6.1 Ajaran Pembuktian - MATERI KE 9 DAN 10

  MATERI KE 9 DAN 10 : Pembuktian (Alat bukti dan Teknis serta strategi pembuktian

  

PEMBUKTIAN

  Pembuktian adalah tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta dimaksud dapat terdiri dari: a. Fakta Hukum; yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensinya (keberadaannya) tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan.

  b. Fakta Biasa; yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta hukum tertentu (Indroharto, 1993: 165-186)

6.1 Ajaran Pembuktian

  Dalam penjelasan umum UU Nomor 5 Tahun 1986 angka 5 disebutkan bahwa: Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai hukum acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara yang mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan, antara lain: a. pada Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini mengarah kepada ajaran pembuktian bebas;

  b. suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.

  Dari penjelasan umum itu dapat diketahui bahwa ajaran pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah ajaran pembuktian bebas, hal ini dikarenakan untuk memperoleh kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 109) ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada hakim. Namun dengan adanya persyaratan ”untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim (Pasal 107) maka

  Sebagai konsekuensi dari ajaran pembuktian bebas maka Hakim sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 107 dapat menentukan sendiri tentang:

  1. Apa yang harus dibuktikan.

  Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak tergantung atau tidak terikat pada fakta atau hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat, artinya hakim dapat saja menganyampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat. Demikian pula, hakim dapat saja memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila fakta dan hal tersebut mempunyai arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan belum cukup pasti keadaannya.

  2. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri.

  Dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN, hakim mempunyai kebebasan atau dapat menentukan sendiri yang harus dibebani pembuktian. Siapa yang dibebani pembuktian merupakan masalah pembagian beban pembuktian, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan.

  Menurut Suparto Wijoyo (1997: 119) hakim dapat saja menerapkan beban pembuktian terbalik atau pembagian beban yang seimbang sesuai dengan kearifan hakim. Sedangkan menurut Indroharto (1993: 192) bahwa kewajiban untuk membuktikan itu tidak ada pada pihak- pihak, tetapi barangsiapa diberi beban untuk membuktikan sesuatu dan tidak melakukannya, akan menanggung suatu resiko bahwa beberapa fakta yang mendukung positanya akan dikesampingkan dan dianggap tidak terbukti.

  3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian Menurut Indroharto (1993: 204) bahwa masing-masing alat bukti sebagaimana ditentukan mengenai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut atau tidak ada perbedaan mengenai kekuatan pembuktian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Namun demikian, hakim mempunyai wewenang untuk memilih alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti tersebut dan memberikan penilaian tentang kekuatan pembuktian dari alat bukti tersebut untuk dipergunakan dalam pembuktian.

  4. Kekuatan pembuktian alat bukti yang telah diajukan.

  Hakim mempunyai wewenang untuk memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa TUN dengan memperhatikan persyaratan yaitu ”untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim”.

6.2 Alat Bukti

  Pasal 100 UU Nomor 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa: (1) Alat bukti ialah:

  a. surat atau tulisan;

  b. keterangan ahli;

  c. keterangan saksi;

  d. pengakuan para pihak; e. pengetahuan hakim. (2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan. Dari ketentuan pasal tersebut dapat diuraikan jenis-jenis alat bukti yang dipergunakan dalam Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu sebagai berikut:

  1. Alat bukti Surat atau Tulisan Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 116) yang dimaksud dengan surat atau tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

  Surat sebagai alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 101 terdiri atas tiga jenis, yaitu: a. Akta Otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

  b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.

  c. Surat-surat lain yang bukan akta.

  2. Alat bukti Keterangan Ahli Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya (Pasal 102 ayat (1)). Hal ini, ditegaskan kembali dalam Pasal 103 ayat (2) yang menyatakan bahwa ” Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya”.

  Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa keterangan dari seorang ahli dapat dijadikan alat bukti, apabila:

  • keterangan tersebut disampaikan di depan persidangan;
  • keterangan tersebut disampaikan dibawah sumpah atau janji;
  • bisa dalam bentuk tertulis maupun lisan; dan
Siapa yang dapat didengar keterangannya sebagai ahli di sidang pengadilan tergantung kepada penunjukan Hakim Ketua Sidang berdasarkan atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Namun demikian, menurut Pasal 88 ada pengecualian terhadap seseorang yang didengar keterangannya sebagai ahli di depan persidangan, yaitu: a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa; b. Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai;

  c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun; dan d. Orang sakit ingatan.

  3. Alat Bukti Keterangan Saksi

  Pasal 104 menyatakan bahwa ”Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri”. Dari bunyi pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa keterangan saksi adalah keterangan seseorang yang didengar oleh hakim selama pemeriksaan perkara dilakukan, berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar sendiri oleh saksi.

  Dalam melakukan pemeriksaan terhadap seseorang sebagai saksi juga harus diperhatikan atau berlaku juga ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 88 undang-undang ini. Disamping itu, walaupun menjadi saksi adalah suatu kewajiban namun seseorang dapat mengundurkan diri sebagai saksi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 89 ayat (1), dengan alasan:

  a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak;

  b. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan itu. Yang menentukan ada atau tidak

  4. Alat Bukti Pengakuan Para Pihak Yang dimaksud dengan pengakuan para pihak adalah pengakuan para pihak yang diberikan pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengakuan itu menyangkut keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan. Menurut Pasal 105 dinyatakan bahwa ”Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim”.

  5. Alat Bukti Pengetahuan Hakim

  Pasal 106 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Salah satunya adalah hal-hal yang terjadi selama pemeriksaan oleh Hakim tersebut, seperti hasil pemeriksaan setempat.