Membangun dari Bawah Strategi Adaptasi d

MEMBANGUN DARI BAWAH: STRATEGI ADAPTASI DAN MITIGASI
PERUBAHAN IKLIM DI KOMUNITAS PESISIR1
Dedi Supriadi Adhuri, Happy Indarto, Ratna Indrawasih, Sudiyono dan Ana Windarsih
----------------------Pendahuluan
Dampak perubahan iklim telah nyata terjadi, bukan lagi prediksi. Indonesia sebagai negara
kepulauan sudah merasakan kerentanan dampak tersebut, terutama bagi wilayah dan
komunitas pesisir. Rob yang semakin meluas, gelombang tinggi, intrusi laut semakin ke darat
menyebabkan kerusakan infrastruktur di laut dan di pantai, gagal panen hingga mengancam
ketahanan pangan, mata pencaharian maupun kualitas lingkungan hidup mereka. Penelitian
ini mencoba menjelaskan dampak perubahan iklim, strategi adaptasi yang sudah dilakukan
serta mengkoneksikan di antara berbagai stakeholder terkait, hingga mampu mewujudkan
kolaborasi dalam menghadapi perubahan iklim.
Penelitian difokuskan di Desa Kalibuntu Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi Penelitian

Secara topografi Desa Kalibuntu merupakan daerah yang rendah, sehingga luas genangan
rob menjadi lebih rawan dibanding daerah pesisir lain; kerugian sosial ekonomi akibat rob
maupun abrasi menjadi lebih besar; atas data angin 10 tahun, prediksi gelombang dan
oseanografi fisika mempunyai tipe semidiurnal, artinya dua kali pasang dan dua kali surut;
1


Tulisan ini terlah diterbitkan sebagai satu chapter pada Santoso, Heru (2014). Membangun Stategi Adaptasi
Perubahan Iklim. Bandung: Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Hal. 123139.
1

serta memori social masyarakat menginformasikan bahwa pantai sudah mengalami
kemunduran, di beberapa bagian mencapai ratusan meter, sehingga perlu mendapatkan
perhatian lebih. Permasalahan utama di desa Kalibuntu yang terkait dengan adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim adalah abrasi dan rob.
Tahun pertama penelitian (2012) difokuskan pada identifikasi permasalahan yang berkaitan
dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah dan komunitas pesisir. Sementara
tahun kedua mendalami permasalahan terkait gejala perubahan iklim dan dampak yang telah
dialami oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan strategi adaptasi
yang telah dilakukan oleh masyarakat. Di samping itu, mencoba untuk menjembatani koneksi
dan interaksi antara stakeholder terkait perubahan iklim sedemikian rupa, sehingga mereka
bisa berkolaborasi untuk mengembangkan strategi adaptasi dan mitigasi secara kolaboratif.
Metodologi: Pendekatan, data dan tahapan kerja
Asumsi dasar dari penelitian ini adalah bawah pembangunan yang dilakukan secara top-down
cenderung gagal memenuhi tujuannya, alternatif untuk mengatasi masalah ini adalah
penerapan pola pembangunan yang bottom-up (Silitoe, Bicker dan Potter 2002, tanpa no
halaman). Penelitian yang berorientasi action ini merupakan sebuah ujicoba alternatif

pendekatan bottom- up dalam konteks perubahan iklim. Oleh karenanya, selain
mengumpulkan informasi tentang perubahan iklim dan dampaknya, penelitian ini juga
mencoba melibatkan stakeholder terkait untuk memahami bersama masalah perubahan iklim
dan menginisiasi kolaborasi untuk pengembangan adaptasi dan mitigasinya.
Ada empat konsep pokok yang menjadi guidlines utama penelitian ini, perubahan iklim,
dampak perubahan iklim, adaptasi dan mitigasi. Sebelum membahas tahap-tahap penelitian,
kami akan secara singkat menjelaskan posisi penetilian ini terhadap konsep-konsep ini. Untuk
konsepsi clmate change, kami mengadopsi definisi berikut ‘any change in climate over time,
whether due to natural variability or as a result of human activity’ (IPCC 2007). Berbeda
dengan konsepsi IPCC sebelumnya, konsepsi ini telah mengakui bahwa perubahan iklim
tidak hanya disebabkan oleh aktifitas manusia, tetapi juga proses-proses yang terjadi di alam.
Penelitian ini tidak secara khusus mengukur intensitas maupun kualitas perubahan iklim
secara kuantitatif, tetapi hanya mencoba menggali perspepsi masyarakat. Konsep dampak
perubahan iklim mengacu pada gejala yang terjadi sebagai akibat dari perubahan-perubahan
karakter iklim. Dampak perubahan iklim bisa mengenai alam maupun kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Penelitian ini juga mengadposi konsepsi adaptasi dan mitigasi yang longgar.
Adaptasi kami pahami sebagai the adjustment in natural or human systems in response to
actual or expected climatic stimuli or their effects, which moderates harm or exploits
beneficial opportunities (IPCC 2007). Satu hal yang harus dibarisbawahi dalam pengertian ini
adalah bahwa penyesuaian alam maupun manusia yang dimasukkan sebagai adaptasi adalah

