Kointegrasi Harga Cpo (Crude Palm Oil) Internasional Dan Harga Cpo (Crude Palm Oil) Domestik Terhadap Harga Minyak Goreng Domestik

(1)

KOINTEGRASI HARGA CPO (Crude Palm Oil) INTERNASIONAL DAN HARGA CPO (Crude Palm Oil) DOMESTIK TERHADAP

HARGA MINYAK GORENG DOMESTIK

SKRIPSI Oleh :

AHMAD AFANDI 040304041 SEP AGRIBISNIS

DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KOINTEGRASI HARGA CPO (Crude Palm Oil) INTERNASIONAL DAN HARGA CPO (Crude Palm Oil) DOMESTIK TERHADAP

HARGA MINYAK GORENG DOMESTIK

SKRIPSI Oleh :

AHMAD AFANDI 040304041 SEP AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Medan Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

( DR.Ir.Tavi Supriana, MS ) ( DR.Ir.Diana Chalil, MSi )

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

RINGKASAN

AHMAD AFANDI (040304041/SEP-Agribisnis) Judul Skripsi

KOINTEGRASI HARGA CPO (Crude Palm Oil) INTERNASIONAL DAN HARGA CPO (Crude Palm Oil) TERHADAP HARGA MINYAK GORENG DOMESTIK. Dosen Pembimbing Dr. Ir. Tavi Supriana, MS dan

Ir. Diana Chalil, Msi PhD.

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2008 dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui kointegrasi harga minyak goreng domestik harga CPO internasional.

2. Untuk mengetahui kointegrasi harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik.

3. Untuk mengetahui kointegrasi harga CPO domestik dengan harga CPO internasional.

4. Untuk menganalisis implikasi dari hasil uji kointegrasi harga CPO internasional, harga CPO domestik dan harga minyak goreng domestik terhadap kebijakan pemerintah.

Adapun alat uji yang digunakan adalah dengan pendekatan model kointegrasi dengan menggunakan perangkat lunak Eviews 5.0. Adapun hasil dari uji tersebut adalah sebagai berikut :

1. Dari hasil uji kointegrasi dengan unvariate didapat hasil bahwa tidak ada kointegrasi atau hubungan antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO internasional. Terjadinya harga yang fluktuatif baik harga minyak goreng domestik maupun harga CPO internasional dikarenakan oleh tingginya permintaan minyak goreng di dalam negeri dan permintaan CPO di pasar internasional. Harga minyak goreng domestik lebih ditentukan oleh kebijakn yang dibuat oleh pemerintah. Namun setelah dilakukan uji kointegrasi dengan

multivariate dengan menambah variabel volume ekspor CPO domestik didapat hasil bahwa ternyata masih terdapat hubungan dalam jangka panjang antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO internasional yang dipicu oleh volume ekspor CPO domestik. Hal ini karena volume ekspor CPO domestik mempengaruhi ketersediaan CPO di dalam negeri dan di pasar internasional. Kemudian dilihat dari hasil Error Correction Model bahwa dalam jangka pendek tidak dapat dilihat hubungan antara harga minyak goreng domestik, harga CPO internasional dan volume ekspor CPO domestik. Namun dilihat dari nilai resid01 yaitu -0,377673 menunjukan bahwa secara perlahan-lahan akhirnya dalam jangka panjang antara harga minyak goreng domestik, harga CPO internasional dan volume ekspor CPO domestik menuju pada satu titik keseimbangan atau dengan kata lain memiliki hubungan dalam jangka panjang.


(4)

2. Dari hasil uji kointegrasi dengan unvariate didapat hasil bahwa tidak ada kointegrasi atau hubungan antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik. Jadi kenaikan harga minyak goreng domestik bukan disebabkan oleh kenaikan harga CPO domestik. Akan tetapi kenaikan harga minyak goreng domestik lebih banyak disebabkan oleh tingginya permintaan minyak goreng di dalam negeri dan kurang tersedianya pasokan CPO di dalam negeri sebagai bahan baku utama minyak goreng. Namun setelah dilakukan uji kointegrasi dengan multivariate yaitu dengan menambahkan variabel volume ekspor CPO domestik dapat dilihat hasil bahwa ternyata masih terdapat hubungan dalam jangka panjang antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik yang dipicu oleh volume ekspor CPO domestik. Hal ini karena volume ekspor CPO domestik mempengaruhi ketersediaan CPO di dalam negeri. Apabila volume ekspor meningkat maka ketersedian di dalam negeri menipis sehingga permintaan meningkat yang menyebabkan harga CPO tinggi. Karena harga bahan baku minyak goreng yaitu CPO tinggi dan ketersediaan di dalam negeri juga kurang tersedia maka dapat menyebabkan harga minyak goreng domestik tinggi. Kemudian dilihat dari hasil Error Correction Model bahwa dalam jangka pendek tidak dapat dilihat hubungan antara harga minyak goreng domestik, harga CPO domestik dan volume ekspor CPO domestik. Namun dilihat dari nilai resid01 yaitu -0,363125 menunjukan bahwa secara perlahan-lahan akhirnya dalam jangka panjang antara harga minyak goreng domestik, harga CPO domestik dan volume ekspor CPO domestik menuju pada satu titik keseimbangan atau dengan kata lain memiliki hubungan dalam jangka panjang.

3. Dari hasil uji kointegrasi dengan unvariate didapat hasil bahwa tidak ada kointegrasi atau hubungan antara harga CPO domestik dengan harga CPO internasional. Jadi kenaikan harga CPO di dalam negeri tidak disebabkan oleh kenaikan harga CPO di pasar internasional.Akan tetapi kenaikan harga CPO di dalam negeri maupun di pasar internasional lebih disebabkan oleh tingginya permintaan CPO baik di dalam negeri maupun di pasar internasional. Kenaikan harga CPO domestik baik di dalam negeri maupun di pasar internasional juga disebabkan oleh permainan para pengusaha CPO seperti pembentukan sistem kartel guna mengatur harga CPO. Namun setelah dilakukan uji kointegrasi dengan multivariate yaitu dengan menambahkan variabel volume ekspor CPO domestik dapat dilihat hasil bahwa ternyata masih terdapat hubungan dalam jangka panjang antara harga CPO domestik dengan harga CPO internasional yang dipicu oleh volume ekspor CPO domestik. Hal ini karena volume ekspor CPO domestik mempengaruhi ketersediaan CPO di dalam negeri dan di pasar internasional. Kemudian dilihat dari hasil Error Correction Model bahwa dalam jangka pendek tidak dapat dilihat hubungan antara harga CPO domestik, harga CPO internasional dan volume ekspor CPO domestik. Namun dilihat dari nilai resid01 yaitu -0,171240 menunjukan bahwa secara perlahan-lahan akhirnya dalam jangka panjang antara harga CPO domestik, harga CPO internasional dan volume ekspor CPO domestik menuju pada satu titik keseimbangan atau dengan kata lain memiliki hubungan dalam jangka panjang.


(5)

4. Dalam menanggapi dari kenaikan harga minyak goreng domestik, harga CPO domestik dan harga CPO internasional yang fluktuatif maka pemerintah mengambil beberapa kebijakan yang relevan salah satunya yaitu kebijakan pajak ekspor. Pemerintah juga membuat kebijakan DMO (domestic market obligation) yaitu agar para pengusaha CPO wajib memberi pasokan CPO di dalam negeri. Kedua kebijakan ini berguna mengendalikan harga CPO domestik dan harga minyak goreng domestik. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya terganggunya mekanisme harga minyak goreng domestk dan harga CPO domestik diakibatkan oleh terlalu banyaknya intervensi pemerintah.


(6)

RIWAYAT HIDUP

AHMAD AFANDI, lahir di Merbau Selatan, Rantau Prapat pada tanggal 16 Juni 1985 anak dari BapakJuanda dan Ibu Umi Kalsum. Penulis merupakan anak ke satu dari empat bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut : 1. Tahun 1991 masuk Sekolah Dasar Negri 114352 INPRES , tamat tahun1997. 2. Tahun 1997 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Perbaungan,

tamat tahun 2000.

3. Tahun 2000 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri 1 Lubuk Pakam, tamat tahun 2003.

4. Tahun 2003 diterima di Jurusan Sastra Inggris di Universitas Negeri Medan, melalui jalur SPMB.

5. Tahun 2004 diterima di Departemen Sosial Ekonomi Pertanian di Universitas Sumatera Utara Medan, melalui jalur SPMB.

6. Bulan Februari 2008 melaksanakan Penelitian Skripsi.

Selama perkuliahan penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan organisasi yaitu:

1. Kepala Divisi Sumatera Utara dan Aceh di POPMASEPI (Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia) DPW I Sumatera Tahun 2005.

2. Koordinator Bidang Dakwah di FSMM SEP (Forum Silaturahmi Mahasiswa Muslim Sosial Ekonomi Pertanian) FP-USU Tahun 2006.


(7)

3. Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan di POPMASEPI (Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia) DPW I Sumatera Tahun 2006.

4. Pengurus IMASEP (Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian) FP-USU di Bidang Bakat dan Kreativitas Tahun 2007.

5. Ketua IMASEP (Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian) FP-USU Tahun 2008.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun judul dari skripsi ini adalah KOINTEGRASI HARGA CPO (Crude Palm Oil) INTERNASIONAL DAN HARGA CPO (Crude Palm Oil) TERHADAP HARGA MINYAK GORENG DOMESTIK . Tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

 Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk mengajari penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

 Ibu Dr. Ir. Diana Chalil, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk mengajari, memotivasi dan membantu penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.

 Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP selaku Ketua Departemen SEP, FP-USU dan Ibu Dr. Salmiah, MS selaku Sekretaris Departemen SEP, FP-USU yang telah memberikan kemudahan dalam hal kuliah dan administrasi kegiatan organisasi saya di kampus.

 Ibu Ir. Iskandarini, MM yang telah banyak memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini dan banyak sekali membantu saya dalam kuliah maupun kegiatan organisasi di kampus.

 Bapak Ir. M. Jufri, MSi yang telah banyak memberikan motivasi dan nasehat-nasehat yang bermanfaat serta membantu dalam kuliah saya.


(9)

 Seluruh Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang telah membekali ilmu pengetahuan kepada penulis selama ini.

 Seluruh staf pengajar dan pegawai di Departemen SEP, FP-USU khususnya kak Yani, kak Lisbeth, kak Runi yang memberikan kelancaran dalam hal administrasi.

