Analisis Struktural Harga Minyak Goreng Dan Volume Ekspor Crude Palm Oil Indonesia Pengaruhnya Terhadap Harga Crude Palm Oil Internasional

BAB. I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Masalah.
Pohon kelapa sawit termasuk pada kelompok : magnoliophyta kelas : liliopsida

ordo : arecales famili : arecaceae palmae spesies elaeis guineensis, manakala kelapa
sawit terdiri dari dua sub spesies yakni kelapa sawit berasal dari Afrika, elaeis guineensis
jacq, yang tumbuh disekitar hutan hujan Sierra Leone hingga Republik Kongo dan
Gambia, serta benih pohon kelapa sawit berasal dari Amerika latin, elaeis guineensis
oleifera, yang bibitnya diambil dari sekitar hutan hujan Amerika Selatan, (Departermen
Perindustrian, 2007).
Menurut Lubis, (1992), pertama kali tanaman Elaeis Guineensis Jacq dibawa ke
Indonesia pada tahun 1848, oleh Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stanford Raffles
sebagai tanaman koleksi dan sekaligus tanaman hias pada kebun raya Bogor. Kelapa
sawit pertama ditanam secara komersial didalam skala tanaman perkebunan adalah di
Propinsi Sumatera Utara, pada tahun 1911. Sebelumnya telah dilakukan beberapa
percobaan penanaman di Muara Enim , 1869, Musi Hulu , 1870, dan Bitung, 1880. Pada
tahun 1939 Indonesia telah menjadi produsen sekaligus eksportir minyak sawit terbesar
dunia. Keberadaan Indonesia sebagai pemasok minyak nabati telah berlangsung lama,

yaitu semenjak awal abad 19, dimana pada masa itu tahap produksi sampai dengan
perdagangan sawit di Indonesia masih dijalankan oleh bangsa Eropa.
Minyak sawit memiliki barang substitusi sempurna, minyak kedelai dan
substitusi tidak sempurna, minyak hewani. Permintaan atas minyak nabati tumbuh lebih
baik dari permintaan minyak hewani oleh sebab keunggulan alamiah minyak nabati,
(Pahan, 2011). Penjualan dipasar internasional permintaan minyak sawit tumbuh lebih
baik dari minyak kedelai, hal ini disebabkan selisih harga relatif dari kedua komoditas
29

yang saling substitusi tersebut. Prihal dimaksud terlihat pada Tabel 1.1 menunjukkan
perbedaan dari kedua jenis minyak nabati tersebut.
Tabel 1.1 Produksi Minyak Nabati Dunia Tahun 1998 dan Tahun 2008.
Jenis Minyak
Nabati
Soybean Oil
Crude Palm Oil
Rapeseed Oil
Sunflower Oil
Groundnut Oil
Cottonseed Oil

Coconut Oil
Olive Oil
Palm Kernel Oil
Maize Oil
Others Oil
Total

Produksi
1998 (ton)
24.184.526
21.285.637
11.496.718
8.868.495
5.357.069
3.857.753
3.500.793
2.394.830
2.313.631
1.864.259
1.603.253

83,656,964

% Pangsa
Produksi
28.91
21.77
13.74
10.60
6.40
4.61
4.18
2.86
2.77
2.23
1.92
100.00

Produksi
2008 (ton)
38.524.824

43.136.925
18.171.518
11.027.327
5.797.109
4.988.201
3.752.825
2.886.019
5.140.477
2.217.006
1.742.461
137,384,692

% Pangsa
Produksi
28.04
31.40
13.23
8.03
4.22
3.63

2.73
2.10
3.74
1.61
1.27
100.00

Harga 2008
(US$/ton)

1.087
974
1.275
1.381
1.368
1.266
1.378
1.352
1.239
1.306

-

Sumber : Oil World (2010).
Tabel 1.1 menunjukkan harga Crude Palm Oil (CPO), adalah harga terendah
US$ 974/ton metric, namun dari pertambahan produksi minyak CPO (9,63%) tertinggi,
penyebabnya, pola tanam produksi kelapa sawit bersifat tanaman pohon yang berbuah
setelah berumur empat tahun dan masih tetap produktif berbuah sepanjang waktu
sampai usia tanaman mencapai 28 tahun. Sedangkan pertumbuhan dari sisi konsumsi,
lebih disebabkan banyaknya utilitas turunan dari komoditas CPO yang hingga kini
masih terus berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi, (Pahan 2011). Kelapa
sawit berbeda dengan tanaman penghasil minyak nabati lain yang sifatnya adalah
tanaman musiman dimana seperti minyak bunga matahari dengan masa panen
maksimal mencapai dua kali panen dalam setahun. minyak bunga matahari adalah
harga tertinggi dari minyak nabati yang mencapai US$ 1,381/ ton negara produsen
terbesar minyak bunga matahari adalah Afrika Selatan diikuti oleh Australia.

30

Menurut Anindita (2008), harga produk pertanian terutama berkaitan dengan
kebutuhan pokok, akan berpengaruh langsung atas kesahjateraan masyarakat sehingga

secara teoritis harga produk akan mempengaruhi berbagai aspek sosial melalui
mekanisme pembentukan dan fluktuasi pendapatan, pembentukan kesahjateraan, serta
pembentukan nilai export dan import, serta fluktuasi produk pertanian. Anindita, (2008)
menjelaskan harga produk pertanian memiliki karakteristik produk spesifik seperti ;
1. Keadaan biologi dilingkungan pertanian seperti hama penyakit dan iklim sehingga
menyebabkan output produksi pertanian bersifat musiman dan tidak kontiniutas.
2. Barang produk pertanian bersifat mudah rusak kualitasnya (perishable goods).
3. Adanya persoalan time lag didalam upaya memaksimalkan produksi pertanian.
4. Keadaan pasar, khususnya struktur pasar dan anggapan tentang pasar pertanian.
5. Dampak dari campur tangan pemerintah seperti kebijakan dari harga produk.
Secara keseluruhan menyebabkan harga barang produk pertanian bersifat
fluktuatif terutama dibandingkan dengan harga barang produk industri. Sementara dari
sisi permintaan harga produk pertanian memiliki sifat in elastis atau sebagai ( Є < 1 )
dan juga persaingan antar produk bersifat kompetitif serta produk selalu berada dalam
lingkungan decentralized market, sehingga hampir pasti setiap komoditi pertanian akan
memiliki beragam model permintaan yang bersifat spesifik atas masing-masing harga
produk pertanian, (Anindita, 2008).
Sektor perkebunan memiliki peran penting sebagai sumber devisa Indonesia.
Ekspor hasil perkebunan tahun 2008 telah mencapai US$ 10.04 miliar. dan sektor
perkebunan merupakan sumber pendapatan masyarakat yang mampu menyerap tenaga

kerja hingga 17.5 juta orang, khusus yang bekerja pada on farm saja. Belum terhitung
yang bekerja di off farm seperti industri pengolahan dan perdagangan, (Nugroho 2008).
31

Membicarakan harga Palm Kernel Oil (PKO) dan harga minyak kedelai serta
harga CPO, dari pasar Roterdam, harga rata-rata tahunan, tersaji pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Harga Rata-Rata Tahun, PKO, Minyak Kedelai, CPO, 1996-2011. (US$/ton)
Tahun
Harga Palm Kernel Oil Harga Minyak Kedelai Harga Crude Palm Oil
1996
892
754
617
2001
999
834
669
2006
1.167
1.020

