HUBUNGAN ANTARA STRATEGI PENGGUNAAN BAHASA JAWA DAN BAHASA INDONESIA DENGAN PERSEPSI KEPUASAN MAD’U PADA CERAMAH DR. H. DARMAWAN, S.HI, M.HI DI WONOCOLO SURABAYA.

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

BAITI RAHMAWATI

B51212057

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

JURUSAN KOMUNIKASI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Baiti Rahmawati, NIM. B51212057, 2016. (Hubungan Antara Strategi Penggunaan Bahasa Jawa Dan Bahasa Indonesia Dengan Persepsi Kepuasan Mad’u Pada Ceramah Dr. H. Darmawan, SH.I, MH.I di Wonocolo Surabaya).

Skripsi program studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci : Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, Persepsi Kepuasan Mad’u.

Bahasa merupakan alat komunikasi yang dipakai oleh masyarakat bahasa untuk berinteraksi dengan sesama, dalam memilih penggunaan bahasa, setiap orang memiliki hak untuk menentukan bahasa apa yang akan dipakai, hal ini dipengaruhi oleh sikap bahasa dari masing-masing individu terkait dengan rasa kepemilikan serta kebanggaan terhadap bahasa mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia oleh da’i dan hubungannya dengan persepsi kepuasan mad’u dalam ceramah yang dilakukan oleh Dr. H. Darmawan, SH.I, MH.I di Wonocolo Surabaya.

Objek penelitian ini adalah warga RT/001 dan RT/008 yang mengikuti ceramah yang disampaikan oleh Kyai Wawan pada peringatan Isra’ mi’raj nabi Muhammad Saw di Jl. Pabrik Kulit Wonocolo.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian korelasi yakni mencari hubungan antara variabel satu dengan yang lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara strategi penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u. Hal ini dibuktikan dengan perolehan nilai yang menyatakan bahwa rhitung > rtabel

( yaitu pada taraf signifikansi 5% yang menyatakan bahwa terdapat korelasi atau hubungan.

Berdasarkan kesimpulan tersebut rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah dilakukan penelitian terhadap penggunaan bahasa (language use) sebagai kajian kesantuna bahasa.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ……….... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ………. ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ………... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………. iv

PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN SKRIPSI …………... vi

ABSTRAK ………. vii

KATA PENGANTAR ………... viii

DAFTAR ISI ……….. xi

DAFTAR TABEL ……….. xv

BAB I : PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Rumusan Masalah.……… 8

C. Tujuan Penelitian.. ..………. 8

D. Hipotesis……… ………... 9

E. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ..……. 10

F. Kegunaan Penelitian……….. 10

G. Definisi Operasional ……….. 11


(8)

BAB II : KAJIAN KEPUSTAKAAN ………... 19

A. Kajian Pustaka ……….. 19

1. Bahasa……….………. 19

a. Pengertian Bahasa……….…. 19

b. Fungsi Bahasa……… 20

c. Ragam Bahasa………... 22

1) Bahasa Jawa……… 23

2) Bahasa Indonesia……… 25

2. Persepsi……….…………. 29

a. Pengertian Persepsi……….. 29

b. Faktor-faktor yang beperan dalam pesepsi 30 c. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi 32 d. Proses Terjadinya persepsi………. 34

3. Kepuasan………..……… 37

4. Mad’u……….. 42

B. Hubungan Strategi Penggunaan bahasa dengan persepsi kepuasan mad’u……….……. 45

C. Kerangka Teoritik ………. 45

D. Penelitian Terdahulu yang Relevan…………... 47

BAB III : METODE PENELITIAN ……… 50

A. Rancangan Penelitian…………..……… 50


(9)

C. Populasi dan Teknik Sampling….……... 52

D. Variabel, Indikator dan Instrumen Penelitian …. 57 E. Teknik Pengumpulan Data ………. 61

F. Teknik Analisis Data ……….. 63

BAB IV : HASIL PENELITIAN……….………….. 70

A. Deskripsi Objek Penelitian..……… 70

B. Desripsi Subyek penelitian………. 72

C. Penyajian data dan analisis hasil penelitian..…. 74

1. Penyajian data……….. 74

a. Penyajian data observasi……… 74

b. Penyajian data angket……… 74

1) Penggunaan bahasa Jawa………… 75

2) Penggunaan bahasa Indonesia……. 85

3) Persepsi kepuasan mad’u………… 94

2. Analisis hasil penelitian..……… 103

a. Penggunaan bahasa Jawa………. 103

b. Penggunaan bahasa Indonesia……….. 105

c. Persepsi kepuasan mad’u………. 108

D. Pengujian hipotesis……… 118

BAB V : PENUTUP ………... 120


(10)

B. Saran……… ………. 122

DAFTAR PUSTAKA BIODATA PENULIS LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri juga dengan sesamanya yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw untuk disampaikan kepada umatnya. Dakwah pada hakikatnya adalah upaya untuk menumbuhkan kecenderungan dan ketertarikan pada apa yang diserukan tentang Islam.1 Komitmen seorang muslim dengan dakwah Islam mengharuskan dirinya untuk memberikan contoh yang hidup dari apa yang diserukan melalui lisannya, sekaligus memberikan gambaran Islam sejati melalui ketertarikannya secara benar dengan Islam itu sendiri.

Allah berfirman dalam surat Al-Fushilat ayat: 33

                      

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang

menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata: "Sungguh aku termasuk orang-orang muslim (yang menyerah diri)?". (Qs. Al-Fushilat: 33).2 Ayat ini menegaskan bahwa seseorang dikatakan paling baik apabila perkataannya mengandung tiga perkara, yaitu; a) mengandung seruan untuk mengikuti agama tauhid, b) ajakan untuk beramal saleh dan taqwa, c) menjadikan

1 N. Faqih Syarif H, Kiat Menjadi Da’i Sukses, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), h. 6


(12)

Islam sebagai agama dan memurnikan ketaatan hanya pada Allah semata3. Ibnu Sirin, as-suddi, Ibnu Zaid dan Al-Hasan berpendapat bahwa yang dimaksud orang yang paling baik perkataannya adalah Rasulullah, karena Rasululullah adalah manusia pilihan dan kecintaan Allah sehingga ia diperkenankan oleh Allah untuk menyeru manusia untuk menaati Allah. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini dimaksudkan untuk umum yaitu menyeru orang lain untuk beriman kepada Allah dengan cara memperbaiki diri terlebih dahulu dengan memperkuat iman di dada, mentaati segala perintah dan menghentikan segala larangan-Nya.

Menyeru manusia ke jalan Allah merupakan kewajiban sekaligus ibadah yang dapat mengantar pelakunya untuk dekat dengan Tuhannya. Dakwah ke jalan Allah merupakan aktifitas terpenting dari para Nabi. Mereka senantiasa menjalankan dakwah sebagai upaya menegakkan agama Islam.

Salah satu kehidupan sosial yang ada di negara kita adalah kehidupan beragama. Kehidupan beragama adalah sebuah kehidupan yang terdiri atas masyarakat tutur yang berbeda dengan masyarakat tutur yang lain. Menurut Soepomo Poedjasoedarmo kehidupan beragama adalah termasuk salah satu tingkatan dari tingkatan yang ada pada masyarakat. Seperti halnya masyarakat pada umumnya, masyarakat tutur ini juga memiliki pemimpin yang disebut dengan ulama’ atau orang yang menguasai ilmu agama (dalam dunia dakwah maka ulama bisa disebut sebagai da’i), keteladanan da’i menjadi panutan bagi pengikutnya. Oleh karena itu akan sangat menarik jika tuturan-tuturannya

3 Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya jilid 8, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), h.


(13)

disampaikan dengan bahasa yang baik sesuai dengan tugasnya sebagai seorang

da’i4

.

