Upacara Adat Cawir Metua Pada Masyarakat Karo Di Kabupaten Langkat: Kajian Semiotik

(1)

UPACARA ADAT CAWIR METUA PADA MASYARAKAT KARO DI KABUPATEN LANGKAT: KAJIAN SEMIOTIK

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : GIRSON TARIGAN

NIM : 080703009

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UPACARA ADAT CAWIR METUA PADA MASYARAKAT KARO DI KABUPATEN LANGKAT: KAJIAN SEMIOTIK

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : GIRSON TARIGAN NIM : 080703009

Diketahui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Dra.Herlina Ginting, M.Hum. Dra.Asni Barus, M.Hum. Nip. 196402121988032001 Nip. 195904271987022001

Disetujui Oleh : Departemen Sastra Daerah

Ketua,

Drs.Warisman Sinaga, M.Hum. Nip.196207161988031002


(3)

ABSTRAK

Girson Tarigan, 2012. Judul skripsi: Upacara adat cawir metua pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat Kajian Semiotik

Penelitian ini merupakan penelitian tentang upacara adat kematian pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat yang diinjau dari kajian semiotik.

Upacara adat kematian merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang, yang hingga sekarang masih di jumpai di seluruh pelosok tanah air, biasanya di dalam perwujudannya dikaitkan pada hal-hal yang bersifat religious. Menurut Koentjaraningrat (1971), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan atau aktifitas dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Semua tindakan manusia adalah kebudayaan karena untuk melakukan suatu tindakan memiliki proses pembelajaran.

Metode dasar yang digunakan dalam skipsi ini adalah metode deskriptif. Metode Deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan objek/subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.

Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa upacara kematian memiliki tanda dan makna yang menunjukkan status dan kedudukan seseorang baik dalam ikatan kekeluargaan dan juga dalam kagiatan adat.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan kasih karunia-Nya, yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

Adapun judul skripsi ini adalah upacara adat cawir metua pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat. Judul ini Penulis ambil berdasarkan sejarah dan budaya masyarakat Batak Karo yang terdapat di Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara.

Agar dapar memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang isi skripsi ini, penulis akan memaparkan rincian sistematika penulisan ini sebagai berikut.

Bab I merupakan pendahuluan. Pada bab ini diuraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan gambaran umum lokasi penelitian.

Bab II merupakan tinjauan pustaka yang mencakup kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan.

Bab III akan membahas metode penelitian yang terdiri atas: metode dasar, lokasi penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

Bab IV merupakan hasil dan pembahasan. Pada bab ini akan diuraikan tahapan pelaksanaan upacara adat cawir metua pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat dan jenis dan makna tanda pada upacara adat cawir metua pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat.

Bab V merupakan kesimpulan dan saran, kemudian diakhiri dengan daftar pustaka dan lampiran.


(5)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, mengingat waktu dan kemampuan penulis yang sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak.

Medan, Oktober 2012 Penulis,


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan berkah untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini hingga selesai. Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan saran, dukungan, bimbingan dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya teristimewa kepada kedua orang tua penulis yang penulis sangat sayangi Ayahanda (U.Tarigan) dan Ibunda (S.br.Surbakti) yang telah bersusah payah mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang dan juga tak henti-hentinya memberikan dukungan dan perhatian baik materi dan spiritual selama penulis mengikuti perkuliahan hingga sampai saat ini. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr.Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU, Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III, Serta seluruh staff dan pegawai dijajaran Fakultas Ilmu Budaya.

2. Bapak Drs. Warisman sinaga, M.Hum. Selaku Ketua Departemen Sastra Derah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta seluruh staff dan jajaran pegawai di Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum. Selaku Sekertaris Departemen Sastra Derah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan juga sekaligus yang menjadi pembimbing I penulis yang juga selalu mendukung dan memrikan masukan – masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini selesai, penulis


(7)

mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu karena telah sabar, semangat dan mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Asni Barus, M.Hum. selaku dosen pembimbing II penulis yang juga selalu mendukung dan memrikan masukan – masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini selesai, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu karena telah sabar, semangat dan mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Abang (Mampu Tarigan dan Joni Tarigan), kakak (Sri Artina br Tarigan) adik (Afrilita br Tarigan) terimakasih buat support serta doa yang telah kalian berikan dan selalu memberikan saya semangat dalam penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan Terimakasih kepada seseorang yang penulis sayangi dan cintai Nelly Febri Trisna br Sitepu, yang selalu mendengarkan keluh kesah penulis dalam penyusunan skripsi ini, dan yang selalu memberikan semangat dalam menyelesaikan studi penulis.

6. Kepada masyarakat Desa Gunung Tinggi dan Bapak Kepala Desa yang telah memberikan respon yang baik kepada penulis dalam pengumpulan data di lapangan hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Teman-teman Mahasiswa/I seperjuagan Imanuel, Mikael, hafiz, jandri, Anke, Dewi, Ayu, dan seluruh anak IMSAD yang belum penulis sebutkan, terimakasih penulis ucapkan atas bantuan dan dorongan serta doa yang diberikan kepada penulis.


(8)

8. Kepada sahabat – sahabat terbaikku di HDS_Group yang selalu memberikan dukungan dan masukan – masukan dalam penyusunan skripsi ini dan yang menghibur penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

9. Kepada teman-teman di kos gang sinar yang selalu memberi dorongan yang selalu memberikan dorongan dan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semua Pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini, yang telah membantu penulisan dan proses studi. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis. penulis menyadari akan keterbatasan penulis, maka hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu koreksi dan masukan dari berbagai pihak diharapkan penulis guna penyempurnaannya. Semoga tulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, Oktober 2012 Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 4

1.3.Tujuan Penelitian ... 4

1.4.Manfaat Penelitian ... 5

1.5.Letak Geografis Kabupaten Langkat ... 6

1.5.1. Kondoisi Wilayah ... 6

1.5.2. Kependudukan ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Kepustakaan yang Relevan ... 10

2.1.1. Pengertian Semiotik ... 10

2.1.2. Pengertian Cawir Metua ... 13

2.1.3. Sistem Kekerabatan Pada Masyarakat Karo ... 15

2.1.4. Tutur Siwaluh Rakut Sitelu ... 18

2.1.5. Sangkep Nggeluh ... 26

2.1. Teori yang Digunakan ... 29


(10)

3.2.Lokasi Penelitian ... 38

3.3.Sumber Data Penelitian ... 38

3.4.Instrumen Penelitian ... 39

3.5.Metode Pengumpulan Data ... 39

3.6.Metode Analisis Data ... 40

BAB IV PEMBAHASAN ... 42

4.1 Tahapan Pelaksanaan Upacara Adat Cawir Metua Pada Masyarakat Karo di Kabupaten Langkat ... 42

4.2 Jenis dan Makna Tanda Pada Upacara Adat Cawir Metua Pada Masyarakat Karo di Kabupaten Langkat ... 52

4.2.1. Amak Mbentar ... 52

4.2.2. Kampil ... 53

4.2.3. Uis Adat ... 54

4.2.4. Terdas ... 56

4.2.5. Bulang Telu Rupa ... 56

4.2.6. Sen ... 57

4.2.7. Maneh-maneh ... 58

4.2.8. Manuk Langkah Lalu ... 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

6.1 Kesimpulan ... 60

6.2 Saran ... 61


(11)

ABSTRAK

Girson Tarigan, 2012. Judul skripsi: Upacara adat cawir metua pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat Kajian Semiotik

Penelitian ini merupakan penelitian tentang upacara adat kematian pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat yang diinjau dari kajian semiotik.

Upacara adat kematian merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang, yang hingga sekarang masih di jumpai di seluruh pelosok tanah air, biasanya di dalam perwujudannya dikaitkan pada hal-hal yang bersifat religious. Menurut Koentjaraningrat (1971), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan atau aktifitas dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Semua tindakan manusia adalah kebudayaan karena untuk melakukan suatu tindakan memiliki proses pembelajaran.

Metode dasar yang digunakan dalam skipsi ini adalah metode deskriptif. Metode Deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan objek/subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.

Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa upacara kematian memiliki tanda dan makna yang menunjukkan status dan kedudukan seseorang baik dalam ikatan kekeluargaan dan juga dalam kagiatan adat.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang mempunyai beragam bahasa dan suku. Suku-suku di Indonesia pada umumnya mempunyai ciri dan budaya tersendiri termasuk suku Batak yang berada di wilayah Sumatera Utara. Suku Batak terdiri atas lima subsuku yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola Mandailing dan Batak Pakpak Dairi. Kelima subsuku Batak tersebut memiliki bahasa dan kebudayaan yang hampir sama.

Bahasa adalah alat komunikasi yang terdiri atas penanda (signifiant) dan petanda (signifient). Penanda bukanlah bunyi bahasa secara konkrit, melainkan citra bunyi bahasa yang disebut sebagai image acoustique (citra bunyi). Teori tanda ini bersifat dikotimis karena didasari relasi antara dua segi yaitu petanda dan penanda(Saussure, 1974:99). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan dan lain sebagainya, yang dapat menjadi tanda bukan hanya bahasa melainkan barbagai hal yang melingkupi hidup sehari-hari. Seperti tulisan, lukisan, karya seni, sastra dan lain-lain. Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya.

Kebudayaan merupakan hasil pemikiran manusia yang diturunkan secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan diterima oleh pewarisnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Adat istiadat juga merupakan aturan atau norma


(13)

yang menjadi pedoman hidup bagi setiap individu dalam kehidupan di tengah masyarakat dan setiap individu tersebut terikat kepada norma atau aturan yang telah ditentukan sebelumnya.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, suku Batak Karo adalah salah satu dari lima subsuku Batak yang sudah memiliki kebudayaan sendiri sejak dahulu. Daerah persebaran masyarakat karo memiliki letak geografis yang berbeda-beda yang salah satunya adalah Karo Jahe yang terdapat di Kabupaten Langkat dan sekitarnya. Namun, perbedaan letak geografis tersebut tidak menimbulkan persoalan dalam tata cara pelaksanaan kebudayaannya, karena pada umumnya kebudayaan itu masih mempunyai unsur kesamaan yang amat besar.

Tata cara adat istiadat suku Batak Karo terangkum dalam kebudayaan dan sistem yang dikenal dengan istilah sangkep sitelu yang terdiri dari:

1. Kalimbubu, yaitu pihak yang anak perempuannya dinikahi dan semua teman semarganya.

2. Senina/ Sembuyak, yaitu saudara semarga.

3. Anak Beru, yaitu pihak laki-laki yang mengawini putri pihak kalimbubu.

Sangkep sitelu ini membuat hubungan antara merga yang satu dengan yang lain diatur sedemikian rupa sehingga tercipta suatu keseimbangan dan keserasian hidup bermasyarakat. Senina harus seia sekata, sepenanggungan dan seperasaan agar tidak terjadi perselisihan dan harus pandai mengambil hati anak beru karena anak beru diharapkan dapat memberi sumbangan tenaga dan meteri sedangkan kepada kalimbubu harus hormat karena kalimbubu dianggap pemberi berkat. Kalimbubu juga sering disebut dengan istilah dibata nidah atau Allah yang tampak.


