GLOBALISASI DAMPAK TERHADAP ketahanan AGAMA

GLOBALISASI (dampak terhadap agama)
Sebagai bangsa Indonesia dan umat Islam, kita bersifat terbuka kepada Barat
sesuai dengan anjuran agama. Hal yang mendorong kita untuk memiliki sifat itu
adalah: (1) Kita adalah pemilik risalah‘alamiyah (global) yang datang untuk
seluruh manusia di seluruh penjuru dunia. Benar bahwa Kitab suci kita
berbahasa Arab, Rasul kita seorang Arab, dan Islam tumbuh di dunia Timur
(Arab). Tetapi ini bukan berarti bahwa Islam ditujukan hanya untuk bangsa
tertentu, melainkan untuk segenap penduduk bumi. Agama masehi sendiri
tumbuh di dunia Timur, lalu tersebar di penjuru dunia. (2) Jalan untuk menuju
saling pengertian dan berdekatan cukup banyak. (Salah satunya adalah ta’aruf).
Jadi ta’aruf –bukan saling bermusuhan- merupakan kewajiban semua penduduk
bumi. Kita tidak sependapat dengan seorang sastrawan Barat yang mengatakan,
‘Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat. Keduanya tidak mungkin
bertemu.’ Keduanya justru bisa bertemu, dan bahkan wajib untuk bertemu bila
niatnya benar. (3) Dunia yang semakin dekat ini mengharuskan penganut
agama-agama samawi dan pemilik tiap peradaban untuk bertemu, berdialog dan
saling memahami. Dan tentu saja dialog semacam itu lebih baik daripada
pemusuhan.

Yusuf al-Qaradhawi
Globalisasi sebagai sebuah fenomena mulai menampakkan dirinya pada sekitar tahun

delapanpuluhan abad ini. Dan pemunculan itu setidaknya sangat berkiatan erat dengan 3
peristiwa besar yang masing-masing mewakili ranah politik, teknologi dan ekonomi. Ketiga
peristiwa itu adalah:
1. Ranah politik: berupa berakhirnya perang dingin antara Timur –yang dalam hal ini
diwakili oleh Uni Soviet- dan Barat –yang dalam hal ini diwakili oleh Amerika-.
Tentu saja dengan “kekalahan” di pihak Uni Soviet yang belakangan harus rela
membiarkan wilayahnya tercabik dan melepaskan diri satu persatu.
2. Ranah teknologi: yang mewujud dalam revolusi informasi, dimana dunia menyaksikan
ledakan yang luar biasa dalam bidang telekomunikasi dan arus perpindahan informasi
yang tak terkendali dari satu tempat ke tempat yang lain.
3. Ranah ekonomi: berupa lahirnya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun
1995 yang kemudian menjadi bibit persemaian awal ide pasar dan perdagangan bebas
di antara semua negara.[2]
Satu hal unik yang patut dicatat adalah bahwa globalisasi belum pernah terjadi atau
ditemukan pada abad-abad sebelumnya, meskipun beberapa negara atau bangsa memiliki
kekuasaan penuh (baca: menjajah) bangsa lainnya secara militer dan ekonomi. Meskipun

Romawi pernah menguasai hampir semua wilayah Eropa misalnya, namun kekuasaan itu
kemudian tidak melahirkan fenomena globalisasi ini.
Demikian pula jika kita menariknya jauh ke belakang di saat bangsa Eropa menggalakkan

ekspedisi pencarian wilayah baru di kawasan timur bumi, sejarah tidak pernah mencatat adanya
fenomena baru yang disebut globalisasi ini, meskipun sebagian negara Eropa itu berhasil
menanamkan kekuatan dan kekuasaannya di berbagai wilayah timur dunia. Namun di zaman
kiwari ini, di saat kita –setidaknya secara kasat mata- tidak lagi melihat bentuk-bentuk
imperialisme klasik atas bangsa lain, gelombang globalisasi dengan dukungan perkembangan
telekomunikasi dan transportasi yang berkembang nyaris setiap detik, justru menjelma menjadi
fenomena yang tak mungkin lagi terbendung. Kita nampaknya tidak mempunyai pilihan lain
selain turut serta menjadi “pemain” dalam arusnya yang sangat kuat. Tinggal kemudian kita yang
menentukan: apakah kita sekedar menjadi “pemain” yang pasrah mengikuti ke mana saja ia
mengalir, atau justru menjadi “pemain” yang lihai memanfaatkan arusnya untuk mewujudkan
cita-cita keislaman kita.
Tulisan ini pada intinya ingin menyampaikan gagasan seputar bagaimana seharusnya
seorang muslim dapat tetap berdiri kukuh menggenggam identitasnya, sembari terus
memanfaatkan kekuatan arus globalisasi tersebut untuk kepentingan Islam yang ia yakini.
Karena itu, uraian kajian ini akan mengulas poin-poin berikut ini:
1. Apa itu globalisasi?
2. Kegelisahan bangsa-bangsa dunia akan krisis identitas mereka akibat globalisasi.
(Dampak negatif globalisasi terhadap identitas bangsa-bangsa dunia)
3. Bagaimana menyelesaikan dampak negatif globalisasi terhadap identitas muslim.
4. Bagaimana memanfaatkan globalisasi sebagai jalan untuk memperteguh identitas

