Evaluasi interaksi obat pada pasien pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan periode Januari 2014 - Desember 2014

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah sakit

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.

Tujuan penyelenggaraan Rumah Sakit:

a. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan

b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit

c. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya

manusia rumah sakit dan rumah sakit

Pada hakikatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat (Menkes RI., 2010).

2.2 Rekam medik

Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien mengenai pemeriksaan, pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang dapat diperoleh dari rekam medik, antara lain: data demografi pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penggunaan obat,


(2)

riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnostik, diagnosis dan terapi (Depkes RI., 2009).

2.3 Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005).

Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008).

Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan efek yang tidak diinginkan adalah akibat makin banyaknya dan makin seringnya penggunaan apa yang dinamakan polipharmacy atau multiple drug therapy (Gapar,2003).Polifarmasi merupakan penggunaan obat dalam jumlah yang banyak dan tidak sesuai dengan kondisi kesehatan pasien. Meskipun istilah polifarmasi telah mengalami perubahan dan digunakan dalam berbagai hal dan berbagai situasi, tetapi arti dasar dari polifarmasi itu sendiri adalah obat dalam jumlah yang banyak dalam suatu resep (dan atau tanpa resep) untuk efek klinik yang tidak sesuai. Jumlah yang spesifik dari suatu obat yang diambil tidak selalu menjadi indikasi utama akan


(3)

adanya polifarmasi akan tetapi juga dihubungkan dengan adanya efek klinis yang sesuai atau tidak sesuai pada pasien (Rambadhe, et al., 2012).

Interaksi obat didefenisikan oleh Committee for Proprietary Medicine Product (CPMP) sebagai suatu keadaan bilaman suatu obat dipengaruhi oleh penambahan obat lain dan menimbulkan pengaruh klinis. Biasanyah, pengaruh ini terlihat sebagai suatu efek samping, tetapi terkadang terjadi pula perubahan yang menguntungkan. Obat yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug, sedangkan obat yang dipengaruhi disebut Object drug(Dalimunthe, 2009).

Secara farmakologis, obat yang bertindak sebagai precipitant drug mempunyai sifat sebagai berikut:

a. Obat yang terikat banyak olh protein plasma, akan menggeser obat lain dari ikatannya.

b. Obat yang menghambat atau merangsang metabolisme obat lain. c. Obat yang mempengaruhi renal clearance object drug.

Sedangkan object drug, biasanya merupakan obat yang mempunyai kurva dose response yang curam. Obat- obat ini menimbulkan perubahan reaksi terapeutik yang besar dengan perubahan dosis kecil. Kelainan yang ditimbulkan bisa memperbesar efek terapinya. Juga bila dosis toksik suatu object drug, dekat dengan dosis terapinya, maka mudah keracunan obat bila terjadi suatu interaksi. Pada umumnya akan terjadi dua hal, yaitu pengurangan efek terapinya dan terjadinya efek samping (Dalimunthe, 2009).

Diperkirakan, insidensi terjadinya interaksi obat sekitar 7% dari semua efek samping obat dan kematian akibat ini sekitar 4%. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:


(4)

i. Kurangnya dokumentasi

ii. Seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan para dokter tentang mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat.

iii. Faktor keturunan, fungsi hati dan ginjal, usia (bayi dan lansia), ada atau tidaknya suatu penyakit, jumlah obat yang digunakan dan juga faktor sensitivitas penderita (Dalimunthe, 2009 ).

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawati, 2007).

Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lain. Faktor-faktor penderita yang berpengaruh terhadap Interaksi Obat:

a. Umur Penderita i. Bayi dan balita

Proses metabolik belum sempurna, efek obat dapat berbeda. ii. Orang Lanjut usia

Orang lanjut usia relatif lebih sering berobat, lebih sering menderita penyakit kronis seperti hipertensi, kardiovaskuler, diabetes, arthritis. Orang lanjut usia sering kali fungsi ginjal menurun, sehingga ekskresi obat terganggu kemungkinan fungsi hati juga terganggu, dan diet pada lanjut usia sering tidak memadai.


