KONSEP DAN PRINSIP DASAR KEKUASAAN DALAM

KONSEP DAN PRINSIP DASAR KEKUASAAN
DALAM POLITIK ISLAM
Rendra Khaldun1
Abstraksi
Piagam atau konstitusi Madinah dijadikan acuan oleh Nabi Muhammad
SAW dalam memimpin masyarakat Madinah. Dengan adanya konstitusi Madinah,
maka Nabi Muhammad SAW tidak mengalami kesulitan untuk memadukan
misinya sebagai pemimpin moral dan agama dengan amanat yang diterimanya
dari masyarakat untuk menduduki kepemimpinan politik.
Berbagai penafsiran oleh para ahli politik Islam tentang Piagam Madinah
menjadi embrio dan diskusi yang hangat tentang bentuk ideal sebuah model
kekuasaan dalam Islam. Persoalan politik, terutama konsepsi tentang negara dan
pemerintahan telah menimbulkan diskusi panjang dan kontroversi di kalangan
pemikir muslim dan memunculkan perbedaan pandangan yang cukup tajam.
Perbedaan-perbedaan tidak hanya terhenti pada tataran teoritis konseptual tetapi
juga memasuki wilayah politik praktis sehingga acapkali membawa pertentangan
dan perpecahan di kalangan umat Islam. Tulisan ini berusaha untuk mengkaji
relasi antara agama, politik dan kekuasaan dalam Islam. Bagaimana relasi
agama dan negara dalam Islam, dasar dan prinsip politik Islam serta pembagian
kekuasaan menurut para pemikir politik Islam.
Keyword: Politik Islam, Kekuasaan, Konsep, Islam.


Hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah merupakan sebuah momentum
bagi kecemerlangan perjalanan Islam pada masa selanjutnya. Dalam waktu yang
relatif singkat Rasulullah telah berhasil membina jalinan persaudaraan antara
kaum Muhajirin sebagai imigran-imigran Makkah dengan kaum Ansar yang
merupakan penduduk asli Madinah. Di Madinah beliau mendirikan Masjid,
membuat perjanjian kerjasama dengan non muslim, serta meletakkan dasar-dasar
politik, sosial dan ekonomi bagi masyarakat baru tersebut dan merupakan suatu
fenomena yang menakjubkan ahli-ahli sejarah dahulu dan masa kini.2
1 Dosen Tetap Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram
2W. Montgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesman, (Oxford: Oxford University
Press, 1961), h. 223-224

1

Masyarakat muslim Madinah yang berhasil dibentuk Rasulullah oleh
sebagian intelektual muslim masa kini disebut dengan negara kota (city state).
Lalu, dengan dukungan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru jazirah Arab yang
masuk Islam, maka muncullah kemudian sosok negara bangsa (nation state).
Walaupun sejak awal Islam tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang

bagaimana bentuk dan konsep negara yang dikehendaki, namun suatu kenyataan
bahwa Islam adalah agama yang mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan
termasuk politik dan negara. Pada waktu Nabi di Madinah inilah beliau
menduduki posisi sebagai pemimpin yang bisa disebut sebagai negara dan di situ
Nabi dipercaya sebagai pemimpinnya dan karenanya Nabi bisa disebut sebagai
kepala Negara.3 Akan tetapi kedudukan itu diperolehnya bukan lantaran ada
perintah langsung dari wahyu. Tidak ada perintah langsung dari wahyu yang
memerintahkan beliau untuk mendirikan organisasi kekuasaan atau negara.
Setelah melihat tidak adanya ayat-ayat yang secara tegas mewajibkan pada
Muhammad SAW untuk membentuk pemerintahan, Ali Abd al-Raziq, seorang
ulama al-Azhar permulaan abad kedua puluh berpendapat bahwa pembentukan
pemerintahan tidaklah masuk dalam tugas yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi
Muhammad.4
Kedudukan politik itu diamanatkan kepada Nabi disamping karena
ketinggian moralnya juga karena beliau pada dasarnya selalu memelihara empat
sifat yang dimilikinya yakni sidiq (jujur atau memiliki integritas atau integrity),
amanat (menjunjung tinggi tanggung jawab yang dimanatkan atau accuntability),
tabligh (menjunjung tinggi keterbukaan atau transparency) dan fathanah
3Munawir Sjadzali menyebutkan bahwa batu-batu dasar yang telah diletakkan oleh
Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di

Madinah adalah : 1) semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku , tetapi merupakan
satu komunitas. 2) hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota
komunitas Islam dengan anggota komunitaskomunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip (a)
bertetangga baik (b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama (c) membela mereka
yang teraniaya (d) saling menasihati; dan (e) menghormati kebebasan beragama. Selanjutnya
Munawir menambahkan bahwa Piagam Madinah, yang oleh banyak pakar politik didakwakan
sebagai konstitusi negara Isam yang pertama itu, tidak menyebut agama negara. Untuk lebih
jelasnya lihat Munawir Syadzali, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta . UI Press,
1990),h.15-16
4Lihat, Ali Abd al-Raziq, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam , Bandung, Pustaka,
1985.

2

(memiliki kecerdasan dan kemampuan atau capability). Kedudukan itu diterima
Nabi berdasarkan ijtihad beliau pada waktu itu.
Sadar bahwa posisinya sebagai kepala negara atau pemimpin politik mau
tidak mau akan menyeret beliau melakukan tindakan-tindakan tegas maka beliau
merasa perlu membuat kesepakatan bersama, dimana kesepakan itu nantinya akan
dijadikan aturan main dalam mengelola negara atau pemerintahan. Aturan main

yang pada dasarnya merupakan kontrak sosial ini dikenal dengan sebutan mitsaq
Madinah atau konstitusi Madinah. Konstitusi Madinah pada dasarnya merupakan
kesepakan bersama yang dibuat oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat guna
membangun tatanan pemerintahan yang adil dengan tanpa membedakan suku, ras,
golongan atau agama.5
Piagam atau konstitusi Madinah inilah yang kemudian dijadikan acuan
oleh Nabi Muhammad SAW dalam memimpin masyarakat Madinah. Dengan
adanya konstitusi Madinah ini, maka Nabi Muhammad SAW tidak mengalami
kesulitan untuk memadukan misinya sebagai pemimpin moral dan agama dengan
amanat yang diterimanya dari masyarakat untuk menduduki kepemimpinan
politik.6
Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Nabi di Madinah bukanlah
merupakan representasi sebagai seorang kepala negara melainkan berposisi
sebagai seorang Nabi yang menyampaikan risalah ilahiyah, maka peran utama
beliau adalah mengajak menegakkan syari’at. namun tampilnya Nabi dalam
kedudukan demikian mempunyai implikasi politis karena telah menjadikan
mereka yang tinggal di jazirah Arab satu umat yang tunduk pada satu
pemerintahan. Artinya, kalau dulu kabilah yang dijadikan dasar kesatuan politik,
kini dasar itu adalah umat. Pada saat Nabi dipercaya untuk memimpin umat,
dibuatlah asas atau prinsip umum sebagai landasan berdirinya negara baru berikut

