Kebijakan Moneter islam 1 sm (1)

Makalah Ekonomi Islam
“Kebijakan Moneter Islam”

Kelompok 6
Argo Fahma Putra

201310180311117

Christi Mei Wulandari201310180311126
Dewi Nur Aprilianingsih

201310180311131

Nabila Pirenia Pangestu

201310180311136

Intan Mala Sari

201310180311147


Amin Dwitasari

201310180311154

Sela Dwi Wijayanti

201310180311166

Sulfia Rahma

201410180311192

Ilmu Ekonomi Studi Pembanguna
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Malang
2016

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat

dan hidayah-Nya kepada kami semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Ekonomi
Islam ini.
Kami menyusun makalah ini dengan hasil diskusi bersama dan mengambil dari beberaoa
referensi. Oleh karena itu, kami sangat menghormati dan menghargai pikiran- pikiran penulis
lain yang menjadi sumber acuan dalam menulis makalah ini. Namun, bagaimana pun hal ini
membuat kami berbuat hati- hati dan tanggung jawab serta upaya yang maksimal demi
terselesainya makalah ini dengan sebaik-baiknya. Dalam memenuhi unsur kemudahan dalam
memahami isi makalah ini, kami mengupayakan menggunakan bahasa yang relatif sederhana dan
mudah di pahami.
Bagaimanapun, tugas ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih butuh banyak
pembelajaran. Namun, kami berharap bahwasanya tugas makalah yang kami buat ini dapat
memberikan manfaat bagi semua orang yang membaca.

Penyusun

1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C. Tujuan.......................................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Kebijakan Moneter Tanpa Bunga.................................................................. 3
B.Posisi Bank Sentral dalam Islam………........................................................... 6
C.Mengelola Kebijakan Moneter........................................................................ 9
D. Instrumen Kebijakan Moneter........................................................................ 11
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 27
B. Daftar Pustaka................................................................................................ 29

2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian

melalui pengaturan jumlah uang beredar. Jumlah uang beredar, dalam analisis ekonomi makro,
memiliki pengaruh penting terhadap tingkat output perekonomian, juga terhadap stabilitas hargaharga. Uang beredar yang terlalu tinggi tanpa disertai kegiatan produksi yang seimbang, akan
ditandai dengan naiknya tingkat harga-harga pada seluruh barang dalam perekonomian atau
dikenal dengan istilah inflasi.
Kebijakan moneter dalam perekonomian modern dilakukan melalui berbagai instrument,
yaitu operasi agar pasar terbuka (open market), penentuan tingkat bunga, ataupun penentuan
besarnya cadangan wajib dalam sektor perbankan. Ada instrument lain yang digunakan oleh
pemerintah selaku pengelola moneter, yaitu imbauan moral atau moral persuasion. Sektor yang
paling berperan dalam berlangsungnya kebijakan moneter adalah sektor perbankan. Melalui
pengaturan sektor perbankan itulah, pemerintah mencoba menerapkan kebijakan-kebijakan
moneternya dengan menggunakan instrument atau alat-alat seperti yang telah diuraikan di atas.
Namun krisis ekonomi yang terjadi pada 1997 telah mengajarkan banyak hal kepada kita.
Perekonomian Indonesia yang ikut terseret dalam pusaran krisis yang berkepanjangan, ditengarai
akibat pengelolaan kebijakan moneter yang tidak efektif. Bahkan keterlibatan IMF dan Bank
Dunia membantu pemerintah Indonesia dalam penanganan krisi secara moneter, justru membuat
keadaan semakin parah. Itulah antara lain yang membuat efektivitas kebijakan moneter dalam
mengelola perekonomian banya diperdebatkan para ahli. Salah satu penyebab ketidakefektifan
itu adalah digunakannya suku bunga perbankan sebagai salah satu instrument kebijakan moneter.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Kebijakan Moneter dalam Islam ?

2. Apa saja alternative Kebijakan Moneter dalam islam ?
3. Apakah ada Instrumen pengganti bunga dalam Kebijakan Monter Islam ?
4. Bagaimana Cara Mengelola Kebijakan Moneter dalam Islam ?
1

C. Tujuan
1.
2.
3.
4.
5.

Untuk menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Ekonmi Islam
Mengetahui bagaimana Kebijakan Moneter dalam Islam
Mengetahui apa saja instrumen pengganti bunga dalam kebijakan moneter
Mengetahui bagaimana cara mengelola kebijakan moneter dalam islam

2

BAB II

PEMBAHASAN
A. Kebijakan Moneter Tanpa Bunga

Bunga

sesungguhnya

merupakan

sumber

permasalahan

yang

mengakibatkan

ketidakstabilan perekonomian (Irfan Syauqi Beik, dalam Republika 17 Oktober 2005). Karena
bunga adalah instrument yang menyebabkan ketidakseimbangan sektor riil dan moneter. Marilah
kita ambli contoh sederhana berikut: misalkan seseorang memiliki asset Rp 1 miliar dan dia

dihadapkan pada dua pilihan investasi, yakni deposito di bank dengan bunga 10 persen setahun
dan satu investasi di sektor riil yang menjanjikan return sebesar 10 persen setahun. Secara
rasional bisa diduga orang tersebut akan memilih deposito, karena pilihan itu memberikan
kepastian return. Sedangkan investasi di sektor riil masih ada risiko kegagalan dan
ketidakpastian. Dari contoh sederhana ini kita bisa melihat bahwa bunga memang menciptakan
jarak antara sektor keuangan dengan sektor riil. Akibatnya, kondisi moneter tidak mencerminkan
sektor riil, sebaliknya kondisi moneter tidak mencerminkan kondisi moneternya. Maka tidak
mengherankan bila jumlah uang beredar di pasar uang US $500 triliun. Sedangkan jumlah uang
yang beredar di pasar dan jasa hanya sebesar US $--- triliun (World Bank, 2004).
Dalam perekonomian Islam, sektor perbankan tidak mengenal instrument suku bunga.
System keuangan Islam menerapkan system pembagian keuntungan dan kerugian (profit and
loss sharing), bukan kepada tingkat bunga yang telah menetapkan tingkat keuntungan di muka.
Besar kecilnya pembagian keuntungan yang diperoleh nasabah perbankan Islam ditentukan oleh
besar kecilnya pembagian keuntungan yang diperoleh bank dari kegiatan investasi dan
pembiayaan yang dilakukannya di sektor riil. Jadi, dalam system keuangan Islam, hasil dari
investasi dan pembiayaan yang dilakukannya

bank di sektor riil yang menentukan besar

kecilnya pembagian keuntungan di sektor moneter.


Artinya sektor moneter memiliki

ketergantungan pada sektor riil. Jika investasi dan produksi di sektor riil berjalan dengan lancar,
maka return pada sektor moneter akan meningkat. Sehingga kita bisa menyimpilkan bahwa
kondisi sktor moneter merupakan cerminan kondisi sektor riil.

