Optimalisasi Peran Media Televisi Dalam

1

Optimalisasi Peran Media Televisi Dalam Pendidikan Karakter
Siswa Sekolah Dasar
Misriati
Program Studi PGSD FKIP Universitas Riau
Email : mimis_riati@yahoo.co.id
Abstrak
Saat ini, kasus moral yang terjadi bukan hanya di kalangan remaja dan orang
dewasa tetapi juga anak-anak. Hal itu disebabkan pendidikan di sekolah terlalu
menitikberatkan pada kognitif semata. Oleh sebab itu dalam mengatasi masalah
moral, diperlukan pembangunan bangsa melalui pendidikan karakter. Namun, di era
kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang ini, pendidikan karakter
anak tidak hanya didapatkan dari bangku sekolah, tetapi yang lebih banyak
berperan justru orang tua dan lingkungan sosial, serta media massa. Televisi
sebagai salah satu dari media massa memiliki andil yang berpengaruh sangat besar
dalam pembentukan karakter masyarakat termasuk anak-anak yang merupakan
siswa sekolah Dasar dengan umur sekitar 6-12 tahun. Oleh sebab itu, diperlukan
optimalisasi peran media televisi dalam rangka berpartisipasi dalam pelaksanaan
pendidikan karakter. Sehingga, apa pun yang disiarkan televisi seharusnya memiliki
andil dalam upaya mendidik generasi bangsa ini, dengan menyuguhkan tayangantayangan yang betul-betul bermanfaat. Namun, tayangan yang disajikan oleh pihak

televisi sangat membutuhkan upaya pengontrolan dan pengawasan dari
pemerintah, sekolah, dan orang tua agar peran televisi sebagai salah satu media
massa dalam rangka pendidikan karakter dapat berjalan optimal.
A. Latar Belakang dan Permasalahan
Pendidikan karakter dalam konteks saat ini sangat relevan untuk mengatasi
kasus moral yang sedang terjadi di negara kita. Fakta-fakta yang tersebar dan
menjadi rahasia umum menunjukkan bahwa banyak siswa yang memiliki kasus
moral dengan melakukan hal-hal yang tidak terpuji seperti suka mencuri, suka
berkelahi, menggunakan obat-obatan terlarang, minum-minuman keras serta
membuat onar di lingkungan sekitar. Penyebab maraknya kasus moral diantaranya
disebabkan karena faktor pendidikan ditandai dengan sistem yang lebih
menitikberatkan pada kognitif. Hal itu senada dengan pendapat Zubaedi (2011)
yang menyatakan bahwa dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi
salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada
pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft skils atau
non akademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara
optimal bahkan cenderung diabaikan. Oleh sebab itu dalam mengatasi masalah
moral, diperlukan pembangunan bangsa melalui pendidikan karakter. Namun, di era
kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang ini, pendidikan karakter
anak tidak hanya didapatkan dari bangku sekolah, tetapi yang lebih banyak

berperan justru orang tua dan lingkungan sosial, serta media massa. Televisi
sebagai salah satu dari media massa memiliki andil yang berpengaruh sangat besar
dalam pembentukan karakter masyarakat termasuk anak-anak yang merupakan
siswa sekolah Dasar dengan umur sekitar 6-12 tahun.
Televisi adalah media yang tidak hanya untuk menyampaikan informasi tetapi
juga membangun dan membentuk karakter serta perilaku seseorang termasuk
anak-anak, baik ke arah positif maupun negatif. Suatu problematika yang terjadi di
lingkungan kita sekarang ini adalah banyak anak-anak yang lebih suka berlama-

2

lama di depan televisi dari pada belajar, bahkan berjam-jam. Sementara itu, akhirakhir ini banyak tontonan televisi yang membawa efek negatif bagi anak dan
merusak pendidikan karakter yang telah diterapkan. Misalnya saja, di keluarga,
anak-anak didik untuk menghindari kekerasan dan hidup sederhana, namun acara
televisi justru penuh dengan sinetron yang memiliki adegan kekerasan, dan gaya
kehidupan yang ditayangkan merujuk kepada kemewahan. Selanjutnya, di
lingkungan Sekolah Dasar, anak diajarkan untuk santun dan hidup jujur, namun
tayangan sinetron di televisi sering menampilkan adegan tidak santun kepada guru
dan adanya ketidakjujuran siswa serta keusilan yang dilakukan siswa-siswa
sekolah. Hal itu sejalan dengan fakta-fakta masalah moral yang terjadi seperti anakanak di Sekolah Dasar saat ini kurang memiliki rasa hormat kepada orang tua,

sering mengejek teman yang lemah, serta mahir dalam menyanyikan lagu-lagu
dewasa yang bertema cinta, dan mengenal istilah”pacaran”, bahkan tidak sedikit
anak-anak yang sering berkelahi dengan temannya sebagai dampak dari tayangan
televisi yang mengandung nilai-nilai kekerasan.
Hal itu sejalan dengan fakta yang diungkapkan oleh Padmi Dhyah Yulianti dan
Tri Hartini (2015) yang menyebutkan bahwa dari keseluruhan tayangan kekerasan,
kekerasan fisik adalah yang paling banyak terjadi yaitu sebanyak 839 kejadian, atau
79,4% dari seluruh kejadian tayangan kekerasan. Tayangan kekerasan non fisik
mencapai angka 218 kejadian, atau 20,6% dari seluruh kejadian tayangan
kekerasan selama periode 2011. Berdasarkan laporan tahunan KPI tahun 2011
(dalam Padmi Dhyah Yulianti dan Tri Hartini, 2015) materi yang paling banyak
diadukan adalah mengenai tema/alur/format acara (17,32%). Selanjutnya secara
berturut-turut adalah mengenai siaran yang tidak mendidik (10,03%), muatan
kekerasan (6,76%), jam tayang yang tidak tepat (5,6%), dan muatan seks (5%).
Akibatnya, pengaruh televisi terhadap kepribadian anak menjadi cenderung
berpengaruh negatif. Arti penting melindungi anak dari dari informasi kekerasaan
ditegaskan melalui pasal 28B ayat (2) UUD 1945 Amandemen serta UU No.23 /
2002 tentang perlindungan anak dan UU No.32 /2002 tentang penyiaran. (Padmi
Dhyah Yulianti dan Tri Hartini, 2015) Seharusnya, televisi merupakan media massa
yang penting bagi anak-anak untuk menginternalisasikan nilai-nilai moral yang