baik penyesuaian terhadap perubahan iklim atau dampaknya yang sudah terjadi maupun yang
diprediksi akan terjadi. Untuk hal yang pertama, karena gejala dan impak perubahan iklim
sudah terasa, kebutuhan untuk mengukur kerentanan (vulnerability) tidak merupakan hal
yang utama, sementara untuk adaptasi sebagai respon terhadap kemungkinan yang akan
dating membutuhkan kajian kerentanan dan scenario perubahan iklim. Penelitian ini tidak
melakukan kajian vulnerability maupun scenario perubahan iklim, karena itu orientasinya
lebih focus pada response terhadap gejala dan dampak yang sudah dirasakan masyarakat.
Konsepsi yang longgar juga kami adopsi untuk pemahaman tentang mitigasi. Pada intinya,
mitigasi kami pahami sebagai ‘actions that reduce the flow of greenhouse gases into the
atmosphere and, thereby, change the probability distribution over future climate states,’

2

(Heal dan Kristöm, 2002)2. Aksi ini wujudnya dua yakni mengurangi luaran gas karbon dan
methan ke alam dan meningkatkan seraban terhadap karbon (carbon zink).
Sementara itu, dengan mengadopsi konsepsi Andrew dkk (2007) tentang pengelolaan
perikanan adaptif, kami mengangap kerja pengelolaan pesisir berorientasi adaptasi/mitigasi
perubahan iklim bisa dilaksanakan dengan empat tahap yang siklikal (Gambar 2).
 Tahap pertama adalah tahap diagnosis. Pada intinya tahap ini merupakan rangkaian
kegiatan untuk mengumpulkan informasi terkait perubahan iklim, dampaknya serta

potensi dan hambatan adaptasi dan mitigasi.
 Tahap kedua adalah tahap penyusunan rencana adaptasi/mitigasi. Tahap ini
merupakan proses pengolahan data-data yang dikumpulkan pada tahap pertama dan
menterjemahkannya ke dalam rancangan adaptasi/mitigasi. Identifikasi terhadap opsiopsi adaptasi/mitigasi dan rencana aksi serta identifikasi indikator-indikator
keberhasilan merupakan hasil akhir dari tahap ini.
 Tahap ketiga , adalah kegiatan implementasi dari rencana aksi yang sudah dirumuskan
pada fase ke dua.
 Tahap keempat adalah evaluasi terhadap hasil dari implementasi rencana
adaptasi/mitigasi. Hasil dari evaluasi ini akan menjadi feed back untuk peningkatan
adaptasi/mitigasi.
Selain tahap-tahapannya yang siklikan, issue yang juga penting dalam perspektif ini
adalah partisipasi. Perspektif pengelolaan adaptif mengharuskan pelibatan stakeholder
yang berimbang pada setiap tahap pekerjaan. Jika inisiatif pengelolaan berawal dari pihak
luar, maka partisipasi stakeholder local diarahkan untuk semakin intensif sejalan tengan
tahap-tahap pengelolaan. Hal ini harus dilakukan karena pada akhirnya pihak luar akan
keluar dar ikonteks pengelolaan itu sendiri.