(5)

b. Penyakit yang sedang diderita

Pemberian obat yang merupakan kontra-indikasi untuk penyakit tertentu. c. Fungsi Hati Penderita

Fungsi hati yang terganggu akan menyebabkan metabolisme obat terganggu karena biotransformasi obat sebagian besar terjadi di hati.

d. Fungsi ginjal penderita

Fungsi ginjal terganggu akan mengakibatkan ekskresi obat terganggu. Ini akan mempengaruhi kadar obat dalam darah, juga dapat memperpanjang waktu paruh biologik (t½) obat. Dalam hal ini ada 3 hal yang dapat dilakukan, yaitu:

i. Dosis obat dikurangi

ii. Interval waktu antara pemberian obat diperpanjang, atau iii. Kombinasi dari kedua hal diatas.

e. Kadar protein dalam darah/serum penderita

Bila kadar protein dalam darah penderita dibawah normal, maka akan berbahaya terhadap pemberian obat yang ikatan proteinnya tinggi.

f. pH urin penderita

pH urine dapat mempengaruhi ekskresi obat di dalam tubuh. g. Diet penderita

Diet dapat mempengaruhi absorpsi dan efek obat (Joenoes, 2002). 2.3.1 Mekanisme interaksi obat

Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat : a. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau


(6)

mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya (BNF 58, 2009). Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :

i. Interaksi pada absorbsi obat

a) Efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).

b) Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek

Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).

c) Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan


(7)

lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya (Stockley, 2008). d) Induksi atau inhibisi protein transporter obat

Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah P-glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati digoksin (Stockley, 2008).

e) Malabsorbsi dikarenakan obat

Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008).

ii. Interaksi pada distribusi obat a) Interaksi ikatan protein

Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, yang lainnya diangkut oleh beberapa molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).

b) Induksi dan inhibisi protein transport obat

Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini


(8)

secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS (Stockley, 2008).

iii. Interaksi pada metabolisme obat

a) Perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Beratitas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).

b) Induksi Enzim

Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek


(9)

hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).

c) Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).

d) Faktor genetik dalam metabolisme obat

Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien


(10)

berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari gejala (Stockley, 2008).

e) Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi

Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008).

iv. Interaksi pada ekskresi obat a)Perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).

b) Perubahan ekskresi aktif tubular renal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan transporter anion organik (OATs) (Stockley, 2008).


(11)

c) Perubahan aliran darah renal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).

b. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNFC, 2009).

i. Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval QT) (Stockley, 2008).

ii. Interaksi antagonis atau berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu


(12)

protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008).

2.3.2 Tingkat keparahan interaksi obat

Potensikeparahaninteraksisangat pentingdalam menilairisikodanmanfaatterapi alternatif. Denganpenyesuaiandosis yang tepatatau

modifikasijadwalpenggunaan obat, efek negatif darikebanyakaninteraksidapat dihindari. Tigaderajatkeparahandidefinisikan sebagai:

a. Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan, konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009).

b. Keparahan moderate

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate (sedang) jika efek yang terjadidapat menyebabkanpenurunanstatus klinispasien. Pengobatan tambahan, rawat inap, ataudiperpanjangdirawat di rumah sakitmungkin diperlukan (Tatro, 2009).

c. Keparahan major

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major(berat) jika terdapat probabilitas yang tinggi,berpotensimengancam jiwaataudapat menyebabkankerusakan permanen (Tatro, 2009).

Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi obat yang mengidentifikasi kedekatan dan tingkat keparahan interaksi, dan mampu menggambarkan hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi yang tepat.


(13)

Hal ini juga tugas para profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional harus mampu untuk merekomendasi secara individu berdasarkan parameter-pasien tertentu. Meskipun beberapa pihak berwenang menyarankan efek samping yang dihasilkan dari interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang terjadi, profesional perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obat-obatan, terutama ketika interaksi tersebut dapat diantisipasi dan dicegah (Tatro, 2009).

2.4 Pasien pediatrik

Menurut American academy of pediatriks (AAP), pediatrik adalah spesialisasi ilmu kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan sosial kesehatan anak sejak lahir sampai dewasa muda. Pediatrik juga merupakan disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengaruh biologis, sosial, lingkungan dan dampak penyakit pada perkembangan anak. Anak- anak berbeda dari orang dewasa secara anatomis, fisiologis, imunologis, psikologis, perkembangan dan metabolisme (AAP, 2012).