Terdapat lima komponen dalam dakwah yaitu da’i (pembicara), mad’u (pendengar), pesan, media dan efek. Kelima komponen itu tidak dapat dipisahkan karena merupakan satu-kesatuan dalam kegiatan dakwah. Seorang da’i akan menggunakan cara tertentu untuk mendekati mad’unya, beberapa strategi akan ia lakukan agar mendapatkan perhatian sesuai dengan tujuan yang ia harapkan, perkataan da’i akan menjadi pusat perhatian pertama ketika berdakwah, oleh karena itu penting bagi seorang da’i untuk mengetahui bahasa apa yang tepat untuk digunakan dalam menyampaikan materi ceramah.

Bahasa adalah sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai suatu anggota masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama berdasarkan budaya yang mereka miliki bersama5. Berlakunya suatu bahasa dalam daerah tertentu merupakan kesepakatan bersama, karena dipakai oleh sekelompok orang yang termasuk suatu masyarakat bahasa. Siapa yang termasuk dalam masyarakat bahasa?, yang termasuk adalah mereka yang menggunakan bahasa yang sama. Jadi kalau disebut masyarakat bahasa Jawa adalah semua orang yang memiliki dan menggunakan bahasa Jawa, di samping sebagai pengguna bahasa daerah mereka juga menjadi pemilik dan pengguna bahasa Indonesia karena mereka tinggal di negara Indonesia6. Persepsi mad’u akan

4 Asep Abbas Abdullah, Humor Ulama: Pengaruh Latar Belakang Sosial Terhadap Dakwah

Di Pondok Pesantren Tebuireng (Kajian Sosiolinguistik), (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2012),

5 Soenjono Darjowidjojo. Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 16


(14)

mengalami perbedaan pada setiap individunya, dan selain itu kesan kesopanan akan mengesan membentuk pola penerimaan pesan yang disampaikan oleh da’i. Dalam kajian fenomena kebahasaan, bahasa merupakan tempat terwadahi perubahan (evolusi) dan gambaran yang terjadi baik pada masa lampau maupun masa kini (periksa Glazer dan Daniel P. Moynihan, 1975: 470). Dalam hubungan ini pula, Foley (1997: 384) menyebutkan bahwa secara alamiyah kontak antara dua atau lebih kebudayaan (komunitas) yang berbeda akan selalu termanifestasi dalam wujud perubahan bahasa. Lebih jauh dinyatakan bahwa perubahan yang dimaksud dapat berupa proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa yang lain atau kedua-duanya saling melakukan proses yang sama (bandingkan dengan McMohan, 1994:200) dan Labov, 1994). Oleh karena itu, gambaran tentang bahasa akan menunjukkan gambaran tentang kondisi sosial suatu masyarakat. Begitu pula sebaliknya, gambaran tentang kondisi sosial suatu masyarakat akan tercermin dalam bahasa yang mereka gunakan.7

Beberapa syarat penggunaan gaya bahasa harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun dan menarik8. 1) Kejujuran dalam berbahasa berarti seorang da’i harus mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Ia harus menyampaikan isi pikirannya secara terus terang dengan tidak menyembunyikan pikirannya itu dibalik rangkaian kata-kata yang kabur dan jaringan kalimat yang berbelit-belit, bisa juga dengan menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh pendengar. 2) Sopan Santun, yang dimaksud dengan sopan santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang

7 Mahsun, Metode Penelitian Bahasa. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), hal. 204


(15)

diajak bicara, khususnya pendengar. Dalam hal kesantunan dalam penggunaan bahasa menyiratkan bahwa pembicara harus menggunakan ragam tertentu pada pendengar sesuai dengan kedudukan sosialnya, misalnya menyapa mad’u laki-laki dan perempuan tua dengan sapaan panjenengan bukan sampean. Lalu mad’u yang lebih muda dengan sapaan sampean bukan dengan Koen (dialek Surabaya) atau kata yang lainnya. 3) Menarik, sebuah gaya bahasa yang menarik dapat diukur melalui beberapa komponen berikut: kesamaan bahasa, variasi, humor yang sehat, tenaga hidup (vitalitas). Penggunaan variasi akan menghindari monotoni dalam nada dan pemilihan kata, untuk itu seorang da’i harus memiliki kekayaan dalam kosa kata yang dapat diterima oleh mad’unya. Humor yang sehat berarti gaya bahasa itu mengandung tenaga yang dapat menciptakan rasa gembira dan nikmat. Sedangkan tenaga hidup (vitalitas) merupakan pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan dan pengalaman da’i dalam menyampaikan ceramah.

Ketika seorang mad’u mendengarkan ceramah maka mereka telah melakukan proses penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus dari indera telinga kemudian menafsirkan menjadi perasaan menerima pesan itu atau menolaknya. Banyak di antara para da’i melakukan pendekatan kepada mad’u dengan strategi menggunakan bahasa yang berkembang atau biasa digunakan dalam sebuah masyarakat. Misalnya menggunakan bahasa daerah, misalnya bahasa Jawa ataupun bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional.

Bahasa da’i ibarat bahasa pedagang yang menjual barang dagangannya, dan menjual adalah suatu kegiatan mengkomunikasikan ide atau harapan kepada


(16)

kelompok yang dituju. Bahasa merupakan sarana komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Penggunaan bahasa dalam suatu komunikasi ditentukan oleh beberapa faktor, baik faktor linguistik maupun non linguistik seperti faktor sosial, psikologi dan budaya. Oleh karenanya kajian mengenai penggunaan bahasa selalu menarik untuk diamati karena pemilihan bahasa mencerminkan kaidah sosial yang berlaku dalam masyarakat.dalam penelitian ini, penulis mengangkat permasalahan mengenai penggunaan bahasa dalam ceramah yang disampaikan oleh Dr. H Darmawan SH.I MH.I.

Dalam hal ini masyarakat yang dituju adalah masyarakat bahasa Jawa yang menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang tinggal di kelurahan Jemurwonosari kecamatan Wonocolo. Menurut data yang diperoleh dari pengamatan lingkungan, masyarakat kecamatan Wonocolo merupakan masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa serta bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.

Sebagian besar masyarakat Wonocolo menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa keseharian di samping juga menggunakan bahasa Indonesia. Dalam perilaku sehari-hari mereka berinteraksi dengan yang lainnya mengunakan bahasa Jawa, hal ini terlihat dalam perilaku bertetangga dan dalam kegiatan keagamaan seperti rutinan tahlil dan lain sebagainya.

Bahasa yang indah adalah bahasa yang memperhatikan pilihan kata dan kaidah sehingga dapat membawa perasaan seperti yang dirasakan oleh penutur cerita. Misalnya menceritakan tentang sebuah kisah orang yang sengsara hidupnya, sehingga yang mendengarkan bisa merasakan belas kasih dan simpati


(17)

serta memperoleh kepuasan dalam menerima rangsangan berupa kalimat yang diungkapkan dengan etika dan kesopanan.

Dalam penelitian ini peneliti mengkaji bagaimana hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah DR. H. Darmawan, S.HI, M.HI di Wonocolo Surabaya. Kyai Wawan (begitu biasanya ia disapa) adalah alumni mahasiswa UINSA yang kini bergelut di bidang syiar agama Islam dan juga sebagai dosen di fakultas Syariah dan Hukum UINSA Surabaya. Antusias mad’u begitu tampak ketika da’i melontarkan kalimat ringan berbahasa Jawa. Sebagian dari mereka mungkin tersenyum atau mengatakan hal-hal yang bagus mengenai ceramah yang di berikan oleh Kyai Wawan. Kedua hal ini bisa jadi merupakan tanda bahwa mad’u merasa puas atau senang terhadap ceramah tersebut.

Kepuasan mad’u dapat di ukur dengan seberapa besar tingkat kepekaan emosi mereka terhadap ceramah yang diberikan oleh kyai Wawan, sehingga materi dakwah dapat diterima sesuai dengan harapan mad’u yang telah dibentuk sebelum mengikuti ceramah. Jika persepsi kepuasan mad’u muncul sebagai akibat dari penggunaan bahasa maka kedua komponen ini bisa dikatakan memiliki hubungan atau keterkaitan.

