T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terkait Pencemaran Nama Baik pada Pasal 27 Ayat UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 BAB II

BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

I. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI

  Peradaban dunia pada masa kini dicirikan dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir di semua bidang kehidupan. Apa yang disebut dengan globalisasi pada dasarnya bermula dari awal abad ke-20, yakni pada saat terjadi revolusi transportasi dan elektronika yang menyebarluaskan dan mempercepat perdagangan antar bangsa, disamping pertambahan dan kecepatan lalu lintas barang dan jasa. Menurut Didik J. Rachbini, “teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil lokal dan nasional, proses globalisasi dalam tahun-tahun terakhir bergerak cepat, bahkan terlalu cepat menuju suatu sistem global. Dunia akan menjadi “global village” yang menyatu, saling tahu dan terbuka,

  serta saling bergantung satu sama lain.” 1

  Pada mulanya jaringan internet hanya dapat digunakan oleh lingkungan pendidikan (perguruan tinggi) dan lembaga penelitian. Kemudian tahun 1995, internet baru dapat digunakan untuk publik. Berapa tahun kemudian, tim burners-lee mengembangkan aplikasi world wide web (www) yang memudahkan orang untuk mengakses informasi di internet. Setelah dibukanya internet untuk keperluan publik semakin muncul aplikasi-aplikasi bisnis di internet. Aplikasi bisnis yang berbasis teknologi internet ini mulai menunjukkan adanya aspek financial. Misalnya internet digunakan sebagai sarana untuk memesanreservasi tiket (pesawat terbang, kereta api), hotel, pembayaran tagihan telepon, listrik dan sebagainya. Hal ini mempermudah konsumen dalam menjalankan aktivitastransaksi bisnisnya. Konsumen

  1 Didik M. Arif Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber law aspek hukum teknologi informasi, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2005, h. 1 1 Didik M. Arif Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber law aspek hukum teknologi informasi, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2005, h. 1

  dalam rumah, begitu pula tingkat keamanannya yang relatif lebih terjaga. 2

  Tidak hanya itu, aplikasi yang berbentuk sosial media sebagai sarana penghubung komunikasi pun telah banyak diciptakan, seperti Facebook, blog, twitter, line, instagram, Path, whatsapp, dan sebagainya. Untuk memudahkan para pemakai, teknologi informasi yang dulunya menggunakan komputer terus berinovasi, merubah bentuk sehingga lebih mudah dibawa kemana saja diantaranya labtop. Bahkan, dengan sistim android yang ada sekarang ini, berbagai informasi dengan menggunakan internet bisa langsung diakses dengan menggunakan ponsel genggam.

  Perkembangan teknologi informasi saat ini telah membawa manfaat positif. Namun, harus disadari pula bahwa hal ini pun telah memberi peluang dijadikannya sarana tindak kejahatan baru. Kejahatan baru dengan menggunakan teknologi atau lebih dikenal dengan cybercrime secara umum diartikan sebagai “Upaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau

  digunakan tersebut.” 3 Andi Hamzah dalam bukunya Aspek-aspek Pidana di Bidang

  Komputer menyatakan bahwa “kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai pengguna komputer secara illegal”. 4 Pada dasarnya cybercrime meliputi semua

  tindak pidana yang berkenan dengan informasi, sistem informasi (information system) itu sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaianpertukaran informasi itu kepada pihak lainnya (transmitteroriginator, to recipient)” 5

  2 Ibid., h. 5 3 Ibid., h. 8 4 Ibid., h. 9 5 Ibid., h. 10

  Adapun bentuk-bentuk kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai sarana kejahatan antara lain :

  1. Unauthorized Access to Computer System and Service, yaitu : Kejahatan yang dilakukan dengan memasukimenyusup kedalam satu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya.

  2. Illegal Contents, yaitu : Merupakan kejahatan dengan memasukan data atau informasi ke Internet tentang sesuatu yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.

  3. Data forgery, yaitu : Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui Internet.

  4. Cyber Espionage, yaitu : Merupakan kejahatan yang memanfaatkan Internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran.

  5. Cyber Sabotage and extortion, yaitu : Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan Internet.

  6. Offense Againts Intellectual Property, yaitu : Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan Intelektual yang dimiliki pihak lain di Internet. Sebagai contoh dalam peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang secara illegal, penyiaran suatu informasi di Internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain dan sebagainya.

