MEMPERTANYAKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI IN
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
QUESTIONING THE MULTICULTURALIZATION OF EDUCATION
Two trends of Multiculturalism Education in Indonesia
MEMPERTANYAKAN MULTIKULTURALISASI PENDIDIKAN
Dua Kecenderungan Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia
Nur Rosyid
Abstraksi
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengulas secara kritis isu multikulturalisme yang
menjamur dalam kajian pendidikan di Indonesia. Saya ingin mengkajinya lewat
teks-teks bacaan, khususnya Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini didasarkan pada
asumsi bahwa proses pengenalan multikulturalisme di dunia pendidikan lebih
banyak dituntun lewat buku panduan. Obyek kajian yang digunakan di sini adalah
teks LKS (Lembar Kerja Siswa) kelas X MA dan SMA di kabupaten Boyolali. Dua
buah teks ini akan diperbandingkan salah satu babnya dan kemudian dianalisis.
Perbandingan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana teks multikulturalisme
diwacanakan di dua institusi yang berbeda. Dari hasil tinjauan ini terlihat ada
perbedaan wacana dan orientasi pendidikan multikultural di dua institusi
pendidikan tersebut. Kemudian hasil kajian ini direfleksikan kembali ke dalam
pendidikan islam.
Kata-kunci: multikulturalisme, kewarganegaraan, perbandingan teks, Refleksi
Abstract
This paper is aimed to critically review the issue of multiculturalism that began to
spread in the study of education in Indonesia. I want to study it through reading
texts, particularly Civic Education. It is based on the assumption that the
introduction of multiculturalism in education is guided by more guidebooks. The
object of study used here is the text of LKS (Student Worksheet) class X MA and
SMA in Boyolali district. Two texts will be compared one of the chapter and later
in analysis. This comparison is intended to see how the discourse of
multiculturalism text in two different institutions. From the results of this review
appears there was a difference discourse orientation and multicultural education
at two educational institutions. Then the results of this study are reflected back into
the Islamic education.
Keyword: Multiculturalism, Civic education, Comparison study, Reflection
1
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
A. Isu Pendidikan Multikulturalisme
Perkembangan kehidupan bernegara dan berbangsa di Indonesia belakangan ini
selalu diwarnai oleh hiruk-pikuk konflik yang dilatarbelakangi motif primordialistik,
perebutan kepentingan antar kelompok, dan sebagainya. Selama tahun 2012 ada
beberapa kasus pertikaian mewarnai media massa kita. Ada sebuah situs memberitakan
peristiwa tawuran telah terjadi antara siswa SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta di kawasan
Bulungan pada Senin (24/9). Tawuran ini menyebabkan seorang siswa SMA 6 kelas X
berusia 15 tahun, tewas akibat kena bacok di bagian dada1. Berita lain mengabarkan
Hari Minggu (26/8), konflik bernuansa SARA, antara kelompok Islam Suni dengan
Islam Syiah terjadi di Sampang, Madura. Akibatnya, dua warga Syiah meninggal dunia
dan sejumlah rumah hangus terbakar2. Tidak hanya itu saja, konflik politik di Senayan
maupun demonstrasi di jalanan ikut meramaikan ketegangan ini.
Pertentangan atau ketegangan-ketegangan ini kalau kita selami betul akan
menimbulkan kesadaran bersama, “ada sesuatu yang ‘beda’ di antara kita”. Dalam arti
luas, Indonesia ternyata negara yang penuh dengan perbedaan-perbedaan kultural
maupun politik-ekonomi. Isu multikulturalisme kemudian menjadi wacana utama dalam
beberapa tahun terakhir yang dipelopori beberapa perguruan tinggi, khususnya ilmu
Humaniora. Multikulturalisme dipandang akan mampu meredam konflik, pertikaian
atau pertentangan-pertentangan itu.
Multikulturalisme,
sebagaimana
dijelaskan
Bikhu
Parekh,
setidaknya
mengandung tiga kompenen pokok, yakni: (1) berhubungan dengan budaya (2) merujuk
pada pluralitas budaya, dan (3) cara khusus yang dipakai untuk merespon3. Selanjutnya,
multikulturalisme dipandang sebagai sebentuk ‘isme’ diharapakan akan bekerja dalam
pikiran seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Sebab kita tahu, sebagai kalangan
fenomenolog,
segala
perilaku
manusia
dibimbing
oleh
pengetahuan
dan
1
Diambil dari http://news.detik.com/read/2012/09/25/105804/2034457/10/ratusan-siswa-sma-6-antarkanjenazah-alawy-ke-liang-lahat?9911012. Pada tanggal 26 September 2012 pukul 09:48 WIB
2
Diambil dari “Laporan harian monitoring isu publik”, Kementrian Komunikasi dan Informasi
http://infopublik.kominfo.go.id/download.php?f=d91cee6a6f17c849b0c6d1b160d44afd.pdf pada tanggal
26 September 2012 pukul 10:13 WIB
3
Dalam Kamanto Sunarto dkk. Introduction. Dalam “Multicultural education in Indonesia and SouthEast
Asia: Stepping Into the Unfamiliar”. Jurnal Antropologi Indonesia. 2004: 1
2
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
pengalamannya. Hal ini menandakan pendidikan dapat menjadi arena pemasukan ideide multikultur, sebagaimana pengenalan nilai-nilai kehidupan sosial lainnya. Nilai
inilah yang selanjutnya akan menentukan arah tindakan dan perilaku siswa-siswi.
Lantas bagaimana sebenarnya praktik multikulturalisasi4 itu akan dijalankan.
Lono Lastoro, telah memberikan keterangannya panjang dalam bagaimana menyikapi
atau mengekspresikan beragamnya kultur tersebut dengan mengenalkan konsep etnisitas
dalam prespektif relasional dari Eriksen (1993) dan Barker (2000). Menurutnya,
“Sumbangan yang diberikan prespektif ini berupa pandangan bahwa kelompok etnik merupakan
salah satu bentuk pengorganisasian sosial, yang senantiasa melibatkan tindak ekslusi dan inklusi
yang didasarkan pada konsep kesamaan dan perbedaan. Tindak pembedaan dan atau penyamaan
menuntut kehadiran dua atau lebih entitas sosial yang saling berinteraksi”5.
Jadi tindakan pengenalan multikulturalisme, pada intinya merupakan tindak
pembedaan dan penyamaan atas banyak entitas sosial. Dengan demikian, pendidikan di
sini menjadi arena yang tepat untuk mengajak siswa untuk mengenali pluralitas
Indonesia melalui tindak pembedaan dan penyamaan. Sebagaimana yang dijelaskan
Lono Lastoro, “Sekolah sebagai salah satu lembaga pengemban pendewasaan anak-anak
pun tidak luput dari proses penanaman tindak pembedaan dan penyamaan”6. Dan
selanjutnya, “Penyamaan dan pembedaan itu tidak hanya berlangsung dalam bidang
etnik atau ras, tetapi bahkan bisa saja didahului atau berbarengan dengan identifikasi
gender, agama, kelas sosial.”7.
Lebih lanjut lagi, Sugeng Wahyono telah mengidentifikasi setidaknya ada dua
hambatan besar yang harus dihadapi di dalam menerapkan pendidikan multikultural,
yaitu “menguatnya politik identitas dan makin kentalnya etnititas” (2005: 17-18). Kedua
hal ini, menurutnya telah dimanipulasi oleh negara dan agama, untuk menonjolkan
perbedaan dan klaim mutlak-mutlakan. Sehingga memacetkan komunikasi antar budaya
4
Multikulturalisasi yang saya maksudkan di sini adalah suatu proses penyebaran atau pengenalan
multikulturalisme.
5
Lono Lastoro. “Dari Perbedaan dan Kesamaan, Menuju Pembedaan dan Penyamaan” dalam AhimsaPutra (ed) “Esai-Esai Antropologi: Teori, Metodologi & Etnografi” Jurusan Antropologi Budaya UGM
dan Kepel Press. 2006:78
6
Dalam Y Sari Jatmiko dan Ferry Indriatno. “Pendidikan Multikultural yang Berkeadilan Sosial.
Yogyakarta. 2006. hal:75
7
Lono Lastoro,74.
3
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
yang seharusnya berada dalam relasi kesetaraaan dan ketersalingan. Saya sendiri tidak
sepenuhnya sepakat dengan pendapat ini. Menurut saya, hambatan itu justru berada di
ranah pendidikan, sebab pewacanaan tentang dunia sosial dan sebagainya, bermula dari
sana. Hal ini bisa diketahui lewat bagaimana institusi pendidikan mewacanakannya ke
dalam teks-teks pengantar di kelas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tilaar,
“Pendidikan multikultural mendasari dan menjiwai semua mata pelajaran di lembaga
pendidikan formal dan non formal” (2004 dalam Pramono. 2005:29). Charris Zubair
mengemukakan hal senada. Menurutnya, ada dua agenda mendesak yang harus
diselesaikan bagi terbangunnya kesadaran multikulturalisme. Pertama, mendekonstruksi
wacana-wacana dominan yang memproklamirkan ke-aku-annya di atas belantara
keragaman dan perbedaan. Kedua, mempersiapkan secara dewasa komunitas maupun
kelompok sosial untuk menghadapi klaim kebenaran yang dipancangkan kelompok
etnisitas lain8.