Masalah di atas memberikan suatu inspirasi bagi penulis untuk meneliti penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang digunakan oleh da’i ketika menyampaikan ceramahnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan antara penggunaan


(18)

Bahasa Jawa Dan Bahasa Indonesia Dengan Persepsi Kepuasan Mad’u Pada Ceramah Dr. H. Darmawan, S.Hi., M.Hi Di Wonocolo Surabaya

B. Rumusan Masalah

1. Adakah hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dengan persepsi kepuasan

mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI, M.HI di Wonocolo Surabaya? 2. Adakah hubungan antara penggunaan bahasa Indonesia dengan persepsi

kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya?

3. Secara bersama-sama adakah hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

2. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara penggunaan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

3. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia secara bersama-sama dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.


(19)

D. Hipotesis

Secara etimologi, hipotesis dibentuk dari dua kata yaitu kata Hypo dan

Thesis. Hypo berarti kurang dan Thesis adalah pendapat. Kedua kata itu kemudian digunakan secara bersama menjadi Hypothesis dan penyebutan dalam dialek Indonesia menjadi hipotesa kemudian berubah menjadi hipotesis yang maksudnya adalah suatu kesimpulan yang masih kurang atau kesimpulan yang belum sempurna. Sehingga perlu disempurnakan dengan membuktikan kebenaran hipotesis melalui penelitian. Pembuktian itu hanya dapat dilakukan dengan menguji hipotesis yang dimaksud dengan data dilapangan.9

1. Hipotesis a. Ho:

1) Tidak terdapat hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

2) Tidak terdapat hubungan antara penggunaan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

3) Tidak terdapat hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia secara bersama-sama dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

9 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,


(20)

b. Ha:

1) Terdapat hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

2) Terdapat hubungan antara penggunaan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

3) Terdapat hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia secara bersama-sama dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

E. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Agar pembahasan dalam skripsi ini jelas dan tidak meluas, maka peneliti memberikan batasan masalah pada persepsi mad’u dalam hal kepuasan, yakni perasaan senang atau tidak senang mad’u ketika menerima pesan ceramah KH. Darmawan, SH.I, MH,I yang menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia sebagai strategi dakwah, Objek yang diambil adalah masyarakat RT 001 dan 008 RW 004 Jl. Pabrik Kulit Gang 1 Wonocolo Surabaya yang pernah mengikuti ceramah Kyai Wawan pada peringatan isra’ mi’raj nabi Muhammad Saw 1436 H..

F. Kegunaan Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Menambah khazanah pengetahuan dalam Komunikasi Penyiaran Islam, terutama bagi perkembangan kajian kebahasaan dalam dakwah.


(21)

Sebagai informasi dan masukan penting bagi seorang pembicara dalam memilih strategi dakwah, sehingga materi ceramah dapat diterima sesuai dengan harapan da’i dan juga mad’u.

G. Definisi Operasional

Sebagai upaya antisipasi agar judul atau tema yang penulis angkat tidak menimbulkan penafsiran yang keliru maka diperluakan penjelasan yang lebih detail.

1. Penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia

Keberhasilan dakwah yang komunikatif sangat ditentukan oleh adanya hal-hal yang mempengaruhi kegiatan dakwah itu. Salah satu faktor yang mempengaruhi komunikasi dakwah adalah faktor bahasa. Bahasa pada dasarnya merupakan alat komunikasi yang paling esensial, sebab dengan menggunakan bahasa maka terlaksanalah kegiatan komunikasi secara efektif. Kemampuan berbahasa merupakan ciri dari suatu bangsa yang telah maju terutama bahasa dalam pengertian umum. Jika dakwah yang dilaksanakan mampu memperhatikan kepada siapa bahasa itu ditujukan, maka kegiatan dakwah akan lebih komunikatif.

Kecenderungan menggunakan bahasa yang tepat menuju ke arah tercapainya tujuan yang dimiliki oleh komunikator sehingga pesan dakwah menjadi mudah dipahami. Itulah sebabnya bahasa menjadi salah satu faktor dominan yang mempengaruhi keberhasilan dalam proses komunikasi dakwah.


(22)

Sebagian besar masyarakat wonocolo adalah masyarakat yang menggunakan dwibahasa yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Sebagai dwibahasawan, diantara mereka berkomunikasi dengan bahasa jawa dan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia tergantung pada penguasaan kedua bahasa tersebut. Di samping itu, pemilihan penggunaan bahasa oleh masyarakat Wonocolo ditentukan oleh faktor-faktor luar bahasa seperti siapa yang diajak bicara, di mana tempatnya, untuk tujuan apa dan apa yang dibicarakan.

Harimurti mengartikan bahasa sebagai sistem lambang arbitrer yang dipergunakan masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri10. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa diartikan dalam tiga batasan, yaitu: 1) Sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan suatu perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suatu bangsa, daerah, Negara dsb); 3) percakapan (perkataan) yang baik: sopan santun, tingkah laku yang baik11.

Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi. Bahkan hal ini dapat dipandang sebagai fungsi utama bahasa. Kata komunikasi berasal dari kata Latin communication dan bersumber dari kata communis yang berarti

“sama”. Maksudnya adalah sama makna. Jika dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan

10 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia. 1982), cet-1, hal. 17

11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai


(23)

berlangsung jika ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna . dengan kata lain, mengerti bahasanya belum tentu mengerti makna yang dibawa oleh bahasa itu.

Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar pulau Jawa. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah Unggah-ungguh basa atau undha-usuk basa yang lazim pula disebut dengan tingkat tutur bahasa. Hal ini merupakan suatu kekayaan budaya yang dimiliki oleh beberapa suku di Indonesia, terutama suku Jawa, Sunda dan Bali. Unggah-ungguh merupakan khazanah budaya bangsa yang sampai saat ini masih digunakan dan dilestarikan oleh masyarakat pemakainya.

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi bangsa Indonesia sekaligus sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Awal penamaan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa Indonesia pasca-kemerdekaan12. Penutur bahasa Indonesia, dalam kesehariannya senantiasa bertutur sapa dengan menggunakan dan memperantikan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa ini dipraktikkan melalui bahasa lisan dalam komunikasi keseharian.13

Dalam yang penelitian penggunaan bahasa (Language use), masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan masyarakat dengan aneka

12 Alek & Achmad, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 9

13 Kunjana Rahardi, Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta: Erlangga), h.


(24)

latar belakang sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji dalam penelitian ini adalah kesantunan bahasa Indonesia dalam segi maksud dan tuturan. Berkaitan dengan kesantunan, secara singkat disebutkan bahwa terdapat tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan memiiki cirri santun. ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas (formality) yakni terkandung maksud bahwa tuturan hendaknya bersifat formal, tidak terkesan memaksa ataupun angkuh, (2) ketidaktegasan (hesinany) berarti bahwa penutur dianjurkan untuk bersifat lentur atau tidak bersifat kaku dalam bertutur14. Dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality) tekandung makna agar penutur memperlakukan mitra tutur sebagai teman penutur, sehingga menimbulkan rasa aman.

Bahasa digunakan dalam segala kegiatan manusia di dalam masyarakat, begitu pula masyarakat Wonocolo, mereka menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari karena mereka tinggal di pulau Jawa, mereka juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional karena merupakan bagian dari bangsa Indonesia dan juga karena latar kehidupan mereka berada di kota Surabaya. Terkait persepsi tentang penggunaan bahasa jawa maupun bahasa Indonesia dalam ceramah merupakan satu kesatuan yang tidak sama dari masing-masing mad’u. Beberapa di antara mereka menyatakan senang ketika mendengar ceramah dengan bahasa Jawa karena bersifat akrab dan pada umumnya didasarkan pada rasa hormat, penghargaan dan rasa solidaritas suku. Namun sebagian yang lain menyatakan bahwa penggunaan


(25)

bahasa Indonesia sebagai bahasa ceramah lebih tepat karena jelas dan mudah dimengerti oleh setiap orang.

2. Persepsi Kepuasan Mad’u

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Kata persepsi biasanya dikaitkan dengan kata lain misalnya, persepsi diri, persepsi sosial dan persepsi interpersonal.15 Dalam kepustakaan bahasa Inggris, istilah yang banyak digunakan adalah “social

perception”.

