Evaluasi interaksi obat pada pasien pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan periode Januari 2014 - Desember 2014

(1)

EVALUASI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID di RUMAH SAKIT UMUM SARI MUTIARA MEDAN

PERIODE JANUARI 2014 - DESEMBER 2014

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

Seprida Yohana Uli Sinurat

NIM 111501101

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

EVALUASI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID di RUMAH SAKIT UMUM SARI MUTIARA MEDAN

PERIODE JANUARI 2014 - DESEMBER 2014

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SEPRIDA YOHANA ULI SINURAT

NIM 111501101

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

EVALUASI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID di RUMAH SAKIT UMUM SARI MUTIARA MEDAN

PERIODE JANUARI 2014- DESEMBER 2014 OLEH:

SEPRIDA YOHANA ULI SINURAT NIM 111501101

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal: 2 Oktober 2015

Medan, Oktober 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pejabat dekan,

Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 1953010119830310004 NIP 195103261978022001

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Pembimbing II, NIP 1953010119830310004

Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. NIP 197803142005011002 NIP 195503121983032001

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. NIP 130935857


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Evaluasi interaksi obat pada pasien pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit Umum Sari Mutiara Medan periode Januari 2014 - Desember 2014. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Pejabat Dekan Fakultas Farmasi USU Medan dan Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil Dekan I Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap., Apt dan bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt, yang telah membimbing dan memberikan petunjuk serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., Ibu Edy Suwarso, S.U., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyempurnakan skripsi ini. Bapa yang selalu memberikan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan.

Penulis juga mempersembahkan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada orangtua tercinta, Manahan Sinurat dan Agustina Siagian, kepada kakak


(5)

Astri F. Sinurat, Amd., adik Nonic O. Sinurat dan Rezky S. P Sinurat, juga kepada keluarga atas limpahan kasih sayang, doa dan dukungan yang tidak ternilai apapun. Penulis tak lupa mengucapkan terimakasih kepada Philadelphia, teman- teman dan senior yang telah banyak membantu selama penulisan skripsi ini.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini, namun demikian penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, 25 Oktober 2015 Penulis

Seprida Y U Sinurat NIM 111501101


(6)

EVALUASI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID DI RUMAH SAKIT UMUM SARI MUTIARA MEDAN PADA

PERIODE JANUARI 2014 – DESEMBER 2014 ABSTRAK

Demam tifoid merupakan suatu penyakit yang menyerang saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella thypi dan merupakan penyakit endemik di Indonesia. Terapi pada demam tifoid membutuhkan obat kombinasi, yang menyebabkan terjadinya potensi interaksi obat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian potensi interaksi obat pada pasien demam tifoid. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode retrospektif melalui evaluasi terhadap data rekam medik pasien pediatrik demam tifoid. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Sari mutiara Medan. Subyek penelitian adalah pasien yang didiagnosa demam tifoid dan mendapat resep minimal 2 macam obat. Data diambil dari 352 rekam medik pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid selama bulan Januari 2014 – Desember 2014. Analisis data dilakukan dengan membandingkan data dari rekam medik dengan sumber yang terkini dan terpercaya (Drug Interaction Fact, Stockleys Drug Interaction, drugs.com, medscape.com, ncbi.com dan rxlist.com).

Hasil penelitian menemukan dari 352 pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid yang berpotensi mengalami interaksi obat sebanyak 202 rekam medik (57,38%). Obat- obat yang digunakan pada demam tifoid yang berpotensi berinteraksi adalah paracetamol, kloramfenikol dan ranitidin. Berdasarkan mekanisme terjadinya interaksi terdapat 26 kasus (6.90%) dengan mekanisme Farmakokinetik, 124 kasus (32,89%) dengan mekanisme farmakodinamik, dan 227 kasus (60,21%) mekanisme unknown. Berdasarkan tingkat keparahan terdapat tingkat keparahan ringan 224 kasus (59.42%), sedang 151 kasus (40.05%), dan berat 2 kasus (0.53%). Dengan menggunakan uji statistik Chi Square diketahui adanya hubungan yang bermakna antara umur pasien dan jumlah obat dengan jumlah potensi interaksi obat yang teridentifikasi dengan nilai p<0,05. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka kejadian potensi interaksi obat di RSU Sari Mutiara Medan cukup tinggi.


(7)

EVALUATION OF DRUG INTERACTION IN PEDIATRIC WITH TYPHOID FEVER AT SARI MUTIARA GENERAL HOSPITAL MEDAN

DURING JANUARY 2014 – DECEMBER 2014 ABSTRACT

Typhoid fever is a disease that attacks the gastrointestinal tract caused by the Salmonella thypi and an endemic disease in Indonesia. Therapeutic treatment for typhoid fever requires combination drug therapy, leading to potential drug interaction.

This study aimed to identify potential drug interaction in patients with typhoid fever. This research was a descriptive study using a retrospective method through evaluation of medical records of pediatric patients with typhoid fever. This study was conducted in General Hospital Sari Mutiara Medan. Subjects were patients diagnosed with typhoid fever and was prescribed with minimum of two kinds of drugs. Data were taken from the medical records of 352 pediatric patients with typhoid fever during the month of January 2014 - December 2014. Data analysis was done by comparing data from the medical record with the most current and reliable sources (Drug Interaction Fact, Stockleys Drugs Interaction, drugs.com, medscape.com, ncbi.com and rxlist.com).

The results found that the 352 pediatric patients with typhoid fever experienced drug interaction as many as 202 medical records (57.38%). Drugs used in typhoid fever which potentially interact were paracetamol, chloramphenicol and ranitidine. Based on the mechanism of interaction there were 26 cases (6.90%) with pharmacokinetic mechanism, 124 cases (32,89%) with pharmacodynamic mechanism, and 227 cases (60.21%) with unknown mechanism. Based on the severity of the interaction there were minor 224 cases (59.42%), moderate 151 cases (40.05%), and major 2 cases (0.53%). By using statistical test Chi Square known significant correlation between patient age and drugs amount with the number of potential drug interaction (p<0.05). Based on the research, the incidence of potential drug interaction in RSU Sari Mutiara Medan was high enough.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Kerangka pikir penelitian ... 5

1.3 Perumusan masalah ... 6

1.4 Hipotesis ... 6

1.5 Tujuan penelitian ... 7

1.6 Manfaat penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Rumah Sakit ... 9

2.2 Rekam medik ... 9

2.3 Interaksi Obat ... 10

2.3.1 Mekanisme Interaksi Obat ... 13


(9)

2.4 Pasien Pediatrik ... 21

2.4.1 Farmakokinetika pada pediatrik ... 22

2.4.1.1 Absorbsi ... 22

2.4.1.2 Distribusi ... 22

2.4.1.3 Metabolisme ... 23

2.4.1.4 Ekskresi ... 23

2.5 Demam Tifoid ... 24

2.5.1 Patogenesis dan Patologi ... 24

2.5.2 Gambaran klinis ... 26

2.5.3 Komplikasi demam tifoid ... 28

2.5.4 Pemeriksaan demam tifoid ... 29

2.5.5 Penatalaksanaan demam tifoid ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

3.1 Desain penelitian ... 34

3.2 Lokasi dan waktu penelitian ... 34

3.3 Populasi dan sampel ... 34

3.3.1 Populasi ... 34

3.3.2 Sampel ... 34

3.4 Cara pengumpulan data ... 35

3.4.1 Sumber data ... 35

3.4.2 Teknik pengumpulan data ... 35

3.4.3 Defenisi operasional ... 36


(10)

3.7 Alur penelitian ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1 Hasil penelitian ... 40

4.1.1 Karakteristik subjek penelitian ... 40

4.1.2 Profil pengobatan pasien dengan diagnosis demam tifoid ... 43

4.1.3 Gambaran potensi interaksi obat subjek penelitian . 47 4.2 Gambaran obat- obat demam tifoid yang berpotensi interaksi ... 50

4.2.1 Jenis obat demam tifoid yang berpotensi berinteraksi berdasarkan tingkat keparahannya ... 51

4.2.2 Jenis obat demam tifoid yang berpotensi berinteraksi berdasarkan mekanisme interaksi ... 54

4.3 Pengaruh karakteristik subjek penelitian terhadap kejadian potensi interaksi obat ... 56

4.3.1 Faktor usia ... 56

4.3.2 Faktor jumlah obat ... 57

4.3.3 Frekuensi potensi interaksi obat pada pasien pediatrik dan implikasinya ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

5.1 Kesimpulan ... 63

5.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Persentase volume cairan ekstraselular dan kadar air total

dalam tubuh terhadap berat badan ... 23 2.2 Nilai perkiraan GFR berdasarkan usia ... 24 4.1 Karakteristik subjek penelitian ... 40 4.2 Profil pengobatan pada pasien pediatrik dengan diagnosis

Demam Tifoid di RSU Sari Mutiara Medan pada periode

Januari 2014 - Desember 2014 ... 44 4.3 Gambaran kejadian potensi interaksi obat pada subjek ... 48 4.4 Daftar obat yang berpotensi berinteraksi berdasarkan tingkat

keparahan ... 53 4.5 Tingkat keparahan potensi interaksi obat pada subjek penelitian 54 4.6 Jenis potensi interaksi obat berdasarkan mekanisme interaksinya

pada subjek penelitian ... 54 4.7 Jenis mekanisme interaksi obat subjek penelitian ... 55 4.8 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan usia subjek

penelitian ... 56 4.9 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan usia subjek