Berdasarkan literatur di atas, saya berasumsi untuk melihat sejauh mana institusi
pendidikan sudah mewacanakan gerakan ke arah multikulturalisme, telaah teks
Kewarganegaraan SLTA sangat relevan. Pendidikan Kewarganegaraan kelas X SLTA.
Kajian teks ini menjadi penting untuk ditinjau kembali karena teks yang menuntun
tindakan peserta didik dan arah pembelajaran. Sugeng Wahyono, seorang dosen UNY,
sudah memberikan saran mengenai implementasi pendidikan multikultural. Salah satu
pendapat dari seorang Dosen UNY ini, “segera perlu mengimplementasikan pendidikan
multikultural ke sekolah-sekolah yang didukung kebijakan pemerintah untuk pengadaan
guru, materi pengajaran, dan pengadaan buku-buku pelajaran”. Saran tersebut tentu saja
patut kita tinjau sekarang pada teks yang pernah di susun oleh pemerintah maupun
tenaga kependidikan.
B. Kewarganegaraan dan Sumber yang Berbeda
Pendidikan Kewarganegaraan di sini saya pilih sebagai titik fokus kajian karena
ternyata pelajaran ini telah menyita perhatian beberapa ilmuwan sosial dan kritikus.
8
Dalam Fajar Riza Ul Haq. “Beban Visional Masyarakat Multikultural”. Dalam Kalimatun Sawa’. Vol.
01, No. 02 (2004). Hal 6-7
4
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
Salah satunya, seorang Indonesianis Niels Mulder (dalam Salim. 2005: 46). Ia
menunjukkan,
“Pelajaran Kewarganegaraan yang diajarkan di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas,
lebih banyak berisi pengarahan ideologi, dengan isi yang terus mengulang-ulang. Ideologi itu
adalah suatu ketundukan total individu pada kolektivitas. Tenggang rasa dan toleransi yang
ditekankan di sana lebih dimaksudkan untuk menekan perbedaan dalam rangka menciptakan
harmoni”.
Selain itu ada juga ulasan dari Wahyono, Pendidikan kewarganegaraan sebagai
bagian dari Humaniora “harusnya mampu menembus batas-batas agama dan perspektif
ideologis lainnya, sehingga bisa mengatasi pandangan sempit primordial” (2005:15).
Dengan demikian, saya tertarik untuk memperdalam kajian ini atas materi
kewarganegaraan dari dua institusi yang berbeda, yakni: SMA di bawah lindungan
DIKNAS dan MA (Madrasah Aliyah) di bawah lindungan DEPAG. Jadi saya mencoba
membandingkan antara pendidikan ‘umum’ dengan ‘islami’9 untuk melihat apakah
kekhawatiran Wahyono tersebut memang terjadi? Apakah pelajaran ini memang telah
menembus batas-batas agama dan perspektif ideologis tertentu?
Saya mengawali analisis ini dengan mengidentifikasi teks terlebih dahulu. Buku
ajar ini berupa LKS (Lembar Kerja Siswa) yang berisi rangkuman materi dan soal-soal
ujian. Untuk MA, saya menggunakan LKS MODUL buatan MGMP10 PKn Eks
Karesidenan Surakarta tahun 2010. Sedangkan untuk SMA saya menggunakan LKS
KREATIF terbitan VIVA Pakarindo Klaten11.
C. Mendedah Bahasan LKS
Telaah selanjutnya, saya hendak menyodorkan beberapa kutipan dari bab
pertama kedua LKS mengenai “Hakekat Bangsa dan Negara”. Tema ini pada saya pilih
9
Istilah ‘umum’ dan ‘islami’ ini berawal dari anggapan masyarakat bahwa SMA itu ‘umum’ karena
memberi pelajaran-pelajaran yang umum. Begitu juga dengan MA, dianggap ‘islami’ karena pelajaran
dan kegiatan akademik non-akademik lebih banyak berbau agama islam.
10
MGMP merupakan sebuah organisasi pra guru mata pelajaran tertentu dalam suatu wilayah pendidikan,
misalnya wilayah kabupaten atau karesidenan seperti pembuat LKS ini.
11
Pemilihan LKS ini didasarkan kebetulan pada semester pertama, masing-masing sekolah menggunakan
LKS yang dimaksud dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraannya. Jadi pertanyaan mengapa
menggunakan LKS yang berbeda itu merupakan kebijakan guru PKn masing-masing.
5
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
karena ada kesesuaian dengan apa yang tengah dibicarakan di sini. Akan tetapi sebelum
masuk ke materi, kita kaji dahulu standar kompetensi apa yang hendak dibekalkan
kepada siswa melalui tema tersebut.
Mari kita buka kedua LKS ini bersama-sama. Di halaman pertama LKS MA,
dalam kolom Standar Kompetensi berbunyi: ”Kemampuan menganalisis hakekat bangsa
dan negara serta menentukan sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Dari satu poin kompetensi ini, terdapat dua hal menarik menurut saya.
Pertama, kemampuan “menganalisis” di sini, kalau kita pahami berarti kemampuan
yang diharapkan dari peserta didik di bidang kognitifnya. Siswa diajak untuk berpikir
lebih jauh tentang bangsa dan negara, bahkan sampai ke hakekatnya. Kedua, setelah
siswa diajak untuk berpikir, selanjutnya diajak untuk menentukan sikap, untuk bertindak
positif. Inilah aspek afektif yang diharapkan nantinya bisa berkembang di dalam pribadi
siswa. Dengan demikian, terdapat dua kompetensi yang hendak dikembangkan kepada
siswa MA.
Pada halaman yang sama dari standar kompetensi LKS SMA, terpampang
sebuah kalimat “Memahami hakekat bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Kompetensi ini diawali dengan “memahami” saja, tidak seperti kompetensi sebelumnya.
Ini artinya, pengembangan siswa SMA lebih ditekankan pada aspek kognitif saja. Jika
memang demikian, pertanyaan selanjutnya mengapa pada siswa SMA tidak ada aspek
afektifnya? Padahal tadi di atas kita mendapati saran dari teoretikus, bahwa
multikulturalisme menyangkut “tindak” pembedaan dan penyamaan. Tentu saja tidak
segampang ini. mari kita lanjutkan membaca lagi.
Paragraf awal LKS MA dimulai dengan penegasan posisi manusia sebagai
makhluk individu dan sosial. Perhatikan paragraf berikut,
“Sebagai makhluk sosial, manusia cenderung untuk berkelompok untuk membentuk
masyarakat. Adapun yang mendorong manusia untuk hidup bermasyarakat, antara lain: (1)
hasrat untuk melanjutkan keterunannya, (2) ikatan pertalian darah, (3) hasrat untuk memenuhi
keperluan makan dan minum, (4) hasrat untuk membela diri, (5) perasaan senasib
sepenanggungan, (6) persamaan agama dan kepercayaan, (7) persamaan ideologi, (8)
persamaan cita-cita, budaya serta bahasa, (9) kesadaran mempunyai tempat tinggal yang
sama” (penekanan dari saya, hal:3-4).
6
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
Penjelasan ini saya kira cukup fatal. Siswa diberi pemahaman, apa yang
menjadi dunia sosialnya, dibatasi oleh Sembilan kriteria. Menariknya lagi, kelima
kriteria itu didasarkan pada “kesamaan”, entah kesamaan agama, kesamaan ideologi,
cita-cita, bahasa, dan wilayah tempat tinggal. Apakah dunia sosial yang kita diami
sekarang terbentuk dari kesamaan-kesamaan entitas seperti itu? Dengan demikian, siswa
diajak untuk memahami dirinya sebagai makhluk sosial karena kesamaan-kesamaan itu,
bukan oleh perbedaan. Penjelasan yang berbeda kita temukan di dalam LKS SMA. Di
sana disebutkan, “manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri dan selalu
membutuhkan peran, bantuan, serta keberadaan manusia lain dalam hidupnya” (hal:3).
Penjelasan ini kalau kita salami, mengandaikan dunia sosial manusia itu terkonstuksi
melalui kekurangan, perbedaan, dan disitulah rasa saling membutuhkan akhirnya
tumbuh.
Selanjutnya,
konsep
“bangsa”
dikenalkan
terlebih
dahulu
dengan
mengambilkan beberapa pandangan para ahli. Kebetulan saya menemukan, kedua LKS
itu merujuk pada satu tokoh yang sama, yakni Ernest Renan, seorang ahli kenegaraan
asal Prancis itu. LKS MA berbunyi, “Bangsa terbentuk adanya keinginan untuk hidup
bersama/hasrat bersatu dengan perasaan kesetiakawanan yang agung.”(hal:4).
