Elastisitas Transmisi Harga Cpo (Crude Palm Oil) Internasional, Harga Cpo (Crude Palm Oil) Domestik Dan Harga Minyak Goreng Domestik

(1)

ELASTISITAS TRANSMISI HARGA CPO (Crude Palm Oil) INTERNASIONAL, HARGA CPO (Crude Palm Oil) DOMESTIK DAN

HARGA

MINYAK GORENG DOMESTIK

SKRIPSI

OLEH: ARIFANDI

040304009 SEP-AGRIBISNIS

DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2008

ELASTISITAS TRANSMISI HARGA CPO (Crude Palm Oil) INTERNASIONAL, HARGA CPO (Crude Palm Oil) DOMESTIK DAN


(2)

SKRIPSI OLEH: ARIFANDI

040304009 SEP-AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara Medan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Tavi Supriana, MS. Ir. Lily

Fauzia, MSi. Ketua Anggota

DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2008

Judul Skripsi : Elastisitas Transmisi Harga CPO (Crude Palm Oil)

Internasional, Harga CPO (Crude Palm Oil)

Domestik Dan Harga Minyak Goreng Domestik

Nama : Arifandi


(3)

Departemen : Sosial Ekonomi Pertanian Program Studi : Agribisnis

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Tavi Supriana, MS. Ir. Lily

Fauzia, MSi. Ketua Anggota

Mengetahui,

Ir. Luhut Sihombing, MP. Ketua Departemen


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Penelitian ini merupakan hasil penelitian tentang elastisitas trasmisi harga CPO internasional, CPO domestik dan minyak goreng domestik, yang merupakan salah satu syarat agar dapat meraih gelar sarjana pada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Tavi Supriana, MS.,selaku ketua komisi pembimbing 2. Ir. Lily Fauzia, Msi.,selaku anggota komisi pembimbing 3. Ir. Luhut Sihombing, MP.,selaku ketua Departemen Agribisnis

4. Seluruh dosen Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan membekali penulis

5. Seluruh staff Departemen Agribisnis yang telah banyak memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis

6. Ir. Sugiyono, selaku Kepala Bidang Usaha Pusat Penelitian Kelapa Sawit yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan data 7. Secara istimewa penulis menghaturkan terima kasih yang

setulus-tulusnya kepada papa tercinta, Dr. Romer Danial, Sp.A dan mama tercinta, Ir. Malyanayang telah membesarkan, membimbing dan selalu mendoakan saya.

8. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kakak tercintaAndina Gahara, SPdanNera Astari, SE


(5)

9. Tidak lupa saya juga ingin berterima kasih kepada sahabat tercinta Cynthea, Maira, Nola, Galih

10. Teman-teman seperjuangan di Agribisnis 2004 : Yudi, Ahmad, Amel, Icha dan seluruh teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2008


(6)

RIWAYAT HIDUP

ARIFANDIdilahirkan di Medan, pada tanggal 13 Oktober 1986, anak ketiga dari tiga bersaudara dari keluarga ayahanda Dr. Romer Danial, Sp.A dan ibundaIr. Malyana.

Jenjang pendidikan yang ditempuh penulis :

1. Tahun 1990 masuk ke TK Kemala Bhayangkari I Medan di Jalan Samanhudi

2. Tahun 1992 masuk ke SD Kemala Bhayangkari I Medan di Jalan Haji Misbah Medan

3. Tahun 1998 masuk ke SLTP-N I Medan di Jalan Bunga Asoka Medan 4. Tahun 2001 masuk ke SMU-N I Medan di Jalan Cik Ditiro Medan 5. Tahun 2004 masuk ke Fakultas Pertanian Jurusan Agribisnis

Universitas Sumatera Utara melalui jalur SPMB

6. Tahun 2008 melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Desa Pematang Johar Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang 7. Tahun 2008 melakukan penelitian skripsi di Medan.

Selama masa perkuliahan, penulis mengikuti organisasi Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (IMASEP)


(7)

ABSTRAK

ARIFANDI (040304009/Sep-Agribisnis) ELASTISITAS TRANSMISI HARGA CPO INTERNASIONAL, CPO DOMESTIK DAN MINYAK GORENG DOMESTIK.

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2008 dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui bagaimana elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik terhadap harga CPO (Crude Palm Oil) internasional

2. Untuk mengetahui bagaimana elastisitas transmisi harga minyak goreng domestik terhadap harga CPO (Crude Palm Oil) domestik

Untuk menguji hipotesis ini digunakan Analisis Regresi Linear Berganda dan uji T-Test dengan kesimpulan sebagai berikut:

1. Nilai elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) internasional terhadap CPO (Crude Palm Oil) domestik adalah 1,055 yang berarti bersifat elastis. Terdapat pengaruh nyata dimana hitung 38,562 > t-tabel 2,75 ( =0,05) dengan signifikansi 0,000 > = 0,05. Dengan pengujian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa CPO internasional secara signifikan mempengaruhi CPO domestik

2. Nilai elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik terhadap minyak goreng domestik adalah 0,655 yang berarti bersifat inelastis. Terdapat pengaruh nyata dimana t-hitung 12,281 > t-tabel = 2,07 ( =0,05) dengan signifikansi 0,000 > = 0,05. Dengan pengujian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa CPO domestik secara signifikan mempengaruhi minyak goreng domestik


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

RIWAYAT HIDUP... iii

ABSTRAK... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Identifikasi Masalah... 11

1.3. Tujuan Penelitian... 12

1.4. Kegunaan Penelitian... 12

2. TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI,KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka ... 13

2.2. Landasan Teori ... 21

2.3. Kerangka Pemikiran... 24

2.4. Hipotesis Penelitian... 26

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Pengumpulan Data... 27

3.2. Metode Analisis Data... 27

3.3. Defenisi dan Batasan Operasional Defenisi... 33

Batasan Operasional... 34

4. PROFIL PERKEBUNAN KELAPA SAWIT INDONESIA 4.1. Profil Teknis Kelapa Sawit 4.1.1. Botani ... 35

4.1.2. Sifat Minyak Sawit... 37

4.2. Profil Perkebunan 4.2.1. Luas Areal... 38

4.2.2. Produksi Minyak Kelapa Sawit... 41

4.3. Profil Industri Pengolahan 4.3.1. Pabrik Kelapa Sawit ... 42

4.3.2. Pabrik Pengolahan Lanjutan... 43

4.4. Potensi Pengembangan 4.4.1. Potensi Pengembangan Areal ... 45


(9)

4.4.2. Potensi Pengembangan Pasar ... 46

4.4.3. Potensi Pengembangan Industri 4.4.3.1. Industri Minyak Makan ... 48

4.4.3.2. Industri Oleokimia... 48

4.4.4. Daya Saing ... 49

4.5. Hubungan CPO Dunia dan Indonesia ... 49

4.6. Investasi... 50

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Mengubah Harga CPO Internasional dari US$ ke Rp... 51

5.1.2. Analisis Elastisitas Transmisi Harga CPO Internasional terhadap CPO Domestik Uji Multikolinearitas... 51

. Uji Kesesuaian ... 52

5.1.3. Analisi Elastisitas Transmisi Harga CPO Domestik terhadap Minyak Goreng Domestik Uji Multikolinearitas... 53

Uji Kesesuaian ... 54

5.2. Pembahasan... 55

6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan... 57

6.2. Saran ... 57 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perkembangan Harga Minyak Sawit di Eropa, C.I.F.

Jenis Malaysia 5% (US$/mt) (2003-2007)... 1 2. Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas

Kelapa Sawit di Indonesia (2003-2006)... 4 3. Perkembangan Harga Minyak Goreng di Indonesia

Tahun 2003-2006 (Rp/kg)... 9 4. Penggunaan Minyak Dalam Negeri... 14 5. Harga Rata-Rata Minyak Sawit di Pasar Domestik

dan Internasional (1988-2005) ... 15 6. Proyeksi Konsumsi Minyak Goreng untuk Konsumsi

Pangan (1993-2013)... 16 7. Produsen Kecambah Kelapa Sawit di Indonesia pada

Tahun 2006 ... 35 8. Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia Menurut

Pengusahaan (1991-2009) ... 40 9. Distribusi Lahan Kelapa Sawit di Indonesia Perkebunan

Kelapa Sawit 2005... 41 10 Jumlah Pabrik PKS Menurut Kapasitas Olah dan

Lokasinya di Indonesia 2006... 43 11. Jenis Industri Oleokimia dan Turunannya yang Berbasis

Minyak Kelapa Sawit... 44 12. Colinearity Statistics dengan Variabel Terikat CPO Domestik

51

13. Colinearity Statisticsdengan Variabel Terikat


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Perkembangan Harga Minyak Sawit di Eropa, C.I.F.

Jenis Malaysia 5% (US$/mt) (2003-2007)... 2

2. Skema Jaringan Bisnis Hilir Kelapa Sawit... 3

3. Grafik Ekspor CPO Indonesia... 5

4. Skema Kerangka Pemikiran ... 25

5. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit dan Produksi CPO ... 39


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Data Harga CPO di Rotterdam (US$/Ton) (2003-2007)... 61

2. Data Harga CPO di Indonesia (Rp/Kg) (2003-2007) ... 62

3. Data Harga Minyak Goreng di Indonesia Tahun 2003-2006 (Rp/kg)... 63

4. a. Exchange Rate ... 64

. b. Index Harga Konsumen (2003-2007)... 64

5. Nilai Riil CPO Internasional... 65

6. Nilai Riil CPO Domestik... 66

7. Nilai Riil Minyak Goreng Domestik... 67

8. a. Produksi CPO Indonesia (2003-2007) ... 68

b. Kebijakan PE (2006-2007)... 68

9. Hasil Regresi dengan Variabel Dependent CPO Domestik... 69


(13)

ABSTRAK

ARIFANDI (040304009/Sep-Agribisnis) ELASTISITAS TRANSMISI HARGA CPO INTERNASIONAL, CPO DOMESTIK DAN MINYAK GORENG DOMESTIK.