Gambar 2. Skema Langkah Pengelolaan Pesisir

2


Pengukuran yang detail tentang perubahan iklim adaptasi dan mitigasi, selalu mencakup pengukuran tentang
vulnerability dan adaptive capacity, climate scenario dan lain-lain. Pemahaman tentang konsep-konsep dasar in
ibisa dilihat di Fäussel, Hans-Martin (2007) dan Brooks, Nick (2003).
3

Hasil dan pembahasan
Indikasi perubahan iklim dan dampaknya
Case, Ardiansyah dan Spector (non-dated) dalam kajiannya menyimpulkan bahwa perubahan
iklim di Indonesia sudah dan akan terus terjadi. Untuk yang pertama, mereka menyebutkan
rata-rata tahunan suhu udara naik sekitar 0.3°C, curah hujan rata-rata tahunan juga telah
turun sebanyak 2-3%, pola waktu hujan juga sudah bergeser –penurunan rata-rata hujan
tahunan di daerah Selatan dan peningkatan di daerah utara. Pola musim hujan dan panas juga
telah berubah –musim hujan di daerah selatan telah meningkat, sementara hujan di musim
kering di bagian utara telah menurun. Mengutip Hulme dan Sheard (1990), Boer dan Faqih
(2004) serta Naylor et al. (2007), mereka juga mengemukakan ke depannya akan terjadi
peningkatan suhu udara sektiar 0,2 sampai 0,3°C per dekade. Akan ada peningkatan curah
hujan di kebanyakan kepulauan Indonesia kecuali di daerah selatan di mana diperkirakan
akan turun sampai 15 persen. Ditengarai pula akan terjadi perubahan pola curah hujan;
bagian Sumatra dan Kalimantan akan menjadi 10-30% lebih basah pada tahun 2080an pada

bulan Desember-Februari; Jakarta diproyeksikan akan 5-15% lebih kering pada bulan JuniAgustus. Pergantian musim akan mundur 30 hari, 10% peningkatan curah hujan pada bulan
April-Juni, dan sampai 70% penurunan pada Juli-September.
Penelitian ini tidak mengukur secara kuantitatif intensitas perubahan iklim yang telah terjadi
di Probolinggo (Kalibuntu), tetapi menggali persepsi dan indikasi yang dirasakan dan
dialami masyarakat. Dalam hal ini, baik informan yang diwawancarai maupun peserta diskusi
terfokus mengatakan bahwa mereka telah merasakan hari-hari yang semakin panas, pola
musim yang semakin tidak menentu, termasuk peningkatan frekuensi cuaca ekstrim dan
meningkatnya genangan rob. Rujukan berubahnya pola musim dikaitkan dengan pengenalan
terhadap 4 (empat) musim yaitu musim angin barat (musim barat/namberek), musim Timur,
musim angin Gending dan musim angin utara. Keempat musim itu biasanya terjadi secara
berturut-turut November sampai Januari, Mei sampai Juni, Juli sampai Agustus dan
September sampai Oktober. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, masyarakat Kalibuntu
telah merasakan perubahan pola musim ini. Mereka mengatakan musim sekarang lebih tidak
menentu. Selain dicirikan dengan arah dan kecepatan angin, musim juga terkait dengan curah
hujan. Oleh karenanya, semakin tidak menentunya musim juga berarti semakin tidak
menentunya frekuensi dan intensitas curah hujan.
Terkait dengan pergesaran garis pantai yang diakibatkan gerusan gelombang yang semakin
kencang dan Rob penelitian menemukan hal-hal sebagai berikut. Dari collective memory
masyarakat menginformasikan bahwa garis pantai desa sudah tergerus erosi sampai ratusan
meter. Pada tahun 1960an sampai 1980an saja sudah ratusan rumah yang dihuni sampai 1000

jiwa, sekolah dasar peninggalan Belanda dan asset lainnya terpaksa dipindahkan karena tanah
pijakannya terancam abrasi. Saat ini lahan itu sudah menjadi laut, tenggelam utamanya pada
saat air pasang. Sebagian bahkan sudah tenggelam selamanya. Jarak garis pantai saat ini sampai
dengan ujung kampong terdahulu sudah menjapai 500 meteran. Itu berarti pengurangan garsi
pantai di desa ini sudah mencapai setengah kilometer. Perhitungan rill berdasarkan analisa citra
Satelit Landsat7 rekaman tahun 2000 dan 2006 menunjukkan bahwa garis pantai di Kali buntu
telah mundur sebanyak 29,98 meter (4,99 meter/tahun). Cerita yang sama juga terjadi dengan
4

rob. Menurut masyarakat rob yang puncaknya terjadi pada musim Barat (Nopember-Desember)
dan MUsim Timur (Juli-juli), semakin hari semakin tinggi genangannya dan semakin luas
wilayah yang tergenangnya. Hasil pengukuran kami terhadap tutupan rob pada tahun 2012
menunjukkan bahwa rob tertinggi bisa mencapai 110 cm, luas genangan mencapai 87,84 Ha.
Wilayah yang tergenang itu meliputi 0,35 Ha sawah, 54,436 Ha tambak, dan 33,054 Ha
pemukiman.
Dampak perubahan yang dirasakan oleh masyarakat berbeda-beda untuk indikator dan sector
yang berbeda-beda:
-