Deskripsi WJS Purwadarminto, penulis KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) juga
tertuang dalam materi tersebut. Konsep bangsa didefinisikan sebagai “kesatuan dari
orang-orang yang sama atau bersama asal keturunan, bahasa, adat, dan sejarahnya,
yang di bawah pemerintahan sendiri, misalnya Bangsa Indonesia”(hal:4). Kutipankutipan cetak miring tersebut, menginformasikan satu pandangan bagi penyusun LKS
MA, yakni MGMP. Mereka memahami bangsa dibangun melalui kesamaan keturunan,
bahasa, adat, dan sejarahnya.
LKS SMA justru lain bunyinya. Di sana disebutkan, “bangsa adalah
sekelompok manusia yang dipersatukan karena persamaan nasib, latar belakang
sejarah, dan cita-cita yang sama”. Sebagai tambahan, “pemersatu bangsa bukanlah
kesamaan bahasa atau suku bangsa, akan tetapi tercapainya hasil gemilang di masa
lampau dan keinginan untuk mencapainya lagi di masa depan” (hal 3). Saya bertanya,
7
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
mengapa tulisan yang merujuk pada satu tokoh, bisa menjadi berbeda ketika dituangkan
ke dalam teks sekolah di dua macam institusi?
Tidak dihadirkannya perbedaan di dalam pengertian bangsa, lagi-lagi kita
dapatkan
dari
kalimat
selanjutnya
di
LKS
MA.
Arti
bangsa
secara
sosiologis/antropologis dideskripsikan sebagai suatu “kelompok paguyuban yang secara
kodrati ditakdirkan untuk hidup bersama dan senasib sepenanggungan di dalam suatu
negara”. Hanya sesederhana ini saja deskrisinya mengenai bangsa secara antropologis.
Penjelasan mendetail justru kita temui di dalam LKS SMA. Bangsa dalam perspektif
yang sama, dimaknai sebagai “persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masingmasing anggota persekutuan hidup tersebut, terikat oleh kesatuan ras, bahasa, agama,
dan adat istiadat. Ikatan tersebut dinamakan ikatan primordial.” Selanjutnya, “dapat
disimpulkan bahwa dalam satu negara terdapat dua bangsa, yaitu bangsa dalam arti
politis misalnya bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa yang ada di dalamnya
(sosiologis-antropologis) seperti bangsa Batak, Jawa, Bugis, dan sebagainya. Dan
untuk mempermudah pembedaan tersebut, maka bangsa dalam arti sosiologisantropologis dinamakan suku, etnis, atau suku-bangsa”. Dari kutipan-kutipan ini
dapatlah dikatakan, kebermaknaan bangsa Indonesia dihadirkan di dalam bahasan SMA
melalui
kesatuan
berbagai
entitas
etnik,
agama,
dan
adat-istiadat.
Bukan
menyederhanakannya sebagai suatu kelompok yang ditakdirkan karena senasib dan
seperjuangan.
Kita lanjutkan lagi pada halaman berikutnya mengenai “Unsur-unsur
pembentuk bangsa”. LKS MA menyebutkan bangsa, dengan mengutip Hans Kohn,
dibentuk karena faktor-faktor obyektif tertentu yang membedakan dari bangsa lain,
yakni “kesamaan keturunan, wilayah, bahasa, adat-istiadat, kesamaan politik,
perasaan, dan agama”. Kalau mengacu pada kutipan ini, kita mendapati kesimpulan,
bangsa akan “identik” dengan agama, kebudayaan, politik, atau sebaliknya.
Pendapat Ernest Renan justru diambil lagi didalam bahasa LKS SMA, bangsa
terbentuk karena “kesamaan jiwa, sehingga walaupun berasal dari berbagai macam
suku, budaya, dan agama namun kehendak unutk bersatu menjadikan satu kekuatan
terbentuknya bangsa.” Kesamaan yang diangkat dalam kutipan ini adalah kesamaan
8
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
jiwa dan kehendak untuk bersatu. Perbedaan-perbedaan entitas sosial seperti sukubangsa, agama, dan budaya lainnya tidak menjadi masalah dalam proses integrasi
nasional. Pemahaman ini terlihat lebih jelas pada penjelasan selanjutnya,
“berdasarkan pada pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
terbentuknya bangsa meliputi sebagai berikut: (a) ada sekelompok manusia yang
mempunyai kemauan untuk bersatu, (b) berada dalam suatu wilayah tertentu, (c) ada
kehendak untuk membentuk atau berada di bawah pemerintahan yang dibuatnya sendiri,
(d) secara psikologis merasa senasib, sepenanggungan, setujuan, dan secita-cita, dan (e)
ada kesamaan karakter, identitas, budaya, bahasa, dan lain-lain sehingga dapat
dibedakan dengan bangsa lain”.
Kata atau frase yang saya cetak miring di atas, merupakan bentuk penekanan
tentang adanya wacana “kesamaan” dan “perbedaan” dalam struktur sebuah bangsa.
Sebagai contoh, kalimat terakhir terdapat kalimat “kesamaan karakter, identitas, budaya,
bahasa, dan lain-lain, sehingga dapat dibedakan dengan bangsa lain”. Kalimat ini kalau
kita pahami, mengandung makna praktikal dari multikulturalisme sebagaimana yang
dijelaskan Lono Lastoro. Secara kognitif, siswa SMA telah diajak melakukan tindak
“penyamaan dan pembedaan” yang merupakan dari esensi multikulturalisme. Tindak
penyamaan dan pembedaan ternyata masih terus dilanjutkan dengan forum diskusional.
Forum ini hanya saya temukan di LKS SMA saja, sedangkan LKS MA seusai bahasan
langsung diarahkan pada soal-soal pengayaan.
Melalui forum diskusi ini, siswa SMA diajak untuk merenungkan lebih lanjut
urgensi pluralitas Indonesia atau Indonesia yang multikultur. Diskusi ini terdiri empat
pertanyaan yang ditarik dari gagasan para tokoh pluralis12 sebagai berikut:
“(1) bagaimana seharusnya kita memahami nilai-nilai kebangsaan dalam konteks kekinian? (2)
apakah anda sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Sultan HB X, mengenai moto
Bhineka Tunggal Ika sebagai strategi integrasi? (3) apakah anda sependapat dengan apa yang
disampaikan oleh Masdar F Mas’udi bahwa dalam melihat agama harus ditempatkan sebagai
moralitas transeden dalam wawasan kebangsaan? (4) bagaimana pula pendapat anda mengenai
apa yang disampaikan Frans Magnis-Suseno dalam seminar tersebut?”
Pertanyaan-pertanyaan dalam forum diskusi ini secara garis besar dapat
ditangkap sebagai bentuk reapresiasi dari materi sebelumnya. Kata kunci yang saya
12
Gagasan para tokoh pluralis ini diambilkan dari artikel Kompas , Senin 13 Oktober 2008.
9
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
cetak
miring,
semuanya merupakan
bentuk-bentuk
pemahaman.
Jadi
tindak
“penyamaan” dan “pembedaan” yang hendak ditanamkan anak SMA berada pada
tataran kognitif.
D. Pengenalan Sebuah ‘Bangsa’: Dua kecenderungan
Konstuksi teks pengetahuan mengenai ‘Bangsa’ dalam bahan ajar di atas,
mengindikasikan bentuk-bentuk kecenderungan tertentu. Seusai pembacaan kritis ini,
pada LKS MA kita belum menemukan dua macam kompetensi secara penuh. LKS ini
hanya menonjolkan aspek kognitifnya saja. Saya belum tahu apakah di luar teks guru
Kewarganegaraan akan mengimprovisasi aspek efektif di kelas. Secara tekstual, saya
hanya menemukan aspek pertama saja, aspek kognitif. Belum adanya pengembangan
afektif ini dapat dilihat dari tidak adanya referensi atau acuan baku ke arah mana siswa
akan “menentukan sikap positif terhadap Negara”.
Dengan mengikuti arahan dari Lono Lastoro di atas, siswa MA belum diajak
melakukan tindak penyamaan dan pembedaan. Kata “persamaan, kesamaan (sama)”
selalu muncul di dalam deskripsi bahan ajar LKS MA. Kita tidak mendapatkan satu pun
kata oposisinya, “perbedaan (beda)”. Terbentuknya bangsa masih tertulis karena adanya
“kesamaan keturunan, wilayah, bahasa, adat-istiadat, kesamaan politik, perasaan, dan
agama”. Padahal faktanya bangsa tidak dibentuk karena kesamaan-kesamaan di atas.
Sebagai contoh, suku-bangsa jawa tidak identik dengan Islam atau suku-bangsa Dayak
tidak identik dengan Katolik. Isu-isu faktual mengenai perbedaan semacam ini belum
ditampilkan secara tekstual di LKS MA. Dengan demikian, secara kognitif siswa MA
masih berada dalam taraf tindak penyamaan saja.
