Seni jalanan Yogyakarta - USD Repository

SENI JALANAN YOGYAKARTA TESIS

  Di ajukan kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Untuk memenuhi sebagian Persyaratan guna

  Memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) Dalam bidang Ilmu Religi dan Budaya

  Konsentrasi Budaya Pembimbing: Dr Alb. Budi Susanto SJ. Drs M. Dwi Marianto MFA. PhD.

  Oleh

  Syamsul Barry

  NIM: 036322008

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008

  

PERNYATAAN

  Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam tesis ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

  Yogyakarta, 7 Januari 2008 Syamsul Barry

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Syamsul Barry Nomor Mahasiswa : 036322008

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata. Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

SENI JALANAN YOGYAKARTA

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me- ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk, pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem- berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 12 April 2008 Yang Menyatakan

  Syamsul Barry

  

DAFTAR ISI

  LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PERNYATAAN UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI DAFTAR ILUSTRASI ABSTRAK BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..

  1 A. Latar Belakang……………………………………………….…….…

  1 B. Rumusan Masalah ………………………………………….….……..

  5 C. Signifikasi Penelitian ……………………………………….………..

  7 D. Kerangka Teoritis ................................................................................

  9 E. Metodologi Penelitian ……………………….....................................

  13 F. Sistematika Penulisan ……………………….……………………….

  13 BAB II SENI BERJALAN? DI YOGYAKARTA ..…………………………….. 16

  A. Seni Jalanan Yogyakarta……………...………………………...……

  17 B. Grafiti dan perkembangannya..………………………………………

  19 C. Seni Jalanan dan Komunitasnya………………………………...……

  34 D. Seni jalanan dan (Unjuk rasa) Komunitas Aktivis ………...…...…… 45

  E. Seni Jalanan dan Tumbuhnya Alternatif Pasar…………......………. 49

  BAB III JALAN SENI GRAFITI DAN BAHASA POLITIK MURAL............... 53 A. Kota Yogyakarta, Hutan Visual Baru..................................................

  54 B. Mural dan Apotik Komik....................................................................

  55 C. Fenomena Mural Yogyakarta..............................................................

  62 D. “Kromonisasi” Seni Jalanan Yogyakarta ...........................................

  64 E. Seni Jalanan Yogyakarta (Siasat absurd) Kalah dan Menang............. 71

  BAB IV MEREBUT JALAN(AN) SENI DI INDONESIA..................................... 74 A. Perang Gerilya Tanda..........................................................................

  74 B. Konteks Politik Kemunculan Seni Jalanan..........................................

  80 C. Respon Pemerintah..............................................................................

  88 D. Privat-nya Ruang Publik......................................................................

  93 E. Jalanan Potret Imajinasi (Demokrasi) Indonesia.................................

  96 BAB V PENUTUP: KERESAHAN JALAN(AN) DALAM PEMAKNAAN......... 105 DAFTAR PUSTAKA

  DAFTAR ILUSTRASI Gambar 1. Grafiti pada dinding gua.

  Lokasi: gua Jati Jajar, Gombong, Jawa Tengah (Foto: dok. penulis, 2005)……………………………………………….…..…… 20 Gambar 2. Grafiti pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945.

  (Foto: Anderson, Ben. 1988.Revolusi Pemuda, Jakarta :Sinar Harapan)……..... 22 Gambar 3. Grafiti saat reformasi 1998 (Foto: dok. penulis, 1998)…………………………………………..…..………

  25 Gambar 4. Poster, berbentuk Stiker yang beredar di jalanan beberapa kota besar Indonesia selama masa kampanye Pemilu 1999 .

  (Foto dokumentasi penulis 1999)…………………………….……….……….

  26 Gambar 5. Corat-coret jalanan. Lokasi: daerah Sagan, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 12 Juni 2007)……………..…………..……………. 28 Gambar 6. Seni jalanan menggunakan teknik stensil. Lokasi: dekat jembatan Kewek, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2005)……………………………………………….. 29 Gambar 7. Poster yang dibuat dengan teknik woodcut print Lokasi: pintu gerbang Kejagung Jakarta. (Foto dokumentasi penulis 2002)…………………………………………………. 30 Gambar 8. Stiker grafiti pada plang kantor. Lokasi: Kota Baru, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, Oktober, 2006)........................................................... 31 Gambar 9. Stiker Plesetan (Foto: Dok. Hestu Ardiyanto)………………………………….….……………… 33 Gambar 10. Spanduk larangan mencorat-coret untuk pelajar. Oleh Angkatan Muda Muhammadiyah. (Foto: dokumentasi penulis, Juni 2007)………………………….………………. 35 Gambar 11. The Kid, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)…………………………………..…………... 36 Gambar 12. Dream Lokasi:Pertigaan Krapyak-Jl.Bantul, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)…………………………………..…………... 37 Gambar 13. Grafiti kolaborasi Lovehatelove dan Plus.

  Lokasi: Utara perempatan Tugu, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)…………………………………..…………... 39 Gambar 14. Battle, karya yang sudah ada ditumpuk dengan karya baru namun dipertanggungjawabkan .

  Lokasi: perempatan Taman Sari,Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)……………………………………………….. 41 Gambar 15. Pengerjaan grafiti LHL di kolong jembatan Janti, malam hari (Foto: dokumentasi penulis, 2007)……………………………………………….. 42 Gambar 16. Karya seni pada Aksi Menolak Kekerasan 1989.

  Lokasi: Bundaran UGM, Yogyakarta (Foto: Dokumentasi SMID PRD)………………………………….…………….. 46 Gambar 17. Tolak RUU PKB/KKN. Unjuk rasa tahun 2000.

