HUBUNGAN SELF EFFICACY DAN REGULASI EMOSI DENGAN KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP N 7 KLATEN SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

HUBUNGAN SELF EFFICACY DAN REGULASI EMOSI DENGAN KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP N 7 KLATEN SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh: Dwi Nur Hasanah

G 0105018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

HUBUNGAN SELF EFFICACY DAN REGULASI EMOSI DENGAN KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP N 7 KLATEN SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh: Dwi Nur Hasanah

G 0105018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan sesungguhnya bahwa apa yang ada dalam skripsi ini, sebelumnya belum pernah terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, sepanjang pengamatan dan sepengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, keculai yang secara tertulis dipergunakan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia untuk dicabut derajat kesarjanaan saya.

Surakarta, Maret 2010

Dwi Nur Hasanah

MOTO

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Segala Puji bagi Allah Tuhan semesta alam Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Pemilik hari pembalasan Hanya kepada Mu kami mengabdi dan hanya kepada Mu kami memohon Pertolongan Tunjukilah kami ke jalan yang lurus Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat,

bukan jalan mereka yang dimurkai, bukan pula jalan mereka yang sesat

Amiin...

~ QS Al-Fatihah (Pembuka): 1-7 ~

Dan kesabaran merupakan cahaya yang terang. ~ HR. Muslim~

UCAPAN TERIMAKASIH DAN PENGHARGAAN

Karya ini saya persembahan kepada:

Ibu & Bapak ku, sumber Kasih Sayang Kakak ku, sumber motivasi Teman-teman ku, sumber keindahan hidup Guru-guru pengetahuan ku, sumber ilmu kehidupan dunia & akhirat Dan almamater ku, batu pijakan untuk melompat lebih tinggi Terimakasih semuanya ......

KATA PENGANTAR

Bissmillahirrahmanirrahim, Puji syukur batas segala limpahan rahmat, nikmat dan hidayah Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai syarat mendapatkan gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Pendidikan Strata I Psikologi dengan judul “ Hubungan Self Efficacy dan Regulasi Emosi dengan kenakalan Remaja”.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dorongan dan doa dari berbagai pihak oleh karena itu penulis mengucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. AA. Subiyanto, MS selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ibu Dra. Suci Murti Karini, MSi selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Drs. Munawir Yusuf M.Psi selaku pembimbing utama yang telah meluangkan waktu disela-sela kesibukan untuk memberikan bimbingan, pengarahan, saran, kritik dan dukungan yang sangat bemanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi selaku pembimbing II yang telah memberikan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, saran kritik dan motivasi bagi peneliti sehingga sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Dra. Machmuroch, M.Si selaku penguji I yang telah memberikan waktu, saran dan kritik sehingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Bapak Nugroho Arif Karyanto, S.Psi selaku penguji II dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan waktu, saran, kritik dan motivasi bagi peneliti sehingga mampu untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Drs. Wariso selaku Kepala Sekolah SMP Negeri 7 Klaten yang telah memberikan ijin bagi peneliti sehingga dapat melakukan penelitian di SMP ini

8. Bapak Drs. Sunarto selaku Wakil Kepala Sekolah bagian kesiswaan yang telah memberikan banyak pengarahan dan bantuan selama penelitian.

9. Ibu Esti Raharjanti, S.Psi selaku pembimbing lapangan, peneliti berterimakasih atas waktu dan bantuan yang diberikan kepada peneliti sehingga penelitan menjadi lancar, dan kepada bu Is dan pak Habib terimakasih atas bantuan- bantuannya.

10. Seluruh staff Program Studi Psikologi, mas Dimas dan mas Ryan yang telah membantu peneliti dalam mengurus administrasi, dan kepada mbak Ana yang telah memberikan semangat dan saran-sarannya.

11. Seluruh staff SMP Negeri 7 yang telah memberikan bantuannya sehingga terselasaikannya skripsi ini.

12. Semua siswa siswi SMP Negeri 7 Klaten yang telah memberikan pengalaman dan bantuannya, terimaksih banyak.

13. Bapak & Ibu ku yang telah memberikan dorongan, doa, kasih sayang dan ilmu hidup sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini.

14. Kakakku Ahmad Hartono terimakasih atas bantuan dan semua yang telah diberikan kepada peneliti sehingga skripsi ini mampu untuk diselesaikan. We can do more it.

15. Semua teman-teman kos Salamoen, Neni, Siti, Lilis, Tika, Tiwi, Fida dan semuanya yang telah menjadi keluarga ke dua peneliti yang selalu memberikan dukungan, tawa keceriaan dan kenangan yang indah, terimaksih telah mengisikan kebahagian dalam hidupku.

16. Terimaksih untuk Uwik, Risna, Dita, Retno, Maria, Desti, Tiara, Hastin, Diah, Amna, Vita, Maya dan semua teman-teman Psikologi angkatan 2005 yang telah banyak memberikan motivasi, bantuan, keceriaan dan Ilmu Kehidupan yang tidak didapatkan di tempat lain, semoga kenangan ini tidak akan terlupakan.

17. Terimakasih untuk kakak tingkat 2004 atas bantuannya dan angkatan 2006, 2007 yang telah memberikan semangat kepada peneliti.

18. Untuk berbagai pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Surakarta, Maret 2010

Penulis

ABSTRAK HUBUNGAN SELF EFFICACY DAN REGULASI EMOSI DENGAN

KENAKALAN REMAJA Dwi Nur Hasanah

G 0105018

Kenakalan remaja dewasa ini semakin mengkhawatirkan bagi para orang tua, pendidik juga masyarakat, karena mengingat kenakalan remaja semakin merebak diberbagai lingkungan. Lebih mengkhawatirkan lagi kenakalan juga dilakukan oleh anak SMP, usia yang tergolong dini dalam kategori kenakalan remaja. Pada usia remaja mereka mengalami berbagai perubahan baik dari dalam diri maupun tuntutan dari lingkungan menyebabkan ketegangan emosi semakin meninggi yang menyebabkan mereka mudah terjerumus dalam kenakalan remaja. Untuk mengatasi masalah ketegangan emosi tersebut remaja memerlukan regulasi emosi dan self efficacy agar mampu berperilaku adaptif dan tidak terjerumus dalam kenakalan remaja.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self efficacy dan regulasi emosi dengan kenakalan remaja. Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian adalah siswa kelas VIII SMP N 7 Klaten, diambil dengan teknik cluster random sampling. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah skala self efficacy, skala regulasi emosi dan skala kenakalan remaja. Analisis data menggunakan teknik analisis regresi ganda.