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat ... 5

2.1 Algoritma tatalaksana demam tifoid ... 30

3.1 Skema pelaksanaan melakukan penelitian ... 39

4.1 Gambaran kejadian potensi interaksi obat ... 47

4.2 Gambaran kejadian potensi interaksi obat berdasarkan variasi jumlah obat ... 48

4.3 Gambaran kejadian potensi interaksi obat berdasarkan variasi usia ... 49

4.4 Gambaran kejadian potensi interaksi obat berdasarkan variabel usia ... 57

4.5 Gambaran kejadian potensi interaksi obat berdasarkan variabel jumlah obat ... 59


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat izin permohonan penelitian pada RSU Sari Mutiara

Medan ... 70

2. Surat rekomendasi melakukan penelitian di RSU Sari Mutiara Medan ... 71

3. Surat keterangan telah selesai melakukan penelitian di RSU Sari Mutiara Medan ... 72

4. Hasil analisis data pada program SPSS Advanced Statistic 20.0 ... 73

5. Tinjauan interaksi obat kategori Ringan ... 77

6. Tinjauan interaksi obat kategori Sedang ... 80


(14)

EVALUASI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID DI RUMAH SAKIT UMUM SARI MUTIARA MEDAN PADA

PERIODE JANUARI 2014 – DESEMBER 2014 ABSTRAK

Demam tifoid merupakan suatu penyakit yang menyerang saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella thypi dan merupakan penyakit endemik di Indonesia. Terapi pada demam tifoid membutuhkan obat kombinasi, yang menyebabkan terjadinya potensi interaksi obat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian potensi interaksi obat pada pasien demam tifoid. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode retrospektif melalui evaluasi terhadap data rekam medik pasien pediatrik demam tifoid. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Sari mutiara Medan. Subyek penelitian adalah pasien yang didiagnosa demam tifoid dan mendapat resep minimal 2 macam obat. Data diambil dari 352 rekam medik pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid selama bulan Januari 2014 – Desember 2014. Analisis data dilakukan dengan membandingkan data dari rekam medik dengan sumber yang terkini dan terpercaya (Drug Interaction Fact, Stockleys Drug Interaction, drugs.com, medscape.com, ncbi.com dan rxlist.com).

Hasil penelitian menemukan dari 352 pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid yang berpotensi mengalami interaksi obat sebanyak 202 rekam medik (57,38%). Obat- obat yang digunakan pada demam tifoid yang berpotensi berinteraksi adalah paracetamol, kloramfenikol dan ranitidin. Berdasarkan mekanisme terjadinya interaksi terdapat 26 kasus (6.90%) dengan mekanisme Farmakokinetik, 124 kasus (32,89%) dengan mekanisme farmakodinamik, dan 227 kasus (60,21%) mekanisme unknown. Berdasarkan tingkat keparahan terdapat tingkat keparahan ringan 224 kasus (59.42%), sedang 151 kasus (40.05%), dan berat 2 kasus (0.53%). Dengan menggunakan uji statistik Chi Square diketahui adanya hubungan yang bermakna antara umur pasien dan jumlah obat dengan jumlah potensi interaksi obat yang teridentifikasi dengan nilai p<0,05. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka kejadian potensi interaksi obat di RSU Sari Mutiara Medan cukup tinggi.


(15)

EVALUATION OF DRUG INTERACTION IN PEDIATRIC WITH TYPHOID FEVER AT SARI MUTIARA GENERAL HOSPITAL MEDAN

DURING JANUARY 2014 – DECEMBER 2014 ABSTRACT

Typhoid fever is a disease that attacks the gastrointestinal tract caused by the Salmonella thypi and an endemic disease in Indonesia. Therapeutic treatment for typhoid fever requires combination drug therapy, leading to potential drug interaction.

This study aimed to identify potential drug interaction in patients with typhoid fever. This research was a descriptive study using a retrospective method through evaluation of medical records of pediatric patients with typhoid fever. This study was conducted in General Hospital Sari Mutiara Medan. Subjects were patients diagnosed with typhoid fever and was prescribed with minimum of two kinds of drugs. Data were taken from the medical records of 352 pediatric patients with typhoid fever during the month of January 2014 - December 2014. Data analysis was done by comparing data from the medical record with the most current and reliable sources (Drug Interaction Fact, Stockleys Drugs Interaction, drugs.com, medscape.com, ncbi.com and rxlist.com).

The results found that the 352 pediatric patients with typhoid fever experienced drug interaction as many as 202 medical records (57.38%). Drugs used in typhoid fever which potentially interact were paracetamol, chloramphenicol and ranitidine. Based on the mechanism of interaction there were 26 cases (6.90%) with pharmacokinetic mechanism, 124 cases (32,89%) with pharmacodynamic mechanism, and 227 cases (60.21%) with unknown mechanism. Based on the severity of the interaction there were minor 224 cases (59.42%), moderate 151 cases (40.05%), and major 2 cases (0.53%). By using statistical test Chi Square known significant correlation between patient age and drugs amount with the number of potential drug interaction (p<0.05). Based on the research, the incidence of potential drug interaction in RSU Sari Mutiara Medan was high enough.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Drug Related Problems (DRPs) merupakan penyebab kurangnya kualitas pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat yang secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap kesembuhan pasien yang diinginkan. Penggunaan obat yang tidak rasional sering ditemukan dalam peresepan obat sehingga menimbulkan pemborosan dan mengurangi kualitas pelayanan rumah sakit (Christina, et al., 2014).

Salah satu kejadian DRP yang sering ditemukan pada peresepan di rumah sakit yaitu interaksi obat. Interaksi obat pada pasien diakibatkan adanya suatu interaksi yang bisa terjadi yaitu ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungan. Definisi yang lebih relevan adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya (Stockley, 2008).

Tidak semua interaksi obat akan bermakna secara signifikan, walaupun secara teoritis mungkin terjadi. Banyak interaksi obat yang kemungkinan besar berbahaya terjadi hanya pada sejumlah kecil pasien. Namun demikian, seorang farmasis perlu selalu waspada terhadap kemungkinan timbulnya efek merugikan akibat interaksi obat ini untuk mencegah timbulnya risiko morbiditas atau bahkan mortalitas dalam pengobatan pasien (Rahmawati, 2006).


(17)

Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan efek yang tidak diinginkan adalah akibat makin banyaknya dan makin seringnya penggunaan apa yang dinamakan polipharmacy atau multiple drug therapy. Interaksi obat dapat dicegah bila farmasis mempunyai pengetahuan farmakologi tentang obat- obat yang dikombinasikan. Haruslah diakui bahwa pencegahan itu tidaklah semudah yang kita sangka, mengingat jumlah interaksi yang mungkin terjadi pada penderita yang menerima pengobatan polifarmasi cukup banyak (Gapar, 2003).

Populasi pediatrik merupakan kelompok yang memiliki fisiologi berbeda, dan tidak boleh diperlakukan sebagai miniatur laki-laki atau wanita dewasa. Secara internasional populasi pediatrik dikelompokkan menjadi bayi prematur yang baru lahir (preterm newborn infants), bayi yang baru lahir umur 0-28 hari (term newborn infant), bayi dan anak kecil yang baru belajar berjalan umur >28 hari sampai 23 bulan (infants and toddlers), anak-anak 2- 11 tahun (children), dan anak remaja umur 12 sampai 16 sampai 18 tahuntergantung daerah (adoloscent) (WHO, 2007).

Pasien anak-anak memiliki kebutuhan yang berbeda dalam pengobatan dibandingkan dengan orang dewasa. Masalah yang berkaitan dengan perbedaan farmakokinetika, dosis, rute pemberian dan kepatuhan semuanya harus dipertimbangkan oleh ahli farmasi klinis agar dapat memaksimalkan layanan kefarmasian pada kelompok pasien tersebut (Aslam, 2003).

Demam tifoid merupakan suatu penyakit yang menyerang saluran pencernaan disebabkan Salmonella thypi dan merupakan penyakit endemik di Indonesia. Demam tifoid merupakan suatu masalah kesehatan global, Indonesia


(18)

ini karena gambaran klinis hampir sama dengan penyakit infeksi lain. Sementara laboratorium bakteriologi belum tersedia secara merata di seluruh Indonesia. Diagnosis bisa ditegakkan melalui tanda-tanda klinis, terutama lima tanda utama (mual, nyeri abdominal, anoreksia, muntah dan gangguan motilitas saluran cerna) dan kriteria lainnya. Berdasarkan tanda-tanda klinis (Kalbe, 2014).

Demam tifoid merupakan penyakit yang terdapat di seluruh dunia, di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 5700 kasus demam tifoid terjadi tiap tahun, umumnya terjadi pada wisatawan. Diperkirakan 21 juta kasus demam tifoid terjadi dan 200.000 kematian di seluruh dunia. Demam tifoid merupakan masalah utama bagi negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Pada tahun 2007, Centers for disease control and prevention melaporkan prevalensi kasus demam tifoid di Indonesia sekitar 358-810 per 100.000 penduduk dengan 64% terjadi pada usia 3 sampai 19 tahun. Di Jakarta, demam tifoid adalah infeksi kedua tertinggi setelah gastroenteritis dan menyebabkan angka kematian yang tinggi (Moehario, 2009).