  Lokasi: Jln Malioboro, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis)……………………………………….…………….. 47 Gambar 18. Grafiti, poster dan baliho pada aksi yang dilakukan LBKTP dan AFRA tahun 2000.

  Lokasi: depan kantor Kejagung Jakarta (Foto: dokumentasi penulis) ………………………………………….…………. 48 Gambar 19. Perubahan teks ke karakter Lokasi: Jembatan Kewek

  (Foto: Dok. penulis, 2008)……………………………………………………….. 50 Gambar 20. Melayang (3 x 6 m) oleh Apotik Komik, 1997. (Foto dari: Supangkat, Jim (ed), (2000) Outlet ,Yayasan Cemeti, Yogyakarta)..... 57 Gambar 21. Projek mural Sama-sama oleh Nano Warsono, 2002.

  Lokasi: jembatan layang Lempuyangan. (Foto : Dok. Yayasan Seni Cemeti)......................................................................

  58 Gambar 22. Seorang pembuat mural sedang memblok tembok yang sebelumnya berisi grafiti politik.

  Lokasi: Jl. Perwakilan, Yogyakarta (Foto dari: Dipublik, tabloid projek mural ”Sama-sama”, 12 Nov 2002) ...........

  61 Gambar 23.Mural yang dibuat oleh masyarakat RW IV Demangan. Lokasi: Prapatan Jl.Munggur-Gejayan-Jl Solo, Yogyakarta (Foto: Dok. Dwi Marianto).................................................................................... 63 Gambar 24. Suasana ruang pamer Kedai Kebun Forum Yogyakarta

  pada event Re:Publik Art

  (Foto: Dok. Dwi Rahmanto, IVAA/YSC).............................................................. 66 Gambar 25. Grafiti pada acara Re:Publik Art Lokasi: ruang pamer Kedai Kebun Forum Yogyakarta (Foto: Dok. Dwi Rahmanto, IVAA/YSC).............................................................. 69 Gambar 26.

  Warning not for comercial space Lokasi Sagan (utara Galeria mal Yogyakarta).

  (Foto: Dok. pribadi, 2004)............……………………………….………………

  75 Gambar 27. Mural iklan produk tabungan sebuah bank yang dibuat2004. Lokasi: depan SMA “17” 1 Bumijo, Yogyakarta, (Foto: Dok. penulis, 2007)...................................................................................... 76 Gambar 28. Mural PAN. Sketsa rancangan Ismail. Visualiser Eko S W. (Foto: Dok. pribadi, 2004)...................................................................................... 78 Gambar 29. Poster-poster yang dibuat LBKTPi yang dicetak ribuan lembar.

  Pada tahun 1999-2003 ditempel di jalanan kota Yogyakarta, Jakarta dan Bandung.

  (Foto :Dok. penulis, 2001)………………………………………………………. 88 Gambar 30. Iklan di barisan mural. Lokasi: Kotabaru, Yogyakarta. (Foto: Dok. penulis, 2008)...................................................................................... 92 Gambar 31. Semrawut (perebutan tanda) baliho iklan di depan mural.

  Lokasi; tembok Stadion Kridasono, Yogyakarta.

  (Foto: Dok.penulis, Juli,2007)…………………………….…………………….. 100 Gambar 32.Grafiti pada bak sampah. Lokasi; depan THR Gondomanan, Yogyakarta (Foto: Dok. penulis, 2004)………………………………………………………. 103 Gambar 33. Instalasi Rakyat 1992 Lokasi: Depan pasar hewan Kuncen Yogyakarta (Foto: Dok. Majalah Sani FSR ISI 1992)………………………….…………….. 107

  

ABSTRAK

  Seni jalanan merupakan suatu kecenderungan menciptakan karya seni (di jalanan) yang mulai marak muncul di Yogyakarta tahun 2000-an dan merupakan perkembangan dari grafiti. Kata “jalanan” pada seni jalanan mengandung arti tanpa aturan, vandal atau illegal, menang-menangan. Penempatannya yang tanpa ijin merupakan ciri khas seni ini. Beberapa upaya untuk menekan perkembangannya telah dilakukan oleh beberapa kelompok (seniman) masyarakat atas dukungan pemerintah. Namun usaha ini terlihat sia-sia karena sampai sekarang jumlah seni jalanan semakin banyak di Yogyakarta.

  Untuk memperdalam pemahaman mengenai hal ini, saya mempelajari tulisan Benedict Anderson, dalam bukunya Language and Power: Exploring Political Cultures in

  

Indonesia (Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia). Singkatnya saya

  menggunakan kerangka Anderson untuk membongkar seni jalanan yang dalam perkembangannya juga dipandang telah mengalami proses kromonisasi atau “penghalusan” dengan upaya memasukkan seni jalanan ke dalam ruang pameran yang khas konsumsi kalangan (seniman, kurator) masyarakat bukan dari kelas (sosial) bawah.

  Seni jalanan adalah ekspresi budaya jalanan yang sering dianggap sebagai simbol dari praktik sosial yang membedakan dirinya dari ekspresi budaya general (seni yang umum/mapan) yang jauh lebih mendapatkan pengakuan. Kemudian didalam praktik sosial yang berbeda itu ditemukan serangkaian nilai dan norma yang hidup dalam kelompok seni jalanan (tableg dan sketsa dalam black book). Nilai dan norma ini cenderung bersifat eksklusif karena menjadi tanda dari identitas kelompok yang berbeda dengan yang lain. Selain itu seni ini juga dapat dipandang sebagai hasil konstruksi sosial budaya, hasil dari masyarakat yang dikondisikan (pekewuh) untuk tidak menyuarakan segala sesuatu apa adanya secara terbuka serta dapat juga dilihat sebagai manifestasi spontan akibat dari pengendapan absurditas kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu seni jalanan Yogyakarta dapat dilihat pula sebagai sistem melupakan, meredam tekanan dan keramaian kehidupan jalanan Yogyakarta serta menertawai diri sendiri.

