PERSEPSI JAMA'AH RUTINAN JUM'AT TERHADAP RETORIKA KH. MUHAMMAD CHUSAINI ILYAS.
PERSEPSI JAMA’AH RUTINAN JUM’AT TERHADAP RETORIKA KH. MUHAMMAD CHUSAINI ILYAS
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyarat Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Disusun Oleh:
LAILATUL CHOIRIYAH NIM: B01213009
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM JURUSAN KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2017
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Lailatul Choiriyah, B01213009, Persepsi Jama’ah Rutinan Jum’at Terhadap Retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas
Kata Kunci : Persepsi, Jama’ah Rutinan, Retorika
Fokus masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah retorika yang digunakan kiai atau mengolah dan memilih kata yang tepat untuk mempersuasi mad’u agar pesan dakwah yang disampaikan dapat mencapai target keberhasilan dakwah. Ada beberapa fenomena di masyarakat yang di sana menyebutkan tentang betapa pentingnya retorika yang menjadikan keberhasilan dakwah dari seorang da’i. Sebut saja KH. Zainuddin MZ. dengan julukannya da’i sejuta umat, atau Ustad Jefri Al-Bukhori dengan penghargaan dari masyarakat setelah beliau berpulang ke rahmatullah. KH. Muhammad Chusaini Ilyas adalah seorang tokoh ulama’ yang cukup sukses dalam menyampaikan dakwahnya, terbukti dari banyaknya jama’ah yang mengikuti pengajian beliau. Ada dua rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu : a. Bagaimana persepsi jama’ah rutinan Jum’at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas?, b. Apa saja faktor yang mempengaruhi persepsi jama’ah rutinan Jum’at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas?,
Untuk menjawab pertanyaan ini peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Untuk pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa persepsi jama’ah rutinan Jum’at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas meliputi gaya bahasa yang digunakan beliau menggunakan gaya bahasa percakapan dan juga gaya bahasa berdasarkan nada, yaitu gaya menengah. Kemudian terdapat beberapa faktor utama yang memberi pengaruh terhadap pembentukan persepsi jama’ah rutinan Jum’at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas, yaitu faktor penerima (the receiver), faktor situasi (the situation), dan faktor objek sasaran (the target).
Rekomendasi dalam penelitian ini mengharapkan agar peneliti lain bersedia meneruskan penelitian ini, ataupun objek yang lain menggunakan pendekatan atau metode lain. Tentunya penelitian selanjutnya lebih baik lagi dari pada penelitian ini.
(7)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii
PENGESAHAN PENGUJI ... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN……….. iv
PERTANGGUNG JAWABAN PENULISAN SKRIPSI ... v
ABSTRAK……… vi
KATA PENGANTAR………. vii
DAFTAR ISI……… x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Rumusan Masalah………. 5
C. Tujuan Penelitian………. 5
D. Manfaat Penelitian……… 6
E. Definisi Konsep……… 7
F. Sistematika Pembahasan……….. 9
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Kajian Kepustakaan...……….. 13
1. Persepsi…………...……..………... 13
2. Retorika………. 21
B. Kajian Teoritis... 33
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan……… 35
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian……….. 41
B. Subjek, Objek, dan Lokasi Penelitian…….……… 42
C. Sumber Data……… 43
D. Teknik Pengumpulan Data……….. 50
E. Teknik Analisis Data…………...……… 53
(8)
G. Tahap-Tahap Penelitian... 55
BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA A. Biografi KH. Muhammad Chusaini Ilyas ………...………. 57
B. Jamaah Rutinan Jum‟at……...…...……… 60
C. Penyajian Data ...………... 62
D. Analisis Data ... 69
E. Konfirmasi Hasil Penelitian dengan Teori ... 76
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………... 85
B. Saran………... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 87 LAMPIRAN-LAMPIRAN
(9)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebuah pesan yang terkemas dengan baik dan rapi akan menciptakan suatu suasana yang favorable, membangkitkan minat, memperlihatkan pembagian pesan yang jelas, sehingga memudahkan pengertian, mempempertegas gagasan pokok, dan menunjukkan pokok-pokok pikiran secara logis.1 Begitu juga dalam berdakwah. Sebagai seorang da‟i penguasaan materi dakwah saja belum cukup untuk dapat mengambil perhatian mad‟u. Seorang da‟i haruslah dapat mengemas pesan dakwah dengan baik. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengolah dan memilih kata yang tepat untuk mempersuasi mad‟u agar pesan dakwah yang disampaikan dapat mencapai target keberhasilan. Kemampuan memilih dan mengolah kata serta mampu mengungkapkan dengan gaya yang tepat dan mengesankan inilah yang disebut dengan retorika. Bahasa merupakan media retorika, sedangkan retorika sering digunakan sebagai ilmu berbicara yang diperlukan setiap orang.2 Oleh karena itu, dengan merekonstruksi bahasa dan retorika, kemampuan berbicara semakin mudah dimengerti, indah, dan sistematis.3
1
Wahyu Ilahi, Komunikasi Dakwah, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 100
2
Jalaluddin Rakhmat, Retorika: Modern Pendekatan Praktis, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.2
3
(10)
2
Ada beberapa fenomena di masyarakat yang di mana di sana menyebutkan tentang betapa pentingnya retorika yang menjadikan keberhasilan dakwah dari seorang da‟i. Salah satunya yaitu K.H. Zainuddin MZ. Beliau adalah satu dari beberapa da‟i yang bisa dikatakan sukses dakwahnya. Hal ini terlihat dari julukan yang ia dapatkan yaitu “da‟i sejuta umat”. Pendekatan humanistis selalu digunakan K.H. Zainuddin MZ dalam berdakwah. Ketika berceramah beliau menyampaikan materi dakwahnya dengan bahasa ringan, sehingga mudah dimengerti. Beliau juga berusaha menyampaikan pesan menyentuh bukan menyinggung siapapun. Satu yang diingat adalah kata „betul‟ yang selalu diucapkannya saat bertanya ke jama‟ah. Bahkan dilansir dari beberapa informasi, pernah suatu ketika berdakwah, saking betahnya, bahkan ketika hujan turun dan matahari menyengat jama‟ah tidak mau bergeser dari tempat duduknya.4
Contoh berikutnya yaitu ustadz gaul Uje (Ustadz Jefri Al-Bukhori). Beliau adalah sosok da‟i yang berjiwa muda dan memberikan pencerahan kepada anak-anak muda dengan model dakwah yang „anak-anak muda banget‟ dengan tidak mendakwahi anak muda dengan materi tentang siksa neraka saja. Disinilah menurut penulis kekhasan Uje yang perlu ditiru oleh da‟i-da‟i muda. Walaupun sempat mendapat kritik dari beberapa penyelenggara dakwah mengenai bahasa gaul yang dipakai saat berceramah, namun Uje tetap pada pendiriannya untuk terus berdakwah dengan gaya bahasa anak muda ketika yang dihadapinya adalah
4
https://m.merdeka.com/peristiwa/kh-zainuddin-mz-da’i -sejuta-umat-dengan-candaan-khas.html. Diakses pada 17 November 2016, pukul 09.00
(11)
3
jama‟ah dari kalangan anak muda. Dalam tabloid Bintang edisi April 2013 Uje berkata :
“Ketika yang dihadapi adalah anak TK, maka jadilah guru TK, jangan jadi
guru SMA, enggak akan nyambung!”.
Uje menggunakan gaya bahasa yang relevan dengan bahasa anak muda, bahasa gaul mereka, dan beliau faham betul kepada siapa pesan dakwah tersebut beliau sampaikan. Kesuksesan Uje ini terlihat dari penghargaan masyarakat dan jama‟ah setelah setelah beliau berpulang ke rahmatullah. Kehormatan tersendiri dapat disholatkan di Masjid terbesar se-Asia Tenggara. Wafat di hari yang baik dan dishalatkan di masjid kebanggaan umat Islam Indonesia dengan tumpahan jama‟ah yang mengiringi ke tempat peristirahatan yang terakhir. Hal ini membuktikan betapa sebenarnya beliau begitu dicintai oleh banyak orang. Uje adalah da‟i sejuta pelayat. Semua orang ingin ambil bagian untuk menggotong keranda jenazahnya. Sungguh fenomenal. Kini Uje sudah menghadap Allah SWT diiringi oleh ribuan orang yang mendo‟akannya.5
Pada saat ini banyak para da‟i yang muncul di tengah-tengah masyarakat, yang menyampaikan dakwahnya dengan menggunakan berbagai ciri khas dan retorika yang berbeda-beda, yang semuanya itu bertujuan untuk menarik perhatian para masyarakat. KH. Muhammad Chusaini Ilyas adalah seorang tokoh ulama‟ yang cukup sukses dalam menyampaikan dakwahnya, khususnya di Majelis yang beliau pimpin dan beliau bina. Ketika menyampaikan dakwahnya beliau
5
http://budijuliandi.blogspot.co.id/2013/05/dakwah-gaul-belajar-dari-metode-dakwah.html?m=1. Diakses pada 17 November 2016 pukul 10.00
(12)
4
menggunakan gaya bahasa yang mudah difahami oleh mad‟unya. Beliau dapat menyesuaikan gaya bahasa ketika berdakwah dengan kondisi mad‟u. Mungkin inilah salah satu yang menyebabkan banyaknya jumlah jam‟ah yang mengikuti rutinan Jum‟at. Mereka terdiri dari berbagai tingkatan status dalam masyarakat.
Sistem pengajian rutinannya dilakukan seperti pengajian pada umumnya yaitu Pak Kyai membacakan kitab tafsir Al-Ibriz dan kemudian memberikan tausiyah seputar ayat yang sedang ditafsirkan. Sedangkan semua peserta duduk manis mengelilingi Pak Kyai. Mengenai waktu pelaksanaannya yaitu dilakukan setiap hari Jum‟at. Selanjutnya yang membuat penulis tertarik untuk meneliti pengajian ini adalah jumlah pesertanya yang spektakuler yaitu mencapai ribuan orang. Menurut panitia pengajian, jumlah peserta mencapai sekitar 4000 orang jika kondisi cuaca tidak mendukung, contohnya hujan. Dan jumlah normal yaitu sekitar 6000 orang, dan jumlah peserta akan bertambah banyak jika pada hari libur, yaitu bisa mencapai 8000 orang. Jumlah besar tersebut datang dari berbagai daerah dan dari berbagai lapisan masyarakat.