Hasil perhitungan menggunakan analisis regresi ganda menunjukkan korelasi rx 1 y sebesar - 0,249 pada taraf signifikan p < 0,05. Artinya ada korelasi negatif yang signifikan antara self efficacy dengan kenakalan remaja, dan korelasi rx 2 y sebesar -0,301 pada taraf signifikan p < 0,05 memiliki arti ada korelasi negatif yang signifikan antara regulasi emosi dengan kenakalan remaja. Selain itu berdasarkan hasil analisis data diketahui ada hubungan yang signifikan secara statistik antara self efficay dan regulasi emosi dengan kenakalan remaja ditunjukkan dengan nilai korelasi R y12 = 0,314 dan F regresi 3,06 dengan p < 0,05. Sumbangan efektif self efficacy dan regulasi emosi dengan kenakalan remaja

dilihat dari koefisien determinan (R 2 ) sebesar 0,99 atau 9,9 % yang berarti masih terdapat 80,1 % faktor lain yang mempengaruhi kenakalan remaja selain self efficacy dan regulasi emosi.

Kata kunci: self efficacy, regulasi emosi, kenakalan remaja.

ABSTRACT RELATION BETWEEN SELF EFFICACY AND EMOTION

REGULATION WITH JUVENILE DELINQUENCY Dwi Nur Hasanah

G 0105018

Juvenile delinquency is increasing worry for parents, educators and also the community, considering its spreading in various environment. Moreover, delinquency also carried out by junior high children, the very early ages considering the term of “delinquency”. In their teenage years undergone changes both from themselves as well as demands from the environment causing the rising of emotional tension so that they easily fall into delinquency. To overcome the problem of emotional tension, teenagers need emotional regulation and self- efficacy to be able to behave adaptively and do not fall into delinquency.

This research aims to determine the relationship between self-efficacy and regulation of emotion with juvenile delinquency. The method in this study uses a quantitative approach. The research’s subjects is 8 th grade student of SMP N 7 Klaten, by random cluster sampling technique. Instruments of data collection are self-efficacy scale, emotion regulation scale and juvenile delinquency scale. Analysis of data is using multiple regression analysis techniques.

The results of calculations using multiple regression analysis showed correlation rx 1 y of – 0,249 at significant level p <0,05. This means that there is a significant negative correlation between self-efficacy and juvenile delinquency, and the correlation rx 2 y of -0,301 at a significant level of p <0,05 means there is a significant negative correlation between emotion regulation and juvenile

delinquency. Based on the results of data analysis, there is a significant relationship between self efficacy and emotion regulation with juvenile delinquency, indicated by the correlation value R y12 = 0,314 and M regression 3,06 with p <0,05. Effective contribution of self efficacy and emotional regulation with

juvenile delinquency is seen from the determinant coefficient (R 2 ) of 0,99 or 9,9%, which means that there are still 80,1% other factors that affect delinquency in addition to self-efficacy and emotional regulation.

Keywords: self-efficacy, emotion regulation, juvenile delinquency.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Monks (1991) masa remaja berlangsung pada rentang usia 12 tahun sampai 21 tahun yang terbagi menjadi dua, yaitu adolesensi yang berlangsung pada umur 12 tahun sampai 18 tahun dan masa pemuda yang berlangsung pada umur 19 tahun sampai 21 tahun. Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode ”badai dan tekanan”, suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Keadaan yang demikian, kemudian ditambah dengan tekanan sosial, perubahan minat, peran dan kondisi baru membuat ketegangan emosi pada remaja semakin bertambah tinggi (Hurlock, 1980). Keadaan tersebut membuat remaja mudah untuk terjerumus dalam kenakalan remaja.

Permasalahan kenakalan remaja dewasa ini semakin marak dilakukan remaja, walaupun permasalahan tersebut sudah ada sejak dahulu tetapi sampai sekarang kenakalan tetap masih ada, bahkan semakin merebak. Kenakalan remaja tidak hanya terjadi di perkotaan, tetapi saat ini kenakalan remaja juga terjadi di daerah pedesaan, dan tidak mengenal kelas sosial. Kenakalan remaja dilakukan oleh remaja tahap awal sampai remaja tahap akhir, tidak hanya siswa SMA bahkan siswa SMP telah berperilaku yang termasuk ke dalam kenakalan remaja. Melihat kenyataan tersebut maka perlu pencegahan dan penanganan secara dini, Permasalahan kenakalan remaja dewasa ini semakin marak dilakukan remaja, walaupun permasalahan tersebut sudah ada sejak dahulu tetapi sampai sekarang kenakalan tetap masih ada, bahkan semakin merebak. Kenakalan remaja tidak hanya terjadi di perkotaan, tetapi saat ini kenakalan remaja juga terjadi di daerah pedesaan, dan tidak mengenal kelas sosial. Kenakalan remaja dilakukan oleh remaja tahap awal sampai remaja tahap akhir, tidak hanya siswa SMA bahkan siswa SMP telah berperilaku yang termasuk ke dalam kenakalan remaja. Melihat kenyataan tersebut maka perlu pencegahan dan penanganan secara dini,

Hawari (2000) telah melakukan penelitian yang menunjukan bahwa tidak kurang dari 1,3 juta penduduk Indonesia telah menjadi pelaku madat dan 90% diantarnya berusia antara 15-25 tahun, penelitian tersebut memperlihatkan mereka yang menjadi pelaku madat berada pada masa remaja atau baru melepaskan masa remaja. Hasil preliminary study yang dilakukan oleh Astutik (2007) pada tanggal

21 Juni 2007 terhadap 75 siswa SMP di kabupaten Bantul diperoleh data 46 siswa tidak merokok dan 29 siswa yang merokok, dari 29 siswa yang merokok tersebut,

1 orang siswa mulai merokok pada usia 14 tahun, 11 siswa mulai merokok pada usia 11 tahun, 6 siswa mulai merokok pada usia 12 tahun, 5 siswa mulai merokok pada usia 13 tahun, serta 6 orang mulai merokok pada usia 9 tahun. Hasil yang dikemukakan oleh Astutik tersebut menggambarkan bahwa siswa yang merokok telah memulai kebiasaan buruk tersebut sejak awal mereka memasuki masa remaja, hal tersebut sangat memprihatinkan mengingat bahaya merokok bagi kesehatan mereka.