Menurut laporan data surveilans dari sub Direktorat surveilans Departemen Kesehatan Republik Indonesia, insiden penyakit demam tifoid berturut-turut pada tahun 1990,1991,1992,1993 dan 1994 yaitu 9,2; 13,4; 15,8; 17,4 per 10000 penduduk. Sementara data penyakit demam tifoid dari Rumah Sakit dan pusat kesehatan juga meningkat dari 92 kasus (1994) menjadi 125 kasus (1996) per 100,000 penduduk (Rohman, 2010).

Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2008, pasien demam tifoid pada rawat jalan di Rumah Sakit menempati urutan ke- 5 dari 10 penyakit terbesar yaitu 661 penderita (5,1%), sedangkan pasien rawat inap di


(19)

Rumah Sakit menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbesar yaitu sebanyak 1.276 penderita (11,4%) (Dinkes Provinsi Sumatera Utara., 2009).

Terapi pengobatan demam tifoid dibagi menjadi pengobatan simptomatik dan spesifik dengan antibiotik sehingga membutuhkan terapi obat kombinasi. Tata laksana pengobatan demam tifoid, antibiotik seperti Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari, amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari, kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari, seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau intramuskular, sekali sehari selama 5 hari, sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari, kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran, deksametason 1- 3mg/kgbb/hari intravena dibagi 3 dosis dosis hingga kesadaran membaik (PPM IDI, 2009).

Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama atau hampir bersamaan berpotensi menyebabkan interaksi yang dapat mengubah efek yang diinginkan. Interaksi bisa bersifat aditif, sinergis atau antagonis efek satu obat oleh obat lain, atau adakalanya beberapa efek lainnya. Walaupun hasilnya bisa positif (meningkatkan kemanjuran) atau negatif (menurunkan kemanjuran, toksisitas atau idiosinkrasi) (Martin, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di instalasi rawat inap di Banjarnegara, disimpulkan terdapat variasi jumlah obat yang digunakan antara 1-7 golongan obat perharinya yang menimbulkan risiko interaksi obat (Handayani, 2005). Hasil evaluasi penggunaan obat demam tifoid pada periode Januari- Desember tahun 2004 di RSU daerah Sleman persentase kemungkinan terjadinya


(20)

RSUD Purbalingga tahun 2009, juga terdapat beberapa obat demam tifoid yang mengalami interaksi (Shinta, 2011).

Berdasarkan hal-hal diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai kejadian potensi interaksi obat pada penyakit demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan karena sampai sekarang belum ada data ilmiah mengenai interaksi obat pada penyakit demam tifoid secara retrospektif pada pasien pediatrik.

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengidentifikasi kejadian potensi interaksi obat atau obat- obat yang sering berinteraksi di RSU Sari Mutiara Medan, mengkaji frekwensi kejadian potensi interaksi obat dan mempelajari mekanisme terjadinya interaksi obat serta menentukan tingkat keparahan interaksi obat yang terjadi. Dalam hal ini karakteristik pasien (usia) dan karakteristik obat (jumlah obat yang diterima pasien) adalah variabel bebas (Independent variable) dan kejadian potensi interaksi obat adalah variabel terikat (Dependent variabel). Adapun selengkapnya mengenai gambaran kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat Potensi

Interaksi obat

Frekwensi interaksi

Mekanisme interaksi Jenis obat yang

berinteraksi Tingkat keparahan

interaksi Jumlah obat

Karakteristik pasien Karakteristik obat


(21)

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah:

a. bagaimana profil pengobatan pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan?

b. apakah terjadi potensi interaksi obat pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara?

c. apakah jenis obat demam tifoid yang sering berpotensi interaksi?

d. apa sajakah pola mekanisme interaksi obat dan tingkat keparahan interaksi obat pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara?

e. apakah usia dan jumlah obat mempengaruhi potensi interaksi obat- obat yang digunakan pada pasien demam tifoid?

1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:

a. profil pengobatan pada pasien pediatrik dilihat dari jumlah obat yang paling banyak digunakan adalah antibiotik seperti Kloramfenikol.

b. terjadi potensi interaksi obat pada peresepan obat-obat pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara.

c. jenis obat demam tifoid yang sering berpotensi interaksi Parasetamol, kloramfenikol dan ampisilin.


(22)

d. pola mekanisme interaksi obat adalah farmakokinetika, farmakodinamik dan unknown dan tingkat keparahan interaksi obat adalah berat, sedang dan ringan.

e. usia dan jumlah obat mempengaruhi potensi interaksi obat- obat yang digunakan pada pasien demam tifoid.

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

a. mengetahui profil pengobatan pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid.

b. mengetahui potensi interaksi obat pada pasien demam tifoid. c. mengetahui jenis obat demam tifoid yang sering berinteraksi

d. mengetahui pola mekanisme interaksi obat dan tingkat keparahan interaksi obat pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara

e. Mengetahui faktor yang mempengaruhi interaksi obat.

1.6 Manfaat Penelitian

Berdasarkan hal- hal di atas, maka manfaat penelitian ini adalah:

a. Memberikan gambaran mengenai profil pengobatan pada pasien pediatrik demam tifoid

b. memberikan gambaran mengenai faktor risiko potensi interaksi obat, obat- obat yang sering berpotensi berinteraksi, mekanisme terjadinya interaksi


(23)

dan tingkat keparahan terjadinya interaksi pada penyakit demam tifoid pasien pediatrik di RSU Sari Mutiara Medan

c. untuk meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan dalam upaya pelayanan kesehatan dengan peresepan obat secara rasional.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah sakit

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.

Tujuan penyelenggaraan Rumah Sakit:

a. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan

b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit

c. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya

manusia rumah sakit dan rumah sakit

Pada hakikatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat (Menkes RI., 2010).

2.2 Rekam medik

Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien mengenai pemeriksaan, pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang dapat diperoleh dari rekam medik, antara lain: data demografi pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penggunaan obat,


(25)

riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnostik, diagnosis dan terapi (Depkes RI., 2009).

2.3 Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005).

Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008).

Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan efek yang tidak diinginkan adalah akibat makin banyaknya dan makin seringnya penggunaan apa yang dinamakan polipharmacy atau multiple drug therapy (Gapar,2003).Polifarmasi merupakan penggunaan obat dalam jumlah yang banyak dan tidak sesuai dengan kondisi kesehatan pasien. Meskipun istilah polifarmasi telah mengalami perubahan dan digunakan dalam berbagai hal dan berbagai situasi, tetapi arti dasar dari polifarmasi itu sendiri adalah obat dalam jumlah yang banyak dalam suatu resep (dan atau tanpa resep) untuk efek klinik yang tidak sesuai. Jumlah yang spesifik dari suatu obat yang diambil tidak selalu menjadi indikasi utama akan


(26)

adanya polifarmasi akan tetapi juga dihubungkan dengan adanya efek klinis yang sesuai atau tidak sesuai pada pasien (Rambadhe, et al., 2012).

Interaksi obat didefenisikan oleh Committee for Proprietary Medicine Product (CPMP) sebagai suatu keadaan bilaman suatu obat dipengaruhi oleh penambahan obat lain dan menimbulkan pengaruh klinis. Biasanyah, pengaruh ini terlihat sebagai suatu efek samping, tetapi terkadang terjadi pula perubahan yang menguntungkan. Obat yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug, sedangkan obat yang dipengaruhi disebut Object drug(Dalimunthe, 2009).

Secara farmakologis, obat yang bertindak sebagai precipitant drug mempunyai sifat sebagai berikut:

a. Obat yang terikat banyak olh protein plasma, akan menggeser obat lain dari ikatannya.

b. Obat yang menghambat atau merangsang metabolisme obat lain. c. Obat yang mempengaruhi renal clearance object drug.

Sedangkan object drug, biasanya merupakan obat yang mempunyai kurva dose response yang curam. Obat- obat ini menimbulkan perubahan reaksi terapeutik yang besar dengan perubahan dosis kecil. Kelainan yang ditimbulkan bisa memperbesar efek terapinya. Juga bila dosis toksik suatu object drug, dekat dengan dosis terapinya, maka mudah keracunan obat bila terjadi suatu interaksi. Pada umumnya akan terjadi dua hal, yaitu pengurangan efek terapinya dan terjadinya efek samping (Dalimunthe, 2009).

Diperkirakan, insidensi terjadinya interaksi obat sekitar 7% dari semua efek samping obat dan kematian akibat ini sekitar 4%. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:


(27)

i. Kurangnya dokumentasi

ii. Seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan para dokter tentang mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat.

iii. Faktor keturunan, fungsi hati dan ginjal, usia (bayi dan lansia), ada atau tidaknya suatu penyakit, jumlah obat yang digunakan dan juga faktor sensitivitas penderita (Dalimunthe, 2009 ).

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawati, 2007).

Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lain. Faktor-faktor penderita yang berpengaruh terhadap Interaksi Obat:

a. Umur Penderita i. Bayi dan balita

Proses metabolik belum sempurna, efek obat dapat berbeda. ii. Orang Lanjut usia

Orang lanjut usia relatif lebih sering berobat, lebih sering menderita penyakit kronis seperti hipertensi, kardiovaskuler, diabetes, arthritis. Orang lanjut usia sering kali fungsi ginjal menurun, sehingga ekskresi obat terganggu kemungkinan fungsi hati juga terganggu, dan diet pada lanjut usia sering tidak memadai.


(28)

b. Penyakit yang sedang diderita

Pemberian obat yang merupakan kontra-indikasi untuk penyakit tertentu. c. Fungsi Hati Penderita

Fungsi hati yang terganggu akan menyebabkan metabolisme obat terganggu karena biotransformasi obat sebagian besar terjadi di hati.

d. Fungsi ginjal penderita

Fungsi ginjal terganggu akan mengakibatkan ekskresi obat terganggu. Ini akan mempengaruhi kadar obat dalam darah, juga dapat memperpanjang waktu paruh biologik (t½) obat. Dalam hal ini ada 3 hal yang dapat dilakukan, yaitu:

i. Dosis obat dikurangi

ii. Interval waktu antara pemberian obat diperpanjang, atau iii. Kombinasi dari kedua hal diatas.

e. Kadar protein dalam darah/serum penderita

Bila kadar protein dalam darah penderita dibawah normal, maka akan berbahaya terhadap pemberian obat yang ikatan proteinnya tinggi.

f. pH urin penderita

pH urine dapat mempengaruhi ekskresi obat di dalam tubuh. g. Diet penderita

Diet dapat mempengaruhi absorpsi dan efek obat (Joenoes, 2002). 2.3.1 Mekanisme interaksi obat

Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat : a. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau


(29)

mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya (BNF 58, 2009). Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :

i. Interaksi pada absorbsi obat

a) Efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).

b) Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek

Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).

c) Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan


(30)

lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya (Stockley, 2008). d) Induksi atau inhibisi protein transporter obat

Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah P-glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati digoksin (Stockley, 2008).

e) Malabsorbsi dikarenakan obat

Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008).

ii. Interaksi pada distribusi obat a) Interaksi ikatan protein

Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, yang lainnya diangkut oleh beberapa molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).

b) Induksi dan inhibisi protein transport obat

Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini


(31)

secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS (Stockley, 2008).

iii. Interaksi pada metabolisme obat

a) Perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Beratitas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).

b) Induksi Enzim


(32)

hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).

c) Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).

d) Faktor genetik dalam metabolisme obat

Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien


(33)

berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari gejala (Stockley, 2008).

e) Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi

Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008).

iv. Interaksi pada ekskresi obat a)Perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).

b) Perubahan ekskresi aktif tubular renal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan transporter anion organik (OATs)


(34)

c) Perubahan aliran darah renal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).

b. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNFC, 2009).

i. Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval QT) (Stockley, 2008).

ii. Interaksi antagonis atau berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu


(35)

protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008).

2.3.2 Tingkat keparahan interaksi obat

Potensikeparahaninteraksisangat pentingdalam menilairisikodanmanfaatterapi alternatif. Denganpenyesuaiandosis yang tepatatau

modifikasijadwalpenggunaan obat, efek negatif darikebanyakaninteraksidapat dihindari. Tigaderajatkeparahandidefinisikan sebagai:

a. Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan, konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009).

b. Keparahan moderate

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate (sedang) jika efek yang terjadidapat menyebabkanpenurunanstatus klinispasien. Pengobatan tambahan, rawat inap, ataudiperpanjangdirawat di rumah sakitmungkin diperlukan (Tatro, 2009).

c. Keparahan major

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major(berat) jika terdapat probabilitas yang tinggi,berpotensimengancam jiwaataudapat menyebabkankerusakan permanen (Tatro, 2009).

Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi obat yang mengidentifikasi kedekatan dan tingkat keparahan interaksi, dan mampu


(36)

Hal ini juga tugas para profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional harus mampu untuk merekomendasi secara individu berdasarkan parameter-pasien tertentu. Meskipun beberapa pihak berwenang menyarankan efek samping yang dihasilkan dari interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang terjadi, profesional perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obat-obatan, terutama ketika interaksi tersebut dapat diantisipasi dan dicegah (Tatro, 2009).

2.4 Pasien pediatrik

Menurut American academy of pediatriks (AAP), pediatrik adalah spesialisasi ilmu kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan sosial kesehatan anak sejak lahir sampai dewasa muda. Pediatrik juga merupakan disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengaruh biologis, sosial, lingkungan dan dampak penyakit pada perkembangan anak. Anak- anak berbeda dari orang dewasa secara anatomis, fisiologis, imunologis, psikologis, perkembangan dan metabolisme (AAP, 2012).

Secara internasional populasi pediatrik dikelompokkan menjadi: a. Bayi premature baru lahir (preterm newborn infants).

b. Bayi yang baru lahir atau neonatus umur 0-28 hari (term newborn infants). c. Bayi dan anak kecil yang baru belajar berjalan umur > 28 hari sampai 23

bulan (infants and toddlers).


(37)

e. Anak remaja umur 12 sampai 16 sampai 18 tahun tergantung daerah (adolescents) (WHO, 2007).

2.4.1 Farmakokinetika pada pediatrik

Pasien pediatrik mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam pengobatan dibandingkan dengan orang dewasa. Masalah yang berkaitan denngan perbedaan farmakokinetika, dosis, rute pemberian dan kepatuhan semuanya harus dipertimbangkan (Prest, 2004).

2.4.1.1 Absorbsi

Pada absorbsi obat, ada dua faktor utama yang terlibat yaitu laju absorbs dan jumlah yang terabsorbsi. Absorbsi sediaan oral dapat dipengaruhi oleh beberapa factor, meliputi waktu transit didalam lambung dan usus, pH lambung dan usus serta waktu pengosongan lambung yang berbeda pada neonatus maupun pada bayi. Keasaman lambung belum mendekati nilai- nilai orang dewasa sampai usia dua sampai tiga bulan. Waktu pengosongan lambung akan menyamai orang dewasa pada usia 6 bulan dan baru setelah 2 tahun produksi asam lambung akan meningkat sebanding dengan kadar per kg seperti pada orang dewasa (Prest, 2004).

Pada neonatus, waktu transit lambung lebih lama, pH lambung dan fungsi enzim bervariasi, tidak ada flora usus akan mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan secara oral (Hashem, 2005).

2.4.1.2 Distribusi

Selama usia bayi, kadar air total dalam tubuh terhadap berat badan total memiliki presentase yang lebih besar daripada anak – anak atau pada orang


(38)

2.1. Obat yang larut air seharusnya diberikan dengan dosis yang lebih besar untuk mencapai efek terapeutik yang dikehendaki.

Tabel 2.1Presentase volume cairan ekstraseluler dan kadar air total dalam tubuh terhadap berat badan.

Usia Kadar air total dalam tubuh (%) Cairan ekstraseluler (%)

Preterm neonatus 85 50

Term neonatus 75 45

3 bulan 75 30

1 tahun 60 25

Dewasa 60 20

Jumlah obat yang berikatan dengan protein merupakan hal yang paling berpengaruh dalam distribusi obat. Ikatan protein dapat berkurang pada bayi karena rendahnya kadar globulin dan albumin. Penelitian menunjukkan bahwa baru setelah usia 3 tahun ikatan protein menjadi sebanding dengan nilai orang dewasa untuk obat yang bersifat asam, untuk obat yang bersifat basa memerlukan waktu sampai usia 7-12 tahun (Prest, 2004).

2.4.1.3 Metabolisme

Pada saat baru lahir sebagian besar enzim yang terlibat dalam metabolism obat belum terbentuk atau sudah ada namun dalam jumlah yang sangat sedikit. Sehingga kapasitas degradasi metabolismenya juga belum optimal. Pada bayi dan anak – anak terdapat peningkatan yang cukup besar dalam hal laju metabolismenya. Sehingga untuk obat- obat tertentu dosis (mg/kg) yang lebih besar mungkin diprlukan anak- anak dibandingkan orang dewasa (Prest, 2004). 2.4.1.4 Ekskresi

Laju filtrasi glomerolus (GFR) pada bayi yang baru lahir lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa karena ginjalnya relative belum berkembang dengan baik. Kemampuan mengeliminasi obat pada neonatus dan bayi menjadi


(39)

belum optimal dan penurunan dosis mungkin diperlukan. Tetapi GFR akan meningkat secara cepat setelah minggu- minggu pertama kelahiran an mencapai nilai yang sebanding dengan orang dewasa pada usia 1 tahun (Perst, 2004). Nilai perkiraan GFR ditunjukkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Nilai perkiraan GFR berdasarkan usia

Umur GFR (ml/min/m2 )

4 hari pertama 1

14 hari 22

1 tahun 70

Dewasa 70

2.5 Demam tifoid

Demam tifoid adalah penyakit infeksi usus yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Insiden tifoid di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-810 per 100.000 penduduk, demikian juga dari kasus demam tifoid di rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500/100.000 penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya pengobatan (Depkes RI., 2006).