 Rekan-rekan mahasiswa stambuk 2004 Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, khususnya Leny, Eci, Nisa, dan Iis atas kebersamaan, dan canda tawa kalian yang membuat penulis menjadi lebih semangat.

 Buat teman-teman terbaik penulis selama kuliah ,Yudi, Tama, Tri, Taqim, Roy, Rini, Wina, Kiki, Icut, Icha, Ai, Putri, Rita, Mimi, Ijal, Endi, Indra, Amed, Khamar, Koin, Acong, Kencol, Kojek, Ruji, Rio dan teman-teman satu organisasi IMASEP dan POPMASEPI serta seluruh teman-teman Futsal.

 Yang paling spesial buat Aida Fitri, SE yang telah banyak membantu penulis berupa dukungan dan do anya.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : seluruh pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan khususnya yang menangani masalah minyak goreng yaitu Bapak Muhammad Idris yang telah memberikan segala informasi yang saya butuhkan dalam penelitian ini.

Segala hormat dan terima kasih secara khusus penulis ucapkan kepada Ayahanda Juanda dan mama Umi Kalsum atas motivasi, kasih sayang, dan dukungan baik secara materi maupun do a yang diberikan kepada penulis selama menjalani kuliah, tak lupa kepada Kakek dan Nenek baik yang di Aek Raso maupun di Perbaungan yang selalu memberikan doa dan kasih sayang kepada


(10)

penulis dan para adinda Ahmad Fauzi, Yuna Rahmayanti dan Yuni Kartika serta Ocik Ani, Kak Yayuk dan Bang Abing atas semangat yang diberikan.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2008 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Hal

RINGKASAN ...i

RIWAYAT HIDUP... iv

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL ...xi

DAFTAR GAMBAR...xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

I. PENDAHULUAN...1

Latar Belakang...1

Identifikasi Masalah...5

Tujuan Penelitian ...6

Kegunaan Penelitian ...7

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESA PENELITIAN ...8

2.1. Tinjauan Pustaka...8

2.2. Landasan Teori...10

2.3. Kerangka Pemikiran...20

2.4. Hipotesis Penelitian ...23

III. METODOLOGI PENELITIAN ...24

3.1. Metode Pengumpulan Data...24

3.2. Metode Analisis Data...24

3.3. Defenisi dan Batasan Operasional ...37

3.3.1. Defenisi...37

3.3.2. Batasan Operasional...38

IV. PROFIL INDUSTRI KELAPA SAWIT DI INDONESIA ...39

4.1. Profil Teknis Kelapa Sawit ...39

4.2. Profil Perkebunan Kelapa Sawit ...42


(12)

4.3. Profil Industri Pengolahan Kelapa Sawit...44

4.3.1. Pabrik Kelapa Sawit...44

4.3.2. Pabrik Pengolahan Lanjut ...45

4.4. Potensi Pengembangan Kelapa Sawitt...46

4.4.1. Potensi Pengembangan Areal ...46

4.4.2. Potensi Pengembangan Pasar...47

4.4.3. Potensi Pengembangan Industri...49

4.4.3.1. Industri Minyak Goreng...49

4.4.3.2. Industri Oleokimia ...50

4.4.4. Tingkat Persaingan...50

4.5. Hubungan CPO(Crude Palm Oil)Dunia Dengan CPO(Crude Palm Oil)Indonesia...53

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...54

5.1. Hasil ...54

5.1.2. Hasil Uji Akar Unit...54

5.1.2. Hasil Uji Kointegrasi ...57

5.2. Pembahasan...62

5.2.1. Hubungan antara Harga Minyak Goreng Domestik dengan Harga CPO Internasional...62

5.2.2. Hubungan antara Harga Minyak Goreng Domestik dengan Harga CPO Domestik...64

5.2.3. Hubungan antara Harga CPO Domestik dengan Harga CPO Internasional...67

5.2.4. Implikasi dari Hasil Uji Kointegrasi terhadap Kebijakan Pemerintah ...69

KESIMPULAN DAN SARAN ...72

Kesimpulan ...72

Saran ...76


(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal

1. Perkembangan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2003-2007 ...3

2. Standar Kualitas Minyak dan Inti Sawit ...41

3. Jumlah Pabrik PKS menurut Kapasitas Olah dan Lokasinya di Indonesia Tahun 2006 ...45

4. Perkembangan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1998-2003 ...47

5. Peluang Perluasan dan Investasi Kelapa Sawit Indonesia, 2005-2025...49

6. Pangsa Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati Dunia ...51

7. Perkembangan Produksi Minyak Nabati di Dunia, 1999-2004 ...52

8. Perkembangan Ekspor Minyak Nabati di Dunia, 1999-2004 ...52

9. Hasi Uji Akar Unit (Unit Root Test)...56

10. Hasil Uji Kointegrasi Harga Minyak Goreng Domestik dengan Harga CPO Domestik ...57

11. Hasil Uji Kointegrasi Harga Minyak Goreng Domestik dengan Harga CPO Internasional ...59

12. Hasil Uji Kointegrasi Harga CPO Domestik dengan Harga CPO Domestik ...60

13. Hasil Uji Akar Unit Volume Ekspor CPO Domestik ...61

14. Hasil Uji Kointegrasi Harga Minyak Goreng Domestik dengan Harga CPO Internasional dan Volume Ekspor CPO Domestik...63

15. HasilError Correction ModelHarga Minyak Goreng Domestik, Harga CPO Internasional dan Volume Ekspor CPO Domestik...64

16. Hasil Uji Kointegrasi Harga Minyak Goreng Domestik dengan Harga CPO Domestik dan Volume Ekspor CPO Domestik ...66


(14)

17. HasilError Correction ModelHarga Minyak Goreng Domestik,

Harga CPO Domestik dan Volume Ekspor CPO Domestik ...67 18. Hasil Uji Kointegrasi Harga CPO Domestik dengan

Harga CPO Internasional dan Volume Ekspor CPO Domestik...68 19. HasilError Correction ModelHarga CPO Domestik,


(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal

1. Saluran Pemasaran Minyak Kelapa Sawit Indonesia menurut

SKB 3 Menteri Nomor 275/KPB/XII/78 ...14 2. Skema kerangka Pemikiran...22 3. Bagan Estimasi Pendekatan Model Kointegrasi ...25 4. Grafik Perkembangan Harga CPO (Crude Palm Oil) Domestik

Tahun 2003-2007...29 5. Grafik Perkembangan Harga CPO (Crude Palm Oil) Internasional

Tahun 2003-2007...30 6. Grafik Perkembangan Minyak Goreng Domestik Tahun 2003-2007 ...31 7. Grafik Hubungan antara Harga CPO Domestik dengan

Harga CPO Internasional ...33 8. Grafik Hubungan antara Harga Minyak Goreng Domestik dengan

Harga CPO Domestik ...34 9. Grafik Hubungan antara Harga Minyak Goreng Domestik dengan


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Hal

1a. Harga Minyak Goreng Domestik (Rp/Kg) dalam Nilai Nominal...77

1b. Harga CPO Domestik (Rp/Kg) dalam Nilai Nominal ...78

1c. Harga CPO Internasional (U$/Ton) dalam Nilai Nominal...79

2a. Harga Minyak Goreng Domestik (Rp/Kg) dalam Nilai Riil...80

2b. Harga CPO Domestik (Rp/Kg) dalam Nilai Riil ...81

2c. Harga CPO Internasional (Rp/Kg) dalam Nilai Riil ...82

3. Indeks Harga Konsumen di Indonesia (Harga Dasar 2002 = 100) ...83

4. NilaiExchange Rate...84

5a. Hasil Uji Akar Unit Harga CPO Domestik ...85

5b. Hasil Uji Akar Unit Harga CPO Internasional ...86

5c. Hasil Uji Akar Unit Harga Minyak Goreng Domestik ...87

5d. Hasil Uji Akar Unit Volume Ekspor CPO Domestik ...88

6a. Hasil Uji Kointegrasi Harga Minyak Goreng Domestik dengan Harga CPO Domestik...90

6b. Hasil Uji Kointegrasi Harga Minyak Goreng Domestik dengan Harga CPO Internasional...92

6c. Hasil Uji Kointegrasi Harga CPO Domestik dengan Harga CPO Domestik ...94

6d. Hasil Uji Kointegrasi Harga Minyak Goreng Domestik dengan Harga CPO Internasional dan Volume Ekspor CPO Domestik...96

6e. Hasil Uji Kointegrasi Harga Minyak Goreng Domestik dengan Harga CPO Domestik dan Volume Ekspor CPO Domestik ...98

6f. Hasil Uji Kointegrasi Harga CPO Domestik dengan Harga CPO Internasional dan Volume Ekspor CPO Domestik... 100


(17)

7a. HasilError Correction ModelHarga Minyak Goreng Domestik,

Harga CPO Internasional dan Volume Ekspor CPO Domestik... 102

7b. HasilError Correction ModelHarga Minyak Goreng Domestik, Harga CPO Domestik dan Volume Ekspor CPO Domestik ... 103

7c. HasilError Correction ModelHarga CPO Domestik, Harga CPO Internasional dan Volume Ekspor CPO Domestik... 104

8. Konsumsi dan Produksi Minyak Goreng Indonesia (Juta Ton)... 105

9. Produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia (1000 Ton)... 106


(18)

RINGKASAN

AHMAD AFANDI (040304041/SEP-Agribisnis) Judul Skripsi

KOINTEGRASI HARGA CPO (Crude Palm Oil) INTERNASIONAL DAN HARGA CPO (Crude Palm Oil) TERHADAP HARGA MINYAK GORENG DOMESTIK. Dosen Pembimbing Dr. Ir. Tavi Supriana, MS dan

Ir. Diana Chalil, Msi PhD.

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2008 dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui kointegrasi harga minyak goreng domestik harga CPO internasional.

2. Untuk mengetahui kointegrasi harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik.

3. Untuk mengetahui kointegrasi harga CPO domestik dengan harga CPO internasional.

4. Untuk menganalisis implikasi dari hasil uji kointegrasi harga CPO internasional, harga CPO domestik dan harga minyak goreng domestik terhadap kebijakan pemerintah.