  Kata kunci: seni, grafiti, kromonisasi, budaya jalanan.

  Persembahan Untuk Ayahanda A.Saubari (alm)

  Syaiful Barry (alm) Ibunda St Wasilatun

  Savitri Citra Budi Keluarga Besar H. Sudaryanto di Krapyak

  Almamaterku Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

  Kalau baik dan buruk adalah ciptaan Tuhan, maka tidak ada manusia yang tidak berjalan di jalan-Nya Syamsul Barry

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan coret-coret di jalan yang kemudian dikenal sebagai grafiti selalu dianggap

  sebagai sesuatu yang mengganggu kebersihan dan ketertiban umum. Karenanya, pemerintah kemudian melakukan berbagai macam usaha untuk menekan perkembangan “seni corat-coret” itu, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Grafiti tetap saja ada, malah terus berkembang di seluruh kota di Indonesia.

  Tidak dapat dipungkiri, dalam konteks pembangunan modern, kota-kota besar di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sejumlah fasilitas infrastruktur seperti gedung, jalan raya, jalan bebas hambatan, bahkan jembatan layang tampak menghiasi hampir seluruh sudut wajah kota. Adapun untuk menjaga dan mengaturnya, pemerintah kemudian mengeluarkan sederet peraturan lewat departemen tertentu yang ditunjuk, misalnya Peraturan Daerah Tata Ruang Kota yang disahkan atas nama Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Akan tetapi, hal tersebut ternyata belum bisa mengatasi persoalan yang ada. Salah satunya adalah semakin menjamurnya grafiti sehingga menutupi hampir sebagian wajah kota. Tidak ada lagi tembok pembatas atau sisi jembatan yang bebas dari coretan gambar atau teks aneka warna. Ruang kota seolah telah berubah menjadi ajang pamer seni untuk umum.

  Seni jalanan (grafiti) dapat dikatakan pula sebagai seni kerakyatan (oleh rakyat,

  2 masa perang kemerdekaan Republik Indonesia, grafiti digunakan untuk membakar semangat rakyat mempertahankan kemerdekaan. Saat itu, corat-coret bertema perjuangan hampir ada di seluruh tembok kota. Meski pada perkembangan selanjutnya keberadaan grafiti menjadi tidak disukai karena dianggap mengotori lingkungan dan mengganggu keindahan, namun kebiasaan tersebut ternyata tidak pernah hilang. Hal ini menandai seni kerakyatan sangat rawan dan gampang rapuh dieksploitasi oleh penguasa.

  Sejak Orde Baru pengembangan dan pembangunan fisik kota dilakukan oleh pemerintah dengan menerapkan sistem pembangunan yang menekankan pada percepatan

  1

  laju pertumbuhan ekonomi. Penekanan pada percepatan laju pertumbuhan ekonomi ini terkadang mengabaikan pemikiran masyarakat khususnya dalam pengembangan kota. Hal ini sering menyebabkan timbulnya ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah yang terkadang diekspresikan oleh masyarakat dalam bentuk antara lain; demonstrasi, protes dan grafiti (bernuansa politik).

  Kini grafiti lebih dikenal sebagai seni jalanan (street art). Bentuk visual seni jalanan pun semakin beragam. Grafiti tidak lagi berupa coretan teks, tetapi juga digabungkan dengan gambar yang dihasilkan dari penggunaan teknik yang beragam. Kata “jalanan” pada terminologi ini berkaitan dengan kegiatan yang tanpa ijin pemerintah atau ilegal.

  Persoalan tanpa ijin inilah yang menyebabkan seni jalanan identik dengan vandalisme karena dianggap sebagai tindakan yang merusak properti orang lain atau bertentangan dengan kebijakan pemerintah tentang keindahan kota. Sementara jika dihubungkan dengan budaya, seni jalanan dianggap tidak merepresentasikan budaya Indonesia, sebaliknya dicap sebagai peniruan budaya kaum pinggiran yang ada di beberapa kota besar dunia dan 1 peniruan ini sering dianggap sebagai dampak globalisasi di bidang budaya.

  Y. Argo Twikromo.1999. Pemulung Jalanan Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Media Presindo.

  3 Seni jalanan, khususnya di Yogyakarta, merupakan wacana baru yang timbul ke permukaan setelah diskusi seni rupa publik yang diadakan pada tahun 2000. Perdebatan ini memperbincangkan ruang publik, seni rupa publik dan kesemrawutan visual jalan (kota

  2

  sebagai rimba visual). Diskusi itu kemudian memacu beberapa seniman dan kelompok seniman di Yogyakarta untuk membuat mural (lukisan besar di dinding) dengan tujuan memperindah kota. Kegiatan ini mendapat respon dan dukungan dari Pemerintah Kota (pemkot) Yogyakarta yang menganggap dapat mengurangi grafiti-grafiti yang memberi

  3 citra kota kotor.

  Memasuki tahun 2002, perkembangan grafiti di Yogyakarta memasuki tahap yang menentukan. Sebuah komunitas pekerja seni bernama Apotik Komik membuat projek mural kota bertema Sama-sama dengan tujuan menggunakan mural sebagai media untuk memperindah kota, disamping juga bermaksud mempersempit ruang dan menghapus grafiti yang ada, karena dianggap mengotori kota. Projek ini ternyata mendapat sambutan baik dari Pemkot Dati II Yogyakarta, sehingga sejak saat itu pembuatan mural (lukisan atau gambar pada dinding), menjadi lebih marak daripada sebelumnya. Lewat projek tersebut, selain membuat kota tampak lebih semarak, masyarakat pun mulai bisa melihat unsur estetik yang dimiliki oleh mural dan menerima keberadaannya sebagai bagian dari pemandangan ruang publik.