Pada LKS SMA kita mendapati capaian-capaian yang berbeda. SMA secara
sadar mengembangkan aspek kognitif saja. Dalam konteks multikulturalisme ini, saya
rasa kompetensi yang ditanamkan pada siswa sudah cukup, meskipun data-data faktual
“kebangsaan” masih belum maksimal. Paling tidak, upaya membangun pemahaman
untuk tindak penyamaan dan pembedaan sudah ada. Sebagai contoh, bangsa terbentuk
karena “kesamaan jiwa, sehingga walaupun berasal dari berbagai macam suku,
budaya, dan agama namun kehendak untuk bersatu menjadikan satu kekuatan
10
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
terbentuknya
bangsa.
Kalimat
ini
mengindikasikan
satu
kesatuan
tindak
multikulturalisme. Siswa pertama kali diajak melihat kesamaan jiwa sebagai kesamaan
anggota suatu bangsa. Melalui kata “walaupun”, tindak negasi dari pernyataan pertama
secara langsung ditampilkan. Sehingga untuk menjadi anggota suku-bangsa Jawa
misalnya, yang dibutuhkan adalah menyamakan jiwanya dengan jiwa orang Jawa pada
umumnya. Arti tindak pembedaan di sini adalah memberi pemahaman baru bahwa
identitas agama atau budaya tidak menghalangi penyatuan itu. Dengan demikian siswa
SMA bisa dikatakan cukup dalam pendidikan multikulturalismenya secara praksis.
Mereka sudah dikenalkan dengan perbedaan dan persamaan, yang selanjutnya
direfleksikan kembali untuk melakukan pembedaan dan penyamaan sebagaimana yang
tertuang di dalam pertanyaan-pertanyaan diskusional sesudah bahasan habis.
Ada satu hal yang perlu kita dalami lagi. Di antara kutipan-kutipan di atas,
frasa “persamaan agama” hanya muncul pada kolom LKS MA dan tidak muncul di
kolom LKS SMA. Mengapa? Bukankah hal ini nampak aneh? Hasil telaah teks
menunjukkan, pendidikan di MA belum mampu menembus batas-batas agama dan
perspektif ideologis lainnya, sehingga belum bisa mengatasi pandangan sempit
primordial.
E. Refleksi Pendidikan Multikulturalisme
Pendidikan multikulturalisme, secara praksis sebagaimana yang diharapkan
Lono Lastoro, merupakan tindak penyamaan dan pembedaan. Hal ini bisa dilakukan
setelah dikenalkan suatu persamaan dan perbedaan antara entitas sosial yang satu
dengan yang lainnya. Di dalam studi perbandingan teks ini, ternyata boleh dikatakan
pendidikan multikulturalisme belum sepenuhnya dilakukan di berbagai institusi Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas dalam tingkatan kelas yang sama dan mata pelajaran yang sama,
yakni Pendidikan Kewarganegaraan kelas X.
Dari
hasil
analisis
perbandingan
yang
dilakukan,
ditemukan
dua
kecenderungan pendidikan SLTA di Indonesia dalam mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan tersebut. Saya menyimpulkan beberapa hal. Pertama, arah
kecenderungan pendidikan di MA kurang apresiatif terhadap perbedaan-perbedaan
11
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
kultural. Mereka masih terjebak di dalam sistem pendidikan Kewarganegaraan yang “
lebih banyak berisi pengarahan ideologi, dengan isi yang terus mengulang-ulang.
Dengan mengacu pada Mulder, ideologi di sini maksudnya “suatu ketundukan total
individu pada kolektivitas”. Siswa tidak dikenalkan pemahaman bahwa suatu bangsa
terdapat kelas-kelas sosial yang bisa tidak senasib dan sepenanggungan, berbeda
ideologi, berbeda agama. Intinya, mereka belum diajak untuk melakukan pembedaan,
hanya tindak penyamaan saja yang dibangun.
Kedua, pendidikan di SMA saya kira telah melaksanakan strategi pendidikan
multikultural sebagaimana yang disarankan oleh Lono Lastoro, melalui konstruksi
materi. Guru secara tidak langsung “alih-alih mengajari/mendikte tentang perbedaan
dan persamaan pada siswa, tumbuhkan kepekaan siswa tentang tindak membedakan dan
menyamakan”. Melalui upaya ini, para siswa akan peka terhadap hal-hal yang berbeda
dari dirinya.
Dengan melihat kondisi pendidikan kewarganegaraan di salah satu semester
kelas X ini, maka kekhawatiran Wahyono di atas boleh dikatakan masih ada. Melalui
teks di atas, upaya membangun kembali masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh relasi
sosial yang saling berkelindan dan saling apresiatif belum maksimal. Akan tetapi justru
disitulah letak persoalannya, prospek pendidikan multikultural di Indonesia menjadi
suram karena terbentur pada semakin menguatnya politik identitas…”13.
Secara tekstual, wajah Kewarganegaraan di MA belum mampu untuk
menghadirkan
perbedaan.
Memang
pendidikan
di
MA
lebih
diarahkan
ke
pengembangan iman dan taqwa, tetapi apakah caranya memang demikian. Pendidikan
Kewarganegaraan seharusnya merupakan media pengenalan dan pembelajaran
mengenai negara Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Musa Asy’arie, bahwa
pendidikan kewarganegaraan diadakan sebagai bagian dari proses usaha membangun
multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan. Setidaknya, format pendidikan
Kewarganegaraan di MA lebih diarahkan untuk memberi perhatian pada toleransi dan
13
Sugeng Bayu Wahyono. Prospek Pendidikan Multikultural di Indonesia. Dalam Jatmiko dan
Indriyatno. Pendidikan Multikultural yang Berkeadilan Sosial. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar dan
MISEREOR. 2005: 16
12
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
kerukunan antarumat beragama. Hal ini menurut saya sangat penting. Sikap toleran dan
terbuka, bagaimanapun juga merupakan bagian dari ubudiyah islam sebagai penguatan
civil society di Indonesia.
Satu hal lagi, LKS MA yang sedemikian cacatnya ini disusun melalui MGMP.
Ini artinya, sewilayah karesidenan telah mendapati bentuk pengajaran yang serupa.
Sehubungan dengan tema besar kita, pendidikan islam mendapati masalah besar.
Menurut saya, pendidikan islam justru harus bergulat dengan tantangan baru mengenai
penyusunan kembali konsep pendidikan multikulturalismenya. Dengan demikian,
pendidikan islam ke depan nanti diharapkan harus apresiatif terhadap persoalan ini.
Begitu[.]
13
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
Daftar Pustaka
Jatmiko, Sari dan Ferry Indriatno (edt). 2006. “Pendidikan Multikultural yang
Berkeadilan Sosial. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan
MISEREOR
Kisbiyah, Yayah dan Atiqa Sabardila. 2004. Pendidikan Apresiasi Seni: Wacana
dan Praktik untuk Toleransi Budaya. Surakarta: PSBPS UMS
Lono Lastoro. Dari Perbedaan dan Persamaan, Menuju Pembedaan dan
Penyamaan. Dalam Ahimsa-Putra (ed). 2006. “Esai-Esai Antropologi:
Teori, Metodologi & Etnografi”. Yogyakarta: Jurusan Antropologi Budaya
UGM dan Kepel Press.
Niels, Mulder. 2000. Indonesian Images: The Culture of Public World. Yogyakarta:
Kanisius
Sunarto, Kamanto. Russel HKH, dan Achmad Fedyani S. 2004. Multicultural
Education in Indonesia and Southeast Asia: Stepping into the Unfamiliar.
Depok: Jurusan Antropologi UI bekerjasama dengan TIFA Foundation
LKS KREATIF. Pendidikan Kewarganegaraan SMA/MA kelas Xa. Semester
Gasal. Klaten: VIVA Pakarindo
LKS Modul.. Pendidikan Kewarganegaraan. Untuk kalangan sendiri MAN/MAS.
Semester 1. MGMP Eks Karesidenan Surakarta
Sumber Jurnal
Fajar Riza Ul Haq. “Beban Visional Masyarakat Multikultural”. Kalimatun Sawa’.
Vol. 01, No. 02 (2004). Hal 4-8
Sumber Website
Anonym, “Ratusan Siswa SMA 6 Antarkan Jenazah Alawy ke Liang Lahat”.
http://news.detik.com/read/2012/09/25/105804/2034457/10/ratusan-siswasma-6-antarkan-jenazah-alawy-ke-liang-lahat?9911012. (diakses tanggal
26 September 2012 pukul 09:48 WIB)
Kementrian Komunikasi dan Informasi, “Laporan harian monitoring isu publik”,
http://infopublik.kominfo.go.id/download.php?f=d91cee6a6f17c849b0c6d
1b160d44afd.pdf (diakses tanggal 26 September 2012 pukul 10:13 WIB)
14
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
QUESTIONING THE MULTICULTURALIZATION OF EDUCATION
Two trends of Multiculturalism Education in Indonesia
MEMPERTANYAKAN MULTIKULTURALISASI PENDIDIKAN
Dua Kecenderungan Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia
Nur Rosyid
Abstraksi
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengulas secara kritis isu multikulturalisme yang
menjamur dalam kajian pendidikan di Indonesia. Saya ingin mengkajinya lewat
teks-teks bacaan, khususnya Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini didasarkan pada
asumsi bahwa proses pengenalan multikulturalisme di dunia pendidikan lebih
banyak dituntun lewat buku panduan. Obyek kajian yang digunakan di sini adalah
teks LKS (Lembar Kerja Siswa) kelas X MA dan SMA di kabupaten Boyolali. Dua
buah teks ini akan diperbandingkan salah satu babnya dan kemudian dianalisis.