berlaku di masyarakat.
Sayangnya, sebagian besar pelaku industri di dunia televisi cenderung
menerapkan jalan pintas untuk mengeruk keuntungan tanpa memikirkan efek yang
timbul dari suatu tayangan yang ditampilkan di balik layar. Hal itu disebabkan pihak
televisi memilih program-program yang dapat menaikkan rating mereka, sehingga
dapat mengundang banyak pemasang iklan yang dapat meningkatkan pendapatan.
Akibatnya program-program sangat penting, seperti program pendidikan menjadi
terabaikan. Ini merupakan suatu problematika yang terjadi di lingkungan kita
sekarang ini, dan perlu mendapatkan perhatian khusus bagi setiap orang tua dan
guru untuk selalu mengawasi aktivitas peserta didiknya serta adanya upaya
optimalisasi peran media televisi agar menjalankan fungsi edukasi sebagai wujud
pelaksanaan pendidikan karakter anak. Oleh sebab itu, kajian literatur ini
diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka mengoptimalkan peran media
televisi dalam pendidikan karakter anak.
B. Upaya Pendidikan Karakter bagi Siswa Sekolah Dasar
Di era saat ini, krisis moral terjadi di kalangan masyarakat termasuk anak-anak.
Oleh, sebab itu sangat diperlukan pelaksanaan pendidikan karakter sedini mungkin
mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Menurut Kamus Bahasa
Indonesia (dalam Retno Listyarti, 2012) karakter diartikan sebagai sifat-sifat


3

kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain;
tabiat; watak. Hal itu senada dengan pendapat karakter menurut Kemendiknas,
(2010: 3) adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk
dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Sehingga,
dapat dinayatakan karakter merupakan watak seseorang yang terbentuk dari hasil
pemikiran seseorang dalam bertindak.
Sementara itu, Prof. Suyanto (dalam Masnur Muslich, 2010) menyebutkan
bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap
individu untuk hidup dan bekerjasama,baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat,bangsa dan negara. Pengertian karakter disini lebih difokuskan kepada
nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana disebutkan oleh
Wyne (dalam E. Mulyasa, 2012:3) yang mengemukakan bahwa karakter berasal
dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark (menandai) dan memfokuskan pada
bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan yang nyata atau
perilaku sehari-hari. Seseorang disebut berkarakter jika ia berperilaku sesuai
dengan etika atau kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut senada
dengan pendapat (Zubaedi, 2011: 11) yang menyatakan bahwa individu yang

berakrakter baik atau unggul merupakan seseorang yang berusaha melakukan halhal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesama, lingkungan,
bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya untuk mengoptimalkan
potensi (pengetahuan) dirinya dan disetai dengan kesadaran, emosi, dan
motivasinya (perasaannya). Selain itu, individu yang berkarakter baik adalah
individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap
akibat dari keputusan yang ia buat (Masnur Muslich, 2010).
Menurut Thomas Lickona (dalam Retno Listyarti, 2012), pendidikan karakter
adalah perihal menjadi sekolah karakter, di mana sekolah adalah tempat terbaik
untuk menanamkan karakter. Pendidikan sekolah dasar adalah pendidikan pertama
yang berpengaruh pada pengembangan potensi peserta didik dalam menanamkan
nilai karakter. Hal tersebut senada dengan pendapat (Zubaedi, 2011 : 137) yang
menyatakan bahwa pembinaan karakter yang mudah dilakukan ketika anak-anak
masih duduk di bangku SD.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah
pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa
Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan
nasional (Kemendiknas, 2010: 6). E. Mulyasa (2011) menjelaskan bahwa melalui
pendidikan karakter peserta didik diharapkan mampu secara mandiri meningkatkan
dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasikan serta
mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam

perilaku sehari-hari. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa pendidikan karakter
merupakan usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga peserta
didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya dan
sesuai dengan norma yang berlaku.
Pendidikan karakter juga merupakan upaya agar peserta didik dapat
menghadapi tantangan kehidupan dengan bekal karakter yang dimlikinya. Hal itu
sejalan dengan pendapat Creasy (Zubaedi, 2011 : 16) yang mengartikan pendidikan
karakter sebagai upaya mendorong peserta didik tumbuh dan berkembang dengan
kompetensi berpikir dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral dalam
hidupnya serta mempunyai keberanian melakukan yang benar,meskipun
dihadapkan pada berbagai tantangan. Menurut (Kemendiknas, 2011: 6) pendidikan
karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing),