3

Namun tidak adanya instrument bunga di dalam ekonomi Islam menimbulkan pertanyaan
besar, bagaimana mengelola kebijakan moneter saat ini adalah dunia yang sudah sekian lama
didominasi system kapitalis dengan isntrumen bunganya, maka kehadiran system lain yang
menafikan kehadiran bunga jelas akan menimbulkan tanda tanya besar. Di antara pertanyaanpertanyaan itu adalah: bagaimana kebijakan moneter dapat berperan efektif untuk menyamakan
permintaan dan penawaran tanpa kehadiran bunga sebagai instrument pengatur, apa alternatif
bagi surat-surat berharga pemerintah yang mengandung bunga untuk mebiayai deficit pemerintah
dalam satu kerangka yang tidak inflasioner? (Chapra, 2000, halaman 134).
System keuangan Islam sesungguhnya merupakan pelengkap dan penyempurna system
ekonomi Islam yang berdasarkan kepada produksi dan perdagangan, atau dikenal dengan istilah
sektor rill. Kegiatan yang tinggi dalam bidang produksi dan perdagangan akan mempertinggi
jumlah uang beredar, sedangkan kegiatan ekonomi yang lesu akan berakibat berakibat rendahnya

perputaran dan jumlah yang beredar. Dengan kata lain, permintaan terhadap uang akan lahir
terutama dari motif transaksi dan tindakan berjaga-jaga yang ditentukan pada umunya oleh
tingkatan pendapatan uang dan distribusinya. Makin merata distribusi pendapatan, makin besar
permintaan akan uang untuk tingkatan pendapatan pendapatan agregat tertentu.
Dalam perekonomian Islam, keseimbangan antara aktivitas ekonomi riil dengan tinggi
rendahnya jumlah uang beredar senantiasa dijaga. Salah satu instrument untuk menjaga adalah
system perbankan islami.
Pada perekonomian kapitalis yang menggunakan instrument bunga, permintaan akan uang
karena motif spekulasi, pada dasarnya didorong oleh fluktuasi suku bunga. Jika suku bunga turun
dan ada harapan akan naik tidak lama lagi, biasanya akan mendorong individu atau perusahaan
untuk meningkatkan jumlah uang yang dipegangnya. Karena suku bunga terus berfluktuasi pada
system perekonomian kapitalis, terjadilah perubahan terus-menerus dalam jumlah uang yang
dipegang oleh public. Maka tentu saja penghapusan bunga sekaligus mewajibkan membayar
zakat 2,5 persen akan meminimalkan permintaan spekulatif terhadap uang, sehingga akan
memberikan stabilitas yang lebih besar terhadap permintaan akan uang. Sejumlah faktor lain
akan memperkuat kondisi, antara lain:
1. Karena tidak ada asset berbasis bunga, maka seseorang yang memiliki dana
hana akan memiliki pilihan untuk menginvestasikan dananya dalam skema
4


bagi hasil, tentu saja dengan risiko tertentu, atau mendiamkan uangnya tidak
produktif tersimpan di tangannya.
2. Peluang investasi jangka pendek dan jangka panjang, dengan berbagai
tingkatan risiko akan tersedia bagi investor tanpa memandang, apakah mereka
adalah pengambil risiko tinggi atau rendah, sejauh mana risiko yang dapat
diperkirakan akan diganti dengan laju keuntungan yang diharapkan.
3. Kecuali dalam keadaan resesi, rasanya tidak aka nada orang yang menyimpan
sisa uangnya-setelah dikurangi untuk keperluan transaksi dan berjaga-jagamembeku begitu saja. Ia tentu lebih memilih berinvestasi pada pada asset bagi
hasil, paling tidak untuk menggantikan dananya yang tergerus oleh zakat dan
inflasi.
4. Berbeda dengan suku bunga, laju keuntungan dalam skema bagi hasil tidak
ditentukan di depan. Satu-satunya yang ditentukan di depan adalah nisbah
bagi hasil yang tidak akan berfluktuasi, karena nisbah ini ditentukan oleh
konvensi ekonomi dan sosial, dan setiap terjadi perubahan di dalamnya akan
melalui suatu negosiasi yang sangat panjang.
Dalam perekonomian Islam, permintaan akan dana investasi yang berorientasi kepada
model sendiri, akan merupakan bagian dari permintaan transaksi total dan akan bergantung pada
kondisi perekonomian dan laju keuntungan yang diharapkan yang tidak akan ditentukan di
depan. Mengingat harapan terhadap keuntungan tidak mengalami fluktuasi harian atau
mingguan, permintaan agregat kebutuhan transaksi akan cenderung lebih stabil. Stabilitas yang

lebih besar dalam permintaan uang untuk tujuan transaksi akan cenderung mendorong stabilitas
yang lebih besar bagi kecepatan peredaran uang dalam satu fase daur bisnis dalam sebuah
perekonomian islam dan dapat diperkirakan perilakunya secara lebih baik.
Karena itu, kebijakan moneter yang diformulasikan dalam sebuah perekonomian islam
adalah menggunakan variabel cadangan uang dan bukan suku bunga. Bank sentral harus
menggunakan kebijakan moneternya untuk menghasilkan suatu pertumbuhan dalam sirkulasi
uang yang mencukupi untuk membiayai pertumbuhan potensial dalam output selama periode
menengah dan panjang, dalam kerangka harga-harga yang stabil dan sasaran sosioekonomi
5

lainnya. Tujuannya untuk menjamin ekspansi moneter yang pas, tidak terlalu lambat tetapi juga
tidak terlal cepat, tetapi cukup mampu menghasilkan pertumbuhan yang memadai yang dapat
menghasilkan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat. Laju pertumbuhan yang dituju
haruslah yang bersifat kesinambungan, realistis serta mencakup jangka menengah dan jangka
panjang.
Haruslah disadari, untuk mewujudkan sasaran

islam, tidak saja harus melakukan

reformasi perekonomian dan masyarakat dan masyarakat sejalan dengan garis-garis islam, tetapi
juga memerlukan peran positif pemerintah dan semua kebijakan negara termasu fiskal, moneter,
dan pendapatan, harus berjalan seirama. Praktik-praktik yang monopolistis harus dihilangkan dan
setiap usaha harus dilakukan untuk menghapuskan kekuatan struktural dan meggalakkan semua
faktor yang mampu menghasilkan peningkatan penawaran barang dan jasa.
B. Posisi Bank Sentral Dalam Islam
Dalam sistem konvensional, bank sentral berfungsi sebagai lembaga yang bertanggung
jawab dalam mengatur kelancaran proses intermediasi, penyaluran mata uang dan yang tidak
kalah pentingnya, bank sentral merupakan “Lender of the last resort”. Namun dalam sejarahnya ,
bank sentral adalah institusi yang lahir dari kebutuhan untuk membiayai ekspansi militer di
Eropa pada awal abad ke-20. Riskbank of Swedan, yang didirikan pada tahun 1668, merupakan
bank sentral pertama di dunia dan digunakan sepenuhnya untuk membiayai pengeluaran militer
waktu itu. Begitu juga Bank of England yang berdiri pada tahun 1694, juga terutama ditujukan
untuk membiayai perang Inggris melawan Prancis (Tamanni, 2002)
Selain untuk tujuan diatas, bank sentral juga merupakan solusi bagi krisis perbankan. Ini
tercermin dari Federal Reserve system yang dilancarkan pemerintah AS di tengah kemelut dan
krisis berkepanjangan yang dialami oleh Bank-bank di AS waktu itu. Padahal, ratusan tahun
sebelumnya, dengan mendasarkan diri pada gold standard, bank-bank swasta yang memperoleh
kebebasan untuk mengeluarkan uang sendiri tidak pernah mengalami krisis keuangan yang akut
(Tamanni, 2002).
Bank sentral mulai berfungsi sebagai pengelola kebijakan moneter dimulai ketika uang
kertas mulai menggantikan uang emasdan uang yang dikeluarkan oleh bank sentral tidak lagi
didukung dengan cadangan emas. Disamping fungsinya sebagai pengatur aliran dan pertukaran
6