882
2011
1.381
1.228
1.086
Sumber (diolah dari ) : Oil World (2010) dan USDA-FAS (2010).
Tabel 1.2 memperlihatkan harga dari Palm Kernel Oil (PKO) selalu lebih mahal
dari harga minyak kedelai atau harga (CPO), dimana harga rata-rata PKO selama kurun
17 tahun adalah 1,132 US$/ton metrik, diikuti oleh harga minyak kedelai dengan harga
rata-rata 979 US$/ton metrik selanjutnya disusul harga CPO 815 US$/ton metrik.
Menurut Departermen Perindustrian (2007), dalam hal industri pengolahan,
CPO di Indonesia telah berkembang dengan pesat. Hingga tahun 2006, jumlah unit
pengolahan parik kelapa sawit di seluruh Indonesia mencapai 561 unit dengan kapasitas
olah terpasang 16.268 ton buah sawit per jam yang setara dengan 18,6 juta ton CPO
pertahun atau produksi aktual rata-rata 17,3 ton CPO perjam. dimana diantaranya 458
unit pabrik dimiliki oleh swasta dan 103 unit pabrik milik Badan Usaha milik Negara
(BUMN). Sedangkan industri pengolahan produk turunannya, kecuali minyak goreng,
masih belum berkembang dan kapasitas terpasang baru sekitar 11 juta ton/tahun.
Industri oleokimia Indonesia sampai tahun 2000 baru memproduksi oleokimia 10,8%
dari produksi dunia. Indonesia merupakan negara net exporter dimana impor dari

Singapura dan Malaysia dilakukan hanya pada saat-saat tertentu. Secara umum, ekspor
minyak sawit kasar Indonesia (CPO) pada tahun 1980-2005 meningkat dengan laju
12,9% per tahun. Sementara ekspor minyak inti sawit Indonesia (PKO) pada tahun
1980-2005 meningkat dengan laju pertambahan ekspor sekitar 12,5% per tahun.
32

Ekspor minyak sawit kasar dan minyak inti sawit Indonesia pada 2006
diproyeksikan mencapai sekitar 11,413 ribu ton dan 1,260 ribu ton. Impor minyak sawit
umumnya dalam bentuk Olein dari Singapura dan Malaysia. Impor Olein biasanya
terjadi pada waktu harga pasar tinggi dimana terjadi rush export dari Indonesia. Pada
tahun 2005 pangsa ekspor minyak sawit Indonesia mencapai sekitar 39,35% dari ekspor
minyak sawit dunia. Pada periode yang sama, pangsa ekspor minyak sawit Malaysia
adalah sekitar 50,74% dan sisanya dikuasai oleh beberapa negara, seperti Papua Nuigini
dan Pantai Gading. Pada tahun 2006, pangsa ekspor minyak sawit Indonesia telah
mencapai sekitar 39,18% dari ekspor minyak sawit dunia dan pangsa ekspor minyak
sawit Malaysia adalah sekitar 50,31%. Fenomena yang krusial adalah terjadi
kecenderungan penurunan pangsa pasar CPO Malaysia dilain pihak pangsa pasar
ekspor CPO dari Indonesia semakin meningkat, (Departermen Perindustrian, 2007).
Selanjutnya perkembangan volume produksi minyak kelapa sawit CPO,


pada

tahun 2008, Indonesia menjadi pemimpin produksi minyak sawit dunia, dengan pangsa
proporsi produksi mencapai 44.41 % sementara Malaysia memproduksi 43.36 %,
namun didalam tujuan ekspor CPO maka Malaysia masih menjadi pemasok CPO
terbesar didunia, hal dimaksud terlihat pada Tabel 1.3 berikut,
Tabel 1.3 Volume Produksi, Konsumsi dan Ekspor CPO Indonesia serta Volume
Produksi, Konsumsi dan Ekspor CPO Malaysia Tahun 1996 -2011, (ton).
Tahun

Volume
Volume
Volume
Volume
Volume
Produksi
Konsumsi
Ekspor
Produksi
Konsumsi
CPO
CPO
CPO
CPO
CPO
Indonesia
Indonesia Indonesia
Malaysia
Malaysia
1996 6.406.108
1.300.304 5.105.804
6.951.986 423.026
2001 9.722.614
1.815.295 7.907.319 10.336.189 810.434
2006 14.950.451 2.949.042 12.001.409 15.475.973 1.389.460
2011 23.966.302 4.510.274 19.456.028 21.452.320 3.549.026
Sumber (diolah dari) : 1. BPS (2010)
2. MPOB ( 2010).

Volume
Ekspor
CPO
Malaysia
6.528.960
9.525.755
13.786.513
17.903.294

33

Tabel 1.3 menunjukkan bahwa angka volume produksi CPO Indonesia dalam
kurun waktu 17 tahun mengalami pelonjakan produksi sebanyak 3,74 kali lipat yakni
perbandingan produksi tahun 1996 kepada tahun 2012, Data ini juga menunjukkan
jika tahun 2008 volume produksi CPO Indonesia adalah terbesar didunia melampaui
produksi CPO Malaysia kemudian volume konsumsi CPO juga meningkat sebanyak
3,8 kali lipat, dengan rata-rata konsumsi CPO sekitar 20 % dari produksi CPO nasional,
dimana terjadi kecenderungan menurunnya pertumbuhan konsumsi CPO Indonesia ini
disebabkan pertumbuhan produksi CPO meningkat lebih cepat. Sementara volume
ekspor CPO juga melonjak 3,46 kali lipat dengan rata-rata jumlah eskpor 80 % dari
volume produksi CPO. Sedangkan negara tujuan utama ekspor adalah China dan India
yang berkisar 70 % dari total ekspor disusul oleh negara-negara Eropa sekitar 10% dari
total ekspor.
Produksi CPO Malaysia, didalam Tabel 1.3, untuk kurun 17 tahun yakni
perbandingan tahun 1996

kepada tahun 2012 terlihat volume produksi CPO

pertumbuhannya 2 kali lipat angka ini lebih rendah dari volume produksi Indonesia
disebabkan keterbatasan lahan baru namun jika dilihat dari produksi lahan sawit
perhektar maka berada jauh diatas Indonesia, kemudian volume ekspor CPO
Malaysia tumbuh 4,9 kali lipat, yang menarik adalah pertumbuhan konsumsi CPO di
Malaysia lebih besar yakni 8,4 kali lipat dan pertumbuhan konsumsi CPO yang sangat
cepat itu bukan untuk pengadaan pangan di Malaysia tetapi juga untuk keperluan
industri olahan turunan (derivative product) CPO di Malaysia. Menurut Nasir et al.
(2005) di Malaysia tujuan utama (75%) adalah bahan baku bagi keperluan industri
olahan (derivative product) dan sisanya (25%) untuk keperluan konsumsi dalam negeri
dan utamanya dalam pembuatan minyak goreng.
34