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2008 dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui bagaimana elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik terhadap harga CPO (Crude Palm Oil) internasional

2. Untuk mengetahui bagaimana elastisitas transmisi harga minyak goreng domestik terhadap harga CPO (Crude Palm Oil) domestik

Untuk menguji hipotesis ini digunakan Analisis Regresi Linear Berganda dan uji T-Test dengan kesimpulan sebagai berikut:

1. Nilai elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) internasional terhadap CPO (Crude Palm Oil) domestik adalah 1,055 yang berarti bersifat elastis. Terdapat pengaruh nyata dimana hitung 38,562 > t-tabel 2,75 ( =0,05) dengan signifikansi 0,000 > = 0,05. Dengan pengujian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa CPO internasional secara signifikan mempengaruhi CPO domestik

2. Nilai elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik terhadap minyak goreng domestik adalah 0,655 yang berarti bersifat inelastis. Terdapat pengaruh nyata dimana t-hitung 12,281 > t-tabel = 2,07 ( =0,05) dengan signifikansi 0,000 > = 0,05. Dengan pengujian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa CPO domestik secara signifikan mempengaruhi minyak goreng domestik


(14)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara penghasil CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia mengungguli Malaysia dengan produksi sebesar 16,8 juta ton pertahun dimana total produksi CPO di Malaysia adalah sekitar 14 juta ton pertahun, sementara total produksi CPO dunia pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 38,4 juta ton per tahun atau meningkat 4% dari tahun 2006. CPO merupakan salah satu andalan ekspor Indonesia mengingat harganya yang relatif tinggi dipasar dunia yaitu sebesar US$ 997,5/ton pada bulan Desember 2007), atau naik sekitar 14% dari bulan November 2007. Kenaikan harga ini sejalan dengan permintaan CPO dunia berkaitan dengan pengembangan bahan bakar nabati yang ramah lingkungan. Perkembangan harga Minyak sawit di Eropa, C. I. F. Jenis Malaysia 5% (US$/mt) dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Harga Minyak Sawit di Eropa, C.I.F. Jenis Malaysia 5% (US$/mt)

Bulan Tahun

2003 2004 2005 2006 2007

Januari 458.00 496.00 401.00 424.30 575.50

Februari 452.00 535.00 403.00 445.00 582.00

Maret 426.00 550.00 435.00 440.00 597.80

April 412.00 538.00 397.30 439.50 684.00

Mei 417.00 513.00 417.00 440.00 765.50

Juni 430.00 440.00 419.00 437.00 794.30

Juli 411.00 426.00 417.00 471.00 798.30

Agustus 359.00 432.00 407.00 510.00 788.30

September 420.00 439.00 421.00 497.00 809.80

Oktober 485.00 431.00 442.00 507.00 978.00

November 503.00 433.00 444.00 547.00 985.00

Desember 510.00 423.00 428.30 574.30 997.50

Rata-rata 429.43 499.71 412.76 442.40 779.70


(15)

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

2003 2004 2005 2006 2007

T ahun h ar g a U S $/ to n H arga

Gambar 1. Perkembangan Harga Minyak Sawit di Erop C. I. F. Jenis Malaysia 5% (US$/Ton) (Perum Bulog, 2007)

Kelapa sawit adalah penghasil minyak nabati yang dapat diandalkan, karena minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Keunggulan tersebut diantaranya memiliki kadar kolesterol rendah, bahkan tanpa kolesterol. Minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit berupa minyak sawit mentah (Crude Palm Oil atau CPO) yang berwarna kuning dan minyak inti sawit (Palm Kernel Oil atau PKO) yang tidak berwarna (jernih). CPO dan PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan (minyak goreng dan margarine), industri sabun (bahan penghasil busa), industri textil, kosmetik, dan sebagai bahan bakar alternatif (Sastrosayono, 2003).

Data dari PT. Capricorn Consult Inc. menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2003, pola konsumsi CPO di Indonesia adalah untuk margarin (1,6%), oleochemical (6,8%), sabun (2%), minyak goreng (29,6%), dan ekspor (60%). Sedangkan pengusahaan pemurnian minyak goreng di Indonesia dilakukan oleh sekitar 80 perusahaan, yang tersebar di 11 propinsi di Sumatera, Jawa dan


(16)

bisnis hilir produk sawit ini (CPO dan PKO) telah luas. Jaringan bisnis hilir produk sawit dapat dilihat pada Gambar 2.

-Cooking oil

-Fats for bakery produts -Table margarine -Specialty fats

-fatty acids -liquid detergent -fatty alcohol -loundey soap -glicerine -toilet soap Gambar 2. Skema Jaringan Bisnis Hilir

Industri hilir kelapa sawit kategori produk pangan yang umum diusahakan di Indonesia berupa minyak goreng, margarine sedangkan produk bukan pangan berupa oleokimia meliputifatty acid, fatty alcohol, stearin, glycerin dan methallic soap. Industri minyak goreng dan oleokimia berkembang di beberapa daerah, yang umumnya di kota-kota besar yang memiliki fasilitas pelabuhan.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan keja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sektor penghasil devisa negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980, luas lahan mencapai 294.560 Ha dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia berkembang pesat

Palm Oil/ Palm Cernel Oil

Edible

products Non edibleproducts


(17)

terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan Pemerintah yang melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (Risja, 1994). Luas areal, produksi dan produktivitas perkebunan kelapa sawit dari tahun 2003-2006 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kelapa Sawit di Indonesia

Tahun Luas Areal

(Juta Ha) (Juta Ton)Produksi Produktivitas(Kg/Ha)

2003 5,285 10,440 3.045,24

2004 5,284 10,830 2.833

2005 5,453 11,861 2.925

2006 6,074 13,390 2.953

Sumber : Dinas Pertanian, 2007

Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia sehingga banyak perusahaan dalam berbagai skala dan petani yang berminat untuk membangun industri kelapa sawit, mulai dari kebun hingga industri hilir. Tidak semua industri kelapa sawit akan kompetitif untuk dibangun di seluruh wilayah Indonesia dan dapat dilakukan oleh semua golongan pengusaha/orang. Untuk mengembangkan kelapa sawit perlu kajian tentang : 1) Ketersediaan dan potensi lahan dan sumberdaya lainnya, 2) Ketersediaan dan lokasi pasar dan 3) Persaingan dan keunggulan komparatif Indonesia (Siahaan, 2007).

Produksi minyak nabati dan hewani (edible oil) dunia adalah sekitar 154 juta ton (tahun 2006) yang telah didominasi minyak sawit (25%) dalam beberapa tahun terakhir ini, minyak kedelai sebesar 23,7%, serta minyak nabati dan hewani lainnya dalam jumlah yang lebih rendah. Dari produksi minyak sawit sejumlah 39 juta ton pada 2006, kontribusi Indonesia dalam produksi sekitar 41%. Dengan demikian, kontribusi Indonesia terhadap pasar minyak dunia hanya sekitar 10% (Siahaan, 2007).


(18)

Dengan adanya subtitusi antar minyak sangat besar, pengaruh Indonesia relatif kecil sehingga perubahan produksi maupun kebijakan perdagangan minyak sawit Indonesia tidak akan secara signifikan mempengaruhi perdagangan minyak dunia. Konsekuensi lainnya adalah berapapun biaya produksi CPO di Indonesia, harga minyak sawit dunia tidak akan banyak terpengaruh. Oleh sebab itu untuk dapat kompetitif dan bertahan dalam industri kelapa sawit, Indonesia harus terus-menerus mengupayakan biaya produksi serendah mungkin melalui efisiensi, peningkatan produktivitas dan optimasi pemanfaatan sumberdaya sehingga peran penelitian menjadi sangat penting dalam industri kelapa sawit (Siahaan, 2007).

Menurut Sastrosayono (2003), Prospek pasar bagi olahan kelapa sawit cukup menjanjikan, karena permintaan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup besar, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Oleh karena itu, sebagai negara tropis yang masih memiliki lahan yang cukup luas, Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan Perkebunan Kelapa Sawit, baik melalui penanaman modal asing maupun skala perkebunan rakyat. Grafik permintaan ekspor CPO Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.

E K S P O R C P O IN D O N E S IA

7 3 7 0

8 9 9 6

1 0 4 3 6

1 2 3 3 8 1 2 6 7 9

1 4 3 8 0

0 2 0 0 0 4 0 0 0 6 0 0 0 8 0 0 0 1 0 0 0 0 1 2 0 0 0 1 4 0 0 0 1 6 0 0 0

2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 * T A H U N

J U M L A H ( 1 0 0 0 T )

E K S P O R

Gambar 3. Grafik Ekspor CPO Indonesia *=perkiraan (Oil World, 2007)


(19)

Devisa yang akan dihasilkan oleh sektor perkebunan ini akan sangat besar jika kita bisa mengantisipasi kebutuhan dunia dan tidak membanjiri pasar sehingga menjatuhkan harga. Oleh karena itu perdagangan CPO atau turunannya seperti olein di pasar berjangka menjadi sangat relevan. Selama ini kebijakan pemerintah sering tidak konsisten terhadap CPO sehingga menimbulkan distorsi pasar. Di sektor hulu terdapat disinsentif pajak ekspor ditengah situasi haus devisa seperti pada masa krisis ekonomi saat ini, yang sangat mempengaruhi kegairahan petani atau pekebun kelapa sawit dalam meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Di sektor hilir, industri olein dan minyak goreng hanya dikuasi oleh satu atau dua perusahaan/konglomerat besar dengan penguasaan pangsa pasar yang sangat besar pula. Langkah pemerintah mengekang ekspor dan mengalokasikannya kepada pasar domestik dengan harga yang murah dapat dinilai sebagai bentukdistorsi ekonomi yang serius (Sofyan,2000).

Dengan memperkirakan kelebihan suplai minyak sawit Indonesia ke pasaran dunia, hal yang sama dapat dianalogikan ke pasar domestik. Saat ini harga tingkat Petani yang cenderung menurun, maka makin banyak produsen CPO termasuk petani kecil peserta plasma dalam pola Perkebunan Inti-Rakyat (PIR) yang tentu saja tidak memiliki pabrik minyak goreng bahkan secara langsung mensubsidi industri minyak goreng yang kebanyakan dikuasai pemodal kuat dan konglomerat. Oleh karena apabila permasalahan ini tidak segera dikenali dan dipecahkan, maka komoditi CPO yang sebenarnya sangat potensial tersebut, dapat menjadi penghalang yang serius bagi kinerja dan keberhasilan bursa komoditi berjangka dimasa mendatang (Sofyan, 2000).


(20)

Perdagangan minyak kelapa sawit dan inti sawit seluruhnya diekspor ke Eropa Barat. Tidak hanya minyak kelapa sawit dan inti sawit yang merupakan bahan olahan untuk menghasilkan minyak goreng. Masih banyak bahan-bahan lain, seperti minyak bunga matahari, minyak zaitun, kacang kedele, biji kapas dan lain-lain, sehingga mesin pengolahan yang telah digunakan untuk mengolah minyak kelapa sawit dan inti sawit. Inti sawit menjadi minyak yang sampai tahun tujuh puluhan seluruhnya diekspor, namun sejak tahun 1978 diolah menjadi minyak inti sawit dan bungkil. Dengan demikian mata dagangan dari kelapa sawit tidak lagi terbatas pada minyak kelapa sawit dan inti, tetapi telah meluas dan melebar menjadi olein, stearin, RDB olein, minyak inti sawit dan bungkil dalam berbagai bentuk, terutama untuk bahan makanan atau pakan ternak untuk keperluan industri (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003).

Menurut Sofyan (2000), produk CPO mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak nabati lainnya. Keunggulan itu antara lain :

Aspek produksi : CPO merupakan produk terbesarAspek harga : CPO paling rendah

Biaya produksi : biaya produksi CPO Indonesia paling efisien di dunia,

perhatikan uraian berikut :

- Biaya produksi Indonesia : US$ 150-180/Ton - Biaya produksi Malaysia : US$ 220/Ton.