Perbandingan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana teks multikulturalisme
diwacanakan di dua institusi yang berbeda. Dari hasil tinjauan ini terlihat ada
perbedaan wacana dan orientasi pendidikan multikultural di dua institusi
pendidikan tersebut. Kemudian hasil kajian ini direfleksikan kembali ke dalam
pendidikan islam.
Kata-kunci: multikulturalisme, kewarganegaraan, perbandingan teks, Refleksi
Abstract
This paper is aimed to critically review the issue of multiculturalism that began to
spread in the study of education in Indonesia. I want to study it through reading
texts, particularly Civic Education. It is based on the assumption that the
introduction of multiculturalism in education is guided by more guidebooks. The
object of study used here is the text of LKS (Student Worksheet) class X MA and
SMA in Boyolali district. Two texts will be compared one of the chapter and later
in analysis. This comparison is intended to see how the discourse of
multiculturalism text in two different institutions. From the results of this review
appears there was a difference discourse orientation and multicultural education
at two educational institutions. Then the results of this study are reflected back into
the Islamic education.
Keyword: Multiculturalism, Civic education, Comparison study, Reflection
1
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
A. Isu Pendidikan Multikulturalisme
Perkembangan kehidupan bernegara dan berbangsa di Indonesia belakangan ini
selalu diwarnai oleh hiruk-pikuk konflik yang dilatarbelakangi motif primordialistik,
perebutan kepentingan antar kelompok, dan sebagainya. Selama tahun 2012 ada
beberapa kasus pertikaian mewarnai media massa kita. Ada sebuah situs memberitakan
peristiwa tawuran telah terjadi antara siswa SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta di kawasan
Bulungan pada Senin (24/9). Tawuran ini menyebabkan seorang siswa SMA 6 kelas X
berusia 15 tahun, tewas akibat kena bacok di bagian dada1. Berita lain mengabarkan
Hari Minggu (26/8), konflik bernuansa SARA, antara kelompok Islam Suni dengan
Islam Syiah terjadi di Sampang, Madura. Akibatnya, dua warga Syiah meninggal dunia
dan sejumlah rumah hangus terbakar2. Tidak hanya itu saja, konflik politik di Senayan
maupun demonstrasi di jalanan ikut meramaikan ketegangan ini.
Pertentangan atau ketegangan-ketegangan ini kalau kita selami betul akan
menimbulkan kesadaran bersama, “ada sesuatu yang ‘beda’ di antara kita”. Dalam arti
luas, Indonesia ternyata negara yang penuh dengan perbedaan-perbedaan kultural
maupun politik-ekonomi. Isu multikulturalisme kemudian menjadi wacana utama dalam
beberapa tahun terakhir yang dipelopori beberapa perguruan tinggi, khususnya ilmu
Humaniora. Multikulturalisme dipandang akan mampu meredam konflik, pertikaian
atau pertentangan-pertentangan itu.
Multikulturalisme,
sebagaimana
dijelaskan
Bikhu
Parekh,
setidaknya
mengandung tiga kompenen pokok, yakni: (1) berhubungan dengan budaya (2) merujuk
pada pluralitas budaya, dan (3) cara khusus yang dipakai untuk merespon3. Selanjutnya,
multikulturalisme dipandang sebagai sebentuk ‘isme’ diharapakan akan bekerja dalam
pikiran seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Sebab kita tahu, sebagai kalangan
fenomenolog,
segala
perilaku
manusia
dibimbing
oleh
pengetahuan
dan
1
Diambil dari http://news.detik.com/read/2012/09/25/105804/2034457/10/ratusan-siswa-sma-6-antarkanjenazah-alawy-ke-liang-lahat?9911012. Pada tanggal 26 September 2012 pukul 09:48 WIB
2
Diambil dari “Laporan harian monitoring isu publik”, Kementrian Komunikasi dan Informasi
http://infopublik.kominfo.go.id/download.php?f=d91cee6a6f17c849b0c6d1b160d44afd.pdf pada tanggal
26 September 2012 pukul 10:13 WIB
3
Dalam Kamanto Sunarto dkk. Introduction. Dalam “Multicultural education in Indonesia and SouthEast
Asia: Stepping Into the Unfamiliar”. Jurnal Antropologi Indonesia. 2004: 1
2
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
pengalamannya. Hal ini menandakan pendidikan dapat menjadi arena pemasukan ideide multikultur, sebagaimana pengenalan nilai-nilai kehidupan sosial lainnya. Nilai
inilah yang selanjutnya akan menentukan arah tindakan dan perilaku siswa-siswi.
Lantas bagaimana sebenarnya praktik multikulturalisasi4 itu akan dijalankan.
Lono Lastoro, telah memberikan keterangannya panjang dalam bagaimana menyikapi
atau mengekspresikan beragamnya kultur tersebut dengan mengenalkan konsep etnisitas
dalam prespektif relasional dari Eriksen (1993) dan Barker (2000). Menurutnya,
“Sumbangan yang diberikan prespektif ini berupa pandangan bahwa kelompok etnik merupakan
salah satu bentuk pengorganisasian sosial, yang senantiasa melibatkan tindak ekslusi dan inklusi
yang didasarkan pada konsep kesamaan dan perbedaan. Tindak pembedaan dan atau penyamaan
menuntut kehadiran dua atau lebih entitas sosial yang saling berinteraksi”5.
Jadi tindakan pengenalan multikulturalisme, pada intinya merupakan tindak
pembedaan dan penyamaan atas banyak entitas sosial. Dengan demikian, pendidikan di
sini menjadi arena yang tepat untuk mengajak siswa untuk mengenali pluralitas
Indonesia melalui tindak pembedaan dan penyamaan. Sebagaimana yang dijelaskan
Lono Lastoro, “Sekolah sebagai salah satu lembaga pengemban pendewasaan anak-anak
pun tidak luput dari proses penanaman tindak pembedaan dan penyamaan”6. Dan
selanjutnya, “Penyamaan dan pembedaan itu tidak hanya berlangsung dalam bidang
etnik atau ras, tetapi bahkan bisa saja didahului atau berbarengan dengan identifikasi
gender, agama, kelas sosial.”7.
Lebih lanjut lagi, Sugeng Wahyono telah mengidentifikasi setidaknya ada dua
hambatan besar yang harus dihadapi di dalam menerapkan pendidikan multikultural,
yaitu “menguatnya politik identitas dan makin kentalnya etnititas” (2005: 17-18). Kedua
hal ini, menurutnya telah dimanipulasi oleh negara dan agama, untuk menonjolkan
perbedaan dan klaim mutlak-mutlakan. Sehingga memacetkan komunikasi antar budaya
4
Multikulturalisasi yang saya maksudkan di sini adalah suatu proses penyebaran atau pengenalan
multikulturalisme.
5
Lono Lastoro. “Dari Perbedaan dan Kesamaan, Menuju Pembedaan dan Penyamaan” dalam AhimsaPutra (ed) “Esai-Esai Antropologi: Teori, Metodologi & Etnografi” Jurusan Antropologi Budaya UGM
dan Kepel Press. 2006:78
6
Dalam Y Sari Jatmiko dan Ferry Indriatno. “Pendidikan Multikultural yang Berkeadilan Sosial.
Yogyakarta. 2006. hal:75
7
Lono Lastoro,74.
3
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
yang seharusnya berada dalam relasi kesetaraaan dan ketersalingan. Saya sendiri tidak
sepenuhnya sepakat dengan pendapat ini. Menurut saya, hambatan itu justru berada di
ranah pendidikan, sebab pewacanaan tentang dunia sosial dan sebagainya, bermula dari
sana. Hal ini bisa diketahui lewat bagaimana institusi pendidikan mewacanakannya ke
dalam teks-teks pengantar di kelas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tilaar,
“Pendidikan multikultural mendasari dan menjiwai semua mata pelajaran di lembaga
pendidikan formal dan non formal” (2004 dalam Pramono. 2005:29). Charris Zubair
mengemukakan hal senada. Menurutnya, ada dua agenda mendesak yang harus
diselesaikan bagi terbangunnya kesadaran multikulturalisme. Pertama, mendekonstruksi
wacana-wacana dominan yang memproklamirkan ke-aku-annya di atas belantara
keragaman dan perbedaan. Kedua, mempersiapkan secara dewasa komunitas maupun
kelompok sosial untuk menghadapi klaim kebenaran yang dipancangkan kelompok
etnisitas lain8.