  7. Infringements of Privacy yaitu : Kejahatan ini ditujuhkan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini 7. Infringements of Privacy yaitu : Kejahatan ini ditujuhkan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini

  Bentuk-bentuk kejahatan diatas, terus berkembang dengan begitu cepat karena dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya, Kesadaran hukum masyarakat, faktor keamanan, faktor penegak hukum, faktor ketiadaan undang-undang. Ketiadaan undang- undang dan penegak hukum menjadi faktor yang ikut berpengaruh mengandung arti bahwa secara kontekstual atau pada saat itu (sebelum adanya UU ITE), bentuk-bentuk kejahatan dengan menggunakan teknologi terlebih dahulu muncul mendahului aturan undang-undang (UU ITE). Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan pakar hukum teknologi informasi, Iman Syahputra yang menyatakan bahwa “persoalan hukum teknologi internet yang bermunculan belakangan ini telah mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merampungkan

  perundangannya.” 7

  Sekalipun perangkat hukum seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sudah dimiliki Indonesia, namun peraturan itu masih belum cukup mampu menjerat pelaku tindak pidana di Internet. Apalagi dalam Pasal 1 KUHP disebutkan “tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan dalam suatu ketentuan perundang-undangaan. “Artinya, Pasal ini menegaskan kalau pelaku kejahatan Internet belum tentu dapat dikenakan

  sanksi pidana. 8

  Selain benturan dengan Pasal 1 KUHP, kesulitan untuk menjerat pelaku tindak pidana yang dilakukan di dunia maya berkaitan dengan masalah pembuktian. Hukum Positif

  6 Ibid. 7 Ibid., h. 6 8 Ibid.

  mengharuskan ada alat bukti, saksi, petunjuk, keterangan ahli serta terdakwa dalam pembuktian. Sedangkan dalam hal kejahatan terkait dengan teknologi Informasi sulit dilakukan pembuktiannya. 9

  Mengenai hal ini Soedjono Dirdosisworo menyatakan “perubahan dan penyesuaian sosial serta perkembangan teknologi selama setengah abad sejak 1958 (UU No. 7358) demikian pesatnya, dan kepesatan perkembangan sosial dan teknologi serta semakin berpengaruhnya globalisasi yang terus didorong oleh teknologi informasi dan komunikasi sangatlah terasa bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana sudah sejak lama tidak mampu secara sempurna mengakomodasi dan mengantisipasi kriminilitas yang meningkat, baik kualitatif maupun kuantitatif dengan jenis, pola dan modus operandi yang tidak terdapat

  dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Contoh menonjol adalah Cyber Crime).” 10

  Lebih lanjut dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana (Penal Reform) harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, oleh karena pada hakikatnya pembaharuan hukum

  pidana merupakan bagian dari suatu kebijakan. 11

  Berkenaan dengan peran Hukum Pidana terhadap perkembangan teknologi informasi, maka perlu kiranya diperhatikan beberpa hal penting sebagai upaya penyempurnaan terhadap ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional, yaitu:

  1. Dengan semakin maraknya kejahatan-kejahatan baru yang timbul sebagai akibat dari kemajuan teknologi informasi (cyber crime), maka dalam hal pembuktian sudah waktunya untuk dipikirkan kemungkinan adanya penambahan alat bukti lain yang berbasis teknologi, sepert alat bukti berupa surat elektronik (electronic mail) dan rekaman elektronik (electronic record),

  9 Ibid., h. 7

  10 Ibid. 11 Ibid., h. 18

  2. Salah satu ciri kejahatan di dunia maya (cyber crime) adalah memanfaatkan jaringan telematika (telekomunikasi, media dan informatika) global. Aspek global menimbulkan kondisi seakan-akan dunia tidak ada batasnya (borderless). Keadaan ini mengakibatkan pelaku, korban serta tempat dilakukannya tindak pidana (locus delicti) terjadi di negara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal tersebut maka daya berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana harus diperluas, sehingga tidak hanya mengacu pada asasprinsip yang selama ini dianut dalam Pasal 2 – Pasal 9 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu asas personal, asas territorial, dan asas universal;

  3. Untuk merumuskan dan menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dapat dikenai sanksi pidana dalam dunia yang relatif baru dan bergerak cepat, tentu bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu, untuk menjerat pelaku tindak pidana yang melakukan kejahatan-kejahatan di dunia maya (cyber crime), dapat digunakan lembaga penafsiran hukum (interprestasi). Hal ini dimaksudkan untuk

  menghindarkan timbulnya kekosongan hukum. 12

  Pada tanggal 21 April tahun 2008, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Andi Mattalata. Dalam Penjelasan UU ITE, mengatakan : “Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (border-less) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi,, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan

  12 Ibid.

  kontribusi bagi peningkatan keejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus

  menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.” 13

  Pembentuk Undang-undang menyadari bahwa teknologi informasi yang berkembang seperti pedang bermata dua, memberikan kontribusi positif sekaligus berdampak negatif. Maka dari itulah, Undang-undang yang lahir sebagai jawaban terhadap desakan dan tuntutan keadaan dimana semakin merebaknya kasus kejahatan menggunakan teknologi informasi diharapkan mampu menjerat para pelaku kejahatan yang selama ini berhasil lolos karena terkendala dalam proses pembuktian, seperti yang dinyatakan sebagai berikut : Saat ini telah lahir rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi komunikasi. Demikian pula hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum infomatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (vitual world law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sitem komunikasi baik dilingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, danatau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum

  yang dilaksanakan melalui sitem elektronik.” 14

II. UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008

  13 Penjelasan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

  Elektronik, Penerbit New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, h. 45

  14 Ibid., 45

  Dengan semakin merebaknya persoalan-persoalan pidana yang terjadi dengan menggunakan teknologi informasi, UU ITE disahkan dengan tujuan yang terdapat dalam Pasal 4, dimana salah satu tujuannya menyatakan : “Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk: “Memberikan rasa aman, keadilan,

  dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.” 15 Tampak

  jelas, kehadiran Undang-undang tidak lain adalah untuk memberikan sebuah kepastian hukum, agar terciptannya rasa aman, dan bertindak adil bagi setiap pengguna maupun penyelenggara teknologi informasi.

  Pasal 3 UU ITE, disebutkan, “Pemanfaatan teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-

  hatian, etikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.” 16 Adapun Asas kepastian hukum mengandung arti pemanfaatan teknologi informasi haruslah memiliki

  landasan hukum serta mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan diluar pengadilan. Asas Manfaat mengandung arti teknologi informasi difokuskan pada meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Asas Kehati-hatian mengandung arti para pihak harus memperhatikan segala aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik untuk dirinya maupun orang lain. Asas Etikad Baik mengandung arti perbuatan yang tidak bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut. Sedangkan Asas Kebebasan Memilih mengandung arti tidak berfokus pada

  penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan. 17

  Dalam UU ITE, ketentuan tentang perbuatan-perbuatan pidana diatur di BAB VII dengan judul “perbuatan yang dilarang”, sebanyak sepuluh Pasal (Pasal 27 sampai dengan

  15 Pasal 4 huruf e Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

  Elektronik, Penerbit New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, h. 15

  16 Ibid.

  17 Dalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Ingormasi dan

  Transaksi Elektronik, Penerbit, New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, h. 49

  Pasal 37). Sebagai rezim hukum baru, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pun mengatur ketentuan tentang hukum acara yang akan dipakai bersamaan dengan hukum acara pidana yang bersifat umum. Sunarso (2009) mengatakan, “Penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, terhadap tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, selain diberlakukan menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang bersifat Umum, juga diberlakukan diatur mulai Pasal 42 sampai dengan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, tentang penyidikan.” 18

  Adapun Pasal 42 UU ITE, menyatakan “Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam hukum

  acara pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini.” 19

  Berdasarkan ketentuan di atas, dapat ditafsirkan bahwa kegiatan penyidikan terhadap tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, termasuk upaya paksa menurut hukum Acara Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, yang bersifat khusus, sedangkan ketentuan

  penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bersifat Umum. 20

  Lebih lanjut, dalam Pasal 43 UU ITE, diatur ketentuan sebagai berikut :

  1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan pemerintah, yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang teknologi informasi dan transaksi elektronik diberikan wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik;

  2) Penyidik di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap

  18 Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik studi kasus Prita Mulyasari, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009, h. 126

  19 Ibid. 20 Ibid.

  privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, intergritas data, atau keutuhan data, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;

  3) Penggeledahan danatau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat;

  4) Dalam melakukan pengeledahan danatau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum;

  5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang;

  a. Menerima laporan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;

  b. Memanggil setiap orang atau pihak lainnya untuk didengar danatau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkain dengan ketentuan Undang-Undang ini;

  c. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;

  d. Melakukan pemeriksaan terhadap orang danatau badan usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang iini;

  e. Melakukan pemeriksaan terhadap alat danatau sarana yang berkaitan dengan teknologi informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;

  f. Melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;

  g. Melakukan penyegelan dan penyitaan terdapat alat atau sarana kegiatanb teknologi informasi yang diduga digunakan secara menyimpan dari ketentuan peraturan perundang-undangan; g. Melakukan penyegelan dan penyitaan terdapat alat atau sarana kegiatanb teknologi informasi yang diduga digunakan secara menyimpan dari ketentuan peraturan perundang-undangan;

  i. Mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan Undang- Undang ini, sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku;

  6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum, wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam;

  7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampikan hasilnya kepada penuntut umum;

