TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN PERKAWINAN DENGAN SEPUPU DI DESA SUKAONENG KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK.

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN

PERKAWINAN DENGAN SEPUPU DI DESA SUKAONENG

KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK

SKRIPSI

Oleh: Ahamad Burhan NIM. C01212065

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

F

AKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Perkawinan

Dengan Sepupu Di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik”, ini

merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang Bagaimana praktek pelarangan perkawinan dengan sepupu di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik dan Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap praktek larangan perkawinan dengan sepupu di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian studi kasus pada objek. Data penelitian dihimpun dengan melalui wawancara dan dokumenter. Teknik analisis data dengan menggunakan metode deduktif analisis yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran mengenai objek penelitian secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara Undang-Undang dengan pelaksanaan perogram. Selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisis dengan pola fikir deduktif. Dekduktif adalah pola pikir yang menampilkan/memaparkan dalil-dalil umum yang berkaitan dengan syarat pelarangan perkawinan dalam hukum islam, kemudian dipakai untuk meninjau praktek pelarangan perkawinan di Desa Sukaoneng kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik.

Hasil penelitian menjelaskan, Di dalam adat masyarakat Desa Sukaoneng, praktek larangan perkawinan dengan sepupu yang terjadi di Desa sukaoneng adalah pernikahan antara anak laki-laki dengan anak saudara sekandung perempuan. Masyarakat Desa

Sukaoneng mengistilahkan dengan ”Satoghelan” atau satu kakek, seperti anak Paman

dengan anak Paman atau Bibi.Perkawinan yang seperti itu dilarang di desa Sukaoneng karena berlawanan dengan prinsip adat yang berlaku, masyarakat di desa sukaoneng juga percaya perkawianan antar sepupu dapat menimbulkan putusnya tali silaturahmi apabila terjadi perselisihan di antara keduanya. Menurut hukum Islam perkawinan dengan sepupu bukan larangan dalam perkawinan. Secara umum perkawinan yang dilarang menurut Islam adalah: perkawinan dengan mahramnya, yaitu : ibu tiri, ibu kandung, anak kandung, saudara kandung seayah atau seibu, bibi dari ayah, bibi dari ibu, keponakan dari saudara laki-laki, keponakan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui, saudara sesusuan, mertua, anak tiri dari isteri yang sudah diajak berhubungan intim, menantu, ipar untuk dimadudan perempuan yang bersuami.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, penulis mengharapkan agar seluruh masyarakat di Desa Sukaoneng lebih memahami terhadap Perkawinan dalam Islamdan lebih aktif untuk mengawasi perkawinan yang terjadi di desa Sukaoneng agar tidak menyalahi aturan dalam Undang-undang maupun Hukum Perkawinan dalam Islam.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 9

G>. Kajian Pustaka ... 9

H. Definisi Operasional ... 12

I. Metode Penelitian ... 13


(8)

BAB II SYARAT DAN KETENTUAN PERKAWINAN

MENURUT ISLAM ... 18

A. Pengertian Perkawinan Menurut Hk. Islam ... 18

B. Dasar Hukum Perkawinan... 25

C. Syarat dan Rukun Perkawinan ... 30

D. Perempuan Yang Boleh Dinikahi Menurut Islam ... 32

H. Sistem Retribusi Parkir Menurut Islam ... 55

BAB III PROFIL DAN SEJARAH DESA SUKAONENG ... 38

A. Sejarah Desa... 38

B. Demografi Desa Sukaoneng ... 39

C. Letak Geografis Desa Sukaoneng ... 40

D. Keadaan Pendidikan Desa Sukaoneng ... 41

E. Keadaan Sosial Desa Sukaoneng ... 44

F. Keadaan Ekonomi... 47

G. Pemerintah Desa Sukaoneng ... 49

H. Perkawinan Dengan Sepupu di Desa Sukaoneng ... 52

BAB IV ANALISIS LARANGAN PERKAWINAN DENGAN SEPUPU DI DESA SUKAONENG KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK ... 60 A. Analisis Larangan Perkawinan Dengan Sepupu di


(9)

Kabupaten Gresik ... 60

B. Analisis Hukum Islam Tentang Larangan Perkawinan Dengan Sepupu di Desa Sukaoneng\ Kecamatan Tambak Bawean Kabuapaten Gresik... 63

BAB V PENUTUP ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75 DAFTAR PUSTAKA


(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”1

Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam “perkawinan yang sah menurut hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”2

Dari pengertian di atas, pernikahan memiliki tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sehingga baik suami maupun isteri harus saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.3 Hal ini sejalan dengan firman Allah :

ك ۡيب لعج ا ۡيلإ ا ٓ كۡستل اج ٰ ۡ أ ۡ كسف أ ۡ كل ق خ ۡ أ ٓۦهتٰياء ۡ

َكفتي ۡقل تٰيَٓ كلٰذ يف َ إ ۚ ة ۡحر ةَد َ

Artinya:“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu

1

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1. 2

Departemen Agama RI, Intruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991; Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), 14.

3


(11)

2

cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang kaum yang berfikir.”

(QS. Ar-Rum: 21).4

Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam Islam perkawinan yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunannya dalam suasana saling mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami isteri. Jadi, pada dasarnya perkawinan merupakan cara penghalalan terhadap hubungan antar kedua lawan jenis, yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium dan hubungan intim. Perkawinan juga merupukan cara untuk melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi, karena tanpa adanya regenerasi, populasi manusia di bumi ini akan punah. Dan perkawinan memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, karena dengan perkawinan ini kedua insan, suami dan isteri, yang semula merupakan orang lain kemudian menjadi satu. Mereka saling memiliki, saling menjaga, saling membutuhkan, dan tentu saja saling mencintai dan saling menyayangi, sehingga terwujud keluarga yang harmonis (sakinah).5

Begitu jelas Islam menjelaskan tentang hakekat dan arti penting perkawinan, bahkan dalam beberapa undang-undang masalah perkawinan diatur secara khusus. Seperti, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan lain-lain.

4

Ibid, 156. 5

Masykuri Abdillah, “Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini” dalam MimbarHukum No. 36, 1998), 74.


(12)

3

Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut selektivitas. Artinya bahwa, seseorang ketika hendak melangsungkan pernikahan terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah.6 Hal ini untuk menjaga agar

pernikahan yang dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang ada. Terutama bila perempuan yang hendak dinikah ternyata terlarang untuk dinikahi, yang dalam Islam dikenal dengan istilah mahram (orang yang haram dinikahi).

Dalam hal larangan perkawinan, al-Qur’an memberikan aturan yang tegas dan terperinci. Dalam surat an-Nisa ayat 22-23 Allah SWT dengan tegas menjelaskan siapa saja perempuan yang haram untuk dinikahi. Perempuan itu adalah ibu tiri, ibu kandung, anak kandung, saudara kandung, seayah atau seibu, bibi dari ayah, bibi dari ibu, keponakan dari saudara laki-laki, keponakan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui, saudara sesusuan, mertua, anak tiri dari isteri yang sudah diajak berhubungan intim, menantu, ipar (untuk dimadu) dan perempuan yang bersuami.7

Berdasarkan ayat ini, dapat dipahami bahwa ada tiga kategori perempuan yang haram untuk dinikahi. Pertama, karena ada hubungan darah (pertalian nasab), baik hubungan nasab (keturunan) maupun karena hubungan persusuan. Kedua, karena ada hubungan pernikahan, baik yang dilakukan oleh ayah, diri sendiri atau anak. Dan ketiga, karena status perempuan yang sudah menikah.

6

Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media, cet. II, 2004), 144.

7

Badriyah Fayumi, “Incest dan Perlindungan Perempuan”, dalam Swara Rahima, No. 8 Tahun III Agustus 2003, 15.


(13)

4

Sementara dalam kompilasi hukum Islam, masalah larangan perkawinan diatur dalam pasal 39-44 Pasal 39 menyebutkan bahwa:

“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang

wanita disebabkan:

1. Karena pertalian nasab:

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.

b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu. c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. 2. Karena pertalian kerabat semenda:

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya. b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.

c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla al-dukhul.

d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya. 3. Karena pertalian sesusuan:

a. Dengan wanita yang sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;

b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;

c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah;


(14)

5

e. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

Tampaknya berkenaan dengan larangan perkawinan, baik yang termuat dalam fiqh, undang-undang maupun kompilasi hukum Islam, tidak menunjukkan adanya pergeseran konseptual dari fiqh, undang-undang maupun KHI. Hal ini disebabkan karena masalah perkawinan ini adalah masalah normatif yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang taken for granted. Di dalam hukum adat dikenal juga adanya larangan perkawinan, bahkan lebih spesifik dari apa yang diatur oleh agama dan Undang-undangan. Bila calon jodoh/istri berasal dari kelompok saudara ipar, orang Jawa menyebutnya dengan istilah kerambil sejanjang. Menurut anggapan, perkawinan bentuk ini merupakan pantangan atau larangan, apabila pantangan itu dilanggar akan mengakibatkan salah satu diantara mereka meninggal. Perkawinan antar saudara kandung juga dilarang, bahkan bila calon jodoh itu tidak sesuai dengan hari kelahirannya orang Jawa menyebutnya dengan istilah neptune ora cocok, ini juga dilarang. Selain itu apabila calon isteri adalah anak saudara laki-laki ayah. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah sedulur pancer wali atau pancer

lanangperkawinan jenis ini harus dihindari.8

Dalam adat masyarakat Batak, yang bersifat patrilineal dan bersendi

dalihan natolu (tungku tiga) berlaku larangan perkawinan semarga, pria dan

wanita dari satu keturunan (marga) yang sama dilarang melangsungkan perkawinan. Jika pria Batak akan kawin harus mencari wanita lain dari marga yang lain pula, begitu juga wanitanya. Sifat perkawinan demikian disebut

8

Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 156.