muslim.
Apa Itu Globalisasi?

Meskipun globalisasi telah menjadi fenomena yang diakui keberwujudannya oleh semua
kalangan, namun tetap saja terjadi perbedaan pandangan saat kita akan menjelaskan batasannya
yang sebenarnya. Para cendekiawan yang mengurai masalah ini setidaknya terbagi menjadi
beberapa “madzhab” ketika memberikan definisi terhadap globalisasi, antara lain:
Pertama, adalah yang menitikberatkan fenomena globalisasi pada bidang ekonomi. DR.
Sa’ad al-Bazi’i misalnya menyebutkan:
Globalisasi adalah penjajahan dalam pakaiannya yang baru. Sebuah pakaian yang
dibentuk oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan membawa nilai-nilai yang
mendukung tersebar dan mengakarnya kepentingan-kepentingan itu. Ia adalah penjajahan
tanpa dominasi politik secara langsung atau iring-iringan militer yang kasat mata. Secara
sederhana, ia adalah upaya yang didorong oleh hasrat berkuasa manusia atas ekonomi
dan pasar lokal, lalu mengikatnya dengan sistem yang lebih besar untuk kemudian
mendapatkan sebanyak mungkin konsumen. Dan jika upaya pencarian pasar dan usaha
untuk memasarkan (produk) adalah merupakan tuntutan manusiawi yang telah ada sejak
dulu hingga sekarang, bahkan disyariatkan, akan tetapi apa yang terjadi di sini (dalam
globalisasi –pen) tidak sama dengan itu. Sebab (globalisasi) adalah upaya untuk


melakukan persaingan yang tidak berimbang –bahkan boleh jadi tidak terhormat- dari
satu sisi, dan dari sisi lain ia adalah upaya untuk melemahkan apapun yang menghalangi
jalannya; baik itu berupa nilai ataupun upaya ekonomi dan pemikiran.
Penjelasan ini dengan sangat jelas memandang bahwa inti dari globalisasi sepenuhnya
berputar pada satu titik utama, yaitu kepentingan ekonomi pihak yang menggerakkan globalisasi
itu. Tindakan apapun yang lahir kemudian, meskipun tidak memiliki aroma ekonomi yang
kental, sesungguhnya adalah alat untuk menyukseskan kepentingan utama tersebut. Meskipun
sebenarnya pengaitan globalisasi dengan ekonomi bisa melahirkan dua paradigma yang
kontradiktif: paradigma optimistik dan pesimistik. Dengan paradigma optimistik kita bisa saja
mengatakan bahwa globalisasi akan membuka sekat-sekat yang selama ini menghalangi banyak
negara untuk memasarkan produknya atau mendapatkan produk-produk penunjang
kemajuannya. Sementara dengan paradigma pesimistik, kita juga bisa mengatakan bahwa
globalisasi hanya akan menambah jumlah kemiskinan dan menguntungkan korporasi-korporasi
besar, yang mengakibatkan matinya usaha-usaha kecil.
Kedua, yang mengaitkan globalisasi dengan sisi pemikiran dan ideologis. Suatu model
yang disebut sebagai teologi global oleh John Hick, atau teologi dunia (world theology) oleh
W.C. Smith.[5] DR. Muhammad ‘Abid al-Jabiry mengatakan:
Globalisasi berarti menafikan yang lain dan menjalankan ‘proses pemberangusan’
pemikiran (lain)...Ia juga berarti dominasi dan pengharusan menerapkan satu model
konsumsi dan perilaku yang sama.