2.5.1 Patogenesis dan Patologi

Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella para typhi. Penularan ke manusia melalui makanan dan atau minuman yang tercemar dengan feses manusia. Setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus dan invasi ke jaringan limfoid (plak nyeri) yang merupakan tempat predifeksi untuk berkembang biak. Melalui saluran limfe mesentrik kuman masuk aliran darah sistemik (Bakterimia I) dan mencapai sel- sel retikulo endothelial dari


(40)

jaringan ini kuman dilepas ke sirkulasi sistemik (bakteremia II) melalui duktus torasikus dan mencapai organ- organ tubuh terutama limpa, usus halus dan kandung empedu (Depkes RI., 2006).

Kuman Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada pathogenesis demam tifoid. Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan dimana kuman Salmonella berkembang biak. Disamping itu merupakan stimulator yang kuat untuk memproduksi sitokin oleh sel- sel makrofag dan sel leukosit di jaringan yang meradang. Sitokin ini merupakan mediator- mediator untuk timbulnya demam dan gejala toksemia (proinflamatory). Oleh karena basil Salmonella bersifat intraselluler maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang- kadang pada jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal- fokal infeksi (Depkes RI., 2006).

Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama diileum bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada plak peyer terjadi hyperplasia berlanjut menjadi nekrosis pada minggu kedua dan ulserasi pada minggu ketiga, akhirnya membentuk ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan komplikasi yang berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuclear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan retikuloendotelial lain seperti limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan- kelainan patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung dan selaput otak. Pada pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses radang dan abses- abses pada banyak organ, sehingga dapat


(41)

ditemukan bronchitis, arthtritis septic, pielonefritis, meningitis dll. Kandung empedu merupakan tempat yang disenangi basil salmonella. Bila penyembhan tidak sempurna, basil tetap tahan di kandung empedu ini, mengalir ke dalam usus, sehingga menjadi karier intestinal. Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga juga menjadi karir. Adapun tempat- tempat yang menyimpan basil ini, memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps) (Depkes RI., 2006).

2.5.2 Gambaran klinis

Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan sekali (sehingga tidak terdiagnosis) dan dengan gejala yang khas sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran klinis juga bervariasi berdasarkan daerah atau Negara, serta menurut waktu. Gambaran klinis di Negara berkembang dapat berbeda dengan Negara maju dan gambaran klinis tahun 2000 dapat berbeda dengan tahun enam puluhan pada daerah yang sama (Depkes RI., 2006).

Gambaran klinis pada anak cenderung tak khas. Makin kecil anak, gambaran klinis makin tidak khas. Kebanyakan perjalanan penyakit berlangsung dalam waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.Kumpulan gejala- gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom tifoid. Beberapa gejala klinis yang sering diantaranya adalah:

a. Demam

Pada awal sakit, demam kebanyakan samar samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala, nyeri otot, pegal - pegal, insomnia,


(42)

bila pasien membaik pada minggu ketiga suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3. Demam khas pada tifoid tidak selalu ada, tipe demam menjadi tidak beraturan. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang (Depkes RI., 2006).

b. Gangguan saluran pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir kering dan terkadang pecah- pecah,lidah kotor, ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor, dan pada penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama region epigastrik, disertai nausea, mual dan muntah (Depkes RI., 2006).

c. Gangguan kesadaran

Umumnya berupa penurunan kesadaran ringan, sering kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, tak jarang penederita sampai somnolen dan koma. Pada penderita dengan toksis, gejala delirium lebih menonjol (Depkes RI., 2006).

d. Hepatosplenomegali

Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.

e. Bradikadia relative dan gejala lain

Bradikardi relative tidak sering ditemukan, mungkin karena teknik pemeriksaan yang sulit ditemukan. Bradikardi relative adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Gejala- gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan diregio abdomen atas, serta sudamina, serta gejala- gejala klinis yang


(43)

berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak jarang terjadi malahan lebih sering epitaksis (Depkes RI., 2006).

2.5.3 Komplikasi demam Tifoid

Pada minggu kedua atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai yang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering terjadi diantaranya:

a. Tifoid toksik (tifoid ensefalopati)

Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan delirium sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan.

b. Syok septic

Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik. Disamping gejala- gejala tifoid diatas, penderita jatuh kedalam fase kegagalan vascular (syok). Tensi turun, nadi cepat dan halus, berkeringat serta akral dingin. Akan berbahaya bila syok menjadi irreversible.

c. Perdarahan dan perforasi intestinal d. Peritonitis

e. Hepatitis tifosa f. Pancreatitis tifosa g. Pneunomonia

h. Komplikasi lain (Osteomielitis, arthritis , Miokarditis, perikarditis, endokarditis, pielonefritis, orkhritisdan peradangan ditempat lain) (Depkes RI., 2006).


(44)

2.5.4 Pemeriksaan Demam Tifoid a. Gambaran darah tepi

Pada pemeriksaan hitung leukosit total terdapat gambaran leukopeni (±3000-8000 per mm3), limfositosis relative, monositosis, dan eosinofilia dan trombositopenia ringan.

b. Pemeriksaan Bakteriologis

i. Jenis pembiakan menurut specimen a) Biakan darah

b) Biakan bekuan darah c) Biakan tinja

Biakan tinja lebih berguna pada penderita yang sedang diobati dengan kloramfenikol, terutama untuk mendeteksi karier.

d) Biakan cairan empedu e) Biakan air kemih ii. Biakan Salmonella typhi

Specimen untuk biakan dapat diambil dari darah,sumsum tulang, feses, urin. Spesimen darah diambil pada minggu selanjutnya. Pembiakan memerlukan waktu kurang lebih 5-7 hari. Bila laporan hasil biakan “Basil Salmonella tumbuh” maka penderita sudah pasti mengidap demam tifoid. iii.Serologis Widal

Test serologi widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang telah dimatikan) dengan agglutinin yang merupakan antibody spesifik terhadap komponen basil Salmonella didalam darah manusia (saat sakit, karier atau pasca vaksinasi). Prinsip test adalah


(45)

terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan agglutinin yang dieteksi yakni agglutinin O dan H.

Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertma demam sampai puncaknyapada minggu ke 3 sampai 5. Aglutinin ini dapat bertahan selama 6-12 bulan. Agglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lebih lama (Depkes RI., 2006). 2.5.4 Penatalaksanaan Demam tifoid

Algoritma penatalaksanaan demam tifoid dapat dilihatpada Gambar 2.1

Gambar 2.1. Algoritma tatalaksana demam tifoid (Anonim, 2008) a. Tirah baring/istirahat

Penderita demam tifoid harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah kom.0oplikasi, terutama pendarahan dan perforasi. Bila gejala klinis berat, penderita harus istirahat total (Depkes RI., 2006).


(46)

b. Nutrisi i. Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan harus mengandung komponen glukosa, natrium, kalium, klorida dan air untuk rehidrasi pasien.

ii. Diet

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi (Depkes RI., 2006).

c. Penatalaksanaan terapi farmakologi: i. Terapi simptomatik

Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita seperti vitamin, antipiretik (untuk kenyamanan penderita terutama anak-anak) atau antiemetik (diperlukan bila penderita muntah hebat) (Depkes RI., 2006).

a) Antiemetik :

i) Domperidon (p.o) : 10-20 mg 3-4 x sehari untuk anak dengan BB≥ 35 kg, ii) Ondansetron : 250-500 mikrogram/kg BB 3-4 x sehari untuk anak dengan

BB < 35 kg. 8-12 mg i.v. atau 8-24 mg p.o. setiap 24 jam untuk dewasa, 4 mg p.o. 3 x sehari untuk anak usia 4-11 tahun.

b) Antipiretik :

i) Ibuprofen (p.o.) : Untuk anak 6 bulan–12 tahun < 39° C : 5 mg/kg BB & ≥ 39° C : 10 mg/kg BB setiap 6-8 jam, dosis harian maksimal 40 mg/kg


(47)

BB/hr. Dws : 325-650 mg setiap 4-6 jam atau 1000 mg 3-4 x sehari. Anak : setiap 4-6 jam

ii) Parasetamol (p.o.): 40 mg untuk bayi usia 0-3 bulan, 80 mg untuk bayi usia 4-11 bulan, 120 mg untuk anak usia 1-2 tahun, 160 mg untuk anak usia 2-3 tahun, 240 mg untuk anak usia 4-5 tahun, 320 mg untuk anak usia 6-8 tahun, 400 mg untuk anak usia 9-10 tahun, dan 480 mg untuk anak usia 11 tahun. c) Pemberian Antibiotik

Antimikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam tifoid telah dapat ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable, maupun suspek. Sebelum anti mikroba diberikan, harus diambil specimen darah atau sumsum tulang lebih dulu, untuk pemeriksaan biakan kuman Salmonella, kecuali biakan ini betul- betul tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan (Depkes RI., 2006).

Antimikroba lini pertama untuk tifoid adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin dan trimetoprim-sulfametoksazol. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps. Bila pemberian salah satu antimikroba lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antimikroba yang lain atau dipilih antimikroba lini kedua. Antimikroba lini kedua untuk tifoid adalah seftriakson, sefiksim, dan antibiotik golongan kuinolon (Depkes RI., 2006).

i) Kloramfenikol : dewasa 4x 500 mg selama 14 hari, anak- anak 50-100 mg/Kg BB/hari. Max 2 g selama 10- 14 hari.