Secara internasional populasi pediatrik dikelompokkan menjadi: a. Bayi premature baru lahir (preterm newborn infants).

b. Bayi yang baru lahir atau neonatus umur 0-28 hari (term newborn infants). c. Bayi dan anak kecil yang baru belajar berjalan umur > 28 hari sampai 23

bulan (infants and toddlers).


(14)

e. Anak remaja umur 12 sampai 16 sampai 18 tahun tergantung daerah (adolescents) (WHO, 2007).

2.4.1 Farmakokinetika pada pediatrik

Pasien pediatrik mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam pengobatan dibandingkan dengan orang dewasa. Masalah yang berkaitan denngan perbedaan farmakokinetika, dosis, rute pemberian dan kepatuhan semuanya harus dipertimbangkan (Prest, 2004).

2.4.1.1 Absorbsi

Pada absorbsi obat, ada dua faktor utama yang terlibat yaitu laju absorbs dan jumlah yang terabsorbsi. Absorbsi sediaan oral dapat dipengaruhi oleh beberapa factor, meliputi waktu transit didalam lambung dan usus, pH lambung dan usus serta waktu pengosongan lambung yang berbeda pada neonatus maupun pada bayi. Keasaman lambung belum mendekati nilai- nilai orang dewasa sampai usia dua sampai tiga bulan. Waktu pengosongan lambung akan menyamai orang dewasa pada usia 6 bulan dan baru setelah 2 tahun produksi asam lambung akan meningkat sebanding dengan kadar per kg seperti pada orang dewasa (Prest, 2004).

Pada neonatus, waktu transit lambung lebih lama, pH lambung dan fungsi enzim bervariasi, tidak ada flora usus akan mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan secara oral (Hashem, 2005).

2.4.1.2 Distribusi

Selama usia bayi, kadar air total dalam tubuh terhadap berat badan total memiliki presentase yang lebih besar daripada anak – anak atau pada orang dewasa. Presentase ini akan turun sesuai usia yang akan ditunjukkan pada Tabel


(15)

2.1. Obat yang larut air seharusnya diberikan dengan dosis yang lebih besar untuk mencapai efek terapeutik yang dikehendaki.

Tabel 2.1Presentase volume cairan ekstraseluler dan kadar air total dalam tubuh terhadap berat badan.

Usia Kadar air total dalam tubuh (%) Cairan ekstraseluler (%)

Preterm neonatus 85 50

Term neonatus 75 45

3 bulan 75 30

1 tahun 60 25

Dewasa 60 20

Jumlah obat yang berikatan dengan protein merupakan hal yang paling berpengaruh dalam distribusi obat. Ikatan protein dapat berkurang pada bayi karena rendahnya kadar globulin dan albumin. Penelitian menunjukkan bahwa baru setelah usia 3 tahun ikatan protein menjadi sebanding dengan nilai orang dewasa untuk obat yang bersifat asam, untuk obat yang bersifat basa memerlukan waktu sampai usia 7-12 tahun (Prest, 2004).

2.4.1.3 Metabolisme

Pada saat baru lahir sebagian besar enzim yang terlibat dalam metabolism obat belum terbentuk atau sudah ada namun dalam jumlah yang sangat sedikit. Sehingga kapasitas degradasi metabolismenya juga belum optimal. Pada bayi dan anak – anak terdapat peningkatan yang cukup besar dalam hal laju metabolismenya. Sehingga untuk obat- obat tertentu dosis (mg/kg) yang lebih besar mungkin diprlukan anak- anak dibandingkan orang dewasa (Prest, 2004). 2.4.1.4 Ekskresi

Laju filtrasi glomerolus (GFR) pada bayi yang baru lahir lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa karena ginjalnya relative belum berkembang dengan baik. Kemampuan mengeliminasi obat pada neonatus dan bayi menjadi


(16)

belum optimal dan penurunan dosis mungkin diperlukan. Tetapi GFR akan meningkat secara cepat setelah minggu- minggu pertama kelahiran an mencapai nilai yang sebanding dengan orang dewasa pada usia 1 tahun (Perst, 2004). Nilai perkiraan GFR ditunjukkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Nilai perkiraan GFR berdasarkan usia

Umur GFR (ml/min/m2 )

4 hari pertama 1

14 hari 22

1 tahun 70

Dewasa 70

2.5 Demam tifoid

Demam tifoid adalah penyakit infeksi usus yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Insiden tifoid di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-810 per 100.000 penduduk, demikian juga dari kasus demam tifoid di rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500/100.000 penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya pengobatan (Depkes RI., 2006).

