.
Tahap ini adalah yang paling lama, berlangsung dari beberapa jam sampai 24
jam pada kehamilan pertama. Jika bagian tubuh lain janin selain kepala
menghadap keserviks maka bagian tersebut biasanya kurang efektif dari pada
kepada untuk “membelah” serviks. Kepala memiliki garis tengah terbesar pada
tubuh bayi. Jika bayi mendekati jalan lahir dengan kaki terlebih dahulu maka
kaki mungkin tidak dapat melebarkan serviks cukup lebar untuk dilalui kapala.
Pada kasus ini, tanpa intervensi medis kepala bayi akan tersangkut dibelakang

lubang serviks yang sempit (Sherwood, 2012).
Tahap Kedua. Tahap kedua persalinan, pengeluaran bayi yang
sebenarnya, dimulai setelah dilatasi (pembukaan) serviks lengkap. Ketika bayi
mulai bergerak melewati serviks dan vagina, reseptor-reseptor regang di
vagina mengaktifkan suatu refleks saraf yang memicu kontraksi dinding
abdomen secara singkron dengan kontraksi uterus. Kontaksi abdomen ini
sangat meningkatkan gaya yang didorong bayi melewati jalan lahir. Ibu dapat
membantu mengeluarkan bayinya dengan secara sengaja mengontraksi otototot abdomennya bersama dengan kontraksi uterus (yaitu, “mengejan” saat
timbul nyeri persalinan). Tahap 2 biasanya jaauh lebih singkat daripada tahap
pertama dan berlangsung 30 sampai 90 menit. Bayi masih melekat ke
plasentaa oleh tali pusat saat lahir. Tali pusat ini diikat dan dipotong, dengan
puntung akan menciut dalam beberapa hari untuk membentuk umbilikus
(pusat) (Sherwood, 2012).
Tahap ketiga, segera setelah bayi lahir, terjadi rangkaian kontraksi
uterus kedua yang memisahkan plasenta
mengeluarkannya

dari miometrium

dan

melalui vagina. Pelahiran plasenta, atau afterbirth,

merupakan tahap ketiga persalinan, biasanya merupakan tahap paling singkat
yaitu selesai dalam 15 sampai 30 menit setelah bayi lahir. Setelah plasenta
dikeluarkan, kontraksi miometrium yang berjelanjutan menyebabkan pembuluh
darah uterus yang mengalir ketempat perlekatan plasenta terjepit untuk
mencegah perdarahan (Sherwood, 2012).

Kontraksi otot polos uterus pada persalinan terasa sangat nyeri, dan hal
ini merupakan sesuatu yang unik dibandingkan kontraksi otot fisiologis lainnya.
Penyebab nyeri tidak diketahui secara pasti, tetapi sudah diusulkan beberapa
kemungkinan :
1.

Hipoksia pada miometrium yang berkontraksi (seperti pada anginan
pektoris).

2.

Penekanan ganglia saraf di serviks dan uterus bagian bawah oleh berkasberkas otot yang saling bertautan.

3.

Peregangan serviks sewaktu dilaktasi.

4.

Peregangan peritoneum yang terletak di atas fundus.
Penekanan ganglia saraf di serviks dan segmen bawah uterus oleh

miometrium yang sedang berkontraksi adalah hipotesis yang sangat menarik.
Infitrasi paraservikal dengan anestetik lokal biasanya menghasilkan peredaan
nyeri yang signifikan pada kontraksi-kontraksi uterus berikutnya (Cunningham,
2006).
Kontraksi uterus bersifat involuntar dan, sebagian besar, tidak
bergantung pada kendali ekstrauteri. Blokade saraf dari analgesi epidural tidak
mengurangi frekuensi dan intensitas kontraksi uterus. Selain itu, kontraksi
miometrium pada perempuan paraplegik adalah normal, meskipun tidak terasa
nyeri seperti pada perempuan yang mengalami simpatektomi lumbal bilateral
(Cunningham, 2006).
Peregangan mekanis serviks meningkatkan aktivitas uterus. Mekanisme
pasti yang membuat dilatasi mekanis serviks menyebabkan peningkatan