Berdasarkan literatur di atas, saya berasumsi untuk melihat sejauh mana institusi
pendidikan sudah mewacanakan gerakan ke arah multikulturalisme, telaah teks
Kewarganegaraan SLTA sangat relevan. Pendidikan Kewarganegaraan kelas X SLTA.
Kajian teks ini menjadi penting untuk ditinjau kembali karena teks yang menuntun
tindakan peserta didik dan arah pembelajaran. Sugeng Wahyono, seorang dosen UNY,
sudah memberikan saran mengenai implementasi pendidikan multikultural. Salah satu
pendapat dari seorang Dosen UNY ini, “segera perlu mengimplementasikan pendidikan
multikultural ke sekolah-sekolah yang didukung kebijakan pemerintah untuk pengadaan
guru, materi pengajaran, dan pengadaan buku-buku pelajaran”. Saran tersebut tentu saja
patut kita tinjau sekarang pada teks yang pernah di susun oleh pemerintah maupun
tenaga kependidikan.
B. Kewarganegaraan dan Sumber yang Berbeda
Pendidikan Kewarganegaraan di sini saya pilih sebagai titik fokus kajian karena
ternyata pelajaran ini telah menyita perhatian beberapa ilmuwan sosial dan kritikus.
8
Dalam Fajar Riza Ul Haq. “Beban Visional Masyarakat Multikultural”. Dalam Kalimatun Sawa’. Vol.
01, No. 02 (2004). Hal 6-7
4
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
Salah satunya, seorang Indonesianis Niels Mulder (dalam Salim. 2005: 46). Ia
menunjukkan,
“Pelajaran Kewarganegaraan yang diajarkan di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas,
lebih banyak berisi pengarahan ideologi, dengan isi yang terus mengulang-ulang. Ideologi itu
adalah suatu ketundukan total individu pada kolektivitas. Tenggang rasa dan toleransi yang
ditekankan di sana lebih dimaksudkan untuk menekan perbedaan dalam rangka menciptakan
harmoni”.
Selain itu ada juga ulasan dari Wahyono, Pendidikan kewarganegaraan sebagai
bagian dari Humaniora “harusnya mampu menembus batas-batas agama dan perspektif
ideologis lainnya, sehingga bisa mengatasi pandangan sempit primordial” (2005:15).
Dengan demikian, saya tertarik untuk memperdalam kajian ini atas materi
kewarganegaraan dari dua institusi yang berbeda, yakni: SMA di bawah lindungan
DIKNAS dan MA (Madrasah Aliyah) di bawah lindungan DEPAG. Jadi saya mencoba
membandingkan antara pendidikan ‘umum’ dengan ‘islami’9 untuk melihat apakah
kekhawatiran Wahyono tersebut memang terjadi? Apakah pelajaran ini memang telah
menembus batas-batas agama dan perspektif ideologis tertentu?
Saya mengawali analisis ini dengan mengidentifikasi teks terlebih dahulu. Buku
ajar ini berupa LKS (Lembar Kerja Siswa) yang berisi rangkuman materi dan soal-soal
ujian. Untuk MA, saya menggunakan LKS MODUL buatan MGMP10 PKn Eks
Karesidenan Surakarta tahun 2010. Sedangkan untuk SMA saya menggunakan LKS
KREATIF terbitan VIVA Pakarindo Klaten11.
C. Mendedah Bahasan LKS
Telaah selanjutnya, saya hendak menyodorkan beberapa kutipan dari bab
pertama kedua LKS mengenai “Hakekat Bangsa dan Negara”. Tema ini pada saya pilih
9
Istilah ‘umum’ dan ‘islami’ ini berawal dari anggapan masyarakat bahwa SMA itu ‘umum’ karena
memberi pelajaran-pelajaran yang umum. Begitu juga dengan MA, dianggap ‘islami’ karena pelajaran
dan kegiatan akademik non-akademik lebih banyak berbau agama islam.
10
MGMP merupakan sebuah organisasi pra guru mata pelajaran tertentu dalam suatu wilayah pendidikan,
misalnya wilayah kabupaten atau karesidenan seperti pembuat LKS ini.
11
Pemilihan LKS ini didasarkan kebetulan pada semester pertama, masing-masing sekolah menggunakan
LKS yang dimaksud dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraannya. Jadi pertanyaan mengapa
menggunakan LKS yang berbeda itu merupakan kebijakan guru PKn masing-masing.
5
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
karena ada kesesuaian dengan apa yang tengah dibicarakan di sini. Akan tetapi sebelum
masuk ke materi, kita kaji dahulu standar kompetensi apa yang hendak dibekalkan
kepada siswa melalui tema tersebut.
Mari kita buka kedua LKS ini bersama-sama. Di halaman pertama LKS MA,
dalam kolom Standar Kompetensi berbunyi: ”Kemampuan menganalisis hakekat bangsa
dan negara serta menentukan sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Dari satu poin kompetensi ini, terdapat dua hal menarik menurut saya.
Pertama, kemampuan “menganalisis” di sini, kalau kita pahami berarti kemampuan
yang diharapkan dari peserta didik di bidang kognitifnya. Siswa diajak untuk berpikir
lebih jauh tentang bangsa dan negara, bahkan sampai ke hakekatnya. Kedua, setelah
siswa diajak untuk berpikir, selanjutnya diajak untuk menentukan sikap, untuk bertindak
positif. Inilah aspek afektif yang diharapkan nantinya bisa berkembang di dalam pribadi
siswa. Dengan demikian, terdapat dua kompetensi yang hendak dikembangkan kepada
siswa MA.
Pada halaman yang sama dari standar kompetensi LKS SMA, terpampang
sebuah kalimat “Memahami hakekat bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Kompetensi ini diawali dengan “memahami” saja, tidak seperti kompetensi sebelumnya.
Ini artinya, pengembangan siswa SMA lebih ditekankan pada aspek kognitif saja. Jika
memang demikian, pertanyaan selanjutnya mengapa pada siswa SMA tidak ada aspek
afektifnya? Padahal tadi di atas kita mendapati saran dari teoretikus, bahwa
multikulturalisme menyangkut “tindak” pembedaan dan penyamaan. Tentu saja tidak
segampang ini. mari kita lanjutkan membaca lagi.
Paragraf awal LKS MA dimulai dengan penegasan posisi manusia sebagai
makhluk individu dan sosial. Perhatikan paragraf berikut,
“Sebagai makhluk sosial, manusia cenderung untuk berkelompok untuk membentuk
masyarakat. Adapun yang mendorong manusia untuk hidup bermasyarakat, antara lain: (1)
hasrat untuk melanjutkan keterunannya, (2) ikatan pertalian darah, (3) hasrat untuk memenuhi
keperluan makan dan minum, (4) hasrat untuk membela diri, (5) perasaan senasib
sepenanggungan, (6) persamaan agama dan kepercayaan, (7) persamaan ideologi, (8)
persamaan cita-cita, budaya serta bahasa, (9) kesadaran mempunyai tempat tinggal yang
sama” (penekanan dari saya, hal:3-4).
6
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
Penjelasan ini saya kira cukup fatal. Siswa diberi pemahaman, apa yang
menjadi dunia sosialnya, dibatasi oleh Sembilan kriteria. Menariknya lagi, kelima
kriteria itu didasarkan pada “kesamaan”, entah kesamaan agama, kesamaan ideologi,
cita-cita, bahasa, dan wilayah tempat tinggal. Apakah dunia sosial yang kita diami
sekarang terbentuk dari kesamaan-kesamaan entitas seperti itu? Dengan demikian, siswa
diajak untuk memahami dirinya sebagai makhluk sosial karena kesamaan-kesamaan itu,
bukan oleh perbedaan. Penjelasan yang berbeda kita temukan di dalam LKS SMA. Di
sana disebutkan, “manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri dan selalu
membutuhkan peran, bantuan, serta keberadaan manusia lain dalam hidupnya” (hal:3).
Penjelasan ini kalau kita salami, mengandaikan dunia sosial manusia itu terkonstuksi
melalui kekurangan, perbedaan, dan disitulah rasa saling membutuhkan akhirnya
tumbuh.
Selanjutnya,
konsep
“bangsa”
dikenalkan
terlebih
dahulu
dengan
mengambilkan beberapa pandangan para ahli. Kebetulan saya menemukan, kedua LKS
itu merujuk pada satu tokoh yang sama, yakni Ernest Renan, seorang ahli kenegaraan
asal Prancis itu. LKS MA berbunyi, “Bangsa terbentuk adanya keinginan untuk hidup
bersama/hasrat bersatu dengan perasaan kesetiakawanan yang agung.”(hal:4).