Semakin pentingnya kedudukan kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng dan perolehan devisa telah menyebabkan pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kepentingan untuk menjaga stabilitas harga minyak


(21)

goreng sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok atau kepentingan untuk meningkatkan perolehan devisa, melalui ekspor Crude Palm Oil (CPO). Mengingat bahwa industri minyak goreng sawit Indonesia sampai saat ini masih belum berjalan dengan kapasitas penuh, bahkan menurut beberapa survei hanya berkisar 50-60 persen dari kapasitas terpasang, maka kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan ketersediaan CPO sebagai bahan baku industri minyak goreng. Untuk itu pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan, baik melalui penghapusan bea masuk maupun pengenaan pajak ekspor serta alokasi CPO kepada Badan Urusan Logistik (BULOG). Dari gambaran intervensi pemerintah yang telah dilakukan selama ini terhadap minyak sawit Indonesia terlihat bahwa selalu terjadi benturan-benturan kepentingan dalam penerapan kebijakan. Dua dilema kebijakan yang dihadapi yaitu:

1. Pilihan antara pengembangan industri minyak goreng dalam negeri atau mengimpor minyak goreng dan mengekspor bahan mentah pembuatan minyak goreng (CPO) sebagai penghasil devisa;

2. Pilihan antara menggunakan instrumen minyak goreng impor atau pengaturan produksi minyak goreng dalam negeri untuk pengelolaan (stabilisasi) harga minyak goreng dalam negeri. Dilema kedua ini langsung terkait dengan jaminan ketersediaan minyak goreng dalam negeri, dengan demikian harga minyak gorengtidak akan berfluktuasi.

(Susanto, 2004)

Besarnya transaksi minyak goreng domestik dalam negeri yang mencapai kurang lebih 85% dari jumlah total yang beredar dipasar, menegaskan potensi pasar minyak goreng domestik sangat besar di Indonesia dan sebagai produsen


(22)

utama seharusnya kelangkaan tidak bisa terjadi. Besarnya potensi pembeli dan penjual di dalam negeri yang jauh lebih besar dibandingkan dengan luar negeri (Sofyan, 2000).

Kelangkaan minyak goreng yang terjadi beberapa waktu yang lalu dijadikan sebagai komoditi politik yang dapat membuat aparatur negara dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah minyak goreng di Indonesia, maka untuk itu stabilisasi harga sangat diperlukan sehingga harga benar-benar tercipta secara transparan sesuai dengan mekanisme pasar (Sofyan, 2000). Harga minyak goreng di Indonesia terus melambung. Perkembangan harga minyak goreng di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan Harga Minyak Goreng di Indonesia Tahun 2003-2006 (Rp/kg)

Bulan Tahun

2003 2004 2005 2006

Januari 4.940,88 5.144,58 4.864,76 5.224,82

Februari 4.925,80 5.123,63 4.786,84 5.218,10

Maret 4.868,27 5.286,37 4.908,54 5.240,07

April 4.763,45 5.366,46 4.967,56 5.184,50

Mei 4.653,17 5.382,48 4.940,21 5.147,65

Juni 4.772,49 5.346,64 4.899,58 5.101,16

Juli 4.640,68 5.186,64 4.893,73 5.053,16

Agustus 4.651,65 5.047,06 4.924,31 5.310,56

September 4.631,97 5.134,62 5.056,01 5.450,89

Oktober 4.732,07 5.100,06 5.502,06 5.442,13

November 5.016,16 5.052,91 5.554,95 5.542,87

Desember 5.081,12 4.956,10 5.375,94 5.874,47

Rata-rata 4.802,31 5.177,29 5.065,93 5.315,87

Sumber : Perum BULOG, 2007

Harga minyak goreng kembali bergejolak sejak Desember 2007. Pemerintah mempunyai tiga instrumen pengendali harga yaitu pengenaan pajak ekspor progresif, penanggungan PPN minyak goreng dan pasar murah minyak goreng. Tetapi kebijakan tersebut susah melawan kenaikan harga CPO dunia (Anonim, 2008).


(23)

Harga minyak goreng mencapai Rp. 10.000. Bahkan harga minyak goreng di propinsi Papua mencapai Rp 30-40 ribu per liter. Kecenderungan naiknya harga minyak goreng di pasar domestik telah ditengarai oleh banyak kalangan. Menteri PerindustrianFahmi Idris juga mengkhawatirkan bahwa kebijakan jangka pendek diperlukan untuk meredam gejolak kenaikan harga ini. Dalam salah satu harian nasional, Presiden dan Wakil Presiden menghimbau para pengusaha kelapa sawit untuk ikut membantu menyelesaikan masalah minyak goreng di Tanah Air. Pemerintah berusaha menimbang beberapa opsi kebijakan antara lain: porgam stabilisasi harga dengan operasi pasar, pemberian subsidi minyak goreng, penerapan kenaikan pajak buah dan kernel kelapa sawit beserta CPO dan turunannya, dan Domestic Market Obligation bagi produsen minyak sawit (Anonim, 2007).

Konsumsi domestik rata-rata hanya sekitar 30% dan 70% nya diekspor. Gejolak ini wajar mengingat kecenderungan naiknya permintaan CPO dunia dari tahun ke tahun yang diikuti oleh naiknya harga CPO dari tahun 2001. Jelas mekanisme pasar ini memberikan insentif bagi pengusaha untuk mendapatkan Dollar sebanyak-banyaknya. Jadi dengan kata lain, daya tarik pasar ekspor lebih menjadi prioritas pengusaha (Anonim, 2007).

Prospek pasar CPO dimasa mendatang terlihat sangat cerah. CPO diyakini mempunyai daya saing yang kuat dibanding minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, bunga matahari dan kelapa. Hal ini disebabkan karena kelapa sawit memiliki produktivitas minyak tertinggi sehingga biaya produksi relatif rendah. Melihat potensi ekonomi dan banyaknya kepentingan yang terlibat, maka jika tidak ada tata kelola yang baik dari semua stake holder CPO, kemungkinan


(24)

dapat menimbulkan keresahan. Pemerintah harus memiliki kebijakan yang tegas mengenai ekspor CPO. Dengan demikian industri CPO dan produk turunannya memiliki jaminan dan arah pengembangan yang jelas demi kepentingan bersama (Anonim, 2007).

Kecenderungan naiknya permintaan CPO di pasar dunia, membuat pengusaha ingin mendapatkan keuntungan yang besar dengan penjualan CPO ke luar negeri, dengan kata lain daya tarik pasar ekspor lebih prioritas pengusaha. Akibatnya, pasokan CPO domestik akan menipis. Kelangkaan minyak goreng pun bisa terjadi karena kekurangan salah satu komponen minyak goreng, yakni CPO. Harga minyak goreng dalam negeri akan terus mengalami kenaikan.

Perkembangan harga CPO di dunia mempengaruhi harga CPO di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada pengaruh harga CPO Internasional terhadap harga CPO domestik untuk melihat apakah harga CPO internasional ditransmisikan ke harga CPO domestik?. Dan apakah ada pengaruh harga CPO domestik terhadap harga minyak goreng domestik untuk melihat apakah harga CPO domestik ditransmisikan ke harga minyak goreng domestik?.

1.2. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah:

1. Bagaimana elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) internasional terhadap harga CPO (Crude Palm Oil) domestik?

2. Bagaimana elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik terhadap harga minyak goreng domestik?


(25)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) internasional terhadap harga CPO (Crude Palm Oil) domestik

2. Untuk mengetahui bagaimana elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik terhadap harga minyak goreng domestik

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai gambaran dan bahan informasi bagi pengusaha minyak goreng dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pengelola minyak kelapa sawit dan minyak goreng dalam pengambilan keputusan di dalam perusahaannya


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

Area Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia secara berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 adalah sekitar 3.172.163 Ha, 3.393.421 Ha, 3.584.486 Ha dan 4.116.646 Ha. Kelapa sawit terbesar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya Barat & Papua dan Jawa Barat (Ditjenbun, 2002).

Area Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara pada tahun 2002 berada di posisi kedua di Indonesia, yaitu 776.670 Ha. Berdasarkan kepemilikan, Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara secara berturut-turut terdiri dari pemilik kecil, milik pemerintah, area perusahaan swasta, yaitu sekitar 186.991,78 Ha, 273.278,97 Ha dan 317.398,98 Ha (Disbun Sumut, 2002).

Dalam perekonomian Indonesia, komoditas kelapa sawit memegang peranan yang cukup strategis karena komoditas ini mempunyai prospek yang cerah bagi sumber devisa negara. Disamping itu, kelapa sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng yang banyak dipakai di seluruh dunia sehingga secara terus-menerus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Suyatno, 1995).

Analisis yang lebih rinci tentang dampak ekonomis pajak ekspor dari produk-produk ini tidak dapat digeneralisasi, tetapi masih harus memperhitungkan beberapa variabel penting seperti penurunan penerimaan ekspor para produsen. Pengembangan agroindustri dan komoditi CPO ini tidak dilakukan dengan proses perencanaan yang matang. Kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada pihak swasta pada tahap investasi pembukaan kebun baru kelapa sawit cenderung berlebihan (Sofyan, 2000).


(27)

Sebagian besar hasil-hasil bidang pertanian rakyat adalah bahan makanan terutama beras untuk konsumsi sendiri, sedangkan hampir seluruh hasil perkebunan adalah ekspor (Mubyarto, 1989).

Pembekuan sementara izin investasi PMA di perkebunan dan pengelolaan CPO dimaksudkan untuk membendung usaha besar-besaran dari pengusaha asing khususnya pengusaha Malaysia yang berambisi tetap menjadi yang terbesar di dunia dalam Perkebunan Kelapa Sawit yang cenderung mengarah pada pola monopoli baru dalam bisnis sawit Indonesia. Dampak dari pengusaan areal ini kemungkinan akan berpengaruh ke sektor industri serta perolehan devisa ekspor (Sofyan, 2000).

Pada awalnya, minyak sawit dikembangkan untuk mengisi kekurangan pasokan minyak nabati domestik yang tidak dapat dipenuhi minyak kelapa. Namun, karena mampu mengimbangi pertumbuhan konsumsi, minyak sawit menjadi minyak utama (>90%) dalam konsumsi masyarakat Indonesia sekarang ini. Penggunaan minyak sawit sebagian besar untuk pangan sedangkan untuk industri oleokimia relatif masih kecil seperti pada Tabel 4 (Ambar dkk, 2007). Tabel 4. Penggunaan Minyak Dalam Negeri

Jenis

Industri 1988 Pemakaian minyak sawit (ribu ton)1993 1999 2006

Oleopangan 954 2.154 2.954 3.000

Oleokimia 254 496 650 800

Jumlah 1.218 2.650 3.504 3.800

Sumber : Ambar dkk, 2007

Konsumsi minyak sawit naik sejalan dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan semakin diterimanya minyak sawit di pasar. Konsumsi minyak sawit nasional (CPO) 1988 adalah 1,2 juta ton, 1,9 juta ton pada 1993, 2,5 juta ton pada 1997 dan 3,5 juta ton pada 1999. Berdasarkan angka tersebut


(28)

pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah sekitar 11,5 %/tahun. Pertumbuhan konsumsi untuk oleopangan adalah 12%, lebih besar dibandingkan pertumbuhan konsumsi untuk oleokimia (10%) (Ambar dkk, 2007).

Perkembangan harga minyak sawit (CPO) di pasar domestik dan internasional sejak tahun 1988 sampai dengan 1998 menunjukkan bahwa pergerakan harga bulanan minyak sawit menunjukkan pergerakan harga minyak sawit mempunyai siklus bisnis dengan panjang sekitar 5-6 tahun. Siklus bisnis ini menjadi rujukan perubahan harga global. Selain siklus bisnis, harga minyak sawit juga mempunyai fluktuasi musiman yang dalam istilah teknis disebut seasonility. Harga rata-rata minyak sawit di pasar internasional dan domestik dapat dilihat pada Tabel 5 (Ambar dkk, 2007).