valuta asing, Lender of the last resort dan supervisi bank, haruslah diakui peran bank sentral
sebagai pengelola kebijakan moneter tetaplah merupakan tugas utama bank sentral.ini tercermin
dari pernyataan mantan Menteri Keuangan AS, Lawrence Summer,”Monetary policy destiny.
The prospect for peace and prosperity for the rest of the century and beyonds depends as much
on monetary policies as on any other factor...”
Konsep bank sentral dengan segala tanggung jawab dan fungsinya ini, seseungguhnya
tidak dikenal dalam sejarah perekonomian islam. Apalagi seperti dijelaskan di muka, bank
sentral sendiri merupakan inovasi baru dalam sistem ekonomi konvensional. Sehingga wajar
apabila fungsi dan kedudukan bank sentral dalam konteks ekonomi islam sekarang patut
diperdebatkan.
Bahkan Muhsmmsd Anwar (dalam Tamanni, 2002) melihat keberadaan bank sentral
sebagai sesuatu yang tidak islami. Alasannya, pengeluaran fiat money telah secara langsung
menciptakan seignorage kepada pemerintah, dan proses ini sekaligus mentransfer properti riil
dari masyarakat kepada pihak berkuasa. Jelas ini bertentangan dengan apa yang diperintahkan
oleh syariah, sebagaimana firman Allah SWT ; Dan janganlah kamu memakan harta sebagian
yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat)dosa, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah ayat 188).
Tidak islaminya bank sentral ini terkaitt dengan kegiatan pengedaran uang yang
dilakukannya, di mana bank sentral sebagai tangan pemerintah, memperoleh pendapatan yang
tidak adil dari uang yang beredar, atau Seignorage. Dalam bahasa yang mudah Seignorage
adalah pendapatan yang diterima dari mencetak uang , dimana nilai nominal uang yang dicetak
jauh lebih besar daripada nilai kertas dan biaya pencetakannya.
Fenomena ini akan terus berulang ketika bank sentral meminjam uang dari masyarakat
untuk membiayai defisit anggaran belanja negara. Karena sistem sekarang memerlukan bnk
sentral untuk meminjam dengan sistem bunga, maka yang terjadi adalah peningkatan defisit,
karena bank sentral harus membayar biaya bunga tadi (debt servicing). Pada akhirnya ini akan
mendesak pemerintah, melalui bank sentral, untuk mencetak uang lagi, dan proses Seignorage
ini pun akan berulang secara terus menerus.
7

Marilah kita melihat fungsi bank sentral dan meninjaunya dengan perspektif sejarah
ekonomi islam. Pertama, fungsi mencetak uang atau currency. Dalam periode awal sejaah
moneter islam, tugas mencetak uang diserahkan sepenuhnya kepada sektor swasta atau siapa pun
yang memiliki keahlian menempa uang koin dinar atau dirham. Hal ini memungkinkan karena
uang dinali menurut berat atausukatnya dan bukan karena nialinya. Hanya belakangan, atau
sekitar abad ke-6 atau ke-7 Masehi, barulah pengeluaran uang ini disentralisasikan oleh
pemerintah waktu itu, meskipun sentra-sentra produksi berada di beberapa tempat, di antaranya
Damaskus, Afrika Utara (Ifriqiyyah), Spanyol (Andalusia) dan Mesir. Salah satu tokoh
sentralisasi pengeluaran uang itu adalah Walid bin Abdul Malik, yang memerintah di zaman
dinasti Bani Umayah antara 65H sampai 86H. (tamanni, 2002).
Lembaga-lembaga inilah yang menjalankan salah satu tugas bank sentral, yakni
memproduksi dan selanjutnya mendistribusikan uang, sehingga dalam kasus ini bolehlah
lembaga ini diasosiasikan sebagai bank sentral. Dengan asumsi ini, maka mungkin kita bisa,
menerima fungsi bank sentral sebagai pencetak uang, yang dalam konteks dinar islam tidak akan
terjadi Seignorage.
Kedua, bank sentral juga bertugas sebagai pengawas lembaga-lembaga keuangan yang
ada dan juga mengelola sistem keuangan negara agar senantiasa stabil dan terarah. Di antara
manifestasi dari fungsi regulasi dan supervisi ini adalah dengan menetukan kredit lending lemit,
mengharuskan setiap lembaga keuangan utuk memberi laporan berkaa kepada bank sentral dan
sebagainya.
Dilihat dari kacamata islam, maka aspek pengawasan dan regulasi sektor keuangan atau
perbankan ini akan jatuh ke dalam kewenanangan para muhtasib, atau secara bebas kita bisa
mengartikan sebagai pengawas pasar keuangan. Dalam pengertian sebenarnya, muhtasib dan
lembaganya, hisbah, mempunyai tugas yang relatif sempit dan terbatas. Dianatranya menurut
Essid (1995, hlm.118) dalam Tamanni (2002) adalah : mengawasi pasar, mengatur timbangan
dan sukatan, menjaga dari tindakan penipuan, mengatur harga, arbitrasi konflik antara penjual
dan pembeli, dan bahkan termasuk juga mengawasi jalan-jalan diperkotaan (urban roads).
Dalam konteks yang lebih luas, dan dengan perkembangan pasar yang sudah sedemikian
kompleks sekarang, ditandai dengan munculnya berbagai jenis pasar, maka kita bisa
8