Deskripsi WJS Purwadarminto, penulis KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) juga
tertuang dalam materi tersebut. Konsep bangsa didefinisikan sebagai “kesatuan dari
orang-orang yang sama atau bersama asal keturunan, bahasa, adat, dan sejarahnya,
yang di bawah pemerintahan sendiri, misalnya Bangsa Indonesia”(hal:4). Kutipankutipan cetak miring tersebut, menginformasikan satu pandangan bagi penyusun LKS
MA, yakni MGMP. Mereka memahami bangsa dibangun melalui kesamaan keturunan,
bahasa, adat, dan sejarahnya.
LKS SMA justru lain bunyinya. Di sana disebutkan, “bangsa adalah
sekelompok manusia yang dipersatukan karena persamaan nasib, latar belakang
sejarah, dan cita-cita yang sama”. Sebagai tambahan, “pemersatu bangsa bukanlah
kesamaan bahasa atau suku bangsa, akan tetapi tercapainya hasil gemilang di masa
lampau dan keinginan untuk mencapainya lagi di masa depan” (hal 3). Saya bertanya,
7
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
mengapa tulisan yang merujuk pada satu tokoh, bisa menjadi berbeda ketika dituangkan
ke dalam teks sekolah di dua macam institusi?
Tidak dihadirkannya perbedaan di dalam pengertian bangsa, lagi-lagi kita
dapatkan
dari
kalimat
selanjutnya
di
LKS
MA.
Arti
bangsa
secara
sosiologis/antropologis dideskripsikan sebagai suatu “kelompok paguyuban yang secara
kodrati ditakdirkan untuk hidup bersama dan senasib sepenanggungan di dalam suatu
negara”. Hanya sesederhana ini saja deskrisinya mengenai bangsa secara antropologis.
Penjelasan mendetail justru kita temui di dalam LKS SMA. Bangsa dalam perspektif
yang sama, dimaknai sebagai “persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masingmasing anggota persekutuan hidup tersebut, terikat oleh kesatuan ras, bahasa, agama,
dan adat istiadat. Ikatan tersebut dinamakan ikatan primordial.” Selanjutnya, “dapat
disimpulkan bahwa dalam satu negara terdapat dua bangsa, yaitu bangsa dalam arti
politis misalnya bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa yang ada di dalamnya
(sosiologis-antropologis) seperti bangsa Batak, Jawa, Bugis, dan sebagainya. Dan
untuk mempermudah pembedaan tersebut, maka bangsa dalam arti sosiologisantropologis dinamakan suku, etnis, atau suku-bangsa”. Dari kutipan-kutipan ini
dapatlah dikatakan, kebermaknaan bangsa Indonesia dihadirkan di dalam bahasan SMA
melalui
kesatuan
berbagai
entitas
etnik,
agama,
dan
adat-istiadat.
Bukan
menyederhanakannya sebagai suatu kelompok yang ditakdirkan karena senasib dan
seperjuangan.
Kita lanjutkan lagi pada halaman berikutnya mengenai “Unsur-unsur
pembentuk bangsa”. LKS MA menyebutkan bangsa, dengan mengutip Hans Kohn,
dibentuk karena faktor-faktor obyektif tertentu yang membedakan dari bangsa lain,
yakni “kesamaan keturunan, wilayah, bahasa, adat-istiadat, kesamaan politik,
perasaan, dan agama”. Kalau mengacu pada kutipan ini, kita mendapati kesimpulan,
bangsa akan “identik” dengan agama, kebudayaan, politik, atau sebaliknya.
Pendapat Ernest Renan justru diambil lagi didalam bahasa LKS SMA, bangsa
terbentuk karena “kesamaan jiwa, sehingga walaupun berasal dari berbagai macam
suku, budaya, dan agama namun kehendak unutk bersatu menjadikan satu kekuatan
terbentuknya bangsa.” Kesamaan yang diangkat dalam kutipan ini adalah kesamaan
8
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
jiwa dan kehendak untuk bersatu. Perbedaan-perbedaan entitas sosial seperti sukubangsa, agama, dan budaya lainnya tidak menjadi masalah dalam proses integrasi
nasional. Pemahaman ini terlihat lebih jelas pada penjelasan selanjutnya,
“berdasarkan pada pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
terbentuknya bangsa meliputi sebagai berikut: (a) ada sekelompok manusia yang
mempunyai kemauan untuk bersatu, (b) berada dalam suatu wilayah tertentu, (c) ada
kehendak untuk membentuk atau berada di bawah pemerintahan yang dibuatnya sendiri,
(d) secara psikologis merasa senasib, sepenanggungan, setujuan, dan secita-cita, dan (e)
ada kesamaan karakter, identitas, budaya, bahasa, dan lain-lain sehingga dapat
dibedakan dengan bangsa lain”.
Kata atau frase yang saya cetak miring di atas, merupakan bentuk penekanan
tentang adanya wacana “kesamaan” dan “perbedaan” dalam struktur sebuah bangsa.
Sebagai contoh, kalimat terakhir terdapat kalimat “kesamaan karakter, identitas, budaya,
bahasa, dan lain-lain, sehingga dapat dibedakan dengan bangsa lain”. Kalimat ini kalau
kita pahami, mengandung makna praktikal dari multikulturalisme sebagaimana yang
dijelaskan Lono Lastoro. Secara kognitif, siswa SMA telah diajak melakukan tindak
“penyamaan dan pembedaan” yang merupakan dari esensi multikulturalisme. Tindak
penyamaan dan pembedaan ternyata masih terus dilanjutkan dengan forum diskusional.
Forum ini hanya saya temukan di LKS SMA saja, sedangkan LKS MA seusai bahasan
langsung diarahkan pada soal-soal pengayaan.
Melalui forum diskusi ini, siswa SMA diajak untuk merenungkan lebih lanjut
urgensi pluralitas Indonesia atau Indonesia yang multikultur. Diskusi ini terdiri empat
pertanyaan yang ditarik dari gagasan para tokoh pluralis12 sebagai berikut:
“(1) bagaimana seharusnya kita memahami nilai-nilai kebangsaan dalam konteks kekinian? (2)
apakah anda sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Sultan HB X, mengenai moto
Bhineka Tunggal Ika sebagai strategi integrasi? (3) apakah anda sependapat dengan apa yang
disampaikan oleh Masdar F Mas’udi bahwa dalam melihat agama harus ditempatkan sebagai
moralitas transeden dalam wawasan kebangsaan? (4) bagaimana pula pendapat anda mengenai
apa yang disampaikan Frans Magnis-Suseno dalam seminar tersebut?”
Pertanyaan-pertanyaan dalam forum diskusi ini secara garis besar dapat
ditangkap sebagai bentuk reapresiasi dari materi sebelumnya. Kata kunci yang saya
12
Gagasan para tokoh pluralis ini diambilkan dari artikel Kompas , Senin 13 Oktober 2008.
9
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
cetak
miring,
semuanya merupakan
bentuk-bentuk
pemahaman.
Jadi
tindak
“penyamaan” dan “pembedaan” yang hendak ditanamkan anak SMA berada pada
tataran kognitif.
D. Pengenalan Sebuah ‘Bangsa’: Dua kecenderungan
Konstuksi teks pengetahuan mengenai ‘Bangsa’ dalam bahan ajar di atas,
mengindikasikan bentuk-bentuk kecenderungan tertentu. Seusai pembacaan kritis ini,
pada LKS MA kita belum menemukan dua macam kompetensi secara penuh. LKS ini
hanya menonjolkan aspek kognitifnya saja. Saya belum tahu apakah di luar teks guru
Kewarganegaraan akan mengimprovisasi aspek efektif di kelas. Secara tekstual, saya
hanya menemukan aspek pertama saja, aspek kognitif. Belum adanya pengembangan
afektif ini dapat dilihat dari tidak adanya referensi atau acuan baku ke arah mana siswa
akan “menentukan sikap positif terhadap Negara”.
Dengan mengikuti arahan dari Lono Lastoro di atas, siswa MA belum diajak
melakukan tindak penyamaan dan pembedaan. Kata “persamaan, kesamaan (sama)”
selalu muncul di dalam deskripsi bahan ajar LKS MA. Kita tidak mendapatkan satu pun
kata oposisinya, “perbedaan (beda)”. Terbentuknya bangsa masih tertulis karena adanya
“kesamaan keturunan, wilayah, bahasa, adat-istiadat, kesamaan politik, perasaan, dan
agama”. Padahal faktanya bangsa tidak dibentuk karena kesamaan-kesamaan di atas.
Sebagai contoh, suku-bangsa jawa tidak identik dengan Islam atau suku-bangsa Dayak
tidak identik dengan Katolik. Isu-isu faktual mengenai perbedaan semacam ini belum
ditampilkan secara tekstual di LKS MA. Dengan demikian, secara kognitif siswa MA
masih berada dalam taraf tindak penyamaan saja.