5 Menurut analisis Watt, Nabi Muhammad bukan hanya sebagai seorang Nabi bahkan
beliau juga merupakan seorang kepala negara. Untuk lebih jelasnya lihat W. Montgomery Watt,
Muhammad Prophet and Statesman menyatakan bahwa Muhammad SAW bukan hanya nabi tapi
juga kepala negara (negarawan)
6 Munawir Syazali mengatakan bahwa Piagam Madinah, yang oleh banyak pakar politik
didakwakan sebagai konstitusi negara Islam yang pertama dan dijadikan sebagai acuan untuk
pembentukan negara Islam bahkan sebagai dasar dalam politik Islam. Munawir Sjadzali, Islam
dan Tata Negara, Jakarta . UI Press, 1990, hlm.15-16

3

perundang-undangannya (qawanin). Oleh karena itu pemerintahan Rasul sampai
batas tertentu adalah pemerintahan agama. Pemerintahan ini bersandar pada
keyakinan masyarakat bahwa aturan atau prilaku Nabi dibimbing wahyu dari
Allah dan atas dasar perintah-Nya. Jadi pemerintahan ini didasarkan atas adanya
ikatan agama yang menggantikan ikatan kabilah. Inilah yang menjadikan
beberapa kabilah mau tunduk dan bergabung dalam satu panji. Akan tetapi
disamping itu dijumpai adanya atribut-atribut pemerintahan politik yang melekat
pada tangan Nabi, semacam memimpin militer, memutus persengketaan dan
menarik harta. Selanjutnya dalam neyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak

disingung oleh wahyu, kedudukan Nabi seperti syaikhul kabilah akan
bermusyawarah dan minta pendapat tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar.7
Persoalan politik, terutama konsepsi tentang negara dan pemerintahan
telah menimbulkan diskusi panjang dan kontroversi di kalangan pemikir muslim
dan memunculkan perbedaan pandangan yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan
tidak hanya terhenti pada tataran teoritis konseptual tetapi juga memasuki wilayah
politik praktis sehingga acapkali membawa pertentangan dan perpecahan di
kalangan umat Islam.8 Tulisan ini berusaha untuk mengkaji relasi antara agama,
politik dan kekuasaan dalam Islam. Bagaimana relasi agama dan negara dalam
Islam, dasar dan prinsip politik Islam serta pembagian kekuasaan menurut para
pemikir politik Islam.
Hubungan Antara Agama dan Negara dalam Islam
Secara garis besar para teoretisi politik Islam merumuskan teori-teori
tentang hubungan agama dan negara serta membedakannya menjadi tiga
paradigma yaitu Paradigma Integralistik, Paradigma Simbiotik, dan Paradigma
Sekularistik.9 Pertama, Paradigma Integralistik. Paradigma ini menerangkan
bahwa agama dan negara menyatu (integrated), negara merupakan lembaga
7 Nurrohman, Politik Islam antara Cita dan Realita dalam Jurnal Al-Qurba, 2 (1):14-30,
2011, h. 21
8Said Agil Husin al-Munawar, “Fikih Siyasah dalam Konteks Perubahan Menuju

Masyarakat Madani”, Jurnal Ilmu Sosial Keagamaan, Vol. 1, No. 1, Juni 1999, h. 17.
9 Marzuki Wahid & Rumaidi, “Fiqh Madzhab Negara” Kritik Atas Politik Hukum Islam
Di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 2. Bandingkan dengan

4

politik dan keagamaan sekaligus, politik atau negara ada dalam wilayah agama.
Karena agama dan negara menyatu maka ini berakibat masyarakat tidak bisa
membedakan mana aturan negara dan mana aturan agama, karena itu rakyat yang
menaati segala ketentuan dan peraturan negara dalam paradigma ini dianggap taat
kepada agama, begitu juga sebaliknya. Karena rakyat tidak dapat melakukan
kontrol terhadap penguasa yang selalu berlindung dibalik agama maka
otoritarianisme dan kesewenang-wenangan oleh penguasa tentu saja sangat
potensial terjadi dalam negara dengan model seperti ini. Kepala negara merupakan
“penjelmaan” dari Tuhan yang meniscayakan ketundukan mutlak tanpa ada
alternatif yang lain. Atas nama “Tuhan” penguasa bisa berbuat apa saja dan
menabukan perlawanan rakyat.10 Secara singkat dapat dikatakan bahwa inti
landasan teologis paradigma pertama ini adalah keyakinan akan watak holistik
Islam. Premis keagamaan ini dipandang sebagai petunjuk bahwa Islam
menyediakan ajaran yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Bahkan,

sudut pandang khusus ini menjadi basis utama pemahaman bahwa Islam tidak
mengakui pemisahan antara agama dan negara, antara yang transendental dan
yang profan11
Kedua, Paradigma Simbiotik. Paradigma ini berpandangan bahwa agama
dan negara berhubungan secara mutualistik, yaitu berhubungan timbal balik dan
saling membutuhkan-menguntungkan. Dalam kaitan ini, agama membutuhkan
negara. Sebab, melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum
agama juga dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya,
Negara memerlukan kehadiran agama, karena hanya dengan agama suatu negara
dapat berjalan dalam sinaran etik-moral.12
Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini memisahkan agama atas
negara dan memisahkan negara dari agama. Dengan pengertian ini secara tidak
langsung akan menjelaskan bahwa paradigma ini menolak kedua paradigma
10 Dalam terminologi Islam hal ini dikenal dengan nama din wa dawlah. Untuk lebih
jelasnya lihat Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik
Islam, dalam Jurnal Ulumul Qur`an, Nomor 2, Vol. IV, tahun 1992, h. 4-7.
11Lihat Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, h. 57. Bandingkan
dengan Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 1
12 Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab… h. 24-26