menyandarkan posisi hisbah ini dalam konteks lembaga pengawas dan penyelia pasar-pasar
ekonomi yang ada sekarang. Baik itu pasar barang dan jasa, pasar tenaga kerja, pasar modal, dan
lain-lainnya. Sehingga salah satu aspek dari hisbah adalah megawasi jalannya aktivitas
perbankan dan keuangan agar berjalan lancar dan teratur, sebagaimana fungsi yang sekarang
dijalankan oleh bank sentral. Oleh karena itu, fungsi banking supervision dan regulation akan
lebih efektif sekiranya dikendalikan oleh institusi hibah, dan ini berarti kehadiran bank sentral
sebagai pengawas sistem moneter tidak diperlukan lagi.
Sebaiknya, institusi yang mempunyai kewenangan pengaturan ekonomi umat di masa
silam adalah baitulmal,dengan dilengkapi dan Dibantu sebuah lembaga yang mengawasi tindak
tanduk dan perilaku masyarakat dalam segala aspek, yaitu hisbah. Oleh karena itu, kalau kita
hendak menempatkan posisi otoritas moneter dalam konteks pemerintahan Islam yang ideal,
maka tempatnya adalah pada lembaga keuangan baitulmal (Treasury) dan hisbah (market
regulator) . akan lebih baik lagi bila kedua lembaga itu dilengkapi dengan beberapa lembaga lain
yang mengatur pelaksanaan fiscal dan moneter, yang semakin hari semakin kompleks.
C. Mengelola Kebijakan Moneter
Salah satu sebab terjadinya peredaran uang yang terlalu tinggi adalah terjadinya deficit
anggaran yang ditutup dengan pinjaman. Karena itu agar kebijakan moneter menjadi lebih
efektif, perlu koordinasi antara kebijakan moneter dan fiscal untuk mewujudkan tujuan-tujuan
nasional. Diperlukan suatu kebijakan anggaran yang tidak inflasioner dan realistis di Negaranegar muslim. Suatu pemerintahan muslim yang sungguh-sungguh berkomitmen pada
pencapaian sasaran, haruslah mampu melaksanakan satu kebijakan anggaran yang konsisten
dengan sasarannya. Ini penting bagi suatu pemerintahan muslim, karena pasar uang di Negara
muslim relative terbelakang saat ini (Chapra,2000).
Kebijakan moneter tidak dapat berperan efektif dalam meredam peredaran uang. Namun,
itu bukan berarti deficit anggaran tidak dimungkinkan. Paling tidak deficit anggaran boleh terjadi
sejauh memang diperlukan untuk suatu pertumbuhan jangka panjang yang berkesinambungan
dan kesejahteraan yang berbasis luas yang didukung oleh harga-harga yang stabil.
Menekan deficit anggaran bukanlah pekerjaan gampang.. Diantara penyebabnya adalah :

9

1. Sulitnya pemerintah meningkatkan pembiayaan yang memadai melalui perpajakan dan
sumber-sumber pemasukan noninflasioner lainnya untuk memenuhi pengeluaran
produktif dan penting lainnya.
2. Kurangnya kesediaan pemerintah untuk mereduksi secara substansial pengeluaran Negara
yang mubazir dan tidak produktif.
Suatu pemerintahan muslin haruslah berani menghapus kedua sumber deficit anggaran itu
agar lebih efektif dalam menjalankan kebijakan moneter.
Sesungguhnya, menghapus pengeluaran yang tidak produktif dan mubazir, merupakan
kewajiban muslim. Bagi pemerintah itu menjadi satu keniscyaan, karena mereka menggunakan
sumber daya yang disediakan oleh rakyat sebagai suatu amanah. Maka, menciptakan
pengeluaran yang tidak produktif dan mubazir bisa dianggap sebagai penghianatan terhadap
amanah itu. Sumber-sumber daya itu harus dimanfaatkan secara efisien dan efektif, dibarengi
dengan persaan tanggung jawab kepada Allah. Rasulullah SAW. Bersabda, “Siapa saja yang
sudah diberi amanah oleh rakyat tetapi tidak melaksanakannya dengan jujur, tidak akan mencium
bau surga.”
Setelah semua pengeluaran yang tidak perlu bisa dihilangkan,neraca pengeluaran pemerintah
dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni : (1) pengeluaran rutin (2) pengeluaran proyek (3)
pengeluaran darurat.
Semua pengeluaran rutin dapat didanai dari penerimaan pajak. Demikian pula dengan
proyek-proyek yang berorientasi komersial, dapat didanai dengan skema bagi hasil atau melalui
penjualan saham kepada lembaga-lembaga finasial dan public. Subsidi yang diperlukan orangorang miskin harus dipersiapkan dari penerimaan pajak, donasi atau qardhul hasan. Sedangkan
pembiayaan darurat, misalnya terjadi bencana besar atau perang, yang tidak dapat dibiayai
dengan kedua cara diatas, harus dibiayai dengan pinjaman wajib.
Sumber ekspansi moneter yang kedua adalah deposito “derivative” dari bank komersil
(Chapra,2000). Dalam system perbankan komersial, deposito dibagi menajdi dua bagian, yakni
deposito primer yang berbasis uang yang nyata ada dibank dan dibank sentral. Sedangkan bagian
kedua adalah “deposito derivative” yang dalam sebuah system cadangan proporsional mewakili

10

uang yang diciptakan oleh bank komersial dalam proses perluasan kredit dan merupakan sumber
utama ekspansi moneter.
Deposito derivative demikian akan menimbulkan peningkatan penawaran uang seperti halnya
mata uang yang dikeluarkan pemerintah atau bank sentral. Karena ekspansi ini persis seperti
deficit pengganti dalam output,makan ekspansi dalam deposito derifatif ini harus harys diatur
sedemikian rupa jika ingin pertumbuhan moneter yang diharapkan tercapai. Caranya adalah
dengan mengatur ketersediaan uang basis bagi bank-bank komersial. Dalam konteks
inilah,ketiadaan bunga menjadi sangat berguna.
Sumber ekspansi moneter yang ketiga adalah surplus neraca pembayaran. Namun
kenyataannya hanya sedikit Negara muslis yang mengalami surplus neraca pembayaran.
Sebagian besar lainnya mengalami deficit. Pada Negara yang mengalami surplus, ekspansi
moneter akan terjadi bila pemrintah menguangkan surplus dengan belanjakan secara domestic.
Semestinya,jika dalam suatu Negara mengalami surplus, pengeluaran pemerintah harus diatur
menurut kapasitas ekonomi untuk menghasilkan penawaran rill,segingga tidak ada inflasi yang
dihasilkan secara internal sebagai akibat terjadinya surplus neraca pembayaran.
Sedangkan dinegara-negara yang mengalami deficit, sumber utama deficit berasal dari
ekspansi moneter yang tidka sehat dibarengi dengan konsumsi mencolok dari sektor swasta dan
pemerintah melalui deficit transaksi berjalan dan kebocoran modal bawah tanah. Hal ini tidak
dapat dihapuskan tanpa reformasi sosiologi ekonomi pada tingkatan yang lebih dalam dan
kebijkan fiscal maupun moneter sesuai dengan ajaran-ajaran islam.
D. Instrumen Kebijakan Moneter
Meskipun tidak menerima sepenuhnya system yang ada sekarang, dengan beberapa
catatan kita bisa menggunakan Framework system keuangan dan moneter yang ada untuk kita
manfaatkan sepenuhnya demi kepentingan umat. Langkah ini perlu ditempuh mengingat tidak
adanya system moneter islami yang solid dan secara teoritis bisa diuji kemampuannya.
Instrument yang diperlukan untuk mengelola kebijakan moneter adalah satu kebijakan
moneter yang tidak saja akan membantu mengatur penawaran uang seirama terhadap permintaan
rill terhadap uang, tetapi juga membantu memenuhi kebutuhan untuk membiayai deficit
11