Adapun alat uji yang digunakan adalah dengan pendekatan model kointegrasi dengan menggunakan perangkat lunak Eviews 5.0. Adapun hasil dari uji tersebut adalah sebagai berikut :

1. Dari hasil uji kointegrasi dengan unvariate didapat hasil bahwa tidak ada kointegrasi atau hubungan antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO internasional. Terjadinya harga yang fluktuatif baik harga minyak goreng domestik maupun harga CPO internasional dikarenakan oleh tingginya permintaan minyak goreng di dalam negeri dan permintaan CPO di pasar internasional. Harga minyak goreng domestik lebih ditentukan oleh kebijakn yang dibuat oleh pemerintah. Namun setelah dilakukan uji kointegrasi dengan

multivariate dengan menambah variabel volume ekspor CPO domestik didapat hasil bahwa ternyata masih terdapat hubungan dalam jangka panjang antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO internasional yang dipicu oleh volume ekspor CPO domestik. Hal ini karena volume ekspor CPO domestik mempengaruhi ketersediaan CPO di dalam negeri dan di pasar internasional. Kemudian dilihat dari hasil Error Correction Model bahwa dalam jangka pendek tidak dapat dilihat hubungan antara harga minyak goreng domestik, harga CPO internasional dan volume ekspor CPO domestik. Namun dilihat dari nilai resid01 yaitu -0,377673 menunjukan bahwa secara perlahan-lahan akhirnya dalam jangka panjang antara harga minyak goreng domestik, harga CPO internasional dan volume ekspor CPO domestik menuju pada satu titik keseimbangan atau dengan kata lain memiliki hubungan dalam jangka panjang.


(19)

2. Dari hasil uji kointegrasi dengan unvariate didapat hasil bahwa tidak ada kointegrasi atau hubungan antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik. Jadi kenaikan harga minyak goreng domestik bukan disebabkan oleh kenaikan harga CPO domestik. Akan tetapi kenaikan harga minyak goreng domestik lebih banyak disebabkan oleh tingginya permintaan minyak goreng di dalam negeri dan kurang tersedianya pasokan CPO di dalam negeri sebagai bahan baku utama minyak goreng. Namun setelah dilakukan uji kointegrasi dengan multivariate yaitu dengan menambahkan variabel volume ekspor CPO domestik dapat dilihat hasil bahwa ternyata masih terdapat hubungan dalam jangka panjang antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik yang dipicu oleh volume ekspor CPO domestik. Hal ini karena volume ekspor CPO domestik mempengaruhi ketersediaan CPO di dalam negeri. Apabila volume ekspor meningkat maka ketersedian di dalam negeri menipis sehingga permintaan meningkat yang menyebabkan harga CPO tinggi. Karena harga bahan baku minyak goreng yaitu CPO tinggi dan ketersediaan di dalam negeri juga kurang tersedia maka dapat menyebabkan harga minyak goreng domestik tinggi. Kemudian dilihat dari hasil Error Correction Model bahwa dalam jangka pendek tidak dapat dilihat hubungan antara harga minyak goreng domestik, harga CPO domestik dan volume ekspor CPO domestik. Namun dilihat dari nilai resid01 yaitu -0,363125 menunjukan bahwa secara perlahan-lahan akhirnya dalam jangka panjang antara harga minyak goreng domestik, harga CPO domestik dan volume ekspor CPO domestik menuju pada satu titik keseimbangan atau dengan kata lain memiliki hubungan dalam jangka panjang.

3. Dari hasil uji kointegrasi dengan unvariate didapat hasil bahwa tidak ada kointegrasi atau hubungan antara harga CPO domestik dengan harga CPO internasional. Jadi kenaikan harga CPO di dalam negeri tidak disebabkan oleh kenaikan harga CPO di pasar internasional.Akan tetapi kenaikan harga CPO di dalam negeri maupun di pasar internasional lebih disebabkan oleh tingginya permintaan CPO baik di dalam negeri maupun di pasar internasional. Kenaikan harga CPO domestik baik di dalam negeri maupun di pasar internasional juga disebabkan oleh permainan para pengusaha CPO seperti pembentukan sistem kartel guna mengatur harga CPO. Namun setelah dilakukan uji kointegrasi dengan multivariate yaitu dengan menambahkan variabel volume ekspor CPO domestik dapat dilihat hasil bahwa ternyata masih terdapat hubungan dalam jangka panjang antara harga CPO domestik dengan harga CPO internasional yang dipicu oleh volume ekspor CPO domestik. Hal ini karena volume ekspor CPO domestik mempengaruhi ketersediaan CPO di dalam negeri dan di pasar internasional. Kemudian dilihat dari hasil Error Correction Model bahwa dalam jangka pendek tidak dapat dilihat hubungan antara harga CPO domestik, harga CPO internasional dan volume ekspor CPO domestik. Namun dilihat dari nilai resid01 yaitu -0,171240 menunjukan bahwa secara perlahan-lahan akhirnya dalam jangka panjang antara harga CPO domestik, harga CPO internasional dan volume ekspor CPO domestik menuju pada satu titik keseimbangan atau dengan kata lain memiliki hubungan dalam jangka panjang.


(20)

4. Dalam menanggapi dari kenaikan harga minyak goreng domestik, harga CPO domestik dan harga CPO internasional yang fluktuatif maka pemerintah mengambil beberapa kebijakan yang relevan salah satunya yaitu kebijakan pajak ekspor. Pemerintah juga membuat kebijakan DMO (domestic market obligation) yaitu agar para pengusaha CPO wajib memberi pasokan CPO di dalam negeri. Kedua kebijakan ini berguna mengendalikan harga CPO domestik dan harga minyak goreng domestik. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya terganggunya mekanisme harga minyak goreng domestk dan harga CPO domestik diakibatkan oleh terlalu banyaknya intervensi pemerintah.


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada tahun 1911, dalam skala besar kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet (orang Belgia). Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 Ha (Risja, 1994).

Kemudian pada tahun 1919 Indonesia (masa penjajahan Belanda) mengekspor minyak sawit sebesar 576 ton dan pada tahun 1923 mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton. Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi ekspor Negara Afrika waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan mengalami penyusutan sebesar 16% dari total luas lahan yang ada sehingga produksi minyak sawitpun di Indonesia hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948/1949, pada hal pada tahun 1940 Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak sawit (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1997).

Pada tahun 1957, setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia, pemerintah mengambil alih perkebunan (dengan alasan politik dan keamanan). Untuk mengamankan jalannya produksi, pemerintah meletakkan perwira militer di setiap jenjang manejemen perkebunan. Pemerintah juga membentuk BUMIL


(22)

(Buruh Militer) yang merupakan kerja sama antara buruh perkebunan dan militer. Perubahan manejemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif, menyebabkan produksi kelapa sawit menurun dan posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar tergeser oleh Malaysia (Risja, 1994).

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan keja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sektor penghasil devisa negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980, luas lahan mencapai 294.560 Ha dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan Pemerintah yang melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR BUN) (Risja, 1994).

Luas areal tanaman kelapa sawit terus berkembang dengan pesat di Indonesia. Hal ini menunjukkan meningkatnya permintaan akan produk olahannya. Ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia antara lain ke Belanda, India, Cina, Malaysia dan Jerman, sedangkan untuk produk minyak inti sawit (PKO) lebih banyak diekspor ke Belanda, Amerika Serikat dan Brasil. Minyak sawit kasar dan minyak inti sawit dapat diolah lebih lanjut untuk menghasilkan minyak goreng dan berbagai produk oleokimia (Sastrosayono, 2003).

Tabel 1 menunjukan bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit terus bertambah. Hal ini menggambarkan bahwa tanaman kelapa sawit sangat berkembang di negara kita dan terjadi peningkatan produksi kelapa sawit untuk


(23)

setiap tahunnya. Hal ini menunjukan pertanda positif bagi kemajuan usahatani kita khususnya di bidang pertanian. Produksi minyak kelapa sawit cenderung meningkat sehingga kedudukan minyak kelapa digantikan oleh minyak kelapa sawit, terutama dalam industri minyak goreng. Dari segi perolehan devisa, selama beberapa tahun terakhir ini kondisi devisa kita kurang baik. Volume ekspor selama dekade terakhir ini memang selalu meningkat, akan tetapi peningkatan volume ekspor tersebut tidak selalu diikuti oleh peningkatan dalam nilai jual ekspor tersebut. Hal ini terjadi karena adanya fluktuasi harga di pasar internasional.

Tabel 1. Perkembangan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2003-2007.

Indikator Tahun

2003 2004 2005 2006 2007

Luas areal (Ha) 4.158.079 4.713.435 5.067.058 5.283.557 5.284.723

Produksi (Ton) 7.000.507 8.396.472 9.622.344 10.440.834 10.830.389

Produktivitas

(Kg/Ha) 2.780,07 2.840,38 2.909,32 2.833 3.045,24

Sumber : Dinas Pertanian, 2008.

Produksi minyak sawit masih memegang peran penting dalam kontribusi minyak nabati dunia. Data Oil World Report tahun 1994 menunjukan bahwa untuk periode 1998-2001 produksi minyak sawit memiliki kontribusi sebesar 27,8% terhadap minyak nabati dunia. Pada periode 2003-2007 kontribusi minyak sawit naik menjadi 30,1% dan periode 2007-2012 diprediksikan bakal naik tipis menjadi sebesar 30,18%. Begitu pula menyangkut konsumsinya, minyak sawit diperkirakan bakal memiliki daya serap terbesar dibandingkan dengan jenis minyak nabati lainnya. Dari total konsumsi 118,06 juta ton (2003-2007) pangsa minyak sawit mencapai 21,4% dan periode 2007-2012 total konsumsinya


(24)

diprediksikan naik menjadi 132 juta ton dengan pangsa minyak sawit naik menjadi 22,5% (Damanhuri, 1999).

Dilihat dari usaha perkembangan kelapa sawit yang semakin maju maka hal ini dapat mempengaruhi harga minyak kelapa sawit baik di pasar domestik maupun internasional dan juga produk turunannya yaitu minyak goreng. Harga CPO dunia di pasar Rotterdam pada Desember 2007 adalah US$ 950,1 per Ton. Untuk mengatasi fluktuasi harga, pada Desember 2006 gabungan pengusaha kelapa sawit Malaysia (MPOA) dan gabungan kelapa sawit Indonesia (GAPKI) telah mengadakan perjanjian kerja sama untuk menjaga stabilitas harga CPO (Hasan, 2007).

Pergerakan harga minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil, CPO) di pasar internasional diduga erat kaitannya dengan harga CPO domestik. Tren penggunaan minyak sawit mentah sebagai bahan baku bahan bakar nabati (biodiesel) telah mendorong secara signifikan permintaan CPO di pasar dunia. Drama pertarungan industri pangan dan industri biodisel memperebutkan bahan baku CPO telah menetaskan harga minyak goreng yang makin tak terjangkau rakyat. CPO makin digandrungi dunia industri. Selain diolah untuk menghasilkan berbagai produk turunan di bidang pangan, negara-negara maju mulai berpikir tentang CPO agar diolah menjadi biodisel sebagai pengganti minyak bumi, yang akhirnya mendongkrak harga CPO di pasar internasional (Sibuea,2007).

