AKU GURU DAN SAHABATKU pdf

AKU, GURU DAN SAHABATKU
Dunia Pesantren dan Pemikiran
Bagian Pertama
Setelah selesai menamatkan sekolah di sebuah sekolah dasar di sebuah desa di
Sumatera Selatan, aku diminta oleh ayahku untuk belajar di Pesantren. Ini sebenarnya sudah
menjadi bagian tradisi keluarga, terutama keluarga ayahku, mulai dari kakak pertama hingga
adik-adikku kemudian dianjurkan ke pesantren, meski tetap ada salah satu adikku
yang memilih sekolah umum di kemudian hari. Karena sudah menjadi tradisi keluarga, aku
tentu menurut saja, tanpa banyak protes terhadap preferensi yang dimiliki ayah agar semua
anak-anaknya memilih pesantren selepas sekolah dasar. Kakak pertama, Agustini, memilih
pesantren Pabelan, lalu Zaenal Fikri, kakak kedua memilih pesantren Gontor, kakak ketiga
dan aku memilih pesantren Daar El-Qolam atau biasa disebut dengan singkat 'Darqo', di
daerah Cikande, Banten. Di masa itu, aku belum mengerti sama sekali, mengapa ayah yang
biasa kami panggil ‘abah’ begitu bersikukuh memasukkan anak-anaknya ke pesantren.
Seingatku, tak ada jejak yang cukup kuat di daerah tempatku dilahirkan, di mana pesantren
menjadi preferensi pendidikan oleh para orang tua. Sebagaimana umumnya di daerah,
terutama daerahku, orang tua menyekolahkan anaknya dengan cita-cita agar kelak sang anak
bisa bekerja baik sebagai pegawai swasta atau pemerintah, sehingga pesantren tidak dianggap
mewakili cita-cita tersebut.
Di kemudian hari , aku berusaha memahami satu kenyataan, mungkin saja ‘abah’
memiliki obsesi pada Islam, sebagaimana yang ia alami sewaktu kecil, karena buyutku dari

garis ‘nenek’ dikenal sebagi salah satu Ulama di daerah kami, yang mengabdikan hidupnya
untuk mengajar agama, termasuk beberapa muridnya diperkenankan menginap di rumahnya
agar lebih intensif mempelajari agama. Suatu kali, aku membuka-buka lemari peninggalan
kakek, kudapati begitu banyak teks-teks keagamaan yang meliputi fikih, tafsir, tasawuf dll,
terutama teks-teks yang biasa digunakan di pesantren tradisional, atau biasa dikenal dengan
‘kitab kuning’.
Kedua, tampaknya ‘abah’ terpengaruh dengan cita-cita modernisme Islam, karena
kakekku dari garis ‘abah’, seorang yang aktif dalam pergerakan Muhammadiyah, termasuk
mendirikan sekolah Muhammadiyah, yang hingga kini dikelola ‘abah’ dan teman-temannya di
desa. Cita-cita itu, mungkin saja, diproyeksikan kepada anak-anaknya, hingga anak-anaknya
dimasukkan ke pesantren modern sejenis Gontor, agar kelak bisa memahami agama dengan
baik, di saat yang sama mempelajari ilmu pengetahuan umum. Di dalam cita-cita itu,
mungkin saja pilihan tak begitu banyak, hanya pesantren modern yang menyediakan
kemungkinan, salah satunya, untuk mempelajari Islam tapi tak lupa belajar juga ‘cas cis cus’
bahasa Inggris ala pesantren.
Di pesantren yang terletak di Banten inilah aku menjalani sekolah dengan rutinitas;
mengaji, shalat jama’ah, belajar agama, dan ilmu pengetahuan umum, juga kursus-kursus atau
kegiatan ektra kulikuler. Salah satu kegiatan ekstrakulikuler yang aku suka adalah ‘beladiri’
yang di pesantren kami disebut ‘tapak suci’. Tak ada yang istimewa di tahun-tahun pertama,
selain terus-menerus berusaha agar bisa ‘betah’ tinggal di pesantren. Di tahun kedua, aku


sudah mulai ‘betah’ dan jarang menangis meski seringkali ingat ‘abah’ dan ibu di rumah,
membayangkan masakan mereka, kasih sayang, juga kehangatan hidup di desa yang penuh
keakraban dan saling tolong-menolong antar sesama umumnya desa-desa di Indonesia. Di
pesantren, aku mulai menemukan rasa betah, karena mulai banyak teman, dan terbangun
keakraban. Sesuatu yang sangat membekas hingga kini, dan punya banyak pengaruh terhadap
pembentukan karakter, yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang, entah apa latar
belakangnya; kaya, miskin, dan seterusnya. Semua santri diletakkan di satu kamar yang sama,
tak ada privelese di antara santri. Sesuatu yang kemudian membuatku menjadi mudah bergaul
dengan siapa saja hingga kini, tanpa perduli status sosial-ekonominya.
Setelah berjalan tiga tahun, setingkat tsanawiyah, aku sudah tak lagi pusing dengan
aturan yang dibuat pesantren untuk para santrinya, karena pengalaman tiga tahun pertama
cukup bagiku untuk menyesuaikn-diri, meski agak berat terutama di tahun-tahun pertama
dan kedua, dan sudah bisa menikmati ritme-nya sesudah tahun ketiga. Di saat-saat senggang
di tahun keempat, aku seringkali meluangkan waktu di sore hari, di saat istirahat segala
rutinitas belajar, mengunjungi perpustakaan pesantren. Perpustakaan yang sederhana, tak
banyak buku yang tersedia, tapi cukup tertata rapi. Buku-buku di perpustakaan ini biasanya
disediakan bukan secara khusus oleh pihak pesantren, tapi atas inisiatif kakak kelas yang
sudah menjadi pengurus pelajar (semacam OSIS), meminta agar para santri memebawa
minimal satu buku ilmiah setiba kembali ke pesantren, di saat liburan sudah usai. Bayangkan,

dengan cara demikian, tentu buku-buku yang tersedia juga tak banyak pilihan, apalagi untuk
menyesuaikan dengan katalog, sebagaimana perpustakaan yang serius. Para santri
diperkenankan meminjam buku untuk jangka waktu satu minggu, tapi tak lebih dari lima
buku satu kali pinjam.
Hampir setiap sore, bila ada waktu aku menyempatkan-diri untuk membaca, selain
ruangannya cukup lega, di belakangnya terdapat hamparan sawah yang luas, dan
diperdengarkan musik, tentu sesuai selera kakak kelas, bukan selera kita sendiri. Di tahun
keempat inilah, aku mulai mengenal buku-buku yang ditulis oleh para pemikir Islam, baik
dari Indonesia maupun dari negeri-negeri Muslim yang lainnya yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Saat itu, aku sudah mulai membaca buku yang ditulis Mukti Ali, Munawir
Sadjali, bahkan para pemikir Iran seperti Murtadha Mutahari, Ali Syariati, bahkan arsitek
revolusi Iran Imam Khomeini. Untuk menambah koleksi buku di lemariku, aku juga
menyisihkan uang belanja bulanan, terutama membeli buku-buku ilmiah di luar kurikulum
pesantren. Karena tak puas dengan buku-buku yang disediakan oleh perpustakaan pesantren,
aku juga tak lupa meminta Kakakku yang pertama, yang kuliah di IAIN Ciputat (waktu itu
belum jadi UIN seperti sekarang), untuk membawakan buku-buku ilmiah, di saat berkunjung
ke pesantren.
Sebenarnya, aku tak terlalu mengerti terhadap yang aku baca saat itu, tapi yang
penting bagiku belajar adalah tak pernah berhenti ‘membaca dan membaca’, toh aku percaya,
pada akhirnya kita akan dibimbing oleh bacaan yang kita geluti menembus keterbatasan yang

kita miliki. Aku mulai mengenal revolusi Iran, istilah ‘Westernisasi’, jihad Afghanistan,
khilafah, negara Islam, dll. Meski tak mengerti benar apa maksudnya, aku tetap meneruskan
‘perjalanan’, entah sampai di tikungan mana aku juga tak bisa menduga. Di tahun kelima, aku
beruntung dipertemukan dengan seorang sahabat, yang kemudian menjadi teman seiring
dalam belajar, yang juga menyukai ‘membaca’ buku-buku ilmiah ini.Temanku ini, Hadi Jaya