4

perasaan yang baik atau loving good moral feeling) dan perilaku yang baik (moral
action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta
didik. Oleh karena itu, Retno Listyarti (2012) menjelaskan lebih lanjut bahwa
pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekedar mendidik benar dan salah tetapi
mencakup proses pembiasaan tentang perilaku yang baik sehingga siswa

terbentuklah tabiat yang baik.
Menurut Kemendiknas (2010: 7) tujuan pendidikan karakter adalah sebagai
berikut;(1)mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai
manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; (2)
mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan
dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;(3)
menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai
generasi penerus bangsa;(4) mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi
manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan (5) mengembangkan
lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh
kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh
kekuatan (dignity).
Namun, secara sederhana tujuan pendidikan adaah untuk mengarahkan
pendidikan pada pembentukan karakter siswa sesuai tingkat satuan pendidikan. Hal
ini sejalan dengan pendapat E. Mulyasa (2011) yang menyatakan bahwa tujuan
pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan
yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara
utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada
setiap satuan pendidikan. Oleh karena sasaran pendidikan karakter adalah peserta
didik maka lebih lanjut, Masnur Muslich (2010) menyebutkan bahwa melalui

pendidikan karakter peserta didik diharapkan mampu secara mandiri meningkatkan
dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasikan serta
mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam
perilaku sehari-hari. Pada tingkat dasar, maka sasaran pendidikan karakter adalah
siswa sekolah Dasar yang terdiri dari kelas I-VI.
Adapun nilai-nilai karakter yang ditanamkan dan dibentuk pada siswa yaitu
ada 18 nilai karakter. Menurut Kemendiknas (2010:9), nilai-nilai karakter yaitu : (1)
Religius, sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain; (2) Jujur, perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan; (3) Toleransi; sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dari dirinya. (4) Disiplin; tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. (5) Kerja Keras, perilaku yang
menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar
dan tugas,serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya; (6) Kreatif; berpikir
dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang
telah dimiliki; (7) Mandiri, bersikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada
orang lain; (8) Demokratis, cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai

samhak dan kewajiban dirinya dan orang lain; (9) Rasa Ingin Tahu, sikap dan
tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar; (10) Semangat Kebangsaan, cara
berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan
negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya; (11) Cinta Tanah Air, cara berfikir,
bersikap, dan berbuat yang menunjukkankesetiaan, kepedulian, dan penghargaan

5

yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik
bangsa; (12) Menghargai Prestasi, sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain; (13) Bersahabat/ Komunikatif, tindakan yang
memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang
lain. (14) Cinta Damai, sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. (15) Gemar Membaca,
kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagbacaan yang memberikan
kebajikan bagi dirinya; (16) Peduli Lingkungan; sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah

terjadi; (17) Peduli Sosial, sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan
pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. (18) Tanggung-jawab, sikap
dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial
dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Upaya pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah termasuk di Sekolah
Dasar dapat dilihat dari segi keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Menurut
Zubaedi (2011), pengembangan karakter anak merupakan upaya yang melibatkan
semua pihak, baik pada keluarga inti, keluarga (kakek-nenek), sekolah, masyarakat,
maupun pemerintah. Oleh sebab itu, pihak-pihak tersebut harus mampu
bekerjasama dalam melaksanakan pendidikan karakter bagi anak. Keluarga
sebagai perkumpulan orang-orang yang memiliki ikatan berupa keturunan
merupakan wahana pertama bagi anak untuk berinteraksi. Situasi dan kondisi
menjadikan keluarga sebagai pendidik pertama dan utama bagi pembentukan
karakter anak. Pendidikan keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang
anak dalam prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen
terhadap nilai moral tertentu, seperti kejujuran, kedermawanan,keserhanaan, dan
menentukan bagaimana dia melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang
lain yang tidak sama dengan dia, berbeda status sosial, suku, agama, ras, dan latar
belakang budaya (Zubaedi, 2011).
Pada keluarga inti, peran utama terletak pada Ayah dan Ibu. Dalam upaya
mengembangkan pendidikan karakter bagi anak, Muktini Amini (dalam Zubaedi,
2011 : 145-147) menyebutkan cara-cara yang dapat dilakukan ayah dan Ibu yaitu
(1)menempatkan tugas dan kewajiban ayah-ibu sebagai agenda utama; (2)
mengevaluasi cara ayah-ibu dalam menghabiskan waktu selama sehari/seminggu;
(3) menyiapkan diri menjadi contoh yang baik; (4) membuka mata dan telinga
terhadap apa saja yang sedang mereka (anak-anak) yang mereka serap dan alami;
(5) menggunakan bahasa karakter; (6) memberi hukuman dengan kasih sayang; (7)
belajar untuk mendengarkan anak; (8) terlibat dalam kehidupan sekolah anak (9)
tidak mendidik karakter melalui kata-kata saja; (10) mendidik melalui keteladanan.
Di tingkat sekolah dasar, penanaman karakter lebih bersifat kompleks
dikarenakan anak dituntut untuk belajar berperilaku dengan cara mengenal,
menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai atau pun norma yang ada di masyarakat.
Pembinaan karakter yang mudah dilakukan ketika anak-anak masih duduk di
bangku SD (Zubaedi, 2011). Upaya pelaksanaan pendidikan karakter disekolah
menuntut adanya kepala sekolah yang amanah, peran guru sebagai teladan dan
motivator serta fasilitator, dan seluruh personalia yang ada di sekolah agar dapat
merancang dan melaksanakan pembelajaran di sekolah yang berbasis karakter.
Namun, pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah tidak diajarkan dalam mata
pelajaran khusus. Namun dilaksanakan melalui keseharian pembelajaran yang