kontraktilitas miometrium tidak jelas. Pembebasan oksitosin diduga sebagai
penyebabnya, tetapi hal ini tidak terbukti. Manipulasi serviks dan “pelucutan”
selaput ketuban diikuti dengan peningkatan kadar metabolit prostaglandin F2α
(PGEM) di dalam darah (Cunningham, 2006).
Interval antar kontraksi berkurang secara bertahap dari sekitar 10 menit
pada awitan kala satu persalinan menjadi 1 menit atau kurang pada kala dua.
Namun, masa-masa relaksasi antar kontraksi penting untuk menyebabkan
hipoksemia janin. Pada fase aktif persalinan, lama masing-masing kontraksi
berkisar dari 30 sampao 90 detik, dengan rata-rata sekitar 1 menit. Intensitas
kontraksi uterus bervariasi lumayan besar pada persalinan yang jelas nomar,
tekanan-tekanan cairan amnion yang ditimbulkan oleh kontraksi uterus pada
persalinan spontan: rata-rata sekitar 40mmHg, tetapi berkisar dari 20 sampai
60 mmHg (Cunningham, 2006).
Selama persalinan aktif, uterus berubah menjadi dua bagian yang
berbeda. Segmen atas yang berkontraski secara aktif menjadi lebih tebal ketika
persalinan maju. Bagian bawah, yang terdiri dari segmen bawah uterus dan
serviks, relatif

pasif dibanding dengan segmen atas, dan bagian ini

berkembang menjadi jalan yang berdinding jauh lebih tipis untuk janin.
Segmen bawah uterus analog dengan ismus uterus yang melebar dan menipis
keluar pada perempuan yang tidak hamil; pembentukannya tidak hanya
merupaka fenomena persalinan. Segmen bawah secara bertahap terbentuk
ketika kehamilan bertambah dan kemudian menipis sekali pada saat
persalinan. Dengan palpasi abdomen kedu segmen dapat dibedakan ketika

terjadi kontraksi, sekalipun selaput ketuban belum pecah. Segmen atas uterus
cukup kencang atau keras, sedangkan konsistensi segmen bawah uterus jauh
kurang kencang. Segmen atas uterus merupakan bagian uterus yang
berkontraksi secara aktif; segmen bawah adalah bagian yang diregangkan,
normalnya jauh lebih pasif (Cunningham, 2006).
Miometrium dapat segmen atas uterus tidak berelaksasi sampai kembali
ke panjang aslinya kontraksi; namun, menjadi relatif menetap pada panjang
yang lebih pendek. Namun, tegangnya tetap sama seperti sebelum kontraksi.
Bagian uterus, atau segmen aktif, berkontraksi ke bawah ketika isinya
berkurang, tetapi tegangan miometrium tetap konstan. Efek akhirnya adalah
mengencangkan

yang

kendur,

dengan

mempertahankan

kondisi

menguntungkan yang diperoleh dari ekspulsi janin, dan mempertahankan otot
uterus yang berikutnya mulai di tempat yang ditinggalkan oleh kontraksi
sebelumnya, sehingga bagian atas rongga uterus menerus pada setiap
kontraksi berikutnya. Karena pemendekan serat oto yang terus menerus pada
setiap kontraksi, segmen atau uterus yang aktif menjadi semakin lebih kecil
dan setiap kontraksi berikutnya. Karena pemendekan serat otot yng terus
menerus pada setiap kontraksi, segmen atas uterus yang aktif menjadi
semakin menebal di sepanjang kala pertama dan kedua persalinan dan
menjadi tebal sekali tebal setelah pelahiran janin (Cunningham, 2006).
Pada sebagian besar masa kehamilan, uterus mengalami episode
periodik kontaksi lemah dan lambatnya yang disebut kontaksi Broxton Hick.
Kontaksi ini secara progresif bertambah kuat menjelang akhir kehamilan,