5

sebelumnya. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara
kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam pada bentuk negara
tertentu.13
Namaun saat ini pemikiran tentang politik Islam mengenai pemerintahan,
paling tidak mengerucut kedalam tiga kelompok besar. Pertama, Kelompok
konservatif. Mereka berpendapat bahwa Islam adalah entitas yang serba
lengkap (perfect), seluruh umatnya hanya tinggal mempraktekkan secara
konsekuen dan bertanggungjawab, kapan dan dimanapun mereka berada. Sistem
pemerintahan dan politik yang digariskan Islam tak lain hanya sistem yang pernah
dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan empat al-Khulafā’ ur-rasyidīn.
Kelompok

ini

secara

spesifik


terbagi

lagi

kedalam

dua

aliran

yakni tradisionalisme dan fundamentalisme. Kalangan tradisionalis adalah mereka
yang tetap ingin mempertahankan tradisi pemerintahan ala Nabi dan keempat
khalifah, dan tokoh sentral dari kalangan ini adalah Muhammad Rasyid Ridha.
Kalangan fundamentalis adalah mereka yang ingin melakukan reformasi sistem
sosial, sistem pemerintahan dan negara untuk kembali kepada konsep Islam secara
total dan menolak konsep selainnya, dan Abu al-A’la al-Maududi adalah salah satu
tokoh utamanya. Kedua, Kelompok Modernis. Kelompok ini memandang bahwa
Islam mengatur masalah keduniaan (termasuk pemerintahan dan negara) hanya
pada tataran nilai dan dasar-dasarnya saja dan secara teknis umat bisa mengambil
sistem lain yang dirasa bernilai dan bermanfaat. Diantara tokoh kelompok ini

adalah Muhammad Abduh, Muhammad Husain Haikal dan Muhammad Asad.
Ketiga, Kelompok Sekuler. Yang memisahkan Islam dengan urusan pemerintahan,
karena mereka berkeyakinan bahwa Islam tidak mengatur masalah keduniawian
termasuk pemerintahan dan negara. Tokoh aliran ini yang paling terkenal dan
bersuara lantang adalah Ali ‘Abd ar-Raziq.14
Prinsip dan Dasar Kekuasaan Dalam Politik Islam

13 Ibid., h. 28.
14 Masykuri Abdilah, Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah Perspektif
Sejarah dan Demokrasi Modern, Tashwirul Afkar, No. 7, Th. 2000, h. 103.

6

Sedangkan untuk masalah dasar dan prinsip politik Islam para pemikir
Islam kontemporer merumuskan beberapa prinsip dan dasar politik Islam. Yang
dimaksud dengan prinsip-prinsip dasar dalam uraian ini adalah dasar-dasar atau
asas-asas kebenaran fundamental, petunjuk peraturan moral yang terkandung
dalam suatau ajaran yang dijadikan sebagai landasan berpikir, bertindak, dan
bertingkah laku manusia dalam mengelola suatu negara. Al-Maududi, Jamal alBanna, Abdul Qadir Audah, M. Husein Haikal, Yusuf Musa, Abdul Rahman Abdul
Kadir Kurdi, Mohamed S. Elwa mengemukakan beberapa prinsip dan dasar
politik Islam antara lain:
Pertama, kedaulatan, yakni kekuasaan itu merupakan amanah. Kedaulatan
yang mutlak dan legal adalah milik Allah. Kepercayaan itulah yang merupakan
satu-satunya titik awal dari filsafat politik dalam Islam. Kedaulatan mutlak dalam
pandangan Jamal al-Banna dikenal dengan termninologi keimanan, menurutnya,
iman adalah prinsip dasar Islam yang pertama dan utama bagi pengelolaan hidup
bermasyarakat dan bernegara.15 Pendapat senada juga disampaikan oleh Husain
Haikal, dengan istilah yang berbeda, yaitu tauhid16.
Kedua, prinsip keadilan. Salah satu ciri khas kehidupan Islami dan
masyarakat muslim adalah ditegakkannya keadilan. keadilan merupakan nilainilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai aspek kehidupan,
baik kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat. Keadilan adalah memberikan
sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus
diperoleh tanpa diminta; tidak bersifat berat sebelah, atau tidak memihak kepada
salah satu pihak; mengetahui hak dan kewajiban serta megerti mana yang benar
dan mana yang salah, bertindak jujur dan tepat menurut peraturan yang
diterapkan. Keadilan tersebut tidak mungkin terealisasi jika tidak ada suatu sistem
atau lembaga yang menegakkannya. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan
ekonomi dan keadilan dalam hukum, Keadilan dalam menentukan kebijakan, dan

15Jamal Al-Banna, Al-Ushul al-Fikriyyah lid- Daulah, al-Islamiya. (Kairo: Dār
Thabā’ah al-Hadītsah, 1979), h. 9
16Musdah Mulia, Negara Islam; Pemikiran Politik Husain Haikal. (Jakarta:
Paramadina.: 2001), h. 65

7

keadilan dalam perlindungan anak.17 Ketika sebuah negara mampu menciptakan
keadilan akan dapat menciptakan suatu negara ideal tanpa adanya penindasan dan
eksploitasi, sehingga rakyat merasa mulia dan terhormat.
Ketiga, syura dan ijma’ yakni mengambil keputusan di dalam semua
urusan kemasyarakatan dilakukan melalui konsensus dan konsultasi dengan
semua pihak yakni rakyat melalui pemilihan secara adil, jujur, dan amanah. Syuro
merupakan sebuah sistem permusyawaratan yang digunakan Nabi dalam setiap
proses pengambilan keputusan mengenai urusan-urusan publik. Di luar urusan
wahyu dari Allah swt, nabi Muhammad dikenal tidak pernah mengambil
keputusan apa pun juga kecuali melalui musyawarah dengan sesama para sahabat.
Bahkan, untuk urusan-urusan yang penting dan menyangkut kepentingan orang
banyak dan masyarakat yang luas, Rasulullah selalu mengundang tokoh-tokoh
sahabat yang berasal dari kabilah, suku, atau pun kalangan-kalangan yang
bersangkutan untuk diajak bermusyawarah.
Mengapa permusyawaratan dianggap sangat penting dalam sistem sosial
Islam? Alasan konseptualnya jelas, karena Islam sangat menekankan kedudukan
setiap manusia sebagai pribadi yang otonom, yang masing-masing orang per
orang diberi predikat sebagai ‘khalifah’ Allah di atas muka bumi. Berbeda dari
pengertian ‘khalifah rasul’, ‘khalifah Allah’ adalah konsep tentang seluruh umat
manusia yang dipandang sebagai khalifah atau pengganti Tuhan untuk mengolah
dan mengelola kehidupan di atas muka bumi. Dengan status yang sama sebagai
khalifah Tuhan, maka setiap manusia bersifat otonom, berkesamaan dan bersifat
egaliter. Oleh sebab itu, dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan
yang sama, semua orang harus diperlakukan sama (equal treatment), tidak boleh
ada diskriminasi atas dasar ras dan kesukuan. Bahkan, diskriminasi juga dilarang
atas dasar perbedaan jenis kelamin maupun perbedaan keyakinan beragama.18
17Hendra Meygautama, “Legislasi Hukum Islam Melalui Mekanisme Syura”,
ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Vol II No. II. 2009, h. 110. Bandingkan
dengan Muhammad Alim, Asas-Asas Negara Hukum Modern. (Jokyakarta: LKIS, 2010), h. 316.