Dalam perspektif ilmu komunikasi, persepsi dapat diartikan sebagai inti komunikasi sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi yang identik dengan penyandian balik-balik (decoding) dalam proses komunikasi. Hal ini tampak jelas dalam persepsi yang diartikan oleh John R. Wenburg dan William W. Wilmot; “Persepsi dapat diartikan sebagai cara organisme memberi makna”, atau definisi Rudolph F. Verderber; “Persepsi adalah proses menafsirkan informasi inderawi”.16

Untuk mendeskripsikan persepsi kepuasan mad’u tentang hubungannya dengan penggunaann bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, diperlukan responden penelitian yang berkualifikasi mencukupi. Keseluruhan responden penelitian peringkan persepsi kepuasan penggunaan bahasa ini berjumlah 30 orang, jumlah itu didapatkan secara acak dari masyarakat yang tinggal di kelurahan Jemurwonosari RT/001 dan RT/008. Diasumsikan bahwa para

15 Jalaluddin Rakhmat, Belajar Cerdas, (Bandung: MLC Ujung Berung, 1994), h. 30

16 Dedi Mulyana, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h.


(26)

responden yang manifestinya dibuat sangat bervariasi itu dapat menentukan bagaimana persepsi kepuasan mad’u tentang kaitaanya dengan penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

Mad’u adalah pihak yang didatangi pesan komunikasi atau pihak yang menerima pesan komunikasi sebagai sasaran komunikasi untuk tujuan tertentu17. orang yang menjadi sasaran dakwah lazim disebut sebagai mad’u, yaitu setiap orang yang berhak memberikan penafsiran atau pesepsi terhadap penampilan maupun pesan yang disampaikan oleh da’i.

Pembentukan persepsi ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur, latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Responden yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 55 orang sedangkan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 65 orang.

Setiap individu pasti memiliki persepsi yang berbeda, kondisi ini selain dipicu oleh faktor di atas, bisa juga dipicu dari keadaan emosi, motivasi serta pengalaman mad’u dalam mengikuti ceramah. Mad’u yang merasa cocok dengan pesan yang digunakan da’i akan memberikan persepsi yang positif yang menunjukkan bahwa ia merasa senang dan puas dengan penyampaian

da’i, namun tidak menutup kemungkinan bahwa di antara sekian mad’u juga menunjukkan persepsi negatif yang menyatakan bahwa mereka tidak puas dan merasa kecewa karena harapan mereka tidak sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh da’i.


(27)

Jadi, persepsi kepuasan mad’u timbul karena ada kesesuaian antara harapan mad’u dengan strategi yang digunakan oleh da’i, yakni dengan menggunakan bahasa yang tepat yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, hasil dari kepuasan dapat berupa perasaan senang atau tidak senang dengan ceramah yang diterima oleh mad’u.

H. Sistematika Pembahasan

BAB I : Pendahuluan

Bab ini meliputi langkah-langkah yang berkaitan dengan rancangan pelaksanaan penelitian yang berkaitan dengan rancangan pelaksanaan penelitian secara umum terdiri dari sub-sub tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis, ruang lingkup dan batasan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional serta sistematika pembahasan yag dipakai dalam skripsi ini.

BAB II : Kajian Teoritis

Bab ini berisi tentang kajian pustaka yang akan membahas Bahasa, pengertian bahasa, macam-macam bahasa, persepsi, pengertian persepsi, faktor-faktor yang berperan dalam persepsi, proses terjadinya persepsi, faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi. Kepuasan, pengertian kepuasan, Mad’u, pengertian mad’u. Sedangkan dalam kajian teori peneliti akan menjelaskan teori yang dipakai dalam penelitian ini, dan penelitian terdahulu


(28)

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab ini berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian, obyek penelitian, populasi dan sampel, variable penelitian, indikator dan teknik pengumpulan data.

BAB IV : Penyajian Dan Analisis Data

Bab ini berisi tentang deskriptif subyek, deskriptif obyek, penjajian dan analisis data serta pengujian hipotesis.

BAB V : Penutup


(29)

(30)

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Kajian Pustaka 1. Bahasa

a. Pengertian Bahasa

Dalam kajian linguistik umum bahasa, baik sebagai langage atau

langue, lazim didefinisikan sebagai sebagai sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan manusia sebagai alat komunikasi atau alat interaksi sosial1.

F.B. Condillac seorang filsuf bangsa Perancis berpendapat bahwa bahasa itu berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-gerik badan yang bersifat naluri yang dibangkitkan oleh perasaan atau emosi yang kuat. Kemudian teriakan itu berubah menjadi bunyi-bunyi yang bermakna. Sebelum adanya teori Condillac, orang (terutama ahli agama) menganggap bahwa bahasa itu dari Tuhan. Tuhan telah melengkapi kehadiran pasangan manusia pertama (Adam dan Hawa) dengan kepandaian berbahasa. Von Hender, ahli filsafat bangsa Jerman mengatakan bahwa bahasa terjadi dari proses onomatope yaitu peniruan bunyi-bunyi alam. Bunyi-bunyi yang ditiru ini merupakan benih yang tumbuh menjadi bahasa sebagai akibat dorongan hati yang sangat kuat untuk berkomunikasi. Harimurti mengartikan bahasa sebagai sistem

1 Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), h. 14


(31)

lambang arbitrer yang dipergunakan masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri2.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa diartikan dalam tiga batasan, yaitu: 1) Sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan suatu perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suatu bangsa, daerah, Negara dsb); 3) percakapan (perkataan) yang baik: sopan santun, tingkah laku yang baik3.

b. Fungsi Bahasa

Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Bahkan hal ini dapat dipandang sebagai fungsi utama bahasa. Kata komunikasi berasal dari kata Latin communication dan bersumber dari kata communis yang berarti “sama”. Maksudnya adalah sama makna antara dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan berlangsung jika ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna . Dengan kata lain, mengerti bahasanya belum tentu mengerti makna yang dibawa oleh bahasa itu4.

2 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia, 1982), cet-1, h. 17

3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1988), cet-1, hal. 66-67

4 Abdul Chair. Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rhineka Cipta,


(32)

Dalam praktiknya, urutan-urutan proses komunikasi-bahasa berlangsung dengan cepat. Semakin tinggi kemampuan berbahasa dari kedua belah pihak yang berkomunikasi maka semakin lancarlah proses komunikasi itu berlangsung5. Kelancaran komunikasi dapat juga mengalami hambatan karena adanya unsur gangguan. Misalnya, ketika komunikasi itu berlangsung terjadi kebisingan suara di tempat berlangsungnya komunikasi, atau salah satu pihak komunikasi memiliki kekurangan dalam kemampuan berbahasa.

Ada dua macam komunikasi bahasa, yaitu komunikasi searah dan komunikasi dua arah. Dalam komunikasi searah, si pengirim pesan tetap menjadi pengirim dan penerima pesan tetap menjadi penerima. Komunikasi searah ini terjadi misalnya dalam komunikasi yang bersifat memberitahukan, seperti khotbah atau ceramah yang tidak diikuti tanya jawab. Dalam komunikasi dua arah, secara bergantiansi pengirim pesan bisa menjadi penerima pesan dan penerima pesan bisa menjadi pengirim pesan. Komunikasi dua arah ini misalnya komunikasi dalam rapat perundingan, diskusi dan sebagainya. Penelitian yang peneliti lakukan termasuk dalam penelitian komunikasi jenis satu arah karena masuk dalam model ceramah6.

Kekuatan bahasa yang dimiliki oleh da’i harus memperhatikan kemampuan berbahasa dari mad’u. Kemampuan berbahasa tergantung

5 Abdul Chair. Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, h. 21


(33)

dari kwalitas serta kwantitas dari pengalaman mad’u7. Semakin banyak pengalaman maka semakin banyak pula perbendaharaan kata yang dimiliki oleh da’i maupun mad’u, untuk itu da’i dituntut untuk ikut terlibat dengan situasi lingkungan di mana seorang da’i tengah berdakwah. Penggunaan bahasa dalam suatu komunikasi ditentukan oleh beberapa faktor, baik faktor linguistik maupun faktor non linguistik seperti faktor sosial, psikologi dan budaya.

c. Ragam Bahasa

Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia akan cenderung menggunakan ragam bahasa sebagai alat untuk berinteraksi dalam suatu tuturan. Masyarakat modern mempunyai kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang terbuka dan cenderung menggunakan variasi bahasa dalam kesehariannya.