  8) Dalam rangka mengungkapkan tindak pidana informasi elektronik dan transaksi elektronik, penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik Negara lain untuk berbagai

  informasi dan alat bukti. 21

  Dalam Pasal 43 ayat (6), dikatakan bilamana penyidik akan melakukan penangkapan, dan penahanan harus meminta penetapan pengadilan negeri setempat melalui penuntut umum dalam waktu 1x24 jam. Timbul persoalan, bagaimana kalau pihak penuntut umum sendiri yang akan melakukan penangkapan dan penahanan. Ketentuan untuk harus meminta penetapan dari ketua pengadilan negeri setempat harus tetap dipatuhi. Ketentuan ini untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang penegak hukum (abuse of power). 22

  Menilik dari ketentuan menurut Undang-Undang ini, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6), yang menentukan tentang penyidik, yang diberikan wewenang penangkapan dan penahan menurut Undang-Undang ini. Penyidik mana yang dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) tersebut? Bilamana kita lihat Pasal 43 ayat (1) dikatakan selain

  21 Ibid., h.128 22 Ibid.

  penyidik pejabat Polri, Pejabat PNS tertentu di lingkungan pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang teknologi dan transaksi elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik. Berdasarkan arti ini, maka dapat ditafsirkan sebagai penyidik adalah penyidik Polri dan Penyidik PNS. Apa yang dimaksud dengan bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap dalam tindak pidana tersebut, dalam penjelasan Pasal 43 ayat (5) huruf (h), dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang teknologi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akedemis maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut. 23

  Mengenai alat bukti, Pasal 44 UU ITE menyatakan, “Alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini,

  adalah sebagai berikut: 24

  a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan; dan

  b. Alat bukti lain berupa informasi elektronik danatau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).”

  Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, bahwa informasi elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah, meliputi informasi elektronik danatau dokumen elektronik, danatau hasil cetakan; Ketentuan ini, merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia (Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Bagaimana dengan informasi elektronik danatau dokumen elektronik apabila menggunakan sistem elektronik dan dianggap sah, akan diatur sesuai ketentuan dalam Undang-Undang ini. Informasi elektronik

  23 Ibid . 24 Ibid.

  sebagai suatu data atau sekumpulan data elektronik yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dapat dilihat, ditampilkan danatau didengar melalui komputer atau sistem elektronik yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

  memahaminya. 25

  Kecuali, bahwa ketentuan mengenai informasi danatau dokumen elektronik tidak berlaku untuk surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Demikian pula, dalam hal terdapat ketentuan lain, yang mensyaratkan suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli maka informasi elektronik danatau dokumen elektronik dianggap sah, sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat

  dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. 26

  III.

  UNSUR-UNSUR PASAL 27 AYAT (3)

  Moljiatno (2002), mengatakan bahwa “Pada hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir.” Menurutnya, yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana, antara lain : 27

  a. Kelakuan dan akibat (=perbuatan)

  b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

  c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

  d. Unsur melawan hukum yang objektif.

  25 Ibid. 26 Ibid., h. 130 27 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Reneka Cipta, Jakarta 2002, h. 63 25 Ibid. 26 Ibid., h. 130 27 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Reneka Cipta, Jakarta 2002, h. 63

  Berkaitan dengan Pasal 27 Ayat (3), Sunarso (2009) mengemukakan “unsur perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah : 28

  a. Setiap orang;

  b. Dengan sengaja dan tanpa hak;

  c. Mendistribusikan, danata mentransmisikan, danatau dapat diaksesnya informasi elektronik, danatau dokumen elektronik;

  d. Memiliki muatan melanggar kesusilaan, atau muatan perjudian, atau muatan penghinaan, danatau pencemaran nama baik, atau muatan pemerasan, danatau pengancaman.

  Adapun unsur-unsur yang dikemukakan diatas merupakan keseluruhan ayat yang terdapat di dalam Pasal 27 UU ITE. Jika dipersempit lagi, agar sesuai dengan fokus dari penelitian ini yaitu Pasal 27 Ayat (3) maka menurut penulis, perbedaannya hanya terletak pada unsur keempat yaitu “memiliki muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik. Oleh karena itu, menurut penulis unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) adalah : Setiap orang; Dengan sengaja dan tanpa hak; Mendistribusikan, danata mentransmisikan, danatau dapat diaksesnya informasi elektronik, danatau dokumen elektronik; Memiliki muatan penghinaan, danatau pencemaran nama baik.

  Pengertian setiap orang disini, selain ditafsirkan sebagai individu juga badan hukum yang berbadan hukum sesuai ketentuan Undang-Undang. Misalnya PT, Yayasan, Koperasi,

  dan sebagainya. 29

  28 Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik studi kasus Prita Mulyasari, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009, h. 98

  Pengertian dengan sengaja dan tanpa hak, dapat ditafsirkan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang dan tindakan melalaikan yang diancam hukuman.