Tabel 5. Harga Rata-Rata Minyak Sawit di Pasar Domestik & Internasional

Tahun Harga

Lokal EksporHarga Tahun HargaLokal EksporHarga

(Rp/Kg) (US$/Ton) (Rp/Kg) (US$/Ton)

1988 502 463 1997 1.424 545

1989 552 524 1998 3.600 663

1990 531 280 1999 3.423 436

1991 655 339 2000 3.338 310

1992 728 394 2001 3.763 286

1993 694 407 2002 3.714 390

1994 988 525 2003 3.852 443

1995 1.275 628 2004 4.284 471

1996 1.148 532 2005 4.034 422

Sumber : Ambar dkk, 2007

Secara keseluruhan, konsumsi minyak goreng rumah tangga per kapita mengalami peningkatan, namun dengan laju yang semakin menurun. Rata-rata konsumsi minyak goreng per kapita pada tahun 1993 adalah 7,625 liter di daerah pedesaan, 9,375 liter di daerah perkotaan dan 8,375 liter di seluruh Indonesia (Amang dkk, 1996).


(29)

Proyeksi minyak goreng dilakukan dengan asumsi bahwa dampak perubahan harga minyak goreng dinetralisir oleh dampak perubahan harga-harga lain, sehingga perubahan konsumsi minyak goreng per kapita hanyalah akibat dari dampak perubahan pendapatan riil per kapita. Laju pertumbuhan pendapatan riil per kapita diasumsikan sama dengan laju pertumbuhan produksi domestik bruto riil yaitu 6,2 %/tahun (Buku Repelita VI). Perkiraan jumlah penduduk juga diperoleh dari buku Repelita VI. Proyeksi konsumsi minyak goreng untuk konsumsi pangan hingga tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 6. (Amang dkk,1996).

Tabel 6 . Proyeksi Konsumsi Minyak Goreng untuk Konsumsi Pangan Hingga Tahun 2013

Tahun Penduduk

(ribu orang) Konsumsi perkapita (liter/orang)

Total konsumsi (juta liter)

1993 189.136 8,060 1.524

1998 204.424 8,539 1.745

2003 219.380 9,062 1.988

2008 233.571 9,638 2.251

2013 246.520 10,273 2.533

Sumber : Amang dkk, 1996

Secara umum, konsumsi minyak goreng per kapita diperkirakan masih akan terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini, namun laju peningkatan tersebut akan semakin rendah. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan pertambahan jumlah penduduk akan membuat permintaan minyak goreng untuk pangan rumah tangga akan meningkat terus. Potensi permintaan domestik yang besar ini tentu merupakan peluang yang baik bagi pengembangan industri minyak goreng dalam negeri (Amang dkk, 1996).

Upaya stabilisasi harga dapat dilakukan lewat pasar berjangka, karena mekanisme yang sangat transparan memungkinkan diketahuinya demand-supply


(30)

setiap saat, dan bagi yang ingin mempermainkan supply dengan menumpuk stok akan rugi sendiri karena pasar memberikan indikasi harga yang tidak memungkinkan untuk dipermainkan (Sofyan, 2000).

Industri oleopangan perlu terus meningakatkan mutu produknya sehingga mampu menembus pasar minyak makan dunia yang masih sangat besar, khususnya India, Cina, Asia Selatan dan Timur tengah (Ambar dkk, 2007)

Apabila tidak ada perubahan dalam teknologi maka pembangunan pertanian pun terhenti. Produksi terhenti kenaikannya, bahkan dapat menurun karena menurunnya kesuburan tanah atau karena kerusakan yang semakin meningkat oleh hama penyakit yang merajalela (Mubyarto, 1989).

Ketika harga suatu komoditas berubah, semakin lama perubahan itu berlangsung, akan semakin besar informasi yang mengalir perihal perubahan harga itu. Artinya, makin banyak orang yang mengetahuinya. Kedua, para konsumen akan semakin berkesempatan menyesuaikan konsumsinya, bila waktu yang tersedia lebih panjang. Kenyataanya, semakin panjang waktu yang mereka dapatkan, semakin ringan biaya bagi mereka guna membiasakan diri dengan pola konsumsi yang baru (Miller dan Meiners, 2000)

Afandi (2008) dengan penelitian judul Kointegrasi CPO Internasional, CPO Domestik dan Minyak Goreng Domestik dengan menggunakan data harga CPO internasional bulanan 2007, data harga CPO domestik bulanan 2003-2007 dan data harga minyak goreng domestik bulanan 2003-2003-2007, melakukan uji unit root dengan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) memperoleh hasil bahwa data-data tersebut sudah stasioner pada level yang sama yaitu pada turunan pertama atau I(1) dengan kesimpulan bahwa variabel harga minyak goreng sudah


(31)

stasioner pada diferensi yang pertama. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilistiknya yaitu 0,0002 < 0,05 (pada tingkat kepercayaan 5%), ini berarti data sudah stationer. Kemudian membandingkan nilai absolut statistik t (5,424125) dengan nilai kritis menurut tabel MacKinnon pada tingkat 1%, 5% atau 10%. Ternyata nilai absolut statistik t lebih besar dibanding dengan nilai-nilai kritisnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa data sudah stasioner. Variabel harga CPO domestik sudah stasioner pada diferensi yang pertama. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilistiknya yaitu 0,0000 < 0,05 (pada tingkat kepercayaan 5%), ini berarti data sudah stationer. Kemudian membandingkan nilai absolut statistik t (6,261157) dengan nilai kritis menurut tabel MacKinnon pada tingkat 1%, 5% atau 10%. Ternyata nilai absolut statistik t lebih besar dibanding dengan nilai-nilai kritisnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa data sudah stasioner. Variabel harga CPO internasional sudah stasioner pada diferensi yang pertama. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilistiknya yaitu 0,0003 < 0,05 (pada tingkat kepercayaan 5%), ini berarti data sudah stationer. Kemudian membandingkan nilai absolut statistik t (5,277060) dengan nilai kritis menurut tabel MacKinnon pada tingkat 1%, 5% atau 10%. Ternyata nilai absolut statistik t lebih besar dibanding dengan nilai-nilai kritisnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa data sudah stasioner dan siap dianalisis ke uji kointegrasi.

Afandi (2008) juga telah melakukan uji kointegrasi antara harga CPO domestik dengan harga CPO internasional dan kointegrasi antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik. Hasil dari uji kointegrasi antara harga CPO domestik dengan harga CPO internasional (Lampiran 10) menjelaskan bahwa trace statistic lebih kecil dari nilai critical value pada tingkat 5%(0,05),


(32)

yaitu 19,17685 < 25,87211. Begitu juga nilai probabilistiknya lebih besar dari nilai kritis (tingkat kepercayaan) 5% yaitu 0,2704 > 0,05. Hal ini menyatakan bahwa kedua variabel yaitu harga CPO domestik dan harga CPO internasional tidak saling berkointegrasi.

Afandi (2008) melakukan uji kointegrasi antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik (Lampiran 11) dengan hasil bahwa trace statisticlebih kecil dari nilaicritical value pada tingkat 5%(0,05), yaitu 14,84133 < 25,87211. Begitu juga nilai probabilistiknya lebih besar dari nilai kritis (tingkat kepercayaan) 5% yaitu 0,5878 > 0,05. Hal ini menyatakan bahwa kedua variabel yaitu harga minyak goreng domestik dan harga CPO domestik tidak saling berkointegrasi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kedua variabel yaitu harga CPO domestik dan harga CPO internasional tidak saling berkointegrasi. Begitu juga variabel Minyak goreng domestik dan CPO domestik tidak saling berkointegrasi.

Bacuks (2006) menggunakan model Autoregresi ketika mempelajari transmisi harga pada pasar babi di Swiss. Bacuks menyimpulkan bahwa transmisi harga diantara produsen dan konsumen bersifat asimetrik. Bacuks juga mempelajari transmisi harga daging babi sehubungan dengan siklus harga, menyimpulkan bahwa harga konsumen sesuai secara asimetris terhadap perubahan harga disemua frekuensi.

Bakucs (2006) menyimpulkan bahwa kebanyakan hasil empiris menguatkan adanya hubungan timbal balik antara pasar peternakan dan pasar Pengecer disemua katagori yang telah dipelajari. Singkatnya, kebanyakan penelitian menemukan bahwa transmisi harga asimetris dalam pasar kebutuhan


(33)

pokok. Hal ini juga disebabkan terjadinya informasi yang tidak langsung yang berasal dari harga di peternakan, pengecer dan konsumen.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paulsen (2007), dengan judul penelitian Elastisitas Transmisi Harga Salmon yang di Ekspor terhadap Harga Salmon di Tingkat Produsen dengan Studi Kasus Norwegia, menyimpulkan bahwa elastisitas trasnsmisi harga salmon ekspor terhadap harga salmon di tingkat produsen bersifat inelastis. Hal ini dipengaruhi oleh nilai tukar dan biaya trasportasi. Serta adanya kebijakan pemerintah berupa Pungutan Ekspor (PE)

Penelitian Jaldi (2007) yang berjudul Analisis Pemasaran CPO (Crude Palm Oil) PT. Perkebunan Nusantara IV (PTPN-IV) dengan identifikasi masalah berapa besar elastisitas transmisi harga dari pemasaran CPO (Crude Palm Oil) PT. Perkebunan IV (PTPN-IV)?, mendapatkan hasil yaitu bahwa elastisitas transmisi harga pemasaran CPO ekspor PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN-IV) pada tahun 2006 adalah bersifat inelastis yaitu perubahan harga sebesar 1% ditingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan harga sebesar -0,34% ditingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO (Crude Palm Oil) ekspor PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN-IV). Hal ini lanjutnya, disebabkan karena adanya peningkatan input, seperti harga bahan baku (TBS), harga solar dan upah tenaga kerja dalam pembuatan CPO (Crude Palm Oil) dan lemahnya posisi tawar (bargaining position) PTPN-IV serta hal-hal yang bersifat politis, yaitu hubungan diplomatik Indonesia dengan negara pengimpor CPO (Crude Palm Oil).

Hasil penelitian Jaldi (2007) juga menarik kesimpulan bahwa elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik PTPN-IV bersifat inelastis, yaitu perubahan harga sebesar 1% ditingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan


(34)

harga 0,59% ditingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO (Crude Palm Oil) domestik PTPN-IV. Hal ini lanjutnya, disebabkan oleh kenaikan input, seperti bahan baku (TBS), harga solar pabrik dan upah tenaga kerja dalam pembuatan CPO (Crude Palm Oil) dan lemahnya posisi tawar (bargaining position) PT Perkebunan Nusantara-IV.

2.2. Landasan Teori

Elastisitas transmisi harga merupakan perbandingan perubahan nisbi harga di tingkat Internasional dengan perubahan harga di tingkat domestik. Dengan diketahui besar nilai elastisitas transmisi harga, maka dapat diketahui informasi pasar tentang adanya peluang, keseimbangan penawaran dan permintaan, perkembangan pasar, pengurangan resiko kerugian dan perbaikan kegiatan pemasaran. Apabila elastisitas transmisi harga lebih kecil dari 1 (Et < 1) dapat diartikan bahwa perubahan harga sebesar 1% di tingkat Internasional akan mengakibatkan perubahan harga kurang dari 1% di tingkat domestik. Apabila elastisitas transmisi harga sama dengan 1 (Et = 1), maka perubahan harga sebesar 1% di tingkat Internasional akan mengakibatkan perubahan harga sebesar 1% di tingkat domestik. Apabila elastisitas transmisi harga lebih besar dari 1 (Et > 1) dapat diartikan bahwa perubahan harga sebesar 1% di tingkat Internasional akan mengakibatkan perubahan harga besar dari 1% di tingkat domestik.