Masyarakat yang berasal dari sekitar pondok biasanya datang dengan berjalan kaki. Bagi peserta yang jauh basanya menggunakan sepeda motor, mobil, ataupun rombongan menggunakan kendaraan yang telah disewa. Para jama‟ah biasanya datang bersama istrinya, dan juga jika hari libur mereka rombongan mengajak anggota keluarga lainnya. Dengan jumlah peserta pengajian yang sebanyak itu, seperti yang sudah dijelaskan di atas, tentunya tidak bisa ditampung dalam satu pendopo, sebagai tempat pengajian tersebut. Kebanyakan peserta
(13)
5
berada diluar sekitar pendopo dengan beralas terpal yang disedikan oleh panitia dan juga ada yang membawa alas masing-masing dari rumah mereka.6
Dari jumlah jama‟ah yang sedemikian itu, tentunya mereka mempunyai persepsi berbeda terhadap bagaimana retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas ketika bertausiyah. Berdasarkan dari fenomena tersebut, peneliti ingin meneliti bagaimana persepsi jama‟ah rutinan Jum‟at terhadap retorika yang digunakan KH. Muhammad Chusaini Ilyas dalam menyampaikan dakwahnya. Untuk itu peneliti mengajukan sebuah skripsi dengan judul persepsi jama’ah rutinan Jum’at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka ditemukan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana persepsi jama‟ah rutinan Jum‟at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas ?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi persepsi jama‟ah rutinan Jum‟at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas ?
C. Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana persepsi jama‟ah rutinan
Jum‟at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas.
6“urvey lokasi penelitian di Pondok Pesantren “alafiyah Al
-Mishbar , Karangnongko, “ooko, Mojokerto, tanggal 28 Oktober 2016
(14)
6
2. Untuk mengidentifkasi faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi jama‟ah rutinan Jum‟at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas.
D. Manfaat Penelitian
Suatu manfaat dari setiap kegiatan pasti ada, baik itu manfaat secara personal maupun manfaat untuk orang lain. Hal itupun juga berlaku pada penelitian ini. Hasil dari penelitian ini diharapkan menarik minat peneliti lain, khususnya dikalangan mahasiswa untuk melakukan penelitian lanjutan tentang masalah serupa.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Teoritis :
a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu untuk menambah wawasan ataupun pengetahuan bagi peneliti sendiri agar menjadi insan akademis yang baik.
b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh kalangan mahasiswa pada umumnya dan sebagai referensi bagi mahasiswa Jurusan Komunikasi Program Studi (KPI) Komunikasi dan Penyiaran Islam, yang ingin melakukan penelitian mengenai retorika berdakwah.
2. Praktis :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan yang positif kepada khalayak umum.
(15)
7
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pijakan bagi pelaksana dakwah.
E. Definisi Konsep
Pada hakikatnya suatu konsep merupakan istilah, yaitu satu kata atau lebih yang dimana disana menggambarkan suatu gejala ataupun fenomena yang menyatakan suatu ide (gagasan) tertentu. Untuk memperoleh pemahaman mengenai penelitian yang akan dilakukan, maka penulis perlu menjelaskan definisi konsep sesuai dengan judul. Semua hal ini dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam penelitian ini. 1. Persepsi Jama‟ah Rutinan Jum‟at :
Istilah persepsi biasanya digunakan untuk mengungkapkan tentang pengalaman terhadap sesuatu benda ataupun sesuatu kejadian yang dialami. Dalam kamus standar dijelaskan bahwa persepsi dianggap sebagai sebuah pengaruh ataupun sebuah kesan oleh benda yang semata-mata menggunakan pengamatan penginderaan. Persepsi ini di definisikan sebagai proses yang menggabungkan dan mengorganisasikan data-data indera (penginderaan) untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga seseorang dapat menyadari di sekelilingnya, termasuk sadar akan dirinya sendiri.7
Persepsi mempengaruhi rangsangan atau pesan apa yang kita serap dan makna yang kita berikan kepada mereka ketika mereka
7
Abdul Rahman Shaleh & Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 88
(16)
8
mencapai kesadaran. Persepsi juga bisa diartikan suatu proses di mana individu memilih, mengorganisir, dan menginterpretasi apa yang dibayangkan tentang dunia di sekelilingnya. Jadi, dengan mempersepsi setiap individu memandang dunia berkaitan dengan apa yang dia butuhkan, apa yang dia nilai, apakah sesuai dengan keyakinan dan budayanya. Semua kebutuhan yang ingin dipenuhi ini membuat persepsi individu menjalani suatu proses personal yang rumit, karena apa yang dia persepsikan itu sangat tergantung dari sejauh mana pengaruh beragam faktor pembentuk persepsi, antara lain masa lalu individu.
Pengalaman masa lalu rupanya telah menjadikan seseorang untuk memandang sesuatu, memandang seseorang atau suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu. Oleh karena itu, setiap individu dapat melihat suatu objek yang sama namun dengan cara yang berbeda.8 Begitu juga pada persepsi jama‟ah rutinan Jum‟at mengenai retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas. Dalam jumlah peserta yang mencapai ribuan, terdiri dari berbagai status sosial maupun status ekonomi dalam masyarakat, mereka pastilah terdapat perbedaan dalam memberikan persepsi terhadap suatu hal, dalam hal ini peneliti menggunakan retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas.
8
(17)
9
2. Retorika
Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik, yang dicapai berdasarkan bakat alam dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat, dan mengesankan.9
Retorika dalam berdakwah adalah keterampilan menyampaikan ajaran Islam secara lisan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada kaum Muslim agar mereka dapat dengan mudah menerima seruan dakwah Islam.10 Bahasa merupakan media dari retorika. Di dalamnya terdapat beberapa gaya bahasa yang terdiri dari gaya bahasa berdasarkan pilihan kata dan gaya bahasa berdasarkan nada.
F. Sistematika Pembahasan
Adanya sistematika pembahasan ini bertujuan agar penelitian menjadi lengkap dan sistematis. Dalam suatu penelitian terdiri dari lima bab yang dipaparkan, diantaranya sebagai berikut :
9
Dori Wuwur Hendrikus, Retorika, (Yogyakarta, PT. Kanisius, 1991) hlm. 14
10
(18)
10
BAB I : PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi latar belakang masalah mengenai bagaimana seorang da‟i membutuhkan retorika ketika dia menyampaikan dakwahnya. Rumusan masalah berisi pertanyaan yang muncul sesuai dengan fenomena yang telah dipaparkan di latar belakang masalah. Tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep mengenai persepsi jama‟ah rutinan Jum‟at dan retorika. Dan yang terakhir sistematika pembahasan membahas tentang materi mulai dari pendahuluan sampai dengan kesimpulan dan saran.
BAB II : KAJIAN TEORITIS
Pada bab ini, berisi dua sub bab yaitu sub bab pertama mengenai persepsi meliputi pengertian, jenis-jenis, faktor-faktor yang mempengaruhi, proses terjadinya persepsi. Sub bab kedua kajian tentang retorika, meliputi pengertian retorika, unsur-unsur retorika, fungsi retorika, retorika dalam dakwah, bahasa sebagai media retorika, dan gaya bahasa dalam retorika. Selain itu, pada bab ini juga membahas tentang kajian teori dan hasil penelusuran penelitian terdahulu.
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisi pendekatan deskriptif dan jenis penelitian kualitatif. Subjeknya yaitu jama‟ah rutinan Jum‟at, objeknya yaitu
(19)
11
persepsi jama‟ah rutinan Jum‟at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas, dan lokasi penelitian berada di Pondok Pesantren KH. Muhammad Chusaini Ilyas (Desa Karangnongko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto). Sumber data terdiri dari 10 informan yang terbagi dari berbagai jenis profesi. Tahapan penelitian. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi ke tempat pengajian rutinan Jum‟at dan wawancara kepada jama‟ah rutinan Jum‟at. Teknik analisis data, teknik pemeriksaan dan keabsahan data.
BAB IV : PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA
Pada bab ini berisi penyajian data seputar persepsi jama‟ah rutinan Jum‟at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas, yaitu meliputi profil KH. Muhammad Chusaini Ilyas, data tentang kegiatan rutinan Jum‟at, berbagai persepsi dari beberapa jama‟ah tentang retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas, dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi jama‟ah terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas. Dan yang terakhir yaitu konfirmasi teori.
Bab V : PENUTUP
Sesuai dengan rumusan masalah, pada kesimpulan berisi seputar bagaimana jama‟ah rutinan Jum‟at mempersepsi retoika KH.
(20)
12
Muhammad Chusaini Ilyas dan juga mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi jama‟ah rutinan Jum‟at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas. Yang perlu diingat bahwa kesimpulan haruslah sinkron dengan rumusan masalah, baik dalam hal urutan maupun jumlahnya. Dan selanjutnya diakhiri dengan saran.
(21)
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Kajian Kepustakaan 1. Persepsi
a. Pengertian Persepsi
Persepsi adalah proses yang mana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita.1Persepsi mempengaruhi rangsangan atau pesan apa yang kita serap dan makna yang kita berikan kepada mereka ketika mereka mencapai kesadaran.
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.2 Ada berbagai cara untuk menyimpulkan informasi yang diterima oleh individu, yang dalam psikologi dikatakan bahwa setiap menit manusia dapat menghasilkan berbagai model dan persepsi agar dia dapat bertahan hidup. Individu juga cenderung memilih informasi seperti apa yang paling dia sukai agar dia dapat mengingatnya, atau jika dia tidak suka pada informasi ini dia akan menolak. Pilihan terhadap jenis informasi yang diterima atau ditolak ini sangat tergantung dari
1
A. Joseph Devito, Komunikasi Antar Manusia, (Jakarta : Professional Books, 1997)
2
Nina W. Syam, Psikologi : Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Cet. I, (Bandung : Simbosa Rekatama Media, 2011), hlm.3
(22)
14
informasi yang menarik perhatian kita (information that attract our attention).