(14)

Upacara adat kematian merupakan upacara yang dilaksanakan sebagai tanda penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal dunia agar keluarga yang ditinggalkan selalu mendapat berkat dalam kehidupan sehari-hari. Upacara adat kematian pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat merupakan salah satu dari berbagai budaya yang ada pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat yang sangat memperhatikan tata krama dan cara berbahasa dalam pelaksanaanya.

Dalam penelitian ini akan dijelaskan makna tanda yang terkandung dalam upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat. Penelitian terhadap upacara kematian cawir metua pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat sangat minim. Meskipun selama ini sudah banyak ahli-ahli budaya yang meneliti tentang upacara kematian cawir metua di Kabupaten Langkat hanya sebatas meneliti deskripsi upacara adat kematian cawir metua tidak mengkaji lambang yang ada pada upacara kematian cawir metua. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan mengkaji makna yang terdapat pada tanda yang ada pada upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat. Penulis akan mengkaji upacara adat kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat ini dari segi semiotik, karena penulis merasa tertarik untuk mengetahui arti atau makna dari tanda atau simbol-simbol yang ada pada upacara adat kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat.


(15)

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah sangat penting dalam pembuatan skripsi, karena dengan adanya perumusan masalah maka deskripsi masalah akan terarah hingga hasilnya akan dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah merupakan suatu bentuk pertanyaan yang memerlukan penyelesaian atau pemecahan. Rumusan masalah merupakan batasan-batasan dari dari ruang lingkup topik yang diteliti agar tidak terjadi pembahasan yang terlalu meluas. Rumusan masalah adalah kunci pokok sebuah penelitian.

Berdasarkan judul di atas rumusan masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimanakah tahapan pelaksanaan upacara kematian cawir metua pada

masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat?

2. Makna apa yang terkandung dalam tanda pada upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas maka penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui tahapan pelaksanaan upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat.

2. Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam tanda pada upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat.


(16)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitan ini diharapkan bermanfaat bagi semua pembaca. Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas maka manfaat penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui lebih luas tentang upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat.

2. Sebagai sarana untuk meningkatkan penelitian tentang upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten langkat.

3. Bagi masyarakat umumnya sebagai bahan informasi agar terus menerus menjalankan upacara adat kematian cawir metua.

4. Bagi penulis sendiri untuk menambah wawasan tentang upacara kematian pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat khususnya upacara kematian cawir metua.


(17)

1.5 Letak Geografis Kabupaten Langkat

1.5.1 Kondisi Wilayah

1. Geografi.

Kabupaten Langkat terletak pada 3o14’ dan 4o13’ lintang utara, serta 93o51’ dan 98o45’ Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut:

o Sebelah Utara berbatas dengan selat Malaka dan Provinsi. D.I.Aceh o Sebelah Selatan berbatas dengan Dati II Karo.

o Sebelah Timur berbatas dengan Dati II Deli Serdang

o Sebelah Barat berbatas dengan Dati II D.I Aceh (Aceh Tengah) 2. Topografi.

Daerah Tingkat II Langkat dibedkan atas 3 bagian

o Pesisir Pantai dengan ketinggian 0 – 4 m di atas permukaan laut o Dataran rendah dengan ketinggian 0 – 30 m di atas permukaan laut o Dataran Tinggi dengan ketinggian 30 – 1200 m di atas permukaan laut 3. Jenis – jenis Tanah

o Sepanjang pantai terdiri dari jenis tanah ALLUVIAL, yang sesuai untuk jenis tanaman pertanian pangan.

o Dataran rendah dengan jenis tanah GLEI HUMUS rendah, Hydromofil kelabu dan plarosal.


(18)

4. Aliran Sungai.

Kabupaten Langkat dialiri oleh 26 sungai besar dan kecil, melalui kecamatan dan desa-desa, diantara sungai-sungai tersebut adalah : Sungai Wampu, Sungai Batang Serangan, Sungai Lepan, Sungai Besitang dan lain-lain. Secara umum sungai-sungai tersebut dimanfaatkan untuk pengairan, perhubungan dan lain-lain.

5. Wisata.

Kabupaten Langkat terdapat taman wisata Bukit Lawang sebagai obyek wisata, Taman Bukit Lawang ini terletak dikaki Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dengan udara sejuk oleh hutan trofis, dibukit Lawang ini terdapat lokasi rehabilitasi orang hutan (mawas) yang dikelola oleh WNF Taman Nasional gunung Leuser merupakan asset Nasional terdapat berbagai satwa yang dilindungi seperti: Badak Sumatera, Rusa, Kijang, Burung Kuau, siamiang juga terdapat tidak kurang dari 320 jenis burung, 176 binatang menyusui, 194 binatang melata, 52 jenis ampibi serta 3500 jenis species tumbuh-tumbuhan serta yang paling menarik adalah bunga raflesia yang terbesar di dunia.

6. Industri dan Pertambangan.

Daerah Kabupaten Langkat adalah satu-satunya di Sumatera Utara yang mempunyai tambang minyak yang dikelola oleh Pertamina dan berada di kota Pangkalan Berandan yang menghasilkan:


(19)

a. Kapasitas CDU (MBCD) - Actual 0,51 (510 Barrel/hari) - Discharged 0,50 (500 Barrel/hari).

b. Kapasitas CDU-II (MBCD) - Actual 4,69 (4690 Barrel/hari) - Discharged 4,50 (4500 Barrel/hari)

c. Aspal di Pangkalan Susu - Actual 400 Mm3/hari (400.000m3/hari) - Discharged 850 Mm3/hari (850.000 m3/hari)

Disamping pertambangan minyak di Kabupaten Langkat juga terdapat Industri Gula yang dikelola oleh PTP IX Kwala madu serta banyak bahan-bahan tambang yang belum dikelola seperti Coal, Tras, Gamping Stone, Pasir Kwarsa dan lain-lain.

1.5.2 Kependudukan

Berdasarkan angka hasil Sensus Penduduk tahun 2000, penduduk Kabupaten Langkat berjumlah 902.986 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,14% pada periode 1990-2000 dan kepadatan penduduk sebesar 144,17 jiwa/km2. sedangkan tahun 1990 adalah sebesar 1,07%.

Untuk tahun 2008, berdasarkan hasil proyeksi penduduk Kabupaten Langkat bertambah menjadi 1.042.523 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,80 untuk periode 2005-2010.

Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Stabat yaitu sebanyak 83.223 jiwa sedangkan penduduk paling sedikit berada di Kecamatan Pematang Jaya sebesar 14.779 jiwa. Kecamatan Stabat merupakan kecamatan yang paling padat penduduknya


(20)

dengan kepadatan 918 jiwa/km2 dan Kecamatan Batang Serangan merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk terkecil yaitu sebesar 42 jiwa/km2.

Berdasarkan hasil SP2000 penduduk Kabupaten Langkat mayoritas bersuku bangsa Jawa (56,87%), diikuti dengan suku Melayu (14,93%), Karo (10,22%), Tapanuli / Toba (4,50%), Madina (2,54%) dan lainnya (10,94%). Sedangkan agama yang dianut penduduk Kabupaten Langkat mayoritas agama Islam (90,00%), Kristen Protestan (7,56%), Kristen Katolik (1,06%), Budha (0,9%) dan lainnya (0,34%).


(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Dalam penulisan sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka. Dalam penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul proposal skripsi ini.

Kajian pustaka adalah paparan atau konsep yang mendukung pemecahan permasalahan dalam suatu penelitian, paparan atau konsep itu bersumber dari pendapat para ahli, empirisme (pengalaman peneliti) dan daya nalar peneliti yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

2.1.1 Pengertian Semiotik

Secara etimologi semiotik berasal dari bahasa yunani yaitu semion yang berarti tanda. Jadi, jika dilihat dari kata asalnya maka semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Ilmu ini menganggap bahwa masyarakat dan kebudayaan adalah tanda yang mempunyai arti.

Pokok perhatian semioik adalah tanda. Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu harus dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili, dan menyajikan.

Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda yang ada dalam kehidupan masyarakat. Semiotik memiliki dua aspek, yaitu penanda (signfier) dan petanda


(22)

(signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu sendiri yaitu artinya.

Peirce (dalam zoest 1978:1) mengatakan semiotik adalah setiap gagasan yang berupa tanda. Peirce juga mengatakan bahwa semiotik adalah studi tentang tanda. Semiotik baginya adalah doktrin dari sifat esensial dan variasi fundamental semiosis.

Haliday (1992:16), mengatakan semiotik mulanya muncul dari konsep tanda yang berhubungan dengan istilah semaion (penanda) dan semianomenon (petanda) yang digunakan dalam ilmu Yunani kuno.

Sudjiman (1978:3) mengatakan semiotika mulanya dari konsep tanda, istilah tersebut berasal dari bahasa yunani semion yang berarati tanda-tanda terdapat di mana-mana, kata adalah tanda, demikian juga gerak, isyarat, bendera dan sebagainya.

Dari beberapa pendapat di atas yang menjelaskan tentang pengertian semiotik penulis mengambil kesimpulan bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda dan mengkaji tentang makna yang terkandung dalam sebuah tanda di mana tanda-tanda ini dianggap sebagai fenomena sosial dan hubungan antara masyarakat dan kebudayaan.

Semiotik juga memepelajari tentang sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanta-tanda tersebut memiliki arti. Tanda sangat berperan dalam kehidupan manusia di mana setiap manusia menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang untuk beriteraksi dalam kehidupan bermasyarakat dan merepresentasikan kehidupannya dengan kebudayaannya dalam kehidupan sehari-hari.


(23)

Pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat juga menggunakan tanda-tanda dalam mempresetasikan kehidupannya dengan kebudayaannya di mana masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat memberi makna secara arbiter seperti yang dikemukakan oleh Pradopo (2001:71). Mereka menentukan maknanya sesuai dengan apa yang mereka utarakan, baik dengan cara berangan-angan ataupun sebagai aturan-aturan adat. Mereka menyesuaikan dengan bentuk dan kebiasaan yang mereka alami sehari-hari.

Untuk itulah penulis memilih teori semiotik sebagai landasan dalam meneliti makna tanda atau lambang yang terkandung dalam upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat.