Konsumsi CPO di Indonesia rata-rata setiap tahun sekitar (70%) dari konsumsi
CPO diolah menjadi minyak goreng dan rata-rata sekitar, 11,2 % diproses menjadi
sabun/deterjen, kemudian diproses menjadi oleo-chemicals sebanyak 15,7% sisanya 3,1
% diolah menjadi Glycerol (lihat lampiran 1). Menurut Saragih (1998), hasil produksi
minyak sawit diperlukan untuk konsumsi bahan bahan pangan didalam negeri
berbentuk minyak goreng, dimana Pemerintah selalu dihadapkan kepada kebijakan
dilematis yakni pada satu sisi kenaikan harga minyak goreng akan langsung
berpengaruh kepada pengeluaran rumah tangga dan dampaknya akan semakin
signifikan untuk masyarakat miskin ataupun kepada industri skala kecil yang
menggunakan minyak goreng.
Seiring meningkatnya permintaan minyak sawit maka luas lahan perkebunan
sawit di Indonesia, juga tumbuh pesat. Pada tahun 1967, luas areal perkebunan
sawit Indonesia tercatat seluas 105.808 hektar dengan dominasi lahan perkebunan
milik Negara bekas lahan perkebunan kolonialisme di Indonesia. Pada tahun 1996
luas lahan kebun sawit menjadi 3,953,485 hektar, dan pada tahun 2006 menjadi
6,195,148 hektar dengan rata-rata pertambahan luas lahan kebun sawit sebesar 15,6
%. Selanjutnya luas areal kebun sawit tersaji pada Tabel 1.4.
Tabel 1.4. Luas Kebun Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1996, 2001 dan Tahun 2006.
Tahun /
1996
2001
Pemilik Kebun
Hektar
Hektar
Perkebunan Rakyat
1.61.5183
2.013.678
Perkebunan Negara
551.981
767.938
Perkebunan Swasta
1.786.321
2.157.918
Total
3.953.485
4.939.534
Sumber : Departermen Pertanian (2007).

2006
Hektar
2.561549
896.391
2.737.208
6.195.148

Proporsi lahan
Rata-rata (%)
41
15
44
100

Memperhatikan kepemilikan lahan kebun sawit nasional, pada tahun 1996 kepada
tahun 2006, perkebunan swasta (asing dan swasta lokal) yang terbesar yakni 44 %
35

disusul kebun rakyat sebesar 41 % dan terakhir luas kebun Negara (BUMN) sekitar
15 % dari total lahan kelapa sawit nasional. (Departermen Pertanian, 2007).
Kelapa sawit adalah tanaman komoditas terbesar yang mendominasi luas areal
perkebunan di Indonesia, data pada tahun 2006 menunjukkan luas areal kebun kelapa
sawit mencapai 6,2 juta hektar yang terdiri dari perkebunan swasta 2,7 juta hektar,
perkebunan rakyat 2,5 juta hektar dan BUMN 896 ribu hektar. Tanaman kelapa
menempati posisi ke dua dengan luas areal 3,81 juta hektar.Tanaman Karet menempati
posisi ketiga dengan luas lahan 3,3 juta ha. Tanaman Kopi menduduki posisi keempat
dengan luas areal 1,26 juta hektar, disusul tanaman Kakao dengan luas areal
perkebunan 1,17 juta hektar, Departermen Pertanian (2007).
Produk yang dapat dihasilkan dari minyak kelapa sawit sangat luas dan dengan
intensitas modal dan teknologi yang bervariasi (Lampiran 1). Produksi CPO Indonesia
yang diolah di dalam negeri sebagian besar masih dalam bentuk produk baku seperti
RBD palm oil, stearin dan olein, yang nilai tambahnya tidak begitu besar dan baru
sebagian kecil yang diolah menjadi produk-produk oleokimia dengan nilai tambah yang
cukup tinggi. Industri fraksinasi/rafinasi menghasilkan nilai tambah yang relatif kecil
tetapi kapasitas terpasang industri ini sudah terlalu besar. Disisi lain, tahapan
fraksinasi/rafinasi harus dilakukan dalam industri minyak makan. Nilai tambah yang
diperoleh dari pengembangan industri sub sektor ini perlu diarahkan kepada usaha retail
minyak makan baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk pasar luar negeri. Serta
upaya terpadu dalam pengembangan produk olahan minyak goreng (edible oil),
(Departermen Pertanian, 2007).
Minyak goreng adalah minyak berasal dari lemak tumbuhan atau hewan
tergolong lipid yang dimurnikan dan berbentuk zat cair pada suhu kamar dan biasanya
36

digunakan untuk menggoreng bahan makanan, (Pahan, 2011). Minyak goreng berfungsi
sebagai media pengantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan
pangan. Dari segi fisik umumnya berwarna kuning bening, Agak berbau khas dan tidak
memiliki rasa karena rasa pada minyak goreng dipengaruhi oleh zat-zat lain yang
terkandung di dalamnya, (Herlina, 2002). Minyak goreng terdiri dari tiga jenis
komposisi dengan kandungan dan porsentase berbeda, Dadang, (2011) ;
1. Minyak jenuh, disebut demikian karena mengandung asam lemak jenuh dan Omega9, umumnya berasal dari lemak hewani bersifat meningkatkan kadar kolesterol
dalam darah dan mudah rusak akibat pemanasan, terkecuali minyak jenuh sawit dan
minyak jenuh kelapa. Kelebihan minyak jenuh dari nabati relatif lebih stabil dan
tidak mudah rusak akibat pemanasan. Minyak jenuh dari nabati dianjurkan
digunakan sebagai minyak goreng.
2. Minyak tidak jenuh tunggal. Minyak jenis ini tidak meningkatkan kadar kolesterol
dalam darah, yang tergolong dalam minyak jenis ini adalah minyak zaitun dan
minyak kacang. Sama dengan minyak jenuh, minyak jenis ini relatif stabil didalam
menahan panas. minyak jenis ini dianjurkan sebagai minyak goreng.
3. Minyak tak jenuh ganda, umumnya jenis ini berasal dari nabati, sehingga tidak
meningkatkan kadar kolestrol dalam darah, namun justru menurunkan kadar
kolestrol. Jenis minyak ini antara lain adalah minyak jagung, minyak biji kapas,
minyak biji matahari, minyak kedelai, minyak wijen dan minyak biji rami.
Minyak jenis tak jenuh ganda relatif tidak stabil dan mudah rusak oleh panas. Jika
asam lemaknya rusak karena panas maka manfaatnya sudah tidak ada lagi bagi
kesehatan justru hanya dampak negatifnya, oleh sebab itu minyak jenis ini tidak
dianjurkan digunakan sebagai minyak goreng.
37

Karakteristik lemak digunakan untuk menggoreng adalah kemampuannya
menahan suhu tinggi tanpa mengalami perubahan struktur kimia berlebihan.
Menggoreng biasanya dilakukan pada suhu sekitar 180 C, pada suhu ini minyak tidak
jenuh cenderung meng-oksidasi serta mengalami kerusakan struktur atau polimerisasi
cukup berat. Maka minyak goreng yang mengandung asam linoleat dengan tingkat
signifikan tidak dianjurkan untuk menggoreng, kecuali minyak telah terhidrogenasi
untuk mengurangi kandungan komponen lemak labil. Minyak goreng kelapa sawit,
dengan kandungan asam moderat linoleat dan antioksidan tingkat tinggi alami, cocok
digunakan dalam aplikasi penggorengan Herlina (2002).
Di Indonesia, pemasaran minyak goreng sawit terbagi atas dua kelompok yakni ;
1. Minyak goreng curah, yakni minyak goreng dijual tanpa label dagang dalam satuan
liter atau kilogram, dari sisi produksi, minyak goreng curah hanya melalui satu kali
proses penyaringan sehingga rentan menyisakan kadar lemak serta kandungan asam
linoleat, sehingga minyak goreng curah berwarna kuning buram (tidak jernih),
berbau khas, kurang higenis sebab pengemasan didalam drum sementara mata rantai
perdagangan cukup panjang, kemudian harga jual dikendalikan dan diawasi oleh
pemerintah karena masuk kedalam kategori sembilan bahan pokok dan dipasar
minyak goreng curah dianggap sebagai barang inferior.
2. Minyak goreng kemasan, yakni minyak goreng yang dijual dalam berbagai bentuk
kemasan berwarna kuning jernih, tidak berbau, karena telah melalui proses penyaringan beberapa kali, bahkan beberapa produk kemasan minyak goreng
menambahkan berbagai vitamin kedalam kandungannya sehingga harga jual lebih
mahal dari minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan selalu mencantumkan
label dagang serta standar produksi juga sertifikasi produksi.
38