  Seni jalanan kerap diidentikkan sebagai bentuk perlawanan generasi muda terhadap pemerintah—meski tidak semua tema yang diangkat oleh para pelaku seni jalanan 2 mengandung unsur politis. Anehnya, meski suara-suara sumbang tentang seni jalanan,

  

Lihat: Ruang Publik: Dialog Antara Arsitektur Dengan Seni Rupa, http://www.karbonjournal.org (diakses

tanggal 21 Mei 2006) dan FX. Harsono.(2000) Seni Rupa dalam Ruang Publik, http://www.karbonjournal.org (diakses 14 April 2007). Kedua naskah yang diterbitkan merupakan bahan diskusi yang diadakan oleh Ruang Rupa Jakarta yang memicu perdebatan antara Taring Padi dan Apotik 3 Komik.

  

Pendapat ini banyak ditulis oleh media cetak, lihat: “Corat-Coret Bisa Diatasi dengan Mural”, Harian

Kedaulatan Rakyat , 21 Juli 2003. “Memperindah Yogya dengan Mural”, Harian Kedaulatan Rakyat 5

  4 seperti yang dijelaskan di atas, bermunculan di tengah-tengah masyarakat, tetapi “seni corat-coret” ini malah semakin digemari oleh para generasi muda, yang kemudian membuat penyebarannya semakin cepat dan tak terhindarkan.

  Melihat kenyataan yang menarik itu, maka perlu jeli dan waspada mencermati jejak langkah seni jalanan yang dapat dikatakan merupakan bagian dari seni kerakyatan dari masa lalu untuk cita-cita Indonesia kini. Berdasarkan hal ini penulis memutuskan untuk meneliti lebih jauh tentang seni jalanan, terutama yang ada di kota Yogyakarta. Seni jalanan (dalam hal ini grafiti) mempunyai catatan perkembangan yang sudah cukup lama antara lain: Pertama, seni ini pernah digunakan sebagai alat berjuang pada masa perjuangan kemerdekaan 1945 di beberapa kota Indonesia. Kedua, pada dekade 1980-an grafiti di Yogyakarta banyak digunakan sebagai pemberi tanda wilayah gank atau kumpulan “liar”(mis: Kisruh/Q-Zruh dan Joksin/JXZ). Ketiga, digunakan untuk menyampaikan tuntutan rakyat (masa reformasi 1998) di beberapa kota Indonesia (termasuk Yogyakarta). Keempat, sebagai ekspresi estetika seniman/individu. Persamaan dari keempatnya ialah penempatannya yang tidak pakai ijin serta dapat dipandang sebagai perlawanan terhadap kemapanan sekaligus respon terhadap lingkungan dan kehidupan keseharian.

  Alasan penelitian ini dilakukan di Yogyakarta berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, pada tahun 2002-2004, Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II (Pemkot Dati

  II) Yogyakarta bersama-sama masyarakat melakukan kegiatan muralisasi kota Yogyakarta dengan tujuan mengurangi coret-coret (grafiti) kota. Kegiatan ini berawal dari projek mural bertema “Sama-sama” yang dikerjakan oleh Apotik Komik pada tahun 2002.

  Kedua, banyak sekali pekerja seni yang bertempat tinggal di Yogyakarta (umumnya pernah studi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta), yang hidup berbaur dengan warga

  5 sekitar selama bertahun-tahun, sehingga menyebabkan masyarakat menjadi terbiasa dengan kehadiran karya seni.

  Ketiga, di kota ini terdapat beberapa lembaga seni budaya yang menjadikan seni kontemporer sebagai fokus perhatiannya. Adapun kajian seni kontemporer yang masih menjadi perbincangan hingga saat ini adalah seni (ruang) publik. Sedangkan seni jalanan dianggap sebagai satu bagian dalam seni (ruang) publik.

  Keempat, banyaknya grafiti yang tersebar di hampir setiap sudut kota Yogyakarta memberikan indikasi bahwa di kota ini terdapat banyak kelompok pekerja seni jalanan yang aktif.

B. Rumusan Masalah

  Seni Jalanan yang penempatannya di luar ruang serta bersinggungan dengan masyarakat secara langsung, seringkali mengakibatkan diposisikan berlawanan dengan seni (ruang) publik. Seni jalanan bersinggungan dengan tata ruang kota (misalnya, Perda Rencana Tata Ruang Kota oleh Pemkot Dati II Yogyakarta), arsitektur/ruang kota dan lingkungan. Proses penciptaan seni jalanan berbeda dengan seni (ruang) publik. Jika proses penciptaan seni (ruang) publik dimulai dengan membelajari lingkungan lokasi dimana karya kelak akan ditempatkan, budaya setempat, lingkungan hidup serta tentunya berdasarkan ijin pihak berwenang, seni jalanan hanya membuat rencana sketsa karya dan mencari lokasi yang cocok dengan memanfaatkan ruang kosong/tembok yang berada di pojok-pojok jalan.

  Ada beragam visual dari seni jalanan Yogyakarta, umumnya berbentuk teks huruf (singkatan atau inisial) yang hanya diketahui maksudnya oleh kelompok/komunitas seni

  4 4 jalanan sendiri. Teks huruf (lazim disebut tag) terkadang menggunakan bahasa asing The verb tagging has even become a popular verb today in other types of occasions that are non-graffiti-

  6 (terbanyak bahasa Inggris), tidak terlalu jelas apa alasannya, apakah hanya gaya saja atau agar dianggap merepresentasikan modernitas dalam artian berbeda dengan yang tradisional. Hal ini mengindikasikan ada maksud tertentu si pembuatnya.