(48)

ii) Seftriakson: Dewasa (2-4) g/hari. Selama 3-5 hari. Anak- anak 80mg/kgBB/hari selama 5 hari.

iii) Ampisilin dan amoksisili : dewasa 3-4 g/hari selama 14 hari. Anak- anak 100mg /kgBB/hari selama 10 hari.

iv) Kotrimoksazol : dewasa 2 x (160- 800) mg selama 2 minggu. Anak-anak; TMP 6- 10 mg/kgBB/hari atau SMx 30-50 mg/kg/hari selama 10 hari. v) Quinolone :Siprofloksasin 2 x 500 mg 1 minggu

vi) Cefixime: anak anak 15- 20 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari. vii) Tiamfenikol : dewasa 4 x 500 mg, anak-anak 50mg/kgBB/hari selama 5-7


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian noneksperimen (survei) dengan rancangan studi retrospektif terhadap rekam medis pasien demam tifoid yang dirawat di bagian Pediatrik RSU Sari Mutiara. Penelitian retrospektif adalah penelitian yang berusaha melihat kebelakang (backward looking), artinya pengumpulan data dimulai dari efek atau akibat yang terjadi (Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari lembar rekam medis pasien rawat inap dan pasien rawat jalan di RSU Sari Mutiara Medan, selama periode Januari 2014 - Desember 2014.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSU Sari Mutiara Medan, pada bulan Mei 2015.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi adalah seluruh data pengobatan pasien pediatrik dengan diagnosis penyakit demam tifoid pada unit rawat inap di RSU Sari Mutiara Medan.

3.3.2 Sampel


(50)

Kriteria inklusi adalah:

a. rekam medis pasien dengan diagnosis penyakit demam tifoid dan penyakit penyerta pada pediatrik di RSU Sari Mutiara Medan periode Januari 2014 - Desember 2014.

b. kategori usia 0 - 18 tahun c. mendapat terapi ≥ 2 obat d. kategori semua gender Kriteria eksklusi adalah:

a. rekam medis pasien yang tidak lengkap (tidak memuat informasi dasar yang dibutuhkan dalam penelitian).

b. mendapat monoterapi

c. resep yang tidak dapat dibaca

3.4 Cara Pengumpulan dan Manajemen Data 3.4.1 Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu data sekunder berupa rekam medis pasien Pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan periode Januari 2014 - Desember 2014.

3.4.2 Teknik pengumpulan data

Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan rekam medis pasien Pediatrik berdasarkan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan periode Januari 2014 - Desember 2014.


(51)

Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:

a. mengelompokkan data rekam medis pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid

b. mengelompokkan data pengobatan pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid meliputi data pasien (usia, jenis kelamin) dan data obat ( nama obat, jumlah obat).

c. menyeleksi data berdasarkan ada tidaknya potensi interaksi obat berdasarkan studi literatur.

3.4.3 Defenisi operasional

a. frekwensi interaksi adalah jumlah kasus interaksi obat yang terjadi.

b. jumlah obat adalah banyaknya item obat yang diberikan dalam satu resep yang tercatat didalam rekam medis, jumlah obat ditentukan menjadi 2 obat, 3 obat, 4 obat dan ≥5obat.

c. tingkat keparahan interaksi obat adalah ringan, sedang dan major (Tatro, 2009).

d. interaksi dengan tingkat keparahan ringanadalah jika interaksi mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian (Tatro, 2009).

e. interaksi dengan tingkat keparahan sedangadalah jika satu dari bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe intervensi /monitor sering dilakukan (Tatro, 2009).

f. interaksi dengan tingkat keparahan beratadalah jika terdapat kemungkinan tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk yang menyangkut nyawa


(52)

g. mekanisme interaksi adalah bagaimana interaksi obat terjadi apakah secara farmakokinetik, farmakodinamik, atau unknown

h. usia subjek dihitung sejak tahun lahir sampai dengan ulang tahun terakhir. populasi pediatrik dikelompokkan menjadi bayi dan anak kecil baru belajar berjalan <2 tahun, anak-anak 2- 11 tahun (children), dan anak remaja umur 12-18 tahun (adoloscent)

i. demam tifoid adalah suatu penyakit yang menyerang saluran pencernaan yang disebabkan Salmonella thypi.

j. rekam medis yaitu berkas yang diberisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesa, pemeriksaan, diagnosisis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama dirawat di rumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat inap.

3.5 Analisis data

Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif. Bentuk dan kuantitas akan disajikan dalam bentuk tabel sedangkan data kualitatif akan disajikan dalam bentuk uraian. Data interaksi obat dievaluasi secara teoritik dan berurutan berdasarkan studi literatur Drug Interaction Fact, Stockley’s Drug Interaction, A to Z Drug Facts serta digunakan juga situs internet terpercaya (www.drugs.com, rxlist.com, ncbi.com, medscape.com).Analisis data menggunakan metode statistik deskriptif. Ditentukan persentase potensi interaksi obat-obat secara keseluruhan, dihitung apakah ada pengaruh usia dan jumlah obat terhadap kejadian potensi interaksi obat demam tifoid menggunakan program SPSS versi 20.0. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel.


(53)

3.6 Langkah penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat melakukan penelitian di RSU Sari Mutiara Medan.

b. menghubungi pihak RSU Sari Mutiara Medan untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data, dengan membawa surat rekomendasi dari fakultas.

c. Mendapatkan surat rekomendasi dari direktur RSU Sari Mutiara untuk mengakses data rekam medis ke kepala Instalasi rekam medis RSU Sari Mutiara.

d. mengumpulkan data berupa data rekam medis yang tersedia di RSU Sari Mutiara Medan.

e. mengolah data yang sudah dikumpulkan dengan menggunakan Ms. Excel 2007.

f. menganalisis data dan informasi yang diperoleh sehingga didapatkan kesimpulan dari penelitian.


(54)

3.7 Alur penelitian

Adapun alur pelaksanaan penelitian digambarkan pada Gambar3.1.

BAB III

Gambar 3.1 Skema pelaksanaan melakukan penelitian Rekam medis pasien pediatrik demam tifoid

Pengelompokan data berdasarkan kriteria

inklusi

Pengelompokan datapenggunaan obat

pasien Identifikasi potensi

interaksi obat

Penghitungan frekuensi interaksi

Penentuan mekanisme interaksi

Penentuan tingkat keparahan interaksi

Analisis data


(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan dari rekam medik pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid pada rawat inap di RSU Sari Mutiara Medan periode Januari 2014 – Desember 2014 diperoleh 396 rekam medis dengan diagnosis demam tifoid, dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 352 rekam medis. 4.1.1 Karakteristik subjek penelitian

Berdasarkan sampel yang diambil dari 352 rekam medis pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan, diperoleh gambaran umum subjek yang dominan. Karakteristik subjek yang diteliti secara garis besar ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 karakteristik subjek penelitian (n= 352)

Karakteristik subjek pada Tabel 4.1 terdiri dari tiga kelompok. Kelompok pertama yaitu kelompok jumlah obat yang digunakan oleh pasien berdasarkan

No Karakteristik subjek Total rekam medik (n= 352) % 1 Jumlah obat

2 obat 3 obat 4 obat

≥5 obat

6 69 90 187

1,70 19,60 25,57 53,13 2 Usia pasien

<2 tahun 2-11 tahun 12-18 tahun

16 244

92

4,54 69,32 26,14 3 Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

199 153

56,53 43,47


(56)

umur pediatrik secara Internasional menurut World Health Organizations dikelompokkan menjadi bayi prematur yang baru lahir (preterm newborn infants), bayi yang baru lahir umur 0-28 hari (term newborn infant), bayi dan anak kecil yang baru berjalan umur >28 hari sampai 23 bulan (infants and toddlers), anak-anak 2-11 tahun (children), dan anak-anak remaja umur 12-18 tahuntergantung daerah (adoloscent) (WHO, 2007). Kelompok ketiga yaitu kelompok jenis kelamin yang dibagi menjadi dua kelompok.

a. Jumlah obat

Berdasarkan hasil penelitian, pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan pada periode Januari 2014 – Desember 2014 diperoleh persentase tertinggi adalah pasien yang menerima ≥ 5 obat dengan persentase 53,13%. Menurut Mentri Kesehatan Republik Indonesia mengenai pengendalian demam tifoid, diperoleh bahwa terapi yang dibutuhkan untuk demam tifoid berupa terapi simptomatis membutuhkan multi terapi diantaranya antipiretik, antiemetik, vitamin dan pemberian nutrisi berupa cairan dan diet (Depkes RI., 2006).

b. Usia pasien

Berdasarkan hasil penelitian, pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan pada periode Januari 2014 – Desember 2014 diperoleh persentase tertinggi adalah pasien dengan usia 2- 11 tahun sebanyak 69,32%. Penyakit demam tifoid dapat menyerang semua golongan umur. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUProf.Dr.R.D.Kandou, Manado, Juli 2007- Juni 2012 pada anak usia 6 bulan-13 tahun dengan diagnosis demam tifoid, diperoleh usia terbanyak diatas 5


(57)

tahunyang juga sesuai dengan laporan Bhan dan Bhatnagar (2005) bahwa di daerah endemis kasus demam tifoid tersering pada usia 5– 19 tahun, diikuti dengan usia 1– 5 tahun. Pada usia 6- 10 tahun merupakan masa anak mulai mengenal lingkungan dan bersosialisasi dengan temannya, mereka mulai mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak diketahui dengan jelas kebersihannya (Rampengan, 2013).