(Sudiyono, 2004)

Bacuks (2006) menyatakan Ada banyak yang dapat menjelaskan keberadaan dari transmisi harga yang asimetrik. Pertama, transmisi harga yang asimetrik bilamana perusahaan dapat mengambil keuntungan melalui perubahan harga yang cepat. Ini dejelaskan dengan teorisearch costs. Hal ini terjadi di pasar


(35)

persaingan sempurna dimana pengecer mempunyai kekuatan pasar. Sedangkan konsumen menghadapi kesulitan dalam memperoleh informasi tentang harga yang bersaing karena adanya search cost. Karena itu perusahaan cepat menaikan harga jika harga podusen naik dan lebih lambat menurunkan harga apabila terjadi penurunan harga. Yang kedua, perishable produk. Pengecer pada posisi perishable produk akan menunda keinginan untuk menaikkan harga karena akan menghadapi resiko kerugian dengan permintaan yang menurun. Ketiga, harga penyesuaian yang melibatkan semua harga dalam penyesuaian transmisi harga. Seperti perishable produk, penyesuaian harga juga bertentangan dengan harga konsumen yang bertambah. Akhirnya, pemberlakuan pasar oligopoli bisa menyebabkan transmisi harga asimetrik. Transmisi harga yang asimetrik muncul dipasar dengan adanya inelastis permintaan dengan supply yang terkonsentrasi.

Elastisitas transmisi harga menggunakan model dengan data yang telah di logaritmakan. Hal ini dilakukan untuk menghindari distribusi 1yang tidak normal

dan menghindari kesalahan varian pengganggu. Koefisien merupakan parameter untuk mengukur elastisitas transmisi harga. Maka rumus elastisitas transmisi harga adalah:

RP = a + ppPP

Dimana: RP = harga domestik a = konstanta

pp = Elastisitas transmisi harga PP = harga internasional

Jika pp =1, maka terjadi transmisi sempurna. Dan jika pp 1 maka terjadi transmisi harga yang tidak sempurna.

Dampak ekonomis dari kebijakan alokasi dapat positif dan dapat negatif, tergantung pada perkembangan harga CPO di pasar internasional. Apabila harga


(36)

dunia jatuh, secara teoritis produsen CPO masih dapat terlindungi dari kerugian ekonomis yang besar, karena sebenarnya konsumen minyak goreng di dalam negeri harus membayar lebih tinggi. Sebaliknya apabila harga dunia CPO meningkat pesat, konsumen minyak goreng masih dapat terlindungi karena tidak harus membayar harga yang sangat mahal. Namun hal itu terjadi karena elastisitas transmisi harga CPO dari produsen ke konsumen sangat kecil suatu karekteristik umum bagi produk-produk agribisnis dan agroindustri. Perubahan harga minyak goreng di dalam negeri lebih banyak dinikmati produsen/pedagang produk hilir itu, bukan petani kelapa sawit hulu (Sofyan, 2000).

Sampai saat ini pelabuhan yang dapat dimanfaatkan untuk CPO dengan fasilitas terminal/tangki timbun terbatas di Belawan dan Dumai, padahal komoditi ini telah dikembangkan di 16 propinsi. Dengan keterbatasan pelabuhan dan sarananya, diperkirakan tidak akan mampu menampung beban dengan pertumbuhan minyak sawit yang sangat pesat. Berdasarkan hasil pemantauan Disperindag sepanjang tahun 1995 dan 1996, industri Olein tidak memberikan keuntungan apabila pengolahannya tidak terintegrasi dengan kebun (Sofyan, 2000).

Supriana (2006) menjelaskan Model Regresi merupakan antara dua variabel, variabel bebas dan variabel bebas (variabel penduga). Dalam spesifikasi model langkah-langkahnya adalah :

1. Menentukan variabel terikat dan variabel bebas

2. Menentukan jumlah persamaan dalam model dan membangun model matematisnya


(37)

2.3. Kerangka Pemikiran

Kelapa sawit adalah penghasil minyak nabati. Kelapa sawit menghasilkan TBS (Tandan Buah Segar). Tandan buah segar ini sudah dapat dijual dengan harga tertentu yang disebut dengan harga TBS. TBS (Tandan buah segar) ini merupakan bahan baku untuk menghasilkan CPO (Crude Palm Oil). CPO (Crude Palm Oil) kemudian dapat dijual dengan harga tertentu yang disebut dengan harga CPO (Crude Palm Oil). CPO (Crude Palm Oil) dapat dijual didalam maupun diluar negeri. CPO (Crude Palm Oil) yang dijual didalam negeri dijual dengan harga domestik (harga lokal). Sedangkan CPO (Crude Palm Oil) yang dijual diluar negri disebut dengan harga luar negri (harga Internasional). Perbandingan perubahan nisbi harga CPO (Crude Palm Oil) ditingkat Internasional dengan perubahan harga ditingkat domestik disebut dengan Elastisitas Transmisi Harga.

CPO (Crude Palm Oil) merupakan bahan baku untuk memproduksi minyak goreng. Industri minyak goreng di Indonesia menggunakan CPO (Crude Palm Oil) yang dibeli didalam negeri dengan harga lokal. Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan masyarakat. Perubahan nisbi harga minyak goreng domestik dengan perubahan harga CPO (Crude Palm Oil) domestik disebut juga dengan Elastisitas Transmisi Haga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar Skema Kerangka Pemikiran.


(38)

Keterangan

= Tahapan

=Derajat Pengukuran =Derajat Pengukuran

Gambar 4 : Skema Kerangka Pemikiran Kelapa sawit

Harga TBS

Harga CPO (Crude Palm Oil)

HARGA LOKAL (DOMESTIK)

HARGA LUAR NEGERI (INTERNASI

ONAL) ELASTISITAS

TRANSMISI HARGA

HARGA MINYAK GORENG DOMESTIK


(39)

2.4. Hipotesis

Adapun hipotesis penelitian adalah:

1. Elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) internasional terhadap CPO (Crude Palm Oil) domestik adalah elastis

2. Elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik terhadap minyak goreng domestik adalah elastis


(40)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metoda Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder. Data sekunder diperoleh dari internet, majalah, koran dan instansi-instansi terkait seperti : Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pertanian, Perum Bulog, KPB (Kantor Pemasaran Bersama PTPN I-V), Pusat Penelitaian Kelapa Sawit (PPKS) dan lain-lain.

3.2. Metode Analisis Data

Perhitungan elastisitas transmisi harga dapat dilakukan dengan penerapan fungsiCobb Douglas. Dengan fungsiCobb Douglasmaka dapat diperoleh dugaan dari koefisien/parameter hubungan ekonomi. Nilai koefisien/parameter dugaan adalah nilai elastisitas transmisi harga CPO domestik terhadap CPO internasional dan elastisitas transmisi harga minyak goreng domestik terhadap CPO domestik. Fungsi Cobb Douglas dapat dijadikan fungsi Linear dengan mengelogkan data. (Tarigan K. Prof., Ir. L. Sihombing, MP., 2004)

Untuk menguji hipotesis (1) dan (2) diuni dengan menggunakan pendekatan ekonometrika yaitu Regresi

Hipotesis (1) yang digunakan adalah : Persamaan :

P. CPO domestik = a + pp P.CPO internasional Y = 0+ 1X1

Dimana : Y = Harga CPO domestik

0 = Konstanta

X1 = Harga CPO internasional


(41)

H0diterima : Elastisitas transmisi harga CPO internasional terhadap CPO

domestik adalah bersifat inelastis

H1diterima : Elastisitas transmisi harga CPO internasional terhadap CPO

domestik adalah bersifat elastis Hipotesis (2) yang digunakan adalah : Persamaan :

P.Minyak goreng domestik = a + pp P.CPO domestik Y = 0+ 1X1

Dimana : Y = Harga Minyak Goreng Domestik

0 = Konstanta

X1 = CPO Domestik

1 = Koefisien/Parameter Elastisitas Transmisi Harga

H0diterima : Elastisitas transmisi harga CPO domestik terhadap minyak goreng

domestik adalah bersifat inelastis

H1diterima : Elastisitas transmisi harga CPO domestik terhadap minyak goreng

domestik adalah bersifat elastis

Untuk mendapatkan hasil yang optimal di dalam penelitian ini digunakan langkah-langkah sebagai berikut:

1.Mengubah Harga CPO internasional dari US$ ke Rupiah

Setelah data dikumpulkan dengan lengkap, kemudian data harga CPO domestik, harga CPO internasional dan harga minyak goreng tersebut ditabulasi. Data harga CPO internasional (US$) terlebih dahulu diubah ke dalam mata uang rupiah dengan rumus :


(42)

2. Mengubah Harga dari Nilai Nominal ke dalam Nilai Riil

Data harga CPO domestik, harga CPO internasional dan harga minyak goreng domestik merupakan data harga dalam nilai nominal. Data harga tersebut harus terlebih dahulu diubah dalam bentuk nilai riil. Nilai Riil digunakan untuk memasukkan pengaruh inflasi kedalam persamaan yang akan diteliti sehingga nilai yang dihitung benar-benar merupakan nilai sebenarnya pada saat berlakunya harga. Data nominal harga CPO internasional diubah kedalam data riil dengan menggunakan rumus :

100 int

arg

IHKaCPO H

Dimana: Harga CPO internasional : Data harga CPO internasional dalam bentuk nominal

IHK : Indeks Harga Konsumen

Data nominal harga CPO domestik diubah kedalam data riil dengan menggunakan rumus :

100

arg

IHKdomestik CPO

a H

Dimana: Harga CPO internasional : Data harga CPO domestik dalam bentuk nominal

IHK : Indeks Harga Konsumen

Data nominal harga CPO domestik diubah kedalam data riil dengan menggunakan rumus :

100

arg

IHK domestik Migor

a H

Dimana: Harga Minyak goreng domestik : Data harga CPO domestik dalam bentuk nominal


(43)

Apabila variabel terikat (harga CPO domestik) dan variabel bebas (harga CPO internasional) tidak terkointegrasi maka tidak dapat diregresikan, karena akan memiliki nilai Error Random yang besar. Menurut Supranto (2004), nilai Error Random yang besar dapat diatasi dengan menambah variabel bebas yang mempengaruhi variabel terikat. Susanto (2004) menjelaskan dalam mengendalikan harga CPO domestik, pemerintah harus mengendalikan produksi CPO domestik. Oleh karena apabila variabel terikat dan variabel bebas tidak terkointegrasi maka harus menambah variabel lain yaitu jumlah produksi CPO domestik. Sehingga persamaannya menjadi :