1) Bahasa Jawa

Pada abad ke-2 hingga abad ke-15, orang-orang Jawa banyak yang memeluk agama Hindu. Orang-orang Hindu pada waktu itu selain menyebarkan agama juga memberi piwulang (ajaran) mengenai: bercocok tanam, membatik, membaca dan menulis hingga akhirnya bahasa orang Hindu bercampur dengan bahasa setempat sehingga melahirkan bahasa baru yang disebut Bahasa Jawa Kuna, terjadinya dari percampuran bahasa pribumi dengan bahasa Sansekserta. Oleh karena bahasa itu terus berkembang,


(34)

kelamaan bahasa Jawa Kuna mengalami perubahan dan perkembangan sehingga melahirkan kata-kata kawi dan selanjutnya menjadi Bahasa Jawa yang ada sekarang ini8.

Bahasa Jawa satu asal dengan bahasa orang-orang di sekitar Pulau Jawa, seperti bahasa Sunda, bahasa Melayu, bahasa Madura dan lainnya. Menurut penelitian para ahli bahasa, terutama yang dilakukan oleh Pater J.W. Smith sarjana dari Austria, bahasa-bahasa di Indonesia telah berhasil mereka petakan. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah Unggah-ungguh basa atau undha-usuk basa yang lazim pula disebut dengan tingkat tutur bahasa. Hal ini merupakan suatu kekayaan budaya yang dimiliki oleh beberapa suku di Indonesia, terutama suku Jawa, Sunda dan Bali. Unggah-ungguh

merupakan khazanah budaya bangsa yang sampai saat ini masih digunakan dan dilestarikan oleh masyarakat pemakainya9.

Dalam Karti basa terbitan Kementrian PP dan K (1946:64-84) disebutkan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa (buku ini menyebutkan dengan undha-usuk) terdiri atas (1) ngoko: ngoko lugu

dan ngoko andhap,ngoko andhap dibedakan lagi menjadi dua yaitu ngoko antyabasa dan basaantya (2) madya: madya ngoko, madyantara dan madya krama, (3) Krama: mudha krama, kramantara dan wredha krama, (4) krama Inggil, (5) Kedhaton, (6)

8 Aryo Bimo Setiyanto, Parama Sastra Bahasa Jawa. (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), h.

24


(35)

Krama desa dan (7) kasar. Basa ngoko merupakan bahasa yang lugu

(sederhana, wajar dan alami) yang belum mengalami perubahan apapun. Basa krama merupakan bahasa yang hormat, penggunaanya sesuai dengan tingat dengan siapa penutur berbicara, misalnya anak muda dengan orang tua, orang tua dengan anak muda dan digunakan oleh seseorang yang sejajar status sosialnya atau sejawat.10

Perilaku masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi ajaran kesopanan yaitu menerapkan tata krama dalam setiap perilaku. Tindakan ini dapat berupa tindakan saling menghormati dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan, baik dalam bersikap, berperilaku dan berbahasa11. Perilaku sopan dalam penuturan dapat memaksimalkan rasa hormat seorang da’i kepada mad’u dan meminimalkan rasa tidak hormat da’i kepada mad’u, karena mad’u diibaratkan sebagai seorang pembeli. Seperti ungkapan “Pembeli adalah raja” maka seharusnya da’i memilih cara yang tepat dalam menyampaikan ceramah agar mendapatkan kesan yang baik sehingga pesan akan diterima sesuai dengan harapan da’i dan juga

mad’u.

Persepsi mad’u yang menyatakan kekaguman maupun kebosanan sangat tergantung pada segala hal yang berkaitan dengan bicara atau bahasa lisan yang digunakan oleh da’i. di dalam berbicara, da’i maupun mad’u sama-sama menyadari bahwa ada

10 Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, Unggah-ungguh Bahasa Jawa, h.

11 Prapto Yuwono, Sang Pamomong, (Yogyakarta: Adiwacana (Tiara Wacana Group), 2012),


(36)

kaidah-kaidah yang mengatur tindakan, penggunaan bahasa serta interpretasi atau penafsiran terhadap tindakan dan ucapan lawan bicara. Seorang da’i menyampaikan pesan dakwah dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu dan berharap dapat dipahami oleh mad’u.

2) Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu termasuk rumpun Austronesia. Penanaman istilah “Bahasa Melayu” telah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada prasasti berbahasa Melayu kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja kerajaan Sriwijaya., kerajaan Maritim yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-812.

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi bangsa Indonesia sekaligus sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Awal penamaan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari

Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa Indonesia pasca-kemerdekaan13.

Di dalam kedudukannya sebagai bahasa Nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan bangsa, lambang identitas Nasional, alat penghubung antar warga Negara dan alat

12 Alek & Achmad, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.

9


(37)

pemersatu berbagai suku bangsa dengan latar belakang dan bahasa masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia.14

Sebagai lambang kebanggaan bangsa, bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan setiap warga Negara yang terus membina dan mengembangkan rasa bangga akan bahasanya. Sebagai lambang identitas Nasional yang selalu dijunjung bersama berdera dan lambang Negara Indonesia.

Fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional adalah sebagai penghubung antar warga, antar daerah dan antar suku bangsa, sehingga kesalahpahaman sebagai bentuk perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan. Fungsi bahasa Indonesia yang ke empat dalam kedudukannya sebagai bahasa Nasional adalah alat bagi terlaksananya penyatuan berbagai suku bangsa yang memiliki suku dan bahasa yang berbeda, sehingga memungkinkan tercapainya keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu.

Penutur bahasa Indonesia, dalam kesehariannya senantiasa bertutur sapa dengan menggunakan dan memperantikan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa ini dipraktikkan melalui bahasa lisan dalam komunikasi keseharian.15 Dalam yang penelitian penggunaan

14 E, Zainal Arifin. S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi,

(Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2010), h. 12

15 Kunjana Rahardi, Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta: Erlangga), h.


(38)

bahasa (Language use), masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan masyarakat dengan aneka latar belakang sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji dalam penelitian ini adalah kesantunan bahasa Indonesia dalam segi maksud dan tuturan. John R. Searle dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa setidaknya terdapat tiga mcam tindak tutur, (1) tindak lokusioner (locutinary acts), (2) tindak ilokusioner (illocutionary acts) dan (3) tindak perlokusioner (perlocotionary acts).16

Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa dan kalimat itu. tindak tutur ini dapat disebut sebagai the act of the saying something. Dalam tindak lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh penutur. tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula.Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada mitra tutur. tindak tutur ini dapat disebut dengan the act of affecting something.17

16 Ibid, h.35


(39)

Dalam hal kesantuan berbahasa, Leech membagi enam prinsip kesantunan, antara lain18:

a. Maksim kebijaksanaan

Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinip kesantunan adalah bahwa peserta tutur hendaknya selalu memaksimalkan keuntungan orang lain dan mengurangi keuntungan dirinya sendiri, dengan prinsip ini ia akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati dan sikap lain yang kurang santun.

b. Maksim kedermawanan

Dengan maksim kedermawanan atau kemurhan hati, para peserta tutur diharapkan dapat menghormati orang lain.

c. Maksim Penghargaan

Dalam maksim ini dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain, sehingga peserta tutur tidak saling mengejek, mencaci atau merendahkan pihak lain.

d. Maksim kesederhanaan

Dalam maksim kesederhanaan peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri.


(40)

e. Maksim Pemufakatan

Maksim ini seringkali disebut dengan maksim kecocokan, dalam maksim ini ditekankan agar peserta tutur dapat saling membina kecocokan dalam kegiatan tutur.

f. Maksim kesimpatisan

Dalam maksim ini diharapkan agar peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak satu dengan yang lain dan mengurangi sikap antipati terhadap yang lainnya.