Selama tahun 2007 Komisi Nasional Perlindungan Anak melakukan survei terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar, survei menghasilkan data yang cukup memprihatinkan, dimana 97 persen remaja pernah menonton film porno, 93,7 persen remaja pernah ciuman, petting, oral seks dan 62,7 persen remaja SMP sudah tidak perawan (http hizbut-tahrir.or.id). Sebuah penelitian yang dipublikasi oleh Suara Merdeka tahun 2009 menyatakan para remaja saat ini telah mengakses materi pornografi melalui layanan internet, hasil penelitian memperlihatkan lebih Selama tahun 2007 Komisi Nasional Perlindungan Anak melakukan survei terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar, survei menghasilkan data yang cukup memprihatinkan, dimana 97 persen remaja pernah menonton film porno, 93,7 persen remaja pernah ciuman, petting, oral seks dan 62,7 persen remaja SMP sudah tidak perawan (http hizbut-tahrir.or.id). Sebuah penelitian yang dipublikasi oleh Suara Merdeka tahun 2009 menyatakan para remaja saat ini telah mengakses materi pornografi melalui layanan internet, hasil penelitian memperlihatkan lebih

Fenomena yang telah dipaparkan di atas menjelaskan kenakalan yang dilakukan oleh remaja, dimana sebagian dari mereka adalah remaja yang sedang menempuh pendidikan SMP, artinya banyak anak SMP saat ini telah melakukan kenakalan remaja. Selain yang telah dipaparkan di atas berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan oleh pelajar SMP, diantaranya seperti yang telah dijaring oleh peneliti berdasarkan wawancara dengan sebuah Sekolah Menengah Pertama di Klaten, berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan oleh siswa sekolah diantaranya tidak memakai seragam sekolah sesuai dengan yang telah ditetapkan, membolos saat pelajaran sekolah, pacaran di lingkungan sekolah dengan perilaku yang melanggar peraturan sekolah, dengan sengaja terlambat datang ke sekolah, menyontek saat ujian dan perkelahian antar siswa. Hasil wawancara tersebut memperlihatkan kenakalan remaja juga telah masuk dalam lingkup sekolah.

Data kenakalan remaja yang telah dipaparkan di atas menunjukan betapa maraknya kenakalan remaja yang dilakukan di sekitar kita. Lebih mengkhawatirkan lagi kenakalan juga dilakukan oleh anak SMP, pada usia yang masih terlalu dini untuk melakukan kenakalan. Kondisi demikian tentu saja menjadi kekhawatiran dan keprihatinan yang besar bagi para orang tua, pendidik juga masyarakat, karena mengingat kenakalan remaja semakin merebak Data kenakalan remaja yang telah dipaparkan di atas menunjukan betapa maraknya kenakalan remaja yang dilakukan di sekitar kita. Lebih mengkhawatirkan lagi kenakalan juga dilakukan oleh anak SMP, pada usia yang masih terlalu dini untuk melakukan kenakalan. Kondisi demikian tentu saja menjadi kekhawatiran dan keprihatinan yang besar bagi para orang tua, pendidik juga masyarakat, karena mengingat kenakalan remaja semakin merebak

Kenakalan remaja dilatar belakangi oleh beberapa faktor, menurut Kartono (1992) kenakalan remaja disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Hal ini berarti kenakalan remaja disebabkan oleh faktor dari dalam diri remaja dan pengaruh dari lingkungan remaja. Salah satu faktor internal penyebab kenakalan remaja diduga terkait kondisi ketegangan emosi dalam diri remaja akibat perubahan-perubahan fisik dan psikologis masa perkembangan remaja. Ketegangan emosi yang tinggi, dorongan emosi yang sangat kuat dan emosi yang tidak terkendali membuat remaja lebih mudah meledakkan emosi dan bertindak tidak rasional, sehingga tidak jarang keadaan emosi yang demikian membuat remaja berperilaku yang termasuk dalam kenakalan remaja. Menghadapi kehidupan emosi yang penuh gejolak dan ketegangan emosi yang meninggi, remaja membutuhkan kemampuan regulasi emosi yang memadai agar tidak terjerumus pada tindakan yang tidak rasional.

Regulasi emosi diperlukan remaja untuk mengelola ketegangan emosinya, sehingga remaja tidak mudah meledak secara emosional. Kegagalan mengelola emosi akan menimbulkan ketidaknyamanan emosional. Menghadapi Regulasi emosi diperlukan remaja untuk mengelola ketegangan emosinya, sehingga remaja tidak mudah meledak secara emosional. Kegagalan mengelola emosi akan menimbulkan ketidaknyamanan emosional. Menghadapi

Setiap individu dituntut untuk dapat mengekspresikan emosi secara sehat, adaptif dan dapat diterima oleh lingkungan, termasuk juga remaja. Keberhasilan mengungkapkan emosi secara adaptif ditentukan oleh kemampuan regulasi emosi yang memadai. Kemampuan regulasi emosi yang memadai akan mengarahkan remaja untuk dapat mengatasi masalah-masalah emosi yang dialami sehingga dapat berperilaku adaptif dan terhindar dari perilaku kenakalan remaja.

Penelitian yang menyatakan kenakalan remaja terkait dengan regulasi emosi antara lain penelitian yang dilakukan oleh Eisenberg (2000), berdasarkan penelitian tersebut menunjukan adakalanya regulasi emosi berhubungan dengan penyalahgunaan obat. Penelitian tersebut menunjukan bahwa penyalahgunaan obat yang termasuk ke dalam kenakalan kadang kala berhubungan dengan regulasi emosi atau pengendalian emosi.