(15)

6

asymetris comnubium di mana ada marga pemberi bibit wanita (marga

hula-hula), ada marga dengan sabutuha (marga sendiri yang satu turunan) dan adamarga penerima wanita (marga boru). Antara ketiga tungku marga ini tidak boleh melakukan perkawinan tukar menukar (ambil beri).

Sementara di dalam masyarakat Minang, berlaku eksogami suku dan

endogamy kampung. Ini berarti bahwa orang yang sesuku di dalam satu

negeritidak boleh kawin, demikian pula orang yang sekampung tidak dapat kawin di dalam kampung sendiri, walaupun sukunya berlainan. Perkawinan sesuku dianggap tidak baik karena itu berarti kawin seketurunan dan merupakan kejahatan daerah atau incest.

Dalam masyarakat Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Gresik, terdapat suatu perkawinan antar anggota keluarga. Perkawinan dengan sepupu terjadi, berdasarkan keterangan sementara dari masyarakat Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik , adalah karena alasan harta, dan ijbar atau perjodohan. Mereka takut apabila kawin dengan orang lain (tidak satu nasab), harta mereka akan dikuasai oleh orang lain. Mengenai alasan ijbar, mereka berpendapat untuk mempererat tali silaturrahmi dan melanggengkan keturunan (biasanya keturunan priyayi atau bangsawan).

Fenomena tersebut menarik perhatian penulis, untuk meneliti lebih jauh. Karena baik dalam hukum Islam, undang-undang maupun Kompilasi Hukum Islam, perkawinan bentuk ini tidak diatur secara detail. Di dalam adat masyarakat Jawa, perkawinan dengan sepupu disebut perkawinan corss


(16)

7

saudara sekandung perempuan. Perkawinan cross causin menunjukkan adanya prinsip keturunan yang disebut bilineal, yang menghitungkankekerabatan melalui orang laki-laki saja untuk sejumlah hak kewajiban tertentu dan melalui garis wanita untuk sejumlah hak dan kewajiban yang lain.

Fenomena perkawinan dengan sepupu , sebenarnya banyak terjadi di masyarakat, karena mereka menganggap dari pada menikah dengan orang lain, yang berbeda marga/keturunan, lebih baik dengan keluarga sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis merasa ada yang perlu dikaji lebih mendalam tentang perkawinan bentuk ini terutama dari perspektif adat. Karena ada sebagian yang menyatakan bahwa perkawinan ini boleh dilakukan, ada juga yang mengatakan tidak boleh dilakukan. Dalam penelitian ini penulis memberi judul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Perkawinan Dengan Sepupu Di Desa Sukaoneng Kecamatan

Tambak Bawean Kabupaten Gresik”.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukakan di atas dapat di identifikasi sebagai berikut

1. Banyaknya dorongan orang tua untuk menjodohkan anak-anaknya dengan anak saudaranya supaya tidak hilang persaudaraannya.

2. Masih banyak yang menghawatirkan terhadap harta (biasanya keturunan priyayi atau bangsawan). agar tidak jatuh di tangan orang lain(beda nasab) lebih baik dengan saudara sendiri


(17)

8

3. Banyaknya pemikiran yang mengacu terhadap petuah (mitos) yang masih belum jelas kebenarannya dalam perkawinan dengan kerabat dekat (sepupu)

Identifikasi yang telah dikemukakan diatas, agar penelitian terarah dan tidak menyimpang dari topik yangdibahas, maka penulis msemberi batasan permasalahan pada :Berdasarkan perkawinan dengan sepupu di desa sukaoneng kecamatan tambak bawean kabupaten gresik jika ditinjau dari perundang-undangan dan hukum islam

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini antara lain:

1. Bagaimana praktek pelarangan perkawinan dengan sepupu di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik ?

2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap praktek larangan perkawinan dengan sepupu di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui praktek terjadinya larangan perkawinan dengan sepupu Di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik. 2. Untuk mengetahui Tinjauan Hukum Islam terhadap praktek larangan


(18)

9

perkawinan dengan sepupu di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik.

E. Kegunaan Hasil Penelitian

Adapun kegunaan hasil dari penelitian ini yaitu :

1. Bagi masyarakat Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik, dapat dijadikan bahan wawasan hukum islam memandang perkawinan yang terjadi di daerah tersebut.

2. Bagi penulis, penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran di bidang hukum Islam.

3. Bagi pembaca, diharapkan dapat menambah wawasan serta bermanfaat dan dapat digunakan sebagai acuan/pembanding dalam pembuatan skripsi berikutnya.

4. Sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi pada program studi Hukum Keluarga Jurusan Hukum Perdata Islam Fakultas Syariah & Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya.

F. Kajian Pustaka

Untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap objek yang sama serta menghindari anggapan plagiasi karya tertentu, maka perlu pengkajian terhadap karya-karya yang telah ada. Diantara penelitian yang sudah pernah dilakukan adalah sebagai berikut.

Sejauh penulusuran yang penulis lakukakan, ditemukan skripsi yang membahas tentang larangan perkawinan lusan manten, yaitu skripsi Alfatur


(19)

10

Rosida dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadapa Larangan Perkawinan Adat Lusan Manten di Desa Beton Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo” skripsi ini membahas tentang larangan perkawinan adat lusan manten di desa Beton Kecamatan siman Kabupaten Ponorogo yang mana perkawinan adat lusan manten salah satu yang tidak dilarang oleh hukum islam akan tetapi jika menggunakan pendekatan Saddu al- Zariah.9

Skripsi Nuris Setiyawati dengan judul “Pandangan Masyarakat Terhadap Larangan Perkawinan Sepangku di Desa Jenggot Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo Ditinjau Dari Hukum Islam” skripsi ini membahas tentang pandangan masyarakat yang melarang akan berlangsungnya perkawinan sepangku.10

Dalam literatur-literatur fiqh klasik hampir seluruhnya membahas tentang konsep mahram atau wanita yang haram untuk dinikahi. Di antaranya: Imam Syafi’i dalam karyanya al-Umm, Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya, Muhammad Jawad Mughniyah dalam Fiqh Lima Madzhab, Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid dan masih banyak lagi karya-karya fiqh lain yang membahas tentang larangan pernikahan.

Selain literatur-literatur di atas, ada beberapa karya tentang larangan perkawinan di antaranya: Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf dalam karyanya al-Tanbih fii Fiqhi asy-Syafi’i, Syeikh Mahmud Syaltut dalam

9Alfatur Rosida, “

AnalisisHukum Islam TerhadapaLaranganPerkawinanAdatLusanManten di DesaBetonKecamatanSimanKabupatenPonorogo”, (Skripsi--Istitut Agama Islam Negeri Sunan Ampel,2013).

10Nuris Setiyawati,”

Pandangan Masyarakat Terhadap Larangan Perkawinan Sepangku di Desa

Jenggot Kecamatan Krembong Kabupaten Sidoarj”,(Skripsi--Istitut Agama Islam Negeri Sunan Ampel,2012).


(20)

11

Islam „Aqidah wa Syari’ah, al-Fatawa, Imam al-Ghazali dalam karyanya

Adab an-Nikah, Ahmad Rofiq dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia,

jugamembahas tentang larangan dalam pernikahan.

Dalam bentuk undang-undang aturan-aturan tentang larangan perkawinan juga diatur. Di antaranya adalah Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Dari semua karya yang telah disebutkan di atas, pembahasan tentang larangan pernikahan (konsep mahram), bersumber dari al-Qur’an surat an-Nisa ayat 22-23 yang menjelaskan tentang siapa saja perempuan yang haram untuk dinikahi, yaitu Ibu tiri, Ibu Kandung, Anak Kandung, Saudara Kandung, seayah atau seibu, bibi dari ayah, bibi dari ibu, keponakan dari saudara laki-laki, keponakan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui, saudara sesusuan, mertua, anak tiri dari isteri yang sudah diajak berhubungan intim, menantu, ipar (untuk dimadu) dan perempuan yang bersuami.

Tampaknya dari semua pembahasan tentang larangan perkawinan yang termuat di dalam fiqh, undang-undang maupun Kompilasi Hukum Islam, tidak menunjukkan adanya pergeseran konseptual dari fiqh, undang-undang perkawinan dan KHI. Hal ini disebabkan karena masalah larangan perkawinan ini adalah masalah normatif yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang takenfor granted.

Prinsip larangan Perkawinan dengan sepupu yang terjadi di masyarakat, ternyata tidak mendapat perhatian khusus dalam hukum Islam,


(21)

12

maupun undang-undang, seperti perkawinan yang terjadi di desa sukaoneng kecamatan tambak bawean gresik.

Dengan demikian, penelitian yang penulis lakukan ini belum pernah dilakukan, sehingga memerlukan kajian yang lebih komprehensif untuk dapat mengetahui bagaimana hukum Islam memandang larangan perkawinan dengan sepupu di desa sukaoneng kecamatan tambak bawean gresik dan bagaimana prakteknya.

G. Definisi Operasional

Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka perlu sekali adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat operasional dalam penulisan skripsi ini agar mudah dipahami secara jelas tentang arah dan tujuannya.

Adapun judul skripsi ini adalah “Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Larangan Perkawinan Dengan Sepupu Di Desa Sukaoneng Kecamatan

Tambak Bawean Kabupaten Gresik”. Dan agar tidak terjadi kesalapahaman

di dalam memahami judul skripsi ini, maka perlu kiranya penulis uraiakan tentang pengertian judul tersebut sebagai berikut :

Hukum Islam : Peraturan-peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu dan sunnah Rasul-nya tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi pemeluk islam.


(22)

13

11

Dalam penelitian ini hukum islam yang digunakan untuk menganalisis adalah al-Qur’an, Hadits dan pendapat para ulama’.