Kenaikan harga CPO baik di pasar domestik dan pasar internasional membuat tingginya harga minyak goreng di dalam negeri. Hal ini disebabkan karena pengusaha lebih memilih melarikan CPO-nya ke luar negeri ketimbang menjual ke pasar domestik. Akhirnya, pasokan CPO di pasar domestik menipis,


(25)

dan dampak yang paling terasa adalah harga minyak goreng melambung tinggi. Menteri Perdagangan, Mari pangestu juga mengatakan bahwa kenaikan harga minyak goreng dalam negeri disebabkan masih tingginya harga CPO di pasar luar negeri (Sya roni, 2007).

Kenaikan harga minyak goreng curah ialah konsekuensi logis kenaikan harga CPO. Minyak sawit mentah Indonesia pun mengalir deras membanjiri pasar ekspor dan jumlahnya mencapai 11,5 juta ton dari total produksi 16 juta ton tahun 2006. Pihak prosesor minyak goreng domestik kesulitan memperoleh CPO dan muaranya harga minyak goreng naik secara signifikan sehingga perlu digelar operasi pasar (Sibuea, 2007).

Dari beberapa hal di atas dapat diketahui bahwa perlu ada suatu penelitian tentang bagaimana hubungan antara harga CPO domestik, harga CPO internasional dan harga minyak goreng baik dilihat dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :

1. Apakah ada kointegrasi harga minyak goreng domestik dengan harga CPO (Crude Palm Oil) internasional ?

2. Apakah ada kointegrasi harga minyak goreng domestik dengan harga CPO (Crude Palm Oil) domestik ?

3. Apakah ada kointegrasi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik dengan harga CPO (Crude Palm Oil) internasional ?


(26)

4. Bagaimana implikasi dari hasil uji kointegrasi harga CPO internasional, harga CPO domestik dan harga minyak goreng domestik terhadap kebijakan pemerintah?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah :

5. Untuk mengetahui kointegrasi harga minyak goreng domestik harga CPO internasional.

6. Untuk mengetahui kointegrasi harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik.

7. Untuk mengetahui kointegrasi harga CPO domestik dengan harga CPO internasional.

8. Untuk menganalisis implikasi dari hasil uji kointegrasi harga CPO internasional, harga CPO domestik dan harga minyak goreng domestik terhadap kebijakan pemerintah.


(27)

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam melihat perkembangan harga CPO dan minyak goreng baik di dalam negeri maupun internasional.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pengelola minyak kelapa sawit dan pemerintah dalam pengambilan keputusan di dalam perusahaannya.

3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti dalam mengembangkan wawasan untuk menjadi peneliti.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

Mengingat minyak sawit adalah minyak nabati yang digunakan sebagai bahan mentah untuk memproduksi minyak goreng, sedangkan minyak goreng merupakan sembilan bahan pokok, maka sejak semula pemasaran minyak sawit dalam negeri mendapat perhatian dari pemerintah. Pada tahun 1970-an, kapasitas pengolahan minyak goreng dalam negeri adalah terbatas, sehingga penyaluran minyak kelapa sawit ke dalam negeri juga terbatas. Setelah itu pemerintah memberi fasilitas dan mendorong pembangunan pabrik pengolahan minyak goreng, sampai akhirnya terjadi kelebihan kapasitas. Untuk mengalokasikan CPO milik PTP Nusantara diserahkan kepada Kantor Pemasaran Bersama (KPB), sementara yang melakukan pengawasan terhadap harga adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan (MangoensoekarjodanSemangun, 2003).

Perumusan kebijaksanaan pengembangan dan pengelolaan industri minyak goreng mestilah dilakukan dengan perspektif agribisnis . Industri minyak goreng hanyalah salah satu komponen dari sistem agribisnis yang sangat luas, mulai dari usaha pertanian kelapa dan kelapa sawit bahan baku dari minyak goreng hingga industri yang menggunakan minyak goreng sebagai salah satu faktor produksinya maupun pedagang yang memasarkan minyak goreng untuk konsumsi rumah tangga. Kerangka berpikir yang mesti dijadikan sebagai pegangan ialah bahwa permasalahan industri pengolahan minyak goreng tidak hanya terletak pada industri minyak goreng itu sendiri, tetapi juga terletak di luar industri pengolahan minyak goreng tersebut (Amang,dkk, 1996).


(29)

Minyak goreng merupakan salah satu bahan makanan pokok yang dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan. Oleh karena itu, minyak goreng dapat dikategorikan sebagai komoditas yang cukup strategis, karena pengalaman selama ini menunjukan bahwa kelangkaan minyak goreng dapat menimbulkan dampak ekonomis dan politis yang cukup berarti bagi perekonomian nasional. Sehubungan dengan itu, untuk menjamin ketersediaan minyak goreng dalam negeri yang dapat mencukupi kebutuhan masyarakat luas, pemerintah menerapkan kebijaksanaan khusus menyangkut taaniaga minyak goreng. Kebijaksanaan itu antara lain dalam bentuk pajak ekspor (RantetanadanSumaryanto, 1996).

Penelitian-penelitian sebelumnya

Susanto (2004) telah melakukan penelitian tentang Analisis Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia: Dampaknya terhadap Industri Minyak Goreng Indonesia , dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan pendekatan ekonometrika. Adapun hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa apabila terjadi kenaikan harga bahan baku industri minyak goreng (CPO) maka harga minyak gorengpun akan naik, atau dengan kata lain harga minyak goreng berbanding lurus dengan harga CPO domestik. Secara teoritis hal ini sangat wajar, karena dengan naiknya salah satu harga input produksi maka perusahaan yang rasional akan menaikkan harga outputnya agar tetap dapat mempertahankan keuntungannya.


(30)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2006) yang melakukan penelitian tentang Integrasi Pasar Beras Indonesia dengan menggunakan pendekatan model kointegrasi menghasilkan suatu kesimpulan bahwa pasar beras domestik dan pasar beras internasional saling terintegrasi yang berimplikasi bahwa setiap perubahan yang terjadi dalam pasar beras internasional akan berimbas pada harga pasar beras domestik.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Marciano dan Suyanto (2006) tentang Hubungan Jangka Panjang dan Jangka Pendek Ekonomi Makro dan Pasar Modal di Indonesia dengan menggunakan pendekatan model Error Correction Model

(ECM) menghasilkan suatu kesimpulan bahwa kebijakan tinkat suku bunga sebagai salah satu instrumen moneter memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang terhadap harga-harga saham di pasar mdal Indonesia.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Salomo dan Hutabarat (2007) tentang Peranan Perdagangan Internasional Sebagai Salah Satu Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dengan menggunakan pendekatan model kointegrasi menghasilkan suatu kesimpulan bahwa krisis sangat berpengaruh pada laju pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan pada tahun 2006, walau kemungkinan di waktu yang akan datang pengaruh akan hilang.

2.2. Landasan Teori

Minyak dan lemak nabati maupun hewani mempunyai sifat yang dapat saling menggantikan. Oleh karenanya, pola perdagangan produk minyak sawit (MKS/IKS) harus dibahas dalam konteks ekonomi minyak dan lemak dunia secara totalitas (Pahan, 2007).


(31)

Minyak kelapa sampai dengan tahun 1970-an merupakan pemasok utama minyak goreng dalam negeri. Produksi kopra yang cenderung turun menyebabkan tidak terjaminnya pasokan bahan baku bagi industri minyak goreng sehingga menimbulkan krisis minyak pada awal tahun 1970-an. Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah mengambil kebijakan dengan mengatur pemasaran minyak di dalam negeri, terutama pengaturan kerja dan pengaturan alokasi penggunaan produksi. Pada tahun 1978, pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai penetapan harga dengan tujuan menjaga stabilitas harga minyak goreng pada tingkat konsumen, mendorong ekspor produksi minyak nabati yang telah diproses, melindungi dan meningkatkan pendapatan petani kopra, serta menjamin keuntungan yang wajar bagi pabrik dan perkebunan (Pahan, 2007).

Dalam hal penetapan harga ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi penetapan harga meliputi tujuan pemasaran perusahaan, strategi bauran pemasaran, dan organisasi pemasaran. Sebelum menetapkan harga, perusahaan seharusnya menetukan strategi atas produk tersebut. Jika perusahaan telah memilih pasar sasarannya dan mempromosikannya dengan baik, maka strategi bauran pemasarannya, termasuk harga, akan berjalan dengan baik. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi keputusan penetapan harga meliputi sifat penawaran dan permintaan, persaingan, dan elemen-elemen lingkungan lainnya. Ketika biaya menjadi dasar penetapan batas bawah harga, pasar dan permintaan menjadi dasar penetapan batas atasnya. Baik konsumen maupun pembeli industri menyamakan harga suatu produk atau jasa dengan manfaat dari memilikinya. Jadi, sebelum menetapkan harga, seorang pemasar harus memahami hubungan antara harga dan permintaan atas produknya (KotlerdanAmstrong, 2001).


(32)

Pengaturan alokasi produksi minyak kelapa sawit dalam negeri diatur melalui surat keputusan bersama (SKB) 3 Menteri, yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Nomor 275/KPB/XII/78 tanggal 16 Desember 1978 yang mengatur hal-hal sebagai berikut :

1. Jumlah produksi dan rencana ekspor.

2. Kapasitas dan kebutuhan masing-masing unit industri pengolahan lanjutan, seperti minyak goreng, sabun, dan lain-lain.

3. Pengawasan penyaluran minyak kelapa sawit ke industri pengolahan lanjutan. 4. Harga ditetapkan oleh pemerintah.

Berdasarkan SKB 3 Menteri tersebut, pengaturan alokasi produksi minyak kelapa sawit berdasarkan penggunaan dan harganya ditentukan sebagai berikut : 1. Harga minyak kelapa sawit untuk pembuatan minyak goreng ditetapkan di

Belawan.

2. Harga minyak kelapa sawit untuk operasi pasar berdasarkan minyak goreng dikurangi dengan biaya operasional.

3. Harga minyak kelapa sawit untuk industri hilir sama dengan harga ekspor FOB Belawan.

Alokasi Keperluan minyak kelapa sawit dalam negeri diatur oleh pemerintah melalui surat keputusan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 22/DAGRI KP/T/83 yang merupakan perubahan dan penyesuaian surat keputusan yang pernah ditetapkan sebelumnya (1979), yaitu tentang pedoman dan petunjuk pelaksanaan teknis SKB 3 Menteri tentang tataniaga minyak sawit kebutuhan dalam negeri (Pahan, 2007).