kemudian kontraksi ini berubah secara tiba-tiba, dalam beberapa jam, menjadi
kontraksi yang sangat kuat sehingga mulai meregangkan serviks dan
selanjutnya mendorong bayi melalui jalan lahir, dengan demikian menyebabkan
pengeluaran bayi. Proses ini disebut persalinan, dengan demikian
menyebabkan pengeluaran bayi. Proses ini disebut persalinan dan kontraksi
kuat yang akhirnya menyebabkan persalian disebut kontraksi persalinan
(Guyton dan Hall, 2011).
Kita tidak mengetahui apa yang secara tiba-tiba mengubah irama lambat
dan lemah dari uterus menjadi kontraksi persalinan yang kuat. Akan tetapi,
berdasarkan pengalaman dengan jenis-jenis sistem pengaturan fisiologi yang
lain, sebuah teori diajukan untuk menjelaskan mulainya persalinan teori umpan
balik positif tersebut mengatakan bahwa regangan serviks oleh kepala fetus
akhirnya menjadi cukup kuat untuk menimbulkan suatu peningkatan refleks
kontraksi karpus uteri yang kuat. Kontraksi ini akan mendorong bayi maju,
sehingga lebih meregang serviks dan terus menimbulkan umpan balik positif
pada uteri. Jadi, proses ini berulang terus sampai bayi dilahirkan. Pengamatan
yang menyokongnya adalah sebagai berikut :
Pertama, kontraksi persalinan mengikuti semua prinsip umpan balik
positif yaitu, sekali kekuatan kontraksi menjadi lebih besar dari nilai kritisnya,
setiap kontraksi akan menyebabkan kontraksi berikutnya menjadi semakin kuat
sampai efek maksimum tercapai. Mengaju pada umpan balik positif dalam
sistem pengaturan, kita dapat melihat bahwa keadaan ini merupakan sifat

sesungguhnya dari semua mekanisme umpan balik positif ketika diperoleh
umpan balik menjadi lebih besar dari nilai kritisnya (Guyton dan Hall, 2011 ).
Kedua, ada dua jenis umpaan balik positif yang diketahui meningkatkan
kontraksi uterus selama persalianan : (1) regangan serviks menyebabkan
seluruh karpus uteri berkontraksi, dan kontraksi ini lebih meregangkan serviks
karena dorongan kepala bayi kearah bawah. (2) regangan serviks juga
menyebabkan kelenjar hipofisis menyekresi pksitosin yang merupakan cara
lain untuk meningkatkan kontraksi uterus (Guyton dan Hall, 2011 ).
Untuk menyimpulkaannya, kita dapat menganggap bahwa berbagai
faktor dapat meningkatkan kontraktilitas uterus menjelang akhir kehamilan.
Akhirnya, salah satu kontraksi menjadi cukup kuat untuk merangsang uterus
khususnya pada serviks, dan kontraksi ini lebih meningkatkan kontraktilitas
uterus karean umpan balik positif, menghasilkan kontraksi uterus kedua yang
lebih kuat dari pertama, yang ketiga lebih kuat dari yang kedua, dan
seterusnya, sekali kontraksi ini menjadi cukup kuat untuk menyebabkan janin
umpan balik, disertai dengan kontraksi berikut yang lebih besar dari yang
sebelumnya, proses ini akan berlangsung hingga lengkap semuanya, karena
umpan balik positif memulai timbulnya lingkaran yang tidak terputus ketika hasil
dari umpan balik lebih besar dari tingkat kritisnya (Guyton dan Hall, 2011 ).
Seseorang mungkin bertanya tentang banyak keadaan persalinan palsu,
ketika kontraksi semakin kuat dan kemudian menghilang. Ingat bahwa agar
lingkaran setan ini tetap terus berlangsung setiap siklus umpan balik baru
harus lebih kuat dari sebelumnya. Bila pada setiap awal persalinan sejumlah

kontraksi gagal untuk merangsang uterus kembali dengan cukup, umpan balik
posiif dapat masuk kedalam rangkaian retrograd dan kontraksi persalinan
menghilang (Guyton dan Hall, 2011 ).
Kontraksi uterus selama persalinan dimulai terutama dari puncak fundus
uteri dan menyebar kebawah keseluruh karpus uteri. Selain itu, intensitas
kontraksi sangat besar pada pucak dan korpus uteri, tetapi lemah oada
segmen bahwa uterus yang berdekatan dengan serviks, oleh karena itu, setiap
kontraksi uterus cenderung mendorong bayi kebawah kearah serviks (Guyton
dan Hall, 2011 ).
Pada bagian awal persalinan, kontraksi mungkin hanya terjadi sekali
setiap 30 menit. Dengan majunya persalinan, kontraksi akhirnya timbul lebih
sering, sekali setiap 1 sampai 3 menit, dn intensitas kontraksinya bertambah
sangat kuat, dengan periode relaksasi yang singkat diantara kontraksi.
Gabungan kontraksi uterus dan otot-otot abdomen selama kelahiran bayi
menyebabkan bayi terdorong kebawah kira-kira dengan kekuatan 25 pon
setiap kontraksi yang kuat (Guyton dan Hall, 2011 ).
Untungnya, kontraksi persalinaan

terjadi secara intermiten karena

kontraksi yang kuat menghalangi atu kadang-kadang bahkan menghentikan
aliran darah melalui plasenta dan akan menyebabkan kematian fetus bila
kontraksi terus berlangsung. Memang pada pemakaian berlebihan dari
berbagai zat perangsang uterus seperti oksitosin, dapat menyebabkan spasme
uterus, dan bukan kontraksi ritmis, yang dapat menyebabkan kematian fetus
(Guyton dan Hall, 2011 ).