2. Persepsi

a. Pengertian Persepsi

Persepsi adalah pemaknaan/arti terhadap informasi (energi/stimulus) yang masuk ke dalam kognisi manusia. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan19. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Kata persepsi biasanya diakaitkan dengan kata lain misalnya, persepsi diri, persepsi sosial dan persepsi interpersonal. Dalam kepustakaan bahasa Inggris, istilah yang banyak digunakan adalah

“social perception”. 20.

Dalam perspektif ilmu komunikasi, persepsi dapat diartikan sebagai inti komunikasi sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti

19 Nina W Syam, Psikologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama

Media, 2011), h. 3


(41)

persepsi yang identik dengan penyandian balik-balik (decoding) dalam proses komunikasi. Hal ini tampak jelas dalam persepsi yang diartikan oleh John R. Wenburg dan William W. Wilmot; “Persepsi dapat diartikan sebagai cara organisme memberi makna”, atau definisi Rudolph F. Verderber; “Persepsi adalah proses menafsirkan informasi inderawi”.21

Persepsi disebut inti komunikasi, Karena jika persepsi seseorang tidak akurat maka ia tidak akan dapat berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang memilih seseorang menentukan suatu pesan atau mengabaikannya. Semakin tinggi derajat kesamaan antara individu, semakin mudah dan sering mereka untuk berkomunikasi.

b. Faktor-Faktor Yang Berperan dalam Persepsi

Persepsi setiap individu berbeda-beda karena dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor personal, situasional, fungsional dan structural. Diantara faktor yang besar pengaruhnya dalam mempersepsi sesuatu adalah perhatian, konsep fungsional dan struktural22.

1) Faktor Perhatian

Perhatian adalah proses mental di mana kesadaran terhadap suatu stimuli lebih menonjol, dan pada saat yang sama terhadap stimuli yang lain melemah.

2) Faktor fungsional

21 Dedi Mulyana, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Bandung: PT. REmaja Rosdakarya, 2000), h.

167


(42)

Faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi antara lain faktor kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional dan latar belakang budaya.

3) Faktor struktural

Menurut teori Gestalt, bila seseorang mempersepsikan sesuatu maka ia mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan, bukan bagian-bagian.

Su’adah dan Fauzik Lendriono dalam bukunya Pengantar Psikologi berpendapat bahwa agar individu dapat menyadari dan mengadakan persepsi maka ada beberapa faktor yang harus dipenuhi yaitu:23

a. Ada obyek yang dipersepsi, obyek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera (reseptor), stimulus bisa datang dari dalam atau luar individu yang mempersepsi dan langsung mengenai syaraf penerima (sensoris) yang bekerja sebagai reseptor.

b. Ada alat indera (reseptor), syaraf (sensoris dan motoris), pusat susuna syaraf (otak); merupakan alat untuk menerima stimulus, selain itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran dan sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris.


(43)

c. Ada perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan obyek. Tanpa perhatian persepsi tidak akan terjadi.

Jadi, persepsi akan terjadi ketika ada obyek yang dipersepsi, ada stimulus dari alat indera sehingga timbul komunikasi antara obyek yang dipersepsi dengan kita.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

Persepsi lebih bersifat psikologi dari pada merupakan proses penginderaan saja, maka dalam berbagai faktor yang mempengaruhi persepsi adalah24:

1) Faktor situasional

Dalam kehidupan setiap manusia akan menerima banyak sekali rangsangan / stimuli dari lingkungannya. Namun mereka tidak harus menerima semua stimuli yang diterima. Dengan menerima stimuli yang tidak tampak oleh panca indera mereka mencoba untuk memahami dan menduga karakteristik orang lain melalui petunjuk-petunjuk eksternal yang diamati.

a. Deskripsi verbal

Yang dimaksud verbal dalam hal ini adalah isi komunikasi pesona stimuli bukan cara. Misalnya orang yang menggunakan


(44)

alihan kata-kata yang tepat, mengorganisasikan pesan secara sistematis, mengungkapkan pikiran yang dalam dan komprehensif akan menimbulkan kesan bahwa orang itu cerdas dan terpelajar. Dengan kata lain, deskripsi verbal melukiskan bagaimana cara orang menyampaikan berita tenteng orang lain dengan kata-kata sehingga bisa merubah kesan atau mengarahkan seluruh penilaian kita tentang orang lain baik berupa konotasi positif dan negatif.

b. Deskripsi non verbal

Petunjuk non verbal juga sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal dan sebagai sumber informasi untuk membentuk persepsi kita tentang orang orang lan. Melalui petunjuk gerakan tubuh, nada suara, pengatur jarak dan ruang atau penampilan bisa mempengaruhi persepsi kita pada orang lain.

2) Faktor personal

Persepsi interpersonal mempunyai pengaruh yang besar bukan saja pada komunikasi interpersonal tetapi juga pada hubungan interpersonal. Karena itu kecermatan persepsi interpersonal sangat berguna untuk meningkatkan kwalitas komunikasi interpersonal . adapun faktor yang sangat berpengaruh adalah:


(45)

a) Pengalaman

Dengan pengalaman seseorang akan mempersepsi dunianya atau yang diamati. Karena pengalaman tidak hanya bertambah melalui proses belajar namun juga menlaui peristiwa apapun yang dihadapi. Hal ini menunjukkan pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi.

b) Motivasi

Dalam hal ini proses konstruksi yang sangat banyak melibatkan unsur-unsur motivasi. Yang dimaksud di sini adalah bagaimana kita menafsirkan stimuli atau mempersepsi peristiwa di luar kita.

3) Kepribadian

Dalam psikoanalisis dikenal sebagai suatu pertahanan ego

(proyeksi). Proyeksi adalah menginternalisasikan pengalaman subyektif secara tidak sadar pada persepsi interpersonal.

c. Proses Terjadinya Persepsi

Proses terjadinya persepsi adalah obyek menimbulkan stimulus dan stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang diperoleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses ini yang disebut sebagai proses fisiologis kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, apa yang didengar maupun apa yang


(46)

diraba. Proses yang terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran inilah yang disebut sebagai proses psikologis.

Proses interpersonal disebut sebagai proses pembentukan kesan

(impression formating) adapun proses pembentukan kesan ini antara lain:

a. Stereotyping

Yang dimaksud dengan Stereotyping penggunaan konsep dalam menyederhanakan begitu banyaknya stimulus yang diterima. Menurut psikologi kognitif, pengalaman baru akan dimasukkan pada “laci” kategori yang ada dalam memori berdasarkan kesamaannya dengan kesamaan masa lalu. Demikian pula semua sifat yang ada pada kategori pengalaman lama dikenakan pada pengalaman baru. Dengan cara seperti ini, seseorang segera memperoleh informasi tambahan sehingga membantu dalam pengambilan keputusan yang cepat atau dalam meramalkan peristiwa.

Dengan demikian dapat dikatakan Stereotyping ini mungkin yang menjelaskan terjadinya primacy effect dan hallo effect di mana primacy effect secara sederhana menunjukkan bahwa kesan pertama amat menentukan, karena kesan itulah yang menentukan kategori begitu pula hallo effect, persona stimuli yang sudah kita


(47)

senangi telah mempunyai kategori tertentu yang positif dan dalam kategori itu telah disimpan semua sifat yang baik25.

b. Implicit Personality Theory

Dalam kehidupan sehari-hari di mana setiap individu mempunyai konsepsi sendiri tentang sifat-sifat apa konsepsi ini merupakan teori yang dipergunakan orang ketika membentuk kesan tentang orang lain.

c. Atribusi

Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak. Dalam hal ini ada dua atribusi pada orang lain yaitu: 1) Atribusi kausalitas

Menurut Heider, apabila kita mengamati perilaku sosial maka kita akan menentukan apakah yang menyebabkan sebuah perilaku, apakah karena faktor personal atau faktor situasional. Dalam teori atribusi hal ini lazim disebut kausalitas atau kausalitas internal.