Perkawinan dengan sepupu

: Perkawinan yang dilakukan oleh salah satu keluarga yang mana berlangsungnya kedua belah pihak adalah seorang anak dari anak dari saudara kandung sendiri atau kakak kandung.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (fieldresearch). Oleh karena itu, data-data yang dikumpulkan berasal dari datalapangan sebagai obyek penelitian. Untuk memperoleh validitas data, maka teknik pengumpulan data yang relevan menjadi satu hal yang sangat penting.

Dalam penelitian hukum, penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum sosiologis atau studi law in action. Karena mempelajari dan meneliti hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga sosial yang lain, studi terhadap hukum sebagai law in action merupakan studi ilmu sosial yang non-doktrinal dan bersifat empiris.

11


(23)

14

1. Data yang dikumpulkan

a. Data tentang praktek terjadinya larangan perkawinan dengan sepupu hasil wawancara dengan masyarakat yang melakukan perkawinan dengan sepupu dan tokoh masyarakat di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik.

b. Data yang berkaitan dengan larangan perkaawinan dengan sepupu di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik. 2. Sumber Data

Sebagaimana lazimnya penelitian hukum di masyarakat (sosio-legal research), penelitian ini membutuhkan data baik data primer yang berasal dari informan, maupun data sekunder yang berasal dari “Bahan Hukum”.

Data primer yang diperlukan berupa informasi yang terkait dengan perkawinan antar sepupu. Oleh karena itu, informan penelitian ini terdiri atas orang-orang yang melakukan legalisasi kejadian tersebut, dalam hal ini yaitu Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik.

Data sekunder adalah data yang bersumber dari literatur perundang-undangan, dan kitab-kitab yang membahas tentang model perkawinan tersebut.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka


(24)

15

peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.12

a. Studi Dokumenter

Penelitian untuk mengumpulkan data sekunder dilakukan dengan studi dokumentasi, khususnya peraturan perundang-undangan, dan data statistik perkawinan antar sepupu.

b. Wawancara

Dalam hal ini dilakukan survai dan wawancara dengan metode

depth interview atau wawancara mendalam untuk mengumpulkan

data yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi.13

Wawancara juga dilakukan dengan menggunakan petunjuk wawancara

(guided interview) sebagai petunjuk atau pedoman dalam melakukan

wawancara. Wawancara dilakukan terhadap masyarakat yang melakukan perkawinan tersebut serta tokoh masyarakat dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik.

4. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa data kualitatif,

12

Sugiyono, MetodePenelitianKuantitatifKualitatifdan R&D, 224. (Bandung: PenerbitAlfabeta, 2010), 3

13


(25)

16

dengan metode deskriptif kualitatif, yakni penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau fenomena melalui sudut pandang sosial.

Dalam hal ini penulis ingin mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan dengan sepupu, bagaimana masyarakat desa sukaoneng tambak bawean gresik memandang hal tersebut.

Dalam mendeskripsikan data-data yang telah diperoleh, penulis menggunakan pola berfikir deduktif, yaitu berangkat dari premis-premis mayor atau fakta - fakta umum, kemudian fakta - fakta umum tersebut digeneralisasikan ke dalam premis khusus atau dituangkan dalam sebuah teori lama. Dalam studi sosial, hukum tidak dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang mandiri (otonom), tetapi sebagai suatu institusi sosial yang dikaitkan secara riil dengan variabel-variabel sosial yang lain.

Hukum yang secara empiris merupakan gejala masyarakat, di satu pihak dapat dipelajari sebagai suatu variabel penyebab yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan sosial. Dalam hal ini, penulis mengamati fenomena perkawinan dengan sepupu, yang terjadi pada masyarakat desa sukaoneng tambak bawean gresik.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan skripsi akan disusun dalam lima bab. Tiap-tiap bab terdiri atas beberapa sub-bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan penulis lakukan.

Bab pertama menguraikan tentang latar belakang, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan


(26)

17

hasil penelitian, kajian pustaka, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab dua membahas tentang perkawinan menurut hukum Islam, yang meliputi pengertian perkawinan, dasar hukum perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, macam-macam sistem perkawinan,kriteria perempuan yang boleh dinikahi.

Bab tiga membahas tentang larangan perkawinan dengan sepupu di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik. Dalam bab ini juga dibahas latar geografis atau monografi desa sukaoneng tambak bawean gresik, latar sosial budaya dan keagamaan masyarakat Desa Sukaoneng Tambak Bawean Gresik. Dan untuk memperjelas pokok bahasan dalam penelitian ini dibahas tentang larangan perkawinan dengan sepupu yang terjadi di Desa Sukaoneng Tambak Bawean Gresik.

Bab empat membahas tentang kajian analisis atau jawaban dari rumusan permasalahan dalam penelitian ini. Di dalamnya menganalisis tentang latar sosial, budaya dan keagamaan masyarakat Desa Sukaoneng Tambak Bawean Gresik, dan yang menjadi pokok pembahasan yaitu analisis larangan perkawinan dengan sepupu yang terjadi di desa sukaoneng tambak bawean gresik ketika ditinjau dari hukum Islam.

Bab lima berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dibahas dan diperbincangkan dalam keseluruhan penelitian. Dalam bab ini juga berisi tentang saran-saran dari penulis.


(27)

BAB II

SYARAT DAN KETENTUAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM

ISLAM

A. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam

Perkawinan merupakan sunnatullah pada hamba-hamba-Nya, dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan ataupun tumbuh-tumbuhan. Dengan perkawinan itu khususnya bagi manusia (laki- laki dan perempuan) Allah SWT menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan rumah tangganya.1 Allah SWT berfirman:

اَن ُ ّ َ َ اْ ُ ّ َ َ اِْ َ ْ َزا َ ْ َ َ اٍ ْ َ اِّ ُ اْ ِ َ

Artinya: “Dan Segala sesuatu itu Kami (Allah) Jadikan

Berpasang-pasangan Agar Kamu Semu Mau Berfikir.(Qs-Ad

Dzariyat:49.)2

Allah SWT juga berfirman dalam surat Yaa Siin ayat 36:

اَن ُ َ ْ ََ ا َ ا ِّ َ اْ ِ ِ ُن َ اْ ِ َ اُ ْرَْا اُ ِن ُ ا ِّ ا َ ّ ُ اَج َ ْزَْا اَ َ َ ا ِ ّ اَن َ ْنُ

Artinya: “Maha Suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu

berpasang- pasangan, baik (pada) tumbuh-tumbuhan maupun diri mereka sendiri (manusia) dan lain-lain yang

tidak mereka ketahui.” (QS. Yaa Siin: 36).3

Dalam Islam perkawinan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhanseksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan

1

Mahtuf Ahnan dan Maria Ulfa, Risalah Fiqh Wanita, Pedoman Ibadah Kaum Wanita Muslimah dengan Berbagai Permasalahannya, (Surabaya: Terbit Terang, 2010), 270.

2

Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2014, Al Qur‟an Nur Karim dan Terjemahan, 678. 3


(28)

19

keturunannya dalam suasana saling mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami isteri. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

اَن ُ َ ْ ََ ا َ ا ِّ َ اْ ِ ِ ُن َ اْ ِ َ اُ ْرَْا اُ ِن ُ ا ِّ ا َ ّ ُ اَج َ ْزَْا اَ َ َ ا ِ ّ اَن َ ْنُ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21).4

Dalam Al-Qur’an, perkawinan disebut dengan nikah, yang disebut sampai 19 kali. Namun, kata nikah tersebut memiliki beberapa makna. Pertama, kata nikah dapat berarti aqd (akad), sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 32:

ا ُنَ َتْ ا ِّ اٌبيِصَ ا ِل َ ِّ ِ اٍضْ ََباىَ َعاْ ُ َضْ ََباِهِباُّّ اَ ّضَفا َ ا ْ َّ َ َتََ ا َ

ً يِ َعاٍ ْ َ اِّ ُ ِباَن َ اَّّ اّنِإاِهِ ْضَفاْ ِ اَّّ ا ُ َأْ َ اََْْ َتْ ا ِّ اٌبيِصَ اِ َ ِّ ِ َ

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba-hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha

luas (pemberian- Nya) lagi Maha Mengetahui.”5

Ayat di atas, merupakan perintah “mengakadkan” karena mungkin seorang lajang meskipun laki-laki perlu diakadkan karena secara

4

Masykuri Abdillah, “Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”,dalam MimbarHukum No. 36 Tahun IX, 1998, hlm. 75.

5


(29)

20

psikologis ia tidak ingin atau tidak berani menikah6, demikian juga Al-

Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 221 di bawah ini:

ا َ اْ ُ ْتََنَجْعَ اْ َ َ اٍةَ ِ ْشُ اْ ِ اٌ َْيَ اٌةَ ِ ْؤُ اٌةَ اَ اّ ِ ْؤَُ ا َّّحا ِت َ ِ ْشُ ْ ا ُ ِ ْ ََ ا َ

اَكِئَ ُ اْ ُ َنَجْعَ اْ َ َ اٍكِ ْشُ اْ ِ اٌ َْيَ اٌ ِ ْؤُ اٌدْنَ َ َ ا ُ ِ ْؤَُ ا َّّحاَ ِ ِ ْشُ ْ ا ُ ِ ْ َُ

اْ ُ ّ َ َ اِس ّ ِ اِهِ ََآاُِّ َنَُ َ اِهِ ْذِِِاِةَ ِنْغَ ْ َ اِةّ َْْ ا ََِإا ُعْدَ اُّّ َ اِر ّ ا ََِإاَن ُعْدَ

اَن ُ ّ َ َتََ

Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum

mereka beriman …” (QS. Al- Baqarah: 221).7

Ayat di atas memperlihatkan bahwa laki-laki dilarang melangsungkan akad nikah dengan perempuan musyrik. Kedua, kata nikah dapat bermakna (hubungan kelamin), karena pada dasarnyahubungan laki-laki dan perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang membolehkannya secara hukum syara’. Di antara hal yang membolehkan hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah di antara keduanya. Dengan demikian, akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh menjadi boleh. Ketiga, kata nikah juga dapat berarti umur baligh (usia dewasa)8.