Pada 95 persen kelahiran kepala merupakan bagian pertama yang
dikeluarkan dari bayi, dan pada sebagian besar sisanya bokong dikeluarkan
pertama kali. Kepala bertindak sebagai baji untuk membuka struktur-struktur
jalan lahir ketika fetus didorong kebawah (Guyton dan Hall, 2011 ).
Hambatan utama yang pertama dari pengeluaran fetus adalah serviks
uteri. Menjelang akhir kehamilan, serviks menjadi lunak yang memungkinkan
serviks meregang saat kontraksi persalinan adalah suatu periode dilatasi,
serviks yang progresif, berlangsung sampai pembukaan serviks sebesar kepala
fetus. Stadium ini biasanya berlangsung selama 8 sampai 24 jam pada
kehamilan pertama, tetapi sering hanya berlangsung beberapa menit pada
kehamilan ynag sudah berkali-kali (Guyton dan Hall, 2011 ).
Sekali serviks telah berdilatasi sempurna, ketuban biasanya pecah dan
cairan ketuban tiba-tiba mengalir keluar ke vagina. Kemudian kepala fetus
bergerak dengan cepat masuk jalan lahir, dan dengan kekuatan tambahan dari
atas, kepala turun melalui jalan lahir sampai akhirnya terjadi kelahiran.
Keadaan ini disebut kala dua persalinan, dan kala dua ini dapat berlangsung
paling cepat 1 menit pada multipara dan 30 menit atau lebih pada primigravida
(Guyton dan Hall, 2011 ).
2.2 Asfiksia Bayi Baru Lahir
2.2.1 Pengertian Asfiksia
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernafas
secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir,
umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat
hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat,

atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah
persalinan (Marmi, 2012).
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh
hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktorfaktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi
lahir. Akibat-akibat akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak
dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi
bertujuan mempertahankankan kelangsungan hidupnya dan membatasi
gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul (Marmi, 2012).
G.b. 2.7
Asfiksia bayi baru lahir

(Sumber : Latifa, 2015).
Asfiksia neonatorum merupakan suatu keadaan pada bayi baru lahir
yang mengalami gagal bernapas secara spontan dan teratur segera setelah
lahir, sehingga bayi tidak dapat memasukkan ogsigen dan tidak dapat
mengeluarkan zat asam basa dari tubuhnya (Dewi, 2010).

Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir (BBL) tidak secara spontan dan
tidak teratur .Sering kali bayi yang sebulumnya mengalami gawat janin akan
mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin

berkaitan

dengan keadaan ibu , tali pusat, atau masalah pada bayi selama atau sesudah
persalinan (Rohani, 2011).
2.2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Asfiksia Bayi Baru Lahir
Menurut Marmi (2012). Faktor penyebab terjadinya asfiksia bayi baru Lahir
adalah sebagai berikut :
1. Faktor Ibu
a.

Preeklampsia dan eklampsia

b.

Perdarahan abnormal (plsenta previa atau solusio plasenta)

c.

Partus lama atau partus macet

d.

Demam selama persalinan infeksi berat (malaria, sifilis, tbc, hiv)

e.

Kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

2. Faktor Tali Pusat
a.

Lilitan tali pusat

b.

Tali pusat pendek

c.

Simpul tali pusat

d.

Prolapsus tali pusat

3. Faktor Bayi
a.

Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

b.

Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)

c.

Kelainan bawaan (kongenital)

d.

Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
Untuk menentukan tingkatan asfiksia, apakah bayi mengalami
asfiksia berat, sedang atau ringan/ normal dapat dipakai penelitian
apgar skor.
APGAR Score
A : Apprearance = Rupa (warna kulit)
P : Pulse

= Nadi

G : Grimace

= Menyeringai

(akibat

repleks

kateter

dalam hidung)
A : Activity

= Keaktifan

R : Respiration

= Pernafasan

Dibawah ini tabel untuk menentukan tingkat/derajat asfiksia yang
dialami bayi pada saat dia dilahirkan penilaian dilakukan pada menit
pertama dan menit kelima pada saat bayi lahir.