(33)

Syarat-syarat penyerahan minyak kelapa sawit (MKS) dari produsen kepada industri dilaksanakan berdasarkan surat keputusan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri yang pada pokoknya mengatur harga dan cara penyerahan MKS dari produsen kepada industri pengolah menurut lokasi industri maing-masing. MKS yang diperdagangkan berasal dari 2 sumber yaitu perkebunan negara (PNP/PTP) dan perkebunan swasta (PBSN/PBSA). Sesuai dengan kesepakatan di antara PNP/PTP, pemasaran MKS yang berasal dari mereka harus melalui Kantor Pemasaran Bersama (KPB), baik untuk konsumen dalam negeri maupun luar negeri. Untuk kebutuhan dalam negeri, KPB bisa langsung menjual ke industri pengolahan melalui jatah alokasi yang telah ditetapkan. Untuk konsumen luar negeri, pemasarannya melaluibrokerlokal yang selanjutnya berhubungan dengan badan pemasaran di luar negeri. Sementara, MKS dari perusahaan swasta, pemasaran untuk konsumen dalam negeri tetap harus melalui KPB, sedangkan untuk luar negeri dapat langsung berhubungan dengan importir atau agen luar negeri (Gambar 1) (Pahan, 2007).


(34)

merupakan saluran pemasaran untuk PNP/PTP merupakan saluran pemasaran untuk swasta

Gambar 1. Saluran Pemasaran Minyak Kelapa Sawit Indonesia menurut SKB 3 Menteri Nomor 275/KPB/XII/78

Dilihat dari harga minyak kelapa sawit yang bersifat fluktuatif, hal ini lebih disebabkan oleh goncangnya pasokan yang disebabkan oleh faktor internal yaitu terganggunya produksi minyak kelapa sawit dan kopra di dalam negeri serta faktor eksternal yaitu harga minyak kelapa sawit di pasar internasional yang tinggi sehingga merangsang ekspor minyak kelapa sawit dalam jumlah besar. Pembentukan harga minyak kelapa sawit sangat ditentukan oleh situasi perdagangan di luar negeri (Pahan, 2007).

Perusahaan Swasta PNP/PTP

Importir Luar Negeri

Broker Lokal

Badan Pemasaran Luar Negeri

Kantor Pemasaran Bersama

Konsumen Luar Negeri

Konsumen Dalam Negeri


(35)

Analisis kenaikan harga minyak kelapa sawit di pasar dunia biasanya selalu diakibatkan oleh isu jelek yang mengakibatkan gagalnya panen komoditi lain seperti kedelai, bunga matahari dan canola. Naiknya harga minyak kelapa sawit terutama disebabkan oleh berkurangnya pasokan minyak nabati lainnya (Pahan, 2007).

Upaya untuk menentukan harga minyak sawit untuk dijual ke luar negeri dapat dilakukan melalui open tender atau dengan cara competitive bidding. Cara melalui Competitive bidding dapat diatur pemerataan daerah pemasaran dan pengarahan pemasaran ke pasar-pasar baru. Karena itu dalam strategi pemasaran seharunya diusahakan penjualan langsung antara produsen dengan konsumen. Jika ada keluhan antara kedua belah pihak dapat segera dikomunikasikan dan dirundingkan jalan keluarnya (MangoensoekarjodanSemangun, 2003).

Secara umum dapat diindikasikan bahwa pengembangan agribisnis kelapa sawit masih mempunyai prospek, ditinjau dari prospek harga, ekspor dan pengembangan produk. Secara internal, pengembangan agribisnis kelapa sawit didukung potensi kesesuaian dan ketersediaan lahan, produktivitas yang masih dapat meningkat dan semakin berkembangnya industri hilir. Dengan prospek dan potensi ini, arah pengembangan agribisnis kelapa sawit adalah pemberdayaan di hulu dan penguatan di hilir (Tambunan, 2003).

Pada penelitian ini alat analisis yang digunakan adalah model pendekatan kointegrasi. Kointegrasi adalah adalah suatu alat uji yang dilakukan untuk mendeteksi stabilitas hubungan jangka panjang dua variabel atau lebih. Model ini juga menggambarkan peramalan dari hubungan data runtut waktu untuk peramalan jangka pendek (Sudjono, 2007).


(36)

Ada beberapa permasalahan pokok yang muncul dari data runtut waktu. Permasalahan pokok pertama yang dihadapi oleh data runtun waktu adalah mengenai apakah data tersebut stasioner atau tidak. Data yang stasioner maksudnya adalah data yang memiliki nilai rata-rata dan varian observasi yang konstan. Apabila data yang diperoleh tidak konstan maka dikhawatirkan regresi yang kita buat adalah regresi palsu (PratomodanHidayat, 2007).

Permasalahan kedua dari data runtun waktu adalah munculnya fenomena

random walk terutama untuk data runtun waktu finansial seperti harga saham. Misalnya saja harga suatu saham pada esok hari merupakan harga hari ini ditambah dengan error term-nya. Oleh karena banyaknya masalah yang dapat muncul dari data yang tidak stasioner, maka sebelum diregresi ada baiknya data tersebut telah stasioner. Dari data yang stasioner nantinya akan diperoleh kointegrasi, yakni dimana diperoleh kondisi keseimbangan jangka panjang dan juga dapat dianalisis keseimbangan jangka pendeknya dengan menggunakan analisisError Correction Model(ECM) (PratomodanHidayat, 2007).

Adapun cara menganalisisis dengan pendekatan model kointegrasi menurut Greene (2003) dipaparkan sebagai berikut. Dalam analisis kointegrasi ada 3 langkah uji yang harus dilakukan yaitu :

1. Uji akar unit 2. Uji kointegrasi

3. MelihatError Correction Model(ECM).

Langkah awal adalah membuat model persamaan regresi. Adapun model regresinya adalah sebagai berikut :

t t

t X


(37)

1. Uji Akar Unit

Setelah ada model persamaan kemudian dilakukan uji kar unit sebagai langkah pertama dalam uji kointegrasi. Dalam hal ini diasumsikan bahwa variabel Y dan X stasioner sehingga menghasilkan error term yang juga stationer. Uji stationarity dari variabel-variabel Y dan X dapat dilakukan melalui analisis

Auxiliary Regression(1)

Dalam hal ini diasumsikan bahwa error term nya stationer (random, dengan expected value 0 dan variance 2). Jika -1< <1, maka proses Auxiliary Regression(1) tersebut adalah stasioner.

Uji stasioner melalui proses Auxiliary Regression (1)nya diperkenalkan oleh Dickey-Fuller (1987). Jika diketahuiAuxiliary Regression(1) :

H0 : = 1 menyatakan bahwa variabel Y non stasioner, sehingga penolakan terhadap H0 membuktikan bahwa variabel Y stationer. Cara pengujiannya melalui:

Dimana H0 : = 0 setara dengan = 1

Jika setelah turunan pertama variabel tidak juga stasioner maka dilakukan dengan menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF), dimana dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :

Yt = 0+ 1T +( 1 1) Yt-1 +

k

i1 i Yt-i + t (1)

t t

t y e

y 1 

t t

t y e

y  1 

t t t t

t y y y e

y  1  1  1

t t t t

t y e y e

y     


(38)

Dimana: = first difference operator, Yt = variabel harga pada waktu t

0, 1 , i = koefsien

T =time trend

k = jumlah lag

t =error term

Jika hipotesa nol (Ho) 1 = 1 1 = 0 diterima, maka Yt dikatakan tidak

stasioner.

Setelah dilakukan uji stasioner kemudian akan dilakukan uji kointegrasi. Jika terbukti bahwa X dan Y mencapai kondisi stationer pada jumlah derivasi yang sama (level yang sama/orde yang sama), maka uji diteruskan ke uji kointegrasi.

2. Uji Kointegrasi

Langkah kedua yang harus dilakukan adalah menentukan apakah dalam persamaan yang digunakan terdapat kointegrasi atau tidak. Uji Kointegrasi bertujuan mengetahui apakah terdapat hubungan jangka panjang antara variabel X dengan Y, sehingga dapat digunakan dalam sebuah persamaan (Munadi, 2007).

Kointegrasi menyatakan bahwa pada jangka panjang (long-term) variabel-variabel dalam regresi tidak akan bergerak semakin menjauh (perbedaan pada kombinasi linearnya tidak semakin besar atau stasioner).


(39)

Eagle dan Granger (1987) menyarankan metode uji dengan 2 langkah: 1. Estimasi persamaan dan simpanerror term.

2. Estimasi regresi auxiliary yaituAuxiliary Regression(1)error term Auxiliary regression:

H0 : = 1 menyatakan bahwa error term non stationer, sehingga penolakan terhadap H0 membuktikan bahwa error term stationer dimana Y dan X terkointegrasi. Jika ada kointegrasi antara variabel Y dan X maka uji dilanjutkan ke ujierror correction model (ECM) namun bila tidak terdapat kointegrasi antara variabel Y dan X, maka pengujian hanya sampai pada uji kointegrasi saja atau dapat dilanjutkan dengan menambah beberapa variabel lain yang berhubungan dengan variabel yang telah dikointegrasikan.

3.Error Correction Model(ECM)

Jika terbukti ada kointegrasi antara variabel Y dan X langkah ke tiga adalah membuat error correction model untuk menguji apakah memang tidak terdapat hubungan antar variabel tersebut atau hanya terdapat disekuilibrium error dari sampel yang diobservasi.