  Adapun perbuatan optimum yang dianggap mengandung sifat ketidakadilan yang berdasarkan sifatnya, yang patut dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang- Undang adalah mendistribusikan, danatau mentransmisikan, danatau membuat dapat diakses informasi elektronik, danatau dokumen elektronik, yang dapat menganggu sifat

  ketidakadilan tersebut. 30

  Perbuatan di atas, dapat mengandung unsur delik penuh bilamana delik yang timbul merupakan delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana, dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang. Dengan demikian, delik ini termasuk delik formil atau delik dengan perumusan formil, yakni unsur muatan melanggar kesusilaan, atau muatan perjudian, atau muatan penghinaan, danatau pencemaran nama baik, atau muatan pemerasan, danatau pengancaman. Yang penting bahwa secara formal informasi elektronik dan dokumen

  elektronik telah mengandung muatan-muatan yang dilarang oleh Undang-Undang. 31

  Jika kita melihat buku II dan III KUHP maka di situ dijumpai beberapa banyak rumusan-rumusan perbuatan serta sanksinya yang dimaksud untuk menunjukkan perbuatan- perbuatan mana yang dilarang dan pantang dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas larangan tadi, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak

  dilarang. 32

  Pencurian misalnya unsur-unsur pokoknya ditentukan sebagai: mengambil barang orang lain. tetapi tidak tiap-tiap mengambil barang orang orang lain adalah pencurian, sebab

  29 Ibid. 30 Ibid. 31 Ibid. 32 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Reneka Cipta, Jakarta 2002, h. 64 29 Ibid. 30 Ibid. 31 Ibid. 32 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Reneka Cipta, Jakarta 2002, h. 64

  kepada pemiliknya. 33

  Untuk membedakan bahwa yang dilarang itu bukanlah tiap-tiap pengambilan barang orang lain, maka dalam Pasal 362 KUHP di samping unsur-unsur tadi, ditambah dengan

  elemen lain yaitu: dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum. 34

  Jadi rumusan pencurian dalam Pasal 362 KUHP tadi terdiri atas unsur-unsur: 35

  1. Mengambil barang orang lain dan

  2. Dengan maksud untuk dimemiliki secara melawan hukum.

  Begitu pula misalnya dengan penadahan (heling). Dalam Pasal 480 ayat (1), dirumuskan dengan unsur-unsur 1, membeli, menyewa, menukar, menggadaikan, menerima sebagai hadiah, menjual untuk mendapat untung, mengganti menerima sebagai gadai, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan barang 2. Yang diketahui atau sepatutnya

  harus diduga berasal dari kejahatan. 36

  Dalam Pasal 480 ayat (2) rumusannya adalah:

  1. Menarik untuk dari hasil suatu barang, dan

  2. Yang diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari kejahatan.

  Dalam perbuatan-perbuatan pidana, selain daripada dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam:

  1. Delik dolus dan delik culpa

  33 Ibid.

  34 Ibid. 35 Ibid. 36 Ibid.

  Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan; misalnya Pasal 338 KUHP; “dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain”, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaan. Contoh

  daripada delik-delik dolus yang lain: 37

  - Pasal 354 : dengan sengaja melukai berat orang lain. - Pasal 187 : dengan sengaja menimbulkan kebakaran. - Pasal 231 : dengan sengaja mengeluarkan barang-barang yang disita - Pasal 232 ayat (2) : dengan sengaja merusak segel dalam pensitaan.

  Perumusan delik dapat dilakukan secara formal dan materiil, dapat disebut delik formal dan material.

  Berbeda dengan pembedaan dilik-delik yang akan disebut 12 di mana dalam kenyataannya sifatnya masing-masing memang berbeda, di sini perbedaan sifatnya masing- masing memang berbeda, di sini perbedaan tidak mengenai sifat yang sesungguhnya, tapi

  hanya mengenai sifat dalam perumusannya di masing-masing pasal saja. 38

  Jadi dalam kenyataannya tidak ada perbedaan sifat antara delik formil dan materiil. Perbedaan hanya dalam tulisan yaitu bisa dilihat kalau membaca perumusan masing-masing delik. Karenanya, istilah delik formal dan material itu adalah singkatan dari : delik yang dirumuskan secara formal atau material. Dikatakan ada perumusan formal jika yang disebut atau yang menjadi pokok dalam formulering adalah kelakuannya. Sebab kelakuan macam itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. Akibat dari kelakuan itu tidak dianggap penting untuk masuk perumusan. Misalnya dalam pasal 362 KUHP mengenai pencurian, yang penting ialah kelakuan untuk memindahkan penguasaan barang yang dicuri. Dalam pasal itu