Kenneth K.Sereno dan Edward M. Bodaken juga Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson, menyebutkan bahwa persepsi terdiri dari tiga aktivitas, yaitu : seleksi, organisasi, dan interpretasi. Yang dimaksud seleksi sebenarnya mencakup sensasi dan atensi, sedangkan organisasi melekat pada interpretasi, yang dapat didefinisikan sebagai “meletakkan suatu rangsangan bersama rangsangan lainnya sehingga menjadi suatu keseluruhan yang bermakna.”3
Persepsi adalah inti dari komunikasi, karena jika persepsi kita tidak akurat, tidak mungkin kita berkomunikai dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antar individu, semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk kelompok budaya ataupun kelompok identitas.4
b. Jenis-Jenis Persepsi 1) Persepsi diri
Persepsi diri individu (self preception) merupakan suatu cara seseorang menerima diri sendiri. Persepsi diri berbasis pada apa yang dikagumi, sejauh mana objek yang dipersepsikan itu bernilai bagi dia, misalnya apa yang dia yakini sebagai sesuatu yang akan memberikan perasaan aman
3
Deddy Mulyana, llmu Komunikasi : Suatu Pengantar, Cetakan keempat belas, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,2010),hlm.181
4
(23)
15
atau mungkin tidak nyaman. Konsep diri itu dibentuk oleh bagaimana individu berpikir tentang orang lain dan menerimanya, bagaimana individu diterima dalam suatu kelompok tertentu, juga dibentuk berdasarkan pengalaman masa lalu, atau yang berbasis pada asas manfaat dari informasi yang dia terima.5
2) Persepsi Lingkungan
Persepsi lingkungan dibentuk berdasarkan konteks dimana informasi itu diterima. Suatu contoh : ada sepasang suami istri yang sudah lama berumah tangga, tetapi ternyata sang suami tersebut selingkuh dengan perempuan lain. Otomatis sang istri sangat marah dan kecewa. Maka sang istri akan bilang : “Aku tidak akan mau bertemu dengan kamu”. Ungkapan sang istri itu menggambarkan persepsi istri terhadap suaminya sesuai dengan konteks saat itu. Bayangkan pula jika Anda bertemu dengan kedua orang tua yang sudah lama anda tinggal dikarenakan Anda merantau mencari ilmu. Lalu ternyata Anda bilang “Aku tidak akan mau bertemu dengan kalian”. Dua contoh ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap kata-kata yang diucapkan sang istri dan Anda telah mengalami perubahan makna.
5
Alo Liliweri, Komunikasi Serba Ada Serba Makna, (Jakarta : Kencana prenada media group, 2011), hlm.160
(24)
16
Ini berarti bahwa lingkungan di sekeliling kita dapat membentuk penyaring mental bagi persepsi manusia terhadap informasi.6
3) Persepsi yang Dipelajari
Persepsi yang dipelajari (learned perceptions) merupakan persepsi yang terbentuk karena individu mempelajari sesuatu dari lingkungan sekitar, misalnya dari kebudayaan dan kebiasaan teman-teman atau orang tua. Persepsi yang dipelajari berbentuk pikiran, ide atau gagasan dan keyakinan yang kita pelajari dari orang lain. Reaksi setiap individu berbasis pada persepsi yang telah dia pelajari. Bisa dilihat dari bagaimana seorang anak yang mengikuti kebiasaan orang tua mereka.7
4) Persepsi Fisik
Persepsi fisik dibentuk berdasarkan pada dunia yang serba terukur, misalnya secara fisik kita mendengar dan melihat sesuatu lalu diikuti dengan bagaimana kita memproses apa yang dilihat itu dalam pikiran dan akal.8
5) Persepsi Budaya
Persepsi budaya berbeda dengan presepsi lingkungan, hal ini disebabkan persepsi budaya mempunyai skala yang sangat luas dalam
6
Alo Liliweri, Komunikasi Serba Ada Serba Makna, (Jakarta : Kencana prenada media group,2011), hlm.161
7
Ibid, hlm.161
8
(25)
17
masyarakat, sedangkan persepsi lingkungan menggambarkan skala yang sangat terbatas pada sejumlah orang tertentu. 9
c. Proses Persepsi
1) Sensasi (pengindraan)
Pengertian sensasi umumnya selama ini merujuk pada suatu hal yang fenomenal. Sensasinya sebenarnya hasil dari kerja alat-alat indra (indra peraba, indra penglihat, indra pencium, indra pencium, indra pengecap, dan indra pendengar ). Sensasi merujuk pada pesan yang dikirimkan ke otak lewat penglihatan, pendengaran, sentuhan, penciuman, dan pengecepan. Reseptor indrawi-mata, telinga, kulit dan otot, hidung, dan lidah adalah penghubung antara otak manusia dan lingkungan sekitar. Mata bereaksi terhadap gelombang cahaya, telinga terhadap gelombang suara, kulit terhadap temperatur dan tekanan, hidung terhadap bau-bauan dan lidah terhadap rasa. Lalu rangsangan-rangsangan ini dikirimkan ke otak.
2) Atensi
Atensi adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli melemah. Atensi terjadi bila kita mengkonsentrasikan diri pada salah satu alat indra kita, dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indra yang lain.10 Ini berarti bahwa persepsi masyarakat kehadiran suatu objek
9
Alo Liliweri, Komunikasi Serba Ada Serba Makna, (Jakarta : Kencana prenada media group,2011), hlm.161
10
(26)
18
untuk dipersepsi, termasuk orang lain dan dirisendiri. Dalam beberapa kasus, rangsangan yang menarik perhatian cenderung dianggap lebih penting daripada yang tidak menarik perhatian. Contohnya orang yang paling diperhatikan cenderung dianggap paling berpengaruh.
3) Interpretasi
Interpretasi adalah tahap terpenting dalam persepsi. Sebenarnya seseorang tidak dapat menginterpretasikan makna objek secara langsung, melainkan menginterpretasikan makna informasi yang dipercayai mewakili objek tersebut. Jadi pengetahuan yang diperoleh melalui persepsi bukan pengetahuan mengenai objek yang sebenarnya, melainkan pengetahuan mengenai bagaimana tampaknya objek tersebut.11
d. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Untuk lebih mempermudah pemahaman terhadap persepsi sosial, Robbin (1989) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor utama yang memberi pengaruh terhadap pembentukan persepsi sosial seseorang. Faktor-faktor itu adalah Faktor-faktor penerima (the receiver), situasi (the situation), dan objek sasaran (the target).12
1) Faktor Penerima
Apabila seseorang mengamati orang lain yang menjadi objek sasaran persepsi dan mencoba untuk memahaminya, tidak dapat disangkal bahwa pemahaman sebagai suatu proses kognitif akan
11
Ali Nurdin,dkk., Pengantar Ilmu komunikasi,..hlm.161
12
Fattah Hanurawan, Psikologi Sosial: Suatu Pengantar,Cet:I (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2010), hlm. 37
(27)
19
dipengaruhi oleh karateristik kepribadian seorang pengamat. Diantara karakteristik kepribadian utama itu adalah konsep diri, nilai dan sikap, pengalaman di masa lampau, dan harapan-harapan yang terdapat dalam dirinya.13
Seseorang yang memiliki konsep diri (self concept) tinggi dan selalu merasa diri secara mental dalam keadaan sehat, cenderung melihat orang lain dari sudut tinjauan yang bersifat positif dan optimistik, dibandingkan seseorang yang memiliki konsep diri yang rendah. Nilai dan sikap seseorang tidak pelak lagi memberi sumbangan pendapat seseorang tentang orang lain. Orang yang memengang nilai dan sikap otoritarian tentu akan memiliki persepsi yang berbeda dengan orang yang memegang nilai dan sikap liberal. Pengalaman masa di masa lalu sebagai bagian dasar informasi juga menentukan pembentukan persepsi seseorang. Harapan-harapan sering kali memberi semacam kerangka dalam diri seseorang untuk melakukan penelaian terhadap orang lain ke arah tertentu.
2) Faktor situasi
Pengaruh faktor selanjutnya ialah situasi, dalam proses persepsi dapat dipilah dalam tiga hal, yaitu seleksi, kesamaan, organisasi. Secara alamiah, seseorang akan lebih memusatkan perhatian pada objek-objek yang dianggap lebih disukai, ketimbang objek-objek yang tidak disukainya. Proses kognitif semacam itu lazim disebut dengan seleksi
13
Fattah Hanurawan, Psikologi Sosial: Suatu Pengantar,Cet:I (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2010)
(28)
20
informasi tentang keberadaan suatu objek, baik itu bersifat fisik maupun sosial. Unsur kedua dalam faktor situasi adalah kesamaan. Kesamaan adalah kecenderungan dalam proses persepsi sosial untuk menafsirkan orang-orang ke dalam suatu kategori yang kurang lebih sama. Dalam hal ini, terdapat kecenderungan dalam diri manusia untuk menyesuaikan orang-orang lain atau objek-objek fisik kedalam struktural yang ada dalam dirinya. Unsur yang terakhir dalam faktor situasi adalah organisasi perseptual. Dalam proses persepsi sosial, individu cenderung untuk memahami orang lain dengan objek persepsi ke dalam sistem yang bersifat logis, teratur, dan runtut. Pemahaman sistematik semacam ini bisa disebut dengan organisasi perseptual. Apabila seseorang menerima informasi maka ia mencoba untuk menyesuaikan informasi itu kedalam pola-pola yang sudah ada.
3) Faktor Objek
Selain faktor kepribadian yang menerima dan faktor situasi, proses pembentukan persepsi sosial dapat dipengaruhi oleh faktor objek. Dalam persepsi sosial secara khusus, objek yang diamati itu adalah orang lain. Ciri yang terdapat dalam diri objek sangat memungkinkan untuk dapat memberi pengaruh yang menentukan terhadap terbentuknya persepsi sosial. Ciri yang pertama yang dapat ditimbulkan kesan diri pada penerima adalah keunikan suatu objek, ciri yang kedua adalah kekontrasan, ciri yang ketiga adalah ukuran atau intensitas yang terdapat dalam objek dan yang terakhir adalah ciri kedekatan objek dengan latar belakang sosial orang lain.