pemerintah yang benar-benar rill dan mencapai sasaran sosioekonomi masyarakat islam lainnya.
Terdapat sejumlah elemen untuk mengatur hal ini, diataranya (Chapra,2000) :
1. Target Pertumbuhan dalam M dam M0
Setiap tahun bank sentral harus menetukan pertumbuhan peredaran uang yang diinginkan (M)
sesuai dengan sasaran ekonomi nasional. Termasuk yang harus dipertimbangkan sebagai sasaran
ekonomi nasional adalah laju pertumbuhan ekonomi yang memadai dan berkesinambungan dan
mata uang yang stabil. Target pertumbuhan dalam M ini harus dilihat ulang setiap kuartal atau
kapan saja bila Diinginkan dengan melihat kinerja perekonomian dan tren variabel penting
lainnya. Pilihan periode ini dipilih karena umumnya kecepatan pendapatan uang dapat diprediksi
dengan tepat selama periode tersebut. Target ekonomi nasional sebaiknya tidak diubah-ubah ,
kecuali terjadi gejolak ekonomi, domestik, maupun eksternal.
Haruslah dipahami bahwa target perubahan M berkaitan erat dengan pertumbuhan dalam
M0 atau uang berdaya tinggi yang didefinisikan sebagai mata uang dalam sirkulasi ditambah
deposito pada bank sentral, maka bank sentral harus mengatur ketersediaan dan pertumbuhan
M0. Tentu saja ini menuntut satu kebijakan

fiskal yang berorientasi kepada sasaran dan

pengaturan yang tepat terhadap akses lembaga keuangan untuk mendapatkan kredit dari bank
sentral.
Berkaitan dengan pengaturan M0 ini, sumber-sumber daya yang dapat diturunkan dari
kekuatan ini harus dimanfaatkan untuk memenuhi sasaran-sasaran masyarakat islam yang
berorientasi kepada kesejahteraan sosial. Sumber daya itu harus dimanfaatkan terutama untuk
membiayai proyek yang mewujudkan tujuan-tujuan umat yang merupakan satu saudara, yang
tidak dapat dipisahkan oleh kesenjangan pendapatan dan kekayaan.
Untuk mewujudkan tujuan di atas, bank sentral harus bisa membagi M0 secara
proporsional kepada pemerintah, bank komersial dan lembaga keuangan khusus. Proposional itu
ditentukan oleh kondisi perekonomian, sasaran-sasaran ekonomi islam dan keinginan kebijakan
moneter.

12

Sebagian dari M0 diberikan kepada pemerintah untuk membiayai proyek-proyek
kepentingan sosial, termasuk penyediaan perusahaan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan bagi
yang miskin.
Sebagai M0 diberikan pada bank-bank komersial, pada umumnya dalam bentuk pinjaman
mudarabah tanpa diskonto. Jumlahnya harus memadai untuk memungkinkan bank-bank
komersial membiayai aktivitas pertumbuhan ekonomi yang diinginkan dalam sektor swasta tanpa
menimbulkan kondisi inflasioner. Proyek-proyek yang didanai harus sesuai dengan
perekonomian islam. Sebagian laba yang diperoleh bank sentral dari pembiayaan itu. Harus
diberikan kepada pemerintah untuk digunakan membiayai proyek-proyek yang ditujukan untuk
menghilangkan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan pendaptan dan sebagian disimpan oleh
bank sentral untuk memenuhi kebutuhannya.
Sebagian M0 lagi diberikan kepada lembaga-lembaga khusus, harus juga dalam bentuk
pinjaman mudarabh. Ia harus digunakan terutama untuk membiayai aktivitas produktif seperti
wirausaha, petani, industri, rumah tangga dam pembiayaan bisnis kecil lainnya. Bisnis-bisnis ini
sebenarnya prospektif namun tidak mendapatkan dana yang cukup dari bank-bank komersial.
2. saham publik terhadap deposito unjuk (uang giral)
Sebagian uang giral bank komersial, sampai ukuran tertentu, misalnya 25 persen, harus
dialihkan kepada pemerintah untuk membiayai proyek-proyek yang bermanfaat secara sosial,
dimana prinsip bagi hasil tidak layak diterapkan dalam kondisi itu. Ini merupakan tambahan dari
jumlah yang dilimpahkan oleh bank sentral kepada pemerintah untuk melakukan ekspansi basis
moneter (M0). Salah satu caranya adalah dengan mengalihkan sebagian deposito unjuk yang
dimobilisi kepada perbedaharaan publik untuk membiayai proyek-proyek yang bermanfaat
secara sosial, tanpa memaksakan beban kepada pundak publik lewat pajak yang dikumpulkan.
Rasio 25 seperti yang disebutkan di depan adalah batas maksimal dalam keadaan normal.
Dalam keadaan khusus seperti kondisi darurat nasional atau ketika pemerintah harus berperan
sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi yang sedang menurun, angka rasio itu dapat dilampaui.
Ketika resesi, bank-bank cenderung mengalami kelebihan likuiditas, sehingga penggunakan
pemerintah yang lebih besar terhadap deposito unjuk akan membantu sementara kepada bankbank komersial, dalam memobilisasi dan mencicil deposito itu.
13

3. cadangan wajib resmi
Bank-bank komersial diwajibkan menahan suatu propinsi tertentu, misalnya 10-20
persen, dari deposito unjuk mereka dan disimpan di bank sentral sebagai cadangan wajib. Bank
sentral harus menanggung ongkos memobilisasi deposito ini kepada bank-bank komersial, persis
seperti pemerintah menanggung ongkos memobilisasi 25 persen deposito unjuk yang dialihkan
kepada pemerintah. Cadangan resmi ini dapat divariasikan oleh bank sentral dengan anjuran
kebijakan moneter.
Alasan di balik cadangan wajib hanya diberlakukan kepada deposito unjuk, adalah sifat
ekuitas deposito mudarabah dalam sebuah perekonomian islam. Mengingat bentuk ekuitas lain
dikecualikan dari cadangan wajib resmi, tak ada alasan untuk mewajibkan modal yang lebih
tinggi, adanya aturan yang lebih baik dan dijalankan dengan sistem pengujian bank yang efektif.
Dana-dana yang diterima oleh bank sentral melalui kewajiban cadangan resmi dapat
digunakan untuk dua hal. Sebagian dana harus digunakan oleh bank sentral untuk melayani
pinjaman sebagai leader of the last resort. Bank sentral dapat bertindak sebagai leader of resort
dalam batas-batas tertentu yang telah disepakati. Untuk menghindari penggunakan fasilitas ini
secara tidak benar. Dalam situasi ini kritis, bank sentral dapat melampaui batas-batas ini, tentu
dengan sanksi-sanksi, peringatan serta program koneksi yang sesuai.
Selain itu cadangan resmi dapat diinvestasikan oleh bank sentral. Bank sentral harus
menemukan ladang-ladang alternatif bebas bunga untuk investasi.
4. pembatas kredit
Alat-alat seperti yang disebutkan di atas akan mempermudah bank sentral dalam
melakukan ekspansi yang diinginkan pada uang berdaya tinggi, sampai pada eskpansi yang
melebihi batas yang diinginkan. Masalahnya, pertama tidaklah mudah memnetukan secara akurat
kucuran kredit kepada sistem perbankan, selain yang telah disediakan oleh pinjaman mudarabah
bank sentral, terutama dalam sebuah pasar uang yang masih kurang berkembang seperti yang ada
di neagar-negara muslim. Kedua, hungungan antara cadangan bank komersial dan ekspansi
kredit tidak akurat benar. Perilaku sirkulasi uang merefleksikan sebuah interaksi yang kompleks
oleh berbagai faktor internal dan eksternal perekonomian. Karena itu perlu menetapkan batasan
14