2.1.2 Pengertian Cawir Metua

Upacara kematian adalah upacara yang ditujukan sebagai penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal.Pada masyarakat Batak Karo diberi berbagai istilah yang diberikan pada orang yang telah meninggal yaitu : enggo keri beras ijemputna ( sudah habis beras diambilnya), enggo seh padanna (sudah samapi janjinya), enggo seh

sibarna (sudah tiba waktunya), enggo ngobah ngeluk (sudah merubah takdir), enggo

metua (sudah tua), enggo keri kesahna (sudah habis napasnya), enggo idilo Dibata (sudah dipanggil Tuhan), enggo nadingken kegeluhen (sudah meninggalkan kehidupan), enggo mate (sudah meninggal). Itulah beberapa istilah atau nama yang diberikan pada orang yang telah meninggal. (Sitepu 1996: 133).

Dilihat dari proses waktu meninggalnya kematian pada masyarakat Karo dibedakan atas dua jenis yaitu: mate telpek artinya meninggal tiba-tiba dan mate modar


(24)

artinya meninggal perlahan-lahan. Meninggal perlahan-lahan maksudnya adalah meninggal karena sakit ataupun sudah ada tanda-tanda sebelumnya.

Sitepu (1996:133) mengatakan bila dilihat dari segi usia, masyarakat Karo membagi jenis kematian menjadi tujuh bagian yaitu:

1. Mate Gara-Gara, yaitu orang yang meninggal saat masih bayi dan belum tumbuh

gignya.

2. Mate Danak-Danak, yaitu orang yang meninggal masih berusia 1-7 tahun.

3. Mate Erlajar Mejile, yaitu orang yang meninggal masih remaja.

4. Mate Anak Perana/Singuda-nguda, yaitu orang yang meninggal masih lajang atau

gadis.

5. Mate Parang Mbelin/Pernanden, yaitu orang yang meninggal telah berkeluarga

berumur 35-45 tahun.

6. Mate Tua-tua, yaitu orang yang meninggal sudah orang tua tetapi anaknya belum

semua menikah.

7. Mate Cawir Metua disebut juga Mate Kayat-kayaten, yaitu orang yang meninggal

sudah tua dan semua anaknya sudah menikah.

Mate cawir metua merupakan istilah yang diberikan kepada orang yang telah meninggal apabila yang meninggal sudah berusia lanjut. Berusia lanjut maksudnya sudah memiliki anak, cucu, cicit atau cacah dan semua anaknya sudah menikah inilah yang sebenarnya dapat dikatakan telah cawir metua. Namun saat sekarang ini ada kalanya orang yang meninggal itu sudah berusia lanjut, tetapi masih ada anaknya yang belum menikah sebenarnya belum bisa dikatakan cawir metua dalam keadaan separti ini dapat


(25)

dilaksanakan adat cawir metua tetapi harus dengan persetujuan dari pihak kalimbubu dan anak yang belum menikah tersebut. Tetapi apabila pihak kalimbubu dan anak yang belum menikah tidak memberi persetujuan maka tidak bisa dilakukan upacara adat cawir metua.

Menurut kepercayaan lama masyarakat Karo (yang belum beragama) di Kabupaten Langkat, orang yang meninggal cawir metua apabila tidak dilakukan upacara adat yang layak pada saat kematiannya maka rohnya akan sering menganggu keluarga yang ditinggalkan karena merasa tidak diharagai ataupun diingat oleh keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itulah, pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat setiap ada anggota keluarga yang meninggal cawir metua, selalu diadakan upacara adat yang sesuai dengan adat dan budayanya agar roh yang telah meninggal tidak pernah mengganggu keluarga yang ditinggalkan, tetapi memberi rezeki karna dihargai dan diingat oleh keluarga yang ditinggalkan.

2.1.3 Sistem Kekerabatan Pada Masyarakat Karo

Setiap suku bangsa mempunyai sistem kekerabatan sendiri dan merupakan ciri khas dari suatu suku bangsa. Setiap upacara adat tidak terlepas dari sistem kekerabatan yang ada dari setiap suku. Begitu juga dengan suku Batak Karo yang juga memiliki sistem kekerabatan sendiri. Kerabat (kade-kade) memiliki pengertian yang sangat luas, baik atas dasar hubungan darah maupun hubungan yang disebabkan karena salah satu keluarag menikahi keluarga lain.

Sejak dahulu masyarakat Karo terikat oleh adat istiadat yang merupakan warisan dari leluhurnya. Rasa kekeluargaan atau ikatan kekerabatan pada masyarakat Karo sangat


(26)

kuat dalam pengertian jarang sekali terjadi secara terang-terangan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan adat istiadat yang berkaitan dengan sistem kekerabatannya.

Tingginya rasa kekeluargaan pada masyarakat Karo, selain disebabkan oleh rasa senasib sepenanggungan juga karena adanya praktek gotong royong (serayan-aron) dalam masyarakat Karo yang masih bertahan sampai sekarang.

Sistem kekerabatan masyarakat Karo bertumpu pada Rakut Sitelu. Rakut Sitelu merupakan rangkaian kesatuan hubungan kekeluargaan yang tersusun secara fungsional, dan tergambar dalam adat istiadat dan kehidupan sehari-hari.

Sebagai contoh, bila suatu keluarga telah tergabung dengan keluarga yang lain akibat perkenalan atau perkawinan, maka secara tidak langsung telah menjadi keluarga dari pihak lain yang bersangkutan, karena telah disatukan oleh perkawinan salah satu anggota keluarga.

Perkawinan tersebut menghasilkan keturunan yang menyebabkan timbulnya keluarga baru di samping adanya keluarga lama. Akibatnya terjadilah pertukaran kedudukan beserta fungsinya, pihak keluarga perempuan disebut kalimbubu oleh pihak dari keluarga laki-laki, hal inilah yang menyebabkan timbulnya sistem kekerabata yang disebut rakut sitelu. Rakut artinya mengikat dan sitelu artinya tiga unsure. Jadi, rakut sitelu merupakan tiga unsur yang mengikat kekeluargaan.

Rakut sitelu tersebut adalah kunci dari segala kegiatan adat istiadat dan mewadahi musyawarah dalam setiap upacara adat termasuk upacara kematian. Ketiga unsur tersebut juga sering disebut sangkep sitelu atau daliken sitelu yang terdiri dari :


(27)

2. Kalimbubu adalah pihak yang anak perempuannya dikawini oleh pihak laki-laki. 3. Anak beru adalah pihak laki-laki yang menikahi putrid pihak kalimbubu.

Tapi ketiga unsur di atas masih dapat diperinci fungsinya yang disebut dengan tutur siwaluh atau delapan sistem kekerabatan sehingga membuat kedudukan seseorang menjadi lebih jelas. Tutur siwaluh terdiri dari:

1. Senina yaitu semua orang yang bermarga sama

2. Senina sepemeren yaitu orang-orang yang tidak semarga namun ibu mereka yang

bersaudara.

3. Senina seperibanen yaitu orang-orang yang tidak semerga namun istri mereka

bersaudara.

4. Puang kalimbubu yaitu kalimbubu dari pihak perempuan yang diambil atau

kalimbubu dari pihak kalimbubu


(28)

2.1.4 Tutur Siwaluh Rakut Sitelu

Dalam sistem kekerabatan pada masyarakat Karo dikenal istilah ertutur. Ertutur dapat diartikan sebagai cara dalam memperkenalkan diri agar mengetahui posisi dan kedudukan serta sapaan dalam keluarga. Masyarakat Karo biasanya melakukan perkenalan kepada seseorang atau keluarga yang belum dikenal sebelumnya. Pada saat

ertutur biasanya ditanyakan asal kampung, marga dan berunya sehingga akhirnya

mengenal identitas mereka.

Merga atau beru merupakan tanda garis keturunan seseorang dan juga

merupakan penentu dalam hubungan keluarga antara satu orang dengan yang lainnya. Hal ini dapat diketahui dari cara ertutur pada masyarakat Karo yang sesuai dengan adat istiadatnya.

Di pihak lain, hubungan kekeluargaan atau kekerabatan pada masyarakat Karo dapat terjadi akibat pertalian darah yaitu hubungan kekerabatan berdasarkan perkawinan dan hubungan kekerabatan berdasarkan merga.

Akibat adanya hubungan kekeluargaan atas dasar keturunan, perkawinan, dan tutur maka dalam pergaulan sehari-hari masyarakatnya harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak melanggar norma-norma atau ketentuan berdasarkan tutur maka akan diketahui sistem kekerabatan masing-masing pihak.

Kekerabatan masyarakat Karo berdasarkan tutur siwaluh atau delapan sistem kekerabatan yaitu:

1. Kalimbubu 2. Puang kalimbubu 3. Senina


(29)

4. Sembuyak

5. Senina seperibanen 6. Senina sepemeren 7. Anak beru

8. Anak beru mentri

Kedelapan unsur di atas merupakan hasil dari sistem yang dianut oleh masyarakat Karo yang pada prinsipnya didasarkan pada merga silima (lima marga) yaitu:

1. Karo-karo 2. Ginting 3. Tarigan 4. Sembiring 5. Perangin-angin

Maksud dari hal di atas adalah adanya proses pertalian kekeluargaan atas dasar keturunan, perkawinan, hubungan merga yang menyebebkan lahirnya istilah tutur

siwaluh (delapan sistem kekerabatan) dan jenjang keturunan, tinggi maupun rendahnya

posisi dalam tutur.

Sebagai perwujudan lebih lanjut, berdasarkan kelima marga ini maka masyarakat Karo membagi diri atas tiga kelompok berdasarkan fungsinya di dalam hubungan kekeluargaan. Pembagian ini dikenal dengan istilah rakut sitelu (tiga ikatan) perbedaan istilah di atas bukanlah menunjukkan perbedaan pendapat karena mempunyai pengertian yang sama.


(30)

Rakut sitelu dalam masyarakat Karo merupakan unsur yang memegang peranan penting dalam sistem kekerabatan karena bermula dari ikatan perkawinan berupsa segitiga, tiga tungku kekerabatan sebagai kelompok terkecil (keluarga) sampai kepada kelompok yang lebih luas (masyarakat) yang merupakan kesepakatan bersama.

Rakut sitelu menunjukkan betapa pentingnya peranan tiap-tiap tungku, sebab dalam proses memasak tidak bisa menggunakan dua tungku, tetapi harus tiga dan ketiga tungku ini difungsikan agar mendapatkan hasil yang baik dalam memasak. Ketiga tungku tersebut adalah:

1. Kalimbubu 2. Senina/sembuyak 3. Anak beru

Rakut sitelu merupakan tri tunggal yang mempunyai asas kekeluargaan dan gotong royong. Di atas dasar ini pula berkisar segala kegiatan masyarakat baik hukum atau adat istiadat yang telah lama berfungsi di tengah-tengah masyarakat Karo.

Rakut sitelu harus lengkap dalam setiap pelaksanaan upacara adat. Karena tanpa ketiga unsur di atas upacara adat pada masyarakat Karo dianggap tidak sah. Ketiga tingkatan ini berdasarkan garis keturunan di dalam masyarakat Karo sehingga semua masyarakat suku Karo mempunyai kalimbubu, senina, dan anak beru.