2) Atribusi kejujuran

Bagaimana kita dapat menyimpulkan bahwa personal stimuli jujur atau tidak?, menurut Robert A. Baron dan Donn Byrne kita akan memperhatikan dua hal: 1) sejauh mana pernyataan orang itu menyimpang dari pendapat yang popular


(48)

dan diterima orang; 2) sejauh mana orang itu memperoleh keuntungan dari kita dengan pernyataan itu.

Taraf terahir dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang apa yang dilihat, atau apa yang didengar maupun yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Respon merupakan akibat dari persepsi yang dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam bentuk. Dalam proses persepsi perlu adanya perhatian sebagai langkah persiapan dalam pesepsi. Hal ini menunjukkan bahwa individu tidak hanya dikenai satu stimulus saja namun juga mendapat berbagai macam stimulus yang ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya.

3. Kepuasan

Kepuasan berasal dari kata puas yang artinya perasaan senang (lega, kenyang, dan sebagainya karena sudah terpenuhi hasrat hatinya), kepuasan berarti keadaan psikis yang menyenangkan, yang dirasakan seseorang dalam suatu lingkungan karena kebutuhannya telah terpenuhi26. Kepuasan mad’u merupakan suatu tingkatan di mana kebutuhan, keinginan dan harapan dari

mad’u sehingga timbul perasaan atau emosi yang mendorong mad’u untuk memperhatikan ceramah yang disampaikan oleh da’i. Persepsi kepuasan

mad’u terjadi pada saat mad’u menambah tingkat perhatian terhadap materi ceramah sehingga ia memusatkan seluruh perhatiannya hanya pada ceramah yang sedang ia dengarkan.

26


(49)

Kepuasan seorang pendengar erat hubungannya dengan perilaku dan sikap berbahasa seseorang. Perilaku berbahasa adalah sikap mental seseorang dalam memilih dan menggunakan bahasa. Pada dasarnya, seseorang bebas memilih dan menggunakan bahasa sesuai dengan keinginannya. Situasi kebahasaan di Indonesia sangatlah kompleks karena terdapat sejumlah besar bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Selain menggunakan bahasa Indonesia sebagai identitas Nasional mereka juga menggunakan bahasa daerah seperti bahasa Jawa.

Sebagian besar masyarakat wonocolo adalah masyarakat yang menggunakan dwibahasa yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Sebagai dwibahasawan, diantara mereka berkomunikasi dengan bahasa jawa dan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia tergantung pada penguasaan kedua bahasa tersebut. Di samping itu, pemilihan penggunaan bahasa oleh masyarakat Wonocolo ditentukan oleh faktor-faktor luar bahasa seperti siapa yang diajak bicara, di mana tempatnya, untuk tujuan apa dan apa yang dibicarakan.

Sikap bahasa adalah anggapan atau pandangan seseorang terhadap suatu bahasa, apakah senang atau tidak terhadap bahasa tersebut sehingga sikap bahasa mempengaruhi terhadap pemilihan bahasa. Ada tiga komponen dalam pemilihan bahasa27:

27

http://bagus710.blogspot.co.id/2015/01/makalah-bahasa-dan-sikap-berbahasa.html, di akses pada 26 Juni 2016


(50)

a. Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan dan gagasan yang digunakan dalam proses berfikir.

b. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian suka atau tidak suka terhadap sesuatu.

c. Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai perbuatan akhir. Melaui komponen inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap keadaan yang dihadapinya.

Ada tiga ciri sikap bahasa, sebagai berikut:

a. Kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya.

b. Kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.

c. Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa, antara lain:

a. Kemampuan penutur, biasanya penutur akan menggunakan bahasa yang lebih dikuasainya.

b. Kemampuan pendengar, biasanya penutur juga cenderung menggunakan bahasa yang digunakan oleh pendengar.


(51)

c. umur, orang yang lebih dewasa cenderung menggunakan bahasa kedua untuk menunjukkan rasa kepemilikannya terhadap suatu tempat.

d. Status sosial, pada situasi tertentu seseorang akan menggunakan suatu bahasa yang menunjukkan strata sosial yang tinggi.

e. Derajat hubungan, terkadang seseorang menggunakan suatu bahasa pada pertemuan pertama, namun menggunakan bahasa yang lain ketika hubungan semakin dekat.

Dalam segi psikologi, pemilihan penggunaan bahasa berorientasi pada individu seperti motivasi individu dari pada berorientasi pada masyarakat. Seorang penutur akan memilih menggunakan bahasa yang lebih dikuasainya atau memilih bahasa karena situasi lain yang berkaitan dengan norma-norma kelompoknya yang memungkinkan diri unrtuk menggunakan bahasa yang lainnya.hal ini terjadi ketika penutur ingin menekankan loyalitas pada mitra bicara.

Masyarakat Jawa identik dengan etika dan kesantunan. Baik dalam berperilaku maupun dalam hal bertutur kata, dalam berbicara dan membawakan diri, masyarakat Jawa selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan kedudukannya. Pemilihan ragam bahasa dan tingkat tutur yang tepat akan membawa suasana yang nyaman, selaras dan harmonis sehingga tata hubungan pelaku komunikasi dapat


(52)

terpelihara dan tidak menimbulkan konflik lahir dan batin. Ketepatan penggunaan bahasa akan berdampak pada tingkat kepuasan pendengar28.

Persepsi kepuasan dapat terbentuk dari kesantunan linguistik tuturan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia, yang meliputi29:

a. Panjang pendek tuturan

Di dalam masyarakat bahasa dan kebudayaan Indonesia, panjang pendeknya tuturan yang digunakan dalam menyampaikan maksud kesantunan penutur itu dapat diidentifikasi dengan jelas. b. Urutan tutur

Pada kegiatan tutur yang sesungguhnya, orang selalu mempertimbangkan apakah tuturan yang digunakan itu tergolong sebagai tuturan santun ataukah tidak santun.

c. Intonasi tuturan dan isyarat kinesik

Intonasi adalah tinggi-rendah, panjang-pendek, keras-lemah suara, jeda, irama, timbre yang mneyertai tuturan. Intonasi tuturan menentukan peringkat kesantunan pemakaian tuturan bahasa. Selain itu, kesantunan bahasa juga dipengaruhi oleh isyarat-isyarat kinesik yang dimunculkan lewat bagian-bagian tubuh penutur seperti ekspresi wajah, sikap tubuh, gerakan jari-jemari, gerakan tangan, ayunan tangan dan lainnya.

d. Pemakaian ungkapan pananda kesantunan

28 http://ihwan42.blogspot.co.id/2013/01/sifat-dan-karakter-orang-jawa.html diakses pada 26

Juli 2016


(53)

Secara linguistik, kesantuna dalam pemakaian tuturan sangat ditentukan oleh muncul atai tidaknya ungkapan-ungkapan penanda kesantunan seperti: tolong, mohon, hendaknya, hendaklah, mari, sudi-lah kiranya dan lain sebagainya.

4. Mad’u

a. Pengertian Mad’u

Mad’u yaitu manusia yang merupakan individu atau bagian dari komunitas tertentu. Secara psychologis, manusia mempunyai beberapa keinginan yang harus dicukupi untuk menyertai pertumbuhan jiwa dan perkembangan tubuhnya menuju kesempurnaan hidup. Ada empat keinginan yang terdapat dalam diri manusia antara lain; a) keinginan akan keselamatan diri, b) keinginan akan penghargaan, c) keinginan akan cinta, d) keinginan akan pengetahuan dan pengalaman baru. Empat keinginan ini menjadikan mad’u memiliki kesiapan untuk menerima materi dakwah30.

Sebagai obyek dakwah manusia dikelompokkan berdasarkan latar belakang, yaitu:

1. Dari latar belakang jenis kelamin: laki-laki, perempuan.

2. Dari latar belakang status sosial: rakyat biasa, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan lain-lain.

3. Dari latar belakang etnis: Tionghoa, Batak, Jawa, Madura dan lain-lain

30 M. Hasyim syamhudi, Manajemen Dakwah, (Surabaya: Lembaga Kajian Agama dan


(54)

Dengan memahami latar belakang mad’u atau audiens diharapkan pelaksanaan dakwah akan lebih efektif karena materi dan strategi dakwah yang dipakai akan lebih komunikatii dan dapat diterima oleh mad’u. a. Etika mad’u (sebagai murid) terhadap da’i (guru)

b. Menghormati da’i sebagai gurunya

Mengenai keharusan mad’u menghormati da’i sebagai gurunya terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 70 yang berbunyi:

                  

Dia berkata: "Jika engkau mengikutiku, Maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu"31.