(29)
21
2. Retorika
a. Pengertian Retorika
Retorika berasal dari bahasa Yunani “rhetor” yang dalam bahasa Inggris sama dengan “orator” artinya orang yang mahir berbicara dihadapan umum. Dalam bahasa Inggris ilmu ini banyak dikenal dengan “rhetorics” artinya ilmu pidato di depan umum.14 Menurut istilah, retorika dapat didefinisikan sebagai berikut :
1) Dikutip dalam buku karya I. Gusti Ngurah Oka yang berjudul Retorika, Sebuah Tinjauan Pengantar, Menurut Corax (retorikus pertama yang mengadakan studi retorika) retorika adalah kecakapan berpidato di depan umum.15
2) Jalaluddin Rakhmat, mengatakan :
(a) Dalam arti luas, retorika adalah ilmu yang mempelajari cara mengatur komposisi kata-kata agar timbul kesan yang dikehendaki pada diri khalayak.
(b) Dalam arti sempit, retorika adalah ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip persiapan, penyusunan, dan penyampaian pidato sehingga tercapai tujuan yang dikehendaki. 16
14
A. Sunarto, Retorika Dakwah, (Surabaya : Jaudar Press, 2014), hlm.2
15
Ibid, hlm. 2
16
(30)
22
3) Dikutip dalam buku Sunarjo dan Djoenasih yang berjudul Komunikasi, Persuasi dan Retorika mengidentifikasi retorika dengan Public Speaking yaitu suatu komunikasi dimana komunikator berhadapan langsung dengan massa atau berhadapan dengan komunikan atau audien dalam bentuk jamak.17
Dari beberapa pengertian di atas, maka retorika dalam arti sempit adalah seni atau ilmu tentang prinsip-prinsip pidato yang efektif. Sedangkan dalam arti luas adalah ilmu yang mengajarkan kaidah-kaidah penyampaian tutur yang efektif melalui lisan atau tulisan untuk mengafeksi dan mempengaruhi pihak lain.
b. Unsur-unsur Retorika
Kegiatan retorika adalah kegiatan seorang membahas sesuatu yang disampaikan kepada orang lain. Dengan demikian setiap kegiatan retorika pasti terdiri dari orang yang berbicara, lawan bicara, dan isi pembicaraan. Menurut Aristoteles dalam bukunya Rhetorica unsur-unsur retorika adalah :
1) Pembicara, yaitu orang yang menyampaikan pesan secara lisan. Ia tidak hanya menggunakan suara saja, tapi juga dibantu oleh anggota tubuhnya, misalnya isyarat, mimik, gerakan-gerakan tangan.
2) Lawan bicara, baik itu seseorang ataupun dalam bentuk kelompok atau majelis. Mereka ini harus diperhatikan oleh pembicara.
17
(31)
23
3) Materi pembicaraan atau pesan, pesan hendaknya diorganisasi sedemikian rupa sehingga dapat membangkitkan daya pikir dan daya perasaan lawan bicara atau majelis.18
Unsur dari proses retorika dapat kita gambarkan sebagai berikut :19
SKEMA
Respons dari pendengar ini tidak selalu otomatis dapat diketahui oleh pembicara. Untuk mengetahui seringkali diperlukan studi atau penelitian tentang respon atau umpan balik, hal ini sangat perlu untuk diketahui dalam praktek retorika.20
c. Fungsi Retorika
Menurut Aristoteles, ada empat tujuan kita mempelajari retorika, yaitu : 1. Korektif, membela kebenaran yang seringkali kalah karena orang tidak dapat mempertahankannya,
18
A. Sunarto, Retorika Dakwah, (Surabaya : Jaudar Press, 2014), hlm. 20
19
Ibid. Hlm.22
20
Ibid, hlm. 22
PEMBICARA
ISIPEMBICARAAN
PENERIMA/ PENDENGAR
(32)
24
2. Instruktif, mendidik orang yang tidak dapat dicapai dengan metode logika,
3. Sugestif, memberikan saran bagaimana menghadapi argumentasi lawan sehingga menguasai situasi,
4. Defensif, sebagai alat pertahanan mental dalam menghadapi musuh.21 I Gusti Ngurah Oka, lebih rinci lagi menerangkan bahwa fungsi retorika adalah :
1. Memberikan gambaran yang jelas tentang manusia terutama dalam hubungan kegiatan tuturnya,
2. Menampilkan gambaran-gambaran yang jelas tentang bahasa dan hal-hal atau benda-benda yang biasa diangkat menjadi topik tutur,
3. Memberikan bimbingan tentang, a. Cara-cara memilih topik tutur
b. Cara-cara memandang dan menganalisis topik tutur untuk menemukan sarana ulasan yang persuasif obyektif
c. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan ulasan non artistik
d. Pemilihan jenis tutur yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai
e. Penataan bagian-bagian tutur serta menempatkan ulasan dalam bagian-bagian tutur itu
f. Pemilihan materi bahasa serta penyusunannya menjadi kalimat yang padu, utuh, mantap, dan bervariasi
21
(33)
25
g. Pemilihan gaya bahasa dan gaya bertutur dalam penampilan tutur.22
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa fungsi retorika adalah :
1. Secara positif, ilmu ini memberikan gambaran pemahaman yang lebih baik mengenai fenomena-fenomena retorika dalam segala kegiatan manusia dengan kegiatan bertuturnya,
2. Secara normatif, ilmu ini memberikan bimbingan dan petunjuk kepada kita tentang cara mengemukakan tutur (pembicaraan) yang lebih gamblang, lebih mengikat dan lebih meyakinkan
3. Secara khusus, ilmu ini menuntun kita bagaimana seharusnya membuat persiapan, penyusunan dan penyampaian pidato.23
d. Retorika dalam Dakwah
Setiap bentuk komunikasi adalah sebuah drama. Oleh karena itu, pembicara hendaknya mampu mendramatisasi terhadap pembicara. Jika seorang mampu bercerita, sesungguhnya ia mempunyai potensi untuk berceramah dan menjadi mubaligh. Dalam berdakwah dibutuhkan retorika-retorika yang dapat membuat dakwah seseorang lebih mengena, efisien, dan
22
I Gusti Ngurah Oka, Retorika, Sebuah Tinjauan Pengantar (Bandung : Terate, 1976), hlm.65-66, dikutip oleh A. Sunarto, Retorika Dakwah, (Surabaya : Jaudar Press, 2014), hlm.24
23
(34)
26
efektif, terutama dalam menyosialisasikan ajaran-ajaran Islam, sehingga retorika yang baik harus dikuasai oleh seseorang yang hendak berdakwah.24
Tujuan retorika dalam kaitannya dengan dakwah yang paling penting adalah “mempengaruhi audiens”. Hal ini karena dalam berdakwah dibutuhkan teknik-teknik yang mampu memberikan pengaruh efektif kepada khalayak masyarakat. Diantaranya dengan menggunakan retorika ampuh dan jitu untuk mempengaruhi orang lain agar membenarkan dan mengikuti apa yang diserunya. Sebagaimana dakwah adalah sarana komunikasi menghubungkan, memberikan, dan menyerahkan segala gagasan, cita-cita dan rencana kepada orang lain dengan motif menyebarkan kebenaran sejati.
e. Bahasa sebagai Media Retorika
Setiap manusia secara fitrah memiliki kemampuan berbahasa. Dengan bahasa, manusia dapat mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Bahasa adalah penemuan manusia yang paling menakjubkan. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri.25
Jujun Suriasumantri menyebut bahwa bahasa sebagai serangkaian bunyi dan lambang yang membentuk makna.26 Lebih lengkapnya, bahasa adalah sarana sistematis untuk mengkomunikasikan ide-ide perasaan dengan
24
Yusuf Zainal Abidin, Pengantar Retorika, (Bandung : CV. Setia Pustaka, 2013), hlm.132
25
Aslinda, dan Syafyahya, Leni, Pengantar Sosiolinguistik, (Bandung : Refika Aditama, 2007), hlm.1
26
Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 175
(35)
27
menggunakan tanda-tanda conventionalized, suara, gerakan, atau tanda memiliki makna yang dapat dipahami.27
Sejak lahir manusia tumbuh dalam buaian serta pelukan bahasa. Berbahasa ibarat menghirup udara, setiap saat dikonsumsi tanpa mempertanyakan asal-usulnya. Manusia mulai resah ketika memasuki komunitas asing yang tidak dapat dipahami. Ketika kata-kata dan informasi tidak lagi dapat dipahami bahkan membingungkan, manusia mulai kritis untuk mempertanyakan bahasa dan fungsinya. Bahasa merupakan media retorika, sedangkan retorika sering digunakan sebagai ilmu berbicara yang diperlukan setiap orang.28
Ketika berbicara di depan umum, seseorang membutuhkan ilmu retorika untuk menunjang kualitas pembicaraannya. Selain itu, retorika digunakan untuk meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan atau topik yang dibicarakan. Akan tetapi, tidak banyak orang yang mampu menggunakan retorika dengan baik dan efektif. Oleh karena itu, diperlukan rekonstruksi bahasa dan retorika dalam berkomunikasi atau berbicara di depan umum. Rekonstruksi dapat dimulai dari segi penggunaan bahasa yang digunakan dalam berbicara. Dengan merekonstruksi bahasa dan retorika, kemampuan berbicara semakin mudah dimengerti, indah, dan sistematis.29
27We ster’s New Collegiate Di tio ary
(U.S.A., 1981), hlm. 641, dikutip oleh A. Chaedar Alwasilah, Linguistik: Suatu Pengantar, (Bandung : Angkasa, 1993)
28
Jalaluddin Rahmat, Retorika : Modern Pendekatan Praktis. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.2
29
(36)
28
f. Gaya Bahasa dalam Retorika
Gaya bahasa merupakan salah satu faktor terpenting dalam retorika. Gaya bahasa yang menarik menyebabkan proses komunikasi berjalan lancar.30 Gaya bahasa adalah cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang. Pada hakikatnya, gaya bahasa merupakan teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dianggap dapat mewakili sesuatu yang akan disampaikan atau diungkapkan.31
Gaya bahasa (style) adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan : pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat bahkan mencakup pula sebuah wacana keseluruhan.32
Syarat-syarat gaya bahasa yang baik, mengandung tiga unsur, yaitu :
1. Kejujuran
Kejujuran adalah suatu pengorbanan. Bila orang hanya mencari kesenangan dengan mengabaikan segi kejujuran, maka akan timbul hal-hal menjijikkan. Hidup seorang (manusia) hanya dapat bermanfaat bagi dirinya
30
Yusuf Zainal Abidin, Pengantar Retorika, (Bandung : CV. Setia Pustaka, 2013), hlm.70
31
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta : Gramedia, 2007), hlm. 113
32
(37)
29
sendiri dan bagi sesamanya, kalau hidup itu dilandaskan pada sendi-sendi kejujuran.33
2. Sopan santun
Yang dimaksud sopan santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca.