Secara umum pembagian rakut sitelu pada masyarakat Karo adalah: 1. Kalimbubu


(31)

Kalimbubu adalah pihak pemberi anak gadis, pihak yang harus dihormati harus benar-benar dijaga agar kalimbubu jangan sampai kecil hati. Kalau kalimbubu sampai sakit hati misalnya, karena sesuatu hal yang tidak pantas dilakukan oleh anak berunya, dapat menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti padi tak jadi, tidak mendapat anak, anak lahir cacat, pikiran kusut dan sebagainya.

Hal ini biasanya dapat diketahui melalui seorang guru (dukun), untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan ada dilaksanakan upacara minta maaf kepada kalimbubu yang disebut sabai yaitu upacara memakaikan kain adat atau menyelimutkan sabai atau kain adat kepada kalimbubu setelah akin adat tersebut disabaikan atau dipakaikan kepada kalimbubu, maka anak beru meminta maaf kepada

kalimbubu agar segala kesalahannya dimaakan dan dilupakan. Anak beru juga berjanji

tidak akan berbuat hal-hal yang tidak pantas untuk dilakukan, hal yang tidak baik, yang dapat menyakiti hati kalimbubu. Setelah itu selesai maka diadakan pesta makan, pesta makan ini biasanya hany pesta makan alakadarnya.

Sebaliknya kalau anak beru hormat dan sopan terhadap kalimbubu pandai mengambil hati maka restu kalimbubu akan datang seperti padi jadi banyak, tanaman subur, ternak berkembang biak, murah rejeki, anak-anak sehat, pikiran tenang, dan sebagainya. Masyarakat Karo berpendapat bahwa kalimbubu adalah Dibata Nidah atau Tuhan yang dapat dilihat.

Dalam masyarakat karo juga dikenal beberapa jenis kalimbubu, yaitu:

1. Kalimbubu taneh yaitu orang yang pertama kali mendirikan kampung tersebut. Jadi, pengertian kalimbubu taneh adalah orang yang pertama kali


(32)

menemukan dan menempati sebuah kampng, maka keturunannya tetap dihargai dan dihormati sebagai kalimbubu taneh. Kalimbubu taneh sering juga disebut kalimbubu simajek lulang atau kalimbubu simantek kuta. 2. Kalimbubu tua yaitu kalimbubu yang setingkat dengan kalimbubu taneh

dimana kalimbubu tua juga ikut serta mendirikan kampong setelah kalimbubu taneh menemukan kampung tersebut termasuk saudaranya, anaknya, dan cucunya.

3. Kalimbubu simada dareh yaitu kalimbubu sedarah, maksudnya adalah kalimbubu yang merupakan paman atau saudara laki-laki dari ibu kita. 4. Kalimbubu sierkimbang (sipedemui) yaitu kalimbubu yang dihasilkan

oleh perkawinan sendiri. Sebelum adanya perkawinan belum ada hubungan kalimbubu tersebut. Kalimbubu sipedemui adalah pihak lain yang menjadi kalimbubu karena seseorang menikahi putri dari keluarga lain, akibat pernikahan itu maka terjadilah kalimbubu Ipedemui atau orang tua dan keluarga dari istri.

5. Kalimbubu sepemeren yaitu kalimbubu karena ibunya yang bersaudara. 6. Puang Kalimbubu yaitu kalimbubu dari kalimbubu kita, meskipun

kalimbubu dari kalimbubu kita tetapi puang kalimbubu juga harus dihormati dan disegani sama dengan kalimbubu.

2. Senina

Senina merupakan hubungan saudara antara orang yang merganya sama meskipun subsukunya berbeda tetap saja dikatakan ersenina atau satu marga. Hubungan senina dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:


(33)

1. Sukut yaitu saudara satu ayah dan satu ibu.

2. Sembuyak yaitu bersaudara karena satu ayah atau pun hanya satu ibu. 3. Senina sepemeren yaitu bersaudara karena ibu yang bersaudara. 4. Senina seperibanen yaitu bersaudara karena istri yang bersaudara. 3. Anak beru

Anak beru adalah golongan penerima anak gadis atau golongan pihak suami. Betapa pentingnya kedudukan anak beru sebagai golongan yang membawa kerukunan dan kedamaian pada keluarga kalimbubu, karena anak beru adalah pihak yang paling dibutuhkan tenaganya untuk menyelesaikan segala urusan upacara adat seperti memasak nasi beserta lauknya, membentangkan tikar dan menyediakan sirih, pinang, serta rokok kepada kalimbubu.

Bila terjadi perselisihan dalam keluarga maka tampillah anak beru sebagai pihak yang mendamaikan dan sebagai penengah. Anak beru juga sebagai pendamai apabila terjadi pertengkaran antara suami istrei.

Pada umumnya keputusan yangh dibuat anak beru harus dipatuhi, namun meskipun demikian keputusan yang diambil oleh anak beru sering tidak didengarkan oleh pihak yang bersangkutan. Bila terjadi hal seperti ini maka kalimbubu yang bersangkutanlah yang membuat keputusan terakhir. Dalam masyarakay Karo dikenal beberapa jenis anak beru yaitu:

1. Anak beru I pupus yaitu anak beru yang mengetahui secara langsung segala

sesuatu dalam keluarga kalimbubu. Anak beru I pupus berarti anak beru yang dilahirkan, yaitu anak beru yang ada akibat adanya hubungan darah , sejak


(34)

seseorang lahir secara otomatis menjadi anak beru tanpa harus ada perkawinan terlebih dahulu karena dia sudah menjadi bere-bere atau keponakan.

2. Anak beru taneh (anak beru si majek lulang) berdasarkan asal katanya anak beru memiliki arti anak perempuan dan taneh yang berarti tanah. Jadi dapat disimpulkan kalau anak beru taneh memiliki arti simbolik yaitu anak beru kehormatan yang nenek moyangnya dahulu sebagai anak beru dalam mendirikan kampung pertama kali. Berdasarkan keberadaanya baik jasa leluhurnya (pendiri kampung) keturunannya tetap sebagai anak beru taneh.

3. Anak beru tua, bila dilihat dari asal katanya yang berasal dari katai anak beru (anak perempuan), tua (tua atau yang utama). Jadi anak beru tua adalah seseorang atau keluarga yang menjadi anak beru sudah berdasarkan keturunan. Anak beru tua adalah anak beru yang paling utama karena tanpa kehadirannya acara pesta

kalimbubu tidak dapat dimulai, dan tidak akan ada yang berani memulainya,

karena dialah sebagai penanggung jawab utama. Jadi anak beru tua dalam keluarga seseorang merupakan yang tertua dari semua anak beru dan kedudukan sebagai kepala pimpinan dari semua anak beru yang turut serta dalam dalam setiap upacara adat. Bahkan keturunan dari orang tersebut dinamai anak beru tua.

4. Anak beru I ampu berdasarkan asal katanya anak beru I ampu memiliki arti anak

beru yang dipangku. Anak beru I pangku adalah seseorang yang menjadi anak

beru suatu keluarga karena mengawini anak perempuan dari keluarga tersebut.

Dalam hal ini perkawinan tersebut barulah untuk pertama kalinya, yang membuat adanya hubungan keluarga. Anak beru I pangku tidak boleh berbicara dalam setiap,musyawarah adat atau runggu.


(35)

5. Anak beru menteri yaitu anak beru dari anak beru. Menteri maksudnya melempari atau membersihkan tetapi ada juga menteri yang artinya meluruskan. Dari pengertian menteri ini terkandung makna seperti memberi petunjuk, nasehat, mengawasi, serta membantu tugas kalimbubunya sesuai dengan kewajiban dan menurut adatnya.

6. Anak beru singikuri yaitu anak beru dari anak beru menteri. Anak beru ini

semata-mata bertugas di dapur saja untuk mempersiapkan hidangan pada saat pesta. Anak beru singikuri tidak dibenarkan untuk mencicipi makanan tersebut. Hal ini mengingat hubungan kekeluargaan yang sudah jauh.

2.1.5 Sangkep Nggeluh

Berbicara tentang sangkep nggeluh terlebih dahulu kita harus mengetahui arti sangkep. Sangkep artinya lengkap, nggeluh artinya hidup. Jadi, sangkep nggeluh adalah kesempurnaan hidup. Kesempurnaan hidup diasosiasikan secara adat istiadat karena telah dilengkapi oleh kalimbubu, senina dan anak beru. Pengertian ini timbul karena dalam kehidupan masyarakat Karo baik dalam upacara dan sebagainya ketiga unsur di atas harus datang dan menyetujui hal yang akan dilaksanakan.

Berdasarkan eksistensinya inilah sengkep nggeluh sangat berperan dalam kehidupan sosial masyarakat Karo khususnya dalam masalah peradatan dan ketiga unsur di atas mempunyai istilah yang bermacam-macam seperti sangkep nggeluh, rakut sitelu dan sebagainya semua ini memiliki maksud dan arti yang sama. Sangkep nggeluh merupakan suatu kerjasama di dalam hubungan keluarga. Dalam setiap melakukan pesta


(36)

adat, musyawarah terlebih dahulu harus dilakukan. Rancangan atau musyawarah itu dinamakna runggu sengkep nggeluh.

Dalam masyarakat Karo, tidak ada yang tidak dikesampingkan maksudnya adalah semua orang tidak tetap kedudukannya dalam adat tergantung upacara peradatan yang dilaksanakn dalam masyarakat Karo. Fungsi dan kedudukan sangkep nggeluh sering berubah, hal ini disebabkan oleh sistem kekeluargaan dan kekerabatan yang secara turun-temurun samapai beberapa generasi turut juga berubah di samping karena adanya perkawinan secara vertical dan horizontal.

Struktur masyarakat dengan inti sangkep nggeluh merupakan tenaga penggerak di tengah-tengah masyarakat Karo. Setiap orang dari salah satu keluarga terlibat langsung padas sangkep nggeluh. Mungkin kedudukan sebagai kalimbubu, senina atau anak beru. Kedudukan seseorang dalam sangkep nggeluh sering bertukar terutama dalam satu kelompok dengan kelompok lain, seseorang dari kelompok tertentu dengan kedudukannya sebagai senina dapat berubah menjadi anak beru atau kalimbubu pada kelompok keluarga yang lain. Dengan adanya pertukaran posisi tersebut maka fungsinya secara tidak langsung juga berubah dalam kegiatan adat bahkan di dalam tata kehidupan sehari-hari kedudukan tertinggi terletak pada kalimbubu.

Kalimbubu sangat disegani dan dihormati oleh anak berunya karena golongan ini dianggap sebagai golonga tertua dalam adat karena dianggap dapat member restu atau petuah serta dianggap pemberi rezeki. Bagi orang yang kurang menghormati kalimbubunya, dianggap kurang sopan dan melanggar adat serta akan mendatangkan malapetaka bagi orang tersebut. Oleh karena itu, timbul suatu istilah pada masyarakat Karo bahwa kalimbubu adalah dibata nidah atau Tuhan yang dapat dilihat.