-


-

-

-

-

Peningkatan suhu udara dirasakan menggangu kenyamanan menjalankan kehidupan
sehari-hari, meskipun orang kemudian menjadi terbiasa. Perubahan pola musim dan
peningkatan ketidaktentuannya
menyebabkan masyarakat seringkali kesulitan
menjalankan pekerjaannya.
Arah dan kecepatan angin yang sering berubah yang juga terkait dengan besar dan
kekuatan gelombang di laut menyebabkan nelayan sulit melaut. Berkurangnya hari
melaut, menyebabkan penurunan penghasilan nelayan. Musim hujan, menariknya, lebih
dilihat sebagai musim yang lebih baik untuk mencari ikan. Pada tahun 2010 saat hujan
terjadi sepanjang tahun, nelayan mengalami panen ikan yang sangat baik, melebihi
hasil-hasil panen di mana panas lebih panjang.

Sebaliknya, hujan yang berkepanjangan telah membuat runtuhnya produksi garam.
Produksi garam melalui sistem tambak/kolam membutuhkan panas matahari yang
panjang. Hujan sepanjang tahun yang terjadi pada tahun 2010 telah menyebabkan
kegiatan pembuatan garam di Kalibuntu berhenti. Demikian, mundurnya awal kemarau
ke Juli dan berakhir Oktober juga menurunkan produksi garam di sana. Jika tahun 2012,
saat mana musim kemarau berjalan normal, produksi garam bisa mencapai 32 ribu ton,
pada tahun 2013 hanya ditargetkan 16 ribu ton.
Bagi para petani sawah dan ladang, curah hujan sangat menentukan tanaman apa yang
mereka tanam. Arah dan kecepatan angina juga mempengaruhi sebaran hama. Oleh
karenanya pergeseran, utamanya penambahan tingkat ketidaktentuan musim,
menimbulkan kesulitan tersendiri bagi petani.
Dengan memperhitungkan nilai potensi lahan, penghitungan potensi kerugian akibat
genangan rob tahun 2012 adalah sebagai berikut. Pootensi kerugian total mencapai Rp.
1.899.800.890. Rincian dari potensi kerugian itu adalah lahan sawah sebedar Rp.
4.121.250, tambak bandeng
sebesar Rp.
242.240.200, pemukiman Rp.
154.400,000.000 dan tambak kepiting sebesar Rp. 739.440.
Kami tidak menghitung kerugian yang telah dialami penduduk desa terkait dengan
pergerusan garis pantai. Namun demikian kiranya dapat dibayangkan --dari perhitungan

potensi kerugian akibat rob di atas, berapa kerugian yang telah diderita masyarakat
setelah separuh dari kampungnya telah menjadi lautan. Selain itu, penggerusan pantai
masih mengancam tambak-tambak garam, tambah ikan dan kepiting yang terletak di
garis pantai.

Adaptasi yang sudah dilakukan
Berbagai usaha untuk mengatasi dampak perubahan iklim sudah dilakukan oleh mayarakat dan
pemerintah daerah Probolinggo dan Jawa Timur. Pada level komunitas, beberapa strategi yang
bisa dikatakan sebagai bagian dari adaptasi adalah:
- Menghadapi cuaca ekstrim-angin kencang dan gelombang laut yang kuat, nelayan
beradaptasi dengan berbagai cara. Sebagain dari mereka merubah kegiatan penangkapan
5

ikandi laut dengan mengumpulkan kerang di pinggir pantai. Sebagian hanya beristirahat
sambil membersihkan perahu atau memperbaiki alat tangkap. Saat cuaca ekstrim
berkepanjangan, sebagiandari mereka mengerjakan pekerjaan alternatif, beralih profesi
sementara atau sekalamanya ke sector lain seperti pertukangan, tukang beca atau kegiatan
lain berbasis di daratan. Bagi sebagian nelayan udang yang peruntungannya ada di
musim kemarau, musim hujan adalah waktu untuk meninggalkan perahu-perahu
kecilnya dan berpindah menjadi anak buah kapal purse seine.