3. Menarik
Gaya bahasa yang digunakan oleh da’i harus menarik. Sebuah gaya yang menarik dapat diukur melalui beberapa komponen berikut. Variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh gaya hayal (imajinasi).34
(1) Jenis-Jenis Gaya Bahasa
1. Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata
Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapatlah dibedakan: gaya bahasa resmi (bukan bahasa resmi), gaya bahasa tak resmi dan gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa dalam tingkatan bahasa non standar tidak akan dibicarakan di sini, karena tidak akan berguna dalam tulisan-tulisan ilmiah atau ilmiah populer.35
33
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm.113
34
Ibid, hlm.115
35
(38)
30
a. Gaya Bahasa Resmi
Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. Amanat kepresidenan, berita negara, khutbah-khutbah mimbar, tajuk rencana, pidato-pidato yang penting, artikel-artikel yang serius atau esai yang memuat subyek-subyek yang penting, semuanya dibawakan dengan gaya bahasa resmi.
b. Gaya Bahasa Tak Resmi
Gaya bahasa tak resmi juga merupakãn gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya dalam kesempata-kesempatan yang tidak formal atau kurang formal. Bentuknya tidak terlalu konservatif. Gaya ini biasanya dipergunakan dalam karya-karya tulis, buku-buku pegangan, artikel-artikel mingguan atau bulanan yang baik, dalam perkuliahan, editorial, kolumnis, dan sehagainya. Singkatnya gaya bahasa tak resmi adalah gaya bahasa yang umum dan normal bagi kaum terpelajar.
c. Gaya Bahasa Percakapan
Sejalan dengan kata-kata percakapan, terdapat juga gaya bahasa percakapan. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Namun di sini harus ditambahkan segi-segi morfologis dan sintaksis, yang secara bersama-sama membentuk gaya
(39)
31
bahasa percakapan ini. Biasanya segi-segi sintaksis tidak terlalu diperhatikan, demikian pula segi-segi morfologis yang biasa diabaikan sering dihilangkan. Kalau dibandingkan dengan gaya bahasa resmi dan gaya bahasa tidak resmi, maka gaya bahasa percakapan ini dapat diumpamakan sebagai bahasa dalam pakaian sport. Itu berarti bahasanya masih lengkap untuk suatu kesempatan, dan masih dibentuk menurut kebiasaan-kebiasaan, tetapi kebiasaan ini agak longgar bila dibandingkan dengan kebiasaan pada gaya bahasa resmi dan tidak resmi.
2. Gaya Bahasa Berdasarkan Nada
Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dan rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara dan pembicara, bila sajian yang dihadapi adalah bahasa lisan.36
a. Gaya Sederhana
Gaya ini cocok digunakan untuk memberikan instruksi, perintah, pelajaran, perkuliahan, dan sebagainya.
b. Gaya Mulia dan Bertenaga
Sesuai dengan namanya, gaya ini penuh dengan vitalitas yanng biasanya dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu. Menggerakkan sesuatu tidak saja dengan mempergunakan tenaga dan vitalitas
36
(40)
32
pembicara, tetapi juga dapat mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan. Tampaknya hal ini mengandung kontradiksi, tetapi kenyataannya memang demikian.
Nada yang agung dan mulia dapat mengerakkan emosi setiap pendengar. Dalam keagungan, terselubung sebuah tenaga yang halus tetapi secara aktif ia meyakinkanbekerja untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Khotbah tentang kemanusiaan dan keagamaan, kesusilaan dan ketuhanan biasanya disampaikan dengan nada yang agung dan mulia. Tetapi dibalik keagungan dan kemuliaan itu terdapat tenaga penggerak yang luar biasa, tenaga yang benar-benar mampu menggetarkan emosi para pendengar atau pembaca.
c. Gaya Menengah
Gaya menengah adalah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana senang dan damai. Karena tujuannya adalah menciptakan suasana senang dan damai, maka nadanya juga bersifat lemah-lembut, penuh kasih sayang, dan mengandung humor yang sehat. Pada kesempatan-kesempatan khusus seperti pesta, pertemuan, dan rekreasi, orang lebih menginginkan ketenangan dan kedamaian. Akan ganjillah rasanya, atau akan timbul disharmoni, kalau dalam suatu pesta pernikahan ada orang yang memberi sambutan berapi-api, mengerahkan segala emosi dan tenaga untuk menyampaikan sepatah kata. Para hadirin yang kurang waspada akan turut terombang-ambing dalam permainan emosi semacam itu.
(41)
33
B. Kajian Teoritis
Kajian retorika secara umum didefinisikan sebagai simbol yang digunakan manusia. Pada awalnya merupakan ilmu ini berhubungan dengan persuasi, sehingga retorika adalah seni penyusunan argumen dan pembuatan naskah.37 Dalam buku pengantar teori komunikasi analisis dan aplikasi yang ditulis oleh Richard West dan Lynn H. Turner Public speaking memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang melampaui khalayak yang mendengarkan, dan ini merupakan keahlian yang penting di dalam masyarakat yang demokratis. Begitu pentingnya public speaking dalam kehidupan kita, sampai-sampai hal ini menjadi kegiatan yang ditakuti. Aristoteles merupakan orang pertama yang memberikan langkah-langkah dalam public speaking, retorika aristoteles yang tulisan-tulisannya yang diterbitkan dua puluh lima abad yang lalu menjadi paling berpengaruh di dunia Barat oleh para sejarawan, filsuf, dan pakar komunikasi.
Teori retorika berpusat pada pemikiran mengenai retorika, yang disebut Aristoteles sebagai alat persuasi yang tersedia. Maksudnya, seorang pembicara yang tertarik untuk membujuk khalayaknya harus mempertimbangkan tiga bukti retoris: logika (logos), emosi (pathos), dan etika atau kredibilitas (ethos).38
37
Stephen W. Littlejohn, Karen A.Foss, Theories of Human Communication, terj. Mohammad Yusuf Hamdan, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2014). Hlm.73
38
Richard West, Lynn H. Turner, Pengentar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008), hlm.5
(42)
34
Khalayak merupakan kunci dari persuasi yang efektif, dan silogisme retoris, yang mendorong khalayak untuk menemukan sendiri potongan-potongan yang hilang dari suatu pidato, digunakan dalam persuasi.39
Ada dua asumsi teori yang dikemukakan Aristoteles yang dikaitkan dengan teori retorika40.
1. Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan khalayak
2. Pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam presentasi mereka.
Dalam konteks public speaking Aristoteles menyatakan bahwa hubungan antara pembicara-khalayak harus dipertimbangkan. Para pembicara tidak boleh menyusun atau menyampaikan pidato mereka tanpa mempertimbangkan khalayak mereka. Hal ini disebut sebagai analisis khalayak, yang merupakan proses mengevaluasi suatu khalayak dan latar belakangnya (seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan sebagainya) dan menyusun pidatonya sedemikian rupa sehingga para pendengar memberikan respon sebagaimana yang diharapkan pembicara. Aristoteles merasa bahwa khalayak sangat penting bagi efektivitas seorang pembicara. Ia menyatakan, “ Dari tiga elemen dalam penyusunan pidato pembicara, subjek, dan orang yang dituju yang terakhirlah, para pendengar, yang menentukan akhir dan tujuan dari suatu pidato” .
39
Richard West, Lynn H. Turner, Pengentar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008), hlm.5
40
(43)
35
Asumsi yang kedua yang mendasari teori aristoteles berkaitan dengan apa yang dilakukan pembicara dalam persiapan pidato mereka dan dalam pembuatan pidato tersebut. Bukti-bukti yang dimaksud oleh Aristoteles ini merujuk pada cara-cara persuasi yaitu: ethos, pathos, dan logos. Ethos merujuk pada karakter, intelegensi, dan niat baik yang dipersepsikan dari seorang pembicara ketika hal-hal ini ditunjukkan melalui pidatonya. Aristoteles merasa bahwa suatu pidato yang disampaikan oleh seorang yang terpercaya akan lebih persuasif dibandingkan pidato yang kejujurannya dipertanyakan. Logos adalah bukti-bukti logis yang digunakan pembicara untuk argumen mereka, rasionalisasi dan wacana. Bagi aristoteles logos mencakup beberapa praktik termasuk menggunakan klaim logis dan bahasa yang jelas. Menggunakan frase-frase puitis berakibat pada kurangnya kejelasan dan kealamian. Pathos berkaitan dengan emosi yang dimunculkan dari para pendengar. Aristoteles berargumen bahwa pendengar menjadi alat pembuktian ketika emosi mereka digugah , para pendengar menilai dengan cara berbeda ketka mereka dipengaruhi oleh rasa bahagia, sakit, benci, atau takut.
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Sebelum penulis mengadakan penelitian lebih lanjut, maka langkah pertama adalah meninjau pustakaan serta menelaah penelitian-penelitian terdahulu yang mempunyai kesesuaian judul. Untuk memperkaya dan pemahaman dan wawasan pembaca agar hasil dari pada penelitian ini
(44)
36
cenderung dinamis. Oleh karena itu penulis akan cantumkan beberapa penelitian yakni sebagai berikut :
1. Artikel Ilmiah yang berjudul Retorika KH. Anwar Zahid saat ceramah tentang keagamaan di Tuban yang ditulis oleh Yusril Fadkhul Hakim,41 hasil dari penelitian ini yaitu berisi tentang penerapan humor dan penggunaan gaya bahasa yang sesuai dengan keadaan mad’u oleh KH. Anwar Zahid pada ceramah keagamaan di Tuban. Adanya hal tersebut diharapkan agar masyarakat dapat dengan mudah menyerap pesan dakwah yang disampaikan oleh KH.Anwar Zahid. Persamaan dan perbedaan yang dapat dilihat antara penelitian diatas dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :
Persamaanya, sama-sama meneliti tentang bagaimana retorika atau yang dipakai pelaku dakwah dalam menyelenggarakan dakwah. Sedangkan perbedaanya, penelitian ini meneliti persepsi audiennya/jama’ah rutinan Jum’at, sedangkan skripsi Yusril Fadkhul Hakim meneliti tentang bagaimana retorika kiai.