Y = 0+ 1X1+ 2X2+

Dimana : Y = Harga CPO domestik pada bulan ke-t

0 = Konstanta

X1= Harga CPO internasional pada bulan ke-t

X2= Produksi CPO domestik pada bulan ke-t 1 2 = Koefisien

= Random error

Apabila variabel terikat (harga minyak goreng domestik) dan variabel bebas (harga CPO domestik) tidak terkointegrasi maka tidak dapat diregresikan, karena akan memiliki nilai Error Random yang besar. Menurut Supranto (2004), nilai Error Random yang besar dapat diatasi dengan menambah variabel bebas yang mempengaruhi variabel terikat. Sambodo (2007) dalam tulisannya Mengendalikan Harga Minyak Goreng menjelaskan bahwa dalam mengendalikan harga minyak yang tinggi, Pemerintah menetapkan kebijakan melalui kenaikan PE untuk memberikan kegairahan pada produsen dalam menjual produknya di pasar dalam negeri. Dengan demikian pergerakan kenaikan harga minyak goreng dapat lebih dikendalikan. Oleh karena itu apabila variabel terikat


(44)

(harga minyak goreng) dan variabel bebas (harga CPO domestik) tidak terkointegrasi maka dilakukan penambahan variabel penetapan pajak ekspor (PE) sehingga persamaannya menjadi :

Y = 0+ 1X1+ 2X2+

Dimana : Y = Harga minyak goreng domestik pada bulan ke t

0 = Konstanta

X1= Harga CPO domestik pada bulan ke t

X2= Kebijakan pungutan ekspor untuk minyak goreng (%) 1 2 = Koefisien

= Random error 3. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas dilakukan untuk menghindari adanya hubungan yang linear antar variabel bebas. Menurut Supranto (2004) multikolinearitas dapat dideteksi dengan beberapa metode, diantaranya adalah dengan melihat :

- Jika nilai Toleransi atau VIF (Variance Inflation Factor) kurang dari 0, atau nilai VIF melebihi 10

- Terdapat koefisien korelasi sederhana yang mencapai atau melebihi 0,8 - Jika nilai F-hitung melebihi nilai F-Tabel dari regresi antar variabel bebas 4. Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit)

Koefisien Determinasi (R2)

Besaran R2 yang paling lazim digunakan untuk mengukur

kebaikan/kesesuaian (goodness of fit) dari garis regresi. R2 mengukur proporsi

(bagian) atau persentase total variasi dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi. Koefisien determinasi dihitung dengan rumus :

           YY XX XY JK JK JK R2 1


(45)

Uji Kelinearan Model (Uji Statistik-F)

Uji statistik f digunakan untuk menguji kelinearan hubungan X dan Y. apabila Fh > Ft maka hubungan antara X dan Y adalah linear. Untuk menguji kedua hipotesis ini digunakan statistik f. Statistik f dihitung dengan rumus :

           ) 2 ( 1 1 n JK JK JK Fhit XY YY XY

Uji Parsial (Uji t Hitung)

Dengan Kriteria Uji : Uji statistik-t digunakan untuk menunjukkan seberapa besar pengaruh satu variabel bebas secara individual menerangkan variasi variabel bebas.

Jika thtt maka ada pengaruh nyata variabel bebas terhadap variabel terikat Rumus dari t-hitung adalah:

XX h S JK t / 1  ) 2 ( 1

  

n JK JK

S YY XY

Dimana : th = t hitung

1 = koefisien regresi hasil estimasi untuk variable ke-h

S = standar deviasi JKYY= n Y2 ( Y)2

JKXX= n X2 ( X)2


(46)

3.3. Defenisi dan batasan operasional 3.3.1. Defenisi

1. CPO (Crude Palm Oil) adalah minyak dari pengolahan TBS yang berwarna jingga karena mengandungkarotenoida, berkonsistensi padat pada suhu kamar 2. Ekspor adalah proses perpindahan barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Ekspor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima. Ekspor merupakan bagian penting dari perdagangan internasional

3. Elastisitas Transmisi Harga adalah perbandingan perubahan nisbi dan harga di tingkat internasional dengan perubahan harga di tingkat domestik

4. Harga (Price) adalah sejumlah uang yang dibebankan atas suatu produk atau jasa, atau jumlah dari nilai yang ditukar konsumen atas manfaat-manfaat karena memiliki atau menggunakan produk atau jasa tersebut.

5. Harga CPO (Crude Palm Oil) domestik adalah harga rata-rata penjualan dari perkebunan besar negara ke pengolahan dalam negeri

6. Harga CPO (Crude Palm Oil) internasional adalah harga rata-rata penjualan pada pasar internasional

7. IHK atau Indeks Harga Konsumen adalah nomor indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga (Household). IHK sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi suatu negara dan juga sebagai pertimbangan untuk penyesuaian gaji, upah,uang pensiun dan kontrak lainnya.


(47)

8. Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar. Biasanya digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dari tumbuhan biasanya dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, kelapa sawit, biji-bijian, kacang-kacangan, jagung dan kedelai.

9. Pasar (market) adalah seperangkat pembeli aktual dan potensial dari sebuah produk

10. TBS adalah tandan buah segar yang merupakan buah dari pohon kelapa sawit yang akan diolah menjadi minyak sawit.

11. Uji Kointegrasi adalah uji yang bertujuan mengetahui apakah terdapat hubungan jangka panjang antara variabel X dengan Y, sehingga dapat digunakan dalam sebuah persamaan. Kointegrasi menyatakan bahwa pada jangka panjang (long-term) variabel-variabel dalam regresi tidak akan bergerak semakin menjauh (perbedaan pada kombinasi linearnya tidak semakin besar atau stasioner).

3.3.2. Batasan Operasional

1. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2008

2. Penelitian ini menganalisis elastisitas transmisi harga CPO (Crude Palm Oil) di tingkat internasional, harga CPO (Crude Palm Oil) di tingkat domestik dan harga minyak goreng di tingkat domestik.


(48)

IV. PROFIL INDUSTRI KELAPA SAWIT INDONESIA

Indonesia merupakan negara penghasil CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia. Untuk mengantisipasi kebutuhan bahan tanaman unggul atau kecambah kelapa sawit, pemerintah telah mendorong pengembangan produksi kecambah nasional. Selain Pusat Penelitian Kelapa Sawit sebagai yang pertama, terbesar dan satu-satunya milik pemerintah, pemerintah juga telah memberi izin produksi kepada 6 produsen lainnya, sehingga pada tahun 2006 telah tercatat 7 produsen kecambah kelapa sawit di Indonesia dengan kapasitas mencapai 135 juta kecambah (setara dengan pembangunan 675 ribu Ha kebun).

Tabel 7. Produsen Kecambah Kelapa Sawit di Indonesia pada Tahun 2006

No Produsen Kapasitas

(juta kecambah) Harga per butir( tahun 2006) 1 Pusat Penelitian Kelapa Sawit 35-40 Rp. 3.000

2 PT. Socfin Indonesia 35-40 Rp. 4.300

3 PT. Pp London Sumatera 15 US$ 0,70

4 PT. Todas Asian Agri 6 Rp. 3.750

5 PT. SMART 14 Rp. 4.500

6 PT. Bina Sawit Makmur 17 Rp. 4.000

7 PT. Tania Selatan 2 Penggunaan sendiri

Sumber: Ambar, 2007

4.1. Profil Teknis Kelapa Sawit 4.1.1. Botani

Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) masuk dalam subfamili Cocoideae, famili Palmae. Berdasarkan ketebalan cangkangnya, kelapa sawit dikelompokkan menjadi Dura (ketebalan cangkang 2-8 mm), Pisifera (tidak bercangkang dan Tenera (persilangan Dura dengan pisifera, memiliki ketebalan cangkang 0,5-4 mm).

Akar. Pada awalnya, bagian bawah tanaman membentuk bonggol. Ribuan akar primer (diameter 6-10 mm) tumbuh menyebar. Akar sekunder (diameter 2-4


(49)

mm) tumbuh dari akar primer. Akar tertier dan kuarter, yang paling aktif mengambil air dan hara, terkonsentrasi pada 30 cm lapisan atas tanah disekitar bonggol (radius 1,5-2 m dari pokok).

Batang. Batang tanaman kelapa sawit berbentuk silinder dengan diameter 25-75 cm tumbuh tegak lurus dari bonggol. Batang kelapa sawit dapat mencapai tinggi 20-30 m dengan pertumbuhan meninggi dengan cepat jika terlindung. Namun, pada tanaman jenis pendek Dumpy, pada umur 5 tahun tingginya hanya 2 m.

Daun dan Bunga. Panjang daun kelapa sawit 5-9 m dengan jumlah anak daun 125-200 helai dengan panjang 1,2 m. Jumlah daun yang tumbuh setiap tahun adalah antara 20-30 daun. Pada setiap ketiak daun tumbuh bunga jantan dan betina. Bunga betina terdiri dari ribuan bunga yang setelah penyerbukan menjadi tandan buah dengan jumlah 500-2000 buah. Tanaman ini berproduksi setelah berumur 3,5 tahun dan terus berproduksi sekitar 13 tandan/tahun sampai umur puluhan tahun. Namun umur ekonomi tanaman kelapa sawit adalah 25 tahun karena meningkatnya biaya panen dan pemeliharaan seiring dengan pertambahan ketinggian tanaman.

Buah. Buah kelapa sawit, yang disebut juga tandan buah segar (TBS), dari kulit, sabut, cangkang, dan inti. Produk utama dari buah kelapa sawit adalah minyak dari mesocarp (disebut minyak sawit mentah atau Crude palm oil/CPO) dan inti sawit (disebut palm kernel oil/PKO). Ratio minyak sawit terhadap berat TBS (disebut rendemen CPO) berkisar 20-25% sedangkan rasio inti sawit terhadap barat tandan (rendemen inti) 4-7%.


(50)

Produktivitas minyak tanaman kelap sawit sangat tinggi dibanding tanaman penghasil minyak lainnya, mencapai 6-11 kali lebih tinggi. Perkebunan Kelapa Sawit komersial rata-rata mencapai lebih dari 5 ton minyak/Ha/tahun, sementara produktivitas komoditas penghasil minyak lainnya jauh lebih rendah, contoh

Kelapa : 0,7-1,0 ton/Ha/tahun Kacang kedele : 0,3-0,6 ton/Ha/tahun Biji rape/lobak : 0,4-0,6 ton/Ha/tahun Biji bunga matahari : 0,4-0,6 ton/Ha/tahun. 4.1.2. Sifat Minyak Sawit

Minyak kelapa sawit, seperti halnya minyak nabati lainnya (minyak kelapa, minyak biji kapas, minyak zaitun, minyak biji lobak, minyak kedele, minyak biji bunga matahari, lard dan tallow, dll) adalah trigliserida dengan asam lemak yang terikat di lengan-lengan gliserol.

Asam lemak pada minyak hayati umumnya merupakan rantai karbon C6-C24 dengan dominasi pada C14-C18. Karena komposisi yang serupa, maka baik untuk keperluan pangan maupun non pangan, minyak hayati dapat saling mensubtitusi. Oleh sebab itu, kompetisi antar minyak hayati menjadi sangat ketat. Selain itu, minyak sawit Indonesia berkompetisi dengan minyak sawit dari negara lain terutama Malaysia. Minyak sawit dan minyak lain dapat saling mensubtitusi sehingga minyak sawit harus bersaing dengan minyak nabati lain termasuk minyak kedelai (soybean oil) dan minyak biji lobak (rape-seed oil) yang keduanya termasuk dalamseed-oil.