Berdasarkan laporan RSU Daerah Ungaran tahun 2006-2011 demam tifoid menempati peringkat pertama morbiditas 10 penyakit terbanyak. Anak-anak atau pediatrik memiliki risiko yang tertinggi terhadap infeksi ini, disebakan banyaknya kesempatan untuk jajan sembarangan, kurangnya higienitas seperti lupa untuk menyuci tangan sebelum makan (Pramitasari, 2013).

Prevalensi demam tifoid paling tinggi pada usia 5 - 9 tahun karena pada usia tersebut mereka cenderung memiliki aktivitas fisik yang tinggi, atau dapat dikatakan sibuk dengan pekerjaan dan kemudian kurang memperhatikan pola makan, akibatnya cenderung lebih memilih makan di luar rumah, atau jajan di tempat lain, khususnya pada anak usia sekolah, yang mungkin tingkat kebersihannya masih kurang, dan bakteri Salmonella thypi banyak berkembang biak khususnya dalam makanan sehingga mereka tertular demam tifoid. Usia anak sekolah, cenderung kurang memperhatikan kebersihan atau higiene perseorangan mungkin diakibatkan ketidaktahuan bahwa dengan jajan makanan sembarang dapat tertular penyakit demam tifoid (Robert, 2007).

Di Indonesia, orang berusia 3 tahun - 19 tahun menyumbangkan 91% kasus demam tifoid dan tingkat serangan demam tifoid berdasarkan kultur darah


(58)

Papua New Guinea. Ketika demam tifoid merupakan endemik yang tinggi di Negara tertentu di Amerika Selatan, insiden klinis demam tifoid pada anak- anak berumur di bawah 3 tahun adalah rendah. Di Amerika Selatan insiden tertinggi terjadi pada murid sekolah pada usia 5 – 19 tahun dan pada usia dewasa berumur lebih dari 35 tahun (WHO, 2003).

c. Jenis kelamin

Berdasarkan hasil penelitian, pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan pada periode Januari 2014 – Desember 2014 diperoleh persentase tertinggi adalah pasien laki-laki dengan persentase 56,32%. Hasil penelitian ini juga mirip dengan penelitian yang dilakukan RS X di Yogyakarta yaitu ditemukan penderita demam tifoid lebih tinggi pada laki- laki dari perempuan (Sulistiati, 2013). Hal ini dipengaruhi karena laki- laki lebih sering melakukan aktifitas diluar rumah sehingga memungkinkan laki- laki mendapatkan resiko lebih besar terkena demam tifoid dibandingkan perempuan (Musnelina, 2004).

4.1.2 Profil pengobatan pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid Berdasarkan hasil pengamatan pada 352 rekam medis pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid, obat yang paling banyak digunakan adalah Paracetamol (18,61%), Ranitidin (10,11%), Cefotaxime (9,71%), Metamizol 9,23%) dan Kloramfenikol 7,28%). Profil pengobatan subjek yang diteliti secara garis besar ditunjukkan pada Tabel 4.2.


(59)

Tabel 4.2 Profil pengobatan pada pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan pada periode Januari 2014 – Desember 2014

No Nama obat Tingkat penggunaan Persentase (%)

1 Paracetamol 276 18,61

2 Ranitidin 150 10,11

3 Cefotaxime 144 9,71

4 Metamizol 137 9,23

5 Kloramfenikol 108 7,28

6 Ceftriaxon 85 5,73

7 Ampicillin 65 4,38

8 Domperidon 64 4,31

9 Ambroxol 58 3,91

10 Albuterol 47 3,17

11 Ondansetron 41 2,76

12 Levofloksasin 23 1,55

13 Unidryl 20 1,39

14 Deksametason 17 1,15

15 Metronidazol 17 1,15

16 Gentamisin 16 1,08

17 Antasida 14 0,94

18 Sucralfat 13 0,87

19 Dekstrometorphan 13 0,87

20 Siprofloksasin 12 0,81

21 Ceterizine 11 0,74

22 Dulcolax 11 0,74

23 Transamin 10 0,67

24 Amoksisilin 10 0,67

25 Dypenidramin HCL 9 0,61

26 OBH 9 0,61

27 Candistatin 9 0,61

28 Cefadroxil 9 0,61

29 Omeprazole 8 0,54

30 Budesonide 8 0,54

31 Kotrimoksazol 7 0,47


(60)

Tabel 4.2 (lanjutan)

Terapi demam tifoid dibagi menjadi pengobatan simptomatik dan spesifik dengan antbiotik sehingga membutuhkan terapi kombinasi (PPM IDI, 2009). Demam adalah gejala utama demam tifoid yang dari hari ke hari intensitasnya semakin tinggi yang disertai gejala lain seperti pusing, anoreksia, mual dan muntah, lidahkotor dan ditutupi selaput putih. Pada umumnya penderita mengalami nyeri perut dan ulu hati, hepatosplenomegali, bradikardi relatif serta gangguan kesadaran. Pada minggu selanjutnya timbul diare. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah rose spot (Depkes RI., 2006). Rose spot merupakan suatu ruam makulo popular yang berwarna merah dengan ukuran 2-4 μm seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang

36 Ceftrizine 5 0,34

36 Lansoprazole 4 0,27

37 Azitromisin 2 0,13

38 Fenobarbital 2 0,13

39 Oroxin 2 0,13

40 Alprazolam 1 0,067

41 Fluticason 1 0,067

42 Amlodipin 1 0,067

43 Asam mefenamat 1 0,067

44 Ibuprofen 1 0,067

45 Procaterol 1 0,067

46 Interhistin 1 0,067

47 Fenitoin 1 0,067

48 Tetrasiklin 1 0,067

43 Prednisolon 1 0,067

44 Eritromisin 1 0,067

45 Vometa 1 0,067

46 Vitamin dan suplemen 77 5,2


(61)

Paracetamol dan Metamizol sering digunakan sebagai analgesik dan antipiretik. Antipiretik seperti parasetamol dan metamizole digunakan untuk menurunkan demam, yang merupakan gejala yang sering timbul pada kasus demam tifoid. Metamizole bekerja menekan pembentukan prostaglandin, mempunyai efek antipiretik, analgetik dan antiinflamasi (Anonim, 2007). Metamizol memiliki efek antipiretik yang lebih tinggi dibandingkan dengan Paracetamol (Rahmawati, 2015), tetapi efek analgesik nya lebih rendah dari Paracetamol (Lubis, 2011). Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama yang digunakan untuk terapi demam tifoid (PPM IDI, 2009). Kloramfenikol telah lama digunakan untuk demam tifoid. Tetapi saat ini muncul masalah resistensi terhadap antibiotika ini. Di samping itu, angka kekambuhan tinggi, gambaran klinis tidak jelas dan risiko komplikasi. Cefotaxime merupakan antibiotic lini kedua yang digunakan pada terapi demam tifoid. Resistensi muncul akibat penggunaan antibiotik yang salah, penggunaan berlebihan (overuse), salah penggunaan (misuse), dan underuse (Kalbe, 2014).

Menurut buku Pedoman Pengendalian Demam Tifoid antibiotik lini pertama untuk demam tifoid adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin dan trimetoprim-sulfametoksazol. Jika pemberian salah satu antimikroba lini pertama tidak efektif, maka dapat diganti dengan antibiotik lini kedua yaitu seftriakson, sefiksim, dan golongan kuinolon (Depkes RI., 2006).

Pemberian obat dipengaruhi oleh penyakit penyerta pasien, seperti pada pasien dengan diagnosis demam tifoid diikuti sindrom disentri diberikan terapi Norages, Ceftriaxon, Paracetamol, Metronidazol, OB-Ivy syrup, Ceterizine,


(62)

Penggunaan obat selain antibiotik pada pengobatan demam tifoid dipengaruhi oleh gejala yang diderita pasien dan penyakit penyertanya. Distribusi pasien berdasarkan diagnosis penyakit pada pasien demam tifoid yang didiagnosis dengan penyakit penyerta yaitu Dengue Haemorrhagic Fever sebanyak 44 kasus (12,50%), Gastroenteritis dan Bronkopneumonia masing masing sebanyak 19 kasus (5,38%), Infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) sebanyak 8 kasus (2,27%), Dyspepsia sebanyak 4 kasus (1,14%), Tonsilitis, dehidrasi dan Morbili masing – masing sebanyak 2 kasus (0,57%) dan 1 kasus masing masing disentri, konstipasi, vomitis, malaria dan tuberculosis (0,28%).

4.1.3 Gambaran potensi interaksi obat subjek penelitian

Berdasarkan analisis terhadap 352 rekam medis pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid di RSU Sari Mutiara Medan, diperoleh bahwa kejadian potensi interaksi obat terjadi 57,38% (202). Gambaran potensi interaksi obat digambarkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Gambaran kejadian potensi interaksi obat 0

50 100 150 200 250

ya tidak

berpotensi interaksi tidak berpotensi interaksi


(63)

Gambaran umum kejadian interaksi obat secara keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 4.3dandiagram batang potensi interaksi obat digambarkan pada Gambar 4.2. dan Gambar 4.3.