18 Jimly Asshiddiqie, Islam dan Tradisi Negara Konstitutional, Makalah, Disampaikan
sebagai Keynote Speech dalam Seminar Indonesia-Malaysia yang diselenggarakan oleh UIN/IAIN
Padang, 7 Oktober 2010, h. 18
8

Ketiga, semua warga negara dijamin hak-hak pokok tertentu. Beberapa
hak warga negara yang perlu dilindungi adalah: jaminan terhadap keamanan
pribadi, harga diri dan harta benda, kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat
dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan hukum secara adil tanpa
diskriminasi, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan medis
dan kesehatan, serta keamanan untuk melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi.19
Keempat, hak-hak negara. Semua warga negara, meskipun yang oposan
atau

yang

bertentangan

pendapat

dengan

pemerintah

sekalipun,

mesti

tunduk kepada otoritas negara yaitu kepada hukum-hukum dan peraturan negara.
Kelima, hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi warga negara yang nonMuslim memiliki hak-hak sipil yang sama. Karena negara ketika itu adalah negara
ideologis, maka tokoh-tokoh pengambilan keputusan yang memiliki posisi
kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr), mereka harus sanggup menjunjung
tinggi syari’ah. Dalam sejarah politik Islam, prinsip dan kerangka kerja
konstitusional pemerintahan seperti ini, terungkap dalam Konstitusi Madinah atau
“Piagam Madinah” pada era kepemimpinan Rasulullah di Madinah, yang
mengayomi masyarakat yang plural.
Keenam, ikhtilaf dan konsensus yang menentukan. Perbedaan-perbedaan
pendapat diselesaikan berdasarkan keputusan dari suara mayoritas yang harus
ditaati oleh seluruh masyarakat. Prinsip mengambil keputusan menurut suara
mayoritas ini sangat penting untuk mencapai tujuan bersama.
Ketujuh, Istilah syar’iyyah adalah paduan dari dua kata Asy-Syar’u dan
Asy-Syarī’ah yang merupakan salah satu prinsip utama negara Islam. Menurut
Jamal al-Banna, Syar’iyyah meliputi beberapa hal: Pertama, Undang-undang atau
hukum yang diberlakukan tidak berlandaskan atas suatu keinginan pribadi,
penguasa, kehendak sewenang-wenang dari lembaga yudikatif, atau hanya
menguntungkan salah satu kelompok masyarakat. Undang-undang dikeluarkan
harus berdasarkan al-Qur’an dan Sunah Nabi yang shahih atau yang mengandung
atau sejalan dengan nilai-nilai dari keduanya. Kedua, dalam syariat Islam, suatu
19Untuk lebih jelasnya lihat Subhi Mahmassani, Arkan Huquq al-Insan, (Haiderabad:
Darl al-Maktabah, 1986).

9

undang-undang tidak hanya diilhami dari al-Qur’an dan Sunah nabi, namun juga
didasari oleh realita dan prinsip-prinsip keadilan seperti apa yang difirmankan
Allah dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul -Nya. Sejarah
mencatat kitab-kitab tersebut adalah buku petunjuk yang paling berharga bagi
kehidupan manusia. Ketiga, Syar’iyyah adalah hukum tertinggi dalam suatu
masyarakat. Penerapan undang-undang diberlakukan kepada seluruh masyarakat
tanpa pandang bulu atau pilih kasih kepada siapapun, bahkan kepada seorang nabi
sekalipun yang diperintahkan untuk menjalankan hukum seperti apa yang telah
ditetapkan oleh Allah Swt.20
Prinsip-prinsip politik tersebut mengejawantah pada periode Negara
Madinah era kepemimpinan Rasulullah. Dalam Piagam Madinah, digalang suatu
perjanjian untuk menetapkan persamaan hak dan kewajiban semua komunitas
dalam kehidupan sosial politik. Muatan piagam ini menggambarkan hubungan
antara Islam dan ketatanegaraan dan undang-undang yang diletakkan oleh Nabi
SAW, untuk menata kehidupan sosial-politik masyarakat Madinah. Dengan
mengetahui dan mempelajari tentang politik Islam, dimana semua prinsip-prinsip
yang terkandung telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, maka sepatutnya kita
juga mengikuti alur dari prinsip-prinsip politik Islam sehingga segala persoalan
politik negara di era globalisasi tidak menjadi kacau dan dapat terlaksana dengan
baik.21
Pembagian Kekuasaan Dalam Perspektif Islam
Dari hasil penelitian Zainuddin Maliki, agama dengan simbol-simbol yang
yang dilahirkannya seringkali diambil oleh para pemegang kekuasaan sebagai
sumber legitimasi.22 Menurutnya tingkat persebaran dan kemampuan agama
memberi makna serta signifikansi terhadap kehidupan dunia yang profan menjadi
sesuatu yang berarti secara transendental menyebabkan agama memiliki tingkat

20Hasan Al-Banna, Al-Ushul… h. 56
21Efrinaldi, Fiqh Siyasah Dasar-Dasar Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Granada
Press, 2007).
22 Untuk lebih jelasnya tentang jenis-jenis penguasa lihat Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1981), h. 8-9.

10

efektifitas legitimasi yang begitu tinggi dan dapat dikelola sebagai sumber daya
politik yang efektif. 23
Karenanya dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi
pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem
pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya
seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja.
Apalagi jika kekuasaan itu di warnai dengan paham teokrasi yang menggunakan
prinsip kedaulatan Tuhan, maka kekuasaan Raja semakin absolute dan tak
terbantahkan sebagaimana yang telah tergoreskan dalam sejarah peradaban Mesir,
Yunani dan Romawi kuno, peradaban China, India, hingga peradaban Eropa. 24
Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan
kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga
pemegang kekuasaan.
Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan merupakan asas perlawanan yang
bersandar dari sistem pemerintahan demokrasi. Prinsip ini memandang perlunya
memberikan jaminan kebebasan/al-hurriyah serta menghapus kediktatoran dan
kesewenang-wenangan/al-istibdad.

Maksudnya,

prinsip

ini

memberikan

kekuasaan Negara kepada beberapa lembaga yang berbeda dan independent tanpa
memusatkan kekuasaan pada satu tangan atau lembaga.
Pemikir

politik

Islam

pada

zaman

kontemporer

yang

banyak

menyumbangkan pemikiran dalam kajian kekuasaan yudikatif adalah Abul A‟la
al-Maududi, menurutnya kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau
badan legislatif,25 eksekutif26 dan yudikatif, dengan ketentuan bahwa badan
yudikatif atau lembaga peradilan itu sepenuhnya berada di luar lembaga eksekutif
23 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, Makna Agama di tangan Elit Penguasa,
(Jogjakarta: Pustaka Marwa, 2004) h. 3.
24M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlurrahman, (Jogjakarta: UII
Press, 2006) h. 35-42
25Ada beberapa hal yang membedakan antara kekuasaan eksekutif dalam Islam dan
dewan eksekutif dalam sistem demokrasi khususnya di indonesia yakni: Struktur legislatif terdiri
dari Majlis al Syuri al Islami (dewan legislasi), Majlis al-Fuqaha (Dewan yuris), dan Majlis alKhubara (dewan Profesional), untuk lebih jelasnya tentang jenis legislasi dalam Islam lihat
Abdulrahman Abdul Kadir Kurdi, Tatanan Sosial Islam Studi Berdasarkan al-Qur’an dan Hadits,
(Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 153
26Untuk peran dan fungsi dari lembaga eksekutif dalam Islam lihat Abdul Kadir Kurdi,
ibid. h. 173-183.