(37)

Tanggung jawab atas setiap bentuk kegiatan adat sebagai hasil musyawarah mufakat, sangkep nggeluh diserahkan kepada anak beru. Dalam hubungannya denagn inti musyawarah tersebut berada di tangan anak beru Ipupus, karena dialah anak beru yang paling utama dan mempunyai hubungan darah langsung dengan kalimbubu. Anak beru lainnya hanya sebagai pembantu, khususnya di dalam penyelesaian tugas menurut adat. Senina merupakan golongan yang mengerti tentang seluk beluk kalimbubu yang merupakan penanggung jawab masalah biaya dalam setiap upacara peradatan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi sangkep nggeluh (kalimbubu, senina, dan anak beru) adalah sama dan tidak terpisah, tak ubahnya seperti Trias Politigu (pemisahan kekuasaan kepada tiga badan) seperti :

1. Kalimbubu sebagai kekuasaan legislative. 2. Senina sebagai kekuasaan executive. 3. Anak beru sebagai kekuasaan yudikatif.

Adapun fungsi dari masing-masing unsur tersebut adlah:

1. Kalimbubu sebagai supremasi keadilan dan kehormatan dan sebagai pembuat peraturan.

2. Senina sebagai penyedia saran yang dibutuhkan petugas. 3. Anak beru sebagai pelaksana tugas.

Selain ketiga tugas di atas kalimbubu, senia, anak beru juga memiliki tugas sebagai berikut:

1. Kalimbubu

a. Menyelesaikan perselisihan anak berunya dalam hal ini kalimbubu dapat menyelesaikan masalah menurut kehendaknya, apabila pihak


(38)

yang berselisih paham tetap ngotot dengan pendapatnya masing-masing. Hal ini sesuai dengan anggapan bahwa kalimbubu adalah Tuhan yang tampak pada masyarakat Karo sering dikenal istilah “kalimbubu dibata nidah simeteh nggeluh ras mate” artinya kalimbubu adalah tuhan yang tampak bagi orang yang mengerti kehidupan sehingga dianggap apapun yang dilakukan kalimbubu dianggap benar dan tidak bisa disalahkan. Oleh karena itulah masyarakat Karo sangat segan dan menghormati kalimbubunya.

b. Sebagai lambang supremasi kehormatan keluarga. 2. Senina

a. Mengawasi pelaksanaan tugas anak beru

b. Secara bersama-sama menanggung biaya pesta dalam setiap upacara adat

3. Anak beru

a. Mengatur jalannya pembnicarraan runggu (musyawarah adat).

b. Menyiapkan hidangan (makanan, minuman, sirih, dan rokok) pada waktu pestan atau musyawarah

c. Menyiapkan semua peralatan yang diperlukan sewaktu upacar adat. d. Menanggung aib kalimbubu nya dan harus menerimanya dengan

rendah hati apabila belum sesuai dengan kebutuhan. e. Mengawasi segala harta pusaka milik kalimbubu nya. f. Mengatur keperluan keluarga.


(39)

g. Harus siap bekerja bila kapan saja dibutuhkan oleh pihak kalimbubu tanpa menuntut balas jasa.

h. Merahasiakan hal yang memperburuk citra kalimbubunya. i. Sebagai penengah perselisihan antara keluarga.

2.2 Teori Yang Digunakan

Secara etimologi, teori berasal dari bahasa yunani theoria yang berarti kebetulan alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian.

Teori merupakan landasan fundamental sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberi jawaban terhadap masalah yang digarap, dengan landasan teori ini maka segala masalah yang timbul dalam proposal skripsi ini akan terjawab.

Peirce (dalam Zoest 1978:1), mengatakan pengertian semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda.

Berdasarkan judul skripsi ini , maka teori yang digunakan untuk mengkaji upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat adalah teori semiotika.

Saussure, (1974) mengatakan bahwa tanda memiliki tiga aspek yaitu: 1. Aspek itu sendiri

2. Aspek material dan tanda itu, aspek material ini dapat berupa bunyi, tautan huruf menjadi kata, gambar warna dan atribut-atribut lainnya ini disebut dangan signifer


(40)

3. Konsep, konsep ini sangat berperan dalam mengkontruksikan makna suatu denotatum atau objek yang disebut dengan signified.

Tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Yang dapat menjadi tanda bukan hanya bahasa, melainkan berbagai hal yang dapat melingkupi kehidupan disekitar kita. Tanda dapat berupa bentuk tulisan, karya seni, sastra, lukisan dan patung.

Berdasarkan objeknya Pierce merumuskan suatu tanda selalu merujuk pada suatu acuan. Setiap tanda selalu memiliki fungsi dan memiliki makna yang sesuai dengan tanda itu sediri.

Berdasarkan objeknya Peirce membagi tanda itu menjadi tiga bagian yaitu: 1. Ikon (icon)

2. Indeks (index) 3. Simbol (symbol)

Ketiga bagian di atas merupakan objek yang membagi jenis-jenis tanda di mana tanda memiliki arti dan makna tertentu. Ketiga bagian di atas biasa disebut dengan tipologi tanda.

1. Icon adalah tanda berdasarkan identitas dan hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan. Jadi, sebuah tanda bersifat iconic seandainya ada kemiripan rupa atau kemiripan bentuk diantara tanda dengan hak yang diwakilinya.

Contoh:

- Rambu-rambu lalu lintas

- Lampu merah menandakan mobil harus berhenti - Lampu hijau menandakan mobil harus berjalan


(41)

- Lukisan menandakan sebuah ekspresi yang disampaikan dalam sebuah gambar

2. Indeks adalah tanda berdasarkan hubungan kausalitas atau hubungan yang timbul karena adanya kedekatan eksistensi.

Contoh:

- Adanya asap menandakan adanya api - Ketukan pintu menandakan ada orang - Suara bising menandakan adanya keramaian - Suara gemuruh menandakan adanya petir

3. Simbol adalah tanda yang menyatakan hubungan konvensional atau tanda yang bersifat mana suka (Arbitrary). Istilah simbol dipergunakan secara meluas dengan pengertian yang beraneka ragam dan dapat pula disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu dalam sebuah situasi.

Contoh:

- Harimau simbol kekuatan - Ular simbol suatu kelicikan

- Anggukan kepala simbol sebuah persetujuan

- Lambaian tangan simbol selamat tinggal atau selamat jalan - Senyum simbol kebahagiaan

- Gambar tengkorak simbol bahaya, dan lain-lain

Secara etimologi, simbol berasal dari bahasa yunani symballein yang berarti melemparkan bersama sesuatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide. Ada pula


(42)

yang menyebutkan symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang.

Semua simbol melibatkan tiga usur yaitu simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini merupakan dasar bagi semua makna simbolik yang ada.

Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta menyebutkan simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang menyatakan sesuatau hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya, warna putih melambangkan kesucian, warna merah melambangkan keberanian, dan padi melambangkan kemakmuran.

Dengan demikian, dalam konsep Pierce simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) yang sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya dapat menafsirkan ciri dan hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya.

Pierce juga membagi klasifikasi simbol menjadi tiga jenis yaitu: 1. Rhematic symbol atau Symbolik rheme

2. Dicent symbol atau proposition (proposisi) 3. Argumen

1. Rhematic symbol atau Symbolic rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan

objeknya melalui asosiasi nilai umum. Misalnya, di jalan kita melihat lampu merah lantas kita katakan berhenti. Mengapa kita katakan demikian, ini terjadi karena adanya asosiasi dengan benda yang kita lihat.


(43)

2. Dicent symbol atau proposition (proposisi) adalah tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang mengatakan “Pergi!” penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak dan serta merta kita pergi. Padahal dari ungkapan tersebut yang kita kenal hanya kata. Kata-kata yang kita gunakan membentuk kalimat, semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi dalam otak. Otak secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi itu dan seseorang segera dapat menitipkan pilihan atau sikap.

3. Argumen yakni tanda yang merupakan kesamaan seseorang terhadap sesuatu

berdasarkan alasan tertentu.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Peirce. Di mana setiap tanda memiliki makna yang bersifat arbitrer atau mana suka.

Sesuai dengan teori di atas masyarakat Karo juga memberi makna pada setiap tanda bersiat arbitrer. Artinya mereka menentukan makna dari sebuah tanda sesuai dengan situasi dan apa yang ingin meraka utarakan yang sesuai dengan adat istiadatnya. Masyarakat Karo menyesuaikannya dengan bentuk dan kebiasaan mereka sehari-hari.

Sebagai contoh, kampuh ‘sarung’ biasanya dipakai oleh perempuan mulai dari pinggang sampai pergelangan kaki dan juga dipakai oleh laki-laki mulai dari pinggang sampai lutut. Penggunaan kampuh ‘sarung‘ ini sebagai tanda kesopanan dan saling menghargai antara perempuan dan laki-laki. Tetapi, bagi laki-laki dalam sebuah upacara adat kampuh ‘sarung’ juga sering diikat melingkar di pinggang, ini menandakan bahwa yang menggunakan kampuh ‘sarung’ adalah anak beru. Selain itu, kampuh ‘sarung’ juga sering digunakan di pundak dengan cara meletakkannya dibagian pundak. Ini


(44)

menandakan bahwa yang menggunakan kampuh ‘sarung’ tersebut adalah kalimbubu. Namun, dalam upacara kematian kampuh juga digunakan sebagai sapu-sapu ilu. Sapu-sapu iluh adalah kampuh ‘sarung’ yang digunakan untuk menghapus air mata pada waktu menangisi orang yang meninggal.


(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Secara etimologi kata metodologi berasaldari bahasa Yunani Methodos dan logos. Methodos berarti cara atau jalan, Logos berarti ilmu. Jadi, metodologi atau metode merupakan jalan yang berkaitan dengan cara kerja dalam mencapai sasaran yang dikehendaki atau tujuan dalam pemecahan suatu masalah.

Metodologi artinya adalah sesuatu yang menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan (Narbuko, 1997:1). Sedangkan meneliti dimaksud sebagai melakukan kerja penyelidikan secara cermat terhadap suatu sasaran untuk memeperoleh hasil tertentu.

Penalitian adalah terjemahan dari bahasa inggris research yang berarti usaha atau pekerjaan yang mencari kembali yang dilakukan dengan menggunakan metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis, serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan atau menjawab masalah tersebut.

Metodologi penelitian adalah upaya untuk menghimpun data yang diperlukan dalam penelitian, dengan kata lain metodologi penelitian akan memeberikan petunjuk terhadap penelitian yang dilaksanakan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh kebenaran atau membuktikan kebenaran terhadap satu objek permasalahan. Metode yang digunakan penulis dalam penyelesaian skripsi ini adalah metode deskriptif, yaitu penulis memaparkan isi dari skripsi ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga pembaca dapat mengerti apa yang penulis paparkan dalam skripsi ini dan apa yang penulis paparkan sesuai dengan gambaran yang penulis pahami tentang tentang kajian tersebut.