6

Abdul Hadi, Fiqh Munakahat dan Peraturan Perundang-undangan,Diktat Kuliah, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,Semarang,2002,hlm.2.

7

Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2014, Al Qur‟an Nur Karim dan

Terjemahan,hal.196 8


(30)

21

Sebagaimana firman Allah:

ُ ََتَْب َ

ا

ىَ َتََيْ

ا

اَّّح

ا

َذِإ

ا

ُغَ ََب

ا

اَح َ ِّ

ا

اْنِ َف

ا

اْ ُتْ َ آ

ا

اْ ُ َْ ِ

ا

ًدْ ُر

ا

ُ ََفْد َف

ا

اْ ِ ْيَ ِإ

ا

اْ َُا َ ْ َ

ا

َ

ا

َ ُ ُ ََْ

ا

ًف َ ْ ِإ

ا

ًر َدِبَ

ا

اْنَ

ا

ُ ََنْ َ

ا

اْ َ َ

ا

اَن َ

ا

ّيِ َغ

ا

اْ ِنْ ََتْ َيْ ََف

ا

اْ َ َ

ا

اَن َ

ا

ًرِ َف

ا

اْ ُ ْأَيْ ََف

ا

اِو ُ ْ َ ْ ِ

ا

َذِ َف

ا

اْ ُتْ ََفَد

ا

اْ ِ ْيَ ِإ

ا

اْ َُا َ ْ َ

ا

ُدِ ْ َأَف

ا

اْ ِ ْيَ َع

ا

ىَنَ َ

ا

اِِّّ

ا

ًنيِ َح

Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur

untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. An-Nisa‟: 6).9

Menurut Imam Syafi'i, yang dimaksud umur dewasa adalah 15 tahun. Nikah juga dapat bermakna akad dan semua akibatnya, yaitu biaya hidup dalam rumah tangga, atau paling tidak biaya akad nikah. Dalam al-Qur'an perkawinan juga disebut dengan

ج ز

. Kata ini tidak banyak disebutkan

di dalam Al-Qur'an sebagai suatu perintah harfiah,secara aktif terhadap perkawinan, melainkan sebagai “kata benda” yang pasif. Sehingga kata (

ج ز

ا-

ج زَ

ج ز

) berarti jodoh atau kawan, seperti tersirat dalam surat

ar-Rum ayat 21.

Kata tersebut di atas cukup banyak disebutkan dalam al-Qur'an dengan konotasi yang paling dominan adalah jodoh. Jumlah ayatnya tidak kurang dari 78 ayat yang tersebar di banyak surat. Kata jodoh itu digunakan sebagai fenomena umum baik makhluk manusia maupun lainnya sebagaimana dalam firman-Nya dalam surat Yaa Siin ayat 36 seperti disebutkan di atas. Kata nikah dan tazawwaj, dalam ilmu fiqh disebut dengan

9


(31)

22

kata sharih (denotatif), atau kata yang lazim dipakai oleh masyarakat muslim.10

Dari segi bahasa nikah memiliki beberapa arti, sedangkan menurut istilah para ahli fiqh (fuqaha), nikah didefinisikan sebagai akad yang disiarkan yang berdasarkan rukun-rukun dan syarat-syarat.11 Sayid Sabiq

dalam Fiqh Sunnah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menjadikan halalnya menggapai kenikmatan bagi masing- masing suami isteri atas dasar ketentuan yang disyari’atkan Allah SWT.12

Dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan merupakan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah dan merupakan ibadah bagi yang melaksanakannya.13 Dan bertujuan

untukmewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah

dan warrahmah.14

Dari pengertian di atas, dapat diambil pengertian bahwa: pertama, perkawinan merupakan cara penghalalan terhadap hubungan antar kedua lawan jenis, yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium dan hubungan intim. Kedua, perkawinan juga merupakan cara untuk melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi, karena tanpa adanya regenerasi, populasi manusia di bumi ini akan punah.

10

Ibid, 5. 11

Imam Taqiyuddin al-Dimasyqi, Kifayat al-Akhyar, Juz 2, (Bandung: PT. al-Ma’arif, 2010), 36. 12

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2010), 7. 13

Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam. Lebih lengkap lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, 14.

14


(32)

23

Dan ketiga, perkawinan memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, karena dengan perkawinan ini kedua insan, suami dan isteri, yang semula merupakan orang lain kemudian menjadi bersatu. Mereka saling memiliki, saling menjaga, saling membutuhkan, dan tentu saja saling mencintai dan saling menyayangi, sehingga terwujud keluarga yang harmonis (sakinah).

Perkawinan dalam undang diatur secara khusus, yaitu undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974. Di dalam undang-undang-undang-undang ini, diatur bagaimana perkawinan dapat berlangsung, dan semua hal yang berhubungan dengan perkawinan. Dalam pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga,rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.15

Dalam KUH Perdata dikatakan undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata dan dalam pasal 81 KUH Perdata dikatakan bahwa tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatat sipil telah berlangsung.16

15

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990, 7.

16


(33)

24

Berkaitan dengan takrif atau definisi nikah (perkawinan) di atas, ada beberapa hal penting yang berlaku umum di seluruh dunia Islam, ada dua yaitu:

1. perkawinan merupakan perbuatan hukum yang dilangsungkan dalam bentuk akad atau kontrak. Dawoud el Alami dan Doreen Hinchliffe, menyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah sebuah kontrak, dan seperti halnya semua kontrak-kontrak yang lain, perkawinan disimpulkan melalui pembinaan suatu penawaran (ijab) oleh satu pihak dan pemberian suatu penerimaan (qabul) oleh pihak yang lain. Bukan bentuk kata-katanya itu sendiri yang menjadi wajib, sepanjang maksudnya dapat disimpulkan (dipahami), maka suatu akad perkawinan adalah jelas (sah).17

2. Islam hanya mengakui perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Dalam undang-undang perkawinan Indonesia (No. 1 Tahun 1974) disebutkan dalam anak kalimat “antara seorang pria dengan seorang wanita” atau “aqdun bayn ar-rajul wa al-mar‟ah” dalam

undang-undang perkawinan lain.18

Ketiga, tujuan utama perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan dalam rangka membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia atau sakinah, sebagaimana disebutkan dalam undang-undang No.1 Tahun 1974

“dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal” atau

to establish a bond a shared life and for procreation,” “with the object of

17

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 50-51.

18


(34)

25

the faming of a family and producing children,” dalam undang-undang

perkawinan dunia Islam.19

Perkawinan merupakan anjuran sebagai umat beragama, maka hendaknya dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 974: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”20

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita. Sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.

B. Dasar Hukum Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang diperintah oleh Allah SWT dan juga oleh Nabi SAW. Banyak perintah-perintah Allah dalam al-Qur'an untuk melaksanakan perkawinan. Dan perintah Nabi SAW dalam sebuah hadits yang juga menganjurkan perkawinan. Di antara firman Allah SWT yang memerintahkan perkawinan adalah:

اَثاُثَ ا َََْثَ اِ َ ِّ اَ ِ اْ ُ َ اَب َطا َ ا ُ ِ ْ َفاىَ َتََيْ ا ِِا ُطِ ْ َُ ا َ اْ ُتْنِ اْنِإَ

ُ ُ ََ ا َ اََْدَ اَكِ َذاْ ُ ُ ََْْ اْ َ َ َ ا َ اْ َ اًةَدِح َ ََفا ُ ِدْ ََ ا َ اْ ُتْنِ اْنِ َفاَعَ ُرَ

19

Ibid, 54. 20


(35)

26

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap

(hak- hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu

adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An

-Nisa‟:3)21

اًةََْْرَ اًةّدَ َ اْ ُ َ َْيََباَ َ َ َ ا َ َْيَ ِإا ُ ُ ْ َتِ ا ً َ ْزَ اْ ُ ِ ُنَْ َ اْ ِ اْ ُ َ اَ َ َ اْنَ اِهِ ََآاْ ِ َ

اَن ُ ّ َنََتََ اٍمْ َ ِ ا ٍتََ اَكِ َذا ِِاّنِإ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21).22

Adapun sumber-sumber naql yang berasal dari Rasulullah SAWsebagai berikut:

ا َل َقاُهْ َعَ

ا:

اِةَ َنْ ِ اُ ُ ََْاماَِّّ اُل ُ َراَن َ

ا,

ا ًد ِدَ ا ًيْ ََ اِ ُتََنَّت اِ َعاىَ َْ ََ َ

ا,

اُل ُ ََ َ

ا:

اِةَ َيِ ْ َ اَمْ ََ اَ َيِنْ َْاَ اُ ُ ِباٌ ِث َ ُ ا ِِّّإاَد ُ َ ْ َ اَد ُدَ ْ َ ا ُ ّ َزََ

)

اُدََْْ اُه َ َر

ا,

اَن ّنِحاُ ْبِ اُهَ ّ َ َ

Artinya: “Menikahlah dengan wanita yang penuh cinta dan yang

banyak melahirkan keturunan. Karena sesungguhnya aku

merasa bangga karena banyak kaumku di hari kiamat kelak.”

(HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).23

21

Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2014, Al Qur‟an Nur Karim dan Terjemahan, 354.

22

Ibid.,359 23

Mahtuf Ahnan dan Maria Ulfa, Risalah Fiqh Wanita, Pedoman Ibadah Kaum WanitaMuslimah dengan Berbagai Permasalahannya, (Surabaya: Terbit Terang, 2009), 197.