(51)

Produksi utama dari kedele dan biji lobak adalah bungkil yang digunakan sebagai pakan ternak dengan perbandingan rendemen 70% dari bungkil dan 30% dari minyak. Dengan demikian, kenaikan harga pada bungkil akan menurunkan biaya produksi yang dialokasikan kepada biaya minyak, dan produksi bungkil akan terangsang naik sehingga produksi minyaknya juga naik. Dalam keadaan demikian, produsen minyak sawit akan terpukul karena produksi minyak cukup tinggi sehingga harga akan tertekan, tetapi produsen oilseed tidak tertekan karena harga jual bungkilnya yang tinggi.

Permintaan bungkil sangat ditentukan oleh permintaan produk peternakan terutama daging dan permintaan daging berhubungan dangan tingkat pendapatan. Dengan mekanisme demikian, ketika permintaan daging di suatu negara cukup tinggi, permintaan bungkil akan tinggi juga sehingga ada minat untuk mengadakan bungkil sendiri. Minat tersebut akan menyebabkan crushing oilseed untuk menghasilkan bungkil di negara tersebut meningkat dan produksi minyak meningkat sehingga negara tersebut akan mengkonsumsi lebih banyak oilseed yang mungkin harus dipenuhi dengan mengimpor lebih banyak oilseed dan mengurangi impor lainnya termasuk minyak sawit.

4.2. Profil Perkebunan 4.2.1. Luas Areal

Perkebunan Kelapa Sawit modern di dunia dimulai dari pantai timur Sumatera pada tahun 1911. Luas areal kelapa sawit pada 1916 hanya 1.272 Ha. Luas areal terus bertambah secara eksponensial mencapai 110 ribu Ha pada tahun 1940. Kurun waktu 1940-1966 relatif tanpa pertambahan areal dan pada 1967 luas areal kelapa sawit adalah 106 ribu Ha.


(52)

Perkembangan areal perkebunan kelapa sawit tumbuh dengan fantastis sejak 1970, terutama pada tahun 80-an dan 90-an dimana pemerintah giat mengembangkan tanaman ekspor perkebunan dalam tahun 1970-1979, luas areal berkembang dengan laju sekitar 6,9%/tahun. Dalam tahun 1980-1989 laju tersebut naik menjadi 12,7% dan sedikit turun menjadi 10,1% dalam 1990-1999. Laju pertumbuhan perkebunan menurun pada akhir tahun 90-an karena krisis ekonomi. Luas areal kelapa sawit Indonesia menurut Direktorat Jendral Perkebunan, Departemen Pertanian diperkirakan telah mencapai 6,1 juta Ha pada tahun 2006. Indonesia telah mengungguli Malaysia dalam hal areal perkebunan sejak 2005 (Malaysia memiliki sekitar 4 juta Ha) dan menjadi negara terluas di dunia yang memiliki Perkebunan Kelapa Sawit. Luas areal Perkebunan Kelapa Sawit dan produksinya di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4.

Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia

350 400 460 500 520 600 656 700800 880 10001150

13111467161718042025

22272416278029573047

3152350038004100

49005200

700 800 900 10001100120013001400

1550168020002200 265832663421 40084480 496053575600 5900 7000 8300 9300 10500 12200 13600 15000 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 Tahu n

197919801981198219831984198519861987198819891990199119921993199419951996199719981999200020012002200320042005 Tahun (D al am R ib u)

luas areal produksi

Gambar 5. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit dan Produksi CPO (Ambar, 2007)

Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit dilakukan terutama melalui pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN). Sebagai hasil dari usaha ini, perkebunan rakyat dan swasta berkembang pesat


(53)

masing-masing dengan laju 43,2% dan 15,7%/tahun untuk periode 1980-1989 dan 12,8% dan 12,4% untuk periode 1990-1999. Untuk kedua periode ini perkebunan negara hanya berkembang dengan laju 6,2% dan 2,8% (Pada Tabel 8). Pada tahun 2005, perkebunan milik negara terkonsentrasi di Sumatera Utara (300 ribu Ha). Perkebunan milik rakyat terbesar di Riau (733 ribu Ha) dan masing-masing 150-200 ribu Ha di propinsi Sumatera Utara., Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Sedangkan perkebunan swasta terbesar hampir merata di propinsi-propinsi tersebut.

Tabel 8. Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia Menurut Pengusahaan 1991-2009

Tahun Luas areal (ribu Ha) (dalam kurung persetase)

Rakyat Negara Swasta Jumlah

1991 385 (29%) 395 (30%) 531 (40%) 1.311

1995 659 405 962 2.025

2000 1.167 (28%) 588 (14%) 2.403 (58%) 4.158

2002 1.808 632 2.627 5.067

2004 1.905 675 2.867 5.447

2005 1.917 (35%) 677 (12%) 2.915 (53%) 5.509

2007 2.858 718 2.849 6.425

2009* 3.300 (46%) 760 (11%) 3.065 (43%) 7.125

Sumber: Ambar, 2007 * = perkiraan

Sejalan dengan perkembangan areal, distribusi Perkebunan Kelapa Sawit juga meluas. Pada tahun 1970an, kelapa sawit terutama diusahakan di Sumatera dan sedikit di Jawa. Saat ini perkembangan areal menuju ke Kalimantan, begitupun Sumatera tetap fokus Perkebunan Kelapa Sawit utama karena pengembangan yang pesat dibagian selatan. Dengan luas areal Perkebunan Kelapa Sawit yang mencapai 6 juta Ha atau sekitar 720 juta pohon yang tersebar di 19 propinsi dan kesemuanya mempunyai hubungan kekerabatan dengan 4 pohon yang ditanam di Kebun Raya Bogor.


(54)

Tabel 9. Distribusi Lahan Kelapa Sawit di Indonesia Perkebunan Kelapa Sawit 2005

No Propinsi Luas

Areal No Propinsi ArealLuas

1 Aceh 261 10/11 Jawa Barat & Banten 26

2 Sumatera Utara 964 12 Kalimantan Barat 467

3 Sumatera Barat 324 13 Kalimantan Tengah 269

4 Riau 1.458 14 Kalimantan Selatan 150

5 Jambi 469 15 Kalimantan Timur 222

6 Sumatera Selatan 566 16 Sulawesi Tengah 44

7 Bengkulu 83 17 Sulawesi Selatan 88

8 Lampung 164 18 Sulawesi Tenggara 13

9 Bangka Belitung 101 19 Papua 81

Total Pulau Sumatera 4.267 Sumber: Ambar, 2007

4.2.2. Produksi Minyak Kelapa Sawit

Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kelapa sawit Indonesia berkembang sama pesatnya. Produksi CPO (minyak sawit) pada 1920 adalah 329 ton, naik menjadi 140 ribu ton pada 1960, 200 ribu ton pada 1970, 721 ribu pada 1980 dan 6,3 juta ton pada tahun 2000. Oil world (2006) melaporkan bahwa produksi CPO Indonesia pada 2006 sekitar 15 juta ton.

Jumlah produksi sebesar itu telah menempatkan Indonesia selama ini sebagai produsen CPO terbesar kedua setelah Malaysia dengan kontribusi yang cenderung meningkat setiap tahunnya, dari hanya 16,8% pada 1969 menjadi 34,4% pada 2001 dan 40,4% pada tahun 2005. Sedangkan Malaysia kontribusinya 32,7% pada 1969 dan 48,3% pada 2001 namun menurun menjadi 43% pada 2005. Pada tahun 2006 produksi CPO kedua negara telah seimbang dan pada tahun 2007 Indonesia mengungguli Malaysia.

Perkembangan produktivitas. Produksi rata-rata minyak kelapa sawit pada tahun 1920 hanya sekitar 150 kg/Ha/th dan meningkat menjadi 784 kg/Ha/th pada tahun 1930 dan tanya sekitar 2 ton/Ha pada tahun 1940 dan menjadi 2,7 ton/Ha


(55)

pada tahun 2000. Pada tahun 2004, produktivitas mencapai 3,5 ton/Ha. Nilai ini sedikit lebih rendah dari Malaysia yang mencapai 3,9 ton/Ha dan lebih tinggi dari rata-rata produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit dunia yang tercatat 3,3 ton/Ha/tahun.

4.3. Profil Industri Pengolahan 4.3.1. Pabrik Kelapa Sawit

Pabrik kelapa sawit (PKS) yang merupakan sarana utama untuk mengolah buah (tandan buah sagar/TBS) kelapa sawit. TBS karena sifat biologisnya harus segara diolah menjadi minyak sawit mentah (crued palm oil/CPO) sebagai intermediete product. Pada 2006, jumlah PKS di Indonesia adalah 470 unit dengan kapasitas terpasang 19,8 ribu ton TBS/jam. Dengan luas areal telah melewati 6 juta Ha saat ini dan asumsi 200 Ha memenuhi PKS kapasitas 1 ton/jam, maka Indonesia kekurangan PKS dengan kapasitas 9 ribu ton/jam atau setara dengan 150 PKS berkapasitas 60 ton/jam. Kekurangan PKS terutama didaerah pengembangan di Sumatera bagian selatan dan Kalimantan.

Kapasitas olah setiap unit PKS berkisar antara 10-120 ton TBS/jam, sebagian besar pabrik memiliki kapasitas 30 ton TBS/jam. PKS yang terbanyak berlokasi di Riau (128 unit) dan Sumatera Utara (105 unit), kemudian diikuti oleh Sumatera Selatan (53 unit), Kalimantan Barat (32 unit), lalu Jambi (31 unit) dan Kalimantan Tengah (24 unit). Jumlah pabrik PKS menurut kapasitas olah dan lokasinya di Indonesia pada tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 10.


(56)

Tabel 10. Jumlah Pabrik PKS Menurut Kapasitas Olah dan Lokasinya di Indonesia 2006

No Propinsi Pabrik Kelapa Sawit

Jumlah Kapasitas Terpasang (Ton TBS/jam)

1 Aceh 21 604

2 Sumatera Utara 105 3.540

3 Sumatera Barat 20 1.080

4 Riau 128 6.545

5 Jambi 31 1.503

6 Sumatera Selatan 53 2.635

7 Bengkulu 12 540

8 Lampung 5 165

9 Jawa Barat 1 30

10 Banten 1 30

11 Kalimantan Barat 32 1.285

12 Kalimantan Tengah 24 1.245

13 Kalimantan Selatan 7 240

14 Kalimantan Timur 10 510

15 Sulawesi Tengah 3 90

16 Sulawesi Selatan 8 270

17 Papua 9 440

Jumlah 470 19.852

Sumber: Ambar, 2007

4.3.2. Pabrik Pengolahan Lanjut

Industri Fraksionasi dan Margarine. Untuk keperluan pangan, CPO dipisahkan (difraksionasi) menjadi fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein). Olein sudah dapat dikelompokkan sebagai minyak goreng. Kapasitas terpasang industri fraksionasi 1985 adaalah 2,9 juta ton padahal produksi CPO tahun tersebut adalah 1,2 juta ton. Pada 1995, kapasitas pabrik fraksinasi adalah 6 juta ton yang juga melebihi produksi CPO Nasional. Tahun 2005, kapasitas terpasang mencapai 8,6 juta ton yang terdistribusi pada 60 unit pabrik. Sebagian produk industri fraksionasi digunakan sebagai bahan baku pembuatan margarine.