6

sudah berjalan di sekolah (Zubaedi, 2011). Oleh sebab itu, guru memegang
peranan penting dalam pendidikan karakter dikarenakan gurulah yang merancang
proses pembelajaran berbasis karakter, dan melaksanakannya dalam kehidupan
siswa di sekolah. Hal itu sejalan dengan pendapat E. Mulyasa (2012: 63) yang
menyatakan bahwa guru merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya
terhadap keberhasilan pendidikan karakter di sekolah, bahkan sangat menetukan
berhasil-tidaknya peserta didik dalam mengembangkan pribadinya secara utuh.
Dikatakan demikian, karena guru merupakan figur utama, serta contoh,dan teladan
siswa di sekolah.
Di masyarakat, upaya pelaksanaan pendidikan karakter menuntut adanya
hubungan komunikasi dan kerjasama antara sekolah dan masyarakat terutama
dalam proses penanaman nilai karakter siswa agar tidak terjadi pertentangan antara
yang ditanamkan di sekolah dengan yang berlaku di masyarakat. Masyarakat
diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan
karakter anak atau pun siswa. Hal semacam itu penting disebabkan menurut E.
Mulyasa (2012), menyebutkan bahwa percuma saja anak di sekolah didik tentang
nilai-nilai kebaikan apabila di masyarakat mereka menyaksikan berbagai
penyimpangan nilai. Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama antara sekolah dan
masyarakat untuk menerapkan nilai-nilai karakter yang seharusnya agar tujuan
pendidikan karakter dapat tercapai sebagaimana mestinya.
Sejauh ini, upaya pendidikan karakter bagi siswa sekolah dasar masih belum
optimal. Pendidikan karakter lebih ditekankan kepada pembelajaran berbasis
karakter di sekolah. Apalagi, kebanyakan orang tua memiliki kesibukan yang relatif
tinggi untuk mendidik dan merawat anak-anaknya. Belum lagi, pengaruh lingkungan
sosial di masyarakat yang bisa membawa efek negatif terhadap karakter anak. Hal
itu disebabkan masyarakat masih banyak menganut budaya acuh tak acuh
sehingga pendidikan karakter dapat terabaikan, padahal karakter anak yang
dibentuk oleh keluarga dapat diperkuat ataupun diperlemah oleh lingkungan sosial.
Padahal, pelaksanaan pendidikan karakter bukanlah tanggung jawab sekolah saja,
tetapi tanggung jawab bersama baik lingkungan keluarga, maupun masyarakat.
C. Strategi Optimalisasi peran Media Televisi Dalam Pendidikan Karakter
Upaya pendidikan karakter yang ada di lingkungan keluarga, maupun sekolah,
dan lingkungan sosial haruslah mendapat dukungan dari media massa. Di era
kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang ini, pendidikan karakter
anak tidak hanya didapatkan dari bangku sekolah, tetapi yang lebih banyak
berperan justru keluarga dan lingkungan sosial, serta media massa. Di lapisan
masyarakat, televisi merupakan media yang paling digemari dan paling
berpengaruh termasuk anak-anak. Hal itu senada dengan pendapat Perin (dalam
Zubaedi, 2011) yang menyebutkan bahwa televisi memberikan pengaruh yang
besar dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan media lainnya. Ia
memerankan peran utama dalam kehidupan,ia juga merupakan sumber informasi
yang utama (a prime spource of news).Hal itu disebabkan televisi dapat ditonton
sambil santai di rumah, menyaksikan siaran langsung, hiburan, sinetron, dan
informasi lainnya.
Televisi berasal dari dua suku kata yaitu tele yang berarti jarak dalam
bahasa yunani dan visi yang berarti citra atau gambar dalam bahasa latin. Jadi
Televisi yang dimaknai sebagai alat pemancar dan alat penerima siaran gambar
bergerak jarak jauh, baik yang monokrom (hitam –putih) maupun warna dan yang
dilengkapi dengan suara (Rasyid dalam Padmi Dhyah Yulianti dan Tri Hartini, 2015).