2. Skripsi yang berjudul Persepsi Santri Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Jihad Surabaya terhadap Program Dakwah di TV9 dan JTV (Penelitian terhadap santri pondok pesantren mahasiswa Al-Jihad Surabaya yang pernah melihat program dakwah di TV9 dan JTV) yang ditulis oleh
41
Yusril Fadkhul Hakim, Retorika KH. Anwar Zahid saat ceramah tentang keagamaan di Tuban, (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Nusantara Persatuan Guru Republik Indonesia Kediri, 2016)
(45)
37
Samrotul Jannah,42 hasil dari penelitian ini yaitu berisikan tentang persepsi positif dan juga negatif dari santri pondok pesantren mahasiswa Al-Jihad Surabaya terhadap program dakwah di TV9 dan JTV. Dan juga berisi perbandingan antara program dakwah di TV9 dan JTV. Persamaan dan perbedaan yang dapat dilihat antara penelitian diatas dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :
Persamaannya, Sama-sama meneliti tentang bagaimana persepsi seseorang terhadap adanya dakwah. Namun perbedaanya, Penelitian ini menggunakan media pengajian di majlis ta’lim, sedangkan penelitian Samrotul Jannah menggunakan televisi sebagai media dakwahnya, yakni stasiun TV9 dan JTV.
3. Skripsi yang berjudul Persepsi Tokoh Masyarakat Desa Meddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep Terhadap Profesi Wartawan, (penelitian terhadap tokoh masyarakat desa Meddelan kecamatan Lenteng kabupaten Sumenep) yang ditulis oleh Muhammad Lutfi,43 hasil dari penelitian ini yaitu berisi tentang bagaimana tokoh masyarakat di desa Meddelan kecamatan Lenteng kabupaten Sumenep dalam memaknai profesi seorang wartawan. Persamaan dan perbedaan yang dapat dilihat
42 Samrotul Jannah,
Persepsi Santri Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Jihad Surabaya terhadap Program Dakwah di TV9 dan JTV, (Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016)
43
Muhammad Lutfi, Persepsi Tokoh Masyarakat DesaMeddelan Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep Terhadap Profesi Wartawan, (Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016)
(46)
38
antara penelitian diatas dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :
Persamaanya, sama-sama meneliti tentang bagaimana persepsi seseorang terhadap suatu fenomena. Sedangkan perbedaannya, penelitian ini meneliti persepsi jama’ah rutinan Jum’at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas, sedangan skripsi Muhammad Lutfi meneliti tentang bagaimana persepsi tokoh masyarakat terhadap profesi wartawan.
4. Skripsi yang berjudul Persepsi Masyarakat Terhadap Humor dalam Ceramah oleh Juru Dakwah di Kota Banjarmasin, (Penelitian terhadap masyarakat kota Banjarmasin) yang ditulis oleh Rabiatul Adawiyah,44 hasil dari penelitian ini yaitu berisi tentang bagaimana persepsi positif dan juga negatif dari masyarakat banjarmasin terkait dengan adanya humor dalam ceramah oleh para juru dakwah di Kota banjarmasin, dan juga menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat memberikan persepsi. Persamaan dan perbedaan yang dapat dilihat antara penelitian diatas dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :
Persamaanya, sama-sama meneliti tentang bagaimana persepsi masyarakat terhadap adanya pelaku dakwah. Sedangkan perbedaannya, penelitian ini meneliti tentang persepsi masyarakat terhadap retorika kiai,
44
Rabiatul Adawiyah, Persepsi Masyarakat Terhadap Humor dalam Ceramah oleh Juru Dakwah di Kota Banjarmasin, (Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin, 2011)
(47)
39
sedangkan skripsi Robiatul Adawiyah membahas tentang persepsi masyarakat terhadap adanya humor dalam suatu ceramah.
5. Skripsi yang berjudul Gaya Retorika Da’i Pada Ceramah Ba’da Dzuhur Di Masjid Raya Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya (Penelitian yang dilakukan dengan wawancara kepada para da’i yang mengisi ceramah ba’da dhuhur di masjid raya ulul albab UIN Sunan Ampel Surabaya) yang ditulis oleh Nitra Galih Imansari,45 hasil dari penelitian ini yaitu menjelaskan dan mendeskripsikan tentang bagaimana gaya retorika da’i pada ceramah ba’da dzuhur di masjid raya Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya. Persamaan dan perbedaan yang dapat dilihat antara penelitian diatas dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut
Persamaanya, sama-sama meneliti tentang bagaimana persepsi masyarakat terhadap adanya pelaku dakwah. Sedangkan perbedaannya, penelitian ini membahas tentang bagaimana persepsi masyarakat tentang retorika kiai di Mojokerto, sedangkan skripsi Nitra Galih Imansari meneliti secara langsung gaya retorika da’i yang melakukan ceramah di masjid raya Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya.
6. Skripsi yang berjudul Retorika Dakwah K.H. Muhammad Syarif Hidayat (Penelitian yang dilakukan dengan wawancara langsung kepada kiai yang
45
Nitra Galih Imansari,Gaya Retorika Da’i Pada Cera ah Ba’da Dzuhur Di Masjid Raya Ulul Al a
UIN Sunan Ampel Surabay , (Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016)
(48)
40
bersangkutan) yang ditulis oleh Leiza Sixmansyah,46 hasil dari penelitian ini yaitu berisi tentang bagaimana sang kiai (K.H. Syarif Hidayatullah) dalam mengkonsep dakwahnya, dan juga penerapan retorika dalam kegiatan dakwahnya. Persamaan dan perbedaan yang dapat dilihat antara penelitian diatas dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :
Persamaanya, sama-sama meneliti tentang bagaimana perepsi masyarakat terhadap adanya pelaku dakwah. Sedangkan perbedaanya, penelitian ini meneliti persepsi audiennya/jama’ah rutinan Jum’at, sedangkan skripsi Leiza Sixmansyah meneliti tentang bagaimana retorika kiai.
46
Leiza Sixmansyah, Retorika Dakwah K.H. Muhammad Syarif Hidayat, (Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014)
(49)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian “kualititatif”. Hal ini dikarenakan dalam penelitian kualitatif itu lebih berbicara pada proses. Sedangkan kuantitatif lebih kepada hasil. Sumber data dalam penelitian kualititatif, posisi narasumber sangat penting, bukan sekedar memberi respon melainkan juga sebagai pemilik informasi. Karena itu informan atau disebut subjek yang diteliti, karena ia bukan saja sebagai sumber data, melainkan juga aktor yang ikut menentukan berhasil tidaknya suatu penelitian berdasarkan informasi yang diberikan.
Esensi dari penelitian kualitatif ini adalah tidak hanya mengetahui, melainkan untuk memahami. Maksud dari memahami disini ialah bukan sekedar faham, melainkan lebih dalam lagi, yaitu memahami hingga inti fenomena yang diteliti, sehingga memahami menjadi tujuan dari penelitian kualitatif.1Sesuai dengan tujuan penelitian, peneliti ingin menguraikan tentang faktor apa saja yang mempengaruhi minat masyarakat untuk mengikuti kegiatan rutinan Jum’at dan juga memahami dan mendeskripsikan bagaimana persepsi jama’ah rutinan Jum’at terhadap gaya retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas. Dan juga dalam teknik pengumpulan data yang khas dari kualitatif yaitu tanpa adanya manipulasi variabel.
1
(50)
42
Mengenai pendekatan, peneliti menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkapkan fakta, keadaan, fenomena, variabel dan keadaan yang terjadi saat penelitian berjalan dan menyuguhkan apa adanya.2 Penelitian deskriptif berusaha menggambarkan situasi atau kejadian. 3Penelitian deskriptif kualitatif menafsirkan dan menuturkan data yang bersangkutan dengan situasi yang sedang terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam masyarakat. Kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data, menganalisis data, menginterpretasi data, dan diakhiri dengan sebuah kesimpulan yang mengacu pada penganalisisan data tersebut.4 Begitu juga dengan penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan deskriptif karena pada pendekatan ini dapat digunakan untuk menggambarkan kejadian-kejadian yang terjadi disaat peneliti menganalisis kejadian-kejadian tersebut, dan juga dapat dilakukan secara terus-menerus sepanjang penelitian ini dilakukan.5
B. Subjek, Objek, dan Lokasi Penelitian
1. Subjek penelitian : individu, benda, atau organisme yang dijadikan sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian. 6 Dalam hal ini jama’ah rutinan Jum’at yang berlokasi di Pondok Pesantren KH. Muhammad Chusaini Ilyas Desa Karangnongko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto yang akan dijadikan subjek penelitian.
2
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial : Format-format kualitatif dan kuantitatif,
(Surabaya : Airlangga University Press,2001), hlm.48
3
Saifudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2003), hlm.7
4
Ibid, hlm.7
5
Tim Penyusun, Pedoman Teknik Penulisan Skripsi, (Surabaya : Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016). Hlm. 44
6
(51)
43
2. Objek penelitian : ialah individu ataupun suatu kelompok yang berhubungan dengan subjek penelitian.7 Dalam hal ini persepsi jama’ah rutinan Jum’at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas yang akan dijadikan objek penelitian.
3. Lokasi penelitian : ialah tempat dimana diadakannya penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan suatu data.8 Dalam hal ini Pondok Pesantren Salafiyah “Al-Mishbar” (Pondok Pesantren KH. Muhammad Chusaini Ilyas), Desa Karangnongko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, hal ini dikarenakan pondok pesantren tersebut digunakan tempat untuk perkumpulan pengajian rutinan Jum’at.
C. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuesioner atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden atau menjawab pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan, peneliti menamakan sumber data dari manusia. Apabila peneliti menggunakan teknik observasi, maka sumber datanya bisa berupa benda, gerak atau proses sesuatu. Apabila peneliti menggunakan dokumentasi, maka dokumen atau catatanlah yang menjadi sumber data.9
Dalam hal ini peneliti menjadikan jama’ah rutinan Jum’at sebagai sumber data melalui wawancara secara langsung dengan mereka.
7
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, (Yogyakarta : Erlangga, 2009), hlm.91,
8
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta : Salemba Humanika), hlm.168
9
(52)
44
Pengambilan sampel pada penelitian ini berdasarkan pada jenis pekerjaan masing-masing jama’ah. Hal ini dikarenakan faktor lingkungan pekerjaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan persepsi antara satu dengan yang lainnya.
Data Informan Penelitian :
Berikut merupakan data informan penelitian berdasarkan faktor pekerjaan masing –masing jama’ah rutinan Jum’at :
Tabel 3.1 Data Informan
No. Nama Pekerjaan Alamat
1. Desi Puspitasari Perawat Mojolebak
2. Luqmanul Khakim Guru Gedeg
3. Fitria Nur Hidayah Mahasiswi Mojodadi
4. Choirul Huda Guru Dlanggu
5. Yuni Dwi Puspitasari Pedagang Pekayon
6. Choirun Nadhiroh Wiraswasta Surodinawan
7. Bunari Pedagang Kemlagi
8. Muchtar Wiraswasta Jetis
9. Viky Dirgayu Armanda Mahasiswa Sumberwono 10. Novita Eka Anggraini Pegawai Kranggan
(53)
45
Profil Informan Penelitian :
1. Desi Puspitasari merupakan salah satu jama’ah di kegiatan rutinan Jum’at KH. Muhammad Chusaini Ilyas. Wanita kelahiran Mojokerto pada tanggal 14 Desember 1991 ini, kini berprofesi sebagai perawat. Pendidikan yang pernah ditempuh yaitu Sekolah Dasar Negeri (SDN) Mojolebak 1, setelah lulus dia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Gedeg, dan untuk mewujudkan cita-citanya sebagai orang yang berjasa di bidang kesehatan, dia melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kesehatan Bakti Indonesia Medika Surodinawan. Setelah lulus dia mengambil S1 Program Studi Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Sehat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Mojokerto. Selama di bangku perkuliahan, dia aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Stikes Bina Sehat PPNI. Dia dan anggotanya juga sering mengadakan event-event, seperti seminar kesehatan dengan mengundang dr. Ryan Thamrin (dr.OZ Trans TV), seminar dengan narasumber Seto Mulyadi (Kak Seto) selaku ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, dan pengajian dalam rangka Isro’ Mi’roj’ bekerja sama dengan stasiun televisi JTV dengan mengundang KH. Imam Chambali (pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Jihad).
2. Informan selanjutnya yaitu Luqmanul Khakim. Seorang laki-laki kelahiran Kecamatan Gedeg tahun 1989. Dia pertama kali mengikuti rutinan Jum’at ini pada bulan Juni tahun 2014. Pendidikan dia yaitu di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gedeg, selanjutnya setelah lulus kemudian melanjutkan ke
(54)
46
Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Gedeg, sementara untuk Sekolah Menengah Atas, dia bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Sooko, Mojokerto. Setelah lulus MAN, Luqmanul Khakim melanjutkan ke S1 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya (sekarang UINSA) Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits. Selama dibangku kuliah, dia aktif di berbagai UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) maupun organisasi di Fakultas Ushuluddin. Dia sekarang menjadi kepala sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Islam plus Misykatul Anwar Gedeg dan sebagai tenaga pengajar di lingkungan Pondok Pesantren “Al-Khotimah”.
3. Choirun Nadhiroh lahir di Mojokerto pada tahun 1993. Dia merupakan seorang wirausaha yang bekerja di bidang perdagangan. Di umur yang sekarang ini, dia sudah bisa membagi waktu antara kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat. Berawal dari ajakan saudara, sekitar bulan April 2016 dia sudah mengikuti rutinan Jum’at KH. Muhammad Chusaini Ilyas. Beralamat di wilayah Surodinawan yang bisa dibilang tidak begitu jauh dengan lokasi pengajian. Mungkin inilah salah satu faktor yang menyebabkan dia aktif mengikuti rutinan Jum’at KH. Muhammad Chusaini Ilyas.
4. Fitria Nur Hidayah merupakan gadis kelahiran Nusa Tenggara Timur pada tanggal 02 September 1995. Sejak berumur tiga tahun, dia berpindah ke desa Mojodadi, kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto. Pendidikan yang pernah dia tempuh diantaranya yaitu pada waktu sekolah dasar dia
(55)
47
bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Miftahul Ulum Kemlagi, setelah itu untuk menambah ilmu umum dan juga ilmu agama, dia bersekolah dan mondok di Pondok Pesantren”An-Najah” Tambak beras, Jombang. Setelah lulus Madrasah Tsanawiyah, dia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Sooko, Mojokerto dan mondok di Pondok Pesantren “Al-Khodijah” Mojokerto. Setelah lulus MAN, kini dia termasuk mahasiswi aktif di Universitas Terbuka jurusan Statistika Terapan. Dikarenakan sejak kecil dia sudah akrab dengan dunia pesantren, meskipun sudah mahasiswi, dia masih rindu akan kegiatan siraman rohani (ngaji). Untuk itu sejak bulan Agustus tahun 2014 dia sudah mengikuti rutinan Jum’at KH. Muhammad Chusaini Ilyas.
5. Choirul Huda merupakan jama’ah yang sudah lama mengikuti kegiatan rutinan Jum’at. Dia sudah mengikutinya sekitar tahun 2011. Dia berprofesi sebagai tenaga pendidik di Yayasan Pendidikan Islam Miftahul Ulum Mojokarang. Dia kelahiran Lamongan, pada 03 Agustus 1967. Pendidikan yang dia tempuh yaitu Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) kabupaten Lamongan, Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Babat, dan melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Lamongan. Setelah lulus dia kuliah di IAIN Sunan Ampel (sekarang UINSA) Surabaya, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, dan lulus pada tahun 1994.
6. Viky Dirgayu Armanda merupakan salah satu jama’ah dari kalangan pemuda yang sudah mengikuti rutinan Jum’at sejak tahun 2013. Dia pertama kali mengikuti rutinan Jum’at atas ajakan dari sang Ayah. Pemuda
(56)
48
kelahiran Mojokerto pada tanggal 17 Agustus 1996 ini ialah mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi di daerah Mojokerto. Pendidikannya yaitu Sekolah Dasar Negeri (SDN) Bangsal, Madrasah Tsanawiyah Negeri (MtsN) Mojoanyar, dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kota Mojokerto. Sekarang ia duduk di bangku perkuliahan program studi Management di Universitas Islam Majapahit (UNIM) Mojokerto.
7. Yuni Dwi Puspitasari adalah salah satu jama’ah dari rutinan Jum’at. Perempuan kelahiran Mojokerto, pada tanggal 25 Juni 1994 ini beralamat di Jalan Pekayon, Kranggan, kota Mojokerto. Pendidikan yang dia tempuh yaitu Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kranggan 3, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Kota Mojokerto, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Kota Mojokerto. Menurut dia, rutinan Jum’at ini selain sebagai tempat untuk menambah pengetahuan agama, juga menjadi ladang mencari rezeki. Hal ini dikarenakan disamping sebagai peserta rutinan, dia juga berjualan berbagai macam kerudung. Tidak hanya dia saja, banyak juga sesama pedagang yang lain yang menawarkan berbagai macam dagangan mereka kepada peserta rutinan Jum’at.
8. Tidak hanya saudari Yuni saja yang menganggap rutinan Jum’at ini sebagai ladang pencarian nafkah. Laki-laki kelahiran Mojokerto pada tanggal 20 November 1965 ini juga merupakan satu dari sekian jama’ah rutinan Jum’at yang menjual berbagai macam pigora berisikan foto para Ulama’ dan juga beberapa buku tentang dakwah. Bapak Bunari sudah cukup lama mengikuti rutinan ini, dimulai sekitar tahun 2011. Alamat dia
(57)
49
yaitu di Dusun Kalimati, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto. Pendidikan dia yaitu lulusan Sekolah Dasar (SD) dan juga mengenyam pendidikan agama di beberapa Pondok Pesantren di Mojokerto.
9. Muchtar merupakan jama’ah rutinan Jum’at yang berasal dari Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto. Dia lahir pada tanggal 17 Mei 1959. Pendidikan dia yaitu lulusan Sekolah Dasar (SD). Dia aktif mengikuti rutinan Jum’at ini sejak tahun 2010. Ketika liburan sekolah biasanya dia mengikuti rutinan bersama anak-anaknya. Dia berharap anak-anaknya bisa memperoleh ilmu agama dan bisa menjadi anak sholeh yang bisa membahagiakan orang tua.
10.Novita Eka Anggraini lahir pada tanggal 01 November 1990. Pendidikan yang dia tempuh yaitu Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kranggan 3, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 4 Kota Mojokerto, dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Sooko, Mojokerto. Dia juga merupakan lulusan dari Universitas Brawijaya Jurusan Perpajakan. Dia sekarang bekerja di Kantor Pos Mojokerto. Dia sudah mengikuti rutinan Jum’at ini sejak tahun 2013.
Adapun jenis-jenis sumber data dalam penelitian adalah:
1. Data Primer : Data primer ialah data yang diperoleh dari hasil observasi dan hasil wawancara terhadap jama’ah rutinan Jum’at tentang bagaimana persepsi mereka terhadap retorika K.H. Muhammad Chusaini Ilyas ketika berceramah.
(58)
50
2. Data Sekunder : Data sekunder dalam penelitian ini ialah merupakan data tambahan atau pelengkap seperti: buku, jurnal, majalah, internet dan sumber lainnya yang dapat dijadikan sebagai data pelengkap.