- Adaptasi dari petani terhadap ancaman cuaca yang tidak menentu lebih pada pemilihan
tanaman yang dianggap cocok untuk kondisi tertentu. Pada umunya tanaman musim
hujan dan musim panas. Dua jenis tanaman ini yang silih berganti ditanam sesuai
ekspektasi mereka akan kondisi cuaca.
- Menghadapi ancaman abrasi maupun rob dari arah laut, pemerintah membangun
tanggul. Pada awalnya pemerintah membangun tanggul dari tembok, tetapi karena
ternyata tidak bertahan lama, maka tanggul selanjutnya dibuat dri tumpukan batu-batu
besar. Tanggul yang dibuat terakhir ini terbukti tahan. Tanggul-tanggul ini didirikan
lebih untuk melindungi pengerusan garis pantai di daerah pemukiman.
- Pembuatan dan meninggikan tanggul juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang
memiliki tambak (garam dan ikan) di pinggir laut. Karena keterbatasan dana, mereka
lebih banyak membuat tanggul yang terbuat dari pagar bambu dan tumpukan batu-batu
kecil yang mereka sebut sebagai plengseng. Tanggul seperti ini tidak bertahan lama,
paling hanya semusim saja.
- Pada level rumah tangga, adaptasi yang dilakukan masyarakat dalam mengatasi rob
adalah pembuatan pagar tembok di depan rumah-rumah mereka dan peninggian
fondasi. Sebagian dari rumah tangga di Kalibuntu, ada juga yang pindah rumah baik
masih di dalam lingkup desa maupun ke luar desa.
Opsi-opsi adaptasi dan mitigasi: merintis kolaborasi pengelolaan pesisir
Pada bagian akhir kegiatan penelitian aksi ini, tim peneliti mengadakan lokakarya yang
bertujuan ganda. Pertama , memverifikasi temuan penelitian pada tahun pertama dan paruh
pertama tahun kedua, khususnya terkait hasil diagnostik dari persoalan-persoalan terkait
perubahan iklim, adaptasi dan mitigasinya. Kedua , memfasilitasi diskusi antara stakeholder
di Probolinggo untuk mengidentifikasi lebih jauh langkah-langkah adaptasi/mitigasi yang
mungkin dilakukan secara terkoordinasi. Hasil pertemuan itu, pada intinya mengidentifikasi
bahwa persoalan utama yang sangat serius di Kalibuntu adalah masalah abrasi dan rob.
Masalah yang terkait dengan peningkatan permukaan air laut dan gelombang telah
menyebabkan banyak kerugian baik berupa kehilangan lahan pemukiman, lahan usaha dan
kesulitan mobilitas karena genangan air. Jika ini dibiarkan, maka ancaman terhadap 39,5 Ha
wilayah pemukiman (Rp.282 milyar), 113 Ha tambak (Rp.678 milyar) dan produktivitas
tambak garam sebesar Rp.2,48 milyar/musim) tidak bisa dihindarkan (lihat gambar 3).

6

Gambar 5. Peta Ancaman yang dihadapi Desa Kalibuntu jika tanggul tidak teratasi

Atas dasar kesadaran itu, disepakati bahwa adaptasi yang harus diprioritaskan adalah
pembuatan tanggul. Dalam hal ini Bappeda telah menyediakan dana sebesar 500 juta rupiah
untuk memulai penggarapannya tahun 2014. Dana ini belumlah mencukupi mengingat
tanggul yang dibutuhkan cukup panjang. Namun demikian inisiatif untuk mengawali gerak di
lapangan tentu akan membantu untuk tahap selanjutnya.
Selain tanggul, para pihak juga sepakat untuk memikirkan penanaman mangrove di pantai
yang terancam abrasi. Penanaman mangrove sekaligus juga akan merupakan langkah mitigasi
perubahan iklim. Dalam hal ini, seorang ahli mangrove dari Akademi Perikanan Sidorajo,
Bambang Suprakto, yang sempat melakukan observasi di Kalibuntu mencatat hal-hal berikut:
-

Lokasi yang dapat dimanfaatkan untuk penanaman mangrove adalah di sisi sepanjang
pantai setelah gelombang pecah ke arah darat. Atau di kawasan tambak, bekas tambak
dan daerah terlindung lainnya. Sedangkan penanaman mangrove ke arah laut tidak
dapat dilakukan, karena pada kawasan tersebut merupakan lokasi gelombang pecah,
arus balik yang energinya 2-5 kali dari energi gelombang lurus, serta arus pasangsurut.