Harga minyak goreng curah menunjukkan kenaikan harga demikian tinggi
sekitar 70 kali lipat dari harga tahun 1969 kepada harga tahun 2012. Faktor terjadinya
inflasi di Indonesia serta gejolak perubahan nilai tukar kurs Rupiah terhadap US$ yang
terjadi begitu tinggi didalam kurun waktu tersebut sehingga menjelaskan keberadaan
harga minyak goreng mengapa melonjak, sementara volume produksi minyak goreng
juga meningkat sebanyak 83 kali lipat didalam perbandingan kurun waktu tersebut.
Perkembangan harga minyak goreng baik curah atau kemasan jika dibandingkan
antar tahun setiap bulannya menunjukkan pola yang beragam.
Membicarakan pergerakan harga minyak goreng setiap bulannya untuk kondisi
4 tahun terakhir adalah sebagaimana ditunjukkan Gambar 1.1 sebagai berikut,
Harga Minyak Goreng Rp/Kg
15000
14000
2011
2010
2009
2008

13000
12000
11000
0 Januari

Maret

Juni

September

Desember

Bulan

Gambar 1,1 Perkembangan Harga Minyak Goreng Dalam Negeri, 2008-2011.
Sumber : Departermen Perdagangan, 2011 (diolah).
Gambar 1.1 menunjukkan jika harga minyak goreng pada setiap tahunnya dari
bulan Januari hingga bulan Juni menunjukkan fluktuasi harga yang begitu besar,
sedangkan dari bulan Juni hingga Desember terjadi kecenderungan kestabilan harga
meski mengarah kepada naiknya harga pada akhir tahun. Hal ini diduga kaitannya
dengan perayaan hari besar agama di Indonesia yang terjadi pada akhir tahun tersebut,
sehingga pemerintah melakukan pengawasan terhadap harga minyak goreng.
39

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada periode bulan yang sama,
maka harga minyak goreng untuk bulan Maret pada tahun 2008 adalah Rp 11.820
per kg dan Rp 12.540 per kg untuk tahun 2009 dan Rp 12.200 per kg untuk tahun 2010
serta Rp 12.850 per kg untuk tahun 2011, Untuk bulan Juni, pada tahun 2008 sebesar
Rp 11.980 per kg, untuk tahun 2009 Rp 12.600 per kg, untuk tahun 2010 Rp 12.940 per
kg dan untuk tahun 2011 Rp 13.260 per kg. (Departermen Perdagangan, 2011).
Harga minyak goreng domestik baik minyak goreng curah maupun minyak
goreng kemasan relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan harga minyak goreng
dunia yang diwakili oleh data harga RBD Olein. Prihal dimaksud tercermin dari nilai
koefisien keragaman untuk RBD olein pada bulan Mei 2011 mencapai 19,1 % jauh
lebih tinggi jika dibandingkan dengan koefisien keragaman minyak goreng domestik
yang mencapai 7,7 % untuk curah dan 5,2 % untuk kemasan. Sistem pemasaran
minyak goreng di Indonesia dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan swasta, namun
mengingat minyak goreng adalah komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup
orang banyak, maka pemerintah selalu memantau perkembangan pemasarannya agar
ketersediaan minyak goreng dipasar selalu tercukupi dengan harga yang relatif stabil.
Pangsa pasar produk minyak goreng nasional diperebutkan oleh sekitar 150
produsen lokal dengan kapasitas produksi sekitar 3,1 juta ton pada tahun 2008.
Beberapa perusahaan besar yang terlibat dalam bisnis perkebunan dan pengolahan
kelapa sawit diantaranya adalah Salim grup (produsen -Bimoli), Sinarmas grup
(produsen Filma), Astra grup, Bakrie grup, Musi Mas grup, Hasil Karsa grup, Bukit
Kapur grup, Raja Garuda Mas Grup, dan lainnya. Kelompok perdagangan disebutkan
memiliki industri terpadu mulai dari kebun sawit, pengolahan CPO dan pabrik minyak
goreng sampai kepada jaringan pemasarannya. Departermen Perdagangan, 2011.
40

Harga CPO sebagai bahan baku utama minyak goreng semenjak awal tahun
1995, selalu berada diatas kisaran 600 dolar AS per ton atau nilai ini sama dengan
harga minyak goreng curah sekitar Rp 6.500 per kg di pabrik. Dengan asumsi margin
dari pabrik minyak goreng ke pengecer rata-rata Rp1.000 per kg, maka harga minyak
goreng curah eceran tertinggi adalah Rp7.500 per kg. Program stabilisasi harga minyak
goreng pada kisaran Rp7.500 per kg di pengecer dan Rp 6.500 per kg di pabrik menjadi
sasaran pemerintah untuk meredam pengaruh kenaikan harga CPO terhadap harga
minyak goreng, terutama dalam upaya menahan laju inflasi nasional, instrumen yang
digunakan untuk stabilisasi harga pasar adalah operasi pasar mengandalkan self
involvement dan self assessment dari perusahaan minyak goreng dan Domestic Market
Obligation yang melibatkan pelaku usaha CPO dalam koordinasi Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia (GAPKINDO). Selanjutnya untuk produksi, harga dan
konsumsi minyak goreng nasional ditunjukkan pada Tabel 1.5,
Tabel 1.5

Tahun
1996
2001
2006
2011

Produksi, Harga dan Konsumsi Minyak Goreng Di Indonesia
Tahun 1996-2011.
Produksi Minyak
Goreng (ton)
1.300.304
1.815.295
2.949.042
4.510.274

Harga Minyak
Goreng (Rp/Kg)
1.820
8.320
11.075
13.260

Konsumsi / Kapita
(Kg/kapita/thn)
13.76
13.97
14.28
14.72

Sumber (diolah dari) 1.Badan Pusat Statistik, 2006. 2. Badan Urusan Logistik (2008).
Tabel 1.5 menunjukkan secara rata-rata, pertumbuhan produksi minyak goreng
sawit di Indonesia adalah sebesar 11,2 persen, sedangkan rata-rata konsumsi perkapita
minyak goreng Nasional mencapai 14,69 kilogram perkapita pertahun dengan harga
minyak goreng rata-rata pada priode tersebut adalah Rp 8,500/kg. Upaya menjaga
stabilitas dari harga minyak goreng didalam negeri, Pemerintah Indonesia melakukan
41