Tabel 4.3 Gambaran kejadian potensi interaksi obat subjek penelitian

Berikut adalah diagram batang potensi interaksi obat hasil persentase antara kelompok jumlah obat dengan total pasien (n= 352).

Gambar 4.2 Diagram kejadian potensi interaksi obat berdasarkan jumlah obat 0,28

5,4

12,78

38,92

1,42

14,2 13,63 14,2

0 10 20 30 40 50

Dua obat Tiga obat Empat obat ≥5 obat Berinteraksi Tidak berinteraksi

No Kriteria Subjek

Total pasien: 352 Subjek

berpotensi berinteraksi

% Subjek tak berinteraksi

%

1 Jumlah obat

2 obat 1 0,28 5 1,42

3 obat 19 5,40 50 14,20

4 obat 45 12,78 45 13,63

≥ 5 obat 137 38,92 50 14,20

Total 202 57,38 150 43,45

2 Usia

< 2 tahun 6 1,70 10 2,84

2-11 tahun 135 38,35 110 31,25

12-18 tahun 61 17,33 30 8,52


(1)

14 Kloramfenik ol →budesonid

e

Farmako kinetika

Kloramfeni kol dapat meningkatk

an penyerapan budesonide ke dalam aliran darah

Kombinasi dengan inhibitor CYP450 3A4 dapat

meningkatkan bioavailabilitas sistemik budesonide, yang mengalami metabolism tingkat pertama dan

metabolisme sistemik melalui usus dan hati CYP450 dan 3A4.

Kemungkinan peningkatan efek samping sistemik budesonide harus dipertimbangkan selama terapi bersamaan dengan CYP450 3A4 inhibitor. Selain itu, dosis efektif

terendah

budesonide harus diresepkan, dan penyesuaian lebih lanjut dibuat yang diperlukan sesuai dengan respon terapi dan toleransi. Pasien harus dipantau untuk tanda-tanda dan gejala

hypercorticism. 15 Siprofloksa

sin ↔ ondansetron

Farmako dinamik -

additif

Penggunaa

n

siprofloksa

sin dan

ondansetro

n dapat

memperpa

njang

Interval

QT.

Secara teoritis,

penggunaan

bersama obat

yang dapat

menyebabkan

perpanjangan

interval QT

dapat

mengakibatkan

efek aditif dan

peningkatan

risiko aritmia

ventrikel

termasuk

torsade de

pointes

dan

kematian

mendadak .

Risiko ini

dapat

ditingkatkan

dengan

faktor-faktor risiko

seperti

sindrom

kongenital

Pemantauan EKG dianjurkan untuk obat kombinasi yang

memperpanjang interval QT, kelainan elektrolit, CHF, atau


(2)

QT, penyakit

jantung, dan

gangguan

elektrolit.

Selain itu,

tergantung

pada obat yang

digunakan dan

dosis obat.

16 Antasida→

tetrasiklin

Farmako kinetika

Penurunan efek tetrasiklin.

khelasi

tetrasiklin oleh kation,

membentuk sebuah

kompleks yang tidak larut yang sulit diserap oleh saluran pencernaan.

Pemberian bersamaan kedua obat ini tidak dianjurkan, dilakukan interval pemberian selama 2 – 3 jam.

17 Fenitoin → ondansetron

Farmako kinetika

Fenitoin akan

menurunkan jumlah atau efek ondansetron , berkurang nya efek antiemetik

fenitoin akan menurunkan tingkat atau efek ondansetron dengan menginduksi enzim CYP3A4 hati/ usus.

Dilakukan pemantauan

terhadap efek terapi ondansetron, peningkatan dosis ondansetron bila diperlukan.

18 Fenitoin → Paracetamol

Farmako kinetika

fenitoin mengurangi jumlah paracetamol dengan mempercep at metabolis me.

Mekanisme mungkin terkait dengan induksi metabolisme paracetamol dengan akibat peningkatan dalam metabolit hepatotoksik.

Pemantauan fungsi hati dianjurkan. Pasien harus dianjurkan untuk menghindari dosis besar atau

penggunaan jangka panjang dari paracetamol. 19 Fenitoin

→ Diazepam

Farmako kinetika

Fenitoin akan menurunkan

jumlah atau efek diazepam.

fenitoin dapat mengurangi konsentrasi plasma dari beberapa benzodiazepin dengan menginduksi metabolismenya melalui enzim mikrosomal hati.

Respon

farmakologis dan tingkat serum hydantoin harus dipantau setiap kali diazepam

ditambahkan atau dihentikan dari terapi, dan dosis fenitoin disesuaikan seperlunya.


(3)

20 Gentamicin ↔ Ceftriaxon

Unknown Meningkatn ya efek nefrotoksik

Penggunaan

bersama dari

aminoglikosida

dan

sefalosporin

dapat

meningkatkan

risiko

nefrotoksisitas

Gunakan dosis terendah, dan monitor fungsi ginjal. Risiko nefrotoksik lebih tinggi pada pasien yang sudah uda dan gangguan ginjal.

21 Fenobarbital → paracetamol

Farmako kinetika

Fenobarbital mengurangi jumlah paracetamol dengan meningkatk an

metabolis me.

Mekanisme mungkin terkait dengan

peningkatan metabolisme CYP450 paracetamol dengan akibat peningkatan dalam metabolit hepatotoksik.

Pemantauan untuk efikasi dan

keamanan dianjurkan.

Penggunaan jangka panjang atau dosis tinggi paracetamol harus dihindari oleh pasien dengan terapi barbiturat. 22 Fenobarbital

→ diazepam

Farmako kinetik

1.fenobarbit al akan menurunkan tingkat atau efek diazepam 2.

kombinasi fenobarbital dan

diazepam meningkatk an efek sedasi

1.mempengaruhi metabolisme hati / enzim usus CYP3A4

2.

mempengaruhi metabolism enzim hati CYP2C19

Selama penggunaan kombinasi obat ini, pasien harus dipantau untuk efek sedasi atau depresi pernafasan. Pasien rawat jalan harus dianjurkan untuk menghindari kegiatan berbahaya yang memerlukan kewaspadaan mental dan

koordinasi motorik, dan untuk

memberitahu dokter mereka jika mereka mengalami efek SSP

berlebihan atau berkepanjangan yang mengganggu aktivitas normal mereka.

23 Fenobarbital → dexametason

Farmako kinetik

Berkurangn ya efek terapi deksametas on.

Meningkatnya laju metabolism kortikosteroid dengan induksi enzim CYP3A4 oleh barbiturat

Pasien yang diobati bersamaan dengan barbiturat mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi dari kortikosteroid


(4)

Respon

farmakologis untuk agen ini harus dipantau dan dosis disesuaikan seperlunya. 24 Antasida

→ siprofloksasi

n

Farmako kinetik

Antasida mengurangi jumlah siprofloksas in dengan menghamba t

penyerapan GI .

Mekanisme ini khelasi dari kuinolon oleh kation polivalen , membentuk kompleks yang buruk diserap dari saluran pencernaan. Bioavailabilitas siprofloksasin telah dilaporkan menurun sebanyak 90 % bila diberikan dengan antasida yang

mengandung aluminium atau magnesium hidroksida.

Ketika kombinasi tidak dapat

dihindari, antibiotik kuinolon harus diberikan sebelum 2 - 4 jam atau setelah 4 - 6 jam.


(5)

Lampiran 8 Tinjauan interaksi obat kategori Berat

NO Nama Obat

Pola Mekanisme

Interaksi Obat

Efek Mekanisme Interaksi

Manajemen

1 Deksametason ↔ levofloksasin

Farmakokine tika

Menggunak an levofloksa

sin dan deksameta

son dapat meningkat

kan risiko tendinitis dan tendon

pecah.

Mekanisme tidak diketahui. Tendinitis dan tendon pecah telah paling sering

melibatkan tendon Achilles, meskipun kasus yang melibatkan

manset rotator (bahu), tangan, bisep, dan ibu jari juga

telah dilaporkan.

Beberapa telah diperlukan

perbaikan bedah atau mengakibatk

an cacat berkepanjang

an. Ruptur tendon dapat

terjadi selama atau

sampai beberapa bulan setelah selesai terapi fluorokuinol

on.

Perhatian terutama pada

pasien dengan factor

risiko penyerta lainnya (usia

> 60 tahun, transplantasi ginjal, paru – paru). Pasien

harus berhenti konsumsi florokuinolon

dan hubungi dokter jika mengalami rasa sakit.


(6)

2 Dekstrometorphan ↔

Ondansetron

Farmakokine tika

Menyebabk an sindrom serotonin

Seiring penggunaan

antagonis reseptor 5-HT3 dengan

agen yang memiliki

atau meningkatka

n aktivitas serotonergik

dapat mempotensia

si risiko sindrom serotonin, yang jarang namun serius

dan berpotensi kondisi fatal sebagai hasil hiperstimulas i batang otak 5-HT1A dan reseptor 2A.

Pasien harus dimonitor atas gejala sindrom serotonin

selama pengobatan.

Khususnya saat dilakukan peningkatan