11

yang berarti mandiri, objektif dan profesional, oleh karena hakim tugasnya adalah
melaksanakan hukum-hukum Allah atas hamba-hamba-Nya, bukan mewakili atau
atasnama kepala negara (eksekutif). 27
Dalam sidang pengadilan menurut Maududi, kedudukan kepala negara
adalah sama tinggi dengan orang-orang lain dan tidak dapat dibenarkan pemberian
dispensasi kepada seseorang untuk tidak hadir pada sidang pengadilan hanya
karena kedudukannya dalam pemerintahan atau dalam masyarakat. Dari sini
terlihat jelas bahwa prinsip equality among the law benar-benar diterapkan oleh
Maududi dimana antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif keduanya
sama, termasuk apabila aparat eksekutif melanggar hukum, maka proses
penerapan hukumnya sama di mata hukum dan hakim sebagai pelaksana
kekuasaan yudikatif bebas mandiri tanpa intervensi pihak manapun sehingga
penegakan hukum dapat berjalan tanpa tebang pilih dan pandang bulu.28
Selanjutnya Maududi juga secara tegas memaparkan bahwa dalam Islam,
badan yudikatif harus bebas sama sekali dari badan eksekutif. Tugas seorang
hakim dalam pandangan Maududi ialah melaksanakan dan memaksakan syariat
Allah di kalangan abdi-Nya. Dia bukanlah menduduki jabatan pengadilan itu
dalam kapasitas wakil khalifah atau amir (pemimpin), melainkan sebagai wakil
Allah Yang Mahakuasa. Kedudukan seorang hakim di sini sangat jelas bahwa
sosok seorang hakim menurut Maududi bukan hanya sebagai pelaksana kekuasaan
yudikatif yang bebas, mandiri dan profesional, melainkan lebih dari itu hakim
mempunyai hak sepenuhnya untuk melaksanakan hukum Allah terhadap khalifah.
Hukum yang dimaksud bukan hanya hukum yang terkodifikasi dalam bentuk
undang-undang, tetapi lebih dari itu adalah hukum yang bersumber dari al-Quran
dan Hadits.29
Dari pandangan Maududi tersebut, nampaknya terdapat kejanggalan dalam
memandang konsep kekuasaan yudikatif. Maududi yang kita kenal sangat kental
dengan pemikiran Islam, karena latar belakang beliau yang dibesarkan dalam
lingkungan Islam yang taat, dan pembinaan yang beliau terima sepanjang hidup
27Abul A’la al-Maududi, Political Theory of Islam, (Lahore 1939), h.60.
28Ibid
29Ibid h. 61

12

sehingga terbentuklah karakter seorang Abul A’la al-Maududi yang anti Barat.
Maududi sangat gigih memperjuangkan syariat Islam sehingga pendapat beliau
tentang kekuasaan yudikatif benar-benar jelas dan terperinci. Hukum yang
ditegakkan adalah hukum Islam yang bersumber dari nash. Hakim adalah sebagai
wakil Allah yang menjalankan hukum nash.
Akan tetapi, penulis mencermati bahwa konsep Maududi tentang
kekuasaan negara yang dilakukan oleh badan eksekutif, legislatif dan yudikatif
merupakan konsep Trias Politica yang pada dasarnya berasal dari Barat, yang
secara keras ditolak oleh Maududi. Sebenarnya, baik dalam ajaran maupun sejarah
Islam tidaklah terdapat gagasan Trias Politica, Maududi menjanjikan sistem
politik Islam yang paripurna tanpa harus melihat kepada sistem Barat. Tetapi,
ketika sampai kepada persoalan pembagian kekuasaan Negara, beliau masih
menganut sistem Barat dengan konsep Trias Politica dan belum memberikan
konsep alternatif yang benar-benar bersumber dari nash.
Selain Ibnu Taimiyah yang mewakili pemikir politik Islam zaman klasik
dan pertengahan, dan Abul Ala al-Maududi yang muncul sebagai pemikir Islam
kontemporer, sekarang penulis akan memaparkan pemikir Islam kontemporer
sebagai pelengkap dari para pemikir sebelumnya. Adalah Abd al-Wahhab Khallaf
seorang pakar hukum Islam pada fakultas hukum Universitas Kairo di Mesir,
sejauh ini kita mengenal Prof. Abd al-Wahhab Khallaf sebagai ahli dalam bidang
hukum Islam terutama kajian ushul al-Fiqh (dasar-dasar hukum Islam) bukan
yang lain. Akan tetapi, disanalah uniknya, ternyata Prof. Abd al-Wahhab Khallaf
juga banyak mengamati persoalan hukum tata negara Islam dan aliran politik
Islam. Hal itu dapat dilihat dalam bukunya berjudul Al-Siyasah al-Syar’iyyah,
beliau membahas dasar-dasar politik dan pemerintahan dalam perspektif Islam.
Pembahasan beliau dalam buku tersebut banyak berkaitan dengan upaya
pelaksanaan prinsip-prinsip syariat Islam dan kemaslahatan umat. Artinya, untuk
melaksanakan dua aspek ini dari segi siyasah syar’iyah memerlukan adanya
lembaga sebagai instrument pelaksanaannya, yaitu pemerintahan.30
30Bandingkan dengan Alimuddin, Kekuasaan Yudikatif dalam Pemikiran Politik Islam,
makalah, h. 10