  Beragam visual seni jalanan ini juga menunjukkan semakin banyak jumlah kelompok/komunitas seni jalanan yang berdiri. Banyaknya kelompok yang bermunculan kemudian menyebabkan timbul persaingan dan perluasan wilayah penyebaran seni jalanan yang tentunya merepotkan pemerintah (dalam hal ketertiban dan kebersihan).

  Beberapa upaya menekan perkembangan coret-coret ini sudah pernah dilakukan oleh sekolah-sekolah misalnya dengan mengadakan lomba grafiti atau yang paling ekstrem dengan mempersempit ruang berkembang dengan menghapus dan menutupinya dengan mural seperti yang dilakukan Apotik komik dengan projek Mural Kota Yogyakarta ditahun 2002. Pada perkembangan terakhir ada upaya dari beberapa organisasi/lembaga seni di Yogyakarta yang mengupayakan mengusung seni jalanan untuk dipamerkan pada ruang pamer galleri atau rumah seni. Upaya ini diduga sebagai penjinakan terhadap keliaran seni jalanan. Namun usaha-usaha itu terlihat tidak ada pengaruhnya, bahkan sekarang ini beberapa mural kota malah ditiban dan grafiti tidak hanya berbentuk teks tetapi juga

  5 berbentuk gambar (logos) .

  Perkembangan seni jalanan dapat dilihat pula sebagai keberanian rakyat kecil berbicara pada penguasa dengan cara merespon belantara visual kota, yang hampir di setiap ruang kosongnya (pinggir jalan atau tempat yang dianggap stategis) dimanfaatkan untuk pemasangan iklan. Pemerintah memberikan kemudahan mengurus perijinan tanpa memperhitungkan lokasi dimana iklan tersebut akan dipasang. Maka lihatlah apa yang

  http://www.ni9e.com/blog_images/taki_183.pdf First graffiti-related article from New York Times(diakses Selasa, 03 Oktober 2007, 16:16 WIB)

5 Street Art: Logos, tak Hanya Hiasi Tembok saja , 23 November 2006, http://www.trullyjogja.com (diakses 26 Desember 2006).

  7 terjadi kemudian; kota berubah jadi belantara visual yang liar dan tak terkendali. Penempatan baliho, papan iklan, spanduk dan poster yang semrawut di sepanjang badan jalan perkotaan dapat dijadikan ukuran betapa banyaknya hal yang diabaikan oleh pemerintah. Suatu tindakan yang telah menindas hak masyarakat untuk mengatur ruang publiknya sendiri, seperti yang seharusnya terjadi.

C. Signifikasi Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk membahas seni jalanan Yogyakarta, suatu kecenderungan membuat karya seni di jalan dalam beragam teknis pembuatannya. Seni ini merupakan perkembangan dari grafiti yang mulai marak di Yogyakarta sejak tahun 1980-an dan berlangsung hingga sekarang. Seni jalanan Yogyakarta ini memiliki kemiripan dengan karya seni jalanan di kota lain, namun terdapat perbedaan pada pola perkembangannya. Penelitian ini memberi perhatian pada faktor-faktor yang memiliki pengaruh signifikan dalam proses perkembangan seni jalanan yang membantunya tumbuh menjadi suatu seni jalanan (Yogyakarta) yang lain. Salah satu sumber kecenderungan yang membantunya tumbuh adalah kehidupan masyarakat di Yogyakarta itu sendiri. Sebagai contoh, ada ribuan seniman yang hidup berbaur pada masyarakat Yogyakarta, hal itu menyebabkan masyarakat terbiasa dengan kehadiran karya seni dan kehidupan keseharian seniman.

  Perkembangan fisik kota Yogyakarta yang terjadi sampai sekarang ini, juga merupakan faktor signifikan yang ikut aktif membentuk seni jalanan Yogyakarta. Seperti halnya kota-kota besar di Indonesia, perkembangan fisik kota Yogyakarta juga mengalami kemajuan yang pesat. Sejumlah fasilitas infrastruktur yang telah dibangun di beberapa tempat seperti, jalan, jembatan layang, pusat perbelanjaan modern (mal) telah menyediakan lahan berupa tembok gedung, jalan, tiang penyangga jembatan layang yang

  8 merupakan tempat-tempat karya seni jalanan dibuat dan diletakkan. Selain pembangunan fisik, ada banyak citra-citra visual (papan iklan, baliho besar, dan lain-lain) yang tidak teratur, seperti terlihat berebut ruang dan telah menjadi pemandangan umum di Yogyakarta. Hal ini turut mendorong kreativitas para pelaku seni jalanan untuk turut memberi respon atas ketidakteraturan citra-citra visual tersebut.

  Masyarakat Yogyakarta yang terlihat masih mempertahankan kehidupan tradisional ternyata mempunyai sifat yang terbuka atas kebaruan-kebaruan pemikiran. Berbagai produk modern dan pola budaya tradisional dalam realita kehidupan sehari-hari hadir secara bersama. Seni jalanan yang sering dipojokkan atau dianggap coret-coret yang mengganggu keindahan terkadang digunakan juga oleh sebagian masyarakat untuk menyampaikan aspirasi maupun protes. Sebagai contoh, peristiwa Pemilu Yogyakarta 1992, masyarakat dalam menyampaikan aspirasi ketidaksetujuan dengan kebijakan pemerintah atas larangan kampanye menggunakan kendaraan bermotor, dijawab dengan membuat seni instalasi maupun grafiti di jalan.

  Dasar argumen penelitian yang dibangun dari uraian diatas bahwa seni jalanan Yogyakarta adalah suatu cerminan kondisi sosial politik masyarakat. Seni jalanan Yogyakarta dapat pula dikatakan sebagai salah satu cara untuk menyiasati keadaan yang mengondisikan orang untuk tidak mengatakan yang sebenarnya secara langsung dan tegas.