(46)

Jadi, metodologi penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap segala masalah. Masalah di sini adalah objek yang diteliti dan dicari kebenarannya karna tanpa metodologi penelitian maka penelitian yang dilakukan akan mendapatkan hambatan-hambatan dalam menyelesaikannya. Seperti yang telah dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa metodologi penelitian sangat berperan penting dalam melakukan suatu penelitian.

Metodologi penelitian mencakup enam aspek yaitu: metode dasar, lokasi penelitian, sumber data penelitian, instrument penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data.

3.1 Metode Dasar

Metode dasar adalah metode yang digunakan dalam hal proses pengumpulan data, sampai tahap analisa dengan mengaplikasikan pada pokok permasalahan untuk mendapatkan suatu hasil yang baik, sesuai dengan apa yang diharapkan.

Metode dasar yang digunakan penulis dalam penyelesaian skripsi ini adalah metode deskripsi. Metode deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data yang ada, juga menyajikan data dan menginterpresikan data. Dalam proposal skripsi ini penulis menerangkan jenis-jenis lambang dan makna dari lambang-lambang atau tanda yang ada pada upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat.


(47)

3.2 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi yang dijadikan objek penelitian adalah Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit, Kabupaten Langkat. Lokasi ini dianggap tepat oleh penulis sebagai lokasi penelitian karena di daerah inilah yang masik banyak menggunakan upacara adat kematian termasuk upacara adat kematian cawir metua. Dibandingkan dengan daerah lain di Kabupaten Langkat dilokasi tersebut yang paling banyak dijumpai pelaksanaan upacara tersebut dan dilokasi inilah yang mayoritas penduduknya adalah suku Batak Karo, tidak seperti daerah lain yang banyak berbaur dengan suku-suku lain diluar suku Batak Karo. Di daerah ini juga masih banyak tokoh-tokoh adat Batak Karo yang dijadikan sebagai informan sehingga lebih memudahkan penulis dalam melakukan pengumpulan data penelitian yang sesuai dengan objek yang diteliti oleh penulis.

3.3 Sumber Data Penelitian

Adapun sumber data dari penelitian ini adalah:

a. Pengetua adat dan masyarakat setempat yang dijadikan penulis sebagai informan dalam melakukan penelitian untuk penyelesaian skripsi ini, dimana penulis melakukan penelitian langsung kelapangan dan bertanya langsung kepada pengetua adat, dan masyarakat setempat agar penelitian yang didapat lebih konkret dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, Agar tidak terjadi kesalah pahaman antara masyarakat suku Batak Karo yang ada di Kabupaten Langkat.

b. Penelitian kepustakaan adalah cara mencari sumber data dari buku-buku yang sesuai dengan judul skripsi ini. Hal ini dilakukan agar penelitian yang dilakukan berhubungan dengan buku-buku yang digunakan penulis sebagai referensi dalam


(48)

penyelesaian skripsi ini sehingga penelitian lebih mudah dilakukan dan pengerjaan skripsi ini menjadi lebih mudah.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Alat perekam (tape recorder) yang digunakan untuk mewawancarai informan saat pengumpulan data yang sesuai dengan objek penelitian

b. Kamera yang digunakan untuk mengambil gambar dari objek penelitian apabila saat melakukan penelitian ada pelaksanaan upacara adat tersebut

c. Alat tulis dan kertas yang digunakan untuk mencatat segala hal yang dianggap penting yang diterima dari informan dan berhubungan dengan objek penelitian guna menunjang kelengkapan data dalam penyelesaian skripsi ini.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah cara peneliti dalam mengumpulkan data. Mengumpulkan data merupakan cara berikutnya yang dilakukan oleh peneliti. Teknik pengumpulan data tentu berbeda-beda sesuai dengan metode kerja yang dilakukan dan sesuai dengan objek yang diteliti.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Metode Observasi

Metode observasi digunakan oleh peneliti utuk mengamati secara langsung daerah tempat penelitian untuk mendapatkan data yang akurat dari informan untuk memeberikan


(49)

informasai data yang dibutuhkan yang sesuai dengan objek penelitian. Metode yang digunakan adalah metode rekam dan metode catat.

b. Metode Wawancara

Metode ini digunakan untuk mendapatkan keterangan lebih lengkap dari informan tentang makna yang terkandung dalam upacara kematian cawir metua pada msyarakat Batak Karo yang ada di Kabupaten Langkat.

Wawancara ini ditujukan kepada masyarakat khususnya masyarakat yang ada di Desa Gunung Tinggi yang terdiri dari Kepala Desa, tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh masyarakat, dan kepada masyarakat setempat. Dalam melakukan wawancara penulis juga menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh penulis agar wawancara tidak melenceng dari objek yang diteliti.

c. Metode Kepustakaan

Metode ini dilakukan untuk mendapat sumber acuan penelitian agar data yang didapatkan dari lapangan dapat diolah semaksimal mungkin sesuai dengan tujuan penelitian. Metode ini dilakukan dengan cara mencari buku-buku pendukung yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

3.6 Metode Analisis Data

Metode analisis data merupakan cara dalam pengolahan data, fakta, atau fenomena yang sifatnya mentah dan belum dianalisis. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sehingga menjadi data yang cermat, akurat, dan ilmiah.

Metode analisis data juga merupakan proses pengaturan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dari suatu uraian dasar. Pada


(50)

dasarnya analisis adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga data diperoleh untuk mendapat kebenaran yang diperlukan dalam pengolahan hasil penalitian. Di mana dalam penelitian diperlukan imajinasi dan kretifitas sehingga dapat diuji kemampuan peneliti dalam mengkaji sesuatu. Dalam penelitian ini data yang telah diperoleh akan diolah dan dianalisis secara kualitatif. Fokus penelitian ini adalah makna simbolis yang terkandung dalam upacara adat kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat. Makna simbolis dapat diketahui dari orang-orang yang mengetahui seluk beluk mengenai upacara adat kematian cawir metua pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat. Untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan analisis semiotik.

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskripsi dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Memilih data dari informan yang dianggap paling sesuai dengan objek yang diteliti.

2. Menganalisis data yang diperoleh dari informan. 3. Menarik kesimpulan dari data yang ada.


(51)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Tahapan Pelaksanaan Upacara Adat Cawir Metua Pada Masyarakat Karo di Kabupaten Langkat

Biasanya masyarakat Karo di Kabupaten Langkat jika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal maka sanak saudara yang terdekat dan para tetangga langsung datang dan berkumpul untuk melakukan musyawarah kecil. Dalam musyawarah itu ditentukanlah orang yang akan memberi kabar kepada sanak saudara seperti kalimbubu,

sembuyak dan anak beru. Yang keberadaanya jauh dari rumah keluarga yang meninggal.

Setelah itu, barulah dibicarakan tahapan pelaksanaan sampai pada proses penguburan. Berikut ini adlah tahapan pelaksanaan upacara adat cawir metua pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat:

1. Ngelegi

Ngelegi merupakan tahapan pada upacara kematian. Tahap ini dilaksanakan

setelah terdapat kesepakatan dari pihak keluarga untuk mengutus orang tertentu ke rumah kalimbubu, senina, dan anak beru untuk memberitahu kabar bahwa ada keluarga yang telah meninggal dunia. Proses pemberitahuan ini disebut ngelegi. Khusus untuk

kalimbubu yang menyampaikan kabar adalah anak beru. Dalam proses penyampaian

berita duka cita itu biasanya anak beru membawa uis gara (ulos berwarna merah). Sebenarnya kalau anak beru datang membawa uis gara maka pihak kalimbubu langsung memahami bahwa ada sanak saudara yang meninggal dunia tanpa harus diberitahukan


(52)

tujuan anak beru untuk datang. Walaupun demikian, anak beru haruslah memberitahukan siapa keluarga yang meninggal. Biasanya setelah kalimbubu, senina, dan anak beru mengetahui kabar dukacita tersebut mereka akan segera datang karena akan segera dilaksanakan runggu (musyawarah) untuk acara adat sampai pada penguburan.

2. Runggu

Setelah pihak kalimbubu, senina dan anak beru sampai ke rumah duka maka dilakukanlah runggu. Pada awal acara runggu dilakukanlah terlebih dahulu erkimbang ‘menggelarkan tikar puih’. Biasanya pelaksanaan runggu ini pada malam hari. Pada saat

runggu ada beberapa hal yang akan dibicarakan tentang proses pelaksanaan adat dan

penguburan yang akan dilakukan. Berikut ini adalah hal-hal yang dibicarakan dalam runggu tersebut:

1. Tempat penguburan, peti yang akan digunakan, dan juga waktu penguburan.

2. Tata cara penguburan, besar kecilnya acara yang akan dilaksanakan, dan jenis makanan yang akan disajikan.

3. Kelengkapan adat yang harus dilaksanakan seperti gendang adat dan pakaian adat.

4. Menentukan pihak keluarga yang akan menerima uis adat pada saat pembayaran utang adat.


(53)

Runggu biasanya diawali dengan pedalan kampil atau penyerahan kampil. Kampil merupakan tempat sirih yang terbuat dari pandan berbentuk mirip dompet. Jumlah kampil yang diserahkan enam yang disebut dengan istilah pedalan kampil si enem. Dikatakan pedalan kampil si enem karena ada enam kampil yang ditujukan untu enam pihak penerima. Keenam pihak tersebut adalah:

1. Kalimbubu singalo perkempun yaitu paman dari ibu yang meninggal.

Kampil yang diserahkan itu berisi sirih dan kelengkapannya, satu bungkus rokok dan satu kotak korek api.

2. Kalimbubu singalo perninin yaitu paman paman ayah yang, meninggal

kampil yang diserahkan itu berisi sirih dan kelengkapan untuk

memakannya, dua bungkus rokok dan korek api.

3. Kalimbubu singalo ciken-ciken atau bena-bena yaitu paman dari kakek yang meninggal, kampil yang diserahkan berisi sirih dan kelengkapan untuk memakannya, dua bungkus rokok dan korek api. Yang memberikan kampil kepada kalimbubu singalo ciken-ciken atau bena-bena adalah kalimbubu singalo perninin.

4. Kalimbubu singalo ulu emas, kalimbubu singalo ulu emas adalah

kalimbubu dari yang meninggal, kampil yang diserahkan berisi sirih dan kelengkapan untuk memakannya, dua bungkus rokok dan korek api.

5. Sukut, sukut adalah teman satu marga, kampil yang diserahkan berisi sirih dan kelengkapan untuk memakannya, empat bungkus dan korek api.