Error correction model adalah model yang menunjukkan apakah error

atau deviasi dari Long Run ekuilibrium akan dikoreksi secara gradual melalui

a series of partial Short Run adjustment. Artinya, jika proses koreksi berjalan, maka hubungan kedua variabel tersebut akan converge ke cointegrating relationship-nya dengan tetap membiarkanShort Run dynamics-nya.

t t

t  1 


(40)

Dari model regresi :

Kurangkan dari kedua sisi, tambahkan dan kurangkan dari sisi kanan, maka akan diperoleh :

Dari :

Untuk menguji proses stasioner tersebut, maka persamaan di atas dimodifikasi menjadi :

PadaLong Runekuilibrium :

= merupakanspeed of adjustment, sedangkan = menunjukkanShort Run dynamics

2.3. Kerangka Pemikiran

Jual beli TBS tandan buah segar terjadi antara perkebunan rakyat, Pola PIR dan perusahaan swasta yang mempunyai pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS). Dalam penentuan harga TBS ada dua cara, yakni dengan cara lama dan cara baru. Cara lama yaitu dengan penetapan harga TBS yang langsung ditetapkan oleh pihak pengegelola (pembeli) terhadap pihak penjual. Sedangkan cara baru dengan menerapkan humus harga TBS yang ditetapkan pemerintah, dimana harga pembelian TBS ditetapkan setip bulan berdasarkan harga riil rata-rata tertimbang CPO sesuai realisasi penjualan ekspor dan lokal.

t t

t X

Y

1

t

Y 1Xt1

t t

t

t

t X Y X

Y  

 1 1

t t

t

t

t X Y X

Y 

 1 1

t t

t

t t t t t t t t t X Y X Y X Y X X Y Y                  1 1 1 1 1 1 0 


(41)

Harga CPO (Crude Palm Oil) di pasar internasional dapat dikatakan memiliki hubungan dengan dengan harga CPO di pasar domestik. Tren penggunaan minyak sawit mentah sebagai bahan baku bahan bakar nabati (biodiesel) telah mendorong secara signifikan permintaan CPO di pasar internasional. Industri pangan dan industri biodisel sekarang mulai memperebutkan bahan baku CPO yang menyebabkan harga minyak goreng di dalam negeri melambung tinggi. CPO makin digandrungi dunia industri, selain diolah untuk menghasilkan berbagai produk turunan di bidang pangan, negara-negara maju menganggap CPO diolah menjadi biodisel sebagai pengganti minyak bumi, yang akhirnya membuat harga CPO di pasar internasional cukup tinggi.

Seiring dengan hal di atas maka minyak sawit mentah (CPO) Indonesia mengalir deras membanjiri pasar ekspor. Pihak prosesor minyak goreng domestik kesulitan memperoleh CPO dan akhirnya menyebabkan harga minyak goreng naik secara signifikan.

Untuk itu maka dilakukan penelitian untuk mengetahui lebih jauh bagaimana hubungan antara harga CPO internaional, harga CPO domestik dan harga minyak goreng domestik. Pada penelitian ini alat analisis yang digunakan adalah model kointegrasi dengan menggunakan program Eviews 5.0. Kointegrasi adalah adalah suatu alat uji yang dilakukan untuk mendeteksi stabilitas hubungan jangka panjang antara harga CPO internasional, harga CPO domestik dan harga minyak goreng domestik.


(42)

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

Harga Tandan Buah Segar (TBS)

Pasar Domestik

Harga Minyak Goreng Domestik

Pasar Internasional HargaCrude Palm Oil


(43)

2.4. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis penelitian adalah :

1. Ada kointegrasi harga minyak goreng domestik dengan harga CPO (Crude Palm Oil) internasional.

2. Ada kointegrasi harga minyak goreng domestik dengan harga CPO (Crude Palm Oil) domestik.

3. Ada kointegrasi harga CPO (Crude Palm Oil) domestik dengan harga CPO (Crude Palm Oil) internasional.


(44)

100 min

_

NilaiIHKNo al

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder. Data yang digunakan adalah data runtut waktu (time series) bulanan dari tahun 2003-2007. Data minyak goreng domestik tahun 2003-2007 diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Utara dan website Departemen Perdagangan Republik Indonesia serta website BULOG di internet. Data harga CPO internasional dan harga CPO domestik tahun 2003-2007 diperoleh dari website PT SMART Tbk di internet.

3.2. Metode Analisis Data

Seluruh data yang terkumpul adalah data dalam nilai nominal, artinya masih ada pengaruh inflasi di dalamnya. Untuk Data harga CPO internasional harus diubah dalam nilai rupiah dengan menggunakan data nilai Exchange Rate

kemudian bersama dengan data harga CPO domestik dan harga minyak goreng domestik dibuat dalam nilai riil. Menurut Lipsey, dkk (1984) cara menghilangkan datatime seriesdari pengaruh inflasi adalah dengan menggunakan rumus :

Nilai Riil

Adapun alat perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis data adalah Eviews 5.0. Hipotesis 1, 2 dan 3 dapat dianalisis dengan pendekatan model kointegrasi dengan menggunakan Eviews 5.0. Pada penelitian ini proses pemakaian program Eviews 5.0 mengikuti prosedur menurut Winarno (2007) dan Pratomo dan Hidayat (2007).


(45)

Uji akar unit setiap variabel

Uji kointegrasiunivariate

MelihatError Correction Model

Uji kointegrasimultivariate

MelihatError Correction Model

Tambah variabel

Uji akar unit variabel tambahan

Ada Tidak

Ada Tidak


(46)

Dari Gambar 3 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Menurut Greene (2003) dalam analisis kointegrasi ada 3 langkah uji yang harus dilakukan yaitu : 1. Uji akar unit

2. Uji kointegrasi

3. MelihatError Correction Model(ECM).

Langkah awal adalah membuat model persamaan regresi. Adapun model regresinya adalah sebagai berikut :

Untuk hipotesis 1 :

Dimana : Yt = harga minyak goreng domestik pada waktu t

t

X = harga CPO internasional pada waktu t

, = koefsien

t =error term

Untuk hipotesis 2 :

Dimana : Yt = harga minyak goreng domestik pada waktu t

t

X = harga CPO domestik pada waktu t

, = koefsien

t =error term

t t

t X

Y

t t

t X


(47)

Untuk hipotesis 3 :

Dimana : Yt = harga CPO domestik pada waktu t

t

X = harga CPO internasional pada waktu t

, = koefsien

t =error term 1. Uji Akar Unit

Setelah ada model persamaan kemudian dilakukan uji akar unit sebagai langkah pertama dalam uji kointegrasi. Dalam hal ini diasumsikan bahwa variabel Y dan X stasioner sehingga menghasilkan error term yang juga stationer. Uji stationarity dari variabel-variabel Y dan X dapat dilakukan melalui analisis

Auxiliary Regression(1)

Dalam hal ini diasumsikan bahwa error term nya stationer (random, dengan expected value 0 dan variance 2). Jika -1< <1, maka proses Auxiliary Regression(1) tersebut adalah stasioner.

Uji stasioner melalui proses Auxiliary Regression (1)nya diperkenalkan oleh Dickey-Fuller (1987). Jika diketahuiAuxiliary Regression(1) :

H0 : = 1 menyatakan bahwa variabel Y non stasioner, sehingga penolakan terhadap H0 membuktikan bahwa variabel Y stationer. Cara pengujiannya melalui:

t t

t y e

y 1 

t t

t y e

y  1 

t t t t

t y y y e

y  1  1  1

t t t t

t y e y e

y     

1 1 1

t t

t X


(48)

Dimana H0 : = 0 setara dengan = 1

Jika setelah turunan pertama variabel tidak juga stasioner maka dilakukan dengan menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF), dimana dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :

Yt = 0+ 1T +( 1 1) Yt-1 +

k

i1 i Yt-i + t (1)

Dimana: = first difference operator, Yt = variabel harga pada waktu t

0, 1 , i = koefsien

T =time trend

k = jumlah lag

t =error term

Jika hipotesa nol (Ho) 1 = 1 1 = 0 diterima, maka Yt dikatakan tidak

stasioner.

Pada program Eviews 5.0 pengujian akar unit dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Memilihtest typeyaitu Augmented Dickey Fuller.

2. Memilih automatic selection yaitu Akaike Information Criterion dan mengisi maximum lags dengan angka 12. Hal ini dilakukan karena metode Akaike Information Criterion banyak digunakan oleh para peneliti statistik daripada metode lainnya yang terdapat dalam program eviews 5.0.

3. Memilih include in test equation yaitu hanya intercept. Hal ini dilakukan karena pengujian dilakukan hanya meihat intercepnya saja dan membuang tren yang ada pada masing-masing variabel (lihat Gambar 3, 4 dan 5).


(49)

4. Melakukan test for unit root apakah data stasioner pada level, 1st difference

atau 2nddifference.

2500

3000

3500

4000

4500

5000

5500

2003

2004

2005

2006

2007

CPODOMESTIK

Gambar 4. Grafik Perkembangan Harga CPO (Crude Palm Oil) Domestik Tahun 2003-2007.


(50)

2500

3000

3500

4000

4500

5000

5500

6000

2003

2004

2005

2006

2007

CPOINTERNASIONAL

Gambar 5. Grafik Perkembangan Harga CPO (Crude Palm Oil) Internasional Tahun 2003-2007.


(51)

3500

4000

4500

5000

5500

6000

6500

2003

2004

2005

2006

2007

MINYAKGORENG

Gambar 6. Grafik Perkembangan Harga Minyak Goreng Domestik Tahun 2003-2007.

Setelah dilakukan uji stasioner kemudian akan dilakukan uji kointegrasi. Jika terbukti bahwa X dan Y mencapai kondisi stationer pada jumlah derivasi yang sama (level yang sama/orde yang sama), maka uji diteruskan ke uji kointegrasi.

2. Uji Kointegrasi

Langkah kedua yang harus dilakukan adalah menentukan apakah dalam persamaan yang digunakan terdapat kointegrasi atau tidak. Uji Kointegrasi bertujuan mengetahui apakah terdapat hubungan jangka panjang


(52)

antara variabel X dengan Y, sehingga dapat digunakan dalam sebuah persamaan (Munadi, 2007).

Kointegrasi menyatakan bahwa pada jangka panjang (long-term) variabel-variabel dalam regresi tidak akan bergerak semakin menjauh (perbedaan pada kombinasi linearnya tidak semakin besar atau stasioner).

Eagle dan Granger (1987) menyarankan metode uji dengan 2 langkah: 3. Estimasi persamaan dan simpanerror term.

4. Estimasi regresi auxiliary yaituAuxiliary Regression(1)error term Auxiliary regression:

H0 : = 1 menyatakan bahwa error term non stationer, sehingga penolakan terhadap H0 membuktikan bahwa error term stationer dimana Y dan X terkointegrasi (H0 : < 1). Artinya dengan error term yang semakin kecil akan terjadinya keseimbangan dalam jangka panjang.

Pada program Eviews 5.0 Uji Kointegrasi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Memilih deterministic trend assumption of test pada asumsi yang nomor empat yaitu intercept and trend in CE no trend in VAR. Asumsi ini dipilih karena antara variabel yang akan dikointegrasi semuanya trennya stasioner tidak stokastik (lihat Gambar 6,7 dan 8).