2.5.1 Patogenesis dan Patologi

Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella para typhi. Penularan ke manusia melalui makanan dan atau minuman yang tercemar dengan feses manusia. Setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus dan invasi ke jaringan limfoid (plak nyeri) yang merupakan tempat predifeksi untuk berkembang biak. Melalui saluran limfe mesentrik kuman masuk aliran darah sistemik (Bakterimia I) dan mencapai sel- sel retikulo endothelial dari hati dan limpa. Fase ini dianggap masa inkubasi (7- 14 hari). Kemudian dari


(17)

jaringan ini kuman dilepas ke sirkulasi sistemik (bakteremia II) melalui duktus torasikus dan mencapai organ- organ tubuh terutama limpa, usus halus dan kandung empedu (Depkes RI., 2006).

Kuman Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada pathogenesis demam tifoid. Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan dimana kuman Salmonella berkembang biak. Disamping itu merupakan stimulator yang kuat untuk memproduksi sitokin oleh sel- sel makrofag dan sel leukosit di jaringan yang meradang. Sitokin ini merupakan mediator- mediator untuk timbulnya demam dan gejala toksemia (proinflamatory). Oleh karena basil Salmonella bersifat intraselluler maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang- kadang pada jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal- fokal infeksi (Depkes RI., 2006).

Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama diileum bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada plak peyer terjadi hyperplasia berlanjut menjadi nekrosis pada minggu kedua dan ulserasi pada minggu ketiga, akhirnya membentuk ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan komplikasi yang berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuclear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan retikuloendotelial lain seperti limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan- kelainan patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung dan selaput otak. Pada pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses radang dan abses- abses pada banyak organ, sehingga dapat


(18)

ditemukan bronchitis, arthtritis septic, pielonefritis, meningitis dll. Kandung empedu merupakan tempat yang disenangi basil salmonella. Bila penyembhan tidak sempurna, basil tetap tahan di kandung empedu ini, mengalir ke dalam usus, sehingga menjadi karier intestinal. Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga juga menjadi karir. Adapun tempat- tempat yang menyimpan basil ini, memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps) (Depkes RI., 2006).

2.5.2 Gambaran klinis

Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan sekali (sehingga tidak terdiagnosis) dan dengan gejala yang khas sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran klinis juga bervariasi berdasarkan daerah atau Negara, serta menurut waktu. Gambaran klinis di Negara berkembang dapat berbeda dengan Negara maju dan gambaran klinis tahun 2000 dapat berbeda dengan tahun enam puluhan pada daerah yang sama (Depkes RI., 2006).

Gambaran klinis pada anak cenderung tak khas. Makin kecil anak, gambaran klinis makin tidak khas. Kebanyakan perjalanan penyakit berlangsung dalam waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.Kumpulan gejala- gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom tifoid. Beberapa gejala klinis yang sering diantaranya adalah:

a. Demam

Pada awal sakit, demam kebanyakan samar samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala, nyeri otot, pegal - pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu kedua intensitas demam makin tinggi,


(19)

bila pasien membaik pada minggu ketiga suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3. Demam khas pada tifoid tidak selalu ada, tipe demam menjadi tidak beraturan. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang (Depkes RI., 2006).

b. Gangguan saluran pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir kering dan terkadang pecah- pecah,lidah kotor, ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor, dan pada penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama region epigastrik, disertai nausea, mual dan muntah (Depkes RI., 2006).

c. Gangguan kesadaran

Umumnya berupa penurunan kesadaran ringan, sering kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, tak jarang penederita sampai somnolen dan koma. Pada penderita dengan toksis, gejala delirium lebih menonjol (Depkes RI., 2006).

d. Hepatosplenomegali

Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.

e. Bradikadia relative dan gejala lain

Bradikardi relative tidak sering ditemukan, mungkin karena teknik pemeriksaan yang sulit ditemukan. Bradikardi relative adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Gejala- gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan diregio abdomen atas, serta sudamina, serta gejala- gejala klinis yang


(20)

berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak jarang terjadi malahan lebih sering epitaksis (Depkes RI., 2006).