intervensi. Dimana bentuk dari intervensi pemerintah didalam perdagangan minyak
goreng adalah sebagaimana pendapat Basdabella, (2001) :
1) Alokasi bahan baku CPO untuk pasar domestik minyak goreng.
2) Operasi pasar atas ketersediaan dan stabilisasi harga minyak goreng.
3) Penetapan beban pajak ekspor CPO.
Menurut Arisman (2002) wujud dari campur tangan pemerintah kedalam tata
niaga minyak sawit dapat dibedakan atas tiga hal besar yang mendasari-nya yaitu
1) Alokasi CPO atas keperluan domestik dan ekspor (atas kebijakan pajak ekspor).
2) Pembentukan sistem pengawasan harga berikut distribusi dari minyak goreng.
3) Pembatasan dan pelarangan ekspor CPO.
Menurut Adang Agustian (2004), sampai dengan tahun 2001, dasar penetapan
pajak ekspor CPO terkait langsung dengan perubahan harga pasar Roterdam FOB untuk
CPO dan tiga produk turunan CPO yakni, (RBD-CPO), (RBD-PKO), dan (NBD-PKO).
Penetapan pajak ekspor CPO mengikuti perubahan harga spot rata-rata dipasar
Rotterdam yang diumumkan oleh Menteri Perdagangan setiap bulan, tingkat beban
pajak dihitung dengan menetapkan jadwal tarif pajak pada masa berlakunya dalam
faktur kode pajak. Biaya pajak CPO tersebut kemudian dinilai per ton menurut jenis
produk terlepas dari harga sebenarnya dikontrak penjualan. Model kebijakan pajak
ekspor ini, adalah mirip dengan ditetapkan pemerintah Malaysia yang dirancang untuk
menghadapi lonjakan harga CPO internasional. Biaya produksi untuk CPO di Indonesia
diperkirakan kurang dari US$ 200/ton. Ketika harga internasional tetap di bawah U$
500/ton, pajak ekspor CPO tidak diberlakukan. Ketika harga CPO internasional
melonjak naik diatas $ 500 sampai $700/ton maka tingkat pajak ekspor bangkit dari
1hingga 40 persen. Akibat beban pajak tersebut, produsen sawit tidak mendapat
42

profitabilitas bagi produksi CPO dan PKO. Sebagai produk berbasis pertanian, maka
fluktuasi harga CPO tidak terhindarkan, hal ini menjadi dilematis kronis, baik ketika
harga CPO sedang menurun atau meningkat.
Kebijakan pajak eskpor minyak sawit bertujuan stabilisasi harga pasar dan
kebijakan bersifat jangka pendek, dalam arti kebijakan selalu direvisi. Revisi dilakukan
karena alasan spesifik dari ekonomi, sosial bahkan juga alasan tekanan dari kelompok
yang berkepentingan (interest group) yakni pemilik jalur bisnis minyak sawit. Pada saat
ini pemerintah belum memiliki kebijakan didalam jangka panjang maka pilihan untuk
menjaga harga minyak goreng, hanya menaikkan pajak ekspor atau berupa kewajiban
pasokan kepasar domestik (domestic market obligation) atau melakukan operasi
stabilisasi harga minyak goreng di pasar dalam negeri, jika pemerintah bermaksud
mengatasi masalah tersebut secara jangka panjang maka pemerintah harus mengambil
kebijakan yang bersifat fundamental. Wayan, (2011) Diantaranya kebijakan tersebut ;
1) Kebijakan sedapat mungkin mengakomodasi berbagai kemungkinan harga.
2) Target kebijakan harga spesifik orang miskin atau industri kecil berbasis CPO.
3) Tujuan dari kebijakan harga harus berdimensi jangka panjang.
Kebijakan pajak ekspor CPO merupakan pilihan utama bagi Pemerintah
Indonesia dalam mengendalikan jumlah volume CPO akan diekspor. Ketentuan pajak
ekspor CPO disesuaikan dengan variasi harga CPO dipasar dunia. Selain itu konvensi
World Trade Organization yakni putaran perdagangan Uruguay, membenarkan adanya
tindakan kebijakan perdagangan Internasional berupa pajak ekspor dalam hal ini atas
dasar konteks ketersediaan pangan secara nasional.
Selanjutnya indeks harga konsumen maksudnya adalah cara mengukur dari
perubahan harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat dari tahun ketahun
43

untuk itu diberikan angka indeks pada tahun dasar sebagai perbandingan dari nilai
indeks dan angka indeks tersebut dikenali sebagai perubahan inflasi dari waktu kewaktu
dan di Indonesia mulai digunakan angka indeks semenjak tahun 1978, yakni data yang
disajikan oleh Asia Development Bank, data indeks harga konsumen dibagi dalam dua
kelompok yakni kelompok makanan dan bukan makanan dan untuk data disajikan
diatas diambil data kelompok makanan. Dimana di Indonesia tahun 1978 dan 1996 dan
2001 serta 2007 adalah tahun dasar dari angka indeks harga konsumen di Indonesia.
Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika sepanjang tahun ternyata terus
menerus mengalami depresiasi dan yang terbesar adalah pada tahun 1998. Rupiah terdepresiasi sebanyak tiga kali lipat lebih sementara Gross Domestic Product perkapita
nasional meski mengalami peningkatan sepanjang tahun namun jika dikonversi kepada
Dollar Amerika ternyata pertumbuhannya stagnan, bahkan mengarah kepada minus.
Angka-angka dimaksud sebagaimana tersaji pada Tabel 1.6
Tabel 1.6

Nilai Kurs Rupiah per US$ , Tingkat Suku Bunga dan Gross Domestic
Product perkapita Serta Indeks Harga Konsumen.
Indeks Harga
Kurs Mata Uang
Tingkat Suku GDP Indonesia
Konsumen
Rupiah/ US$
Bunga (%)
(Rp juta/tahun)
Indonesia
1996
2.342
17
3.034.040
109,4
2000
8.527
24
4.062.880
215,2
2004
8.939
17
6.053.020
142,4
2008
9.650
12
10.081.380
107,3
2012
9.710
8
12.973.850
135,3
Sumber : ADB, Key Indicators of Developing Asian & Pacific Countries 2008.
Tabel 1.6 menjelaskan perubahan tingkat suku bunga pinjaman di Indonesia
yang bergerak menunjukkan interval menurun dalam 28 tahun terakhir dimana pada
tahun belakangan ini tingkat suku bunga pinjaman cenderung mendekati 10 persen. Hal
ini tidak terlepas dari kebijakan Bank Sentral Indonesia memperbaiki iklim investasi
nasional.
44

Selanjutnya Gross Domestic Product Percapita menunjukkan daya beli
masyarakat Indonesia terhadap konsumsi minyak goreng dimana konsumen minyak
goreng adalah seluruh penduduk yang tinggal diwilayah Indonesia sehingga lebih tepat
memilih GDP sebagai angka pembanding ketimbang GNP.
Beberapa publikasi menarik perhatian masyarakat internasional dalam produksi
minyak nabati dunia, terjadi pada awal tahun 2006 dimana volume produksi CPO telah
melampaui produksi minyak kedelai dilanjutkan dengan kemampuan Indonesia sebagai
produsen CPO terbesar di dunia pada akhir tahun 2006 menggantikan Malaysia. Maka
kompetisi minyak nabati dipasar Internasional menimbulkan persoalan bagi Indonesia,
seperti berbagai hambatan perdagangan (trade barrier) oleh kalangan internasional,
juga dari non government organization environment yang berada di Eropa, berkaitan
isu alam lingkungan atau kampanye hitam (black campaign) yang dilakukan asosiasi
minyak kedelai American Soybean Association (ASA) terkait isu kesehatan konsumen
atau isu Environment Protection Agency (EPA) bersifat publikasi negatif, diantaranya ;
1) Medio 1990, awal era kepresidenan George H.W.Bush. Diberitakan, CPO minyak
bersifat lemak jenuh sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen
khususnya digunakan sebagai minyak goreng, ( lansiran ini bertujuan membangun
brand image negatif), kemudian departermen perdagangan Amerika Serikat
melarang, impor CPO untuk jangka waktu tidak ditetapkan.
2) Medio 2001. Disampaikan oleh beberapa non government organization environment
yang berada di Eropa, bahwa pertambahan luas lahan kebun kelapa sawit telah
merusak flora dan fauna didaerah tropis (deforesty) khususnya habitat Orang Utan
sehingga mengancam kepunahan spesies flora dan fauna, hutan hujan daerah tropis
dihabitatnya yang sangat bernilai, High Conservation Values ( HCV ) hal ini juga
45

dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca yang berdampak serius atas terjadinya
pemanasan global didunia.
3) Awal Januari 2012, Badan Lingkungan Amerika mengeluarkan notice of data
availability (NODA) dengan tudingan, produk CPO tidak ramah lingkungan sebagai
energi diperbaharui atau juga sebagai Biodiesel sebab batas maksimum kandungan
dari emisi karbon CO2 sesuai standar Environmental Protection Agency (EPA),
yakni batas emisi karbon untuk energi diperbaharui 11 %. dan batas emisi karbon
untuk biodiesel adalah 20% sementara kandungan CO2 dari kelapa sawit mencapai
17%. Atas temuan itu Pemerintah Amerika serikat kembali akan melarang impor
CPO dari Indonesia.
Menanggapi berbagai bentuk isu negatif untuk minyak sawit, Pemerintah
Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Malaysia, meresmikan kerjasama di bidang
kelapa sawit dengan membentuk Indonesia-Malaysia Palm Oil Group ( IMPOG ).
Kemudian IMPOG telah melakukan program kerja seperti metode sertifikasi
perkebunan kelapa sawit dalam standar Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)
kemudian disesuaikan menjadi Indonesia on Sustainable Palm Oil (ISPO) dan
sertifikasi perkebunan sawit telah dimulai Maret 2012 sampai 2014. Sedangkan
Sertifikasi untuk Malaysia adalah Malaysia on Sustainable Palm Oil (MSPO).
Sebenarnya ISPO dan MSPO adalah mengadopsi RSPO namun ISPO telah direvisi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku di Indonesia dengan berbagai
instansi

terkait,

misalnya

Kementerian

Pertanian,

Kementerian

Kehutanan,

Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan
Badan Pertanahan Nasional. Tujuannya dilaksanakannya ISPO adalah, perkebunan
sawit di Indonesia tidak merusak flora dan fauna serta lingkungan hutan hujan tropis,
46

sehingga minyak sawit dapat diterima dipasar Eropa sebab sudah mengadopsi
pemahaman “Sawit go green ”. Sertifikasi dari kebun sawit dimaksud diharapkan dapat
menjawab publikasi negatif atas keadaan lingkungan hidup sebagaimana disampaikan.
Produksi kelapa sawit mengungguli lebih dari lima kali lipat dibanding
produksi dari kedelai, jagung, bunga matahari dan lainnya dimana minyak dihasilkan
kelapa sawit dengan cara yang relatif bertahan dalam suatu sistem produksi yang
efisien dan efektif, artinya untuk menghasilkan volume minyak nabati yang sama, maka
kelapa sawit hanya memerlukan lahan, kurang dari seperlima atas kebutuhan lahan
tanaman penghasil minyak nabati lainnya pada rentang waktu yang sama, maka tingkat
profitabilitas dari tanaman kelapa sawit lebih tinggi. Menurut Fahmuddin (2011) untuk
pemakaian CPO sebagai bio-diesel atau sebagai bio-energy, dimana pemerintah
Amerika Serikat tahun 2012, berencana untuk konsumsi bio-diesel sebanyak 35 % dari
pasokan bahan bakar nasional menganti bahan bakar fosil. Impilikasinya American
Soyabean Association mengkhawatirkan jika CPO justru yang akan mengisi keperluan
energi bio-diesel di Amerika Serikat. Tidak semua lemak jenuh memiliki efek negatif
pada kolesterol.
Beberapa studi menunjukkan bahwa asam palmitat dalam minyak kelapa sawit
tidak berperilaku seperti pada minyak lemak jenuh lain, dan bersifat netral pada kadar
kolesterol darah.

Dadang, (2011) Menyatakan konsumsi minyak sawit justru

mengurangi kadar kolesterol dalam darah dibandingkan minyak nabati lainnya. Untuk
itu minyak sawit dianjurkan digunakan menggoreng. Oleh sebab keunggulan sifat dan
kandungan vitaminnya (Herlina, 2002). Pada mulanya minyak goreng konsumsi
masyarakat Indonesia adalah minyak kelapa, semenjak meningkatnya produksi kelapa
sawit pada era 1970 an, perilaku konsumsi minyak goreng kelapa diganti oleh minyak
47

sawit, sebab keunggulan dimiliki oleh minyak sawit dibanding minyak kelapa, yakni
harga minyak sawit lebih murah.
Menurut Siregar (2006) Minyak kelapa sawit memiliki barang substitusi seperti
minyak kedelai, minyak jagung, minyak bunga matahari dan lainnya, namun kompetisi
atas utilitas dari barang-barang substitusi tersebut dimenangkan oleh minyak kelapa
sawit oleh sebab sifat minyak sawit yang spesifik dan manfaatnya yang begitu luas
serta utilitas yang terus bertambah seiring kemajuan teknologi maka wajar jikalau
permintaan atas minyak sawit lebih tinggi dari minyak nabati yang lainnya.
Kemudian oleh sebab CPO diperdagangkan dengan harga terendah dibawah
harga minyak nabati lainnya (pada Tabel 1.1) sehingga menjadi daya tarik tersendiri
bagi konsumen minyak nabati, sementara produksi dari minyak kelapa sawit juga
tumbuh paling cepat sehingga keadaan ini menjadi kekhawatiran besar dari seluruh
produsen minyak nabati dunia, berakibat munculnya ancaman boikot produk minyak
sawit atau berbagai bentuk halangan perdagangan lainnya (trade barrier) meskipun
sudah ada peraturan dari World Trade Organization. Contohnya boikot CPO oleh
Australia dilansir pada Maret 2012. Dengan alasan yang terkesan di rekayasa. Tentunya
di masa mendatang, minyak sawit akan lebih banyak lagi menghadapi isu dan masalah
atau hambatan perdagangan dari masyarakat Internasional.
Pendapat Rachbini (1997), minyak kelapa sawit merupakan komoditi ekspor
bernilai strategis bagi Indonesia yakni sebagai komoditas penghasil devisa non migas
sekaligus sebagai sumber penerimaan pajak komoditas terbesar bagi Pemerintah. sub
sektor agribisnis kelapa sawit telah berkembang yakni dalam menyerap tenaga kerja
serta menghimpun nilai penanaman modal yang sangat besar, sehingga kelapa sawit
adalah sebagai sumber penggerak ekonomi nasional yang dapat diandalkan
48

keberlangsungannya, hal ini oleh sebab adanya keunggulan alamiah tanaman (natural
comparative advantage).
Menurut Sembiring (2004), bahwa industri minyak sawit adalah contoh
kongkret dari paradoks yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia yang tengah mengarah
kepada pasar terbuka (open economy). Pada satu sisi industri ini mempunyai daya saing
yang tinggi dipasar internasional karena keunggulan alamiah tanaman. Tetapi dilain
pihak justru mengalami dilema struktural karena industri hilirnya terjebak kedalam
pasar monopoli atau duopoli. Kondisi semakin dipersulit dengan kelompok pedagang
besar yang mendominasi didalam industri tersebut dimana posisi mereka telah
mengintegrasi diri pada pemasaran maupun industri pengolahan sampai kepada lahan
perkebunannya.
Sebagaimana pemaparan telah disampaikan maka, studi berjudul ‘Analisis
Struktural Harga Minyak Goreng dan Volume Ekspor Crude Palm Oil Indonesia
Pengaruhnya Terhadap Harga Crude Palm Oil pasar Internasional’ diajukan sebagai
judul studi.