13

Menurut Khallaf, pembagian kekuasaan adalah sebuah keniscayaan,
sebagai konsekuensi dari pemerintahan konstitusional yang bersendikan
musyawarah. Kewenangan kepala negara berasal dari rakyat dan adanya
pertanggung jawaban kepala negara. Lebih lanjut Khallaf menegaskan bahwa
kekuasaan negara dapat didelegasikan kepada, kekuasaan membuat undangundang (al-sulthat at-tasyri‟iyat), kekuasaan peradilan atau kekuasaan kehakiman
(al-sulthat al-qadhaiyat), dan kekuasaan melaksanakan undang-undang (alsulthat al-tanfiziyat) masing-masing istilah dapat diidentikkan dengan istilah
kekuasaan legislatif, eksekutif dan kekuasaan yudikatif.31
Dari ketiga pemikiran para ahli tersebut di atas, konsep kekuasaan
yudikatif dalam pemikiran politik Islam lebih mengena pada pemikiran Abd alWahhab Khallaf. Alasannya, Ibnu Taimiyah dan Abul A’la al-Maududi sama-sama
berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga aspek, kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan kekuasaan yudikatif, hal itu sejalan dengan pendapat Abd
al-Wahhab Khallaf. Tetapi, dalam penerapan hukum yang dilakukan seorang
hakim sebagai pelaksana badan yudikatif, Ibnu Taimiyah tidak secara spesifik
menjelaskan, hanya sebatas penerapan hukum pidana dan hukum muamalah saja,
sementara Abul A’la al-Maududi lebih berani menyatakan bahwa penerapan
hukum tidak boleh pandang bulu dan tebang pilih, prinsip persamaan di muka
hukum harus ditegakkan tanpa terkecuali. Hukum yang dimaksudkan beliau
adalah hukum Allah yang bersumber dari nash. Akan tetapi argumentasi Maududi
dimentahkan dengan kiprah beliau yang anti Barat, dan fanatik pada syariat Islam,
sedangkan pendapat beliau tentang Trias Politica sangat bertentangan dengan
tindak tanduk beliau.
Mengamati dua pendapat pemikir politik Islam tersebut, nampaknya
pemikiran Abd al-Wahhab Khallaf lebih mudah diterima dan dipahami,
31John Locke, ketika masa pemerintahan parlementer mengusulkan agar kekuasaan di
dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda.
Menurutnya agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembagian pemegang
kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan yaitu Kekuasaan Legislatif, Kekuasaan
Eksekutif, dan kekuasaaan Federatif. Pendapat John Locke inilah yang mendasari munculnya teori
pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan
(absolut) dalam suatu negara.

14

kendatipun Khallaf tidak terperinci memaparkan konsep pembagian kekuasaan
dalam negara, tetapi istilah yang ditawarkan beliau sejalan dengan konsep Trias
Politica. Khallaf tidak serta merta menjadikan al-Qur’an dam hadits sebagai
referensi utama pelaku kekuasaan yudikatif (kehakiman) yaitu hakim. Namun
demikian, Khallaf juga memberikan tawaran bijaksana bahwa ijtihad masih
terbuka lebar dan menjadi sumber hukum bagi penguasa, sepanjang tidak
bertentangan dengan nash dan kemaslahatan rakyat.

Pembagian Kekuasaan dalam Teori Politik Modern (Sebuah Perbandingan)
1) Prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam teori politik
kenegaraan (konstitusional).
a.

Pemisahanatau pembagian Kekuasaan Menurut John Locke
John Locke, ketika masa pemerintahan parlementer/al-hukumah an-

niyabiyah dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment”
mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ
negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurutnya agar pemerintah
tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembagian pemegang kekuasaankekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:
1.

Kekuasaan Legislatif/Sulthah Tasyri'iyah (membuat undang-undang)

2.

Kekuasaan Eksekutif/Sulthah Tanfidziyah (melaksanakan undang-undang)

3.

Kekuasaaan Federatif/Sulthah Ittihadiyah atau Ta'ahudiyah (melakukan
hubungan diplomtik dengan negara-negara lain seperti:mengumunkan perang
dan perdamaian, dan menetapkan perjanjian-perjanjian).

15

Pendapat John Locke inilah yang mendasari munculnya teori pembagian
kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan
(absolut) dalam suatu negara.
b.

Pemisahan atau pembagian Kekuasaan Menurut Montesquieu
Menurut Montesquieu dengan teorinya trias politica yang tercantum dalam

bukunya “L’esprit des Lois” selaras dengan pikiran John Locke, membagi
kekuasaan dalam tiga cabang :
1. Kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang
2. Kekuasaan Eksekutif sebagai pelaksana UU
3. Kekuasaan Yudikatif yang bertugas menghakimi.
Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan Negara
modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the
executive function), dan yudisial (the judicial function).32
Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan
oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
1.

Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang
mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan
undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri)
merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.

2.

Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif
karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif,
sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri
sendiri dan terpisah dari eksekutif.

3.

Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian
kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima.

c.

Pemisahan Kekuasaan Menurut Rousseau

32 Jimmly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Bandung: Mizan, 1998), h.
.13

16

Menurut Rousseau filsuf kelahiran Geneva/jenewa abad 18, kekuasaan
terbatas pada eksekutif yang merupakan hak rakyat semata. Dan kekuasaan ini
tidak di lakukan kecuali hasil kesepakatan rakyat. Adapun legislatif menurutnya
hanyalah penengah dan perantara rakyat dengan kekuasaan eksekutif yang
menetapkan undang-undang dan tunduk sepenunya pada kekuasaan eksekutif
yang merupakan representasi dari keinginan umum rakyat. Dia juga setuju dengan
adanya kekuasaan yudikatif.
Dan dari pemikirannya ini, sebagian ahli hukum berpendapatbahwa
Rousseau bukanlah pendukung gagasan pemisahan kekuasaan Negara, karena
kekuasaan menurutnya hanya pada rakyat yang sekaligus bertindak sebagai
eksekutor. Dan legislative hanyalah perantara belaka.33
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu,
yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif,
dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari
kekuasaan-kekuasaan itu antara lain: .
Cabang kekuasaan legislatif:
1.

Fungsi Pengaturan (legislasi)
Fungsi legislasi ini menyangkut 4 kegiatan:

a.

Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);

b.

Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);

c.

Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment
approval);

d.

Pemberian persetujuan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan
internasional dan dokumen-dokumen hokum yang mengikat lainnya (binding
decision making on international agreement treaties or other legal binding
documents).34

2.

Fungsi Pengawasan (control)
33Fuad Muhammad An-Naadi, An-nuzum as-siyasiyah, (Libanon: Darl al Fikr, tt), h.205.
34 Jimmly Asshiddiqie, Pengantar... h. 34.

17

Fungsi-fungsi control atau pengawasan oleh parlemen sebagai berikut:
a.

Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making);

b.

Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);

c.

Pengawasan terhadap penganggaran dan pembelanjaan Negara (control of
budgeting)

d.

Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja Negara (control of
budget implementations);

e.

Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government
performances);

f.

Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat public (control of political
appointment of public officials).35

3.

Fungsi perwakilan (representation)
Ada 3 (tiga) system perwakilan yang di praktikkan di berbagai Negara

demokrasi, ketiga fungsi itu adalah :36
a.

System perwakilan politik (political representation);

b.

System perwakilan territorial (territorial or regional representation);

c.

System perwakilan fungsional (functional representation).

Cabang Kekuasaan Yudikatif terdiri dari :
1.