(36)

27

Dari begitu banyaknya perintah Allah dan Nabi untuk melaksanakan perkawinan itu, maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan. Namun perintah Allah dan Rasul untuk melangsungkan perkawinan itu tidaklah berlaku secara mutlak tanpa persyaratan.24

Persyaratan untuk melangsungkan perkawinanitu terdapat dalam hadits Nabi dari Abdullah bin Mas’ud:

ا ِب َنّش َ اَ َشْ َ اََاماَِّّ اُل ُ َرا َ َ اَل َقاهاٍد ُ ْ َ اِ ْباَِّّ اِدْنَعاْ َع

ا!

اَع َطَتْ اِ َ

اْجّ َزََتََيْ ََفاَةَ َنْ َ اُ ُ ْ ِ

ا,

اِ َصَنْ ِ اُضَغَ اُهّ ِ َف

,

اِجْ َنْ ِ اُ َصْحَ َ

ا,

اِهْيَ َ ََفاْعِطَتْ َ اََْاْ َ َ

اِمْ ّص ِ

;

اٌ َ ِ اُهَ اُهّ ِ َف

)

اا

اِهْيَ َعاٌ َنَّتُ

Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu sekalian

yang mampu kawin, kawinilah: maka sesungguhnya kawin itu lebih memejamkan mata (menenangkan pandangan) dan lebih memelihara farji. Barangsiapa yang belum kuat kawin (sedangkan sudah menginginkannya), berpuasalah!

Karena puasa itu dapat melemahkan syahwat.” (HR.

Muttafaq „Alaih).

Kata-kata al-baat mengandung arti kemampuan melakukan hubungan kelamin dan kemampuan dalam biaya hidup perkawinan. Kedua hal merupakan persyaratan suatu perkawinan. Pembicaraan tentang hukum asal dari suatu perkawinan yang diperbincangkan di kalangan ulamaberkaitan dengan telah dipenuhinya persyaratan tersebut:

صاِهاُلْ ُ َراَل َقا،ى ين اة راىا

ا:

ا،ِ ْ ِّد اَ ْصِ اَ َ ْ َتْ اِدَ ََفاُدْنَ ْ اَجّ َزََ ا َذِ

ىِق َن ْ ا ِ ْصِّ ا ِىاَهاِ ّتََيْ ََف

.

24

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahatdan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 44.


(37)

28

Artinya: “Kawinlah kamu sekalian! Berketurunanlah kamu sekalian; berkembangbiaklah kamu sekalian!Maka sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kamu terhadap para Nabi di hari kiamat.” (HR. Baihaqi).25

Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi dasar disyariatkannya perkawinan di atas, maka dapat dipahami bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh). Menurut jumhur ulama hukum menikah adalah sunnah, sedangkan menurut golongan dzahiri, menikah hukumnya wajib.26 Terlepas dari perbedaan pendapat para imam mazhab, maka hukum perkawinan itu dapat berubah-ubah berdasarkan „illat hukum.27

Dengan demikian ada lima tingkatan hukum yaitu:28

1. Wajib: Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, dan ada kekhawatiran apabila tidak kawin akan terjerumus dalam perbuatan zina. Hal ini disebabkan karena menjaga diri dari perbuatan zina adalah wajib bagi seseorang, sedangkan penjagaan diri itu hanya akan terjamin dengan jalan perkawinan, maka bagi orang tersebut wajib hukumnya melaksanakan perkawinan.

2. Sunnah: Perkawinan hukumnya sunnah bagi orang yang berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan. Untuk melaksanakan dan memikul kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina. Melakukan perkawinan lebih baik daripada hidup menyendiri dengan hanya beribadah. Oleh sebab itu

25

Ibid, 44. 26

Ibn Rusyd al-Qurtuby al-Andalusi, Bidayah al-Mujtahid, juz II, Beirut, Libanon: (Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 2010), 196.

27

Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996), 83.

28


(38)

29

para pendeta yang sibuk dengan ibadah mereka dan tidak mau menikah itu tidak termasuk ajaran Islam.

3. Mubah: Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa hukum asal pernikahan adalah mubah atau boleh. Artinya, perkawinan boleh dilaksanakan bagi orang yang mempunyai harta benda, tetapi apabila tidak kawin tidak akan berbuat zina dan andai kata kawin tidak akan menyia-nyiakan kewajibannya terhadap isteri. Perkawinan ini dilakukan sekedar memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga keselamatan hidup beragama.

4. Makruh: Perkawinan menjadi makruh bagi seseorang yang mampu dari segi material, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama hingga tidak akan khawatir terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran memenuhi kewajibannya terhadap isteri, meskipun tidak akan berakibat menyusahkan pihak isteri, misalnya pihak isteri tergolong orang kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk menikah. 5. Haram: Perkawinan menjadi haram apabila seseorang belum siap untuk

melaksanakan perkawinan, sehingga apabila kawin akan menyusahkan isterinya dan tidak mampu memberi nafkah. Dengan demikian, perkawinan merupakan jembatan baginya untuk berbuat dzalim.

Dalam Kompilasi Hukum Islam dasar-dasar perkawinan disebutkan dalam pasal 2-10. Pasal 5 KHI menyebutkan bahwa perkawinan dapat dijamin kesahannya dan demi tertibnya perkawinan bagi masyarakat Islam,


(39)

30

maka setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan yang dimaksud, dilaksanakan oleh Pegawai Pencatat Nikah

Dengan demikian setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Tanpa pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinannya tidak memiliki kekuatan hukum (pasal 6). Begitu juga dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, bahwa perkawinan bisa dikatakan sah apabila dicatat, sebagaimana undang- undang yang berlaku.29\

C.Syarat dan Rukun Perkawinan

Suatu perkawinan dapat dikatakan sah, apabila telah memenuhi rukun dan syarat dalam perkawinan. Apabila salah satu dari rukun maupun syarat tidak dipenuhi, maka perkawinannya tidak sah. Abdurrahman al-Jaziry mengemukakan bahwa nikah yang tidak memenuhi syarat, maka status nikahnya menjadi fasid (rusak), sedangkan nikah yang tidak memenuhi rukun maka nikahnya menjadi bathil (batal).30

Adapun syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, yaitu:31

1. Calon mempelai pria, dengan syarat: a. Beragama Islam

b. Laki-laki

29

Lihat pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. 30

Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, (Beirut: Maktabah al-Tijariyah Kubra), 118.

31

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4,2000), 71-72.


(40)

31

c. Jelas orangnya

d. Dapat memberikan persetujuan e. Tidak dapat halangan perkawinan 2. Calon mempelai wanita, dengan syarat:

a. Beragama Islam b. Perempuan c. Jelas orangnya

d. Dapat dimintai persetujuannya e. Tidak terdapat halangan perkawinan f. Wali nikah, dengan syarat:

a) Laki-laki b) Dewasa

c) Mempunyai hak perwalian

d) Tidak terdapat halangan perwaliannya g. Saksi nikah, dengan syarat:

a) Minimal dua orang laki-laki b) Hadir dalam ijab qabul c) Dapat mengerti maksud akad d) Islam

e) Dewasa

h. Ijab Qabul, dengan syarat:

a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali


(41)

32

c) Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kata nikah atau

tazwij

d) Antara ijab dan qabul bersambungan e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah

g) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.32

D. Perempuan yang Boleh Dinikahi Menurut Islam

Setelah mengetahui rukun dan syarat perkawinan, bagi seorang muslim yang hendak melangsungkan perkawinan, harus mengetahui lebih dahulu siapa pasangan yang akan mendampingi nantinya. Hal ini penting untuk diperhatikan, agar nantinya setelah menjalani kehidupan rumah tangga tidak terjadi hal-hal yang tidak kita rencanakan. Dengan mengetahui siapa pasangan kita, maka akan terjaga dan terpelihara status perkawinan kita.

Dalam sebuah hadits Nabi dijelaskan bahwa:

ا َل َقاماِِّبّ اِ َعاهاَةَ َْ َ ُا َِِ اْ َعَ

ا:

(

اٍعَبْرَِااُةَ ْ َ ْ َ اُحَ ْ َُ

ا:

َِا َ ِ

,

َ ِنَ ََِِ

,

َِا َ ََِْ

,

َ ِ ِدِ َ

ا,

اَك َدَ اْ َبِ َ اِ ِّد َ ا ِت َ ِباْ َنْا َف

اَعَ اِهْيَ َعاٌ َنَّتُ

اِةَ َْنّ َ اِةّيِ َب

32


(42)

33

Artinya: Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda: “Dikawini

perempuan karena 4 (empat) perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamnya, maka pilihlah

karena agamanya maka akan selamatlah engkau.” (HR. Bukhari).