Faktor internal lain yang dimungkinkan mempengaruhi kenakalan remaja adalah self efficacy, seperti yang ditunjukan oleh Bandura (dalam Baron & Byrne, 2003) bahwa tingkah laku pelanggaran seperti agresi fisik, agresi verbal, pencurian, curang, bohong, pengrusakan, kenakalan, penggunaan alkohol dan obat-obatan dapat berhubungan dengan self efficacy. Penelitian tersebut

menunjukan bahwa kenakalan remaja berhubungan dengan self efficacy yang dimiliki oleh remaja, semakin tinggi self efficacy yang dimiliki remaja semakin rendah kenakalan remaja. Bandura (1997) menjelaskan self efficacy merupakan kepercayaan individu mengenai kemampuan-kemampuannya untuk mengatur atau menjalankan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Individu yang mempunyai self efficacy tinggi akan mempunyai motivasi yang tinggi, akan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, tidak mudah menyerah dan akan bertahan apabila menemui kesulitan dan akan berusaha lebih keras lagi. Remaja yang percaya terhadap kemampuannya akan lebih termotivasi dan tangguh dalam menghadapi berbagai perubahan serta tuntutan dari diri dan lingkungannya. Remaja dalam kondisi yang demikian, akan dapat dimungkinkan tidak berperilaku maladjusment, sebaliknya lebih adaptif dan tidak terjerumus dalam kenakalan remaja.

Uraian di atas menjelaskan bahwa remaja mengalami kondisi ketegangan emosi akibat perubahan fisik dan psikologis, dalam kondisi yang demikian remaja menghadapi berbagai tuntutan dari dalam diri dan lingkungan, sehingga mengarahkan remaja pada kondisi yang semakin sulit. Regulasi emosi yang memadai membantu remaja mengelola emosinya sehingga mereka mampu mengekspresikan emosi secara sehat dan adaptif serta terhindar dari kenakalan remaja. Sedangkan self efficacy, dimana remaja memiliki keyakinan melakukan berbagai tugas untuk mencapai tujuan, akan memungkinkan remaja mampu menghadapi rintangan terkait dengan tuntutan dan perubahan dari diri maupun lingkungannya. Keberhasilan ini akan mengarahkan remaja cenderung berperilaku Uraian di atas menjelaskan bahwa remaja mengalami kondisi ketegangan emosi akibat perubahan fisik dan psikologis, dalam kondisi yang demikian remaja menghadapi berbagai tuntutan dari dalam diri dan lingkungan, sehingga mengarahkan remaja pada kondisi yang semakin sulit. Regulasi emosi yang memadai membantu remaja mengelola emosinya sehingga mereka mampu mengekspresikan emosi secara sehat dan adaptif serta terhindar dari kenakalan remaja. Sedangkan self efficacy, dimana remaja memiliki keyakinan melakukan berbagai tugas untuk mencapai tujuan, akan memungkinkan remaja mampu menghadapi rintangan terkait dengan tuntutan dan perubahan dari diri maupun lingkungannya. Keberhasilan ini akan mengarahkan remaja cenderung berperilaku

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: ”Apakah terdapat hubungan self efficacy dan regulasi emosi dengan kenakalan remaja?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hubungan antara self efficacy dengan kenakalan remaja.

2. Untuk mengetahui hubungan antara regulasi emosi dengan kenakalan remaja.

3. Untuk mengetahui hubungan self efficacy dan regulasi emosi dengan kenakalan remaja.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan, 1. Manfaat Teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan,

2. Manfaat Praktis:

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada remaja terkait peranan self efficacy dan regulasi emosi dalam menghadapi tugas-tugas perkembangan yang mereka emban, sehingga remaja dapat menghindari perilaku kenakalan.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak- pihak terkait seperti orang tua, pendidik, psikolog dan masyarakat sebagai upaya-upaya membantu remaja memiliki ketrampilan self efficacy dan regulasi emosi sehingga terhindar dari kenakalan remaja. Selain itu dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menangani kasus kenakalan remaja.

c. Sebagai masukan bagi peneliti lain yang melakukan penelitian serupa di masa yang akan datang.

BAB II LANDASAN TEORI A.Kenakalan Remaja

1. Remaja

Masa remaja mempunyai suatu waktu dengan onset dan lama yang bervariasi adalah suatu periode antara masa anak-anak dan masa dewasa. Masa ini ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis dan sosial yang menonjol. Onset biologis dari masa remaja ditandai dengan percepatan pertumbuhan skeletal yang cepat dan permulaan perkembangan seks fisik, onset psikologis ditandai dengan suatu percepatan perkembangan kognitif dan konsilidasi pembentukan kepribadian. Sedangkan perkembangan secara sosial, masa remaja merupakan suatu periode peningkatan persiapan untuk datangnya peranan masa dewasa muda (Kaplan, 1997). Dengan demikian individu yang memasuki masa remaja mengalami perkembangan biologis, psikologis dan sosial.

WHO (dalam Sarwono, 2000) menetapkan batas usia remaja adalah 10 tahun sampai 20 tahun dan membagi kurun usia remaja dalam dua bagian yaitu remaja awal 10 tahun sampai 14 tahun dan remaja akhir 15 tahun sampai 20 tahun. Menurut Monks (1991) masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai 21 tahun, yang terbagi menjadi dua, yaitu adolesensi antara umur 12 tahun sampai 18 tahun dan masa pemuda 19 tahun sampai 21 tahun. Hurlock (1980) menyatakan awal masa remaja berlangsung dari umur 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun. Dari batasan usia remaja yang telah dijelaskan, dapat diambil kesimpulan bahwa WHO (dalam Sarwono, 2000) menetapkan batas usia remaja adalah 10 tahun sampai 20 tahun dan membagi kurun usia remaja dalam dua bagian yaitu remaja awal 10 tahun sampai 14 tahun dan remaja akhir 15 tahun sampai 20 tahun. Menurut Monks (1991) masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai 21 tahun, yang terbagi menjadi dua, yaitu adolesensi antara umur 12 tahun sampai 18 tahun dan masa pemuda 19 tahun sampai 21 tahun. Hurlock (1980) menyatakan awal masa remaja berlangsung dari umur 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun. Dari batasan usia remaja yang telah dijelaskan, dapat diambil kesimpulan bahwa

Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Menurut Hurlock (1980) masa remaja merupakan periode perubahan, terdapat tiga perubahan dalam diri remaja, yaitu:

a. Perubahan fisik Perubahan secara fisik selama masa remaja menurut Hurlock (1980) meliputi:

1) Tinggi badan, rata-rata anak perempuan mencapai tinggi antara usia tujuh belas dan delapan belas tahun dan rata-rata anak laki-laki kira-kira setahun kemudian.