-

Pada kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk penanaman mangrove tersebut di atas,
diperlukan bangunan pemecah gelombang dan peredam gelombang dengan cara:

-

Menambah ketinggian bekas pematang tambak setinggi 0,5-1 meter berupa tumpukan
batu atau karung pasir (pemecah gelombang).

-

Memasang pagar bambu setinggi 1,5 meter sepanjang area yang akan digunakan
penanaman mangrove (meredam gelombang).
7

-

Sesuai dengan vegetasi mangrove yang dominan ditemukan dan dapat tumbuh dengan
baik di lokasi calon rehabilitasi mangrove, maka jenis vegetasi yang padat
dikembangkan adalah jenis:

-

Bakau/Tinjang (Rhizophora spp) tumbuh pada subtrat (tanah) yang berlumpur, dan
dapat mentoleransi tanah lumpur-berpasir, dipantai yang agak berombak dengan
frekuensi genangan 20-40 kali/bulan.

-

Api-api (Avicennia sp ) lebih cocok ditanam pada subtrat (tanah) pasir berlumpur
terutama di bagian terdepan pantai, dengan frekuensi genangan 30-40 kali/bulan

-

Tancang (Bruguiera sp) dapat tumbuh pada subtrat yang lebih keras, ke arah darat
dari garis pantai dengan frekuensi genangan 30-40 kali/bulan.

Salah seorang peserta dari wakil pengusaha tambak dari Sidoagung menyatakan kesediaanya
untuk menyumbangkan 10.000 bibit mangrove jika kegiatan ini akan direalisasikan. Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Probolinggo juga bisa memasukkan program
penanaman mangrove di Kalibuntu.
Selain catatan teknis tersebut di atas, ada persoalan-persoalan sosial yang harus didiskusikan
lebih lanjut terkait inisiatif pembuatan tanggul dan penanaman mangrove. Persoalan pertama
terkait pemilikan lahan dari wilayah yang akan dibangun tanggul atau ditanami mangrove.
Pengalaman terdahulu masalah ini sensitif memicu konflik kalau tidak dilakukan secara hatihati. Akibat pendekatan proyek, dari pengalaman lalu, memunculkan masalah ini. Oleh
karenanya langkah-langkah yang bersifat partisipatori dan kolaborasi harus dilakukan dengan
keterlibatan masyarakat secara penuh. Kepala Desa sendiri agak mengkhawatirkan masalah
ini, karena menurut beliau, agak sulit mendorong masyarakat untuk mendukung secara penuh
program-program seperti ini. Utamanya orang-orang yang lahannya akan menjadi tempat
mendirikan tanggul atau ditanami mangrove. Namun demikian, seorang wakil dari petambak
mengatakan, dia siap untuk membantu secara penuh rencana ini. Dia sendiri telah siap
mengalokasikan lahannya untuk ditanami mangrove atau dijadikan tanggul.
Opsi adaptasi lain yang juga sempat diperbincangkan adalah diversifikasi matapencaharian.
Khusus untuk peningkatan budidaya kepiting, peneliti dari Pusat Oseanografi (P2O)-LIPI
yang mendalami penelitian kepiting siap membantu. Penelitiannya yang sedang dikerjakan di
Probolinggo memang terkait dengan kepiting. Hasil penelitian P2O-LIPI tersebut telah
berhasil melakukan praktek pemijahan kepiting. Jika itu bisa dikembangkan di Probolinggo,
mungkin bisa dimanfaatkan untuk menanggulangi kekurangan bibit yang selama ini terjadi.
Alternatif-alternatif pembiayaan untuk alih teknologi dan pengetahuan terkait ini perlu
dijajaki.
Opsi-opsi lain yang juga sempat dibahas. Misalnya, merespon kekhawatiran Kepala Desa
Kalibuntu, LP2M menyarankan dilaksanakannya program-program pengembangan
sumberdaya manusia di desa itu. Menurutnya, program-program ini akan meningkatkan
akseptabilitias dan dukungan masyarakat terhadap program-program yang akan
dikembangkan sebagai adaptasi perubahan iklim.
Selain identifikasi hal-hal tersebut di atas, lokakarya ini juga dianggap sudah membuka
wawasan satuan kerja dan pihak-pihak lain dari kabupaten Probolinggo untuk menggarap
persoalan ini secara bersama. Dicatat bahwa Bappeda akan mencoba memimpin koordinasi
antar Satuan Kerja pihak lain yang berkepentingan di Kabupaten Probolinggo.
8