  Dengan imaginasi dan logika yang dapat dikatakan absurd serta liar, seni jalanan Yogyakarta dapat juga dilihat sebagai cara melupakan atau menciptakan ruang imajiner tempat orang bisa melepaskan diri dari kondisi-kondisi yang makin lama terasa makin menekan.

  9

D. Kerangka Teoritis

  Sebelum mulai membahas kerangka teoritis untuk mengetahui tentang seni jalanan secara lebih luas, perlu ditetapkan dulu bahwa seni jalanan (visualnya bisa berupa grafiti, poster, stiker, wheatpaste, atau stensil) dalam kajian ini akan diposisikan sebagai karya seni. Karena itu, sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dulu akan dibahas tentang masalah apresiasi seni.

  Secara umum, mengapresiasi berarti mengerti serta menyadari sepenuhnya sehingga mampu menilai sebuah karya yang akan diapresiasi. Jika dihubungkan dengan seni maka mengapresiasi berarti mengerti dan menyadari sepenuhnya seluk-beluk suatu hasil seni, serta menjadi sensitif terhadap segi-segi estetisnya, sehingga mampu menikmati dan

  6

  menilai karya itu. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa mengapresiasi sama saja dengan menciptakan kembali (geniessen ist nachshaffen), yang berarti perlu juga untuk ikut merasakan apa yang dialami oleh pekerja seninya (sharing the artist’s experience). Dengan demikian jelaslah bahwa untuk mengapresiasi tidak cukup dengan sekedar mengerti— misalnya, menggambarkan apakah hasil seni itu—melainkan sampai kepada aspek- aspeknya yang lebih dalam.

  Jika tindakan “mengapresiasi” dilakukankan terhadap visual seni jalanan, seperti tag atau inisial, yang umumnya disajikan berupa warna-warni indah yang menarik dan mencolok mata dalam tulisan yang terkadang dalam bahasa asing atau berupa singkatan, maka respon yang mungkin diterima dari “penonton” seni jalanan, yang kebanyakan adalah masyarakat awam, adalah ketidakpahaman maksud dari visual tersebut. 6 Kenyataannya, tag memang hanya bisa dimengerti oleh lingkungan atau komunitas

  

Soedarso Sp. 1990. Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Yogyakarta: Saku Dayar

  10 tertentu dalam lingkar para pekerja seninya saja. Dengan kata lain, untuk bisa mengerti hal tersebut maka dibutuhkan kedekatan dengan komunitas pembuatnya.

  Pemahaman terhadap aspek-aspek yang mendalam sangat diperlukan untuk mengapresiasi seni Jalanan. Hal itu disebabkan tidak hanya penggambaran visual semata yang menjadi satu-satunya unsur penentu, tetapi juga pendapat umum masyarakat (pro/kontra) tentang keindahan ruang kota, peraturan yang berlaku, gaya hidup anak muda pada masa itu, dan wacana seni rupa publik tentang seni rupa kontemporer (khususnya di Indonesia). Selain itu, terdapat pula beberapa hal yang sering dianggap berkaitan dengan keberadaan seni jalanan, antara lain propaganda, subversif (seni perlawanan) dan kekuasaan antara pihak yang dominan dan tidak dominan, serta seni publik.

  Selain itu yang juga menjadi sangat penting ialah memahami kerumitan sikap berbahasa di Yogyakarta, tempat orang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa aslinya dan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Secara resmi bahasa Jawa memiliki tiga tingkatan bahasa yang ditata secara hierakhis (kromo, madya, ngoko). Penggunaan tiga tingkatan ini diatur menurut status sosial si pengucap dan orang yang diajak bicara, sedangkan bahasa Indonesia merupakan bahasa yang terbuka dan tidak mempunyai tingkatan. Dengan memperhatikan permasalahan bahasa dan besarnya kemungkinan- kemungkinan dengan mengkritisinya, dapat menemukan cara yang mempunyai potensi bagi terwujudnya pemahaman atas seni jalanan Yogyakarta secara baru, yang tentunya berbeda dengan pemahaman street art yang berasal dari budaya urban di daerah lain.

  Untuk memperdalam pemahaman mengenai hal ini, saya mempelajari tulisan Benedict Anderson, dalam bukunya Language and Power: Exploring Political Cultures in

  

Indonesia (Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia) yang menggunakan

praktik berbahasa di Indonesia sebagai alat untuk menganalisa pola-pola budaya politik.

  11 Anderson melihat bahwa bahasa Melayu pasar, yang telah lama menjadi lingua

  

franca di kepulauan Nusantara, adalah basis bahasa baru Indonesia (Melayu revolusioner)

  yang pada hakekatnya adalah bahasa politik. Bahasa ini diwujudkan oleh perjuangan nasionalis, menampilkan dalam dirinya semangat murni perlawanan atas dominasi monopoli bahasa Belanda sebagai jembatan menuju “modernitas”. Bahasa Indonesia kontemporer dapat dipandang sebagai suatu kegiatan usaha (enterprise) bagi kepiawaian dari krisis budaya yang dahsyat, dan yang sebagian merupakan proyek bawah sadar yang muncul dari asumsi tentang “modernitas” dalam lingkup modalitas dari suatu tradisi sosial

  7 politik yang asli dan berdiri sendiri.

  Persamaan atas asumsi menuju “modernitas” juga terlihat dalam perkembangan seni di Indonesia khususnya di Yogyakarta. Seperti halnya bahasa Indonesia yang bersifat terbuka, perkembangan seni juga bersifat terbuka atas segala pengaruh dari mana saja bercampur baur dengan yang sudah ada (tradisional). Asumsi “modernitas” dalam perkembangan seni terlihat dengan digunakannya konsep seni modern “Barat” yang digunakan untuk mendefinisikan dan menggolong-golongkan seni yang ada di Indonesia, yang terlihat bertujuan agar dapat disamakan tingkatannya dengan seni di tempat lain yang dianggap modern.