2) Berat badan, berat badan tersebar ke bagian-bagian tubuh yang sebelumnya hanya mengandung sedikit lemak atau tidak mengandung lemak sama sekali.

3) Proporsi tubuh, berbagai anggota tubuh lambat laun mencapai perbandingan tubuh yang baik, misal badan melebar dan memanjang sehingga anggota badan tidak lagi kelihatan terlalu panjang.

4) Organ seks, baik pria dan wanita mencapai ukuran yang matang pada akhir masa remaja, tetapi fungsi organ seks belum matang sampai beberapa tahun kemudian.

5) Ciri-ciri seks sekunder, ciri-ciri seks sekunder yang utama berada pada tingkat perkembangan yang matang pada akhir masa remaja.

b. Perubahan emosi Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode ”badai dan tekanan”, suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Adapun meningginya emosi karena berada dibawah tekanan sosial dalam menghadapi kondisi baru. Ketidak stabilan emosi merupakan konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Perbedaan pola emosi anak remaja dengan kanak-kanak terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, khususnya pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi mereka. Remaja sudah mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak meledakkan emosi mereka dihadapan orang lain melainkan menunggu saat yang tepat. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional (Hurlock,1980).

c. Perubahan sosial Percepatan perkembangan dalam masa remaja yang berhubungan dengan pemasakan seksualitas, juga mengakibatkan suatu perubahan dalam perkembangan sosial remaja. perkembangan seksual remaja dapat dilihat adanya dua macam gerak, yaitu memisahkan diri dari orang tua dan yang lain adalah menuju ke arah teman-teman sebaya. Remaja berusaha untuk melepaskan diri dari orang tua dengan maksud untuk menemukan diri atau pembentukan identitas. Remaja berusaha untuk mencapai kebebasan, mereka mempunyai kecenderungan untuk menghayati kebebasan tadi sesuai dengan c. Perubahan sosial Percepatan perkembangan dalam masa remaja yang berhubungan dengan pemasakan seksualitas, juga mengakibatkan suatu perubahan dalam perkembangan sosial remaja. perkembangan seksual remaja dapat dilihat adanya dua macam gerak, yaitu memisahkan diri dari orang tua dan yang lain adalah menuju ke arah teman-teman sebaya. Remaja berusaha untuk melepaskan diri dari orang tua dengan maksud untuk menemukan diri atau pembentukan identitas. Remaja berusaha untuk mencapai kebebasan, mereka mempunyai kecenderungan untuk menghayati kebebasan tadi sesuai dengan

Dari perubahan dalam diri remaja yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam diri remaja terdapat perubahan fisik, perubahan emosi dan perubahan sosial. Perubahan fisik meliputi pencapaian tinggi badan yang maksimal, berat badan mulai tersebar ke bagian-bagian tubuh, proporsi tubuh mencapai perbandingan yang matang, organ seks yang matang dan ciri-ciri seks sekunder yang matang. Perubahan emosi, remaja mengalami ketegangan emosi yang mengakibatkan emosi remaja meninggi. Perubahan sosial, remaja mengalami pergerakan memisahkan diri dari orang tua dan mulai menuju ke arah teman-teman sebaya.

2. Pengertian Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja merupakan istilah yang sering digunakan orang awam untuk menyebut remaja yang tidak mau menuruti perintah orang lain, perilaku yang tidak normal di mata masyarakat, apakah seperti itu arti istilah kenakalan remaja? Menurut Santrock (2003) kenakalan remaja atau juvenile delinquency mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial misalnya bersikap berlebihan di sekolah, pelanggaran status seperti melarikan diri, hingga tindak kriminal misalnya pencurian. Kenakalan adalah tingkahlaku atau perbuatan yang merugikan dirinya sendiri atau orang lain dan melanggar nilai-nilai moral maupun nilai-nilai sosial (Gunarsa, 1980).

Menurut Kartono (1992) Juvenile berasal dari bahasa latin yaitu juvenilis yang mempunyai arti anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda atau sifat-sifat khas pada periode remaja. Delinquent berasal dari kata latin delinquere yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursusila, dan lain-lain. Jadi menurut Kartono (1992) kenakalan remaja ialah perilaku jahat atau dursila yang melanggar norma sosial dan hukum, merupakan gejala sakit atau patologis secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.

Sedangkan menurut Supratiknya (1995) kenakalan remaja adalah perbuatan merusak harta benda, tindak kekerasan terhadap orang lain, tindak

perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kepentingan orang lain serta perbuatan yang melanggar peraturan masyarakat. Kenakalan remaja bukan hanya merupakan perbuatan anak yang melawan hukum semata akan tetapi juga termasuk di dalamnya perbuatan yang melanggar norma masyarakat. Dewasa ini sering terjadi seorang anak digolongkan sebagai delinkuen jika pada anak tersebut nampak adanya kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang sangat memuncak sehingga perbuatan-perbuatan tersebut menimbulkan gangguan-gangguan terhadap keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat. Perbuatan yang termasuk dalam kenakalan remaja misal pencurian, pembunuhan, penganiayaan, pemerasan, penipuan, penggelapan, gelandangan serta perbuatan-perbuatan lain yang dilakukan oleh anak remaja yang meresahkan masyarakat (Sudarsono, 1995).

Seluruh pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa kenakalan remaja adalah tindakan remaja yang melanggar norma sosial sehingga tidak dapat diterima secara sosial, melawan hukum dan pelanggaran status yang merugikan dirinya dan mengganggu masyarakat (Santrock, 2003; Kartono, 1992 & Gunarsa, 1980).