7

Televisi adalah salah satu jenis media massa yang menyajikan informasi
dengan bentuk audio visual baik secara langsung, atau pun berbentuk rekaman
yang sudah mengalami proses editing. Setidaknya ada dua dampak yang
ditimbulkan dari acara televisi, yaitu: (Kuswandi, 2008:39-40) yaitu ; (a) Dampak
informatif, yaitu kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan
memahami acara yang ditayangkan televisi dan melahirkan pengetahuan bagi
pemirsa; (b) Dampak peniruan, yaitu pemirsa dihadapkan pada tren aktual yang
ditayangkan televisi, contohnya model pakaian dan model rambut para bintang
televisi. Dalam konteks tersebut, kita perlu memerhatikan peringatan dan analisis
Davies (dalam Zubaedi, 2011) yang menyatakan bahwa media televisi telah
menyebabkan kepribadian anak menjadi individualitas, agresif, permisif, mengenal
kata-kata jorok, pengetahuan seks lebih awal, penyalahgunaan obat, merokokm dan
lebih suka menyelesaikan persoalan dengan kekerasan, perilaku tidak aman dan
tidak sehat, serta kecenderungan obesitas karena junkfood. Akibatnya, televisi
merupakan salah satu dari media massa memiliki andil yang berpengaruh sangat
besar dalam pembentukan karakter masyarakat termasuk anak-anak yang
merupakan siswa sekolah Dasar dengan umur sekitar 6-12 tahun. Hal itu sejalan
dengan pendapat McQuel dan Windahl (Zubaedi, 2011 : 173) bahwa media televisi
tidak hanya mengajarkan tingkah laku, tetapi juga tindakan sebagai stimulus untuk
membangkitkan tingkah laku yang dipelajari dari sumber-sumber lain. Penelitian lain
yang berkaitan adalah penelitian American Psychological Associatons (APA) pada
1995 terungkap bahwa tayangan yang bermutu dan mempengaruhi seseorang
untuk berperilaku baik. Adapun tayangan kurang bermutu akan mempengaruhi
seseorang untuk berperilaku buruk (Zubaedi, 2011: 174). Oleh karena itu, acaraacara yang ditayangakan di televisi seperti film-film kekerasan maka akan
menimbulkan perilaku agresif pada anak. Sedangkan tayangan yang menampilkan
ilmu pengetahuan akan menimbulkan pola pikir yang lebih baik seperti menambah
wawasan ilmu pengetahuan. Sehingga bentuk pengaruh televisi sendiri bermacammacam, ada yang negatif dan ada juga yang positif, tergantung bagaimana mereka
mencerna dari yang mereka lihat di dalam televisi. Dari yang mereka lihat,
kemudian mereka merespon dan menentukan sikap atau tindakan.
Sebenarnya, jika peran media televisi dapat dioptimalisasikan maka akan
dapat membantu tugas sekolah dan orang tua dalam menanamkan pendidikan
karakter terhadap anak secara berkesinambungan. Hal itu dikarenakan yang
menyatakan bahwa media televisi dapat menyajikan acara-acara potret kehidupan
danperilaku sehari-hari baik dalam bentuk kisah nyata maupun dramatisasi sesuai
dengan tujuan yang dikehendaki (Zubaedi, 2011 : 173).
Media televisi dengan berbagai karakteristiknya diyakini dapat menimalisasir
kendala yang dihadapi sekolah, orang tua, dan juga masyarakat dalam
menumbuhkan pendidikan karakter (Zubaedi, 2011). Media televisi yang baik
adalah media yang mampu membawa perubahan perilaku masyarakat ke arah yang
lebih baik. Dalam hal ini, media televisi harus mampu mencerdaskan masyarakat
dan meningkatkan pendidikan karakter bangsa.
Peran media televisi dalam pelaksanaan pendidikan karakter yaitu: (1) pihak
televisi hendaknya mematuhi dan menjunjung tinggi kode etik penyiaran yang
berlaku; (2) Pihak televisi mengutamakan tayangan program siaran yang bersifat
edukasi; (3) Dalam merancang dan menampilkan siaran yang bersifat hiburan,
hendaknya diminimalisir efek-efek negatif yang ditimbulkan terutama pada
pembentukan karakter anak; (4) Hendaknya pengelola televisi lebih selektif dalam
memilih film atau acara yang akan ditampilkan mengingat pengaruh pada karakter
yang terbentuk di masyarakat khususnya anak-anak; (5) Karakter dan penokohan

8

dalam suatu sinetron atau film yang ditayangkan hendaknya diatur sedemikian rupa
sehingga dapat membentuk karakter anak yang positif; (6) adanya pengaturan
jadwal program siaran yang memperhatikan kebutuhan anak, remaja atau pun
orang dewasa; (7) Mau bekerjasama dengan senang hati dan terbuka dengan pihak
pemerintah ataupun KPI, maupun lembaga pendidikan serta masyarakat yang luas
dalam upaya mengoptimalisasikan peran televisi dalam pendidikan karakter.
Program siaran yang ditayangkan pihak televisi hendaknya mematuhi pada
kode etik penyiaran yang tercantum pada UU RI No.31 Pasal 36 Tahun 2010
mengenai Penyiaran (Dewi K.Soedarsono, 2012), dimana; (1) Isi siaran wajib
mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan
intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan
kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia; (2) Isi siaran
dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta
dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam
puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri; (3) Isi siaran wajib
memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anakanak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan
lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi
khalayak sesuai dengan isi siaran; (4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak
boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu; (5) Isi siaran dilarang; a)
bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b) menonjolkan unsur
kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau c)
mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan; (6) Isi siaran dilarang
memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai
agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Selain itu, pengelola televisi pun dalam menyiarkan programnya harus
mematuhi UU No.32 /2002 tentang penyiaran. Sebab, pada undang-undang
tersebut sudah dijelaskan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi pihak stasiun
televisi serta kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara
yang mengatur tentang penyiaran.
Pihak televisi mengutamakan tayangan program siaran yang bersifat edukasi
karena prinsip-prinsip dalam pendidikan karakter perlu diinternalisasikan sebagai
bentuk tanggungjawab bersama dalam mengatasi krisis bangsa. Pengelola media
perlu televisi mengembangkan dirinya sebagai “agen perubahan” yang memiliki jiwa
yang berkarater, sehingga seni dan karya yang dihasilkan dan ditayangkan akan
sarat dengan nilai-nilai kebajikan, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai humanisreligius, dan dijauhkan dari tayangan yang merusak moral bangsa, dan “virus-virus”
yang melemahkan etos dan budaya kerja (Zubaedi, 2011).
Acara-acara televisi hendaknya didesain sedemikian rupa sehingga memiliki
ruang gerak maksimal yang berfungsi sebagai wadah pendidikan untuk anak.
Tayangan tersebut diharapkan mampu menampilkan contoh nyata kehidupan
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Hal itu senada dengan pendapat Zubaedi (2011) yang menjelaskan bahwa aspek
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai, norma, kearifan lokal dan akhlak
mulia yang terkadnung dalam perilaku keseharian masyarakat dikemas menarik
menjadi acara televisi yang disajikan untuk kepentingan pendidikan, yakni untuk (1)
penghayatan dan penanaman ajaran agama; (2) pelestarian budaya bangsa; (3)
pengenalan kearifan lokal, seperti goyong royong, tolong menolong, dan toleransi;
(4) alam indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam. Topik yang dapat
dikembangkan, antara lain: (1) mencintai lingkungan, memelihara, melestarikan
serta memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;(2) topik-topik aktual