2.5.3 Komplikasi demam Tifoid

Pada minggu kedua atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai yang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering terjadi diantaranya:

a. Tifoid toksik (tifoid ensefalopati)

Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan delirium sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan.

b. Syok septic

Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik. Disamping gejala- gejala tifoid diatas, penderita jatuh kedalam fase kegagalan vascular (syok). Tensi turun, nadi cepat dan halus, berkeringat serta akral dingin. Akan berbahaya bila syok menjadi irreversible.

c. Perdarahan dan perforasi intestinal d. Peritonitis

e. Hepatitis tifosa f. Pancreatitis tifosa g. Pneunomonia

h. Komplikasi lain (Osteomielitis, arthritis , Miokarditis, perikarditis, endokarditis, pielonefritis, orkhritisdan peradangan ditempat lain) (Depkes RI., 2006).


(21)

2.5.4 Pemeriksaan Demam Tifoid a. Gambaran darah tepi

Pada pemeriksaan hitung leukosit total terdapat gambaran leukopeni (±3000-8000 per mm3), limfositosis relative, monositosis, dan eosinofilia dan trombositopenia ringan.

b. Pemeriksaan Bakteriologis

i. Jenis pembiakan menurut specimen a) Biakan darah

b) Biakan bekuan darah c) Biakan tinja

Biakan tinja lebih berguna pada penderita yang sedang diobati dengan kloramfenikol, terutama untuk mendeteksi karier.

d) Biakan cairan empedu e) Biakan air kemih ii. Biakan Salmonella typhi

Specimen untuk biakan dapat diambil dari darah,sumsum tulang, feses, urin. Spesimen darah diambil pada minggu selanjutnya. Pembiakan memerlukan waktu kurang lebih 5-7 hari. Bila laporan hasil biakan “Basil Salmonella tumbuh” maka penderita sudah pasti mengidap demam tifoid. iii.Serologis Widal

Test serologi widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang telah dimatikan) dengan agglutinin yang merupakan antibody spesifik terhadap komponen basil Salmonella didalam darah manusia (saat sakit, karier atau pasca vaksinasi). Prinsip test adalah


(22)

terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan agglutinin yang dieteksi yakni agglutinin O dan H.

Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertma demam sampai puncaknyapada minggu ke 3 sampai 5. Aglutinin ini dapat bertahan selama 6-12 bulan. Agglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lebih lama (Depkes RI., 2006). 2.5.4 Penatalaksanaan Demam tifoid

Algoritma penatalaksanaan demam tifoid dapat dilihatpada Gambar 2.1

Gambar 2.1. Algoritma tatalaksana demam tifoid (Anonim, 2008) a. Tirah baring/istirahat

Penderita demam tifoid harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah kom.0oplikasi, terutama pendarahan dan perforasi. Bila gejala klinis berat, penderita harus istirahat total (Depkes RI., 2006).


(23)

b. Nutrisi i. Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan harus mengandung komponen glukosa, natrium, kalium, klorida dan air untuk rehidrasi pasien.

ii. Diet

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi (Depkes RI., 2006).

c. Penatalaksanaan terapi farmakologi: i. Terapi simptomatik

Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita seperti vitamin, antipiretik (untuk kenyamanan penderita terutama anak-anak) atau antiemetik (diperlukan bila penderita muntah hebat) (Depkes RI., 2006).

a) Antiemetik :

i) Domperidon (p.o) : 10-20 mg 3-4 x sehari untuk anak dengan BB≥ 35 kg, ii) Ondansetron : 250-500 mikrogram/kg BB 3-4 x sehari untuk anak dengan

BB < 35 kg. 8-12 mg i.v. atau 8-24 mg p.o. setiap 24 jam untuk dewasa, 4 mg p.o. 3 x sehari untuk anak usia 4-11 tahun.

b) Antipiretik :

i) Ibuprofen (p.o.) : Untuk anak 6 bulan–12 tahun < 39° C : 5 mg/kg BB & ≥ 39° C : 10 mg/kg BB setiap 6-8 jam, dosis harian maksimal 40 mg/kg


(24)