D. Teknik Pengumpulan Data
Data adalah sesuatu yang diperoleh melalui suatu metode pengumpulan data yang akan diolah dan dianalisa dengan suatu metode tertentu yang selanjutnya akan menghasilkan suatu hal yang dapat menggambarkan atau mengindikasikan sesuatu.10 Dalam penelitian apapun pasti melibatkan data sebagai bahan yang akan diolah untuk menjadi sesuatu. Pada penelitian kualitatif, bentuk data berupa kalimat, atau narasi dari subyek penelitian yang diperoleh melalui suatu teknik pengumpulan data yang kemudian data tersebut akan dianalisis dan diolah dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif dan akan menghasilkan suatu temuan yang akan menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan. Dalam penelitian kualitatif dikenal beberapa metode pengumpulan data yang umum digunakan. Di antaranya yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. 1. Wawancara
Menurut Moleong “wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang
10
(59)
51
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.”11 Sedangkan definisi menurut Gorden “wawancara merupakan percakapan antara dua orang yang salah satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk suatu tujuan tertentu.”12
Dalam penelitian kualitatif, wawancara menjadi metode pengumpulan data yang utama. Untuk itu, penguasaan teknik wawancara mutlak diperlukan. Perlu diingat, ketika melakukan wawancara jangan sampai subyek merasa diinterogasi oleh peneliti. Karena dalam interogasi biasanya terkandung unsur tekanan dari salah satu pihaknya. Jika hal ini sampai terjadi, maka kejujuran dan keterbukaan subyek akan terganggu yang nantinya akan mempengaruhi validitas data yang diperoleh.
Dalam penelitian ini yang akan diwawancarai yaitu jama’ah rutinan Jum’at, karena merekalah nanti yang akan diwawancarai mengenai bagaimana persepsi mereka terhadap retorika K.H. Muhammad Chusaini Ilyas sewaktu berdakwah.
2. Observasi
Pengamatan (Observasi) adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala- gejala yang diselidiki.13 Observasi, baik secara langsung
maupun tidak langsung selalu menghasilkan temuan-temuan baru
11
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), hlm.266
12
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta : Salemba Humanika), hlm. 118
(60)
52
yang jarang di dapat dengan metode konvensional seperti focus group atau survey. Banyak hal yang tidak dapat diungkapkan oleh informan atau terlewatkan, bisa dimunculkan dan digali pada saat observasi. Teknik observasi ini penulis gunakan untuk menggali data dengan cara melakukan pengamatan secara langsung. Terkadang banyak hal yang mungkin tidak dapat diungkapkan secara langsung karena salah satu alasannya yaitu menjaga image atau citra diri. Melalui teknik observasi inilah penulis akan mengungkapkan berbagai hal yang tidak dapat dikatakan tetapi dapat dilihat berdasarkan pengamatan langsung guna menemukan kebenaran informasi.
Dalam pengamatan ini, peneliti merekam atau mencatat baik dengan cara terstruktur maupun semistruktur (misalnya, dengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang memang ingin diketahui oleh peneliti) aktivitas-aktivitas dalam penelitian.14
Dalam penelitian ini lingkungan yang diamati adalah aktivitas Jama’ah rutinan Jum’at, yang nantinya akan diwawancara mengenai bagaimana persepsi mereka terhadap retorika K.H. Muhammad Chusaini Ilyas.
3. Dokumentasi
Teknik dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.15 Teknik ini untuk mengumpulkan data-data berupa catatan-catatan, surat dan foto, gambar dan lain-lain.
14
John W. Creswell, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015) hlm.267.
15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006),hlm.231.
(61)
53
Dalam hal ini peneliti mengumpulkan dokumentasi yang berkaitan dengan persepsi jama’ah rutinan Jum’at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas.
Melalui teknik ini, peneliti ingin mendapatkan data dari para jama’ah rutinan Jum’at yang akan diwawancarai mengenai bagaimana persepsi mereka terhadap retorika K.H. Muhammad Chusaini Ilyas sewaktu berdakwah.
E. Teknik Analisis Data
Dalam teknis analisis data terdapat 4 tahapan didalamnya, yaitu pengumpulan data, reduksi data, display data, dan tahap penarikan kesimpulan data atau tahap verifikasi.16
1. Tahap pengumpulan data berisi tentang serangkaian proses pengumpulan data yang dimulai ketika awal penelitian, melalui wawancara awal.
2. Tahap reduksi data yang berisi tentang proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh menjadi suatu bentuk tulisan (script) yang akan dianalisis.
3. Tahap display data berisi tentang pengolahan data setengah jadi yang sudah seragam dalam bentuk tulisan dan sudah memiliki alur tema yang jelas ke dalam suatu matriks kategorisasi sesuai tema-tema yang sudah dikelompokkan dan dikategorikan, serta akan memecah tema-tema tersebut ke dalam bentuk yang lebih
16
(1)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari penyajian data dan hasil penelitian, maka ditarik kesimpulan bahwa persepsi jama’ah rutinan Jum’at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas dapat diajukan beberapa kesimpulan yang penting. Beberapa kesimpulan itu dapat dirinci sebagai berikut :
1. Gaya bahasa KH. Muhammad Chusaini Ilyas menggunakan gaya bahasa berdasarkan pilihan kata berupa bahasa percakapan, gaya berdasarkan nada, berupa gaya sederhana. Gaya bahasa beliau memenuhi syarat-syarat bahasa yang baik, yaitu menarik, sopan santun, dan terdapat aspek kejujuran didalamnya. terbukti dari jawaban-jawaban yang beliau berikan atas pertanyaan Jama’ah yang disertai dengan pengertian yang baik, tidak berbelit- belit, dan juga analogi yang tentunya relevan dengan jawaban yang beliau kemukakan.
2. Faktor – faktor utama yang memberi pengaruh terhadap pembentukan persepsi jama’ah rutinan Jum’at terhadap retorika KH. Muhammad Chusaini Ilyas, yaitu faktor penerima (the receiver), faktor situasi (the situation), dan faktor objek sasaran (the target).
(2)
86
B. Saran
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan untuk memberikan masukan dalam rangka pengembangan kualitas kegiatan dakwah bagi masyarakat umum. Serta digunakan sebagai bahan penelitian lanjut yang berhubungan dengan penelitian ini.
(3)
87
DAFTAR PUSTAKA BUKU
Abidin, Yusuf Zainal, Pengantar Retorika, Bandung : CV. Setia Pustaka, 2013 Adha, Kholifatul, Panduan Mudah Public Speaking, Yogyakarta : Notebook,
2014
Anwar, Gentasari, Retorika Praktis Teknik dan Seni Berpidato, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1995
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Jakarta : PT Renika Cipta, 2010 Aslinda, dan Syafyahya, Leni, Pengantar Sosiolinguistik, Bandung : Refika
Aditama, 2007
Aziz, Mohammad Ali Ilmu Dakwah, Jakarta : KENCANA Prenada Media Group, 2012
Azwar, Saifudin, Metode Penelitian,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003 Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Sosial : Format-format kualitatif dan
kuantitatif, Surabaya : Airlangga University Press, 2001
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Surabaya : Mahkota Surabaya, 1989
Devito, A. Joseph, Komunikasi Antar Manusia. Jakarta : Professional Books, 1997
Hanurawan, Fattah, Psikologi Sosial: Suatu Pengantar,Cet:I ,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010
(4)
88
Idrus, Muhammad, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Yogyakarta : Erlangga, 2009 Ilahi, Wahyu, Komunikasi Dakwah, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010
Keraf, Gorys, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996
Liliweri, Alo, Komunikasi Serba Ada Serba Makna, Jakarta : Kencana prenada media group, 2011
Littlejohn, Stephen W., Karen A.Foss, Theories of Human Communication, terjemah Mohammad Yusuf Hamdan, Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2014
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, edisi revisi, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006
Mulyana, Deddy, llmu Komunikasi : Suatu Pengantar, Cetakan keempat belas, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2010
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1996 Rakhmat, Jalaluddin, Retorika Modern, Bandung : Akademika, 1982
Suriasumantri, Jujun S., Ilmu dalam Perspektif, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999
Sunarto, Ahmad, Retorika Dakwah, Surabaya : Jaudar Press, 2014 Suranto, Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011
Suparta, Munzier, Metode Dakwah, Jakarta : KENCANA Prenada Media Group, 2009
(5)
89
Syam, Nina W., Psikologi : Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Cet. I, Bandung : Simbosa Rekatama Media, 2011
Syukir, Asmuni, Dasar-Dasar Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 2001 Utami, Fitriana, Public Speaking, Jakarta : Pustaka Pelajar, 2014
Webster’s New Collegiate Dictionary (U.S.A., 1981), dikutip oleh A. Chaedar Alwasilah, Linguistik: Suatu Pengantar, Bandung : Angkasa,1993 West, Richard, Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan
Aplikasi, Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008
Widjaja, A. W., Komunikasi-Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Jakarta: Bumi Aksara, 1993
SKRIPSI DAN ARTIKEL ILMIAH :
Adawiyah, Rabiatul, Persepsi Masyarakat Terhadap Humor dalam Ceramah oleh
Juru Dakwah di Kota Banjarmasin, Fakultas Dakwah, Institut Agama
Islam Negeri Antasari Banjarmasin, 2011
Hakim, Yusril Fadkhul, Retorika KH. Anwar Zahid saat ceramah tentang
keagamaan di Tuban, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Nusantara Persatuan Guru Republik Indonesia Kediri, 2016 Imansari, Nitra Galih,Gaya Retorika Da’i Pada Ceramah Ba’da Dzuhur Di
Masjid Raya Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Dakwah
(6)
90
Surabaya terhadap Program Dakwah di TV9 dan JTV, Fakultas Dakwah
dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016 Lutfi, Muhammad, Persepsi Tokoh Masyarakat DesaMeddelan Kecamatan
Lenteng Kabupaten Sumenep Terhadap ProfesiWartawan, Fakultas
Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016
Sixmansyah, Leiza, Retorika Dakwah K.H. Muhammad Syarif Hidayat, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014
INTERNET
Sri Wiyanti, Merdeka.com, (https://m.merdeka.com/peristiwa/kh-zainuddin-mz-da’i-sejuta-umat-dengan-candaan-khas.html.)
Budi Juliandi, Artikel, (http://budijuliandi.blogspot.co.id/2013/05/dakwah-gaul-belajar-dari-metode dakwah.html?m=1.)