9

yang terjadi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dapat menjadi pelajaran
menarik dalam menanamkan pendidikan karakter; (3) mengembangkan kreativitas
dan kemandirian; (4) Indonesia memiliki sejarah perjuangan bangsa dan ceritacerita rakyat yang menarik untuk diangkat dilayar kaca (Zubaedi, 2011).
Program-program hiburan yang ditayangkan oleh televisi hendaknya
diminimalisir efek-efek negatif yang ditimbulkan terutama pada pembentukan
karakter anak. Karena selama ini, program hiburan banyak berisi dialog-dialog
berupa kata-kata kasar yang diartikan sebagai bentuk kekerasan yang halus. Hal ini
disebabkan sebagian pihak pengelola televisi lebih mengutamakan kuantitas
penayangan ketimbang kualitas isi pesan yang disampaikan. Padahal, penonton
memiliki hak untuk memperoleh tayangan, siaran yang mengajarkan kesantunan,
yang menumbuhkan harmoni, yang menanamkan kasih sayang. Alasan mengejar
kuantitas daripada kualitas isi pesan. Oleh sebab itu, dalam menimalisir efek-efek
negatif yang ditimbulkan, pihak televisi harus lebih cermat dalam menyusun
skenario tayangan program hiburan. Selain itu, profesionalisme artis pun harus
dituntut dalam memerankan peran yang bukan hanya penghibur tetapi juga publik
figur. Sehingga dalam program hiburan masih dapat berfungsi edukasi walaupun
juga sedang menjalankan fungsi lainnya yaitu hiburan.
Pengelola televisi dituntut untuk lebih selektif dalam memilih film atau acara
yang akan ditampilkan agar dampak tayangan yang disajikan dapat membentuk
sikap positif bagi masyarakat khusunya anak-anak. Pihak televisi haruslah bersifat
netral bagi setiap kalangan sehingga yang ditayangkan bukanlah tayangan yang
menimbulkan isu, gosip, atau propoganda yang dapat menimbulkan diskriminasi,
atau pun disintegrasi bangsa. Pihak televisi diharapkan mampu bekerja dengan KPI
dengan membuat kriteria yang lebih ketat tentang film atau acara yang layak
ditampilkan di layar kaca sehingga dapat mempermudah mereka dalam
melaksanakan proses seleksi. Pihak sutradara dan para artis pun harus bisa
bekerjasama dan terbuka apabila film mereka tidak bisa ditayangkan karena tidak
memenuhi kriteria sehingga mereka berusaha untuk menampilkan yang terbaik bagi
masyarakat.
Selain itu, karakter dan penokohan yang ditayangkan televisi hendaknya
disajikan secara menarik dikarenakan karakter tokoh sangat strategis dalam
penanaman pendidikan karakter. Anak SD belajar melalui tahap peniruan apa yang
dilakukan tokoh idolanya. Sayangnya, tayangan televisi nasional yang sehari-hari
ditonton anak-anak dan remaja belum sepenuhnya membawakan pesan-pesan
pendidikan yang hampir menjadi sajian rutin di sejumlah stasiun televisi serta dapat
ditonton secara bebas oleh kalangan anak-anak mengingat kondisi psikologis
mereka yang belum mampu membedakan mana televisi hal-hal negatif dan mana
hal-hal positif dari sebuah tayangan TV (Zubaedi, 2011).
Selain tayangan yang bersifat informasi dan edukasi, pengaturan jadwal
program siaran pun yang dilakukan bagian pemrogramanan siaran selain
berdasarkan
perkiraan
kecenderungan
menonton
peminat
hendaknya
memperhatikan kebutuhan anak, remaja atau pun orang dewasa. Misalnya saja,
ketika usai magrib jangan ditayangkan film yang disukai anak-anak karena pada
saat itu anak-anak dituntut untuk mengaji, atau pun belajar. Jika ditayangkan pada
waktu itu, anak-anak akan cenderung berat untuk meninggalkan televisi. Akibatnya,
anak-anak kehilangan kesempatan untuk belajar. Pada pukul 21.00 WIB ke atas,
tayangan film atau acara-acara anak-anak sebaiknya ditiadakan dan digantikan
dengan film atau acara yang bisa dikonsumsi masyarakat luas termasuk remaja dan
dewasa. Karena anak pada saat itu sebaiknya beristirahat dikarenakan besok pagi
sudah harus ke sekolah. Tentunya hal-hal yang ditayangkan pun tidak terlepas dari