3. Bentuk-bentuk kenakalan Remaja

Menurut Kartono (1992) bentuk-bentuk kenakalan remaja adalah sebagai berikut:

a. Kebut-kebutan di jalan yang menggangu keamanan lalu-lintas dan membahayakan jiwa sendiri serta orang lain. b.Perilaku ugal-ugalan, brandalan atau urakan yang mengacaukan ketentraman masyarakat sekitar.

c. Perkelahian antar gang, antar kelompok dan antar sekolah. d.Membolos sekolah kemudian bermain sepanjang jalan atau sembunyi di tempat-tempat terpencil.

e. Kriminalitas anak, seperti mengancam, mengintimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok dan menggarong.

f. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau menimbulkan keadaan yang kacau balau yang mengganggu lingkungan. g.Perkosaan, agresivitas seksual hingga pembunuhan dengan motif seksual. h.Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan.

Menurut Jensen (dalam Sarwono, 2000) bentuk kenakalan remaja terbagi menjadi empat jenis, yaitu:

a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain seperti perkelahian, perkosaan, perampokan dan pembunuhan.

b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi seperti pengrusakan, pencurian, pencopetan dan pemerasan.

c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain seperti pelacuran, hubungan seks sebelum menikah dan penyalahgunaan obat.

d. Kenakalan yang melawan status misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengikari status orang tua mereka dengan cara minggat dari rumah dan membantah perintah orang tua.

Sedangkan menurut Mulyono (2001) bentuk-bentuk kenakalan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Kenakalan yang tidak melanggar hukum, meliputi:

1) Berbohong atau memutarbalikkan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutup kesalahan.

2) Membolos atau pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

3) Kabur atau meninggalkan rumah tanpa ijin orang tua atau menentang keinginan orang tua.

4) Keluyuran, pergi sendiri maupun berkelompok tanpa tujuan dan mudah menimbulkan hal yang negatif.

5) Memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain, sehingga mudah terangsang untuk mempergunakan, misalnya membawa pisau, pistol atau senajta tajam lainnya.

6) Bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk, sehingga mudah terpengaruh dalam perkara yang benar-benar kriminal.

7) Berpesta pora semalam suntuk tanpa pengawasan, sehingga mudah timbul tindakan-tindakan yang kurang bertanggung jawab.

8) Membaca buku-buku cabul dan kebiasaan mempergunakan bahasa yang tidak sopan dan tidak senonoh.

9) Turut dalam pelacuran atau melacurkan diri baik dengan tujuan kesulitan ekonomis maupun tujuan yang lain.

10) Berpakaian tidak pantas dan minum minuman keras atau menghisap ganja sehingga merusak dirinya.

b. Kenakalan yang melanggar hukum dan mengarah kepada tindakan kriminal, meliputi:

1) Berjudi sampai mempergunakan uang dan taruhan benda yang lain.

2) Mencuri, mencopet, menjambret, merampas dengan kekerasan atau tanpa kekerasan.

3) Penggelapan barang.

4) Penipuan dan pemalsuan.

5) Pelanggaran tata susila, menjual gambar-gambar porno dan film porno.

6) Pemalsuan uang dan pemalsuan surat-surat keterangan resmi.

7) Tindakan-tindakan antisosial.

8) Percobaan pembunuhan.

9) Menyebabkan kematian orang lain atau turut tersangkut dalam pembunuhan.

10) Pengguguran kandungan.

11) Penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian seseorang. Pengukuran tingkat kenakalan remaja dalam penelitian ini menggunakan bentuk-bentuk kenakalan remaja menurut Jensen (dalam Sarwono, 2000) yaitu 11) Penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian seseorang. Pengukuran tingkat kenakalan remaja dalam penelitian ini menggunakan bentuk-bentuk kenakalan remaja menurut Jensen (dalam Sarwono, 2000) yaitu

4. Tipe-tipe Kenakalan Remaja

Tipe-tipe kenakalan remaja menurut Kartono (1991):

a. Delinkuensi terang-terangan, kebanyakan adalah anak-anak yang ditolak, misalnya dikeluarkan dari sekolah. Sebaliknya ia juga menolak lingkungannya. Antara lain berupa perampokan, pencurian, perkosaan, pengrusakan, penganiayaan, dan pengroyokan.

b. Non-Konformis Ekstrim, anak yang berada diantara menerima nilai-nilai moral dan juga menolaknya, jadi membingungkan. Artinya kadang-kadang taat pada peraturan, tetapi kadang-kadang melawan. Emosi dan sikap sosialnya tidak stabil, sukar mengontrol diri, tidak disukai baik di rumah maupun di sekolah, tetapi tidak ditolak sama sekali. Kejahatan yang dilakukan antara lain pencurian kecil-kecilan, promescuitas atau pelacuran.

c. Non-konformis ringan, memandang dirinya tidak sebagai delinkuen. Individu tersebut tidak disukai, namun dibiarkan. Kejahatan yang dilakukan antara lain pencurian kecil-kecilan, pinjaman tanpa izin, pengrusakan, tingkah laku kasar.

Ditinjau dari sudut pelaku delinkuensi atau kenakalan remaja Hilgard (dalam Kartono, 1991) mengelompokan kenakalan remaja ke dalam dua golongan:

a. Social delinquency yaitu delinkuensi yang dilakukan oleh sekelompok remaja misalnya gang.

b. Individual delinquency yaitu delikuensi yang dilakukan oleh seorang remaja sendiri tanpa teman. Menurut Dryfoos (dalam Santrock, 2003) berdasarkan alasan hukum, dilakukan pembedaan kenakalan yaitu pelanggaran indeks dan pelanggaran status. Pelanggaran indeks atau index offenses adalah tindak kriminal, baik yang dilakukan oleh remaja maupun orang dewasa, seperti perampokan, tindak penyerangan, perkosaan, pembunuhan. Pelanggaran status atau status offenses adalah tindakan yang tidak seserius pelanggaran indeks, seperti melarikan diri, membolos, minum-minuman keras di bawah usia yang diperbolehkan, hubungan seks bebas dan anak yang tidak dapat dikendalikan. Tindakan ini dilakukan remaja di bawah usia tertentu, yang membuat mereka dapat digolongkan sebagai pelaku pelanggaran remaja. Menurut Bandura (2003) perilaku yang termasuk dalam kenakalan antara lain agresi, mencuri, menyontek, berbohong, merusak, membolos, mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan.