  37 Ibid., h. 75 38 Ibid., h. 68 37 Ibid., h. 75 38 Ibid., h. 68

  penting dalam formulering dalam pencurian. 39

  Dikatakan ada perumusan material jika yang disebut atau menjadi pokok dalam formulering adalah akibatnya: oleh karena akibatnya itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. 40

  Bagaimana caranya mendatangkan akibat tadi tidak dianggap penting. Biasanya yang dianggap delik material adalah misalnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dan pembunuhan (Pasal 358) karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat menderita sakit atau matinya orang yang dianiaya atau dibunuh. Bagaimana caranya mendatangkan akibat

  itu, tidak penting sama sekali. 41

  Perlu diajukan pula, bahwa hemat saja ada rumusan-rumusan yang formal-material. Artinya di situ yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tapi juga akibatnya. Contohnya adalah pasal 378 KUHP yaitu penipuan. 42

IV. HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Karakteristik Pidana

  Karakteristik yang dimaksudkan disini adalah sesuatu yang menjadi ciri khas, sehingga membedakan antara putusan yang satu dengan yang lain. karakteristik pertama

  39 Ibid. 40 Ibid. 41 Ibid. 42 Ibid.

  terkait dengan bagaimana majelis hakim membagi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal

  27 Ayat (3) UU ITE.

   Nomor 196Pid.Sus2014PN.Btl (Bantul) :

  1. Setiap Orang;

  2. Dengan Sengaja dan Tanpa hak Mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronilk yang

  memiliki muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik;” 43

  Dalam putusan ini, majelis hakim hanya membagi Pasal 27 Ayat (3) kedalam 2 unsur. Unsur pertama adalah unsur subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan unsur yang kedua adalah unsur perbuatan yaitu apakah perbuatan dilakukan secara sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik.

   Nomor 23Pid.B2011PN.JTH (Jantho) :

  1. Unsur Barang Siapa;

  2. Dengan Sengaja dan Tanpa Hak;

  3. Mendistribusikan danatau Mentransmisikan danatau Membuat dapat diaksesnya;

  4. Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik;

  5. Yang memiliki muatan Penghinaan danatau Pencemaran Nama Baik;” 44

  43 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan Nomor 196Pid.Sus2014PN.Btl,

  h. 50

  Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menjadi 5 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 4 unsur yaitu : Unsur pertama adalah unsur subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan dalam unsur perbuatan yang pertama yaitu: barang siapa dan tanpa hak; dan unsur perbuatan kedua dalam putusan ini adalah mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya; unsur ketiga yaitu Informasi Elektronik danatau Dokumen elektronik; dan unsur perbuatan terakhir di dalam Putusan ini yaitu yang memiliki muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik.

   Putusan Nomor 1832Pid.B2012PN.Jkt.Sel (Jakarta Selatan) :

  1. Setiap orang;

  2. Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik;

  3. Yang memiliki muatan penghinan danatau pencemaran nama baik. 45 Dalam putusan ini, Majelis Hakim yang mengadili perkara membagi unsur Pasal 27

  Ayat (3) menjadi 3 unsur. Unsur perbuatan hanya di bagi kedalam 2 unsur yaitu : Unsur pertama adalah unsur subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang didakwakan mampu bertanggungjawab. Sedangkann dalam unsur perbuatan yang pertama yaitu: Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi

  44 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan Nomor 23Pid.B2011PN.JTH, h.

  45 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahung

  Putusan Nomor

  1832Pid.B2012PN.Jkt.Sel, h. 138 1832Pid.B2012PN.Jkt.Sel, h. 138

   Putusan Nomor 324Pid.B2014PN.SGM (Sungguminasa)

  1. Setiap Orang;

  2. Dengan sengaja dan tanpa Hak;

  3. Mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik danatau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik; 46

  Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menjadi 3 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 2 unsur yaitu: Unsur pertama adalah unsur subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan unsur perbuatan yang pertama yaitu: Dengan sengaja dan tanpa hak dan unsur mindistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik danatau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik.

   Putusan Nomor 390Pid.B2014PN.Mks (Makassar)

  1. Setiap orang;

  2. Dengan sengaja

  3. Tanpa hak;

  4. Mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya;

  5. Muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik; 47

  46 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan Nomor 324Pid.B2014PN.SGM,

  h. 54

  Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menjadi 5 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 4 unsur yaitu: Unsur pertama adalah unsur subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan dalam unsur perbuatan yang pertama yaitu: Dengan sengaja unsur perbuatan kedua yaitu: tanpa hak; unsur perbuatan ketiga yaitu: Mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya; yang unsur perbuatan keempat yaitu Muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik.