Kedudukan kekuasaan kehakiman
Dalam kegiatan bernegara, kedudukan hakim pada pokoknya bersifat

sangat khusus. Dalam hubungan kepentingan yang bersifat triadik (triadic
relation) antara Negara (state), pasar (market), dan masyarakat madani (civil
society), kedudukan hakim haruslah berada di tengah. Demikian pula dalam
hubungan antara negara (state) dan warga negara (citizens), hakim juga harus
berada di antara keduanya secara seimbang. Jika Negara dirugikan oleh warga
negara, karena warga Negara melanggar hukum negara, maka hakim harus
35 Ibid, h. 36.
36Ibid, h. 40.

18

memutuskan hal itu dengan adil. Jika warga negara dirugikan oleh keputusankeputusan negara, baik melalui perkara tatausaha negara maupun perkara
pengujian peraturan, hakim juga harus memutusnya dengan adil. Jika antarwarga
negara sendiri atau pun dengan lembaga-lembaga negara terlibat sengketa
kepentingan perdata satu sama lain, maka hakim atas nama Negara juga harus
memutusnya dengan seadil-adilnya pula.
Oleh karena itu, hakim dan kekuasaan kehakiman memang harus
ditempatkan sebagai cabang kekuasaan yang tersendiri. Oleh sebab itu, salah satu
ciri yang dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis
(democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum
(constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen
dan tidak berpihak (independent and impartial). Apapun sistim hukum yang
dipakai dan sistim pemerintahan yang dianut, pelaksanaan the principles of
independence and impartiality of the judiciary haruslah benar-benar dijamin di
setiap negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy).37
Lembaga peradilan tumbuh dalam sejarah umat manusia dimulai dari
bentuk dan sistimnya yang sederhana. Lama-lama bentuk dan sistim peradilan
berkembang menjadi semakin kompleks dan modern. Oleh karena itu, seperti
dikemukakan oleh Djokosoetono38 ada empat tahap dan sekaligus empat macam
rechtspraak yang dikenal dalam sejarah, yaitu:
a.

Rechtspraak naar ongeschreven recht (hukum adat), yaitu pengadilan yang
didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti pengadilan adat;

b.

Rechtspraak naar precedenten, yaitu pengadilan yang didasarkan atas prinsip
presedent atau putusan-putusan hakim yang terdahulu, seperti yang
dipraktikkan di Inggris;

c.

Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas kitabkitab hukum, seperti dalam praktik dengan pengadilan agama (Islam) yang
menggunakan kompendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah wal-jama’ah
atau kitab-kitab ulama syi’ah; dan
37 Ibid, h. 47-48.
38Djokosoetono, Hukum Tata Negara (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h. 117

19

d.

Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas
ketentuan undang-undang atau pun kitab undang-undang. Pengadilan
demikian ini merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau moderne
wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang bersifat
tertulis (schreven wetgeving).

Pelembagaan Kekuasaan
Hubungan antara negara dan kekuasaan sama sekali tidak dapat
dipisahkan. Negara merupakan lembaga yang mempunyai kekuasaan tertinggi,
dan dengan kekuasaan itu pula negara melakukan pengaturan terhadap
masyarakatnya. Dalam kaitan ini Arief menyatakan bahwa kekuasaan negara yang
sedemikian besar akibat negara merupakan pelembagaan dari kepentingan umum .
Sejumlah teoritisi juga menyatakan bahwa negara berhak serta mempunyai
kekuasaan penuh terhadap masyarakatnya. Hal ini, misalnya, diwakili oleh
pandangan Plato dan Aristoteles, agama Kristen (yang diwakili oleh institusi
gerejanya), Grotius dan Hobbes, serta Hegel.
Dalam berbagai analisis terhadap pemikiran para teoritisi tersebut,
seringkali, muncul suatu tendensi untuk melakukan kecaman. Thomas Hobbes
seringkali dikecam karena pandangan-pandangannya yang ekstrem dalam
mendudukkan negara untuk mendapatkan otoritas tertinggi. Bahkan Hobbes
sendiri menyatakan secara tegas bahwa ketakutan yang diciptakan oleh kekuasaan
(negara) akan menjadikan penguasaan semakin efektif. Sebab, dengan cara
demikian, masyarakat yang diliputi oleh berbagai ketakutan secara otomatis
bergerak bagaikan jarum jam. Di sinilah Hobbes mendambakan negara
sebagaimana layaknya Leviathan. Namun, pandangan Hobbes yang sangat
ekstrem itu haruslah diketahui konteks kelahirannya. Karena, apabila membaca
pikiran-pikiran Hobbes sama sekali tercerabut dari peristiwa yang mendahuluinya,
akan melahirkan berbagai penilaian yang sangat a-historis.39
Demikian juga pendapat Hegel mengenai negara integral yang seolah-olah
bersifat totaliter serta mengungkung masyarakat tanpa memberikan ruang gerak
39 Lihat, misalnya, Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral (Jakarta: Gramedia, 1995).

20

sedikit pun. Bayangan Hegel mengenai keberadaan negara adalah suatu lembaga
kekuasaan yang rasional. Dalam lembaga negara tersebut haruslah didukung oleh
aparat-aparat yang bersih, terutama dari tindak korupsi. Bahkan, dalam pandangan
Hegel, negara menjadi sarana bagi masyarakat untuk menemukan kebebasannya
yang hakiki. Maka negara menjadi institusi yang menuntun masyarakat ke arah
kesempurnaan sejarah. Negara mempunyai kedudukan sebagai roh obyektif yang
mampu mewadahi roh-roh subyektif dalam masyarakat. 40
Kalau teori negara Hegelian ini kemudian diterapkan secara fasistik oleh
Hitler, barangkali inilah salah satu strategi penguasaan di mana filsafat dijadikan
ideologi pembenaran. Bukankah Hegel yang secara brilian mengajarkan persoalan
dialektika sejarah, yang intinya justru pada pandangan yang bersifat negativisme,
yakni selalu mempertanyakan keadaan yang serba mapan? Demikian juga
pandangan negara integralistik Soepomo yang secara dominan dipengaruhi oleh
Hegelianisme, sehingga memunculkan pandangan manunggaling kawula-Gusti
(menyatunya Tuan-hamba). Agaknya Soepomo memadukan secara eklektik antara
filsafat negara Hegel dengan pandangan kekuasaan Jawa yang sangat feodalistis.
Konklusi yang dapat dipahami dari berbagai pandangan teoritisi yang
memposisikan negara sebagai lembaga kekuasaan tertinggi adalah bahwa negara
dipandang selalu dapat bertindak netral. Negara secara inheren di dalam dirinya
mempunyai tujuan-tujuan baik bagi masyarakat, serta tidak mungkin akan
merugikan kehidupan warganya. Inilah pandangan teori Negara Organis. Hal
serupa juga ditunjukkan oleh Teori Marxisme-Leninisme di mana negara
merupakan perwujudan dari diktatur proletariat. Dalam kondisi ini, negara
berfungsi sebagai perealisasi dari masyarakat yang egaliterian untuk menuju
sebuah akhir sejarah, yaitu masyarakat komunisme yang tanpa kelas. Artinya
adalah kemutlakan negara sangat dibutuhkan pada saat berlangsungnya peralihan
dari sosalisme ke komunisme. Apabila masyarakat yang sama-rata sama-rasa
sudah tercipta, maka lembaga negara tidak lagi diperlukan.
40 Lihat, misalnya, A. Widyarsono, “Paham Negara Rasional Hegel dalam Filsafat
Hukumnya,” Driyarkara No. 3 Tahun XVIII 1992, dan Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai
Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1993).