pada kredit bank komersial untuk menjamin, bahwa penciptaan kredit total adalah konsisten
dengan target-target moneter. Dalam alokasi batasan di antara bank-bank komersial secara
individu, perlu dilakukan secara hati-hati, sehingga terwujud kompetisi yang sehat di antara
bank-bank komersial itu.
5. alokasi kredit (pembiayaan) yang berorientasi kepada nilai
Mengingat kredit bank terjadi karena dana yang dimiliki oleh publik, kredit harus
dialokasikan dengan bijak agar bisa membantu mewujudkan kemaslahatan umat. Kriteria untuk
alokasi ini, seperti dalam kasus sumber-sumber daya yang disediakan Allah pada umumnya,
harus mewujudkan sasaran masyarakat islam dan kemudian memaksimalkan keuntungan pribadi.
Hal ini dapat dicapai dengan menjamin bahwa :


Alokasi kredit akan menimbulkan suatu produksi dan distribusi optimal bagi
barang dan jasa yang diperlukan oleh sebagian besar anggota masyarakat.



Manfaat kredit dapat dirasakan oleh sejumlah besar kalangan bisnis di
masyarakat.

Cara yang tepat untuk mencapai tujuan pertama adalah dengan mempersiapkan suatu
perencanaan yang berorientasi kepada nilai dan kemudian menyambungkan perencanaan ini
dengan sistem perbankan komersial untuk implementasi yang efisien. Pendekatannya harus
pertama, menjelaskan kepada bank-bank komersial tentang sektor dan area ekonomi mana yang
harus didorong lewat pembiayaan bank-bank komersial dan apa sasaran-sasaran yang harus
diwujudkan.

Kedua; Mengadopsi tindakan-tindakan institusional asalkan dalam keragaman

nilai-nilai Islam. Alasan perbankan komersial yang hanya mengalokasikan sebagian kecil
pembiayaan kepada sektor usaha kecil dan menengah, adalah karena risiko yang lebih besar dan
biaya yang dilibatkan dalam pembiayaan itu. Maka usaha kecil sulit mendapatkan pembiayaan
dari perbankan komersial, kalaupun mendapatkan biasanya dengan persyaratan yang mencekik,
dalam bentuk ongkos dan kolateral. Akibatnya pertumbuhan usaha kecil

terganggu meski

mereka memiliki potensi menyerap tenaga kerja, memasok output dan memperbaiki distribusi
pendapatan.

15

Namun resiko itu sesungguhnya dapat dikurangi menggunakan satu skim jaminan
pinjaman yang sebagian dijamin oleh pemerintah dan sebagian oleh bank komersial. Dalam hal
bank-bank Islam, skim jaminan tidak dapat menjamin pengembalian utang dengan bunga seperti
dalam kasus bank-bank konvensional. Melalui skim ini, usaha kecil akan mendapatkan pelatihan
memadai dalam hal manajemen, sehingga nantinya mereka siap diaudit kapan saja. Dengan
demikian usaha kecil dapat memperoleh pembiayaan tanpa harus menyerahkan kolateral. Di sisi
lain bank pun mendapatkan jaminan memperoleh uangnya kembali ketika terjadi moral hazard.
Biaya tambahan yang ditetapkan pemerintah dalam melakukan evaluasi dan pembiayaan
kepada usaha kecil harus dapat diganti sebagian atau seluruhnya oleh pemerintah. Ongkos ini
harus ditanggung pemerintah dengan alasan, karena skim di atas dijustifikasi dengan mengikuti
kepentingan yang lebih besar dari tujuan-tujuan ekonomi Islam.
6. Teknik Lain
Bank sentral melalui kontak personalnya, konsultasi dan rapat dengan bank-bank
komersial, dapat saling bahu-membahu

menjaga kekuatan dan memecahkan persoalan

perbankan serta memberikan saran kepada mereka dengan tindakan-tindakan yang diperlukan
untuk mengatasi kesulitan dan mencapai tujuan yang diinginkan.
Di luar instrumen suku bunga dan operasi pasar yang biasa digunakan oleh sistem
perbankan konvensional, setidaknya terdapat tiga instrumen yang dapat dipakai oleh bank sentra
untuk menciptakan suatu dampak yang lebih langsung pada cadangan bank-bank komersial,
yakni: uang giral pemerintah yang terdapat pada bank-bank komersial; persetujuan tukarmenukar mata uang asing oleh bank sentral dengan bank komersial; dan “pengumpulan umum”.
Sekiranya cadangan bank-bank komersial ingin ditingkatkan atau dikurangi, bank sentral bisa
saja jika diberi kekuasaan untuk berbuat demikian menggeser uang giral pemerintah ke atau dari
bank komersial. Dengan demikian, akan memengaruhi cadangan mereka secara langsung.
Efek yang sama juga dapat dicapai dengan penggunaan perjanjian mata uang asing. Bank
sentral dapat menukar mata uang lokal dengan valuta asing ketika bank merasa tertekan, dengan
berusaha bahwa bank tersebut akan membeli kembali valuta dari bank sentral setelah melalui
suatu periode tertentu dengan laju pertukaraan yang berlaku. Selisih antara laju pembelian oleh
bank sentral dan pembelian kembali dapat diatur oleh bank sentral untuk menjustifikasi
16

kemampuan cadangan bank-bank komersial yang dikehendaki. Namun sesuai dengan koridor
syariah, fasilitas ini tidak diperkenankan bagi bank-bank yang hendak melakukan spekulasi.
Instrumen ketiga yang dapat dipakai secara efektif untuk tujuan kebijakan moneter oleh
bank sentrl adalah “penghimpunan umum”. Ini semacam perjanjian kooperatif antara bank-bank
dalam naungan bank sentral untuk menyediakan keringanan kepada bank-bank pada saat
menghadapi persoalan likuidasi.
Di samping tiga instrume di atas, Umer Chaptra (2000) juga menyarankan menggunakan
tiga instrumen berikut, yang menurutnya telah banyak disarankan oleh literatur perbankan Islam,
yakni:
a. Membeli dan menjual saham dan sertifikat bagi hasil untk menggantikan obligasi
pemerintah dalam operasi pasar
b. Rasio pemberian kembali pembiayaan.
c. Rasio pemberia pinjaman.
Ketidaktersediaan sebagai instrumen tradisional kebijakan moneter tidak harus menimbulkan
persoalan serius dalam mengelola suatu kebijakan moneter yang efektif dengan syarat bahwa
realisasi uang berdaya tinggi diatur dengan baik pada pusatnya. Hal ini dengan sendirinya
mengandung arti bahwa dalam sistem Islam, seperti juga sistem-sistem lain, kerja sama yang
baik antara bank sentral dengan pemerintah sangat diperlukan. Apabila pemerintah memang
tidak berniat mempertahankan stabilitas harga sebagai satu sasaran kebijakan, maka mustahil ia
akan memiliki suatu kebijakan moneter yang efektif. Manakala uang berdaya tinggi telah dapat
diatur pada pusatnya, beberapa penyesuaian diperluakn karena kondisi perekonomian atau
karena terjadi kesalahan dalam memprediksi