   Putusan Nomor 232Pid.B2010PN.Kdl (Kendal)

  1. Unsur Setiap Orang;

  2. Unsur Dengan Sengaja atau tanpa Hak;

  3. Mendistribusikan danatau Mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik;

  4. Unsur memiliki muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik; 48

  Majelis hakim dalam putusan ini membagi unsur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menjadi 4 unsur. Unsur perbuatan dibagi menjadi 3 unsur yaitu: Unsur pertama adalah unsur subjek sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain unsur tentang siapa yang hendak bertanggung jawab, apakah yang dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang didakwakan mampu bertanggung jawab. Sedangkan dalam unsur perbuatan yaitu: Pertama Dengan sengaja dan tanpa hak; unsur kedua yaitu: Mendistribusikan danatau Mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau

  47 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan Nomor 390Pid.B2014PN.Mks,

  h. 24

  48 Dalam konsideran menimbang Unsur-unsur pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahung 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan Nomor 232Pid.B2010PN.Kdl,

  h. 43

  Dokumen Elektronik; dan unsur yang terakhir dalam putusan ini yaitu: unsur Memiliki muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik;

  Karakteristik kedua Terkait Dengan Hasil Putusan.

  - Nomor 196Pid.Sus2014PN.Btl (Bantul)

  Dalam putusan ini Menyatakan Terdakwa ERVANI EMY HANDAYANI Bin SAIMAN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan PERTAMA, KEDUA atau KETIGA; dan Membebaskan Terdakwa ERVANI EMY HANDAYANI Bin SAIMAN oleh karena itu dari semua dakwaan tersebut; dan Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan,

  kedudukan dan harkat serta martabatnya. 49

  - Nomor 23Pid.B2011PN.JTH (Jantho)

  Dalam hasil putusan ini menyatakan Terdakwa A. HAMIDY ARSA Bin (Alm) ABDURRAHMAN telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencemaran nama baik dengan menggunakan Media Elektronik.”; Dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan; dan menetapkan lamanya penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; dan memerintahkan terdakwa tetap ditahanan. 50

  - Putusan Nomor 1832Pid.B2012PN.Jkt.Sel (Jakarta Selatan)

  Dalam putusan ini Terdakwa tidak terbuti terkait Pasal 27 ayat (3) melainkan terbuti dalam Pasal 263 KUHP. Putusan ini Menyatakan terdakwa MUHAMMAD FAJRISKA MIRZA, SH alias BOY Bin A. GANIE MUSTAFA dengan identitasnya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan KESATU

  49 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 196Pid.Sus2014PN.Btl, h. 68 50 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 23Pid.B2011PN.JTH, h. 55

  PRIMAIR maupun Dakwaan KEDUA baik dakwaan KEDUA PRIMAIR maupun dakwaan KEDUA Subsidair dari Penuntut Umum; dan membebaskan Terdakwa oleh karena itu Dakwaan KESATI PRIMAIR dan dakwaan KEDUA tersebut; dan Menyatakan terdakwa MUHAMMAD FAJRISKA MIRZA, SH alias BOY Bin A. GANIE MUSTAFA dengan identitas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pengaduan Palsu kepada Penguasa, sebagaimana Dakwaan KESATU SUBSIDAIR.”; dan menjatuhkan

  pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan; 51

  - Putusan Nomor 324Pid.B2014PN.SGM (Sungguminas)

  Dalam putusan ini Menyatakan Terdakwa FADHLI RAHIM S.Sos Bin ABD.RAHIN HANAFI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan Sengaja Tanpa Hak Mentransmisikan Informasi Elektronik Yang Memiliki Muatan Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik.”; dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan Pidana penjara selama 8 (delapan) bulan; dan menetapkan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; dan

  menetapkan Terdakwa tetap dalam tahanan. 52

  - Putusan Nomor 390Pid.B2014PN.Mks (Makassar)

  Dalam putusan ini menyatakan Terdakwa MUHAMMAD ARSYAD, SH tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalahmelakukan tindak pidana baik dalam dakwaan PERTAMA, dakwaan KEDUA maupun dalam dakwaan KETIGA; dan membebaskan Terdakwa MUHAMMAD ARSYAD, SH. tersebut oleh karena itu dari seluruh dakwaan JaksaPenuntut Umum tersebut dan memerintahkan segera mengeluarkan Terdakwa dari

  51 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 1832Pid.B2012PN.Jkt.Sel, h. 149 52 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 324Pid.B2014PN.SGM, h. 81 51 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 1832Pid.B2012PN.Jkt.Sel, h. 149 52 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 324Pid.B2014PN.SGM, h. 81

  martabat. 53

  - Putusan Nomor 232Pid.B2010PN.Kdl (Kendal)