2. Memilihlag interval 1 to 1 dan memilih nilaicritical value pada tingkat 0,05 (tingkat kepercayaan 95%).

t t

t  1 


(53)

2500

3000

3500

4000

4500

5000

5500

6000

2000

3000

4000

5000

6000

CPOINTERNASIONAL

C

P

O

D

O

M

E

S

T

IK

CPODOMESTIK vs. CPOINTERNASIONAL

Gambar 7. Grafik Hubungan antara Harga CPO Domestik dengan Harga CPO Internasional Tahun 2003-2007.


(54)

3500

4000

4500

5000

5500

6000

6500

2500 3000 3500 4000 4500 5000 5500

CPODOMESTIK

M

IN

Y

A

K

G

O

R

E

N

G

MINYAKGORENG vs. CPODOMESTIK

Gambar 8. Grafik Hubungan antara Harga Minyak Goreng Domestik dengan Harga CPO Domestik Tahun 2003-2007.


(55)

3500

4000

4500

5000

5500

6000

6500

2000

3000

4000

5000

6000

CPOINTERNASIONAL

M

IN

Y

A

K

G

O

R

E

N

G

MINYAKGORENG vs. CPOINTERNASIONAL

Gambar 9. Grafik Hubungan antara Harga Minyak Goreng Domestik dengan Harga CPO Internasional Tahun 2003-2007.

Jika ada kointegrasi antara variabel Y dan X maka uji dilanjutkan ke uji

error correction model (ECM) namun bila tidak terdapat kointegrasi antara variabel Y dan X, maka pengujian hanya sampai pada uji kointegrasi saja. Akan tetapi dapat juga dilakukan penambahan variabel lain yang berhubungan dengan variabel yang telah dikointegrasikan karena adanya dugaan bahwa akan ada kointegrasi diantara variabel tersebut.


(56)

3.Error Correction Model(ECM)

Jika terbukti ada kointegrasi antara variabel Y dan X langkah ke tiga adalah membuat error correction model untuk menguji apakah memang tidak terdapat hubungan antar variabel tersebut atau hanya terdapat disekuilibrium error dari sampel yang diobservasi.

Error correction model adalah model yang menunjukan adanya kemingkinan terjadi ketidak-seimbangan (disekuilibrium) dalam jangka pendek. Karena adanya ketidak-seimbangan ini maka diperlukan adanya koreksi dengan model koreksi kesalahan (Error Correction Model, ECM) (Winarno, 2007). Dari model regresi :

Kurangkan dari kedua sisi, tambahkan dan kurangkan dari sisi kanan, maka akan diperoleh :

Dari :

Untuk menguji proses stasioner tersebut, maka persamaan di atas dimodifikasi menjadi :

PadaLong Runekuilibrium :

= merupakanspeed of adjustment, sedangkan = menunjukkanShort Run dynamics

t t

t X

Y

1

t

Y 1Xt1

t t

t

t

t X Y X

Y  

 1 1

t t

t

t

t X Y X

Y 

 1 1

t t

t

t t t t t t t t t X Y X Y X Y X X Y Y                  1 1 1 1 1 1 0 


(57)

3.3. Defenisi dan Batasan Operasional 3.3.1. Defenisi

1. Kointegrasi adalah adalah suatu alat uji yang dilakukan untuk mendeteksi stabilitas hubungan jangka panjang dua variabel atau lebih.

2. TBS adalah tandan buah segar yang merupakan buah dari pohaon kelapa sawit yang akan diolah menjadi minyak sawit.

3. CPO adalah Crude Palm Oil. Minyak kelapa sawit (MKS) yang merupakan produk utama pabrik kelapa sawit.

4. Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dari tumbuhan biasanya dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, kelapa sawit, biji-bijian, kacang-kacangan, jagung, dan kedelai.

5. Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkyl ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak sayur atau lemak hewan.

6. Pasar domestik adalah seluruh kegiatan perdagangan yang berlangsung di suatu negara diluar ekspor-impor.

7. Pasar internasional adalah seluruh kegiatan perdagangan yang berlangsung antar beberapa negara.


(58)

3.3.2. Batasan Operasional

1. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2008.

2. Penelitian ini hanya menganalisis kointegrasi harga CPO internasional dan harga CPO domestik terhadap harga minyak goreng domestik mulai tahun 2003-2007 berdasarkan data bulanan.


(59)

IV. PROFIL INDUSTRI KELAPA SAWIT DI INDONESIA

4.1. Profil Teknis Kelapa Sawit

Kelapa sawit mempunyai beberapa jenis atau varietas yang dikenal sebagaiDura (D), Tenera (T), dan Pisifera (P). Ketiga jenis ini dapat dibedakan dengan cara memotong buahnya secara memanjang/melintang.Duramemiliki inti besar dan bijinya tidak dikelilingi sabut dengan ekstraksi minyak sekitar 17-18%.

Deli Dura memiliki inti besar dan cangkang tebal serta dipakai oleh pusat-pusat penelitian untuk memproduki jenis Tenera. Tenera merupakan hasil persilangan antara Dura dan Pisifera, memiliki cangkang tipis dengan cincin serat di sekeliling biji, serta ekstraksi minyak sekitar 22-25%. Pisifera tidak mempunyai cangkang dengan inti kecil sehingga tidak dikembangkan sebagai tanaman komersil.

Tanaman kelapa sawit baru dapat berproduksi setelah berumur sekitar 30 bulan setelah ditanam di lapangan. Buah yang dihasilkan disebut tandan buah segar (TBS) atau fresh fruit bunch (FFB). Produktivitas tanaman kelapa sawit meningkat mulai umur 3-14 tahun dan akan menurun kembali setelah umur 15-25 tahun. Setiap pohon sawit dapat menghasilkan 10-15 TBS per tahun dengan berat 3-40 kg per tandan, tergantung umur tanaman. Dalam satu tandan, terdapat 1.000-3.000 brondolan dengan berat brondolan berkisar 10-20 g.

Minyak kelapa sawit adalah minyak nabati semipadat. Hal ini karena minyak sawit mengandung sejumlah besar asam lemak tidak jenuh dengan atom karbon lebih dari C8. Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang


(60)

dikandung. Minyak sawit berwarna kuning karena kandungan beta karoten yang merupakan bahan vitamin A (Pahan, 2007).

Menurut Risja (1994) dalam perekonomian Indonesia, kelapa sawit (dalam hal ini minyaknya) mempunyai peran yang cukup strategis, karena :

1. Minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng, sehingga pasokan yang kontiniu ikut menjaga kestabilan harga dari minyak goreng tersebut. Ini penting sebab minyak goreng merupakan salah satu dari 9 bahan pokok kebutuhan masyarakat sehinga harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masarakat.

2. Sebagai salah satu komoditas pertanian andalan ekspor non migas, komoditi ini mempunyai prospek yang baik sebagai sumber dalam perolehan devisa maupun pajak.

3. Dalam proses produksi maupun pengolahan juga mampu menciptakan kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pengolahan TBS menjadi CPO dilakukan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik swasta dan BUMN. Tahun 2006 Indonesia memproduksi sekitar 16 juta ton CPO dan minyak sawit lainnya. Sebagian besar diekspor dan sebagian kecil diolah menjadi minyak goreng untuk pasar domestik dan bisa juga ekspor. Adapun tata niaga dan penetapan harga CPO sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Pemerintahlah yang menetapkan harga patokan eceran atau HPE CPO, yakni peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan tiap bulan.

Tingkat efektivitas dan efisiensi pengolahan kelapa sawit juga dipengaruhi oleh derajat kematangan buah yang dapat diketahui melalui sortir buah sebelum


(61)

diolah. Agar proses di PKS dapat berjalan dengan efektif dan efisien maka perlu ditetapkan standar kematangan buah yang dipanen.

Dengan terpenuhinya persyaratan kematangan buah, diharapkan produk minyak dan inti sawit mempunyai kualitas yang baik dengan kehilangan minyak dan inti sawit rendah sehingga mencapai efektivitas pengutipan minyak dan inti sawit yang tinggi. Sebagai acuan untuk mengetahui kualitas produksi yang dihasilkan, perlu ditetapkan standar kualitas minyak dan inti sawit. Dengan demikian, bias diketahui nilai efektivitas dab efisiensi suatu PKS. Standar kualitas minyak dan inti sawit disajikan pada tabel 2 berikut (Pahan, 2007).

Tabel 2. Standar Kualitas Minyak dan Inti Sawit

No Karakteristik Batasan

Minyak Kelapa Sawit

1 Kadar asam lemak bebas (%) < 3,50

2 Kadar air (%) < 0,10

3 Kadar kotoran (%) < 0,01

4 DOBI (deterioritation of bleachability

index) < 2,40

Inti Kernel Sawit (IKS)

1 Kadar air (%) < 7,00

2 Kadar kotoran (%) < 6,00

3 Inti pecah (%) < 25,00

4 Inti berubah warna (%) < 40,00


(62)

Untuk meningkatkan nilai tambah limbah pabrik kelapa sawit, maka tandan kosong dapat dimanfaatkan untuk mulsa tanaman kelapa sawit, sebagai bahan baku pembuatan pulp dan pelarut organik. Tempurung kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan pembuatan arang aktif. Selain itu bungkil sawit juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pakan ternak (Risja, 1994).

4.2. Profil Perkebunan Kelapa Sawit 4.2.1. Luas Areal

Melalui berbagai upaya pengembangan, baik yang dilakukan oleh perkebunan besar, proyek-proyek pembangunan maupun swadaya masyarakat, perkebunan kelapa sawit telah berkembang sangat pesat. Pada tahun 1968, luas areal yang baru 120 ribu ha menjadi 4926 ribu ha pada tahun 2003. Selain dari pertumbuhan areal yang cukup besar tersebut, hal lain yang lebih mendasar lagi adalah penyebarannya, yang semula hanya ada pada 3 propinsi saja di Sumatera, tetapi saat ini telah tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Sumatera masih memiliki areal terluas di Indonesia, yaitu mencapai 75,98% diikuti Kalimantan dan Sulawesi, masing-masing 20,53% dan 2,81%. Komposisi pengusahaan kelapa sawit juga mengalami perubahan, yaitu dari sebelumnya hanya perkebunan besar, tetapi saat ini telah mencakup perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Pada tahun 2003, luas areal perkebunan rakyat mencapai 1.827 ribu ha (34,9%), perkebunan negara seluas 645 ribu ha (12,3%), dan perkebunan besar swasta seluas 2.765 ribu ha (52,8%). Sumatera mendominasi ketiga jenis pengusahaan, sedangkan Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat.