  Dalam kaitannya dengan pembahasan seni jalanan, saya terinspirasi oleh pendapat

  8 Anderson terutama tentang “Kartun dan Monumen”. Menurut Anderson pada awal

  pembahasan sebelum “Kartun dan Monumen” ada dua modus (komunikasi dan ekspresi politik) yang penting dan dilupakan yang jika dianalisis akan memunculkan konsepsi- 7 konsepsi dari orang Indonesia tentang politik orang Indonesia dengan agak berbeda. Dua

  

B.R.O.G. Anderson. 2000. Kuasa Kata, Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Tr. Revianto Budi

Santosa .Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa. p. 265

  12

  9

  modus itu ialah “ucapan langsung” dan “ucapan simbolik”. Dengan dua modus itu akan didapat konsepsi politik yang khas Indonesia.

  “Ucapan langsung” yang dimaksudkan Anderson ialah komunikasi politik pada setiap masyarakat: gosip, rumor, diskusi, argumen, interograsi, serta intrik yang dalam kenyataannya merupakan bagian terbesar dalam komunikasi politik di Indonesia. “Ucapan langsung” ini merupakan cara lain dari komunikasi politik dan dapat dipandang sebagai bermain “ngoko” dalam “krama”-nya politik Indonesia.

  Pada perkembangan berikut terjadi kromonisasi dalam bahasa Indonesia dengan memasukkan banyak istilah yang berasal bahasa Jawa (yang dianggap lebih halus) agar dapat disejajarkan dengan kedudukan bahasa-bahasa lainnya. Singkatnya saya akan menggunakan kerangka Anderson untuk membongkar seni jalanan yang dalam perkembangannya juga dipandang telah mengalami proses kromonisasi atau “penghalusan” dengan upaya memasukkan seni jalanan ke dalam ruang pameran yang khas konsumsi kalangan (seniman, kurator) masyarakat bukan dari kelas (sosial) bawah.

  Upaya ini membuat adanya perbedaan antara yang berada di jalanan dan di dalam ruang pamer, namun karena para pelaku yang di jalan maupun di ruang pamer adalah sama, usaha membedakan itu hanya terlihat sebagai ajang mencari popularitas saja. Pembongkaran atas perkembangan seni jalanan Yogyakarta dalam tesis ini akan menunjukkan bahwa seni jalanan ala Indonesia tidak harus terbakukan pada perbedaan- perbedaan.

  13

  E. Metode Penelitian

  Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini lebih terfokus pada metode pengamatan peran serta, mendengarkan apa yang dibicarakan oleh subjek penelitian, dan wawancara dengan beberapa informan kunci. Pada sejumlah wawancara yang tidak bisa dilakukan oleh penulis (saat sakit atau terlalu malam), penulis terkadang menunjuk Dwi Rahmanto dari

  IVAA/Yayasan Seni Cemeti (YSC) dan Vembrianto, mahasiswa Universitas Atmajaya Yogyakarta, sebagai pengumpul data pengganti. Kedua pengumpul data ini sudah terbiasa dengan kehidupan para pelaku seni jalanan, bahkan mengenal dekat kelompok-kelompok seni jalanan di Yogyakarta. Adapun data awal telah dikumpulkan penulis sejak tahun 1993-2002, ketika terlibat dalam pembuatan sejumlah karya seni di beberapa aksi unjuk rasa, dan sewaktu bekerja sebagai ketua Dewan Anggota Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi Yogyakarta (1999-2002).

  Sifat penelitian ini adalah semi tertutup, yang berarti sebagian besar subjek tidak mengetahui bahwa mereka sedang diamati (misalnya, penelitian dilakukan sembari mengobrol sepintas lalu). Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan agar penelitian dapat dilakukan dengan bebas dan lebih santai tanpa mengganggu aktivitas pelaku dalam berkarya di jalanan, juga untuk meminimalkan pemanipulasian data yang mungkin sengaja dilakukan oleh subjek untuk menutupi fakta tertentu. Selanjutnya, analisa data dilakukan melalui proses deskripsi dan interpretasi sesuai dengan transkip catatan lapangan yang terdiri dari pengamatan dan wawancara informal dengan informan kunci.

  F. Sistematika Penulisan

  Tesis yang mengangkat judul SENI JALANAN YOGYAKARTA sistematika penulisannya disusun sebagai berikut:

  14

  BAB I PENDAHULUAN Membahas latar belakang kajian, rumusan masalah, signifikasi kajian, kerangka teoritik yang berisi hal-hal yang berhubungan dengan kajian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

  BAB II SENI BERJALAN? DI YOGYAKARTA Pada bab ini akan diuraikan pengertian seni jalanan dan beberapa aspek yang melingkupi serta mempengaruhi perkembangannya di Yogyakarta. Perkembangan itu meliputi grafiti, seni jalanan pada aksi unjuk rasa, perkembangan teknik grafiti (stiker, wheatpaste, poster, stensil) dan tumbuhnya komunitas-komunitas seniman jalanan serta bagaimana mereka berinteraksi.

  BAB III JALAN SENI GRAFITI DAN BAHASA POLITIK MURAL Bab ini memberikan suatu deskripsi langkah Apotik Komik yang mempelopori projek mural kota Sama-sama pada tahun 2002, yang kemudian diikuti oleh masyarakat dengan membuat mural di wilayahnya masing-masing atas dukungan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II (Pemkot Dati II) Yogyakarta di sepanjang tahun 2002-2004. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah mengurangi dan menghambat coret-coret di jalan melalui mural.