Hadits di atas menjelaskan anjuran bagi seorang muslim apabila hendak mencari pasangannya. Ada 4 (empat) perkara yang harus diperhatikan dalam memilih pasangan yaitu karena hartanya, karena keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya:

a. Karena Hartanya

Laki-laki baik dahulu maupun sekarang, menginginkan kawin dengan perempuan yang kaya. Padahal hal ini belum tentu berdampak positif. Karena orang yang mementingkan perkawinan karena mengharapkan harta kekayaannya semata dapat menjatuhkan harga dirinya. Lebih-lebih hal ini timbul dari pihak laki-laki, sebab akan menjatuhkan dirinya di bawah pengaruhperempuan darikekayaannya.33

Dalam Firman Allah SWT juga dijelaskan:

اْ ِ ا ُ َنَْ َ ا ََِِ اٍضْ ََباىَ َعاْ ُ َضْ ََباُّّ اَ ّضَفا َِِاِ َ ِّ اىَ َعاَن ُ ّ ََقاُل َ ِّ

اّ َُز ُشُ اَن ُف َََا ِِا َ اُّّ اَظِنَحا َِِا ِبْيَغْ ِ اٌت َظِف َحاٌت َتِ َقاُت َِِ ّص َفاْ ِِا َ ْ َ

اايِنَ اّ ِ ْيَ َعا ُغَْنََ ااَفاْ ُ َ ْ َطَ اْنِ َفاّ ُ ُبِ ْض َ اِعِ َضَ ْ ا ِِاّ ُ ُ ُجْ َ اّ ُ ُظِ َف

ًرِنَ ا ّيِ َعاَن َ اَّّ اّنِإ

Artinya: Sesuatu yang telah mereka (laki-laki) nafkahkan dari harta-

hartanya.” (QS. An-Nisa‟: 34)

33


(43)

34

Mengharapkan isteri yang kaya, hanya karena semata-mata ingin mengharap kekayaan, sungguh merupakan suatu pertimbangan yang jauh dari tuntunan baginda Rasul.34

b. Karena keturunan atau kebangsawanannya

Pandangan ini sungguh merupakan pandangan yang kurang mulia. Sebab dalam ajaran Islam, kemuliaan tidak terletak pada keturunan atau kebangsawanan. Kemuliaan seseorang di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa kepada-Nya35, sebagaimana dinyatakan dalam firman

Allah:

اّنِإا ُفَر َ ََتِ اَ ِئ َنََقَ اً ُ ُ اْ ُ َ ْ َ َ َ اىَثَْ ُ َ اٍ َ َذاْ ِ اْ ُ َ ْ َ َ اِّّإاُس ّ ا َ َُ َ اََ

اٌرِنَ اٌ يِ َعاَّّ اّنِإاْ ُ َ َْ َ اِّّ اَدْ ِعاْ ُ َ َ ْ َ

Artinya: “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha

teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13).36

Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa barangsiapa mengawini seorang perempuan karena kebansawanannya, niscaya tidak akan bertambah kebangsawanannya kecuali mendapat hinaan. Memilih calon isteri karena mengharap atau menginginkan kebangsawanannya semata

34

Ibid, 39. 35

Ibid, 40. 36

Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2014, Al Qur‟an Nur Karim dan Terjemahan,hal 256.


(44)

35

adalah suatu larangan. Karena kebangsawanan seseorang (suami-isteri) tidak mungkin berpindah kepada orang lain.

Dalam Islam dianjurkan agar kita memilih perempuan dari golongan keluarga yang baik-baik, yang kokoh dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama. Dengan demikian, kelak dia akan dapat mendidik anak-anaknya secara baik sesuai tuntunan Rasulullah. Sebaliknya, jika memilih calon isteri yang tidak baik agamanya, sedangkan dia tidak shalat, tidak puasa, tidak suka membaca Al-Qur’an, tidak mau membayar zakat dan ibadah-ibadah lainnya, maka dikhawatirkan didikan yang diberikan kepada anak-anaknya tidak baik pula.37

c. Karena kecantikannya

Seorang laki-laki apabila hendak menikah, dianjurkan untuk memilih calon isteri yang cantik. Hal ini penting, karena dapat menyenangkan suami yang akhirnya bermuara pada kepuasan rohani (seksual). Dengan kecantikan biasanya dapat menyebabkan timbulnya keserasian dan kerukunan hidup suami isteri. Keduanya saling mencintai dan menyayangi. Sadar akan hal tersebut, nabi Muhammad SAW, mengajarkan kaum laki-laki yang akan menikah, hendaklah terlebih dahulu dilihat perempuan yang akan dinikahinya.38

Nabi SAW bersabda, yang artinya “janganlah kamu mengawini perempuan itu karena ingin melihat kecantikannya, mungkin kedantikannya itu akan membawa kerusakan bagi mereka sendiri, dan

37

Ibid, hlm. 41. 38


(45)

36

janganlah kamu mengawini mereka karena mengharap harta mereka, mungkin hartanya itu akan menyebabkan mereka sombong. Tetapi nikahilah mereka dengan dasar agama. Dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik asal ia beragama.39

d. Karena agamanya

Pandangan ini merupakan pandangan yang paling tepat. Seseorang yang akan menentukan pilihan jodohnya bukan hanya karena harta kekayaannya, keturunan atau kebangsawanannya, kecantikannya. Tapi unsur yang paling penting adalah memilih istri yang beragama Islam serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian dia dapat melaksanakan kewajibannya dalam rumah tangga.40

Dijelaskan juga dalam Firman Allah.SWT yaitu41:

اْ ِِا َ ْ َ اْ ِ ا ُ َنَْ َ ا ََِِ اٍضْ ََباىَ َعاْ ُ َضْ ََباُّّ اَ ّضَفا َِِاِ َ ِّ اىَ َعاَن ُ ّ ََقاُل َ ِّ

اّ ُ ُظِ َفاّ َُز ُشُ اَن ُف َََا ِِا َ اُّّ اَظِنَحا َِِا ِبْيَغْ ِ اٌت َظِف َحاٌت َتِ َقاُت َِِ ّص َف

اَن َ اَّّ اّنِإاايِنَ اّ ِ ْيَ َعا ُغَْنََ ااَفاْ ُ َ ْ َطَ اْنِ َفاّ ُ ُبِ ْض َ اِعِ َضَ ْ ا ِِاّ ُ ُ ُجْ َ

ًرِنَ ا ّيِ َع

Artinya:“Maka perempuan yang baik ialah yang taat kepada suami, serta memelihara diri di balik belakang suaminya sebagaimana Allah telah memeliharakan dirinya. (QS. 4:34)42

Pengertian memelihara diri yang dimaksud dalam firman Allah itu adalah memelihara kehormatannya maupun kehormatan suaminya

39

Ibid, 42. 40

Ibid, 43. 41

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran Nur Karim dan Terjemahan, thn,2004, 674. 42


(46)

37

serta rahasia suami dan keluarganya, rahasia rumah tangganya dengan cara yang diwajibkan Allah. Dalam perkawinan antar anggota keluarga yang mendasari terjadinya perkawinan ini adalah untuk menyambung tali silaturrahim antar kedua keluarga dan juga untuk menjaga kewibawaan dari kedua keluarga.


(47)

BAB III

PROFIL DAN SEJARAH DESASUKAONENG

A. Sejarah Desa

Sejarah Desa Sukaoneng tidak terlepas dari sejarah namanya. Disamping itu juga kondisi lingkungan masyarakatnya yang banyak lembaga pendidikan. Bahkan sekitar tahun 1947 di Sukaoneng sudah berdiri lembaga pendidikan Pesantren yang sangat pesat. Diantaranya Ponpes Darul Hikam yang terletak di Dusun Rujing, sampai saat ini ( Tahun 2015) sudah berdiri 5 pondok pesantren yang tersebar di bebarapa dusun Desa Sukaoneng

Nama Sukaoneng di ambil dari bahasa Bawean yang berasal kosa kata

”Soka”atau suka yang berarti suka atau Senang, dan ”Oneng” yang berarti Tahu (bukan TAHU makanan) atau pengetahuan sehingga arti dari kata

Sukaoneng” adalahsuka pengetahuan. Jadi Sukaoneng adalah desa yang

penduduk dan masyarakatnya senang menimbah ilmu pengetahuan.

Adapun kepala desa yang pernah menjabat hingga sekarang adalah sebagai berikut:

1. Tayyib (tahun 1932 s.d 1959) 2. Akhyar (tahun 1960s.d 1984) 3. Moh. Zaini (tahun 1985s.d 1999) 4. Ishaq (tahun 2000 s.d 2013)

5. Abdul hayyi ( Tahun 2013 s.d Sekarang )1

1


(48)

39

B. Demografi Desa Sokaoneng

1. Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2015 : a. Jumlah Penduduk menurut jenis kelamin

- Laki – laki : 1097Jiwa

-Perempuan : 1161 Jiwa

Jumlah : 2258Jiwa

b. Jumlah Kepala Keluarga : 474 KK

-Laki – laki : 412 Rumah

- Lainnya : 62 Rumah

c. Jumlah Penduduk menurut kewarganegaraan

-Laki – laki : 1097 Jiwa

Perempuan : 1161Jiwa

Jumlah : 2258Jiwa

d. Warga Negara Asing

-Laki – laki : 0 Jiwa

Perempuan : 0 Jiwa

Jumlah : 0 Jiwa

e. Jumlah Penduduk menurut Agama/Kepercayaan pada Tuhan YME

- Islam : 2258 Orang

- Keristen Protesten : 0 Orang

- Hindu : 0 Orang


(49)

40

Jumlah : 2258 Jiwa

f. Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian

- Pegawai Negeri : 11 Orang

- TNI / Polri : 0 Orang

- Karyawan Swasta : 0 Orang

- Wiraswasta / Pedagang : 40 Orang

- Tani : 453 Orang

- Buruh Tani : 679 Orang

- Nelayan : 347 Orang

- Pertukangan : 61 Orang

- Pensiunan : 07 Orang

- Jasa : 11 Orang

- Lain – lain : 123 Orang

Tingkat kemiskinan di DesaSukaoneng termasuk tinggi. Dari jumlah 474KK di atas, sejumlah 175 KK tercatat sebagai Pra Sejahtera;87 KK tercatat Keluarga Sejahtera I;120 KK tercatat Keluarga Sejahtera II;68 KK tercatat Keluarga Sejahtera III;24 KK sebagai sejahtera III plus. Jika KK golongan Pra-sejahtera dan KK golongan I digolongkan sebagai KK golongan miskin, maka lebih 48% KK DesaSukaoneng adalah keluarga miskin.2

C. Letak Ggeografis Desa Sukaoneng

2


(50)

41

Secara geografis Desa Sukaoneng. terletak pada posisi 7°19'-7°31' Lintang Selatan dan 113°10'-111°40' Bujur Timur. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 156m di atas permukaan air laut. Berdasarkan data BPS kabupaten Gresiktahun 2004, selama tahun 2004 curah hujan di Desa Sukaoneng rata-rata mencapai 2.400 mm. Curah hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember hingga mencapai 405,04 mm yang merupakan curah hujan tertinggi selama kurun waktu 2000-2010.