(63)

Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kelapa sawit juga mengalami peningkatan, dari hanya 181 ribu ton CPO pada tahun 1968 menjadi 9,8 juta ton pada tahun 2003, dengan komposisi Perkebunan rakyat (PR) memberi andil produksi CPO sebesar 3.645 ribu ton (37,12%), perkebunan besar negara (PBN) sebesar 1.543 ribu ton (15,7 %), dan perkebunan besar swasta (PBS) sebesar 4.627 ribu ton (47,13%). Produksi tersebut dicapai pada tingkat produktivitas PR sekitar 2,73 ton CPO/ha atau setara 13,65 ton TBS (tandan buah segar)/ha, PBN 3,14 ton CPO/ha atau setara 15,70 ton TBS/ha dan PBS 2,58 ton CPO/ha atau sekitar 12,90 ton TBS/ha. Produksi tersebut akan terus meningkat di masa datang, yang berasal dari tanaman belum menghasilkan (TBM) saat ini, dan dari pengoptimalan tanaman menghasilkan (TM) yang telah ada. Perkebunan kelapa sawit juga telah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia dengan perbandingan 85,55% Sumatera, 11,45% Kalimantan, 2%, Sulawesi, dan 1% wilayah lainnya. Produktivitas perkebunan kelapa sawit di Sumatera relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di Kalimantan dan Sulawesi. Disamping CPO, perkebunan kelapa sawit juga menghasilkan minyak inti sawit yang pada tahun 2003 mencapai tidak kurang dari 2,1 juta ton.

4.2.2. Produksi Minyak Kelapa Sawit

Industri hulu perkebunan kelapa sawit menghasilkan produk primer berupa minyak kelapa sawit (MKS) dan minyak inti kelapa sawit (MIKS). Dari produk inilah dapat dikembangkan menjadi bermacam-macam produk industri hilir. Produk-produk ini merupakan ester asam lemak dan gliserol yang disebut trigliserida. Trigliserida MKS kaya akan asam laurat, miristat, stearat dan gliserol,


(1)

7. Dari hasil uji kointegrasi dengan unvariate didapat hasil bahwa tidak ada kointegrasi atau hubungan antara harga CPO domestik dengan harga CPO internasional. Jadi kenaikan harga CPO di dalam negeri tidak disebabkan oleh kenaikan harga CPO di pasar internasional.Akan tetapi kenaikan harga CPO di dalam negeri maupun di pasar internasional lebih disebabkan oleh tingginya permintaan CPO baik di dalam negeri maupun di pasar internasional. Kenaikan harga CPO domestik baik di dalam negeri maupun di pasar internasional juga disebabkan oleh permainan para pengusaha CPO seperti pembentukan sistem kartel guna mengatur harga CPO. Namun setelah dilakukan uji kointegrasi dengan multivariate yaitu dengan menambahkan variabel volume ekspor CPO domestik dapat dilihat hasil bahwa ternyata masih terdapat hubungan dalam jangka panjang antara harga CPO domestik dengan harga CPO internasional yang dipicu oleh volume ekspor CPO domestik. Hal ini karena volume ekspor CPO domestik mempengaruhi ketersediaan CPO di dalam negeri dan di pasar internasional. Kemudian dilihat dari hasil Error Correction Model bahwa dalam jangka pendek tidak dapat dilihat hubungan antara harga CPO domestik, harga CPO internasional dan volume ekspor CPO domestik. Namun dilihat dari nilai resid01 yaitu -0,171240 menunjukan bahwa secara perlahan-lahan akhirnya dalam jangka panjang antara harga CPO domestik, harga CPO internasional dan volume ekspor CPO domestik menuju pada satu titik keseimbangan atau dengan kata lain memiliki hubungan dalam jangka panjang.


(2)

8. Dalam menanggapi dari kenaikan harga minyak goreng domestik, harga CPO domestik dan harga CPO internasional yang fluktuatif maka pemerintah mengambil beberapa kebijakan yang relevan salah satunya yaitu kebijakan pajak ekspor. Pemerintah juga membuat kebijakan DMO (domestic market obligation) yaitu agar para pengusaha CPO wajib memberi pasokan CPO di dalam negeri. Kedua kebijakan ini berguna mengendalikan harga CPO domestik dan harga minyak goreng domestik. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya terganggunya mekanisme harga minyak goreng domestk dan harga CPO domestik diakibatkan oleh terlalu banyaknya intervensi pemerintah.


(3)

6.2. Saran

Dalam penelitian ini menggunakan uji kointegrasi dengan alat analisis eviews 5.0 yang sangat sensitif terhadap data. Data penelitian menggunakan data bulanan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini belum dapat mengungkap lebih jauh pengaruh antara harga CPO internasional, harga CPO domestik dan harga minyak goreng domestik baik dalam jangka pendek maupun jangka panjnag. Atas kelemahan atau keterbatasan penelitian ini, maka saran untuk penelitian mendatang yaitu dengan mengunakan data mingguan atau harian.

Dalam penelitian ini pengujian kointegrasi hanya menggunakan 4 variabel yaitu harga CPO internasional, harga CPO domestik, harga minyak goreng domestik dan volume ekspor CPO domestik. Sehingga hasil yang didapat tidak terlalu dapat menggambarkan pengaruh-pengaruh yang nyata antar variabel baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Saran bagi peneliti yang akan melanjutkan penelitian ini adalah menambah variabel-variabel lain yang merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga CPO dan minyak goreng seperti variabel permintaan CPO dan variabel produksi CPO baik didalam negeri maupun di pasar internasional serta pendapatan nasional perkapita.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2005. Peluang Pengembangan KelapaSawit di Indonesia. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(6)%20soca-reda%susila

kelapa%20sawit.doc, 24 Mei 2008.

Anonimous, 2006. Kajian Pasar dan Peluang Investasi Kelapa Sawit. http://regionalinvestment.com/sipid/id/userfiles/komoditi/2/oilpalm_kajian peluanginvestasi.pdf, 24 Mei 2008.

Amang,B., Pantjar Simatupang, Anas Rachman, 1996. Ekspor Minyak Goreng di Indonesia.IPB Press, Bandung.

Badan Pusat Statistik, 2008. Consumer Price Indeces. http://www.datastatistik-indonesia.com/component/option,com_tabel/kat,10/idtabel,1221/Itemid,94 5/, 21 Agustus 2008.

BULOG, 2008. Data Statistik Harga Non

Berashttp://www.bulog.co.id/data/doc/sta_nonbr_mireng.htm, 16 April 2008.

Damanhuri,D. 1999.Pilar-Pilar Reformasi Ekonomi Politik. Pustaka Hidayah dan Cides. Jakarta.

Departemen Perdagangan Republik Indoneia, 2008. Statistik Perdagangan. http://kepri.bps.go.id/files/release/2008/7.%20Juli/Batam%20%3B%20inf-06-08.pdf, 15 Agustus 2008.

Dinas Pertanian, 2008. Basis Data Statistik Pertanian. http://database.deptan.go.id/bdsp/hasilKom.asp, 22 Maret 2008.

Greene, William H., 2003. Econometric analysis. Fifth Edition. New York University.

Hasan, M. Fadhil, 2007. Pilihan kebijakan pengembangan industri hilir CPO. http://unisosdem.org/klipping_list.pph?coid,17 Februari 2008.

Irawan, Andi, 2006. Integrasi Pasar Beras. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr262047.pdf, 7 Juni 2008.

Kotler, P.danG. Amstrong, 2001.Prinsip-Prinsip Pemasaran. Erlangga. Jakarta. Kurniawan, Ambar, dkk., 2007. Tinjauan Ekonomi Industri Kelapa Sawit. Pusat


(5)

Lipsey, Richard G., Peter O. Steiner dan Douglas D. Purvis, 1984. Economics. Seventh Edition. Harper and Row Publisher, New York.

Maarif, Syamsul, 2007. Industri CPO diduga Kartel. http://www.bisnis.com/pls/bisnis/bisnis.cetak?inw_id=5319222, 20 Agustus 2008.

Mangoensoekarjo , S. dan H. Semangun, 2003. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. UGM-Press, Yogyakarta.

Marciano, Dedy dan Suyanto, 2006. Hubungan Jangka Panjang dan Jangka Pendek Ekonomi Makro dan Pasar Modal di Indonesia. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Dedy_2006_VI_08.pdf, 7 Juni 2008.

Pahan, Iyung, 2007.Kelapa Sawit, Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya, Jakarta.

Pangestu, Mari, 2007.Menjaga Kestabilan Harga Minyak Goreng. Republika, 18 Juni 2007.

Pratomo, Wahyu Ario dan Paidi Hidayat, 2007. Pedoman Praktis Penggunaan Eviews dalam Ekonometrika. USU Press, Medan.

PT SMART Tbk., 2008. International Prices. http://www.smart-tbk.com/investor_international.php?, 18 April 2008.

Rantetana, Marcellus dan Sumaryanto, 1996. Sisitem Agribisnis dan Peranan Minyak Goreng dalam Perekonomian Global. IPB Press, Bandung.

Risza, Suyatno, 1994.Upaya Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit. Kanisius, Yogyakarta.

Salomo, Ronny M. dan Pos M. Hutabarat, 2007. Peranan Perdagangan Internacional sebagai Salah Satu Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. www.pasekon.ui.ac.id/sem3/pdf/Uswatun%20Hasanah.pdf, 18 Februari 2008.

Sastrosayono, Selardi, 2003. Budidaya Kelapa Sawit. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.

Sibuea, Posman, 2007. Minyak Goreng Menjadi Komoditas Politi. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0708/24/opi01.html, 20 Januari 2008.

Sudjono, 2007. Analisis Keseimbangan dan hubungan Simultan antara Variabel Ekonomi Makro terhadap Indeks Harga Saham. Jakarta (hal : 4).


(6)

Sugema, Iman, dkk., 2007. Strategi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit. http://www.indef.or.id/xplod/upload/pubs/Industri%20Hilir%20CPO.PDF , 20 Februari 2008.

Susanto, Roni Dwi, 2004. Analisis Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia:

Dampaknya terhadap Industri Minyak Goreng Indonesia. http://www.digilib.ui.edu/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=72044&lokasi =lokal,21 Agustus 2008.

Sya roni, Irham, 2007. Stabilisasi Kemelut Minyak Goreng. http://suarakarya-online.com/news.html?id, 17 Februari 2008.

Tambunan, Tulus T.H., 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Tim Penulis Penebar Swadaya, 1997. Usaha Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Aspek Pemasaran Kelapa Sawit. Penebar Swadaya, Jakarta.

Winarno, Wing Wahyu, 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. Unit Penerbit Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, Yogyakarta.