Hal yang sama juga kemudian digambarkan secara lebih jelas oleh Muhammad Samir alMunir yang menyatakan:
Barat ingin mewajibkan model, pemikiran, perilaku, nilai, gaya dan pola konsumsinya
terhadap (bangsa) lain. Sedangkan orang-orang Prancis memandang bahwa globalisasi
adalah wujud halus dari Amerikaisasi yang mewujud dalam tiga simbol: (1)
kepemimpinan bahasa Inggris sebagai bahasa kemajuan dan globalisasi, (2) dominasi
film-film Hollywood dengan ide-ide rendah namun fasilitas yang fantastik, dan (3)
minuman Coca-cola, sepotong burger dan Kentucky-nya...
Atau dalam bahasa ide yang sama, menurut Malcom Walter, bahwa globalisasi yang
datang bersama dengan kapitalisme ini malah memasarkan ideologi Barat, dan bahkan membawa
kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya.
Karena kenyataannya, -masih menurut Walter- gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi
yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai
kebudayaan Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme, liberalisme dan
sekulerisme.
Ketiga, ada yang memberikan batasan bahwa globalisasi tidak lebih dari sekedar sebuah
fenomena “afiliasi yang bersifat internasional”, seperti batasan yang diberikan oleh DR. Shabri
‘Abdullah:
Bahwa globalisasi adalah fenomena dimana segala hal yang berhubungan dengan
ekonomi, pemikiran, sosial dan perilaku bercampur serta berkelindan menjadi satu,


hingga kemudian (hasil percampuran itu –pent) diafiliasikan kepada seluruh dunia
melampaui batas-batas politis negara-negara.
Sementara yang lain mencoba memberikan batasan yang lebih komperhensif dan integral
terhadap globalisasi dengan menetapkan bahwa fenomena ini tidak sekedar mewakili salah satu
dari poin-poin yang dititiktekankan oleh ketiga pandangan sebelumnya. Samir al-Tharablusi
misalnya menguraikan batasan globalisasi dengan mengaitkannya –setidaknya- pada 3
hal:ekonomi, politik, dan pemikiran. Ia menjelaskan bahwa globalisasi adalah sebuah pandangan
strategis kekuatan kapitalisme internasional, khususnya Amerika Serikat, yang bertujuan untuk
menata ulang dunia sesuai kepentingan dan ketamakannya. Dan dalam proses menuju itu,
pandangan ini menempuh 3 jalan penting: (1) Ekonomi, dan tujuannya adalah menekan dunia
untuk masuk dalam satu pasar kapitalisme yang diatur dengan satu sistem, dimana seluruh
kekuatan kapitalisme (Tujuh negara industri, IMF, WTO, dan yang lainnya) dikerahkan untuk
mengawasi dan membatasi geraknya. (2) Politik, dan tujuannya adalah membangun ulang tata
politik negara-negara dunia dalam wujud yang terpecah-pecah dan membangun negara-negara
baru yang memiliki kekuatan legitimasi yang rapuh oleh pertikaian internal; semuanya dengan
tujuan memberangus hasrat perlawanan negara-negara dunia terhadap kapitalisme –yang
memang tidak akan mencapai kestabilannya kecuali dengan keterpecahan itu. (3) Pemikiran,
yang bertujuan mencerabut akar bangunan pemikiran dan peradaban bangsa-bangsa dunia,
dengan tujuan menyapuratakan dunia dengan pemikiran yang mendukung kepentingan pasar
global; seperti menggiring opini negara berkembang bahwa mereka tidak bisa melepaskan

ketergantungan pada negara-negara maju.
Respon Agama : Memahami Peta Gerakan Anti Globalisasi

Dikarenakan berbagai dampak buruk globalisasi, wajar kalau muncul respon berupa protes dan
kritik tajam terhadap globalisasi, yang disimbolkan dengan berbagai simptomnya, seperti WTO
dan berbagai summit yang dilakukan oleh G-8, IMF, EU, APEC, AFTA, dan seterusnya.
Gelombang protes atas globalisasi di Seattle pada Nopember 1999, berlanjut di kota-kota besar
lain tempat berbagai pertemuan internasional berlangsung, seperti Washington, Millan,
Melbourne, Prague, Nice, Gothenburg, Quebec City, Genoa, London, Barcelona, Doha, dan
Cancun. (Sejati & Martanto, 2006:91).
Bagaimana peta gerakan anti globalisasi yang ada? Lalu di mana posisi agama dalam peta
gerakan tersebut? Eric Hiariej dalam artikelnya Gerakan Anti Kapitalisme Global telah mencoba
membuat peta gerakan anti globalisasi itu, namun memang tidak jelas di mana posisi atau peran
agama dalam peta yang dibuatnya tersebut. (Sejati & Martanto, 2006:85-107).
Hiariej mengutip klasifikasi gerakan anti globalisasi menurut Manfred Steger (2002) dan
Callinicos (2003). Dalam versi Manfred Steger, gerakan ini secara sederhana dipilah mengikuti
pemilahan klasik “kanan” dan “kiri” sebagai berikut :
Pertama, kelompok kanan, yaitu para proteksionis nasionalis, yang cenderung menyalahkan
globalisasi sebagai biang penyebab berbagai penyakit sosial, ekonomi, dan politik yang menimpa
masyarakat di negara asalnya. Mereka mencela perdagangan bebas, kekuatan investor global,

dan perusahaan multinasional yang dianggap menyumbang kerusakan sosial di negara mereka.