49

1.2

Pernyataan Masalah.
Berdasar penjelasan disampaikan pada bahagian pendahuluan maka telah dapat

disusun peryataan masalah didalam studi ini. Pernyataan masalah secara umum adalah,
struktural harga minyak goreng di Indonesia, sebagai bahan pangan pokok dalam
pengaruhnya terhadap perubahan harga crude palm oil (CPO) di pasar Internasional.
Sedangkan secara khusus, pernyataan masalah studi ini adalah ;
1. Di Indonesia komoditas minyak goreng dari CPO dikelompokkan sebagai konsumsi
sembilan bahan pokok, sehingga harga minyak goreng termasuk dalam pengawasan
pemerintah, didalam tujuan menjaga ketahanan pangan nasional. Keseimbangan dari
harga minyak goreng dan volume produksi minyak goreng diselaraskan dengan
kebijakan pajak ekspor CPO, dimana faktor- faktor pertimbangan menetapkan harga
adalah pendapatan masyarakat, laju inflasi, perubahan nilai kurs dan lainnya.
Berdasar fakta disampaikan pelu diteliti faktor mempengaruhi harga minyak goreng.
2. Harga CPO Internasional diperdagangkan dengan harga terendah dari seluruh harga
minyak nabati lainnya sebagai substitusinya namun bagi pemerintah justru sebagai
sumber devisa sekaligus sumber penerimaan pajak terbesar diluar non migas, selain
itu faedahnya didalam mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional, hal ini
terkait dengan besarnya penyerapan nilai investasi pada sektor agribisnis ini, maka
perlu diteliti faktor–faktor yang mempengaruhi perubahan harga CPO Internasional.
3. Volume ekspor CPO sebagai komoditas ekspor unggulan dari Indonesia dipasar
minyak nabati Internasional sangat penting nilainya dan juga sangat strategis artinya
bagi kelangsungan perekonomian Indonesia. Sementara persaingan harga minyak
nabati dipasar internasional begitu ketat sehingga perlu diteliti faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi perubahan volume eskpor CPO dari indonesia.
50

1.3

Rumusan Masalah.
Sebagaimana pemaparan pada latar belakang dan pernyataan masalah maka

telah dapat disampaikan sebagai rumusan masalah dalam studi ini yaitu jika ditilik
secara umum adalah struktur harga minyak goreng di Indonesia, dan struktur harga
crude palm oil (CPO) di pasar internasional, terkait kepada struktur kapasitas volume
ekspor CPO Indonesia, sebagai komoditas andalan non migas nasional, Sedangkan
ditilik secara khusus sebagai rumusan masalah dalam studi ini adalah;
1. Apakah volume produksi minyak goreng memberi pengaruh kepada harga minyak
goreng?
2. Apakah gross domestic product berpengaruh terhadap harga minyak goreng ?
3. Apakah indeks harga konsumen memberi pengaruh kepada harga minyak goreng ?
4. Apakah pajak ekspor CPO berpengaruh terhadap harga minyak goreng ?
5. Apakah nilai tukar Rp/US$ memberi pengaruh kepada harga minyak goreng ?
6. Apakah volume produksi CPO berpengaruh terhadap harga minyak goreng ?
7. Apakah harga minyak kedelai memberi pengaruh kepada harga minyak goreng ?
8. Apakah luas lahan kelapa sawit menghasilkan berpengaruh terhadap harga minyak
goreng ?
9. Apakah tingkat suku bunga bank memberi pengaruh kepada harga minyak goreng ?
10.Apakah volume produksi minyak goreng berpengaruh terhadap harga CPO
Internasional ?
11.Apakah gross domestic product Indonesia memberi pengaruh kepada harga CPO
Internasional ?
12.Apakah indeks harga konsumen Indonesia memberi pengaruh kepada harga CPO
Internasional ?
51

13.Apakah pajak ekspor CPO memberi pengaruh kepada harga CPO Internasional ?
14.Apakah nilai tukar Rp/US$ berpengaruh terhadap harga CPO Internasional ?
15.Apakah volume produksi CPO memberi pengaruh kepada harga CPO Internasional ?
16.Apakah harga minyak kedelai internasional berpengaruh terhadap harga CPO
Internasional ?
17.Apakah luas lahan kelapa sawit menghasilkan memberi pengaruh kepada harga CPO
Internasional ?
18.Apakah tingkat suku bunga bank berpengaruh terhadap harga CPO Internasional?
19.Apakah harga minyak goreng memberi pengaruh kepada harga CPO Internasional ?
20.Apakah volume ekspor CPO berpengaruh terhadap harga CPO Internasional?
21.Apakah volume produksi minyak goreng memberi pengaruh kepada volume ekspor
CPO?
22.Apakah pajak ekspor CPO memberi pengaruh terhadap volume ekspor CPO?
23.Apakah nilai tukar Rp/US$ memberi pengaruh terhadap volume ekspor CPO?
24.Apakah volume produksi CPO berpengaruh terhadap volume ekspor CPO?
25.Apakah harga minyak kedelai berpengaruh kepada volume ekspor CPO?
26.Apakah luas lahan kelapa sawit menghasilkan memberi pengaruh kepada volume
ekspor CPO?
27.Apakah tingkat suku bunga bank berpengaruh terhadap volume ekspor CPO?
28.Apakah harga minyak goreng memberi pengaruh kepada volume ekspor CPO?

52

1.4

Tujuan Studi.
Tujuan studi ini secara umum adalah untuk mengetahui ;

1. Faktor struktural mempengaruhi perubahan harga minyak goreng nasional.
2. Faktor struktural mempengaruhi pembentukan harga CPO pasar internasional.
3. Faktor struktural mempengaruhi pembentukan volume ekspor CPO.
Sedangkan tujuan dari studi ini secara khusus adalah untuk ;
1. Meneliti pengaruh volume produksi minyak goreng terhadap harga minyak goreng.
2. Meneliti pengaruh gross domestic product terhadap harga minyak goreng.
3. Mengkaji pengaruh indeks harga konsumen terhadap harga minyak goreng.
4. Mengkaji pengaruh pajak ekspor CPO terhadap harga minyak goreng.
5. Meneliti pengaruh nilai tukar Rp/US$ terhadap harga minyak goreng.
6. Meneliti pengaruh volume produksi CPO terhadap harga minyak goreng.
7. Mengkaji pengaruh harga minyak kedelai terhadap harga minyak goreng.
8. Mengkaji pengaruh luas lahan kelapa sawit menghasilkan terhadap harga minyak
goreng.
9. Meneliti pengaruh tingkat suku bunga bank terhadap harga minyak goreng.
10.Mengkaji pengaruh dari volume produksi minyak goreng terhadap harga CPO
Internasional.
11.Meneliti pengaruh gross domestic product terhadap harga CPO Internasional.
12.Meneliti pengaruh indeks harga konsumen terhadap harga CPO Internasional.
13.Mengkaji pengaruh pajak ekspor CPO terhadap harga CPO Internasional.
14.Mengkaji pengaruh nilai tukar Rp/US$ terhadap harga CPO Internasional.
15.Meneliti pengaruh volume produksi CPO terhadap harga CPO Internasional.