Pada LKS SMA kita mendapati capaian-capaian yang berbeda. SMA secara
sadar mengembangkan aspek kognitif saja. Dalam konteks multikulturalisme ini, saya
rasa kompetensi yang ditanamkan pada siswa sudah cukup, meskipun data-data faktual
“kebangsaan” masih belum maksimal. Paling tidak, upaya membangun pemahaman
untuk tindak penyamaan dan pembedaan sudah ada. Sebagai contoh, bangsa terbentuk
karena “kesamaan jiwa, sehingga walaupun berasal dari berbagai macam suku,
budaya, dan agama namun kehendak untuk bersatu menjadikan satu kekuatan
10
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
terbentuknya
bangsa.
Kalimat
ini
mengindikasikan
satu
kesatuan
tindak
multikulturalisme. Siswa pertama kali diajak melihat kesamaan jiwa sebagai kesamaan
anggota suatu bangsa. Melalui kata “walaupun”, tindak negasi dari pernyataan pertama
secara langsung ditampilkan. Sehingga untuk menjadi anggota suku-bangsa Jawa
misalnya, yang dibutuhkan adalah menyamakan jiwanya dengan jiwa orang Jawa pada
umumnya. Arti tindak pembedaan di sini adalah memberi pemahaman baru bahwa
identitas agama atau budaya tidak menghalangi penyatuan itu. Dengan demikian siswa
SMA bisa dikatakan cukup dalam pendidikan multikulturalismenya secara praksis.
Mereka sudah dikenalkan dengan perbedaan dan persamaan, yang selanjutnya
direfleksikan kembali untuk melakukan pembedaan dan penyamaan sebagaimana yang
tertuang di dalam pertanyaan-pertanyaan diskusional sesudah bahasan habis.
Ada satu hal yang perlu kita dalami lagi. Di antara kutipan-kutipan di atas,
frasa “persamaan agama” hanya muncul pada kolom LKS MA dan tidak muncul di
kolom LKS SMA. Mengapa? Bukankah hal ini nampak aneh? Hasil telaah teks
menunjukkan, pendidikan di MA belum mampu menembus batas-batas agama dan
perspektif ideologis lainnya, sehingga belum bisa mengatasi pandangan sempit
primordial.
E. Refleksi Pendidikan Multikulturalisme
Pendidikan multikulturalisme, secara praksis sebagaimana yang diharapkan
Lono Lastoro, merupakan tindak penyamaan dan pembedaan. Hal ini bisa dilakukan
setelah dikenalkan suatu persamaan dan perbedaan antara entitas sosial yang satu
dengan yang lainnya. Di dalam studi perbandingan teks ini, ternyata boleh dikatakan
pendidikan multikulturalisme belum sepenuhnya dilakukan di berbagai institusi Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas dalam tingkatan kelas yang sama dan mata pelajaran yang sama,
yakni Pendidikan Kewarganegaraan kelas X.
Dari
hasil
analisis
perbandingan
yang
dilakukan,
ditemukan
dua
kecenderungan pendidikan SLTA di Indonesia dalam mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan tersebut. Saya menyimpulkan beberapa hal. Pertama, arah
kecenderungan pendidikan di MA kurang apresiatif terhadap perbedaan-perbedaan
11
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
kultural. Mereka masih terjebak di dalam sistem pendidikan Kewarganegaraan yang “
lebih banyak berisi pengarahan ideologi, dengan isi yang terus mengulang-ulang.
Dengan mengacu pada Mulder, ideologi di sini maksudnya “suatu ketundukan total
individu pada kolektivitas”. Siswa tidak dikenalkan pemahaman bahwa suatu bangsa
terdapat kelas-kelas sosial yang bisa tidak senasib dan sepenanggungan, berbeda
ideologi, berbeda agama. Intinya, mereka belum diajak untuk melakukan pembedaan,
hanya tindak penyamaan saja yang dibangun.
Kedua, pendidikan di SMA saya kira telah melaksanakan strategi pendidikan
multikultural sebagaimana yang disarankan oleh Lono Lastoro, melalui konstruksi
materi. Guru secara tidak langsung “alih-alih mengajari/mendikte tentang perbedaan
dan persamaan pada siswa, tumbuhkan kepekaan siswa tentang tindak membedakan dan
menyamakan”. Melalui upaya ini, para siswa akan peka terhadap hal-hal yang berbeda
dari dirinya.
Dengan melihat kondisi pendidikan kewarganegaraan di salah satu semester
kelas X ini, maka kekhawatiran Wahyono di atas boleh dikatakan masih ada. Melalui
teks di atas, upaya membangun kembali masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh relasi
sosial yang saling berkelindan dan saling apresiatif belum maksimal. Akan tetapi justru
disitulah letak persoalannya, prospek pendidikan multikultural di Indonesia menjadi
suram karena terbentur pada semakin menguatnya politik identitas…”13.
Secara tekstual, wajah Kewarganegaraan di MA belum mampu untuk
menghadirkan
perbedaan.
Memang
pendidikan
di
MA
lebih
diarahkan
ke
pengembangan iman dan taqwa, tetapi apakah caranya memang demikian. Pendidikan
Kewarganegaraan seharusnya merupakan media pengenalan dan pembelajaran
mengenai negara Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Musa Asy’arie, bahwa
pendidikan kewarganegaraan diadakan sebagai bagian dari proses usaha membangun
multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan. Setidaknya, format pendidikan
Kewarganegaraan di MA lebih diarahkan untuk memberi perhatian pada toleransi dan
13
Sugeng Bayu Wahyono. Prospek Pendidikan Multikultural di Indonesia. Dalam Jatmiko dan
Indriyatno. Pendidikan Multikultural yang Berkeadilan Sosial. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar dan
MISEREOR. 2005: 16
12
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
kerukunan antarumat beragama. Hal ini menurut saya sangat penting. Sikap toleran dan
terbuka, bagaimanapun juga merupakan bagian dari ubudiyah islam sebagai penguatan
civil society di Indonesia.
Satu hal lagi, LKS MA yang sedemikian cacatnya ini disusun melalui MGMP.
Ini artinya, sewilayah karesidenan telah mendapati bentuk pengajaran yang serupa.
Sehubungan dengan tema besar kita, pendidikan islam mendapati masalah besar.
Menurut saya, pendidikan islam justru harus bergulat dengan tantangan baru mengenai
penyusunan kembali konsep pendidikan multikulturalismenya. Dengan demikian,
pendidikan islam ke depan nanti diharapkan harus apresiatif terhadap persoalan ini.
Begitu[.]
13
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314
Rosyid, Nur. “Mempertanyakan Multikulturalisasi Pendidikan Islam: Dua kecenderungan
Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia”
Daftar Pustaka
Jatmiko, Sari dan Ferry Indriatno (edt). 2006. “Pendidikan Multikultural yang
Berkeadilan Sosial. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan
MISEREOR
Kisbiyah, Yayah dan Atiqa Sabardila. 2004. Pendidikan Apresiasi Seni: Wacana
dan Praktik untuk Toleransi Budaya. Surakarta: PSBPS UMS
Lono Lastoro. Dari Perbedaan dan Persamaan, Menuju Pembedaan dan
Penyamaan. Dalam Ahimsa-Putra (ed). 2006. “Esai-Esai Antropologi:
Teori, Metodologi & Etnografi”. Yogyakarta: Jurusan Antropologi Budaya
UGM dan Kepel Press.
Niels, Mulder. 2000. Indonesian Images: The Culture of Public World. Yogyakarta:
Kanisius
Sunarto, Kamanto. Russel HKH, dan Achmad Fedyani S. 2004. Multicultural
Education in Indonesia and Southeast Asia: Stepping into the Unfamiliar.
Depok: Jurusan Antropologi UI bekerjasama dengan TIFA Foundation
LKS KREATIF. Pendidikan Kewarganegaraan SMA/MA kelas Xa. Semester
Gasal. Klaten: VIVA Pakarindo
LKS Modul.. Pendidikan Kewarganegaraan. Untuk kalangan sendiri MAN/MAS.
Semester 1. MGMP Eks Karesidenan Surakarta
Sumber Jurnal
Fajar Riza Ul Haq. “Beban Visional Masyarakat Multikultural”. Kalimatun Sawa’.
Vol. 01, No. 02 (2004). Hal 4-8
Sumber Website
Anonym, “Ratusan Siswa SMA 6 Antarkan Jenazah Alawy ke Liang Lahat”.
http://news.detik.com/read/2012/09/25/105804/2034457/10/ratusan-siswasma-6-antarkan-jenazah-alawy-ke-liang-lahat?9911012. (diakses tanggal
26 September 2012 pukul 09:48 WIB)
Kementrian Komunikasi dan Informasi, “Laporan harian monitoring isu publik”,
http://infopublik.kominfo.go.id/download.php?f=d91cee6a6f17c849b0c6d
1b160d44afd.pdf (diakses tanggal 26 September 2012 pukul 10:13 WIB)
14
Jurnal ADDIN Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri KUDUS, Edisi III Des 2012, hal: 301-314