Secara administratif, Desa Sukaoneng terletak di wilayah Kecamatan Tambak Kabupaten Gresik dengan posisi dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Disebelah Utara berbatasan dengan Desa Sukalela Kecamatan Tambak Kabupaten Gresik Di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Gelam Di sisi Selatan berbatasan dengan Desa Teluk Jati DawangKecamatan Tambak, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan desa Kelompang Gubug Kecamatan Tambak Kabupaten Gresik.

Jarak tempuh Desa Sukaonengke ibu kota kecamatan adalah 2.5 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 15 menit. Sedangkan jarak tempuh ke ibu kota kabupaten adalah 83mil, yang dapatditempuh dengan waktu sekitar 3 jam dengan kapal express.3

D. Keadaan Pendidikan Desa Sukaoneng

Pendidikan di Desa Sukaonengsebagian besar dibentuk oleh masyarakat secara swadaya (swasta). Sekarang telah ada dan berjalan

3


(51)

42

Pendidkan Islam baik formal maupun non formal di desaSukaonengyang sebagian besar biaya operasionalnya bersumber dari masyarakat.

Pendidikan Islam formal dan non formal yang ada di desa Sukaoneng adalah sebagai berikut :

1. Formal

a. Sekola Dasar Islam sebanyak : 1 lembaga,

Jumlah siswa : 47 Anak

b. Madrasah Tsanawiyah (MTs.) sebanyak : 2 lembaga

Jumlah siswa : 579 anak

c. Madrasah Aliayah (MA) sebanyak : 2 Lembaga

Jumlah siswa : 385 anak

2. Non Formal

a. Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) sebanyak : 4 lembaga

jumlah santri : 125anak

b. Madrasah Diniyah sebanyak : 6 lembaga

jumlah santri : 257 anak

c. Pondok Pesantren sebanyak : 5 lembaga

jumlah santri : 685 anak

d. Majelis Taklim sebanyak : 1 lembaga

jumlah santri : 350 orang

Tercatat pemerintah hanya menyediakan 1 (satu) Sekolah Dasar negeri (SDN) yaitu SDN Sukaoneng yang berlokasi di dusun kampung baru desa


(52)

43

dan sumber data yang di lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal jumlah tenaga pendidik adalah sebagai berikut:

1. Pendidik Islam formal yaitu :

a. Sekola Dasar Islam sebanyak : 47 Orang

b. Madrasah Tsanawiyah (MTs.) sebanyak : 579 Orang c. Madrasah Aliayah (MA) sebanyak : 385 Orang

2. Pendidikan Islam non formal sebagai berikut:

a. Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ/TKQ sebanyak : 195 Orang

b. Madrasah Diniyah sebanyak : 257 Orang

c. Pondok Pesantren sebanyak : 685 Orang

d. Majelis Taklim sebanyak : 350 Orang

Maka jumlah keseluruhan tenaga pendidik di desa Sukaoneng kec. Tambak – Bawean kab. Gresik propinsi Jawa Timur adalah :

1) Guru Swasta termasuk ustadz/ustadzah sebanyak : 227 Orang

2) Guru Negeri sebanyak :11 Orang

Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Tambak adalah :

a) Guru swasta sebanyak : 227 Orang

b) Guru negeri sebanyak : 11 Orang

c) Guru Honorer sebanyak : 0 Orang

Berdasarkan data-data tersebut diatas tenaga pendidik di desa Sukaoneng berjumlah 338 Orang.Berdasarkan kondisi empiris bahwa institusi pendidikan, jumlah murid, dan guru swasta jauh lebih banyak daripada yang


(53)

44

berstatus negeri ini, maka sudah selayaknyalah; fasilitas, anggaran dan program-program kebijakan diorientasikan pada pemberdayaan swasta atau masyarakat.4

E. Keadaan SosialDesa Sukaoneng

Dengan adanya perubahan dinamika politik dan sistem politik di Indonesia yang lebih demokratis, memberikan pengaruh kepada masyarakat untuk menerapkan suatu mekanisme politik yang dipandang lebih demokratis. Dalam konteks politik lokal Desa Sukaoneng hal ini tergambar dalam pemilihan kepala desa dan pemilihan-pemilihan lain (pilleg, pilpres, pemillukada, dan pimlgub) yang juga melibatkan warga masyarakat desa secara umum.

Khusus untuk pemilihan kepala desa Sukaoneng sebagaimana tradisi kepala desa di Jawa, biasanya para peserta (kandidat) nya adalah mereka yang secara trah memiliki hubungan dengan elit kepala desa yang lama. Hal ini tidak terlepas dari anggapan masyarakat banyak di desa-desa bahwa jabatan kepala desa adalah jabatan garis tangan keluarga-keluarga tersebut. Fenomena inilah yang biasa disebut pulung –dalam tradisi jawa- bagi keluarga-keluarga tersebut.

Jabatan kepala desa merupakan jabatan yang tidak serta merta dapat diwariskan kepada anak cucu. Mereka dipilih karena kecerdasan, etos kerja, kejujuran dan kedekatannya dengan warga desa. Kepala desa bisa diganti

4


(54)

45

sebelum masa jabatannya habis, jika ia melanggar peraturan maupun norma-norma yang berlaku. Begitu pula ia bisa diganti jika ia berhalangan tetap.

Karena demikian, maka setiap orang yang memiliki dan memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan dalam perundangan dan peraturan yang berlaku, bisa mengajukan diri untuk mendaftar menjadi kandidat kepala desa. Fenomena ini juga terjadi pada pemilihan desa Sukaoneng pada tahun 2007. Pada pilihan kepala desa ini partisipasi masyarakat sangat tinggi, yakni hampir 95%. Tercatat ada dua kandidat kepala desa pada waktu itu yang mengikuti pemilihan kepala desa. Pilihan kepala Desa bagi warga masyarakat Desa Sukaonengseperti acara perayaan desa.

Pada bulan Juli dan Nopember 2008 ini masyarakat juga dilibatkan dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur putaran I dan II secara langsung. Walaupun tingkat partisipasinya lebih rendah dari pada pilihan kepala Desa, namun hampir 70% daftar pemilih tetap, memberikan hak pilihnya. Ini adalah proggres demokrasi yang cukup signifikan di desa Sukaoneng

Setelah proses-proses politik selesai, situasi desa kembali berjalan normal. Hiruk pikuk warga dalam pesta demokrasi desa berakhir dengan kembalinya kehidupan sebagaimana awal mulanya. Masyarakat tidak terus menerus terjebak dalam sekat-sekat kelompok pilihannya. Hal ini ditandai dengan kehidupan yang penuh tolong menolong maupun gotong royong.5

Walaupun pola kepemimpinan ada di Kepala Desa namun mekanisme pengambilan keputusan selalu ada pelibatan masyarakat baik lewat lembaga

5


(55)

46

resmi desa seperti Badan Perwakilan Desa maupun lewat masyarakat langsung. Dengan demikian terlihat bahwa pola kepemimpinan di Wilayah Desa Sukaoneng mengedepankan pola kepemimpinan yang demokratis.

Berdasarkan deskripsi beberapa fakta di atas, dapat dipahami bahwa Desa Sukaoneng mempunyai dinamika politik lokal yang bagus. Hal ini terlihat baik dari segi pola kepemimpinan, mekanisme pemilihan kepemimpinan, sampai dengan partisipasi masyarakat dalam menerapkan sistem politik demokratis ke dalam kehidupan politik lokal. Tetapi terhadap minat politik daerah dan nasional terlihat masih kurang antusias. Hal ini dapat dimengerti dikarenakan dinamika politik nasional dalam kehidupan keseharian masyarakat Desa Sukaoneng kurang mempunyai greget, terutama yang berkaitan dengan permasalahan, kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara langsung.

Berkaitan dengan letaknya yang berada diperbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah suasana budaya masyarakat Jawa sangat terasa di Desa Sukaoneng Dalam hal kegiatan agama Islam misalnya, suasananya sangat dipengaruhi oleh aspek budaya dan sosial Jawa. Hal ini tergambar dari dipakainya kalender Jawa/ Islam, masih adanya budaya nyadran, selametan, tahlilan, mithoni, dan lainnya, yang semuanya merefleksikan sisi-sisi akulturasi budaya Islam dan Jawa.

Dengan semakin terbukanya masyarakat terhadap arus informasi, hal-hal lama ini mulai mendapat respon dan tafsir balik dari masyarakat. Hal ini menandai babak baru dinamika sosial dan budaya, sekaligus tantangan baru


(56)

47

bersama masyarakat Desa SukaonengDalam rangka merespon tradisi lama ini telah mewabah dan menjamur kelembagaan sosial, politik, agama, dan budaya di Desa Sukaoneng Tentunya hal ini membutuhkan kearifan tersendiri, sebab walaupun secara budaya berlembaga dan berorganisasi adalah baik tetapi secara sosiologis ia akan beresiko menghadirkan kerawanan dan konflik sosial.

Dalam catatan sejarah, selama ini belum pernah terjadi bencana alam dan sosial yang cukup berarti di Desa Sukaoneng Isu-isu terkait tema ini, seperti kemiskinan dan bencana alam, tidak sampai pada titik kronis yang membahayakan masyarakat dan sosial.