53

16.Meneliti pengaruh harga minyak kedelai internasional terhadap harga CPO
Internasional.
17.Mengkaji pengaruh luas lahan kelapa sawit menghasilkan terhadap harga CPO
Internasional.
18.Mengkaji pengaruh tingkat suku bunga bank terhadap harga CPO Internasional.
19.Meneliti pengaruh harga minyak goreng terhadap harga CPO Internasional.
20.Meneliti pengaruh volume ekspor CPO terhadap harga CPO Internasional.
21.Mengkaji pengaruh volume produksi minyak goreng terhadap volume ekspor CPO.
22.Mengkaji pengaruh pajak ekspor CPO terhadap volume ekspor CPO.
23.Meneliti pengaruh nilai tukar Rp/US$ terhadap volume ekspor CPO.
24.Meneliti pengaruh volume produksi CPO terhadap volume ekspor CPO.
25.Mengkaji pengaruh harga minyak kedelai internasional terhadap volume
ekspor CPO.
26.Mengkaji pengaruh harga minyak kedelai internasional terhadap luas lahan
kelapa sawit.
27.Mengkaji pengaruh tingkat suku bunga bank terhadap volume ekspor CPO.
28.Mengamati pengaruh harga minyak goreng terhadap volume ekspor CPO.

54

1.5

Manfaat Studi.
Studi ini secara keilmuan diharapkan memberi manfaat sebesarnya bagi,

1. Pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam kajian ilmu Ekonomi.
2. Mendukung teori dan studi terdahulu didalam kajian ilmu ekonomi diteliti.
3. Menolak serta mengagas sesuatu yang baru didalam kajian ilmu ekonomi.
Selain dari hal disampaikan studi ini diharapkan juga sebagai gagasan dalam
pemenuhan kebutuhan pangan, kemudian bagi pemerintah Indonesia dalam menetapkan
kebijakan serta kepada pengusaha dibidang kelapa sawit namun secara khusus
diharapkan studi ini juga memberi manfaat yaitu ;
1.

Dengan mengetahui pengaruh dari volume produksi minyak goreng terhadap
perubahan harga minyak goreng. adalah sebagai informasi kepada produsen
minyak goreng dan juga kepada Departermen Perdagangan untuk penetapan
kebijakan.

2.

Dengan memahami perubahan pendapatan perkapita (GDP) terhadap perubahan
harga minyak goreng. Ditujukan sebagai informasi kepada Departermen
Perdagangan tentang dasar didalam permintaan minyak goreng dipasar nasional.

3.

Dengan membuktikan perubahan indeks harga konsumen terhadap perubahan
harga minyak goreng. Diharapkan menjadi suatu informasi kepada Pemerintah
yakni Departermen Perdagangan didalam mengantisipasi laju inflasi didalam
negeri.

4.

Dengan mengamati dampak pajak ekspor CPO Indonesia terhadap harga minyak
goreng. Menjadi suatu informasi kepada Depatermen Keuangan dan Departermen
Perdagangan tentang hubungan sebab akibat dari kebijakan harga yang diambil.

55

5.

Dengan mengungkap pengaruh dari nilai tukar Rp/US$ (kurs) terhadap perubahan
harga minyak goreng. Ditujukan sebagai informasi kepada Bank Sentral tentang
pengaruh nilai tukar uang terhadap harga barang pokok didalam negeri.

6. Dengan mengetahui pengaruh dari volume produksi CPO terhadap perubahan harga
minyak goreng, adalah sebagai informasi kepada produsen minyak goreng dan
Departermen Perdagangan untuk kebijakan perdagangan minyak goreng.
7

Dengan mengetahui pengaruh dari harga minyak kedelai internasional terhadap
perubahan harga minyak goreng akan memberi manfaat kepada Departermen
Perdagangan untuk penetapan kebijakan perdagangan minyak goreng dalam negeri.

8.

Dengan mengamati dampak dari perubahan luas lahan kelapa sawit menghasilkan
terhadap perubahan harga minyak goreng akan memberi manfaat kepada Pekebun
sawit dan berbagai Departermen terkait untuk penetapan kebijakan ketersedian
bahan pangan.

9.

Dengan memahami perubahan tingkat suku bunga bank terhadap harga minyak
goreng akan memberi manfaat kepada produsen minyak goreng dan berbagai
departermen terkait dalam rangka ketersediaan minyak goreng didalam negeri.

10. Dengan mengetahui pengaruh dari volume produksi minyak goreng terhadap harga
CPO Internasional akan memberi manfaat kepada Departermen Perdagangan untuk
penetapan kebijakan perdagangan Internasional.
11. Dengan mengamati gross domestic product terhadap perubahan harga CPO
Internasional, akan menjadi informasi kepada berbagai instansi di pemerintahan
khususnya didalam langkah kebijakan membangun kesahjateraan masyarakat.

56

12. Dengan mengetahui pengaruh dari indeks harga konsumen terhadap perubahan
harga CPO Internasional, adalah informasi kepada Departermen Perdagangan
untuk menjaga kestabilan perekonomian nasional.
13. Dengan mengamati dampak pajak ekspor CPO Indonesia terhadap harga CPO
Internasional. Menjadi informasi kepada Depatermen Keuangan dan Departermen
Perdagangan tentang hubungan sebab akibat dari kebijakan harga yang ditetapkan.
14. Dengan mengungkap keterkaitan perubahan nilai tukar Rp/US$ (kurs) terhadap
harga CPO Internasional, menjadi informasi kepada eksportir CPO juga kepada
Bank Sentral Indonesia, didalam mengatur dan menjaga sirkulasi nilai tukar.
15. Dengan

mengetahui

hubungan

volume produksi

CPO Indonesia dalam

pengaruhnya terhadap perubahan harga CPO Internasional adalah informasi kepada
exportir CPO nasional serta menjadi bahan pertimbangan kepada Departermen
Perdagangan didalam memutuskan kebijakan perdagangan luar negeri.
16. Dengan mengamati pengaruh perubahan harga minyak kedelai internasional
terhadap perubahan harga CPO Internasional diharapkan memberi pemahaman
kepada pengusaha dan eksportir kelapa sawit bahwa minyak kedelai merupakan
barang substitusi sempurna dari minyak kelapa sawit. Serta bermanfaat didalam
pembelajaran ilmu ekonomi tentang keterkaitan harga barang substitusi.
17. Dengan membuktikan dampak penambahan luas lahan kelapa sawit menghasilkan
terhadap harga CPO Internasional bermanfaat kepada pengusaha atau calon
pengusaha kebun serta kepada Departermen Pertanian dalam memutus kebijakan
perluasaan lahan sawit.

57

18. Dengan mengamati dampak tingkat suku bunga terhadap harga CPO Internasional,
akan bermanfaat kepada investor atau calon investor tentang peluang berkebun
kelapa sawit, juga bermanfaat sebagai informasi kepada pihak perbankan nasional.
19. Dengan mengungkap pengaruh harga minyak goreng terhadap harga CPO
Internasional. Diharapkan sebagai informasi kepada Departermen Perdagangan
dalam menetapkan kebijakan perdagangan harga minyak goreng.
20. Dengan mengetahui hubungan volume ekspor CPO Indonesia dalam pengaruhnya
terhadap perubahan harga CPO Internasional adalah informasi kepada eksportir
CPO serta menjadi bahan masukan kepada Departermen Perdagangan dalam
kebijakan perdagangan luar negeri untuk menjaga kebutuhan b