Tipe kenakalan dapat dibedakan berdasarkan jenis perbuatannya, jumlah pelakunya dan berdasarkan atas hukum. Berdasarkan jenis perbuatannya dibedakan menjadi tiga yaitu kenakalan yang terang-terangan dilakukan seperti pencurian, perkosaan, penganiayaan dan pengroyokan. Kenakalan non konformis Tipe kenakalan dapat dibedakan berdasarkan jenis perbuatannya, jumlah pelakunya dan berdasarkan atas hukum. Berdasarkan jenis perbuatannya dibedakan menjadi tiga yaitu kenakalan yang terang-terangan dilakukan seperti pencurian, perkosaan, penganiayaan dan pengroyokan. Kenakalan non konformis

5. Karakteristik Kenakalan Remaja

Menurut Kartono (1992) anak-anak delinkuen mempunyai karakteristik umum yang sangat berbeda dengan anak-anak nondelinkuen, yaitu mengenai:

a. Struktur intelektual Pada umumnya intelegensi mereka tidak berbeda dengan anak-anak normal, namun jelas terdapat fungsi-fungsi kognitif khusus yang berbeda. Biasanya anak delinkuen mendapat nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk ketrampilan verbal. Mereka kurang toleran terhadap hal-hal yang ambigius, kurang mampu memperhitungkan tingkah laku orang lain, bahkan tidak menghargai pribadi lain dan menganggap orang lain sebagai “gambar cermin” diri sendiri.

b. Perbedaan fisik dan psikis Anak-anak delinkuen berperilaku tidak sesuai secara moral dan memiliki perbedaan ciri karakteristik jasmaniah yang berbeda sejak lahir jika dibandingkan dengan anak-anak normal. Bentuk tubuh mereka lebih b. Perbedaan fisik dan psikis Anak-anak delinkuen berperilaku tidak sesuai secara moral dan memiliki perbedaan ciri karakteristik jasmaniah yang berbeda sejak lahir jika dibandingkan dengan anak-anak normal. Bentuk tubuh mereka lebih

c. Perbedaan karakteristik individual Anak-anak nakal menurut Kartono (1992) mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, seperti:

1) Hampir semua anak muda jenis ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini. Mereka tidak mau mempersiapkan bekal hidup bagi hari esok. Mereka tidak mampu membuat rencana bagi hari depan.

2) Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.

3) Mereka terisosialisasi dalam masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan dan tidak bertanggung jawab secara sosial.

4) Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan yang merangsang rasa kejantanan tanpa berpikir sebelumnya, walaupun mereka menyadari resiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya.

5) Pada umunya mereka sangat impulsif dan suka menyerempet bahaya.

6) Hati nurani tidak berfungsi atau kurang lancar berfungsi.

7) Mereka kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sebab mereka memang tidak pernah dituntun atau dididik untuk melakukan hal tersebut. Tanpa pengekangan diri itu mereka menjadi liar, ganas dan tidak bisa dikuasai oleh orang dewasa.

Pada umumnya remaja yang terlibat dalam kenakalan remaja berbeda dari mereka yang tidak terlibat dalam kenakalan, mereka yang terlibat dalam Pada umumnya remaja yang terlibat dalam kenakalan remaja berbeda dari mereka yang tidak terlibat dalam kenakalan, mereka yang terlibat dalam

6. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Kenakalan Remaja

Menurut Kartono (1992) penyebab timbulnya kenakalan remaja terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal penyebab kenakalan remaja antara lain:

a. Faktor intelegensi, anak-anak delinkuen ini pada umumnya mempunyai intelegensi verbal rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik atau prestasi sekolah rendah.

b. Ciri kepribadian, ciri kepribadian nampak lebih ambivalen terhadap otoritas, mendendam, bermusuhan, curiga, destruktif dan impulsif. Kaplan (dalam Lunanta, 2005) kepribadian mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan menyimpang karena individu cenderung meminimalisir pengalaman dari sikap diri yang negatif dan memaksimalkan pengalaman dari sikap diri yang positif. Salah satu karakteristik kepribadian yang dimaskud adalah pemantauan diri, pemantauan diri merupakan kecakapan individu dalam membaca situasi dan lingkungannya, serta kemampuan untuk mengontrol diri dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam situasi sosial. Remaja yang mempunyai pemantuan diri yang rendah kurang mempunyai motivasi untuk memperbaiki diri b. Ciri kepribadian, ciri kepribadian nampak lebih ambivalen terhadap otoritas, mendendam, bermusuhan, curiga, destruktif dan impulsif. Kaplan (dalam Lunanta, 2005) kepribadian mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan menyimpang karena individu cenderung meminimalisir pengalaman dari sikap diri yang negatif dan memaksimalkan pengalaman dari sikap diri yang positif. Salah satu karakteristik kepribadian yang dimaskud adalah pemantauan diri, pemantauan diri merupakan kecakapan individu dalam membaca situasi dan lingkungannya, serta kemampuan untuk mengontrol diri dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam situasi sosial. Remaja yang mempunyai pemantuan diri yang rendah kurang mempunyai motivasi untuk memperbaiki diri

c. Motivasi, motivasi yang rendah dalam mengontrol perilaku yang sesuai dengan lingkungan sosialnya (Lunanta & Ahkam, 2005).

d. Sikap-sikap yang salah, remaja yang melakukan kenakalan tidak mengetahui tingkah laku yang dapat diterima masyarakat atau gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima masyarakat.

e. Fantasi, tidak mampu menerima kenyataan (Kartono, 1991)

f. Internalisasi diri yang keliru, berada pada lingkungan yang melakukan kenakalan menyebabkan remaja menanamkan nilai-nilai yang salah dalam diri remaja.

g. Konflik batin, anak-anak delinkuen melakukan banyak kejahatan didorong oleh konflik batin sendiri. Mereka mempraktekan konflik batin untuk mengurangi beban tekanan jiwa sendiri lewat tingkah laku agresif, impulsif dan primitif.