(alm.), menjadi teman berdiskusi secara serampangan saja semua topik yang aku baca, tak
tahu mana yang benar mana yang salah, pokoknya berdiskusi saja. Di samping itu, kami
berdua seringkali bertemu dengan seorang guru, ust.Dahlan (alm.), yang bisa diajak
berdiskusi dan mau meladeni kami membicarakan topik-topik yang agak liar untuk ukuran
santri masa itu.
Di tahun kelima ini pula, kami mulai berlangganan Jurnal Ulumul Qur’an, membaca
buku-buku yang ditulis para eksponen pembaruan Islam seperti, Nurcholish Madjid,
Jalaluddin Rahmat, Dawan Rahardjo dll. Melalui tulisan-tulisan yang dimuat di Jurnal Ulumul
Qur’an inilah, semesta pemikiran keagamaan dibentangkan, ditambah dengan beberapa buku
eksponen pembaruan Islam. Meski tak mengerti benar, apa saja yang dibicarakan secara
ilmiah dan canggih itu, aku dan temanku, Hadi Jaya, tak terlalu peduli, pokoknya terus saja
dibaca, dibicarakan, dan didiskusikan dengan guru yang bersedia menanggapi. Di sini tak
hanya, para penulis muslim yang aku kenal, aku juga mengenal tulisan Franz Magnis-Suseno
yang dimuat oleh Ulumul Qur’an, seseorang yang kelak menjadi pembimbing akademikku, di

saat kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Sebuah sekolah yang turut ikut
membangun ‘blue-print’ pemikiranku hingga kini.
Di tahun keenam, aku mulai belajar menulis kecil-kecilan, dimuat di majalah
pesantren El-Qolam. Tulisan pertama yang dipublikasikan, tentu dengan perasaan senang tak
terkira. Sementara Hadi Jaya menuliskan pemikiran Ahmad Wahib untuk karya ‘ilmiah’ yang
diwajibkan untuk santri tahun keenam, sebuah tulisan yang kemudian dikembalikan dan
ditolak, karena dianggap menyimpang dari ‘mainstream’, tulisan itu kusimpan hingga kini,
sebagai pengobat rindu pada almarhum. Selain membaca karya yang ditulis Cak Nur, Dawam
atau Kang Jalal, mungkin renungan Ahmad Wahib inilah yang begitu memukau, meski
ditulis sebagai ‘catatan harian’. Buku itu aku dapat dari seorang kakak kelas, Abdurrahman,
yang kala itu menjadi mahasiswa akidah filsafat di Ciputat. Ia begitu bergairah berbicara
pemikiran Islam, termasuk catatan harian Wahib itu. Aku begitu terpesona dengan caranya
mengemukakan argumen, terlihat penuh sikap percaya-diri, dan diksi yang kuat.
Di samping itu, Abdurrhaman juga dikenal oleh kalangan santri kala itu sebagai santri
yang saleh, bahkan sering dipanggil ‘wali’. Ia juga salah satu kakak kelas yang seringkali
berdiskusi dengan Kyai Ahmad Rifa’i, di kediamannya. Bahkan setelah lulus dari pesantren
pun, aku masih sering mendengarkan Abdurrahman menjadi pembicara, dan menyaksikan
kegigihannya melakukan penentangan terhadap rezim Suharto, terlibat dalam aksi-aksi
pembelaan hak-hak tanah, SDSB, juga membangun jaringan antarkampus, mengadakan
program ‘pesantren wawasan kebangsaan’. Meski pada akhirnya, Rahman, demikian ia sering

dipanggil, atau ‘Bedul’ nama kecilnya,setelah sekian lama mengarungi jalan berliku, menjadi
salah satu tokoh kunci di dalam lingkaran Ibu Lia Aminuddin yang dikenal dengan 'Lia
Eden', yang dulu awalnya hanya disebut komunitas 'Jama’ah Salamullah'.
Setelah lulus dari pesantren, aku dan Hadi Jaya (alm.) berpisah. Ia melanjutkan kuliah
di Ciputat jurusan akidah-filsafat, sementara aku memilih mengajar di di sebuah pesantren di
Rangkas Bitung untuk jangka waktu dua tahun. Di sini, pergaulan dengan buku juga tak
terhenti, aku sering mendapat buku ketika berkunjung ke Ciputat, entah dengan cara
membeli atau meminjam buku pada teman-teman yang sedang kuliah di sana. Di tahun
pertama mengajar di pesantren di Rangkas Bitung ini, aku mulai mengikuti perdebatan-

perdebatan yang terjadi di harian nasional. Seingatku, saat itu marak sekali perdebatan atau
diskursus tentang posmodernisme , selain topik-topik pembaruan Islam yang ditulis oleh Cak
Nur dkk,. Aku mulai membaca tulisan-tulisan yang dimuat di Jurnal Kalam, Ulumul Qur’an,
dan buku-buku yang aku beli atau dipinjamkan oleh teman-temanku di Ciputat.
Aku juga mulai senang dengan topik-topik filsafat, bahkan lebih jauh, memberanikan
diri untuk memfoto-copy buku-buku mengenai filsafat dalam edisi bahasa Inggris, misalnya,
topik seputar posmodernisme atau Sekolah Frankfurt. Aku tak mengerti benar apa muatan
yang dibicarakan dalam buku-buku filsafat itu, tapi aku tetap tak mau berhenti mengikuti
‘rasa ingin tahu’ yang seringkali mendorongku untuk begadang hingga larut. Aku ingat betul
hingga kini, bagaimana aku membuka kamus untuk setiap kata dalam bahasa inggris yang tak

kumengerti, aku tak perduli, meski dengan kemampuan bahasa Inggris seadanya, bahkan
seringkali terasa ‘lucu’ kalau kalimat-kalimatnya aku terjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Bukan hanya buku-buku dalam bahasa asing, buku berbahasa Indonesia pun aku sebenarnya
sulit untuk mencernanya. Masih lekat dalam ingatan, ketika aku berkali-kali membaca buku
‘kritik ideologi’ F.Budi Hardiman, dan tak kunjung faham maksudnya, hingga kemudian baru
‘mengerti’ ketika kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Di tahun kedua mengajar, tepatnya’ mengabdi ‘ pada Kyai di pesantren di Lebak ini,
aku mulai menyisihkan uang belanja bulanan untuk berlangganan harian Kompas, agar tidak
diganggu oleh yang lain, atau mengantri baca Koran. Seingatku, pesantren saat itu hanya
langganan Media Indonesia dan harian Republika, mungkin karena yang terakhir dianggap
menwakili harian orang-orang Islam, seiring dengan naiknya pamor ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia) di paruh terakhir kekuasaan rezim otoritarian Suharto,
karena surutnya dukungan politik dari kalangan angkatan bersenjata. Untuk mengikuti isu-isu
nasional, aku mengkoleksi semua tulisan-tulisan yang dimuat di harian nasional, terutama
yang dimuat di rubric opini, kusimpan baik-baik, dan kucermati apa saja yang diperdebatkan
dan dipersoalkan kala itu.
Hingga suatu malam, di saat masih dengan setia membaca buku Cak Nur, ’Islam,
Doktrin dan Peradaban’, seorang teman yang sama-sama mengabdi di pesantren
mengatakan, “Aku perhatikan rasa ingin tahumu begitu kuat, aku menyarankan ente
sebaiknya kuliah di Jakarta saja, agar benar-benar menemukan iklim inteletual”. Di dalam hati,