F. Keadaan Ekonomi

Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Desa Sukaoneng Rp. 2.000.000,- PertahunSecara umum mata pencaharian warga masyarakat Desa .Sukaoneng dapat teridentifikasi ke dalam beberapa sektor yaitu pertanian, jasa/perdagangan,home industri dan lain-lain. Berdasarkan data yang ada, masyarakat yang bekerja di sektor pertanian berjumlah 1.114 orang, yang bekerja disektor jasa berjumlah 72 orang, yang bekerja di sektor industri 25 orang, dan bekerja di sektor lain-lain 123 orang. Dengan demikian jumlah penduduk yang mempunyai mata pencaharian berjumlah 1.334 orang.

Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian.


(57)

48

2. TNI / Polri : 0 Orang

3. Karyawan Swasta : 0 Orang 4. Wiraswasta / Pedagang : 40 Orang

5. Tani : 453 Orang

6. Buruh Tani : 679 Orang

7. Nelayan : 347 Orang

8. Pertukangan : 61 Orang

9. Pensiunan : 07 Orang

10. Jasa : 11 Orang

11. Lain – lain : 123 Orang

Tabel 1.1

Mata Pencaharian dan Jumlahnya

No Mata Pencaharian Jumlah Prosentase

1 Pertanian 1.114orang 49.3 %

2 Jasa/ Perdagangan 1. Jasa Pemerintahan 2. Jasa Perdagangan 3. Jasa Angkutan 4. Jasa Ketrampilan 5. Jasa lainnya

18 orang 40orang 72 orang 61 orang 67 orang

0,8 % 1.7% 3.1 % 2,7% 2.7%

3 Sektor Industri 0 orang 0%

4 Sektor lain 25orang 1.1 %


(1)

73

rohaniatau tidak, berasal dari mana, dari keluarga baik-baik apa tidak dan sebagainya. Bobot artinya berat atau kualitas. Hal ini lebih menyangkut pada kualitas si calon pasangan itu sendiri, terutama calon mempelai pria. Misalnya, pendidikan si calon sampai di mana, pekerjaannya apa, sikap serta keimanannya bagaimana dan sebagainya. Maksudnya, bagaimana perilaku keseharian kedua orang tua calon mempelai, agama atau budi pekertinya, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan bahwa bagaimana pun anak itu adalah keturunan dari kedua orangtua mereka, sehingga watak dan keseharian orang tua akan sangat berpengaruh pada anak-anak mereka.15

Ketiga konsep di atas, tidak lain agar perkawinan itu bisa lestari, bahagia dan dimurahkan rezekinya oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dan pada akhirnya melahirkan anak-anak yang berkualitas dan patuh kepada kedua orang tua, serta taat beribadah. Jadi, tidak dibenarkan apabila perkawinan dilangsungkan hanya atas dasar agar hartanya tidak jatuh ke tangan orang lain, meskipun baik dari segi bibit, maupun bobotnya memadai.

15


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan bab-bab sebelumnya, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa:

1. Praktek larangan perkawinan antara sepupu yang terjadi di Desa Sukaoneng adalah pernikahan antar anak laki-laki dengan anak saudara sekandung perempuan, yang menunjukan prinsip keturunan “bilineal” yang menghitungkan kekerabatan melalui orang laki-laki saja untuk sejumlah hak dan kewajiban tertentu dan melalui garis wanita untuk sejumlah hak dan kewajiban yang lain di sebut hak-hak penerusan kehidupan/tulang punggung. Masyarakat Desa Sukaoneng mengistilahkan dengan ”Satoghelan” atau satu kakek, seperti anak Paman dengan anak Paman atau Bibi. Perkawinan yang seperti itu dilarang di desa Sukaoneng karena berlawanan dengan prinsip adat yang berlaku, masyarakat di desa sukaoneng juga percaya perkawianan antar sepupu dapat menimbulkan putusnya tali silaturahmi apabila terjadi perselisihan di antara keduanya.

2. Menurut Hukum Islam perkawinan dengan sepupu bukan larangan dalam perkawinan. Secara umum perkawinan yang dilarang menurut Islam adalah: perkawinan dengan mahramnya, yaitu : ibu tiri, ibu kandung, anak kandung, saudara kandung seayah atau seibu, bibi


(3)

75

dari saudara perempuan, ibu yang menyusui, saudara sesusuan, mertua, anak tiri dari isteri yang sudah diajak berhubungan intim, menantu, ipar untuk dimadu dan perempuan yang bersuami.

B. Saran

Perkawinan merupakan satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan, karena menyangkut keharmonisan dan kekekalan antara suami isteri, maka memilih pasangan hidup yang cocok dan tidak melanggar aturan Hukum Islam maupun adat adalah keniscayaan. Dengan demikian, upaya-upaya yang perlu diperhatikan adalah:

1. Mengetahui betul apakah pasangan hidup kita termasuk dalam kategori mahram (yang haram untuk dinikahi), apabila sampai terjadi demikian,maka bukan hanya perkawinan kita putus atau batal tetapi dikhawatirkan jalinan silaturahmi juga ikut putus.

2. Upaya fungsionalisasi agama Islam bagi individu dan masyarakat merupakan suatu keharusan. Dengan upaya ini diharapkan masyarakat secara sadar dapat menghargai pranata perkawinan serta menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama. Selain itu, adanya kejelian dan perhatian khusus apakah yang kita lakukan menyimpang dari garis Hukum Islam maupun Hukum Adat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Studi Kritis Perkembangan HukumIslam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI), Jakarta: Prenada Media, cet. II, 2004.

Ahmad Rofiq,“Pembaharua Hukum islam di Indonesia,Jakarta:Raja Grafindo Persada cet I,1997.

Ahmad Rofiq, “Hukum Islam di Indonesia”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. IV 4,2000.

AmirSyarifuddin,HukumPerkawinanIslamdiIndonesia,AntaraFiqhMunakahatdan Undang-undangPerkawinan,Jakarta:2006.

Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Maktabah al-Tijariyah Kubra, Juz IV, t.th.

Abdul Hadi, Fiqh Munakahat dan Peraturan Perundang-undangan,Diktat Kuliah, FakultasSyari’ahIAINWalisongo,Semarang,2002.

Arief, Abd. Salam "Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita; kajianPemikiran Hukum Syeikh Mahmud Syaltut” Yogyakarta: LESFI, 2003.

Ahmad Izzudin, “Nikah Beda Agama” dalam Justisia, Edisi 25 tahun XI, 2004. Al. Andang L. Binawan, “Penyempitan Kebebasan Beragama” dalam BASIS,

Nomor 01-02 Tahun ke-53, 2004.

Badriyah Fayumi, “Incest dan Perlindungan Perempuan”, dalam Swara Rahima, No. 8 Tahun III Agustus 2003.

Cik Hasan Bisri,“Dimensi-dimensi Hukum Islam dan Pranata Sosial di

Indonesia”, dalam Mimbar Hukum, Nomor 39 tahun IX, 1998. HilmanHadikusuma,“HukumPerkawinanIndonesia,MenurutPerundangan,

HukumAdat,HukumAgama,Bandung:Mandar Maju,1990.

Imam AbiAbdillah Muhammad bin Islami lbn Ibrahim bin Maghirahbin, “Barabahal-Bukharia Ja’fi”,op.cit.

Ilyas Supena, “Dekonstruksi Logosentrisme Pemikiran Hukum Islam (Studi Atas


(5)

Imam Taqiyuddin al-Dimasyqi, “Kifayat al-Akhyar, Juz 2”, Bandung: PT. al -Ma’arif, t.th.

Imam Abi Abdillah Muhammad bin Islamil ibn Ibrahim bin Maghirah bin Barabah al- Bukhari al-Ja’fi, “Shahih Bukhari” , Beirut: Darul Kutub al-Abuniyah, 1992

Ibn Rusyd al-Qurtuby al-Andalusi, “Bidayah al-Mujtahid, juz II”, Beirut,

Libanon: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, t.t.

Jalaluddin Suyuthi, “al-Asybah wa Nadha’ir”, Semarang: t.tp., t.th.

.Juliansyah Noor, “Metodologi PenelitianCetakan keempat”, (Jakarta: Kencana, 2014).

Muhammad Amin Summa, “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam”, Jakarta:

PT. RajaGrafindo Persada, 2004.

Mahtuf Ahnan dan Maria Ulfa, Risalah Fiqh Wanita, Pedoman Ibadah Kaum WanitaMuslimah dengan Berbagai Permasalahannya, Surabaya: Terbit Terang, t.th

Masykuri Abdillah, “Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”,dalam MimbarHukum No. 36 Tahun IX, 1998.

Miftah Faridl,“150 Masalah Nikah Keluarga”, Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Purwadi,“Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal”,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Syeikh Mahmud Sylatut, “al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Kairo”: Dar al-Syuruq, 1980.

Soerjono Soekanto, “Intisari Hukum Keluarga, Bandung” : PT. Citra Aditya Bakti, 1992.

Soerojo Wignjodipoero, “Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat”, Jakarta: Gunung Agung, cet. VII, 1984.

Sugiyono, “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D Tahun2014”. Sayyid Sabiq, “Fiqh al-Sunnah”, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Warno Hamid, “Merajut Perkawinan Harmonis”, Surabaya: Insan Cendekia, cet. I, 1999.


(6)

Yahya,Dr.Mukhtar danProf.Drs.Fatchurrahman,“Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami”, cet I Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal PembinaanKelembagaan Agama Islam,“Kompilasi Hukum Islamdi Indonesia”, 2000.

Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2014, Al Qur’an Nur Karim dan

Terjemahan 1991.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974Pasal 2 ayat (1).

Doc.Kelurahan Sukaoneng,Bawean 2015 Wawancara dengan orang tua nasrun najib

Wawancara dengan Nasrun Najib dan Nor Hasanah 06 mei 2016

Wawancara dengan bapak abdul fakih (Tokoh Masyarakat) 11 mei 2016