h. Emosi yang kontroversial, remaja delinkuen terganggu secara emosional, mereka menjadi tidak sadar atau setengah sadar sehingga menjadi eksplotif meledak-ledak dan sangat agresif, untuk kemudian tanpa berpikir panjang melakukan bermacam-macam tindak kenakalan. Pendorong kuat munculnya perilaku delinkuen adalah ketidakmatangan emosi terutama bila disertai kecemasan sehingga mengakibatkan pemikiran dan pertimbangan remaja akan memburuk, kinerja terganggu, tindakan menjadi tidak menentu dan dapat h. Emosi yang kontroversial, remaja delinkuen terganggu secara emosional, mereka menjadi tidak sadar atau setengah sadar sehingga menjadi eksplotif meledak-ledak dan sangat agresif, untuk kemudian tanpa berpikir panjang melakukan bermacam-macam tindak kenakalan. Pendorong kuat munculnya perilaku delinkuen adalah ketidakmatangan emosi terutama bila disertai kecemasan sehingga mengakibatkan pemikiran dan pertimbangan remaja akan memburuk, kinerja terganggu, tindakan menjadi tidak menentu dan dapat

i. Kecenderungan psikopatologis, adanya sikap yang tidak bertanggung jawab dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya sehingga cenderung akan bersifat manipulatif dan tidak menunjukan penyesalan (Sari, 2005).

Menurut Kartono (1991) sebab-sebab eksternal timbulnya kenakalan remaja, adalah:

a. Lingkungan rumah atau keluarga:

1) Status ekonomi orang tua rendah, banyak penghuni atau keluarga besar dan rumah kotor.

2) Memiliki kebiasaan yang kurang baik, moralitas mereka merupakan tanda- tanya.

3) Tidak melaksanakan tata-tertib dan kedisiplinan atau justru menerapkan disiplin yang salah.

4) Tidak mampu mengembangkan ketenangan dan emosional.

5) Anak tidak mendapat kasih sayang orang tua.

6) Anak diasuh bukan oleh orang tuanya.

7) Tidak ada rasa persekutuan antar anggota.

8) Ada penolakan baik dari ibu maupun ayah.

9) Orang tua kurang memberi pengawasan pada anaknya.

10) Broken home karena kematian, perceraian, hukuman dan lain-lainnya.

b. Lingkungan sekolah

1) Sekolah yang berusaha memandaikan anak yang sebenarnya kurang mampu.

2) Guru bersikap reject atau menolak.

3) Sekolah atau guru yang mendisiplinkan anak dengan cara yang kaku, tanpa menghiraukan perasaan anak.

4) Suasana sekolah buruk. Hal ini menimbulkan anak suka membolos, segan atau malas belajar, melawan peraturan sekolah atau melawan guru, anak meninggalkan sekolah.

c. Lingkungan masyarakat

1) Tidak menghiraukan kepentingan anak dan tidak melindunginya.

2) Tidak memberikan kesempatan bagi anak untuk melaksanakan kehidupan sosial dan tidak mampu menyalurkan emosi anak.

3) Lingkungan tempat anak dibesarkan dan dengan siapa anak berteman, anak terkadang tanpa disadari meniru perbuatan teman-temannya. Menurut Santrock (2003) pemicu kenakalan remaja yaitu:

a. Identitas Menurut Erikson (1968, dalam Santrock, 2003) masa remaja terdapat tahap dimana krisis identitas versus difusi identitas harus diatasi dan kenakalan berhubungan dengan kemampuan remaja untuk mengatasi krisis secara positif. Menurut Erikson perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja:

1) Terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya.

2) Tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.

Erikson percaya kenakalan remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang melibatkan berbagai aspek-aspek peran identitas.

b. Kontrol Diri Kenakalan remaja dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Penelitian menemukan bahwa kontrol diri memainkan peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orang tua yang efektif di masa kanak-kanak seperti penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif berhubungan dengan dicapainya keterampilan pengaturan diri. Dengan memiliki keterampilan ini sebagai atribut internal akan berhubungan dengan menurunnya tingkat kenakalan remaja.

c. Proses Keluarga Penelitian yang dilakukan Petterson (dalam Santrock, 2003) menemukan bahwa pengawasan orang tua terhadap keberadaan remaja adalah faktor keluarga yang paling penting dalam meramalkan kenakalan remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Patterson menunjukan bahwa pengawasan orang tua yang tidak memadai, meliputi rendahnya pengawasan terhadap remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor utama dalam menentukan munculnya kenakalan.

d. Kelas Sosial atau komunitas Kenakalan remaja tidak lagi terbatas sebagai masalah kelas sosial yang lebih rendah dibandingkan di masa sebelumnya, beberapa ciri kebudayaan kelas sosial yang lebih rendah cenderung memicu terjadinya kenakalan (Jenkins & Bell, 1992 dalam Santrock, 2003). Remaja dari kelas sosial yang lebih rendah memiliki kesempatan yang lebih terbatas untuk mengambangkan keterampilan yang diterima oleh masyarakat, mereka mungkin saja merasa bahwa mereka bisa mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan antisosial. Penelitian terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan presentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan (Glueck & Glueck, 1950 dalam Santrock, 2003).

Dari pendapat-pendapat di atas penyebab kenakalan remaja terbagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kepribadian remaja yang ambivalen, motivasi diri yang rendah, pengembangan sikap yang salah, kurang mampu menerima kenyataan, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kegagalan remaja mencapai integritas mengenai identitas mereka dan kegagalan dalam melakukan kontrol diri. Faktor eksternal meliputi keluarga yang kurang kondusif bagi perkembangan remaja, lingkungan sekolah yang buruk dan lingkungan masyarakat kurang kondusif.

B. Self Efficacy

1. Pengertian Self Efficacy

Self efficacy berbeda dengan kepercayaan diri atau self confident, menurut Bandura (1997) self eficacy lebih menekankan pada penilaian seseorang mengenai kemampuannya, sedangkan self confident tidak termasuk mengenai kekuatan kepercayaan terhadap tugas yang khusus, lebih merupakan semboyan daripada konstruk sebuah sistem teori. Self confident lebih luas dari self efficacy, self confident merupakan sebuah sifat kepribadian umum yang berhubungan dengan kepercayaan individu dan tindakan dalam semua situasi (Heslin, 2006).