benar juga, aku harus segera memutuskan segera untuk kuliah sesuai dengan minat dan daftar
bacaanku selama ini. Karena bukan dari latar belakang keluarga yang cukup untuk kuliah di
Jakarta, aku akhirnya berfikir, sebaiknya kuliah di Jogjakarta saja. Aku mulai berkirim surat
untuk kuliah di Sanata Dharma Jogjakarta, mengambil jurusan teologi. Setelah beberapa
minggu, surat balasan dari kampus Sanata Dharma tiba. Ternyata isinya tak sesuai dengan
harapan, aku dipersyaratkan untuk memilki surat keterangan dari paroki setempat, dll., untuk
bisa kuliah di jurusan teologi Sanata Dharma.
bagian kedua
Jawaban yang kuterima dari Sanatha Dharma akhirnya memupuskan harapanku
untuk kuliah di Jogjakarta. Aku sebenarnya sangat ingin meneruskan sekolah di Jogjakarta,
meski kemudian dalam perjalnan waktu, cita-cita itu tak juga sampai terwujud. Aku
mendengar kisah-kisah yang dibawa oleh teman-temanku yang meneruskan kuliah di

Jogjakarta setelah mereka lulus dari pesantren. Kisah-kisah yang menyenangkan. Seingatku,
akhirnya aku berkunjung juga ke Jogjakarta, tapi bukan sebagai mahasiswa Sanatha Dharma
sebagaimana yang kuidamkan, tapi sebagai salah satu peyelenggara seminar ‘kebebasan
beragama’, kerjasama Universitas Paramadina dan Universitas Gajah Mada. Saat itu, aku
menemani penyair ‘gaek’ , teman akrabku minum kopi dan menghisap tembakau,
Abdul Hadi W.M. Aku terbiasa memanggilnya ‘syeikh’ dan tampaknya ia tak keberatan
dengan panggilan itu. Di sana, ‘syeikh’ minta diantar membeli gudeg kesukaannya sejak

mahasiswa di UGM. Aku bingung, di mana kita mencarinya, bukankah itu sudah hampir 40
tahun yang lalu. Tetapi syeikh tetap bersikeras untuk mencari dengan naik becak, di mana
letak warung gudeg kesukaannya sejak mahasiswa itu. Akhirnya, syeikh minta berhenti di
suatu belokan dan berhenti di sebuah warung. Hingga kini, aku juga tak kunjung yakin apa
benar itu warung yang dimaksud sejak 40 tahun yang lalu itu. Itulah saat dimana aku
mengunjungi Jogjakarta, tentu tak lupa menikmati ‘kopi arang’ di jalan tak jauh dari tugu.
Aku ditemani oleh adik kelasku di pesantren yang kebetulan juga sedang kuliah di Jogjakarta.
Aku terima saja kenyataan bahwa kuliah di Jogjakarta menjadi tak mungkin kala itu.
Aku meneruskan kegiatan seperti biasa; mengajar, membaca, dan belajar sedikit demi sedikit
kemampuan membaca artikel atau buku ilmiah dalam bahasa Inggris. Aku juga tak hanya
belajar untuk diri sendiri, tapi juga berusaha menghidupkan ‘tradisi diskusi dan menulis’
meski hanya untuk skala pesantren. Aku ingin sekali pesantren memiliki sebuah majalah
yang dapat mengakomodasi kreativitas para santri juga para guru yang mau menulis. Aku
Cuma tak punya dana untuk menerbitkan sebuah majalah. Tentu saja perlu uang dan untuk
ukuran saat itu uang satu atau dua juta tentu bukan uang yang sedikit buatku. Setelah sekian
lama, aku menemukan ‘jalan’ untuk dapat menerbitkan majalah. Seingatku, angkatanku di
pesantren punya kas uang sekitar 2,5 juta. Dalam sebuah pertemuan alumni di Darqo ini,
aku meyakinkan teman-teman bahwa uang kas itu sebaiknya diberikan saja untuk membuat
majalah. Tak disangka, teman-teman seangkatan menyetujui, toh meskipun dibagi uang itu
tak cukup untuk diberikan ke hampir 200 orang alumni satu angkatan. Sejak itulah, aku dan

beberapa kolega guru mendirikan majalah pesantren. Majalah pesantren ini pula
didistribusikan ke para santri. Setahuku, majalah pesantren itu masih tetap hidup meski aku
sudah lama tak mengajar di sana, tentu dengan lay out dan cetakan yang lebih bagus, berwarna,
dan jauh lebih menarik daripada yang digarap dahulu.
Selain majalah, aku juga menghidupkan diskusi di antara santri. Momen bulan
Ramadhan, biasanya dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, salah satunya adalah kegiatan
diskusi, membicarakan topik-topik sederhana, yang dapat dijangkau siswa, tapi tetap menarik
perhatian. Aku juga sering berdiskusi dengan beberapa santri kelas enam di sana, terutama
yang kuanggap punya cukup bacaan terhadap isu atau topik tertentu. Meskipun di pesantren,
aku tak terlalu suka dengan ‘formalisme’ ala pesantren yang begitu ‘menunduk’ pada guru.
Aku seringkali berusaha ‘lepas’ saja, tak perlu banyak ‘formalisme’ feodal, yang justru banyak
merugikan pergaulan ketimbang mendatangkan keuntungan; yaitu keterbukaan, egaliter, dan
saling menghargai. Dengan siswa-siswa kelas enam ini juga, aku seringkali tak canggung
diajak makan di warung dekat sungai, bahkan ‘menghisap tembakau’ sama-sama, sesuatu
yang ‘dilarang’ di pesantren. Buatku, sesekali rileks dan tak punya beban kan juga perlu, asal
tak ‘kebablasan’.

Di saat menjelang lebaran tiba, terutama saat liburan pesantren, aku seringkali
mengunjungi teman-temanku di Bandung. Di kota ini, beberapa teman baikku dari
pesantren kuliah di berbagai universitas, bahkan juga di ITB. Seorang teman yang sedang