(54)

6. Anak beru, kampil yang diserahkan berisi sirih dan kelengkapan untuk memakannya, tiga bungkus rokok dan korek api.

3. Nggalari Utang Adat

Nggalari utang adat biasanya diawali dengan ersinget-singet. Ersinget-singet adalah mengingatkan hal yang sudah dibicarakan pada malam sebelumnya.

Dalam upacara adat kematian sukut mempunyai kewajiban membayar utang adat kepada pihak kalimbubu dan puang kalimbubu. Utang adat tersebut terdiri atas barang dan sejumlah uang (uang ini sering disebut batunna). Barang yang diberikan biasanya uis adat dan juga pakian milik almarhum dan uang yang diberikan tidak ditentukan jumlahnya tergantung kesepakatan dari pihak keluarga.

Dalam upacara adat kematian tidak ada perbedaan jumlah uang atau barang yang diberikan kepada kalimbubu apabila yang meninggal laki-laki ataupun perempuan. Hanya saja apabila yang meninggal laki-laki yang menerima utang adat ada lima pihak sementara apabila yang meninggal perempuan yang menerima utang adat ada enam pihak.

Pihak yang menerima utang adat apabila yang meninggal laki-laki adalah:

1. Kalimbubu singalo perkempun

2. Kalimbubu singalo bena-bena atau ciken-ciken

3. Kalimbubu singalo perninin

4. Kalimbubu singalo ulu emas


(55)

Semua kalimbubu menerima uis ‘kain’ sementara anak beru menerima sekin atau parang.

Keenam pihak yang menerima utang adat apabila yang meninggal perempuan adalah:

1. Kalimbubu singalo perkempun

2. Kalimbubu singalo bena-bena

3. Kalimbubu singalo perninin

4. Kalimbubu singalo ulu emas

5. Anak beru

6. Kalimbubu simada dareh

Semua kalimbubu menerima uis ‘kain’. Kain yang diterima oleh kalimbubu diharapkan kain yang pernah dugunakan oleh almarhum. Anak beru tetap menerima parang.

Ada tiga cara yang biasa dilakukan dalam upacara adat kematian pada saat nggalari utang adat yaitu:

1. Sewaktu acara adat sedang berlangsung, kalimbubu dan puang kalimbubu menari bersama sebagai acara terakhir yang disebut acara menari untuk menyampaikan utang adat. Dalam acara ini pihak anak beru menyampaikan pesan dan kesan serta harapan yang meninggal sebagai kenangan dan sebagai petunjuk bagi semua kalimbubu terhadap keluarga yang ditinggalkan. Pada kesempatan inilah utang adat diserahkan.

2. Ada pula utang adat disampaikan saat berlangsung upacara kematian di mana pihak sukut beserta anak beru mendatangi kalimbubu untuk


(56)

membicarakan utang adat tersebut. Setelah diperoleh kata sepakat maka kepada pihak kalimbubu dan puang kalimbubu diserahkan utang adat tersebut, baru mereka seluruhnya menari.

3. Jika kalimbubu yang harus menerima utang adat tidak dapat hadir, maka utang adat diserahkan sementara kepada kelompok penerima yang mewakili kalimbubu. Setelah beberapa waktu kemudia utang adat itu diantar dan diserahkan kepada kalimbubu di rumahnya. Tetapi hal ini tidak perlu terjadi apabila masih bisa diupayakan agar kalimbubu dapat hadir.

4. Gendang Adat

Dalam upacara adat kematian pada masyarakat karo harus dilakukan gendang adat. Gendang adat dalam upacara kematian terdiri dari empat jenis yaitu:

1. Gendang Mentas, yaitu gendang pengiring yang dimulai pukul 10.00 sampai

pukul 16.00. Gendang ini sebagai pengiring acara penyampaian kata dukacita dari semua keluarga yang hadir. Gendang ini tidak turut mengantar jenazah ke kuburan.

2. Erkata Gendang, gendang ini dimulai dari pukul 09.00 atau sejak jenazah

diangkat dari rumah ke tempat acara sampai pukul 17.30 petang dan gendang ini turut mengiringi jenazah kekuburan dan menutup acara di kuburan.

3. Gendang Nangkih, gendang ini sama dengan erkata gendang hanya saja gendang

nagkih dimulai dari malam hari sampai acara penguburan selesai.

4. Gendang Cawir Metua, gendang ini sama dengan gendang nagkih hanya saja


(57)

Karo yang dibawa kalimbubu. Juga kepada golongan kalimbubu diminta secara hormat agar beru (anak perempuan) mereka turut berpakaian adat dan menari berpasangan dengan anak laki laki pihak sukut yang kemalangan. Hal ini dilakukan sebagai tanda kehormatan kepada kalimbubu dan juga bila pasangan menari mereka cocok bisa melanjutkan perjodohan.

Setelah acara gendang dimulai semua pihak kalimbubu dan anak beru menari berdasarkan urutan pedalan kampil si enem yang telah dilakukuan sebelumnya.

5. Jujung Terdas

Setelah selesai menari kemudian jenazah dipangiri (dilangir) dan dimasukan kedalam peti lalu dilakukanlah acara jujung terdas. Terdas merupakan padi yang ditumbuk tetapi tidak sampai hancur, sementara Jujung terdas merupakan acara menjunjung padi yang ditumbuk tetapi tidak sampai hancur, padi yang ditumbuk ini disebut (beras mbencil). Jujung terdas ini biasanya dijunjung oleh tiga orang yaitu:

1. Kalimbubu, lanamna uis arinteneng

2. Sembuyak/senina, lanamna dagangen mbentar


(58)

6. Erbulang Telu Rupa

Bulang telu rupa adalah uis atau kain adat Karo yang terdiri dari tiga warna yaitu, uis gara atau ulos berwarna merah, uis dagangen atau ulos berwarna putih dan uis arinteneng ulos berwarna hitam yang diikat menjadi satu. Bulang telu rupa ini diikatkan dikepala kalimbubu bena-bena kemudian ipalu gendang pengkeleweti (musik pengiring untuk mengelilingi jenazah). Proses erbulang telu rupa adalah dengan berjalan mengelilingi jenazah yang meninggal ke arah kiri yang berlawanan dengan jarum jam sebanyak Sembilan kali.

Urutan yang mengelilingi jenazah yaitu:

1. Kalimbubu bena-bena (sierbulang telu rupa)

2. Sukut/senina

3. Anak beru

4. Sinjunjung terdas

5. Semua orang yang hadir dan ikut ke kuburan

Sebelum jenazah dibawa kekuburan maka jenazah itu terlebih dahulu dikelilingi sebanyak empat kali putaran oleh yang menjunjung terdas dan yang erbulang telu rupa dengan di iringi gendang. Setelah selesai dikelilingi kemudian jenazah dibawa kekuburan. Begitu sampai dikuburan maka jenazah diletakkan di tanah dan kembali dikelilingi sebanyak sembilan kali oleh yang menjunjung terdas dan erbulang telu rupa kemudian dimasukkanlah belo cawir oleh guru (datu) ke dalam lubang kuburan sebelum jenazah dimasukkan ke dalam kuburan.


(59)

7. Sangkep Puntung

Setelah jenazah dimasukan ke dalam liang kubur, kuburan tidak langsung ditimbuni dengan tanah, tetapi terlebih dahulu dilakukanlah acara sangkep puntung.

Sangkep puntung adalah memasak seekor ayam di kuburan. Ayam yang dimasak

bukanlah ayam yang sudah besar melainkan ayam yang masih sebesar kepalan tangan orang dewasa yang biasa disebut manuk langkah lalu atau ayam yang masih belajar melompat. Sangkep puntung biasanya dimasak menggunakan sudu atau batok kelapa, setelah selesai dimasak sangkep puntung diberikan oleh sukut kepada yang menerima dengan cara Icibalken (dipersembahkan) menggunakan daun pisang. Yang menerima yaitu dibata nongkar nangkir atau dewa-dewa menurut kepercayaan masyarakat Karo (yang belum beragama) yang akan menjaga dia.

Biasanya sambil menyerahkan sangkep puntung ini pihak sukut sambil menangis dan berdoa yang dipimpin oleh guru (datu):

O… Dibata Nangkir enda tendi si anu alokenlah ia Dibata Nongkar-Nangkir gelah ia ola nari nungkir kurumah, arak-arak ndu lah ia Dibata Nongkar-Nangkir gelah ia ola ercian ate ku sembuyakna, anakna, bage pe man kalimbubu na. enda upah ndu.

Artinya:

O… Dibata Nongkar-Nangkir inilah roh yang meninggal terimalah dia Dibata Nongkar-Nangkir agar dia tidak lagi melihat dan datang ke rumah, jagalah dia Dibata Nongkar-Nangkir agar dia tidak meninggalkan iri kepada satu marganya, anaknya, dan sanak sudaranya. Ini kami beri upah mu


(60)

Setelah selesai berdoa kemudian sangkep puntung diayunkan sebanyak empat kali dan pada ayunan yang keempat dibuang kearah tadahen atau searah dengan kaki yang meninggal tetapi tidak masuk ke dalam kuburan. Sesudah itu kuburan mulai ditimbun sampai selesai. Setelah kuburan selesai ditimbun kemudian keluarga diizinkan pulang dengan diiringi gendang (musik).

Bagi masyarakat Karo yang belum beragama ada kepercayaan jika tidak dilakukan hal demikian maka roh yang meninggal akan tetap menganggu keluarga yang ditinggalkan sehingga dapat menyebabkan musibah.


(61)

4.2 Jenis dan Makna Tanda Pada Upacara Adat Cawir Metua Pada Masyarakat Karo di Kabupaten Langkat

Jenis dan makna tanda yang terdapat pada upacara adat cawir metua pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat adalah sebagai berikut:

4.2.1 Amak mbentar

Amak mbentar yaitu tikar berwarna putih yang terbuat dari anyaman pandan. Amak mbentar ini memiliki beberapa ukuran tergantung penggunaannya. Kalau digunakan oleh 1-3 orang digunakan ukuran kecil dan sedang, tetapi kalau yang menggunakan lebih dari tiga orang digunakan yang berukuran besar. Pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat amak mbentar memiliki beberapa fungsi seperti amak

tayangen ‘alas tidur’ dan amak kundulen ‘alas duduk’. Amak tayangen ini biasanya

diberikan kepada oarang-orang yang dihormati, seperti kalimbubu, anak beru dan para tamu yang datang. Selain itu amak tayangen juga digunakan untuk alas jenazah. Amak kundulen biasanya juga diberikan kepada orang-orang yang dihormati seperti kalimbubu. Amak tayangen juga digunakan dalam acara khusus seperti mukul pada rangkaian upacara perkawinan dan ercibal man nini bulang ‘memberi persembahan kepada nenek moyang.