harus dilakuakan oleh bank sentral melalui

penggunaan instrumen yang ada padanya.
MUSYAWARAKAH SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER (BELAJAR
DARI SUDAN)
Salah satu ijtihad menarik berkaitan dengan upaya mewujudkan sistem kebijakan
moneter yang Islam adalah penggunaan instrumen musyarakah, sebagai pengganti instrumen
17

bunga dalam kebijakan moneter. Skema musyarakah sebagai instrumen kebijakan moneter
pertama kali diterapkan oleh Bank Sentral Sudan (BOS). Untuk urusan ini, BOS mendirikan
sebuah perusahaan dana yang bertugas khusus untuk mengelola keseluruhan kegiatan operasi
moneter BOS.
Secara ringkas, aplikasi musyarakah dalam kebijakan moneter ini dijabarkan dalam
bentuk surat berharga musyarakah, atau Central Bank Musyarakah Certificate (COC). COC ini
merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh bank sentral berdasarkan jumlah dan porsi
kepemilikan dalam bank-bank komersial. Sekuritas ini kemudian akan dijual kepada pub;ik, dan
terutama sekali lembaga keungan secara lelang terbuka, untuk mengawal aliran likuiditas
domestik melalui operasi pasar.
Dalam hal ini, bank sentral beroperasi dalam dua transaksi musyarakah, pertama, dengan
bank di mana sahamnya dibeli dan dimiliki oleh bank sentral; kedua, dengan investor (yang
kebanyakan bank juga) yang membeli COC. Oleh karena itu, bank sentral akan membagi
keuntungan yang diperolehnya dari deviden, kepada pemegang COC secara proporsional.
Selanjutnya, vaiasi lain dari apa yang dilakukan BOS adalah pembelian saham dan
kepemilikan perusahaan-perusahaan nonkeuangan oleh bank sentral, baik secara musyarakah
maupun mudarabah. Dalam konteks sistem ekonomi Islam, ini juga bisa dilakukan oleh
baitumal, atau lembaga-lembaga lainnya. Bila ini dilakukan, maka tugas bank sentral dalam
mencapai sasarannya akan lebih mudah dilaksanakan. Karena, dengan menjadi pemilik
perushaan sektor riil, maka bank sentral bisa mengontrol, misalnya, tingkat pengangguran
dengan menyalurkan dananya ke sektor-sektor padat karya. Sebaliknya, apabila pertumbuhan
ekonomi adalah prioritas, maka bank sentral bisa mengikat kontrak musyarakah dengan
perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang sasaran, misalnya industri yang dianggap
mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi.
Namun teryata sistem ini juga mengndung kritik dari sejumlah pakar ekonomi Islam, di
antaranya Umer Chapra. Chapra memandang negatif pengguanaan penyertaan ekuitas sebagai
alat kebijakan moneter, meskipun kritik Chaptra lebih kepada penggunaan musyarakah dan
mudharabah dalam open market operation. Di antara kritik Chapra adalah, pertama, kepemilikan
atau keterlibatan dalam transaksi di bursa oleh bank sentral terhadap saham-saham emiten
18

swasta mempunyai masalah. Bukan saja transaksi ini bisa menimbulkan distorsi terhadap pasar,
tetapi motif bank sentral sendiri bisa dipertanyakan, kecuali kalau yang diperjual belikan adalah
saham-saham perusahaan pemerintah.
Kedua, Chapra menilai penggunaan instrumen ekuitas tidak memadai bagi tujuan
kebijakan moneter, karena instrumen ini tidak punya pengaruh yang besar sebagaimana obligasi
pemerintah, misalnya. Dengan obligasi atau surat berharga lainnya, bank sentral mampu
memanipulasi jumlah uang beredar secara lebih efektif. Sedangkan pemebelian saham
perusahaan dengan sistem bagi hasil, dampaknya terhadap peredaran uang sangat kecil dan
cenderung memakan waktu lebih lama.
Terakhir, tindakan bank sentral yang ikut serta membeli saham bisa menimbulkan korupsi
dan iregulatis lainnya, seperti moral hazart,principal agency problem, dan sebagainya.
Kemudian pada akhirnya, hanya akan menggagalkan maksud bank sentral yang sebenarnya,
yaitu mencapai target dan sasaran yang sesuai dengan strategi kebijakan moneternya. Yang teradi
malah distorsi pasar dan ketidakpastian.
Berbeda dengan Chapra, Mohammad Uzair justru melihat beberapa kelebihan dari
aplikasi sistem ini dalam kebijakan moneter. Pertama, keterlibatan langsung bank sentral dalam
kepemilikan sebuah bank, atau jenis perusahaan lain, akan memberikan leverage terhadap bank
sentral. Ini akan lebih efektif dalam kasus musyarakah antara bank sentral dan bank komersial
atau lembaga keuangan lain yang berada di bawah kewenangan bank sentral. Sebab penyertaan
saham bank sentral di lembaga-lembaga tadi akan memastikan setiap kebijakan dan peraturan
bank sentral dipatuhi karena hanya dengan kepatuhan dan kerjasama bank dan lembaga
keuanganlah, kebijakan moneter bisa efektif.
Kedua, hubungan yang rapat antara bank sentral dengan bank-bank komersial akan
menciptakan suasana kondusif bagi tercapainya pertumbuhan yang sehat dalam industri
perbankan. Di mana setiap permasalahan yang dialami oleh sektor perbankan, akan dideteksi
oleh bank sentral melalui keterlibatannya dalam kepemilikan bank.
Menurut Uzair, penyertaan ekuitas dalam pengoperasian bank sentral bukanlah hal baru.
Malahan Federal Reseerve System merupakan bank sentral yang didirikan bank-bank komersial
(member bank) yang ada waktu itu, yakni pada tahun 1913. Keseluruhan saham dan modal awal
19