aktif di komunitas Salman ITB seringkali kuajak ke beberapa toko buku untuk membeli
beberapa buku yang akan kubaca di pesantren dan belum tersedia di dalam koleksiku. Aku
ingat, saat berkeliling ke tempat buku murah di kota Bandung, aku sempat membeli buku K.
Berten, Erich Fromm, Edward Said, dll., dan memesan sejumlah foto kopi buku, termasuk
buku ‘selected writing’ filsuf Hegel mengenai filsafat sejarah. Buku terakhir ini, tak kunjung aku
mengerti meski dibaca berkali-kali sebelum sekolah ke Jembatan Serong, STF Driyarkara.
Ya,,..ini mungkin kebiasaanku, bila tertarik di foto-copy saja dulu, soal faham atau tidak
faham itu masalah belakangan, toh,.membaca tak mesti mengerti, membaca bisa juga
menikmati ‘kebingungan’ dan menurutku itu sudah satu langkah ‘perjalanan’
filosofis. Mungkin, aku juga seringkali diperdaya oleh ‘pesona’, terutama ‘pesona’ terhadap
penulis-penulis besar, sesuatu yang kemudian begitu kuat daya dorong dari ‘dalam’ untuk
berprinsip, ‘minimal punya bukunya saja dulu’.
Selain itu, temanku yang kuliah di ITB ini juga seringkali menyimpan beberapa
rekaman diskusi yang diadakan di ITB Bandung dalam bentuk kaset. Aku ‘menikmati’ sekali
rekaman-rekaman itu, membayangkan bagaimana mereka mengekspolarasi tema-tema yang
didiskusikan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para peserta. Kalau
tak salah, temanku punya rekaman diskusi tentang ‘Desain Yahudi atau kehendak Tuhan’,
sebuah buku yang dilarang beredar karena dianggap ‘menyesatkan’. Sebaliknya, aku malah
tertarik segala sesuatu yang disebut ‘menyesatkan’ ini baik versi pemerintah yang berkuasa
atau versi tokoh keagamaan. Rasa ingin tahu yang sama juga, mendorongku untuk membaca
secara sembunyi-sembunyi beberapa foto-copy novel Pramoedya karena dilarang oleh rezim
politik Suharto.
Bahkan mungkin, ketertarikanku pada filsafat pun sebenarnya dipengaruhi oleh
‘ketidaksukaan’ kalangan tertentu terhadap filsafat, bahkan para mahasiswa filsafat yang
dianggap ‘sembrono’, menabrak ‘akidah’, dan membahayakan ‘iman’. Aku bisa jadi waktu itu,
cuma tahu kalau filsafat itu ‘berbahaya’ untuk ‘iman’, dan ‘akidah’. Para guru seringkali
berkilah, bahwa teman-teman yang belajar filsafat itu seringkali tak lagi menjalankan sholat
lima waktu dan seterusnya. Aku sangat penasaran, apa iya filsafat membuat orang tak sholat,
dan ‘luntur imannya’. Suatu kali, saat berkunjung ke Hadi Jaya (alm.) yang kebetulan aktif di
Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), aku menyempatkan diri membeli buku terjemahan
Tahafut al-Falasifah karya ulama kenamaan Sunni, Imam Al-Ghazali. Setelah kubaca buku itu,
tak kudapati adanya suruhan atau tudingan yang menyebabkan ‘iman’ jadi ‘rusak’ atau
‘akidah’ jadi ‘lemah’. Buku itu, menurutku, meskipun berbicara mengenai berbagai soal
filosofis di zamannya, justru menegaskan sesuatu yang ‘penting’ yaitu, bila ingin mengkritik
para filsuf tentu menggunakan ‘wawasan’ dan ‘metodologi’ filosofis yang setara, bukan hanya
sekedar mengatakn bahwa itu ‘bahaya’ dan merusak ‘iman’. Pendeknya, perbedaan pikiran
sesuatu yang biasa dalam sejarah Islam, bahkan menyangkut soal-soal yang paling
fundamental sekalipun. Pandangan yang ‘kukuh’ tentu didukung oleh ‘argumen’ yang kuat,
dan tak ada ‘pemikiran’ yang bisa lolos dari ‘kritik’. Hematku, traktat tahafut al-falasifah
membuktikan pentingnya pemikiran dihadapi dengan ‘pemikiran’ pula.

Di lain pihak, aku juga sering dapat pernyataan ‘sinis’ bahwa mempelajari filsafat itu
tak jelas pekerjaannya apa dan ngantornya dimana. Soal ini, kala itu, aku tak punya jawaban,
aku hanya mengikuti ‘mata hati’ yang membimbing hidup untuk terus ‘mencari dan bukan
‘berhenti’. Setelah lulus dari pesantren teman-temanku memang lebih suka
mengambil kuliah dengan jurusan yang ‘parktis’ dan jelas ‘keterampilannya’ apa dan untuk
apa setelah kuliah. Di antara mereka banyak yang kuliah di jurusan pendidikan, akuntansi,
komputer, managemen., pendeknya ilmu-ilmu sejenis. Sesuatu yang tak memerlukan
perdebatan ‘aneh-aneh’. Setelah lulus kuliah pun mereka kebanyakan bekerja sebagai pegawai
pemerintah, perusahaan, atau mengajar di sekolah. Hidup mungkin saja memang ‘sederhana’
dan jangan dibuat ‘susah’. Aku sangat menghargai pilihan-pilihan kebanyakan temanku itu,
dan menurutku itu juga pilihan yang paling masuk akal untuk lingkungan di
Indonesia. Sekolah kita memang belum menghargai riset atau ketekunan akademik dalam
bidang sains. Buat apa susah dengan yang ‘aneh-aneh’ toh akhirnya juga cari uang, dan
mahasiswa filsafat rata-rata kurang uang. Temanku bilang, bahwa mereka yang bacaannya
njelimet itu otaknya penuh, tapi kantongnya ‘kosong’. Sebuah tamsil yang tepat bila melihat
‘pencarian ‘ ilmu sebatas ‘perut’ atau ‘pendapatan’.
Tapi, di atas semua itu, aku tak bergeming, toh pada akhirnya kita yang akan
menjalani mana yang ‘enak’ buat kita sendiri dan mana yang dijalani dengan penuh ‘beban’.
Dalam soal ini, mengambil jalan ‘pencarian’ ini, aku sama sekali tak terbebani mau kerja
dimana, ngantor di lantai berapa atau ‘penghasilannya’ nanti bisa buat hidup atau tidak. Jelas,
faktanya, selama menyenangi bacaan-bacaan ‘aneh’ ini aku masih tetap ‘gembira’ , tidur
nyenyak dan senang-senang saja. Sesudah hampir dua tahun di Rangkasbitung, aku bertemu
kembali kakak kelasku di pesantren Darqo dulu, ia mengajakku untuk ikut membantunya
‘mengajar’ di Cibinong, Bogor. Sebuah sekolah menengah sederhana di dekat pasar Cibinong.
Aku pikir, mengajar bisa jadi pekerjaan sambilan bila aku mau kuliah lagi di Jakarta, agar tak
membebani biaya bulanan pada keluarga yang di desa. Minimal aku dapat memenuh
kebutuhan sehari-hari dengan mengajar.
Aku akhirnya, memutuskan untuk keluar dari Pesantren tempatku mengajar di
Rangkasbitung dengan bebeberapa temanku. Seingatku, kami diantar pakai mobil bak
terbuka ke pertigaan Cipanas sekitar 3 km jaraknya dari pesantren dan diberi sebuah amplop
tanda terimakasih sudah mengajar di sana. Di mobil menuju Bogor melalui Leuwiliang, aku
buka amplop yang tadi diberikan oleh bendahara pondok, isinya lumayan 10 ribu rupiah,
cukup untuk makan di terminal dan ongkos ke Cibinong, tempat baruku mengajar. Di
Cibinong inilah kemudian aku kembali dipertemukan dengan seorang guru yang kelak
membawaku mempelajari kitab-kitab klasik, yaitu Pesantren Salafi Raudhotul Hikam.
Bagian Ketiga
Di bus menuju Bogor, aku masih membayangkan seperti apakah tempatku mengajar
nanti. Masihkah sama dengan tempatku mengajar di Pesantren Lebak atau sesuatu yang sama
sekali berbeda. Setiba di terminal Baranang Siang, Bogor, aku pindah bus yang menuju ke
Cibinong. Selama hampir satu jam di bus, aku masih membayangkan apa lagi yang
kutemukan di tempat baruku ini, atau mungkin ini tempat di mana semua ’petualangan’ ini
berakhir. Di dalam kardus yang kubawa ada beberapa lembar baju, celana, perlengkapan alat