21

Namun dalam proses selanjutnya, justru acapkali negara menjadi lembaga
yang sangat otonom serta sama sekali telah mengabaikan berbagai kepentingan
masyarakatnya. Negara bahkan selalu difungsikan sebagai alat serta mesin
pembenar bagi aparatusnya untuk melakukan represi. Maka, hubungan negara
dengan masyarakat tidak selalu dalam kondisi yang harmonis dan saling mengisi.
Justru antara negara dan masyarakat berdiri dalam posisi yang saling berlawanan.
Relasi yang tercipta adalah keinginan untuk saling menundukkan. Karena, negara
tidak lagi menjadi “kendaraan” bagi masyarakat untuk mencapai proses
progresivitas sejarah pada titik kemuliaan. Namun, justru sebagai lembaga
kekuasaan yang menciptakan relasi-relasi konfliktual.

Tipologi Kekuasaan Dalam Islam
Perbincangan tentang pengelolaan kekuasaan atau politik dalam
hubungannya dengan agama (religio-political power) telah banyak dilakukan
terutama setelah abad pertengahan. Secara garis besar setidaknya saat ini konsep
tentang pengeloaan kekuasaan dibagi menjadi dua tipologi yakni yakni tipologi
konsep organik dan tipologi konsep sekuler.
Tipologi kekuasaan agama organik, adalah mereka yang mengklaim
perlunya penyatuan agama dan kekuasaan karena jangkauan agama meliputi
seluruh aspek kehidupan, sedangkan tipologi kekuasaan agama sekuler, mereka
cenderung mengklaim perlunya pemisahan antara agama dan kekuasaan antara
lain untuk tujuan menjaga kesempurnaan dan kemurnian agama.
Dalam tipologi kekuasaan organik, penguasa atas nama negara
memberikan dukungan dan akomodasi terhadap kepentingan kelompok agama.
Penguasa memasukkan tokoh-tokoh agama, baik sebagai representasi kepentingan
kelompok agama maupun sebagai badan penasehat terhadap negara. Dalam kajian
Islam diskursus hubungan agama dan kekuasaan memunculkan klaim bahwa tidak
ada pemisahan antara agama dan politik sehingga kekuasaan bukan sekedar

22

representasi, tetapi merupakan presentasi dari agama itu sendiri. Sayyid Qutb dan
al Maududi menjadi tokoh kunci dalam tipologi jenis ini.
Klaim yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara agama dan
politik dalam Islam berakar dari tradisi pemikiran skriptualistik, idealistik, dan
formalistik dalam memahami teks-teks keagamaan. Pemikiran skriptualistik lebih
menekankan terhadap makna agama secara tekstual. Dalam memahami kekuasaan
dalam Islam, kelompok ini cenderung berangkat dari asumsi ascending of power,
yakni legitimasi penguasa harus berasal dari Tuhan, dan dengan demikian
penguasa tidak lain adalah representasi dari kekuasaanNya yang nantinya
memunculkan apa yang dikenal dengan nama pemerintahan teokratis
Sedangkan varian pemikiran idealistik cenderung melakukan idealisasi
terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam ideal.
Biasanya varian jenis ini bercorak filosofis dan ahistoris. Kaum idealistik dalam
memahami penyelenggaraan politik pemerintahan cenderung menolak format
kenegaraan yang ada, dan tidak sesuai dengan pemerintahan yang ideal menurut
mereka. Sementara itu varian formalistik lebih mengedepankan bentuk (body)
daripada isi (mind). Dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, negara dipandang
sebagai simbol agama, sehingga perlu politik yang islami

dengan cara

membentuk negara Islam atau partai Islam.
Sementara itu dalam pengelolaan kekuasaan yang berbentuk sekuler,
penguasa tidak akan mengambil bentuk simbol-simbol keagamaan dalam
kehidupan publik. Demikian juga seorang penguasa tidak akan merasa
berkewajiban untuk mengakomodasi kepentingan dan tutntutan kelompokkelompok keagamaan. Sebaliknya, penguasa akan merumuskan sejumlah aturanaturan, mulai dari yang bersifat fleksibel hingga restriktif.
Klaim pemisahan agama dan dan politik dalam Islam berakar dari tradisi
pemahaman keagamaan rasionalistik, realistik, dan substansialistik. Bagi penganut
pemahaman rasionalistik cenderung menampilkan penafsiran terhadap sumber
ajaran agama secara rasional dan kontekstual sehingga melahirkan pemahaman
yang berbeda dengan penganut pemahaman organik mengenai ayat politik.
Menurut mereka, tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk membangun negara

23

atau pemerintahan Islam, tetapi nilai spiritualistik, etik, dan moral yang
dipesankan

Islam

harus

menjadi

prioritas.

Pemikiran

rasionalistik

ini

menggunakan asumsi ascending of power yakni legitimasi kekuasaan bersumber
dari rakyat.
Klaim pemisahan agama ini juga berasal dari tradisi pemahaman realistik
yang cenderung meligitimasi kekuasaan yang ada atau melakukan koreksi lewat
pemberian isyarat pesan moral dalam format kenegaraan yang tengah
berlangsung. Sementara itu,

jenis tradisi pemikiran substansialisme lebih

mengedepankan isi daripada bentuk, yang dalam penyelenggaraan kekuasaan
lebih mengedepankan pengembangan ide, etika, dan nilai-nilai keagamaan
daripada formalisasi ajaran-ajaran agama.

Kesimpulan
Relasi antara agama dan politik misalnya secara garis besar para teoretisi
politik Islam merumuskan teori-teori tentang hubungan agama dan negara serta
membedakannya

menjadi

tiga

paradigma

yaitu

Paradigma

Integralistik,

Paradigma Simbiotik, dan Paradigma Sekularistik. Paradigma Integralistik.
Berpendapat bahwa agama dan negara menyatu (integrated), negara merupakan
lembaga politik dan keagamaan sekaligus, politik atau negara ada dalam wilayah
agama.

Paradigma

Simbiotik

berpandangan

bahwa

agama

dan

negara

berhub