Para proteksionis nasionalis menuntut keutuhan bangsa dan negaranya dari elemen-elemen asing.
Menurut Steger, mereka ini contohnya adalah Patrick Buchanan, Jorg Haidar, Jean-Marie Lepen,
Gerhard Frey dan Gianfranco Fini.
Kedua, kelompok kiri, yang disebut Steger egalitarian internasionalis. Mereka ini meliputi partaipartai politik progresif dengan visi dunia yang lebih adil dan merata antara Utara dan Selatan,
serta berbagai NGO yang mengusung isu-isu lingkungan, HAM, buruh, dan perempuan. Para
egalitarian internasionalis menuduh para elit penggerak globalisasi telah memaksakan
neoliberalisme yang menjadi sumber ketimpangan global, pengangguran, degradasi lingkungan,
dan matinya kesejahteraan sosial. Kelompok kiri ini bermaksud mengambil alih proses
globalisasi dari tangan para pengambil kebijakan neoliberal dan pemilik modal. Menurut Steger,
mereka ini contohnya adalah aktivis anti korporasi Ralph Nader, kelompok pergerakan seperti
Zapatista (Meksiko) dan Chipko (India), dan berbagai NGO seperti International Forum on
Globalization, Global Exchange, dan Focus on the Global South. (Sejati & Martanto, 2006:9798).
Sementara menurut Callinicos (2003) gerakan anti globalisasi dipilah lebih lengkap menjadi
enam kelompok :
Pertama, kelompok reaksioner, atau para romantic capitalism. Mereka memperjuangkan
masyarakat baru berdasarkan kerinduan akan masa lalu yang ideal tanpa sepenuhnya menolak
modernitas. Contohnya kelompok dengan ideologi Kanan Jauh di Amerika yang memandang
integrasi transnasional sebagai ancaman serius.

Kedua, para borjuis penentang kapitalisme. Mereka ini contohnya Norena Heertz yang posisi
ideologisnya sebenarnya tidak anti kapitalisme. Bagi Hertz, yang menjadi soal bukan korporasi
besar, tapi perimbangan antara politik dan pasar. Mengingat globalisasi menempatkan politik di
bawah kendali pasar, maka kelompok ini menyerukan harus ada perimbangan politik dan pasar,
agar korporasi besar tidak mengendalikan negara demi kepentingannya sendiri.
Ketiga, kelompok localist anti-capitalism. Kelompok ini mencakup aktivis dan intelektual yang
memperjuangkan mekanisme pasar yang diperbarui dan lebih terdesentralisasi sebagai jawaban
terhadap globalisasi. Mereka mengajukan localization, sebagai alternatif globalisasi. Gagasan ini
diwujudkan dalam bentuk fair trade pada level mikro antara produsen dan konsumen. Konsumen
di Utara harus mengutamakan hubungan dagang yang lebih adil terhadap produsen di Selatan.
Keempat, kelompok reformis. Mereka merupakan kelompok gerakan buruh yang reformis,
dengan mengacu pada strategi demokrasi sosial (sosdem) untuk menggapai sosialisme lewat
jalan parlementer. Mereka ingin membuat kapitalisme yang lebih manusiawi, atau lebih
terregulasi. Contoh figurnya adalah James Tobin dan Susan George, yang menghendaki
kembalinya kapitalisme Keynesian yang diperbarui, bukan hanya untuk Amerika dan Eropa, tapi
juga untuk seluruh dunia.
Kelima, para otonomis. Dengan inspirasi gerakan Tute Bianche di Italia dan Zapatista di Mexico,
kelompok otonomis menolak sentralisasi kekuatan dan justru mengedepankan metode yang
berbeda-beda dalam mengorganisir berbagai aksi perlawanan.