sholat, dan tak lupa di kardus yang satu lagi sejumlah buku yang akan berguna untuk
menemaniku di saat-saat senggang nanti, di sela-sela mengajar dan rehat.
Sekitar satu jam, aku akhirnya tiba di sekolah tempatku akan mengajar. Aku berdua
dengan temanku diterima oleh pemilik sekolah dengan ramah, sambil bercerita mengenai visi
mereka akan masa depan sekolah, juga harapan apa saja yang selama ini tersimpan di
benaknya mengenai pendidikan. Pasangan suami istri, pemilik sekolah ini, bercerita latar
belakang mereka yang sekolah di Jombang hingga menuntaskan kuliah di sana. Di sana pula
keduanya dipertemukan hingga kemudian diikat oleh pernikahan hingga kini. Dari
percakapan itu, aku menangkap tampaknya si istri lebih ’dominan’, lebih gesit, dan tangkas
dalam mengungkapkan gagasan. Dari caranya berbicara, ia orang yang terbiasa mengelola
pekerjaan-pekerjaan hingga soal-soal teknis. Sementara, aku menyimpulkan, di kemudian hari
aku akan banyak berkonsultasi dengan si ’ibu’ ketimbang suaminya. Dari cara bicara,
suaminya lebih banyak mengemukakan canda, ketimbang ide. Sesekali tangannya
membersihkan debu tembakau dari cangklongnya dan di antara percakapan itu ia mengusap
jenggotnya yang relatif tebal. Suaminya menggunakan jubah warna merah tua, menutup
hingga mata kaki, dan terlihat agak jauh berbeda penampilannya dengan para guru di
pesantren modern yang suka dengan kemeja, dan celana panjang biasa.
Setelah percakapan yang tidak terlalu panjang, karena mungkin juga aku masih lelah,
dan belum ingin banyak bicara soal ini itu, aku ditemani oleh salah seorang pembantunya ke
kamar, tempat di mana aku akan tinggal kelak selama mengajar di sekolah ini. Aku dan
temanku memasuki sebuah kamar yang ternyata letaknya di samping rumah pemilik sekolah,
di depan kamar digunakan untuk garasi mobil pemilik rumah. Kamar ini tak terlalu besar,
mungkin ukuran 2x3 m, cukup untuk berdua, layaknya tempat kos-kosan yang sederhana
untuk mahasiswa kalangan ekonomi lemah. Aku mulai membersihkan kamar, menata lemari,
memasukkan pakaianku, juga buku-buku yang kubawa. Di kamar ini, tak ada radio, gelas,
piring, atau alat-alat mandi, hanya dua buah kasur tua dan seprai untuk melapisi kasur. Di
pojoknya, ada satu meja belajar, yang mungkin diambil dari dalam kelas, bukan meja khusus
sebagaimana dipakai untuk belajar di kamar tapi untuk belajar di kelas.
Suasana yang begitu kontras dengan tempatku mengabdi di Pesantren Lebak. Di
lebak, pesantren memiliki tanah yang cukup luas kurang lebih 8 hektar, ruang belajar
bertingkat, dan asrama guru yang cukup nyaman untuk ukuran pesantren, lapangan olahraga,
dan pemandangan yang Indah. Selain dikelilingi oleh dua bukit, juga dilintasi sungai, bahkan
air langsung disalurkan melalui pipa dari salah satu bukit yang mengapit pesantren, hingga tak
heran bila pada akhir pekan para wali santri membawa serta keluarga untuk menjenguk santri
sekaligus memanfaatkannya untuk ’wisata’. Di sini, di tempat baru, semua serba terbatas,
pesantren mungkin tak lebih satu hektar, di sekelilingnya adalah rumah penduduk, kebun
kosong, dapur sederhana, bahkan kamar mandinya cuma dua, itu pun harus berbagi dengan
sejumlah santri. Jumlah santri di sini tak banyak sebagaimana di Lebak yang mencapai seribu
santri, di sini sebaliknya, santri yang menginap hanya lebih kurang 40 orang, selebihnya
adalah siswa sekolah menengah yang pulang ke rumah masing-masing setelah usai jam belajar.
Mungkin sekarang aku sudah bisa bertemu dengan para siswi yang dulu tak ada di pesantren
di Lebak. Selama dua tahun mengabdi di lebak, semua santri hanya laki-laki, baru di tahun
keempat Kyai membuka pendaftaran bagi santriwati. Bayangkan, dalam suasana seperti itu,
tentu saja minyak wangi atau berdandan kadang menjadi tak relevan, hanya para pekerja di

dapur saja yang perempuan, hingga di kemudian hari, para tukang masak ini terlihat cantikcantik, akibat jarang bertemu perempuan dan terlalu sering berinteraski dengan para guru
dan santri laki-laki.
Di minggu selanjutnya, aku dan temanku mulai menyusun mata pelajaran apa saja
yang akan diajarkan pada para santriwan dan santriwati yang menginap ini, terutama
pelajaran-pelajaran yang terkait dengan agama, juga tak lupa kegiatan ekstra kulikuler seperti
latihan pidato dan pramuka. Karena guru yang menginap di lokasi sekolah hanya aku dan
temanku saja, tentu akhirnya tak bisa tidak melibatkan diri dalam segala jenis kegiatan;
menjadi imam sholat, mengajar mengaji, dan kegiatan ekstrakulikuler lainnya. Pukul empat
pagi sudah harus bangun, bersiap-siap untuk sholat subuh berjama’ah, dilanjutkan dengan
mengaji salah satu mata pelajaran agama atau bahasa. Pukul tujuh pagi sudah berganti
kostum untuk mengajar sekolah menengah hingga siang nanti dilanjutkan dengan sholat
dzuhur, makan siang, dan mengajar lagi hingga jam lima sore untuk siswa yang masuk jam
siang. Di sekolah ini, aku digaji setiap kali ’berdiri’ mengajar sebesar tiga ribu rupiah, bila
dijumlahkan semua, satu bulan dapat gaji enam puluh lima ribu rupiah. Di sini sudah
mengenal istilah gaji, sebaliknya, sewaktu di Lebak, aku mengajar tak digaji karena dianggap
sebagai bagian dari ’pengabdian’.
Sebenarnya, aku tak punya banyak waktu lagi membaca secara tenang, kecuali di
akhir pekan atau liburan, karena malam pun tetap digunakan waktunya untuk mengajar
mengaji dan beberapa pelajaran agama. Di saat penat, aku dan temanku meluangkan waktu
menonton bioskop di pasar Cibinong. Tak banyak pilihan yang tersedia, lebih didominasi
oleh film ’action’ Hongkong. Menonton jadi pilihan keluar dari ’penat’ mengajar, untuk satu
tiket masuk bioskop hanya membayar seribu lima ratus rupiah. Aku tak terlalu peduli dengan
judul filmnya apa, pokoknya nonton saja, toh dengan bioskop kelas bawah ini tak mungkin
berharap bisa nonton box office atau film-film yang bermutu, yang penting ada jagoannya,
penjahat, dan ’dar der dor’ hingga akhir, atau parade jurus-jurus silat ala Tiongkok yang selalu
terbang ke sana terbang ke sini sambil mengumbar ’dendam’ dan hasrat mengalahkan musuh.
Itu saja sudah cukup buatku sebagai hiburan dan ventilasi keluar dari kepenatan mengajar
dari pagi hingga malam.
Di saat-saat senggang, selain menonton bioskop, aku juga masih menyempatkan diri
untuk membaca soal-soal keislaman atau politik. Kini, bacaanku tak hanya soal keagamaan
atau filsafat an sich, aku juga mulai senang dengan bacaan-bacaan politik. Bergesernya
bacaanku ke soal-soal politik ini, karena Hadi Jaya (alm.) tak lagi suka dengan bacaan soalsoal teologi, tapi lebih menyukai bacaan mengenai politik sejak tahun ketiga kuliah di Ciputat.
Di tahun ketiga ini, ia sudah mulai rajin menulis di harian nasional meski bukan sekelas
Kompas atau Media Indonesia. Ia rajin mengirimkan tulisan-tulisannya soal isu-isu ’hangat’
mengenai politik ke harian Terbit, Pelita, Rakyat Merdeka, dll,. Karena bacaannya yang mulai
bergeser, aku juga ikut menggeser bacaanku ke soal-soal politik. Ia memperkenalkanku ke
karya-karya kesarjanaan mengenai Indonesia yang ditulis oleh kelompok Cornell, sejarah
politik Indonesia, Orde Lama, Orde Baru, Militer dan Bisnis, juga soal peran kelas menengah
di dalam proses demokratisasi. Seingatku, ia kemudian sangat tekun membaca soal kelas
menengah, hingga suatu hari, mengumpulkan beberapa artikel mengenai kelas menengah,
mengedit, menyunting, dan berkorespondensi dengan para penulisnya baik yang di dalam
maupun di luar untuk diterbitkan menjadi sebuah buku. Kalau tak salah, diterbitkan dengan