Penutup
Fenomena perubahan iklim sebagai dampak pemanasan global, menampakkan diri dalam
berbagai bentuk perubahan lingkungan, yang bersifat spesifik wilayah. Demikian juga pola
adaptasi dan mitigasi yang dilakukan penduduk suatu wilayah sangat ditentukan oleh kondisi
geografi dan sosial budaya masyarakat. Berbagai bentuk fenomena perubahan iklim selama
lima sampai 10 tahun terakhir yang langsung dirasakan oleh masyarakat nelayan Desa
Kalibuntu adalah berlangsungnya perubahan pola musim (: arah dan kecepatan angin, serta
curah hujan), semakin seringnya cuaca ekstrim suhu udara yang semakin panas, rob yang
semakin tinggi dan luas jangkauannya, serta abrasi garis pantai yang semakin ganas.
Berbagai fenomena perubahan iklim tersebut telah berdampak pada, rusaknya berbagai
infrastruktur bangunan prasarana fisik seperti jebolnya bangunan tanggul penahan
gelombang air laut, rusaknya lahan pemukiman dan tambak serta terganggunya kegiatan
sehari-hari maupun kegiatan usaha. Tambahan pula, peningkatan intensitas perubahan iklim
yang pada ujungnya meningkatkan ancaman terhadap ruang hidup dan kegiatan penghidupan
masyarakat.
Berbagai bentuk tindakan adaptasi telah dilakukan penduduk, antara lain relokasi rumah,
peningkatan fondasi dan pembuatan pagar tembok rumah, pembuatan tanggul dan lain-lin.
Dalam sektor usaha, masyarakat juga telah mengupayakan berbagai langkah adaptasi seperti
menghindari ke laut saat cuaca ekstrim, melakukan pekerjaan alternative atau memilih jenis
tanaman yang cocok dengan perkiraan mereka terhadap kemungkinan cuaca, pagi para
petani. Sebagian dari usaha-usaha itu berhasil, tetapi sebagian juga tidak. Ancaman terhadap
keajegan lingkungan maupun penghudupan masyarakat masih cukup besar.
Untuk hal terakhir, kegiatan penelitian ini telah berhasil mengidentifikasi opsi-opsi adaptasi
dan mitigasi dan menggerakan pemangku kepentingan lokal baik masyarakat sendiri,
pemerintah daerah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat untuk bergerak secara
berkoordinasi dan berkolaborasi melakukan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi. Dalam
hal ini, mereka bersedia untuk memulai kerja membangun tanggul tambahan dari yang telah
ada di desa, menaman mangrove dan memikirkan langkah-langkah strategid lain.
Daftar Pustaka
Andrew NL, Bene´ C, Hall SJ, Allison EH, Heck S, Ratner Blake D. Diagnosis and
management of small-scale fisheries in developing countries. Fish and Fisheries
2007;8:227–40.
Boer, R., and A. Faqih. "Current and future rainfall variability in Indonesia." An Integrated
Assessment of Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability in Watershed
Areas and Communities in Southeast Asia (2004).
Brooks, Nick. 2003. Vulnerability, risk and adaptation: A Conceptual framework. Working
paper No. 28. Tyndall Center for Climate Change Research.
Case, Michael, Fitrian Ardiansyah, Emily Spector. Nd. Climate Change in Indonesia
Implications for Humans and Nature. Diunduh dari: http://www.worldwildlife.org/
climate/publications/WWFBinaryitem7664.pdf.

9

Fäussel, Hans-Martin. 2007. Adaptation planning for climate change: concepts, assessment
approaches, and key lessons. Sustain Scie. Integrated Research System for
Sustainability Science and Springer.
IPCC, 2007: Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of
Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and
C.E. Hanson, Eds., Cambridge University
Sillitoe, P. A. Bricker dan J. Pottier. 2002. Participating in Development: approaches to
Indiginous Knowledge. London dan New York: Routledge.

10