Keenam, para sosialis. Mereka adalah sisa-sisa elemen sosialis sekitar gerakan buruh dan
organisasi revolusioner, setelah surutnya sosialisme. Sebagian besar mereka adalah kaum sosialis
yang mewarisi tradisi Trotskyisme, terutama yang berada di Eropa Barat. (Sejati & Martanto,
2006:98-101).
Dari paparan Eric Hiariej di atas, baik versi Steger maupun Callinicos, tidak nampak bagaimana
respon atau sikap agama dalam peta gerakan-gerakan yang menentang globalisasi. Namun dalam
pemetaan yang dilakukan Mansour Fakih (2001:223-226), agak sedikit lebih jelas di mana peran
agama dalam penentangan terhadap globalisasi. Menurut Fakih, para penentang globalisasi dapat
diidentifikasikan dalam tiga kelompok :
Pertama, kelompok gerakan kultural dan agama. Menurut Fakih, sebagai bentuk resistensi
terhadap globalisasi, gerakan berbasis agama timbul di mana-mana. Dia contohkan, di Mesir,
kekecewaan terhadap pembangunan telah melahirkan gerakan berbasis keagamaan yang dilabeli
dengan fundamentalis Islam. Di India, resistensi terhadap globalisasi nampak pada kelompok
Hindu Revivalis (Rashtriya Swayamsewak Sangh) yang mendesak India untuk memboikot
barang buatan asing.
Kedua, kelompok new social movement dan global civil society. Mereka adalah gerakan yang
menentang pembangunan dan globalisasi, seperti gerakan hijau, feminisme, dan gerakan
masyarakat akar rumput. Contohnya adalah KAU (Koalisi Anti Utang) di Indonesia, serta
berbagai koalisi LSM yang menentang WTO.
Ketiga, kelompok lingkungan. Mereka berupaya untuk memberdayakan rakyat (eko-populisme)

dan membongkar kerusakan ekosistem dunia yang diakibatkan oleh praktik ekonomi modern di
bawah pengaruh globalisasi. Contohnya gerakan Chipko (Chipko Movement) di India, yang
menentang perusahaan penebangan hutan. WALHI di Indonesia juga merupakan salah satu
contohnya. (Fakih, 2001:223-226).
Dari deskripsi Mansour Fakih di atas, menjadi agak jelas bagaimana posisi dan respon agama
dalam menghadapi globalisasi. Agama-agama, khususnya Islam, ternyata menunjukkan sikap
menolak dan melawan globalisasi, meski Fakih masih terjebak dalam kerangka tipologi
intelektual Barat yang menyebut gerakan-gerakan Islam (al-harakah al-Islamiyah) sebagai
kelompok Fundamentalisme Agama yang berkonotasi negatif. (Adams, 2004:425-458).
Dapat ditambahkan, respon agama terhadap globalisasi juga dilukiskan oleh Norena Heertz
ketika dia menyayangkan bagaimana terkikisnya identitas masyarakat Budha di kerajaan Bhutan.
Kerajaan yang terletak di antara Tibet dan India ini, berubah gaya hidupnya dari sederhana
menjadi konsumtif dan hedonis gara-gara globalisasi. (Wahono & Wibowo, 2003:13-46). Respon
kalangan Katolik terhadap globalisasi, juga dapat ditunjukkan sebagaimana disinggung sekilas
oleh Gilpin dan Gilpin (2002). Paus Johannes Paulus II dianggap sebagai penentang globalisasi
dari kelompok Komunitarian, yakni kelompok yang menginginkan kembalinya komunitaskomunitas lokal, mandiri, dan terjalin erat, bukan komunitas yang didominasi perusahaan
multinasional, pasar modal, dan birokrat internasional seperti IMF dan WTO. (Gilpin & Gilpin,
2002:332-335).

Bagi umat Islam, globalisasi memang sangat berbahaya. Sebab umat Islam tidak hanya
merasakan bahayanya dari sudut ekonomi, seperti kemiskinan, namun juga bahayanya secara
ideologi, yakni terancamnya orisinalitas ajaran Islam. Contohnya adalah penyelenggaraan
Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) oleh PBB di Kairo,
September 1994. Konferensi itu sangat membahayakan karena berusaha melegalkan zina,
homoseksual, lesbianisme, aborsi. Padahal semua itu haram menurut Islam. (Usman, 2003:262263). Contoh lainnya adalah bagaimana agen-agen globalisasi juga merusak ajaran Islam lewat
pendidikan. Di negara-negara Arab, seperti Arab Saudi, Kuwait, Yordania, Mesir, dan lain-lain
telah dilakukan perubahan kurikulum Islam dengan dalih perkembangan jaman. Arab Saudi
mengubah materi al-wala` wa al-bara` (loyalitas dan disloyalitas). Sementara Yordania, Mesir,
dan Kuwait mengubah materi tentang jihad dan perang melawan kafir agresor, seperti Yahudi
dan Nasrani. Negara-negara itu juga mengubah konsep-konsep Islam yang dibenci AS. (AnNabhani, 2006:103).