judul, ’Kelas Menengah Bukan Ratu Adil’, diterbitkan oleh Tiara Wacana Jogjakarta, sebuah
buku yang tetap kusimpan hingga kini, sebagai kenang-kenangan dari almarhum.
Aku masih sering berkunjung ke Ciputat di saat libur mengajar, terutama ke tempat
almarhum, yang kebetulan juga aktif di lembaga studi yang lumayan produktif mengadakan
kajian-kajian keislaman dan ilmu-ilmu sosial, FORMACI. Di kelompok kajian inilah, aku
mengenal para aktivis termasuk para penulis muda, baik yang bekerja di pusat kebudayaan
maupun di Jurnal keislaman, seperti ISLAMIKA. Aku tak banyak terlibat dalam diskusi
internal, tapi beberapa kali mendengar mereka berdiskusi dan bercakap-cakap dengan
mahasiswa yang aktif di FORMACI. Di lembaga studi ini, juga tersedia perpustakaan, meski
tak banyak bukunya, tapi cukup lumayan untuk sebuah kelompok studi yang dibiayai
secara ’patungan’ mereka yang tinggal di dalamnya atau pernah aktif di sini. Aku juga sering
meminjam buku untuk kubawa ke Cibinong sebagai bacaan di saat senggang. Meski bacaan
almarhum sudah bergeser ke politik, aku tetap masih suka membaca perihal keagamaan,
terutama perbandingan agama. Seingatku, di saat senggang aku masih sempat menamatkan
buku perbandingan agama karya Joachim Wach, Wilfred Cantwell Smith, Metafisika Persia
karya M.Iqbal, dan beberapa karya menyangkut filsafat perenial baik yang ditulis oleh
Hossein Nasr maupun Fritjhof Schuon. Pergaulan dengan sophia perennis alias filsafat perenial
ini, juga perbandingan agama, akhirnya menginspirasiku untuk menulis sebuah monograf
mengenai ’titik-temu’ agama-agama, yang sepuluh tahun kemudian aku perbaiki untuk
diterbitkan bersamaan kapita selekta mengenai Cak Nur, ’Menembus batas tradisi, menuju masa
depan yang membebaskan: refleksi atas pemikiran Nurcholish Madjid’, sebagai salah satu tulisan yang
disertakan hasil simposium Cak Nur yang diadakan oleh mahasiswa Himpunan Jurusan
Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina.
Di kemudian hari, bacaan mengenai perbandingan agama, sophia perennis, maupun M.
Iqbal begitu berguna ketika bergaul dengan teman-teman dari berbagai latar-belakang agama,
terutama ketika kuliah di filsafat. Lalu, mungkin muncul pertanyaan, apakah aku tak
terguncang setelah ’bersentuhan’ dengan bacaan tsb? Ya, sesuatu yang tak dapat dielakkan.
Aku mulai tak lagi melihat ’keselamatan’ hanya untuk mereka yang memeluk agama tertentu
terutama Islam yang kupeluk sejak kecil. Di sini, aku mulai mempersoalkan ajaran yang hanya
membenarkan agamaku sebagai agama yang terbaik di sisi Ilahi. Aku mulai membuka diri,
suatu horison keagamaan yang melampuai batas-batas institusionalnya. Metafisika Persia yang
ditulis Iqbal, menunjukkan padaku, bahwa agama tertentu pernah ’hidup’ dan ’berkembang’
dalam satu epos sejarah tertentu dengan janji keselamatan, perangkat spiritual, dan
perlengkapan kelembagaannya sebagaimana juga Islam yang kupeluk ini. Dalam sejarah
spesies manusia, bisa jadi satu agama bertahan dalam kurun waktu tertentu, bisa jadi juga
gugur ditelan zaman, mungkin karena tak relevan, singkatnya ia ada dalam satu fase sejarah,
dibentuk dan punah bersama sejarah. Karena itu, ada banyak pewarta, kitab suci, dan jenis
ajaran yang datang pada manusia, meski kemudian pupus ditelan zaman. Aku melihat semua
jalan spiritual mengantarkan manusia pada yang ilahi, dan dipertemukan dalam
satu ’common-flatform’ yaitu ’kesadaran akan yang tak terungkapkan, yang tak terkatakan,
suatu mysterium tremendum et fascinosum, ”misteri yang menggetarkan dan mempesona’.
Aku tak lagi ’suka’ dengan khutbah keagamaan yang senang menyesatkan satu
kelompok, membenarkan kelompoknya sendiri, aku mulai hanya pura-pura sholat Jum’at,
hanya untuk memenuhi tuntutan sosialku sebagai pengajar agama di pesantren, karena

telingaku sudah tak ’betah’ mendengarkan ceramah-ceramah keagamaan yang sempit dan
justru kadang-kadang ’picik’. Aku masih ingat, kakak kelasku yang mengajakku mengajar di
sini pernah memanggilku dan menasehatiku agak panjang lebar, karena suatu malam aku
bertemu dengan seorang mu’alaf (orang yang baru masuk Islam). Malam itu, kami hanya
berdua setelah sholat Isya’, aku tanya mengapa ia masuk Islam, dan ia menjawab dengan
penuh percaya-diri sejumlah alasan mengapa ia penuh semangat masuk Islam. Mungkin ia
berharap, aku juga mendukungnya dan menjelek-jelekkan agamanya sebelum masuk Islam.
Sebaliknya, aku justru menanggapinya dengan dingin. Aku tegaskan padanya, mengapai mesti
pindah agama, karena pada dasarnya bila ia belajar agamanya terdahulu dengan baik,
mendalami secara serius, dan mengamalkannya tak ada satupun yang bertentangan
dengan ’kemanusiaan’, lalu ia juga akan mendapati bahwa semua agama
mengajarkan ’kebaikan’. Mukanya merah padam, kecewa dan tak bisa menyembunyikan
rasa ’kesal’ atas jawabanku yang dianggapnya tak menghargai ’pergulatannya’ hingga masuk
Islam. Aku tak menyangka, bahwa ia kemudian ’curhat’ ke kakak kelasku yang mengajak
mengajar ke Cibinong.
Suatu sore, aku diundang makan oleh kakak kelasku itu, lalu ia bicara dari hati ke hati,
bahwa aku tak ’layak’ bicara seperti itu pada seorang mu’alaf yang baru beberapa tahun
masuk Islam dan masih begitu bersemangat dengan agama baru yang dipeluknya. Setelah
peristiwa itu, setiap kali bertemu di masjid, sang mu’alaf tak mau lagi menyapaku. Buatku
tidak apa-apa, yang penting aku sudah mengemukakan pendapatku, dan ’bacaanku’ terhadap
tradisi Islam yang aku fahami. Sepengetahuanku, Kitab suci juga seringkali memuji
kehidupan keagamaan kaum Nasrani yang diliputi oleh ’cinta dan kasih’, serta pujian kepada
kehidupan monastik, atau ’kerahiban’. Soal-soal yang ’menebalkan’ tapal batas, biasanya
datang dari pertikaian politik, dan bukan keagamaan, sesuatu yang jarang diperiksa, apakah
suatu pendirian teologis tertentu bertaut dengan kekuasaan atau dalam rentang waktu
tertentu menjadi penyokong rezim kuasa tertentu.
bagian empat
Ketika mengajar di SMP Al-Huda Cibinong, sebuah sekolah menengah swasta
yang dikelola oleh keluarga, aku mulai bertemu dengan cara yang tidak disengaja dengan
beberapa orang yang dahulunya pernah mengajar di pesantren ini. Di antara beberapa
pengajar yang datang bersilaturrahmi, aku bertemu dengan seorang ustadz muda, usianya
terpaut beberapa tahun di atasku, yang sedang mengaji beberapa disiplin keilmuan tradisional
Islam di beberapa pesantren salafy di Jawa Barat dan Banten. Ia datang ke pesantren
tempatku mengajar, di saat liburan di tempatnya mengaji, dan sesekali mengisi pengajian
kitab kuning di tempatku mengajar. Ustadz yang satu ini terlihat begitu rendah hati, bicaranya
datar, pengetahuan keagamaannya matang, mungkin juga karena ia belajar dengan begitu
banyak guru. Ustadz sempat belajar tafsir dengan alm. Abuya Dimyati, mendaras Alfiah
dengan Ki Sanja, dan mendalami tarikat di bawah bimbingan Kyai Munfassir Banten, serta
beberapa guru di Jawa Barat, hingga Jawa Timur. Ustadz begitu terbuka dengan topik-topik
yang aku kemukakan, meski untuk orang-orang tertentu di pesantren topik2 yang saya
kemukakan sesuatu yang sangat sensitif, berurusan dengan pertanyaan mendasar dalam
teologi, dll.

Perkenalan ini kemudian membawa manfaat lebih jauh, aku akhirnya menjatuhkan
pilihan untuk belajar di bawah bimbingan Ustadz di pesantrennya, kebetulan ia sedang
merintis pesantren salafy di dekat rumahnya. Bila selesai mengajar dari pagi hingga sore hari
di sekolah menengah, aku segera meluncur ke kediaman ustadz untuk kemudian belajar
beberapa teks keagamaan di malam harinya. Di pesantren ini, aku termasuk santri generasi
pertama, dengan fasilitas yang masih sangat terbatas. Kami, para santri, sekitar 7 orang,
belajar di Mushola, seringkali tidur juga di Mushola, atau ruang tamu rumah Ustadz, karena
ustadz masih membangun 3 kamar untuk santri. Rasa hormat dan takzim semakin hari
semakin kuat, karena ia mendidik dengan 'kasih sayang', tak ada amarah, muka yang kecut,
atau kecewa pada santrinya, ia selalu semangat, bahkan mengajar beberapa pengajian di luar
pesantren untuk masyarakat sekitar. Seringkali ia kutanya mengapa ia tak pernah 'keras'
mendidik santrinya, dengan lembut ia menjawab, " ,..pengetahuan dan kehidupan keagamaan
harus ditempuh dengan kesadaran yang tumbuh dari hati kecilmu, bukan karena paksaan dari
orang lain, bila kesadaran itu tumbuh maka ia adalah guru sejati setiap orang, saya hanya
'membantu' agar kesadaran itu semakin kuat, setiap hari saya memunajatkan do'a agar setiap
santri di sini menemukan 'jalan' nya, dan mecintai jalan yang kalian pilih".
Setelah 3 tahun mengaji di bawah bimbingan Ustadz, aku berpamitan untuk
meneruskan kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Ustadz hanya
memberikan pesan yang sangat singkat di saat aku pamit ingin kuliah filsafat, " ,..saya
mendorong dengan tulus usahamu meneruskan sekolah di sana, hanya dengan ilmu kamu
bisa membuka kunci rahasia hidup di dunia, bahkan untuk membuka kunci rahasia langit".
Hati tergetar mendengar nasihat Ustadz, dan akhirnya menjalani petualangan baru di dunia
'pemikiran' filsafat, selama hampir 7 tahun, mulai dari mempelajari tradisi filsafat Yunani
hingga dekonstruksi. Hingga di kemudian hari bekerja di Universitas Paramadina Jakarta, dan
meneruskan kuliah di Australian National University. Di saat hendak meneruskan kuliah ke
ANU Canberra, aku tak hanya berpamitan dengan Ustadz, tetapi juga berpamitan pada guru
tarikatnya, Kyai Munfassir di Banten, pada kyai Munfassir aku memperkenalkan diri sebagai
muridnya ustadz tempatku mengaji, dan diberikan wejangan yang menguatkan keputusanku
untuk kuliah ke ANU Canberra.
Selama di Canberra, selain belajar menunaikan tugas-tugas rutin kuliah, menambah
teman baru, beradaptasi dengan kultur Australia, termasuk menikmati travelling ke beberapa
kota, pantai, dan pegunungan bersalju. Aku juga terus berkomunikasi dengan para santri di
pesantren salafy tempatku mengaji dulu. Di dalam pikiranku yang sederhana, sudah saatnya
Ustadz memiliki pesantren yang lebih 'layak', bahkan pendidikan formal setingkat sekolah
menengah agar turut merespons kebutuhan pendidikan keagamaan yang toleran dan terbuka
di kalangan masyarakat muslim di sekitar pesantren. Sepulang dari Canberra, Ustadz
termasuk dalam daftar orang yang harus kutemui pertama kali, dan menyampaikan pikiranku
yang sederhana itu, yaitu mendirikan pendidikan formal, untuk mengakomodasi kebutuhan
masyarakat muslimr akan pendidikan keagamaan yang terbuka, dan bervisi ke depan, tanpa
meninggalkan, 'warna dasar' yang sudah tumbuh dan berkembang baik di pesantren sejak
pertama kali dirintis sekitar 15 tahun yang lalu.
Beberapa hari yang lalu kami bertemu, usai ustadz memberikan pengajian rutin di
sebuah kecamatan dekat pesantren, aku utarakan pikiranku, Ustadz mendengar dengan setia
paparan sederhanaku itu. Ustadz tak banyak memberikan jawaban atas inisiatifku tersebut, ia

hanya mengatakan, ",..tunggu sebentar ya, saya ke kamar". Dalam hatiku, apa yang akan
dibawanya dari kamar. Berapa helai kertas di tangannya diperlihatkan padaku, sambil
berucap,.." rencanamu itu sudah saya jalankan separuhnya, dan separuhnya menjadi
bagianmu". Ia memperlihatkan gambar beberapa gedung asrama dan kelas yang akan
dibangun, lengkap dengan rencana kapan akan dimulai serta siapa saja para penyandang
dananya; dari luar negeri dan domestik yang terdiri dari para pengusaha tambang. Malam itu
kami berdiskusi visi dasarnya, agar ketika kami bekerja bertolak dari 'pengertian' yang kurang
lebih sama parameternya, atau semacam kesepakatan 'minimal' yang bisa menjadi titik tolak
buatku untuk menterjemahkan apa yang Ustadz ingin dengan lembaga pendidikan pesantren
ini ke depan.
Di tengah-tengah pembicaraan dengan Ustadz, aku penasaran bagaimana ia bisa
bertemu dengan para donatur untuk pesantren; membebaskan tanah, membangun masjid yg
bisa menampung 3000-an jama'ah, mengganti rumah penduduk yang dibeli tanahnya untuk
pesantren dengan ganti rumah yg lebih baik, plus menyepakati rancangan rumah barunya
agar tak merasa 'digusur', dll. Ia mulai bercerita, dalam prinsipnya, kyai tak boleh
mengadahkan tangan membawa proposal ke mana2 untuk membangun pesantren, dengan
cara itu, menurut keyakinannya, wibawa para ulama telah direndahkan. Ia tak pernah
berhenti mengelola pengajian, merawat jama'ahnya, dan ia serahkan sepenuhnya semua
rencananya pada para jama'ah yang hadir, " tugas saya hanya mengisi pengajian dan
berdzikir,..yang lain sudah ada yang menjalankan".
Suatu ketika, setelah pulang pengajian di suatu tempat, ia kedatangan tamu, yang
mengemukakan testimoni begini," Ustadz,.saya beberapa bulan ini mendengar dari rumah
melalui pengeras suara pengajian yang ustadz berikan di sekitar tempat saya tinggal, saya
merasa tersentuh dengan apa yang ustadz sampaikan, meski tak dapat mengucapkannya
bagian mana yg telah membuat saya begitu tergugah, buat saya, saya menemukan Islam yang
cocok pada pengajian yg ustadz sampaikan". Ternyata yang memberi testimoni adalah
seorang pengusaha, lalu mengajak teman-temanya untuk ikut langsung menjadi
perserta pengajian di pesantren, pengajian bulanan yang biasa disebut acara 'ratiban'. Acara
'ratiban' ini di hadiri lebih dari 3000-an jama'ah setiap bulan, di antara mereka ada yang
pengusaha properti, tambang, konstruksi, para tentara, perwira kepolisian, termasuk keluarga
mantan salah satu Kapolri. Mereka ini, para jama'ah yang menggalang dana untuk mendirikan
masjid, gedung asrama santri, pembebasan tanah, singkatnya, Ustadz hanya terima kunci saja
bila semua telah selesai. Mereka pula yang menitipkan kendaraannya untuk pesantren beserta
sopirnya untuk mobilitas ustadz dan para santri. Tak ada satu proposal pun keluar dari
pesantren ini, tegas Ustadz, bahkan kepala daerah yang mau menyumbang pun belum tentu
ia terima, karena sangat hati-hati dengan dana yang masuk ke pesantren.
Dalam soal memperjuangkan Islam, ia tak setuju sama sekali dengan cara-cara yang
dilakukan oleh kelompok tertentu 'membela' Islam, dengan merusak tempat beribadah,
melakukan kekerasan terhadap minoritas, dan menggerebek tempat-tempat hiburan.
Menurutnya, tak ada rujukannya pada para nabi dan ulama salafus-salih cara-cara berjuang
untuk Islam dengan merendahkan Islam tersebut. Baginya, Islam harus diperjuangkan
dengan semangat bekerjasama dengan semua elemen, harus percaya diri, dan memuliakan
semua orang, bukan merendahkan martabat manusia, entah apa pun agamanya. Sikap ustadz
ini, bukan tanpa rujukan pada sebuah pengalaman, pernah suatu kali ketika masih menjadi

mahasiswa di STF Driyarkara, membawa teman2 Katolik untuk berkunjung ke beberapa
pesantren di Jawa Barat dan Banten. Ketika pesantren2 lain kurang percaya diri menerima
dengan lapang dada teman2 Katolik ini, mengingat saat itu, masih begitu kuat konflik
keagamaan di Ambon maupun Poso, Ustadz dengan sangat santun mengatakan padaku,"
kamu ajak teman2mu bersilaturrahmi dengan saya di tempat di mana saya biasa sholat dan
bermunajat pada Allah". Dengan sikap yang sangat rileks Ustadz mengajak bicara dari hati ke
hati teman-teman frater dari STF Driyarkara, hingga tuntas pertemuan pagi itu. Di sela-sela
pembicaraan yang hangat Ustadz menegaskan, " saya sengaja menerima kalian di tempat di
mana saya sholat dan bermunajat, karena di dalam kekristenanmu terdapat keislamanku, dan
sebaliknya di dalam keislamanku termuat juga kekristenanmu". Suatu pernyataan yang sangat
mengagetkan, mengingat Ustadz hanya mencecap pendidikan tradisional Islam, bahkan
seandainya diusir pun, sebenarnya, aku sudah siap mental menghadapinya. Ternyata yang
terjadi justru sebaliknya, sebuah penerimaan yang lapang dan penuh kehangatan.
Selain kepada Ustadz, guru mengajiku ini, aku sempat juga mengutarakan pikiran
pada pimpinan pesantren di daerah Rangkas Bitung, agar membangun inovasi pada
pendidikan yang sudah berjalan hampir dua dekade tersebut. Pesantren sudah memasuki fase
yang berbeda dengan tantangan yang dihadapi oleh generasi 60-an, dengan segala obsesinya
mengenai pendidikan Islam, serta konteks kesadaran saat mereka merespons perkmebangan
zaman. Tetapi sayangnya, tak semua pikiran bisa diterima dengan mudah, di kemudian hari,
dengan agak 'pongah', orang-orang di sekitar pimpinan pesantren di Rangkas Bitung
mengklaim, " ,..pesantren kami sudah solid dan sistemnya berjalan baik, lagian pula Hakim
itu sudah keluar perilakunya dari syari'at Islam, kami sama sekali tidak respek dengan alm.
Nurcholish Madjid dan orang-orang yang bekerja di lingkaran pemikirannya". Aku hanya
mengelus dada, pada respons yang naif dan 'kekanak-kanakan' ini. Untuk sesuatu yang kita
tawarkan yang diturunkan dari pikiran rasional ternyata dihadapi dengan sikap-sikap yang
keluar dari irasionalitas dan tak masuk akal. Buatku, tak ada kerugian, meski 'difitnah' sebagai
agen Yahudi, keluar dari syari'at, dan tak 'pantas' masuk pesantren. Kerja-kerja seperti ini
hanya menjadi bagian dari karya 'pengabdian' bukan untuk sesuatu di luar itu. Respons salah
satu pimpinan pesantren di Rangkas Bitung ini juga aku utarakan pada Ustadz, dan dengan
tenang ia menjawab, "..masing2 orang diperangkap oleh prasangkanya, bila ia tak bisa keluar
dari 'kurungan' prasangka tersebut, selama itu itu pula ia melihat orang lain sesuai dengan
persepsinya yang sempit". Sejak saat itu, aku tak lagi menawarkan agenda atau program untuk
meningkat mutu pendidikan pada pimpinan pesantren di Rangkas Bitung, alih-alih menjalani
suatu 'kemadjoean' yang d