  Dalam putusan ini Menyatakan Terdakwa Drs. PRABOWO, MM Bin TJASAN PROMONO SAPUTRO tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak telah mendistribusikan Informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan”; dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan Pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan denga sebesar 1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan

  selama 1 (satu) bulan; 54

  Terlepas dari setiap karakteristik pidana yang terdapat dalam setiap putusan, penulis menyadari bahwa penekanan utama yang harus dilihat adalah bukan pada seberapa baik pembagian unsur yang dibuat hakim, bukan juga pada persoalan dibebaskan atau dianggap bersalahnya seorang terdakwa didepan pengadilan, melainkan lebih pada apakah sebuah putusan yang dibuat sudah mempertimbangkan hal-hal fundamental dalam membuat putusan. Hal fundamental yang dimaksudkan disini terkait dengan alat-alat bukti yang akan dipakai hakim dalam membuat pertimbangan-pertimbangan yang akan penulis jabarkan sendiri dalam analisis.

B. Analisis

  Setiap Orang

  Dalam Pasal 1 angka 21 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perorangan, baik

  53 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 390Pid.B2014PN.Mks, h. 46 54 Dalam konsideran mengadili, Putusan Nomor 232Pid.B2010PN.Kdl, h. 62

  Warga Negara Indonesia, Warga Negara Asing maupun Badan Hukum. 55 Merujuk pada pengertian tersebut, maka setiap orang yang dimaksudkan disini bukanlah merupakan unsur

  tindak pidana. Setiap orang yang dimaksudkan bukanlah unsur perbuatan, melainkan sebuah unsur Pasal yang merujuk kepada siapa saja orang perorangan atau suatu Badan Hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban yang didakwa melakukan suatu Tindak Pidana. Hak dan kewajiban merupakan kebebasan dan keharusan yang melekat pada siapa saja orang perorangan atau badan hukum untuk berbuat sesuatu menurut hukum. Oleh karena kebebasan disini adalah bebas berbuat sesuatu menurut hukum, maka apabila seseorang atau badan hukum dalam perbuatannya dianggap tidak sesuai lagi menurut hukum, menjadi keharusan dari seseorang atau badan hukum tersebut untuk berbuat sesuatu menurut hukum (mengikuti proses hukum). Dengan demikian, setiap orang yang dimaksud disini menitikberatkan pada kemampuan seseorang atau badan hukum untuk bertanggung jawab terhadap perbuatan yang didakwakan.

  Dalam KUHP, ketentuan mengenai kemampuan bertanggungjawab. Dapat dilihat pada Pasal 44, yang menyatakan : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit”. Berdasarkan pasal ini, maka persoalan yang muncul kemudian adalah jika tidak dapat dipertanggungjawabkannya itu disebabkan karena hal lain, misalnya jiwanya tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, maka pasal ini sulit untuk diterapkan. Moeljatno dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana” mengatakan, “bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada: 56

  1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;

  55 Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

  Elektronik, h.13

  56 Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2001, h. 165

  2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.”

  Dari rumusan pasal 44 KUHP dan penyataan Moeljatno tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur setiap orang adalah unsur yang tujukan pada subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban yang mampu mempertanggung jawabkan setiap perbuatannya dihadapan hukum. Mempertanggungjawabkan memiliki makna tidak sakit atau cacat mental sehingga mampu membedakan antara perbuatan baik dan buruk, perbuatan melawan hukum dan sesuai hukum serta mampu menentukan kehendaknya menurut kesadaran tentang baik dan buruknya perbuatan.

  Selain persoalan bertanggung jawab, unsur setiap orang disini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan atau kekeliruan orang (error in person) sebagai subyek atau pelaku tindak pidana yang sedang diperiksa dalam perkara.

  Pada keenam putusan yang penulis teliti, subjek hukum yang menjadi terdakwa adalah subjek hukum yang telah memenuhi kualifikasi penyandang hak dan kewajiban. Semua terdakwa sebagai subjek hukum yang sehat jasmani dan rohani, yang mampu mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah didakwakan. Disamping itu, dalam semua putusan yang diteliti, tidak terjadi kesalahan ataupun kekeliruan orang (error in person) sebagai subjek atau pelaku tindak pidana

  Dengan sengaja dan tanpa hak;

  Menurut keterangan Menkominfo dan Menhukham pada persidangan di Mahkamah Konstitusi pada 12 Februari 2009 unsur dengan sengaja diartikan “pelaku harus menghendaki

  perbuatan mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik dan mengetahui bahwa Informasi perbuatan mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik dan mengetahui bahwa Informasi

  nama baik”. Berdasarkan keterangan tersebut, 57 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24