Industri oleokimia. Dari segi laju pertumbuhan, industri oleokimia dasar yaitufatty acid,matalic soap,glycerine dan fatty alcohol, maju sangat pesat. Pada tahun 1988 produksi oleokimia dasar Indonesia baru 79.500 ton, naik menjadi


(57)

217.700 ton pada tahun 1993 dan menjadi 652 ribu ton pada tahun 1998 dan 880 ribu ton pada 2006 atau tumbuh dengan laju sekitar 23,5%/tahun. Namun, kontribusi dasar Indonesia terhadap produksi dunia baru mencapai 10,8%. Saat ini terdapat 11 unit pabrik oleokimia di Indonesia.

Perkembangan industri oleokimia dasar merangsang pertumbuhan industri barang konsumen seperti detergen, sabun dan kosmetika. Dalam sepuluh tahun terkhir, pemakaian minyak sawit dalam industri oleokimia naik dengan laju sekitar 9%/tahun.

Tabel 11. Jenis Industri Oleokimia dan Turunannya yang Berbasis Minyak Kelapa Sawit

No Produk Bahan Baku Tingkat

Teknologi PerkiraanInvestasi Pertambahan nilai 1 Olein dan

stearin CPO Menengah 20%

2 Fatty acids CPO, PKO,

Katalis Tinggi 200-700milyar 50%

3 Ester Palmitat,

Ministat Tinggi 100-500Milyar 150% 4 Surfactant/

emulsifer Stearat, Oleat,Sorbitol, Gliserol

Tinggi 200-700

Milyar 200%

5 Sabun mandi CPO, PKO, NaOH,

perwarna, parfum

Sederhana Mulai dari kurang 1 Milyar

300%

6 Lilin Stearat Sederhana Mulai dari

kurang 1 Milyar

300%

7 Kosmetik(loti on, cream), bedak, sampo

Surfaktan,

ester, amida Sederhana 1-2 Milyar 600% Sumber: Ambar, 2007


(58)

4.4. Potensi Pengembangan

4.4.1. Potensi Pengembangan Areal

Indonesia memiliki sumberdaya manusia yang memadai bagi ekstensifikasi tanaman kelapa sawit. Semula pengembangan kelapa sawit dilakukan pada areal primer maupun sekunder. Pengembangan di masa depan akan mengarah pada konversi hutan terlantar atau hutan sekunder mengingat bertambah besarnya kesadaran manusia akan pentingnya hutan tropis sebagai paru-paru dunia.

Berdasarkan hasil pemetaan lahan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997), luas areal yang berpotensi baik untuk pengembangan kelapa sawit adalah 18.736.750 Ha. Sedangkan yang berpotensi sedang adalah 2.968.200 Ha. Areal hutan keseluruhan di Indonesia menurut Departemen Kehutanan adalah seluas 108 juta Ha dari 191 juta Ha area daratan Indonesia. Bila mengacu pada perencanaan pemanfaatan ruang kehutanan di masa datang, Badan Planologi Kehutanan memperkirakan terdapat 13,7 juta Ha atau 12,6% dari total areal kehutanan yang dapat dikonversi ke perkebunan.

Proyeksi Pengembangan Areal Hingga 2010. Pemerintah sangat berhati-hati dalam melepaskan kawasan hutan untuk keperluan lainnya. Sampai dengan Juli 2002, SK pelepasan kawasan hutan untuk seluruh perkebunan yang sudah diberikan adalah 283 unit dengan luas areal seluas 2,7 juta Ha. Begitupun, pemerintah telah mencanangkan program revitalisasi pertanian, termasuk Perkebunan Kelapa Sawit rakyat. Target pembukaan perkebunan rakyat hingga 2010 akan mencapai 1,4 juta Ha dan peremajaan seluas 126 ribu Ha. Target perluasan terutama di Kalimantan Barat (364 ribu Ha), Kalimantan Timur (464


(59)

ribu Ha), Kalimantan tengah (148 ribu Ha), Sumatera Selatan (139 ribu Ha) didamping propinsi-propinsi lainnya (NAD 56 ribu Ha, Jambi 66 ribu Ha, Sultra 65 ribu Ha, Irjabar 65 ribu Ha). Total dana yang dicadangkan untuk program ini sebesar Rp. 35 Trilyun. Selain itu, Pemerintah juga mendorong pembangunan perkebunan swasta yang diperkirakan tumbuh 2%/tahun.

4.4.2. Potensi Pengembangan Pasar

Penerimaan pasar terhadap minyak sawit semakin baik yang ditunjukkan dengan naiknya premium CPO (harga aktual-harga bayangan) dengan laju sekitar US$ 9,9/tahun. Pada 1997-1998 terjadi kenaikan premium CPO sangat besar sedangkan premium minyak kedele justru turun. Hal ini disebabkan banyaknya temuan tentang keunggulan nutrisi minyak sawit dan/atau kelemahan minyak lain terutama dalam kegunaannya minyak-minyak padat seperti margarin. Sebaliknya dalam 1995-1996 dan 1998-1999, premium CPO turun padahal premium yang diperoleh oleh minyak kedele justru naik. Hal ini disebabkan berkembangnya isu perusakan lingkungan oleh Perkebunan Kelapa Sawit karena konversi hutan ke perkebunan maupun karena pembakaran saat pembukaan lahan.

Perkembangan konsumsi minyak nabati dunia perlu dikelompokkan ke dalam konsumsi untuk pangan dan non pangan karena faktor penentu perkembangan untuk keduanya berbeda. Konsumsi minyak nabati untuk pangan ditentukan oleh perkembangan penduduk dan pertumbuhan konsumsi/kapita yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Begitupun, konsumsi dunia akan minyak sawit sangat besar dibanding minyak nabati lainnya. Bila pada tahun 90/91 hanya berkontribusi 13,8%, pada tahun 2006/2007 telah menjadi mayoritas dengan kontribusi 25,2%.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Afandi A., 2008, Kointegrasi CPO Iinternasional, CPO Domestik dan Minyak Goreng Domestik. Universitas Sumatera Utara. Medan

Amang, B., Pantjar Simatupang dan Anas Rachman,1996. Ekonomi Minyak Goreng di Indonesia. IPB Press. Jakarta

Ambar Kurniawan, SP., Dr. Ir. Donald S., Dr. Ir. Lalang B. MSc. Profil Industri Kelapa Sawit Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan

Anonim, 2007.Seminar Nasional CPO. http://waspada.com. 13 Januari 2008 Anonim, 2008. CPO Naik, Harga Migor Melonjak. http://waspada.com.

26 Januari 2008

Bacuks L., 2006. Marketing Margins And Price Transmission on The Hungarian Beef Market.www.googlesholar/Price Transmission.com. 3 Agustus 2008 Disbun Sumut, 2002. Data Statistik Perkebunan Sumatera Utara. Dinas

Perkebunan Provinsi Sumatera Utara. Medan

Ditjenbun, 2002. Laporan Produksi Monitoring dan Supervisi. Kerjasama Direktorat Jendral Perkebunan dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan

Jaldi,2007. Analisis pemasaran CPO (Crude Palm Oil) PT. Perkebunan Nusantara IV (PTPN-IV). Universitas Sumatera Utara. Medan

Mangoensoekarjo, S. dan H. Semangun, 2003. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. UGM-Press. Yogyakarta

Miller, R. L. dan R. E. Meiners., 2000.Teori Mikroekonomi Intermediate. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Mubyarto,1989.Pengantar Ekonomi Pertanian-Edisi III. LP3ES. Jakarta.

Paulsen, 2007. Testing The Farm-Retail Price Transmission for Norwegian Salmon Export to France. http:// hdl. Handle . net / 10037 / 1014

22 Maret 2008


(2)

Sofyan, H., DR, 2000. Perdagangan Berjangka dan Ekonomi Indonesia. PT Elexmedian Komputindo. Jakarta

Sudiyono, A.,2004. Pemasaran Pertanian. Universitas Muhamadiyah Malang. Malang

Supriana, T. Dr., 2005.Penuntun Praktikum Ekonometrika. Universitas Sumatera Utara. Medan

Suyatno, R., 1995. Kelapa Sawit Upaya Peningkatan Produktivitas. Kanisius. Yokyakarta

Tim Penulis PS, 2002.Kelapa Sawit, Budi Daya Pemanfaatan Hasil dan Limbah Analisis Usaha dan Pemasaran. Penebar Swadaya. Jakarta


(3)

Lampiran 3. Perhitungan Elastisitas Transmisi Harga CPO Internasional terhadap CPO Domestik

Dengan menggunakan rumus elastisitas transmisi harga

Pf

d

dPf

Et

Pr

Pr

Keterangan :

Et = Elastisitas transmisi harga

Pr = Harga CPO ditingkat internasional Pf = Harga CPO ditingkat domestik

dPr = Perubahan harga CPO ditingkat internasional dPf = Perubahan harga CPO ditingkat domestik Sehingga,

Harga CPO internasional bulan 1 = US$ 453 Harga CPO internasional bulan 2 = US$ 450 Harga CPO domestik bulan 1 = Rp. 4.070 Harga CPO domestik bulan 2 = Rp. 4.008 Maka,

008 . 4450 453

450 4.070 008

.

4

  

Et

008 . 4450 3

62

  

Et

024 . 1227.900

  

Et


(4)

Lampiran 4. Perhitungan Elastisitas Transmisi Harga CPO Domestik terhadap Minyak Goreng Domestik

Dengan menggunakan rumus elastisitas transmisi harga

Pm

Pf

dPf

dPm

Et

Keterangan :

Et = Elastisitas transmisi harga Pf = Harga CPO ditingkat domestik

Pm = Harga minyak goreng ditingkat domestik dPf = Perubahan harga CPO ditingkat domestik

dPm = Perubahan harga minyak goreng ditingkat domestik Sehingga,

Harga CPO domestik bulan 1 = Rp. 4.070 Harga CPO domestik bulan 2 = Rp. 4.008

Harga minyak goreng domestik bulan 1 = Rp. 4.940,88 Harga minyak goreng domestik bulan 2 = Rp. 4.925,80 Maka,

80 , 925 . 44.008 070

. 4 008 .

4 ,80 4.940,88 925 . 4    Et 80 , 925 . 44.008 62,08

15    Et 400 . 305.440,6 60

  

Et


(5)

Lampiran 5. Pembentukan harga CPO

Planting Materials

Iklim Areal TM

Produksi Minyak Kelapa Sawit

Permintaan prod. ternak

HARGA CPO SUPPLY

DEMAND

Harga meal

Prod oil seed

Harga

Isu Kesehatan Pertambahan

populasi Pertumbuhanekonomi

Oleopangan

Oleokimia Prod.

Seed oil

Isu Lingkungan Iklim

Cadangan

protoleum kesehatanIsu

Ketersediaan Teknologi


(6)

Lampiran 6. Pembentukan harga TBS

Harga CPO (FOB)

Harga inti (50% harga CPO)

Biaya olah TBS di PKS

(Rp. 50-75/kg TBS)

Pemasaran CPO (Rp. 25/kg CPO)

Fee bagi PKS (5%)

Transport (Rp. 0,7/kg/km)

INDEKS K

Supply TBS (Distribusi produksi)

Harga TBS di pasar bebas

HARGA TBS