  Konsep ini sejalan dengan tujuan Pemkot Dati II Yogyakarta untuk mewujudkan

  

Yogyakarta “Berhati Nyaman” . Selain itu juga akan dibahas tentang mural iklan dan

  politik, serta respon dari beberapa galeri/rumah seni yang memasukkan seni jalanan ke dalam kategori seni rupa publik dalam wacana seni kontemporer (dibelokkan menjadi “komoditi” atau di “kromonisasi” dengan “nikmat rasional” khas konsumsi kalangan seniman dan kurator galeri yang bukan dari rakyat biasa dengan dipamerkan di galeri.),

  15 yang cukup banyak memberikan pandangan baru bagi para pelaku seni jalanan untuk berani menjelajahi dunia kreativitas mereka dalam berkarya.

  BAB IV MEREBUT JALAN(AN) SENI DI INDONESIA Pada pembahasan bab ini, ruang dipahami sebagai fenomena tanda. Upaya untuk memahami ruang berarti menganggapnya sebagai bermuatan pesan-pesan sosial budaya. Sebagai suatu fenomena tanda, ruang menjadi arena pertukaran tanda dan pesan-pesan sekaligus menjadi tempat perebutan tanda dan hegemoni kultural. Selain itu pada bab ini akan diuraikan bentuk-bentuk tanda atau visual yang ada di jalan termasuk kepentingan yang menyertainya, respon pemerintah terhadap keberadaan seni jalanan (juga mural) serta siasat para pelaku seni jalanan untuk mengatasi kondisi tersebut. Pada bab ini juga akan diungkap kembali, apa arti seni jalanan mengingat bagi kalangan rakyat kecil yang kebanyakan masih berjalan kaki, tentu mempunyai pola pandang yang berbeda dengan kelas sosial menengah ke atas yang rata-rata berkendaraan bermotor di jalanan.

  BAB V PENUTUP: KERESAHAN JALAN(AN) DALAM PEMAKNAAN Mengetengahkan ringkasan-ringkasan hasil penelitian, kesimpulan serta saran-saran untuk studi dan kebijakan yang berguna di masa mendatang.

BAB II SENI BERJALAN? DI YOGYAKARTA Pada bab ini akan diuraikan pengertian seni jalanan dan beberapa aspek yang melingkupi

  serta mempengaruhi perkembangannya di Yogyakarta. Perkembangan itu meliputi grafiti, seni jalanan pada aksi unjuk rasa, perkembangan teknik grafiti (stiker, wheatpaste, poster, stensil) dan tumbuhnya komunitas-komunitas seniman jalanan serta bagaimana mereka berinteraksi. Pada bagian akhir bab ini akan dibahas bagaimana seni jalanan dalam hubungannya dengan kebudayaan dengan memandang seni jalanan seperti halnya keberadaan bahasa Indonesia “masa lalu” yaitu untuk pembentukan kesadaran (komunitas) nasional dikalangan pemuda Indonesia yang bermasyarakat plural. Bahasa Indonesia diturunkan dari kenyataan yang tidak terelakkan sebagai pewaris dari tiga bahasa yang berbeda (Belanda, Jawa, Melayu revolusioner) dan dua tradisi budaya linguistik yang berbeda pula (Barat-Belanda dan Jawa). Bahasa Indonesia baru, berkembang sebagai alat komunikasi yang dapat mengekspresikan tidak hanya nasionalisme Indonesia, melainkan

  1

  juga aspirasi Indonesia, tradisi-tradisi Indonesia dan realitas-realitas internasional. Seperti halnya bahasa Indonesia yang punya keterbukaan dalam pengembangannya, bidang seni juga mempunyai sifat terbuka. Pengaruh “luar” atau modern “Barat” maupun seni-seni tradisi semua bercampur baur dan berkembang. Percampuran ini terkadang menimbulkan

1 B.R.O.G Anderson. 2000. Kuasa Kata, Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Tr. Revianto Budi

  Santosa .Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa . pp. 266-267

  17 polemik namun kesemuanya tetap berjalan dalam kehidupan masyarakat Indonesia hingga sekarang.

A. Seni jalanan Yogyakarta

  Seni jalanan atau biasa juga disebut street art kemudian muncul menjadi istilah yang dipakai untuk membedakan dengan karya seni yang dibuat dan ditempatkan di jalanan dengan meminta ijin kepada pihak yang berwenang. Seni jalanan merupakan perkembangan dari grafiti yang biasanya dibuat dengan cat semprot (aerosol) kemudian berkembang menggunakan berbagai teknik pembuatan misalnya: stensil, stiker, tempelan

  2

  kertas/ wheatpasting, poster atau campuran dari berbagai bentuk seni. Penempatannya dilakukan tanpa ijin dari pihak berwenang dan dilakukan dengan sengaja (misalnya: Gerbong kereta, pos polisi, papan reklame dan lain-lain) terkadang memicu timbulnya perkara. Perkara inilah yang seringkali menyebabkan pelaku seni jalanan dianggap sebagai pelaku vandalism.

  Kata “jalanan” pada seni jalanan bukan sekedar menunjukkan tempat tetapi lebih menekankan kepada kebebasan sebab jalanan memiliki sifat longgar yang memungkinkan kebebasan ekspresi berlangsung. Apakah itu dalam bentuk kebebasan berpendapat, seni, maupun kebebasan bertingkah laku. Jalanan telah menjadi tempat dimana orang-orang memiliki kesempatan untuk menunjukkan rasa kemanusiaan dan kebinatangannya yang tersembunyi. Di jalan raya, misalnya, pengendara kendaraan berubah menjadi “binatang” 2 yang saling berebut kesempatan menyalip tanpa aturan, bahkan dapat mencelakakan orang