Tabel 2.1
Nilai APGAR
a
Angka

0

1

2

k keadaan
Frekuensi
jantung
Usaha

Tidak ada
Tidak ada

napas

Kurang dari 100/
menit
Lemah/tidak

Lebih dari 100/
menit
Baik/Menangis

teratur (slow

kuat

irregular)
Tonus otot

Lumpuh

Ekstremitas dalam

Gerakan aktif

fleksi sedikit
Reaksi

Tidak ada

terhadap

mimik (grimace)

rangsangan
Warna kulit

Sedikit gerakan

Pucat

Badan merah,
ektrimitas biru

Gerakan

kuat/

melawan

Seluruh

tubuh

kemerahmerahan

Sumber: Ahmad (2015) Kehamilan Persalinan dan Perawatan Bayi.
Berdasarkan nilai APGAR, asfiksia dapat di bagi menjadi tiga jenis
menurut (Saputra, 2014) yaitu :
1.

7 - 10: Bayi dalam keadaan normal.

2.

4 – 6: Bayi mengalami asfiksia sedang.

3.

0 – 3: Bayi mengalami asfiksia berat.

2.2.2 Klasifikasi Klinis Asfiksia
Menurut Maryunani (2009) Klasifikasi Asfiksia adalah sebagai berikut :
1.

Vigorous Baby
Skor apgar 7-10. Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak
memerlukan tindakan isimewa.

2.

Mild moderate asphyxia (asfiksia sedang)
Skor apgar 4-6. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi
jantung lebih dari 100/menit, tonus oto buruk, sianosis berat, dan kadangkadang pucat, reflek iritabilita tidak ada.

3.

Asfiksia berat
Skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi
jantung kurang dari 100/menit, tonus oto buruk, sianosis berat, dan
kadang-kadang pucat, reflek iritabilita tidak ada.

2.3 Mekanisme Lama Kala II Mempengaruhi Asfiksia
Lamanya persalinan dapat digunakan sebagai pegangan tentang kemungkinan
terjadinya persalinan lama akibat adanya gangguan pada kekuatan his yang lemah,
frekuensi his berkurang, lamanya kekuatan his berlangsung, koordinasi tidak teratur
sehingga resultan selama proses persalinan kurang menunjukan arah kekuatan
menuju jalan lahir, dampak dari kegagalan his tersebut menyebabkan persalinan
berjalan lambat dan lama serta menyebabkan terjadi gangguan metabolisme ke arah
asidosis dah dehidrasi yang memerlukan penanganan sesuai penyebabnya (Latifa,
2015).
Partus lama dikaitkan dengan his yang masih kurang dari normal sehingga
tahanan jalan lahir yang normal dapat diatasi karena durasi hisnya tidak terlalu lama,
tidak terjadi koordinasi kekuatan. Gangguan kontraksi uterus misalnya hipertoni atau
hipotoni dapat mengurangi aliran darah pada uterus yang akan menyebabkan
berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan ke janin (maryunani,2009).
Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama

kehamilan/persalinan, akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian.
Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversible atau tidak bergantung kepada
berat dan lamanya asfiksia . Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu
(primary apnoea) disertai dengan penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan
mempelihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan
teratur. Para penderita asfiksia berat, apnu kedua (secondary apnoea) (Septiana,
2012).
Di samping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula gangguan metabolisme
dan perubahan keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama
gangguan pertukaran gasmungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik. Bila
gangguan berlanjut, dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme anaerobik
yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga sumber glikogen tubuh terutama pada
jantung dan hati akan berkurang. Asam organik yang terjadi akibat metabolisme ini
akan menyebabkan timbulnya asidosismetabolik. Pada tingkat selanjutnya akan
terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh beberapa keadaan di
antaranya: (a) hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi
jantung, (b) terjadinya asidosismetabolik akan mengakibatkan menurunnya sel
jaringan, termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung, (c)
pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya
resistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan demikian pula
ke sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan. Acidosis dan gangguan
kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan

sel otak yang terjadi menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya (Septiana, 2012).
keadaan- keadaan pada asfiksia yang perlu mendapat perhatian sebaiknya,
yaitu : (1) menurunnya tekanan O2 darah (PaO2), (2) meningginya tekanan CO2 darah
(PaCO2), (3) menurunnya pH (akibat asidosis respiratorik dan metabolik), (4) dipakainya sumber glikogen tubuh untuk metabolisme anaerobik, (5) terjadinya
perubahan sistem kardiovaskular. Mengenal dengan tepat perubahan tersebut di atas
sangat penting, karena hal itu merupakan manifestasi daripada tingkat asfiksia yang
terjadi. Tindakan yang dilakukan pada bayi asfiksia hanya akan berhasil dengan baik
bila perubahan yang terjadi dapat dikoreksi secara adekuat (Septiana, 2012).
Di samping itu dapat pula memberikan gambaran beratnya perubahan kardiovaskular yang ditemukan. Penilaian semacam Apgar ini juga mempunyai hubungan
yang bermakna dengan mortalitas dan mordibilitas bayi baru lahir. Cara ini dianggap
yang paling ideal dan telah banyak digunakan di mana-mana. Patokan klinis yang
dinilai ialah : (1) menghitung frekuensi jantung, (2) melihat usaha bernafas. (3) menilai
tonus otot, (4) menilai refleks rangsangan, (5) memperhatikan warna kulit. Setiap
kriteria diberi angka tertentu dan penilaian itu sekarang lazim disebut Skor Apgar.
Skor Apgar ini biasanya dinilai I menit setelah bayi lahir lengkap, yaitu pada saat bayi
telah diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan pengisapan lendir dengan
sempurna Skor Apgar 1 menit ini menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan
baik sekali sebagai pedoman untuk menentukan cara resusitasi. Skor Apgar perlu
pula dinilai setelah 5 menit bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat
dengan morbiditas dan mortalitas neonatal (Septiana, 2012).

2.4 Kerangka Konsep
Variabel Moderator ( - )
Ketidakmampuan ibu
untuk meneran

Variabel Independen

Variabel Intervening

Variabel Dependen

Kontraksi Lemah

Lama Fase

Kejadian Asfiksia
Bayi Baru Lahir

Kala II

1. Lilitan tali pusat
2. Bayi besar

Variabel Moderator ( + )

1. Seluruh ibu bersalin di Klinik
ABI UMMI DW Sarmadi
Palembang.
2. Seluruh bayi lahir dari ibu
bersalin di Klinik ABI UMMI DW
Sarmadi Palembang.
3. Ibu yang bersedia menjadi
responden

Variabel Kontrol
= Yang diteliti
= Yang tidak diteliti

Bagan 2.1 Krangka Konsep

2.5 Hipotesis Penelitian
1. a.

H0 : Tidak Ada Perbedaan Lama Fase Kala II Pada Ibu Bersalin
Primigravida dan Multigravida Di RSUD Palembang BARI Tahun
2016.

b.

H0 : Tidak Ada Perbedaan Lama Fase Kala II Ibu Bersalin Primigravida
pada Bayi Baru Lahir Dengan Asfiksia dan Tidak Asfiksia Di RSUD
Palembang BARI Tahun 2016.

c.

H0 : Tidak Ada Perbedaan Lama Fase Kala II Ibu Bersalin Multigravida
pada Bayi Baru Lahir Dengan Asfiksia dan Tidak Asfiksia Di RSUD
Palembang BARI Tahun 2016.

2. a.

Ha : Ada Perbedaan Lama Fase Kala II Pada Ibu Bersalin Primigravida
dan Multigravida di RSUD Palembang BARI Tahun 2016.

b.

Ha : Ada Perbedaan Lama Fase Kala II Ibu Bersalin Primigravida pada
Bayi Baru Lahir Dengan Asfiksia dan Tidak Asfiksia di RSUD
Palembang BARI Tahun 2016.

c.

Ha : Ada Perbedaan Lama Fase Kala II Ibu Bersalin Multigravida pada
Bayi Baru Lahir Dengan Asfiksia dan Tidak Asfiksian di RSUD
Palembang BARI Tahun 2016

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian akademik yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat guna menyelesaikan pendidikan program DIII Kebidanan. Tujuan
terapan dilakukan dengan tujuan menerapkan, menguji, dan mengevaluasi masalahmasalah praktis sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penelitian ini
menggunakan metode Survey Analitik yaitu survey atau penelitian yang mencoba
menggali bagaimana lama fase kala II pada ibu bersalin menyebabkan asfiksia bayi
baru lahir di klinik RSU