10

menjunjungan tinggi norma-norma yang berlaku. Pada hari minggu pun, sebaiknya
jangan sampai setengah hari menampilkan acara atau film kartun yang berlebihan.
Hal itu disebabkan, anak-anak harusnya diberi kesempatan untuk bermain dan
belajar berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu, dalam
pengaturan jadwal program siaran sudah seharusnya benar-benar di susun secara
apik sehingga dapat bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat yang
mengkonsumsi tayangan yang dtampilkan.
Pihak pengelola televisi juga diharapkan mau bekerjasama dengan senang
hati dan terbuka dengan pihak pemerintah ataupun KPI (Komisi Penyiaran
Indonesia) maupun lembaga pendidikan serta masyarakat yang luas dalam upaya
mengoptimalisasikan peran televisi dalam pendidikan karakter. Pihak pengelola
dengan tangan terbuka menerima pendapat, saran, maupun kritikan dari
pemerintah, atau pun KPI bahkan masyarakat sebagai konsumen dari tayangan
televisi. Dalam upaya tersebut, pihak pengelola menyediakan unit layanan terbuka
melalui pesan telepon atau pun e-mail, dan ala komunikasi lainnya. Meskipun saat
ini, hampir semua televisi memiliki layanan untuk berkomunikasi dengan
masyarakat konsumen, tetapi nampaknya belum berdampak pada perbaikan
program. Oleh sebab itu, segala hal yang menjadi masukan bagi pihak pengelola
televisi sebaiknya diperhatikan dan ditindak lanjuti sebagai perbaikan dalam upaya
mensuskseskan pendidikan karakter khususnya bagi anak-anak.
Di era globalisasi seperti saat ini, guru dan sekolah menghadapi tantangan
pola pergaulan global peserta didik yang tidak dapat dikendalikan. Hal itu
disebabkan pendidikan karakter tidak akan berhasil baik bilamana dukungan
lingkungan dan media massa tidak ikut membantu. Televisi merupakan salah satu
media massa yang saat ini menjadi dunia keseharian anak, perlu
mengoptimalisasikanperannya agar ikut berperan aktif dan maksimal dalam
pendidikan karakter bagi anak bukan sebaliknya bersifat deskruktif terhadap
perkembangan karakter anak-anak.
D. Upaya Pemerintah, Sekolah dan Orang Tua dalam menimalisir dampak
negatif media televisi dalam membentuk karakter siswa
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa media televisi memiliki dampak
negatif terhadap pembentukan karakter anak. Media televisi membutuhkan
pengawasan baik dari masyarakat maupun pemerintah. Hal itu senada dengan
pendapat (Zubaedi, 2011) yang menyatakan bahwa media televisi hendaknya
diawasi dan diberi sanksi atau hukuman yang tegas agar mengindahkan unsur
edukasi. Oleh sebab itu, sangat diperlukan upaya dari pemerintah termasuk pihak
KPI (Komisi Penyiar Indonesia), sekolah dan orang tua tentu dalam menimalisir
dampak negatif.
Dalam hal ini, pemerintah memiliki kewajiban untuk mengontrol segala
aktivitas media, agar sesuai dengan tujuan negara dan nilai-nilai serta norma yang
berlaku. Perangkat hukum yang menjadi kebijakan harus jelas dan adil serta
lembaga yang berwenang mengawasi harus bersikap yang tegas jika ada pihakpihak penyiaran yang melanggar aturan yang telah ditetapkan. Hal itu dikarenakan
mengingat dampak penyiaran yang melanggar kode etik akan mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Indonesia sendiri mempunyai Depkominfo, tapi hanya
sekadar mengatur kebijakan frekuensi , dan hak siar (Zubedi, 2011). Lebih khusus
lagi, ada KPI (Komisi Penyiar Indonesia), yang dibentuk lebih independen, namun
diakui pemerintah. KPI diharapkan dapat memfilter aktivias media (terutama televisi)
agar sesuai dengan tujuan negara, norma, kebudayaan, ada tentunya agama

11

(Zubaedi, 2011). Selain KPI, Lembaga Sensor Film pun memiliki peran dalam
memfilter film-film yang layak dikonsumsi masyarakat.
Kontrol terhadap tayangan TV di masa depan agaknya akan bertambah
optimal jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film mampu
berjalan optimal. Kinerja kedua lembaga tersebut dituntut sangat kiat, terutama
dalam tiga hal. Pertama, mencegah unsur pornografi masuk dalam tanyangan
sinetron. Kedua, mencegah unsur kekerasan berlebihan dalam sintron. Ketiga,
mencegah pandangan dan pemikiran yang menyesatkan masuk dalam tayangan
sinetron. Keempat, mencegah adanya unsur-unsur yang dapat merusak karakter
masyarakat khususnya anak-anak.
Namun sampai saat ini, KPI dirasa masih cukup lemah dalam bertindak.
Padahal, tugas dan wewenangKPI sudah jelas tercantum dalam UU NO. 32 Tahun
2002 tentang penyiaran. Apalagi sikap cuek dari pengelola televisi yang telah
mendapatkan surat peringatan dari KPI. Oleh sebab itu, maka sangat dibutuhkan
peran orang tua dan sekolah dalam mengontrol media massa tersebut serta
mengawasi anak-anak saat menonton televisi.
Peran orang tua dalam menimalisir dampak negatif dari televisi bisa melalui
pengontrolan dan pengawasan terhadap anak-anak bahkan mendampingi anakanaknya saat menonton TV. Anak-anak hanya diperbolehkan menonton tayangan
televisi yang positif. Oleh sebab itu, orang tua perlu memilihkan dan mengetahui
acara yang ditonton anaknya betul-betul bermanfaat bagi pendidikan dan
perkembangan anaknya, agar anak tersebut dapat terangsang untuk berfikir kreatif.
Hal tersebut sangat perlu dilakukan karena mengingat kondisi psikologis anak yang
belum matang, akan sulit bagi mereka untuk membedakan mana yang positif dan
mana yang negatif. Orang tua perlu senantiasa mandampingi dan membimbingnya.
Bentuk kehati-hatian dari para orang tua semenjak dini sangat diperlukan untuk
menangkal efek negatif yang kemungkinan timbul jika anak-anak dibebaskan
menonton berbagai tayangan TV sesuai dengan kehendaknya saja.
Kontrol orang tua terhadap tayangan TV juga dapat dilakukan secara
langsung kepada stasiun TV yang menayangkannya jika ada sebuah acara yang
dianggap bernilai negatif. Kritikan dan saran dariorang tua bisa melalui alamat
telepon atau e-mail yang dimiliki oleh stasiun televisi yang bersangkutan. Hal ini
dikarenakan hampir semua TV di Indonesia memiliki telepon, fax, email, bahkan
SMS yang bisa dijangkau dari mana-mana. Mereka umumnya menerima layanan
pelanggan hampir 24 jam.
Jika sebuah stasiun televisi memiliki acara yang dinilai negatif, maka akan
ada banyak protes yang bermunculan. Misalnya andaikan ada dua orang saja dari
setiap propinsi di Indonesia yang rela menyempatkan diri protes terhadap tayangan
tersebut, maka dipastikan stasiun TV akan sangat selektif menampilkan tayangan
akibat kewalahan menerima protes dari banyak permirsa. Peran masyarakat
termasuk orang tua sangat diperlukan dalam membentuk karakter anak sebagai
generasi penerus bangsa.
Peran sekolah pun sangat penting dalam menimalisir dampak negatif dari
televisi terhadap karakter anak. Sebab, di sekolah, guru merupakan panutan bagi
siswa. Kebanyakan Anak SD cenderung patuh terhadap perkataan gurunya di
sekolah. Sehingga dalam hal ini, peran guru sebagai salah satu pihak sekolah
sangat penting dan memiliki andil besar bagi pembentukan karakter anak. Dalam
proses pembelajaran guru perlu mengajarkan nilai-nilai baik yang sebaiknya
dilakukan dan nilai-nilai buruk yang seharusnya di tinggalkan anak. Guru harus
mampu membentuk pola pikir siswa di Sekolah Dasar sehingga mereka merasa
enggan untuk bersikap buruk dan merasa tidak tertarik dengan sinetron-sinetron