BB/hr. Dws : 325-650 mg setiap 4-6 jam atau 1000 mg 3-4 x sehari. Anak : setiap 4-6 jam

ii) Parasetamol (p.o.): 40 mg untuk bayi usia 0-3 bulan, 80 mg untuk bayi usia 4-11 bulan, 120 mg untuk anak usia 1-2 tahun, 160 mg untuk anak usia 2-3 tahun, 240 mg untuk anak usia 4-5 tahun, 320 mg untuk anak usia 6-8 tahun, 400 mg untuk anak usia 9-10 tahun, dan 480 mg untuk anak usia 11 tahun. c) Pemberian Antibiotik

Antimikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam tifoid telah dapat ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable, maupun suspek. Sebelum anti mikroba diberikan, harus diambil specimen darah atau sumsum tulang lebih dulu, untuk pemeriksaan biakan kuman Salmonella, kecuali biakan ini betul- betul tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan (Depkes RI., 2006).

Antimikroba lini pertama untuk tifoid adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin dan trimetoprim-sulfametoksazol. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps. Bila pemberian salah satu antimikroba lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antimikroba yang lain atau dipilih antimikroba lini kedua. Antimikroba lini kedua untuk tifoid adalah seftriakson, sefiksim, dan antibiotik golongan kuinolon (Depkes RI., 2006).

i) Kloramfenikol : dewasa 4x 500 mg selama 14 hari, anak- anak 50-100 mg/Kg BB/hari. Max 2 g selama 10- 14 hari.


(25)

ii) Seftriakson: Dewasa (2-4) g/hari. Selama 3-5 hari. Anak- anak 80mg/kgBB/hari selama 5 hari.

iii) Ampisilin dan amoksisili : dewasa 3-4 g/hari selama 14 hari. Anak- anak 100mg /kgBB/hari selama 10 hari.

iv) Kotrimoksazol : dewasa 2 x (160- 800) mg selama 2 minggu. Anak-anak; TMP 6- 10 mg/kgBB/hari atau SMx 30-50 mg/kg/hari selama 10 hari. v) Quinolone :Siprofloksasin 2 x 500 mg 1 minggu

vi) Cefixime: anak anak 15- 20 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari. vii) Tiamfenikol : dewasa 4 x 500 mg, anak-anak 50mg/kgBB/hari selama 5-7


(1)

berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak jarang terjadi malahan lebih sering epitaksis (Depkes RI., 2006).

2.5.3 Komplikasi demam Tifoid

Pada minggu kedua atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai yang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering terjadi diantaranya:

a. Tifoid toksik (tifoid ensefalopati)

Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan delirium sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan.

b. Syok septic

Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik. Disamping gejala- gejala tifoid diatas, penderita jatuh kedalam fase kegagalan vascular (syok). Tensi turun, nadi cepat dan halus, berkeringat serta akral dingin. Akan berbahaya bila syok menjadi irreversible.

c. Perdarahan dan perforasi intestinal d. Peritonitis

e. Hepatitis tifosa f. Pancreatitis tifosa g. Pneunomonia

h. Komplikasi lain (Osteomielitis, arthritis , Miokarditis, perikarditis, endokarditis, pielonefritis, orkhritisdan peradangan ditempat lain) (Depkes RI., 2006).


(2)

2.5.4 Pemeriksaan Demam Tifoid a. Gambaran darah tepi

Pada pemeriksaan hitung leukosit total terdapat gambaran leukopeni (±3000-8000 per mm3), limfositosis relative, monositosis, dan eosinofilia dan trombositopenia ringan.

b. Pemeriksaan Bakteriologis

i. Jenis pembiakan menurut specimen a) Biakan darah

b) Biakan bekuan darah c) Biakan tinja

Biakan tinja lebih berguna pada penderita yang sedang diobati dengan kloramfenikol, terutama untuk mendeteksi karier.

d) Biakan cairan empedu e) Biakan air kemih ii. Biakan Salmonella typhi

Specimen untuk biakan dapat diambil dari darah,sumsum tulang, feses, urin. Spesimen darah diambil pada minggu selanjutnya. Pembiakan memerlukan waktu kurang lebih 5-7 hari. Bila laporan hasil biakan “Basil Salmonella tumbuh” maka penderita sudah pasti mengidap demam tifoid. iii.Serologis Widal

Test serologi widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang telah dimatikan) dengan agglutinin yang merupakan antibody spesifik terhadap komponen basil Salmonella didalam darah


(3)

terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan agglutinin yang dieteksi yakni agglutinin O dan H.

Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertma demam sampai puncaknyapada minggu ke 3 sampai 5. Aglutinin ini dapat bertahan selama 6-12 bulan. Agglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lebih lama (Depkes RI., 2006). 2.5.4 Penatalaksanaan Demam tifoid

Algoritma penatalaksanaan demam tifoid dapat dilihatpada Gambar 2.1

Gambar 2.1. Algoritma tatalaksana demam tifoid (Anonim, 2008) a. Tirah baring/istirahat

Penderita demam tifoid harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah kom.0oplikasi, terutama pendarahan dan perforasi. Bila gejala klinis berat, penderita harus istirahat total (Depkes RI., 2006).


(4)

b. Nutrisi i. Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan harus mengandung komponen glukosa, natrium, kalium, klorida dan air untuk rehidrasi pasien.

ii. Diet

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi (Depkes RI., 2006).

c. Penatalaksanaan terapi farmakologi: i. Terapi simptomatik

Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita seperti vitamin, antipiretik (untuk kenyamanan penderita terutama anak-anak) atau antiemetik (diperlukan bila penderita muntah hebat) (Depkes RI., 2006).

a) Antiemetik :

i) Domperidon (p.o) : 10-20 mg 3-4 x sehari untuk anak dengan BB≥ 35 kg, ii) Ondansetron : 250-500 mikrogram/kg BB 3-4 x sehari untuk anak dengan

BB < 35 kg. 8-12 mg i.v. atau 8-24 mg p.o. setiap 24 jam untuk dewasa, 4 mg p.o. 3 x sehari untuk anak usia 4-11 tahun.

b) Antipiretik :

i) Ibuprofen (p.o.) : Untuk anak 6 bulan–12 tahun < 39° C : 5 mg/kg BB & ≥ 39° C : 10 mg/kg BB setiap 6-8 jam, dosis harian maksimal 40 mg/kg


(5)

BB/hr. Dws : 325-650 mg setiap 4-6 jam atau 1000 mg 3-4 x sehari. Anak : setiap 4-6 jam

ii) Parasetamol (p.o.): 40 mg untuk bayi usia 0-3 bulan, 80 mg untuk bayi usia 4-11 bulan, 120 mg untuk anak usia 1-2 tahun, 160 mg untuk anak usia 2-3 tahun, 240 mg untuk anak usia 4-5 tahun, 320 mg untuk anak usia 6-8 tahun, 400 mg untuk anak usia 9-10 tahun, dan 480 mg untuk anak usia 11 tahun. c) Pemberian Antibiotik

Antimikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam tifoid telah dapat ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable, maupun suspek. Sebelum anti mikroba diberikan, harus diambil specimen darah atau sumsum tulang lebih dulu, untuk pemeriksaan biakan kuman Salmonella, kecuali biakan ini betul- betul tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan (Depkes RI., 2006).

Antimikroba lini pertama untuk tifoid adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin dan trimetoprim-sulfametoksazol. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps. Bila pemberian salah satu antimikroba lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antimikroba yang lain atau dipilih antimikroba lini kedua. Antimikroba lini kedua untuk tifoid adalah seftriakson, sefiksim, dan antibiotik golongan kuinolon (Depkes RI., 2006).

i) Kloramfenikol : dewasa 4x 500 mg selama 14 hari, anak- anak 50-100 mg/Kg BB/hari. Max 2 g selama 10- 14 hari.


(6)

ii) Seftriakson: Dewasa (2-4) g/hari. Selama 3-5 hari. Anak- anak 80mg/kgBB/hari selama 5 hari.

iii) Ampisilin dan amoksisili : dewasa 3-4 g/hari selama 14 hari. Anak- anak 100mg /kgBB/hari selama 10 hari.

iv) Kotrimoksazol : dewasa 2 x (160- 800) mg selama 2 minggu. Anak-anak; TMP 6- 10 mg/kgBB/hari atau SMx 30-50 mg/kg/hari selama 10 hari. v) Quinolone :Siprofloksasin 2 x 500 mg 1 minggu

vi) Cefixime: anak anak 15- 20 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari. vii) Tiamfenikol : dewasa 4 x 500 mg, anak-anak 50mg/kgBB/hari selama 5-7