dari ke-12 bank Federal Reserve dimiliki dan di-subscribe oleh bank-bank dan lembaga
keuangan seluruh Amerika yang umumnya milik swasta.
Namun, seperti kita paham dari uraian Uzair terdahulu, yang ditawakan sebagai model
bank sentral islam adalah kebalikan dari yang dipraktikkan di Amerika. Yaitu, bank sentrallah
yang akan memiliki (sebagian dari) saham-saham bank-bank komersial yang ada. Ini bisa
dilakukan dengan konsep musyarakah, seperti yang telah diuraikan secara panjang lebar di atas.
Berdasarkan peraturan perundangan perbankan yang ada tidaklah sulit untuk menerapkan
konsep musyarakah sebagai bagian yang inheren dalam pelaksanaan kebijakan moneter, bahkan
fiskal. Dengan mengambil yang dipraktikkan Sudan, Bank Indonesia (BI) mungkin bisa
memulainya dengan membeli saham-saham bank syariah yang ada. Bila ini dilakukan, maka
sektor perbankan syariah akan menikmati banyak faedah dan keuntungan. Di antaranya adalah
meningkatnya keyakinan masyarakat terhadap bank syariah serta bertambah mentapnya struktur
model perbankan syariah secara keseluruhan. Selain itu, dengan hadirnya BI sebagai pemilik,
maka bank syariah sebagai bank terpercaya akan meningkat. Betapa pun, alternatif ini patut
dikaji dan dipertimbangkan.
MENGELOLA MONETER GAYA AL-MAQARIZI
Memahami pemikiran Al-Maqrizi sungguh suatu keindahan tersendiri. Murid kesayangan
Ibnu Khaldun ini selain dikenal sebagai ahli fiqih dan ulama, ia lebih dikenal sebagai ekonom
karena uraian dalam bukunya yang bertajuk Ighatsatul Ummuh bi Kasyfil Ghummah. Kitab ini
juga dinamakan Tarikh Maja-at fi Misr.
Namun justru di bagian terakhir inilah sebagai kelebihan Al-Maqrizi. Ia menunjukkan
dirinya sebagai analis luar biasa di bidang ekonomi. Pemahamannya di bidang ini sangatlah luas.
Ia berbicara tentang mikroekonomi, makroekonomi, ekonomi pembangunan, inflasi, uang,
anggaran negara, pasar, bahkan ia berbicara tentang indeks harga yang ia rekam pada masa
hidupnya di Mesir. Pikiran-pikiran Al-Maqrizi di bidang ekonomi sangat kaya, luas, rinci, ilmiah
dan modern.
Al-Maqrizi yang memiliki nama lengkap Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir bin Ibrahim AlMaqrizi, juga dikenal dengan sebutan Taqiyyudin. Beliau berasal dari Syam dan dilahirkan pada
20

tahun 768 H dan meninggal di Kairo, Mesir pada tahun 845 H. Selama beberapa tahun ia pernah
menetap di Maqarizah. Karena itulah ia kemudian dikenal juga dengan nama Al-Maqrizi.
Sepanjang 79 tahun usianya, beliau mengalami empat era kekhalifahan dalam dinasti Albaniyah
II, yakni dimulai dari Khalifah al-Mutawakkil, al-Musta’in, al-Mu’tadhid II, dan terakhir alMustakfi II.
Keahlian

dan

kepakaran

Al-Maqrizi

dalam

memahami

persoalan-persoalan

makroekonomi terutama aspek moneternya merupakan keunggulannya tersendiri dibandingkan
dengan ulama fikih lainnya. Ia tidak saja jeli, teliti, dan kritis terhadap fenomena makroekonomi
pada zamannya, melainkan juga tampil ke depan memberikan solusi yang didasarkan pada
pemahamannya yang benar tentang pesan-pesan syariat dalam bidang tersebut.
Mesir di masa Al-Maqrizi adalah Mesir yang tengah mengalami masa surut.
Perekonomiannya secara umum sangatlah parah, produksi bahan makanan dan cadangannya
tidak mencukupi kebutuhan penduduk yang terus meningkat. Hal ini menimbullkan kelangkaan
bahan-bahan kebutuhan pokok sehingga mengakibatkan kelaparan masal di Mesir, sesuatu yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Penyebabnya tak lain karena administrasi pemerintahan yang
tidak efisien dan sangat korup. Praktik suap menyuap, komersialisasi jabatan, korupsi, kolusi dan
nepotisme tumbuh subur di dalamnya dan pada saat yang sama diberlakukan pajak represif oleh
pemerintah yang tidak accountable terhadap rakyat, sehingga menjadi kontraproduktif bagi
petani. Inilah yang menyebabkan kemerosotan yang sangat tajam dalam produksi pertanian
sebagai sektor kehidupan yang paling dominan saat itu.
Untuk menganalisis krisis itu dan mencari sebab-sebabnya, Al-Maqrizi menggunakan
analisis gurunya, Ibnu Khaldun. Sebelumnya Ibnu Khaldun memang telah mencari korelasi
antara pemerintahan yang buruk dan harga saham gandum yang tinggi, untuk mencari tahu
hubungan sebab akibatnya. Ia menemukan, ketika administrasi publik menjadi buruk dan tidak
efisien antara lain ditandai dengan munculnya sistem perpajakan yang memaksa dan menindas
petani-petani tidak memiliki insentif dan merasa tidak ada untungnya bercocok tanam. Kebijakan
perpajakan menjadi sesuatu yang kontraproduktif bagi pertanian. Akibatnya produksi dan
persediaan gandum gagal berpacu dengan kenaikan jumlah penduduk sebagai akibat
meningkatnya kemakmuran kala itu. Kelangkaan persediaan itu menyebabkan kekurangan
pasokan di masa paceklik, sehingga menyebabkan naiknya harga.
21

Ternyata di masa hidupnya, Al-Maqrizi menjumpai situasi yang sama seperti dialami
Ibnu

Khaldun.

Dalam

bukunya,

Ighatsah,

ia

meminjam

analisis

gurunya

dengan

mengidentifikasi bahwa administrasi politik menjadi sangat lemah dan buruk pada saat itu.
Pegawai pemerintah bisa menduduki jabatannya karena memberikan suap. Akibatnya ketika
menjabat, orang yang menyuap tadi kemudian menerapkan pajak yang menindas untuk menutup
ongkos yang telah dikeluarkannya untuk menyuap. Dorongan untuk bekerja dan memproduksi
menjadi bertolak belakang dan hasil produksi menurun krisis diperburuk oleh penurunan nilai
mata uang, karena pengeluaran mata uang tembaga (fulus) yang berlebihan untuk
menutupidefisit anggaran negara. Faktor-faktor ini

ditambah dengan paceklik mendorong

kepada tingginya derajad inflasi, penderitaan rakyat kecil, dan kemiskinan negara.
Karena itu Al-Maqrizi membentangkan variabel-variabel sosioekonomi dan politik
dengan menunjukkan sejumlah persoalan seperti korupsi, kebijakan pemerintah yang buruk dan
tidak populer dan administrasi yang lemah sebagai determinan utamanya. Ini semua berperan
penting dalam memperburuk dampak kemerosotan produksi nasional terutama bahan-bahan
kebutuhan pokok. Yang hendak dikemukakan oleh Al-Maqrizi adalah bahwa kondisi
perekonomian yang sudah begitu buruk sebenarnya dapat dipulihkan tanpa harus melakukan
gebrakan-gebrakan yang seringkali justru merugikan kepentingan rakyat dan mengurangi tingkat
kesejahteraan secara umum. Kesimpulannya, kesalahan dalam mengatur perekonomian ditambah
pemerintah yang tidak memiliki legitimasi, bertanggungjawab pada penderitaan rakyat miskin
selama musim paceklik dan bencana al