12

yang tidak memiliki nilai edukasi. Guru pun perlu mengarahkan acara-acara apa
saja yang seharusnya dintonton mereka dan acara-acara apa saja yang tidak
seharusnya ditonton disertai dengan alasan yang jelas dan mudah dipahami siswa.
Sehingga siswa dapat menerima pendapat guru dan bisa mempratikkannnya saat
menonton televisi di rumah dengan perasaan senang hati tanpa merasa dipaksa.
Walau bagaimanapun, upaya yang dilakukan oleh pihak pemerintah,
sekolah, dan orang tua bukanlah upaya yang berjalan sendiri-sendiri. Akan tetapi,
upaya tersebut sebagai bentuk hubungan kerjasama dalam rangka
mengoptimalisasikan pendidikan karakter bagi anak sebagai penerus dari generasi
bangsa. Peran tersebut adalah kewajiban yang menjadi tanggung jawab bersama
yang harus dilakukan secara terus-menerus atau pun berkesinambungan. Hal itu
disebabkan pendidikan karakter merupakan proses upaya penanaman nilai-nilai
baik pada anak yang melibatkan pemikiran, keyakinan, dan tindakan. Oleh sebab
itu, stasiun televisi pun hendaknya betul-betul memikirkan nasib perkembangan
generasi bangsa ini.
Sudah seharusnya, stasiun tidak bermuara lagi pada keinginan meraup
keuntungan yang sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan nasib konsumennya.
Sehingga, apa pun yang disiarkan televisi seharusnya memiliki andil dalam upaya
mendidik generasi bangsa ini, dengan menyuguhkan tayangan-tayangan yang
betul-betul bermanfaat. Tentunya, tayangan yang disajikan itu membutuhkan upaya
pengontrolan dan pengawasan dari pemerintah, sekolah, dan orang tua agar peran
televisi sebagai salah satu media massa dalam rangka pendidikan karakter dapat
berjalan optimal.
Simpulan
Televisi merupakan salah satu media massa yang saat ini menjadi dunia
keseharian anak, perlu mengoptimalisasikan perannya agar ikut berperan aktif dan
maksimal dalam pendidikan karakter bagi anak bukan sebaliknya bersifat deskruktif
terhadap perkembangan karakter anak-anak. Sehingga, apa pun yang disiarkan
televisi seharusnya memiliki andil dalam upaya mendidik anak khususnya siswa
Sekolah Dasar, dengan menyuguhkan tayangan-tayangan yang tidak hanya
menyajikan informasi, tetapi juga mengutamakan unsur edukasi. Tentunya,
tayangan yang disajikan itu memerlukan upaya pengontrolan dan pengawasan dari
pemerintah, sekolah, dan orang tua agar peran televisi sebagai salah satu media
massa dalam rangka pendidikan karakter dapat berjalan optimal.
Daftar Pustaka
Dewi K.Soedarsono. (2012). Pesan Komunikasi Pendidikan di Media Televisi. Jurnal
Ilmiah Komunikasi, Vol. 2 no. 2.
Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat
Kurikulum. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa.
Diakses
pada
2010,
dari
http://repository.unand.ac.id/22742/1/4_PANDUAN_PELAKS_PENDIDIKAN_
KARAKTER.pdf
Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat
Kurikulum dan Perbukuan. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan
Karakter.
Diakses
pada
Mei
2011,
dari
http://repository.unand.ac.id/22742/1/4_PANDUAN_PELAKS_PENDIDIKAN_
KARAKTER.pdf

13

Listyarti, Retno. 2012. Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, & Kreatif.
Jakarta: Erlangga.
Mulyasa, E. (2012). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
Muslich, Masnur. (2010). Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Yulianti, Padmi Dhyah dan Hartini, Tri. (2015). Literasi Media Televisi Bagi Orang
Tua : Upaya Melindungi Anak dari Dampak Negatif Televisi. Forum UMM,
(Program
Studi
Bimbingan
dan
Konseling
Universitas
PGRI
SemarangPsychology). ISBN: 978-979-796-324-8.
Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter (Konsepsi dan Aplikasinya dalam
Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana.