BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN (7)

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Desain Instrumen Sistem Alir Multi-commutation
Analisis sistem alir Multi-commutation merupakan metode analisis yang
instrumentasinya dirangkai secara khusus sehingga pengukuran dapat dilakukan
secara otomatis. Rangkaian tersebut menggunakan katup solenoid yang dapat
diatur sebagai jaringan dan menggunakan spektrofotometer sebagai detektor.
Instrumen pengukuran dapat dirangkai seperti pada Gambar 3.2.
Rangkain ini tersusun oleh beberapa komponen yakni, three way solenoid
valve, spektrofotometer, pompa peristaltik, webcam, komputer (Software
LabVIEW 2013) dan Arduino Uno. Pompa peristaltik akan menarik carrier ketika
ketiga katup solenoid (V1, V2 dan V3) dalam keadaan nonaktif sehingga carrier
akan mengalir melalui katup solenoid pertama (V1) dan sampel dapat diinput
dengan menggantikan jalannya carrier dalam artian mengaktifkan katup solenoid
pertama, reagen 1,5-difenilkarbazida dan larutan asam sulfat diinput secara
berurutan dengan mengaktifkan katup solenoid kedua (V2) dan ketiga (V3).
Reagen 1,5-difenilkarbazida dan larutan asam sulfat akan diinput sesuai volume
yang ditentukan dengan cara mengontrol katup solenoid yang dikendalikan oleh
Arduino Uno. Arduino Uno merupakan suatu sistem mikrokontroler yang
berfungsi sebagai pusat pengendali output. Source code arduino (Sketch) yang
telah dibuat kemudian ditanamkan (Embedded) ke mikrokontroler, sehingga
mikrokontroler dapat bekerja sesuai dengan program yang dibuat. Pencampuran

akan terjadi pada reaction coil hingga ke detektor. Nilai absorbansi pada
spektrofotometer akan direkam oleh kamera dan akan diolah menggunakan
software LabView pada komputer.
Software LabView merupakan sebuah bahasa pemrograman yang
dilakukan dengan sistem grafis menggunakan ikon sebagai pengganti teks pada
saat pembuatan program. Sinyal absorbansi dari spektrofotometer yang terekam
oleh kamera akan ditampilkan pada front panel yang dapat dilihat pada Gambar
4.1, selanjutnya akan diubah oleh software LabVIEW menjadi data digital dan
dapat disimpan dalam bentuk file. Aplikasi ini dapat dihentikan dengan menekan

2

tombol stop disebelah kiri front panel, sehingga akan muncul peringatan untuk
menyimpan data hasil pengukuran dalam bentuk file.

Gambar 4.1 Tampilan Front Panel

4.2 Kondisi Optimum Pengukuran Kromium Heksavalen
4.2.1 Optimasi panjang gelombang kompleks Cr(VI)-difenilkarbazon
Penentuan panjang gelombang maksimum (λmax) dilakukan menggunakan

larutan standar kromium heksavalen dengan konsentrasi 5 ppm pada panjang
gelombang 500-560 nm dengan rentang 10 nm, panjang gelombang maksimum
tercapai pada 540 nm. Selanjutnya untuk menghasilkan panjang gelombang
maksimum yang lebih presisi dilakukan pengukuran panjang gelombang pada
rentang 530-550 nm dengan rentang 2 nm, panjang gelombang maksimum
tercapai pada 542 nm. Hasil tersebut sesuai dengan teori, bila dilihat dari
intensitas warna komplemeter yang dihasilkan oleh senyawa kompleks Cr(VI)difenilkarbazon yang berwarna ungu sehingga akan menyerap pada panjang
gelombang 540 nm (Clesceri, 1992). Warna dari suatu kompleks timbul akibat
adanya transisi elektronik, yaitu transisi elektron dari tingkat energi dasar ke

3

tingkat energi yang lebih tinggi dimana energi yang diabsorpsi untuk terjadinya
transisi merupakan perbedaan antara dua tingkat energi tersebut yang bersesuaian
dengan panjang gelombang sinar pada spektrum sinar tampak (Effendy, 2006).
Penggambaran profil penentuan panjang gelombang ditampilkan dalam Gambar
1.35
1.30
1.25
1.20

1.15
1.10
530
532
534
536
538
540
542
544
546
548
550

Absorbansi

4.2.

Panjang Gelombang (nm)


1.400
1.200

Absorbansi

1.000
0.800
0.600
0.400
0.200
0.000
500

510

520

530

540


550

560

Panjang Gelombang
Gambar 4.2 Profil serapan panjang gelombang maksimum senyawa kompleks Cr(VI)difenilkarbazon pada panjang gelombang 500-560 nm dengan interval 10 nm

4.2.2 Pengaruh volume injeksi
a. Volume injeksi asam sulfat

4

Panjang gelombang optimum yang telah diperoleh digunakan untuk
mengukur absorbansi sampel dalam penelitian. Sampel dialirkan melalui katup
solenoid pertama dan diinjeksikan asam sulfat dengan variasi volume ketika
sampel

mencapai


katup

solenoid

kedua,

selanjutnya

diinjeksikan

1,5-

difenilkarbazida sebanyak 200 µL setelah aliran mencapai katup solenoid ketiga
dan pencampuran akan terjadi hingga ke detektor. Penambahan larutan asam sulfat
dalam analit berfungsi untuk mempengaruhi pH larutan analit dalam mengontrol
pembentukkan anion kompleks yang dapat bereaksi dengan ligan pengompleks.
Variasi volume injeksi dilakukan mulai dari 50 µL sampai 250 µL untuk
mengetahui volume optimum agar kompleks terbentuk secara maksimal dan
berada pada kondisi stabil. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak tiga
kali pada setiap variasi volume injeksi. Hasil pembacaan ditampilkan dalam Tabel

4.1 dan Gambar 4.4.
Tabel 4.1 Pengaruh volume injeksi asam sulfat terhadap nilai absorbansi
Volume Injeksi
Asam Sulfat (µL)
50
100
150
200
250

Nilai
Absorbansi
0,652
0,993
0,869
0,774
0,748

Berdasarkan Tabel 4.1 dan Gambar 4.3 volume optimum injeksi asam
sulfat tercapai pada volume 100 µL dengan nilai absorbansi sebesar 0,993, setelah

itu nilai absorbansi mengalami penurunan yang dipengaruhi oleh perbedaan
spesiasi Cr(VI) dalam larutan karena pengaruh pH. Spesiasi Cr(VI) tergantung
pada keseimbangan dalam larutannya, menurut Benefeld and Weard (1982) reaksi
kesetimbangannya adalah
H2CrO4
HCrO4
2 CrO4

-

+

HCrO4

-

CrO4
+

2H


2-

-

+

+

H

+

H

Cr2O 7

2-

+


+

H 2O

5

Perubahan pH menyebabkan keseimbangan pada larutan juga berubah,
spesies utama akuatik Cr(VI) adalah H2CrO4, HCrO4-, CrO42- dan Cr2O72-. Pada pH
antara 2 sampai 6 spesies yang utama adalah ion Cr2O72- dan HCrO4-. Pada pH 1
spesies yang dominan pada larutan adalah ion H2CrO4. Pada pH lebih dari 6
spesies CrO42- yang lebih dominan (Cotton dan Wilkinson, 1989). Berdasarkan
spesies tersebut dapat dijelaskan bahwa setelah tercapai pH optimum nilai
absorbansi menurun karena spesiasi Cr2O72- menjadi H2CrO4. Pada saat reaksi,
Cr(VI) direduksi menjadi Cr(II) sehingga terbentuk menjadi difenilkarbazon,
reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut (Vogel,1985)
HN

NH
O


HN

NH

C6 H5

+

HN

CrO4

2-

NH
O

N

N

C6 H5

+

O

C6 H5

N

Difenilkarbazida
HN

NH

N

Cr

2+

+

4 H2O

C6 H5

Difenilkarbazin

C 6 H5

+

2+

Cr

[Cr((C6H5NN)2CO)3]2

+

C 6 H5

Difenilkarbazin

Difenilkarbazon

1.2

Absorbansi

1
0.8
0.6
0.4
0.2
0

Volume Asam Sulfat (µL)
Gambar 4.3 Profil penentuan volume asam sulfat yang diinjeksikan dengan metode
sistem alir multi-commutation pada laju alir sebesar 25 µL/detik

6

b. Volume injeksi 1,5-difenilkarbazida
Panjang gelombang dan volume asam sulfat optimum digunakan dalam
percobaan selanjutnya dengan variasi volume penambahan 1,5-difenilkarbazida.
Sampel sebanyak 200 µL dialirkan melalui katup solenoid pertama dan
diinjeksikan asam sulfat sebanyak 100 µL ketika sampel mencapai katup solenoid
kedua, selanjutnya diinjeksikan 1,5-difenilkarbazida dengan variasi volume
setelah aliran mencapai katup solenoid ketiga dan pencampuran akan terjadi
hingga ke detektor. Reagen yang ditambahkan pada analisis sistem alir multicommutation secara spektrofotometri ini berfungsi sebagai larutan pengompleks.
Reaksi yang terjadi antara 1,5-difenilkarbazida dengan Cr(VI) akan menghasilkan
kompleks Cr(VI)-difenilkarbazon dengan warna komplementer ungu yang dapat
diserap dan dideteksi oleh detektor hingga menghasilkan nilai berupa absorbansi,
namun belum diketahui dengan pasti jumlah ligan yang berperan dalam
pembentukan kompleks Cr(VI)-difenilkarbazon (Vogel,1985).
Perubahan volume injeksi reagen akan mempengaruhi nilai absorbansi dan
puncak yang dihasilkan. Volume reagen yang semakin banyak akan meningkatkan
warna kompleks yang terbentuk, sehingga nilai absorbansi akan meningkat.
Semakin banyaknya volume reagen yang ditambahkan juga akan menyebabkan
semakin banyaknya sampel yang bereaksi dengan reagen, sehingga waktu deteksi
akan semakin lama dan sinyal yang dihasilkan akan semakin landai. Hasil
penelitian yang diperoleh dari variasi volume 1,5-difenilkarbazida dengan metode
sistem alir multi-commutation dapat ditunjukkan pada Gambar 4.4 dan Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Pengaruh volume injeksi 1,5-difenilkarbazida terhadap nilai absorbansi
Volume Injeksi
1,5-difenilkarbazida (µL)
50
100
150
200
250

Nilai
Absorbansi
0,833
0,984
1,157
1,045
0,982

7

1.2

Absorbansi

1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
-0.2

Volume 1,5-difenilkarbazida (µL)
Gambar 4.4 Profil penentuan volume 1,5-difenilkarbazida yang diinjeksikan dengan
metode sistem alir multi-commutation pada laju alir sebesar 25 µL/detik

Berdasarkan Gambar 4.5 dan Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai
absorbansi rata-rata tertinggi yaitu pada volume injeksi 150 µL yaitu sebesar
1,157. Kenaikan nilai absorbansi dari volume 50 sampai 150 µL terjadi karena
banyaknya Cr(VI) yang bereaksi dengan 1,5-difenilkarbazida seiring dengan
bertambahnya volume reagen menjadi kompleks Cr(VI)-difenilkarbazon. Volume
injeksi 200 dan 250 µL mengalami penurunan nilai absorbansi dan pelebaran
puncak, hal ini dikarenakan kompleks Cr(VI)-difenilkarbazon yang terbentuk
mengalami proses dispersi yang terlalu banyak oleh 1,5-difenilkarbazida sehingga
terjadi pelebaran puncak dan nilai absorbansi yang kecil (Trojanowicz,2008).
4.3 Karakteristik Analisis Kromium Heksavalen
Kurva kalibarasi dibuat dengan variasi konsentrasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan
9 ppm dengan menggunakan panjang gelombang 542 nm beserta volume asam
sulfat dan reagen optimum yaitu berturut-turut pada volume 100 dan 150 µL.
Pengukuran setiap variasi konsentrasi dilakukan dengan lima kali pengulangan.
Data yang diperoleh kemudian dibuat kurva dengan hubungan antara konsentrasi
versus nilai absorbansi. Kurva kalibrasi yang diperoleh menunjukkan nilai
absorbansi dan konsentrasi berbanding lurus yaitu semakin besar konsentrasi
kromium heksavalen, maka semakin besar nilai absorbansi. Hasil tersebut sesuai

8

dengan hukum Lambert-Beer yang menyatakan bahwa nilai absorbansi sebanding
dengan konsentrasi, A = εbc. Kurva kalibrasi antara konsentrasi terhadap
absorbansi ditunjukkan pada gambar 4.6. Berdasarkan kurva kalibrasi tersebut
diperoleh persamaan regresi linier yaitu y = (0.123 ±0,001)x + (0.501 ±0,003)
dengan nilai R2 = 0.996. Hasil kurva kalibrasi tersebut dapat digunakan untuk
penentuan kriteria pengukuran menggunakan metode analisis sistem alir multicommutation secara spektrofotometri yang meliputi linieritas, sensitivitas, limit
deteksi dan akurasi.

1.7
5

Absorbansi

1.2

6

7

8

0.7
0.2
-0.3 0

00
20

00
40

00
60

0
0
0
00
00
00
00
80
0
2
4
1
1
1

Waktu retensi (s)

1

2

3

4

9

9

1.80
1.60

f(x) = 0.12x + 0.5
R² = 1

1.40
Absorbansi

1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
1

2

3

4

5

6

7

8

9

Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.5 Kurva kalibrasi larutan standar Cr(VI) dengan metode multi-commutation
pada λ=542 nm dengan volume asam sulfat maksimum=100 µL, volume
reagen=150 µL dan laju alir sebesar 25 µL/detik

4.3.1 Linieritas
Linieritas dapat digambarkan dari kurva kalibrasi dengan memplotkan
antara absorbansi sebagai sumbu y dan konsentrasi sebagai sumbu x yang
kemudian diperoleh respon linier yang ditunjukkan melalui persamaan linier
sebagai berikut:
y = (0.123 ± 0,001)x + (0.501 ± 0,003)
Parameter adanya hubungan linier dapat dilihat dari koefisien korelasi (r).
Besarnya koefisien korelasi menggambarkan keterkaitan antar peubah yaitu
konsentrasi dan absorbansi. Nilai koefisien korelasi (r) yang mendekati 1 atau -1
menunjukkan jika hubungan antara kedua peubah sangat erat atau linier. Hasil dari
penelitian ini diperoleh nilai korelasi (r) sebesar 0,996 yang artinya 99,6%
perubahan absorbansi dipengaruhi konsentrasi sedangkan 0,4% dipengaruhi oleh
faktor lain.
4.3.2 Sensitivitas
Sensitivitas alat atau metode merupakan kemampuan suatu alat atau
metode untuk memberikan respon yang berbeda terhadap perubahan konsentrasi.
Nilai sensitivitas tersebut dapat diperoleh dari nilai slope dalam persamaan kurva
kalibrasi pada penentuan kromium heksavalen dengan analisis sistem alir multi-

10

commutation yang ditunjukkan pada Gambar 4.5 yakni y = (0.123 ± 0,001)x +
(0.501 ± 0,003). Berdasarkan persamaan tersebut nilai sensitivitas ditentukan oleh
besarnya nilai slope yaitu sebesar 0,123 ± 0,001 absorbasi/ppm. Nilai sensitivitas
tersebut menyatakan bahwa setiap satuan perubahan konsentrasi analit dengan
selisih satu akan menghasilkan perubahan sinyal absorbansi sebesar 0,123 ±
0,001. Nilai slope yang besar menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi yang
kecil dapat memberikan respon yang berarti. Namun, hasil penelitian
menunjukkan bahwa setiap satuan perubahan konsentrasi dengan selisih satu
memberikan perubahan sinyal yang kecil. Hal tersebut dikarenakan volume
larutan tidak berbanding lurus dengan diameter tube sehingga menyebabkan
proses dispersi tidak merata. Hal tersebut didukung dengan teori menurut
Trojanowicz (2008), dimana diameter tube semakin kecil maka proses dispersi
semakin menurun, puncak yang dihasilkan semakin runcing dan tinggi. Selain itu,
semakin banyak volume sampel yang di injeksi maka puncak yang dihasilkan
semakin tinggi. Namun ketika volume yang diinjeksikan terlalu banyak dan
diameter tube yang digunakan kecil akan menyebabkan proses dispersi berjalan
lambat dan akan menghasilkan perubahan warna kompleks yang pudar dan
puncak absorbansinya rendah.
4.3.3 Limit deteksi
Nilai limit deteksi dapat dihitung dengan melihat hasil pengukuran larutan
blanko dengan 10 kali pengulangan. Berdasarkan absorbansi yang diperoleh dapat
dihitung nilai standart deviasi untuk menentukan nilai Y LOD yang dapat dilihat
pada tabel 4.3. Kemudian disubstitusikan ke persamaan kurva kalibrasi sehingga
didapatkan nilai limit deteksi. Limit deteksi yang diperoleh pada pengukuran
kromium heksavalen dengan metode analisis sistem alir multi-commutation yaitu
0,024 ppm. Nilai tersebut menunjukkan batas konsentrasi minimal yang dapat
dideteksi, sehingga apabila konsentrasi analit lebih rendah dari batas tersebut
maka alat tidak dapat menghasilkan respon yang signifikan. Semakin kecil
konsentrasi analit yang dapat dideteksi maka kemampuan alat dalam mendeteksi
analit semakin baik pada batas konsentrasi terkecil.
Tabel 4.3 Hasil pengukuran limit deteksi kromium heksavalen

11

0,498
0,497

Absorbansi
0,501
0,498
0,501
0,498
0,497
0,497

YB
0,499

0,498
0,500

SD
1,581x10-3

YLOD
0,504

4.3.4 Akurasi
Nilai akurasi diperoleh dengan mengukur sampel limbah elektroplating,
larutan standar 4 ppm dan sampel akurasi yang merupakan campuran dari sampel
limbah dan standar 4 ppm dengan perbandingan volume 1:1. Penentuan suatu
sampel dengan menggunakan metode tertentu tidak menutup kemungkinan akan
adanya gangguan komponen dalam suatu campuran, sehingga kadar analit
sebenarnya dalam sampel tidak dapat diketahui secara pasti. Nilai replika analisis
semakin dekat dengan sampel sebenarnya maka semakin akurat metode tersebut.
Hasil uji akurasi diperoleh dengan menggunakan perhitungan persen perolehan
kembali. Persen perolehan kembali yang dapat diterima yaitu sekitar 80%-120%
(Harmita, 2004). Persen perolehan kembali yang diperoleh untuk penentuan
kromium

(VI)

dengan

analisa

sistem

alir

multi-commutation

secara

spektrofotometri dapat dilihat pada Tabel 4.4. Berdasarkan hasil perhitungan yang
diperoleh menunjukkan bahwa metode analisis yang dilakukan dapat diterima.
Hasil

pengukuran

nilai

absorbansi

pada

sampel

limbah

elektroplating

menunjukkan nilai 0,925 (Lampiran 4.5) dan berdasarkan perhitungan dengan
mensubstitusikan nilai absorbasi ke persamaan linier kurva kalibrasi diperoleh
konsentrasi Cr(VI) pada sampel sebesar 3,45 ppm.
Tabel 4.4 Hasil pengukuran uji akurasi
Larutan
Sampel akurasi
Sampel limbah
Standar 4 ppm

Volume (mL)
20
10
10

Kadar Kromium
(mg)
0,077
0,0345
0,04

Akurasi
105,8%