Amak mbentar ini sebagai tanda pembuka dalam setiap upacara adat, karena sebelum acara adat dimulai dilakukanlah erkimbang ‘menggelar tikar’. Pada masa sekarang, yang digunakan untuk umum adalah tikar plastik. Namun, untuk kalangan


(62)

kematian, Amak mbentar memiliki tanda pengharapan membawa kesucian dan kebersihan.

Pada upacara adat cawir metua pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat, amak mentar memiliki makna terbuangnya banga-banga kesah ‘penyakit’. Maksudnya adalah meninggalnya almarhum akan membawa serta semua penyakit yang ada dalam keluarga sehingga keluarga yang ditinggalkan akan bersih dari segala penyakit.

4.2.2 Kampil

Kampil adalah benda berbentuk persegi empat yang pada umumnya digunakan oleh kaum wanita untuk tempat sirih dan kelengkapannya seperti kapur sirih, gambir, tembakau, dan pinang. Dalam pergaulan sehari-hari kampil digunakan untuk kegiatan memakan sirih. Umumnya kampil terbuat dari pandan, ada yang memiliki hiasan dan ada yang tidak memiliki hiasan.

Pada upacara adat kampil yang digunakan biasanya adalah kampil yang memiliki hiasan. Sama halnya dengan upacara adat yang lain, pada upacara adat cawir metua kampil adalah tanda persentabin ‘meminta izin’ hal ini terlihat pada acara runggu. Selain itu, kampil diantarkan oleh kaum ibu dari pihak sukut ‘yang punya acara’ kepada kalimbubu, senina dan anak beru.

Makna dari kampil adalah menghormati dan pernyataan kasih serta menjalin ikatan persaudaraan. Pada upacara adat apabila tidak memberikan kampil terlebih dahulu dianggaplah tidak menghormati semua tamu yang datang. Pemberian kampil kepada

kalimbubu bermakna mehoramat man kalimbubu ‘menghormati kalimbubu’, pemberian


(63)

pemberian kampil kepada anak beru bermakna metami man anak beru ‘memanjakan anak beru’.

4.2.3. Uis Adat

Pada upacara adat cawir metua hampir semua keluarga dan kade-kade ‘tamu’

yang hadir harus menggunakan uis adat. Uis adat yang digunakan bermacam-macam tergantung siapa yang akan menggunakannya. Berikut ini akan dipaparkan beberapa penggunaan uis adat pada upacara adat cawir metua:

a. Uis adat yang digunakan pada jenazah

Uis adat yang dipakaikan kepada jenazah adalah uis jungkit mbiring ‘kain adat berwarna hitam’ yang digunakan untuk menutup peti.

Uis jungkit dipakaikan kepada almarhum menandakan bahwa yang meninggal sudah cawir metua. Apabila yang meninggal sudah cawir metua, jenazah dipakaikan juga uis beka buluh yang disebut bulang bila dikenakan laki-laki dan tudung bila dikenakan oleh perempuan.

b. Uis adat yang digunakan keluarga langsung (sedarah)

Keluarga langsung merupakan keluarga yang meneruskan marganya. Keluarga langsung adalah adik laki-laki, anak laki-laki, dan cucu laki-laki karena merekalah yang akan meneruskan garis keturunan keluarga.

Uis adat yang dipakai adalah beka buluh . Biasanya salah satu anak laki-laki dan menantunnya akan rose ‘berpakaian adat lengkap’ biasanya, yang menngggunakan pakaian adat lengkap adalah anak tertua dan menantunya menggunakan tudung teger.


(64)

Pemakaian beka buluh adalah tanda bahwa yang memakainya merupakan keluarga langsung dari yang meninggal yang akan meneruskan garis keturunan keluarganya.

c. Uis adat yang digunakan anak perempuan

Pada upacara adat cawir metua anak perempuan biasanya ertudung lepas. Ertudung lepas adalah menggunakan kain adat dengan melipatkannya dikepala dan membiarkan ujung kain terurai ke bawah. Uis yang digunakan biasanya adalah uis gara atau uis jungkit megara bagi yang sudah menikah dan kain panjang untuk yang belum menikah.

Ertudung menandakan bahwa mereka merupakan bagian dari keluarga

yang berduka cita.

d. Uis adat yang digunakan tamu

Umumnya tamu yang berasal dari suku Karo dan masih memiliki hubungan keluarga juga menggunakan uis adat pada saat mengikuti upacara adat cawir metua. Uis yang digunakan biasanya adalah kampuh untuk laki-laki dan uis nipes untuk perempuan.

Makna dari seluruh kain ini adalah sebagai penghormatan terakhir kepada almarhum dan biasanya uis yang dipakai adalah kain yang paling bagus diantara semua kain adat. Selain itu, kain tersebut juga memiliki makna bahwa keluarga yang ditinggalkan turut berduka cita dan bersedih atas meninggalnya almarhum.


(1)

tersebut. Ketiganya harus selalu seia sekata dan sepenanggungan dalam semua sisi kehidupan termasuk pada upacara adat. Mereka dianggap telah siap secara materi dan tenaga dalam setiap upacara adat termasuk dalam upacara adat cawir metua. Bulang telu rupa diikatkan di kepala kalimbubu karena kalimbubu merupakan orang yang paling dihormati dan sering disebut dengan istilah dibata nidah ‘Tuhan yang tampak.

Makna dari bulanng telu rupa adalah sebagai keluarga kita tidak boleh bercerai berai. Meskipun sudah ada anggota keluarga yang meninggal dunia bukan berarti hubungan keluarga juga harus putus tetapi harus bisa tetap bersatu.

4.2.6. Sen

Sen ‘uang’ digunakan pada saat pembayaran utang adat kepada kalimbubu. Pembayaran utang adat ini tidak pernah ditentukan dalam jumlah tertentu uang yang harus dibayarkan kepada kalimbubu. Biasanya jumlah uang yang harus dibayarkan tergantung kesepakatan pihak keluarga dan diberikan dengan hati yang ikhlas.

Tanda dari sen ‘uang’ adalah apa yang pernah diberikan kalimbubu sudah dikembalikan dan tidak menjadi beban almarhum ataupun anggota keluarga yang lain. Uang ini biasanya diikatkan di kain yang digunakan pada saat menari.

Makna uang pada saat pembayaran utang adat adalah menyatakan bahwa dengan diberikannya uang tersebut, maka tugas dan tanggung jawabnya dalam setiap acara adat


(2)

4.2.7. Maneh-maneh

Maneh-maneh adalah barang peninggalan almarhum. Maneh-maneh biasanya adalah kain atau baju yang pernah digunakan almarhum. Maneh-maneh ini bisa juga berupa kain adat yaitu uis gara, uis nipes, beka buluh, dan kampuh.

Maneh-maneh adalah sebagai tanda untuk menyatakan bahwa yang meninggal sudah cawir metua. Makna dari maneh-maneh adalah tambar teran ‘obat kerinduan’.

4.2.8. Manuk Langkah Lalu

Pada saat acara sangkep puntung dalam upacara adat cawir metua, dimasakkanlah manuk langkah lalu. Manuk langkah lalu adalah ayam yang masih sebesar kepalan tangan orang dewasa dan yang masih belajar melompat. Ayam ini nantinya akan dimasak dikuburan. Alat yang digunakan untuk memasak manuk langkah lalu ini tidaklah barang-barang yang masih bagus, melainkan barang-barang-barang-barang yang sudah usang atau rusak.

Manuk langkah lalu ini akan dipersembahkan kepada Dibata Nongkar Nangkir sebagai pembawa dan penjaga tendi ‘roh’ almarhum. Manuk langkah lalu ini adalah sebagai tanda persembahan.

Makna dari manuk langkah lalu dan penggunaan barang-barang yang sudah rusak untuk memasaknya adalah agar almarhum membawa semua hal-hal buruk dan meninggalkan hal-hal yang baik kepada keluarga yang ditinggalkan.


(3)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan uraian mengenai upacara adat cawri metua pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat ditinjau dari segi semiotic yang dikemukakan dalam skripsi ini dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya sebagai berikut:

1. Masyarakat Karo menganut asas patrilinial yaitu berdasarkan garis keturunan ayah.

2. Merga merupakan hal yang sangat Penting bagi masyarakat Karo karena sebagai penentu hubungan kekerabatan.

3. Sangkep nggeluh pada masyarakat Karo merupakan sistem kekerabatan yang tidak dapat di pisahkan yang disebut rakut sitelu terdiri dari kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru.

4. Dalam masyarakat Karo mengenal tiga macam hubungan kekerabatan yaitu berdasarkan pertalian darah, perkawinan dan merga.

5. Upacara adat cawir metua merupakan salah satu dari upacara adat masyarakat Karo yang sudah jarang diadakan upcaranya.


(4)

6.2 Saran

Adapun saran yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai berikut:

1. Penelitian terhadap budaya dan sastra daerah perlu ditingkatkan sebab sastra daerah merupakan sumber dari kebudayaan Indonesia yang tiada habis-habisnya.

2. Kepada generasi muda diharapkan supaya tetap melestarikan kebudayaan karena kebudayaan merupakan jati diri setiap daerah.

3. Perlunya pelestarian budaya dan sastra daerah dengan cara melakukan setiap upacara adat dari setiap suku yang memiliki budaya sendiri sehingga tercermin kehidupan yangmempunyai kebudayaan yang tinggi. Inilah saran sekaligus harapan penulis yang penulis sampaikan agar dapat menggugah hati generasi muda masa kini sebagai penerus bangsa agar lebih perduli terhadap kebudayaan untuk dikembangkan ditengah-tengah masyarakat. Sehingga budaya kita tetap lestari dan terjaga sehingga terdapat rasa persaudaraan dan saling menghormati antara satu suku dengan suku yang lain yang ada di Negara Indonesia.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2001. Semantik, Pengantar Studi Tentang Makna. Malang : Sinar Baru Algesindo.

Anwarsyah, 1993. Intisari Dasar-Dasar Metode Penelitian. Medan : Lembaga Penelitian Pendidikan dan Keguruan.

De Saussure Ferdinad.1974. Dasar-Dasar Semiotika. Jakarta : Pusat Pembinaan Bahasa. Dharma, Widya. 1987. Teori Tentang Simbol. Jakarta.

Edrawarsyah, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan : Gajah Mada University Press.

Halliday.M.A.K. 1992. Bahasa Kontek dan Teks. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada. Narbuko, Cholid. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta : Gramedia.

Poerwardarminta.W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. P.N. Balai Pustaka. Jakarta.

Prints, Darwan. 2004. Adat Karo. Bina Media Printis : Medan.

Pradopo, Rachmad Djoko, dkk. 2001. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta. PT. Hanindita Graha Widya.

Santoso, Kusno Budi. 1990. Problematika Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.

Santoso, Ryadi. 2003. Semiotika sosial. Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya. Pustaka Euruka.


(6)

Van Zoest Art. 1993. Semiotika : Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan apa yang kita lakukan dengannya. Jakarta : Yayasan Sumber Agung.