Dalam ayat ini diceritakan bahwa ketika nabi Khidhir melakukan perjalanan bersama nabi Musa, nabi Khidhir berpesan kepadanya agar tidak menanyakan tentang segala sesuatu yang ia lakukan berserta rahasianya sehingga nabi Khidhir sendiri yang menerangkannya. Hal yang demikian merupakan wujud sopan santun murid terhadap guru atau sikap pengikut kepada yang diikutinya. Kadang-kadang rahasia guru atau orang yang diikuti belum tentu diketahui murid atau pengikut pada waktu itu, tetapi baru dapat dipahami kelak dikemudian hari32.

Begitu pula dengan mad’u, seyogiyanya untuk memperhatikan dengan seksama setiap materi yang disampaikan oleh da’i. jika memang ceramah itu tidak bersifat kontrak, dalam arti dikemas dalam suasana

31

Mushaf Al-QuranTerjemah, (Jakarta: Nur Publishig, 2009), h. 301

32 Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya jilid 5, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), h.


(55)

santai maka mad’u boleh saja menanggapi perkataan da’i agar terjalin komunikasi yang dapat menumbuhkan semangat dalam kegiatan dakwah, baik untuk da’i maupun mad’u.

c. Memperhatikan keterangan yang disampaikan oleh da’i.

Mengenai kewajiban ini diterangkan dalam Al-Quran surat Thaha ayat 114 yang berbunyi:

                          

Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al qur'an sebelum selesai di wahyukan kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.33"

Diriwayatkan bahwa nabi Muhammad Saw ketika Jibril membacakan ayat-ayat yang diturunkan kepadanya maka ia cepat-cepat menghafalnya karena takut lupa. Malaikat Jibril kemudian melarang Rasulullah mengulang bacaan Al-Quran sebelum Jibril selesai membaca semuanya. Hal ini dimaksudkan karena dapat mengacaukan hafalan nabi seluruhnya, sedangkan Allah telah menjamin bahwa Al-Quran itu akan dihapal nabi seluruhnya dan tetap terkumpul dalam ingatannya34.

33 Mushaf Al-QuranTerjemah, (Jakarta: Nur Publishig, 2009), h. 319

34 Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya Jilid 6, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), h.


(56)

B. Hubungan Penggunaan bahasa dengan persepsi kepuasan mad’u

Hubungan antara variabel ini menjelaskan keterkaitan teori dan konsep peneliti antara penggunaan bahasa yang dilakukan oleh Kyai Darmawan dengan persepsi kepuasan mad’u. Setiap mad’u akan mengalami proses evaluasi pasca mengikuti ceramah. Hasil dari proses evaluasi pasca ceramah adalah mad’u memiliki perasaan puas atau tidak puas. Kepuasan pendengar terletak pada perasaan senang atau tidak senang yang menimbulkan situasi nyaman dan harmonis dalam kegiatan ceramah, yaitu terkait dengan tindak tutur antara da’i

dan mad’u.

C. Kerangka Teoritik

Teori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antara variable sehingga dapat berguna untuk meramalkan fenomena.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori persepsi persuasi. Yaitu sebuah teori yang mengkaji khusus dunia pengalaman batin, cara suatu dunia memandang individu yang sedang menerima dunia tersebut. Sikap bukan sekedar respon perilaku seperti “gambaran di kepala kita” (picture in our heads), menilai kerangka pengalaman kita ke predisposisi kita ke arah respon perilaku. Persuasi dipandang sebagai suatu proses untuk menyusun kembali kategori-kategori perseptual berdasarkan isyarat-isyarat yang sudah terhimpun dari lingkungan dan nilai serta kebutuhan internalnya. Meskipun pandangan yang duduk dalam sebuah


(57)

auditorium dipandang sebagai sebuah entitas yang aktif, yang selamanya berusaha memberikan makna terhadap apa yang dialaminya35.

Persoalan keberhasilan seorang da’i adalah bagaimana pesan dakwahnya dikategorikan secara subyektif oleh mad’u, yaitu pesan dakwah yang dapat diterima secara akrab dan mudah dipahami oleh pendengar. Keterampilan seorang

da’i menjadi penting ketika mad’u relatif tidak terlibat, sehingga mereka bebas untuk memberikan penilaian sesuai dengan perasaan mereka saat itu.

Teori Persepsi Persuasi berkaitan dengan dua varian teori lainnya, yaitu: Teori atribusi (attribution theory) dan teori persepsi-diri (self-perseption theory).

Teori atribusi sangat memusatkan perhatian kepada bagaimana seorang pengamat menentukan sebab-sebab atas tindakan seseorang. Menurut para ahli teori atribusi, semua orang berfungsi sebagai psikolog amatiran, atas dasar informasi terbatas yang dimiliki mereka membuat penyimpulan yang masuk akal mengenai maksud, motivasi dan kemampuan orang lain. Kesimpulan ini digunakan untuk menilai orang lain dan memutuskan tindakan berdasarkan apa yang hendak mereka katakan atau lakukan.

Sementara teori atribusi memperhatikan usaha menjelaskan perilaku orang lain, teori persepsi-diri berkaitan dengan bagaimana seseorang menjelaskan perilaku yang yang mereka miliki. Dari proses atribusi yaitu memperhatikan perilaku orang lain kemudian digunakan untuk menafsirkan perilaku diri sendiri . dengan mengamati apa yang sedang terjadi, mereka mengambil resiko dengan memutuskan untuk mendukung atau menolak stimulus yang mereka terima.

35 Dedy Djamaludin Malik. Yosal Iriantara, komunikasi Persuasif, (Bandung: Remaja


(58)

Teori persepsi membentuk pelayanan yang bermanfaat dengan mengingatkan kita bahwa persuasi adalah realitas psikologis yang dimiliki penerima pesan yang menganggap persuasi , bukan realitas fisik dari gelombang suara dan cahaya yang ditimbulkan oleh seorang komunikator atau da’i, bukan pula soal bagaimana maksud sumber maupun masuk akalnya pesan. Namun, persuasi merupakan persepsi penerima pesan dengan kualitasnya yang bisa mempengaruhi sikap mereka.

D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Banyak karya-karya peneliti (baik yang berupa buku maupun skripsi) yang membahas seputar persepsi telah dihasilkan oleh para praktisi yang mempunyai spesifikasi dalam bidang keilmuan yang berkaitan dengan dunia kejiwaan. Di antara hasil penelitian yang memiliki kemiripan dengan skripsi ini yaitu:

1. Pengaruh Pembelajaran Shalawat Al-Banjari Terhadap Spiritualitas Mahasiswa Anggota IQMA UIN Sunan Ampel Surabaya.

Di susun oleh: Richa Diana Yanti (NIM. D31212113) Program Studi Pendidikan Agama Islam FTK 2016

Dalam skripsi ini dijelaskan tentang pengaruh pembelajaran shalawat Al-banjari terhadap spiritualitas Mahasiswa Anggota IQMA UINSA

Kesamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang sedang penulis selesaikan terletak analisis data yang menggunakan rumus yang sama yaitu pengujian hipotesis dengan menggunakan rumus product moment, dalam beberapa buku penelitian seharusnya penelitian terkait menggunakan rumus regresi karena judul yang digunakan adalah mencari pengaruh, namun


(59)

ternyata antara rumus regresi (mencari pengaruh) dan rumus korelasi (mencari hubungan) seperti yang penulis pakai memiliki kedekatan dalam hal analisis.

2. Kajian tentang persepsi masyarakat kecamatan ujung Pangkah- Gresik terhadap “Pengajian Agama Islam” di radio Persada FM Sunan Drajad Lamongan.

Di susun oleh: Rohmatulloh (NIM. B01304059)

Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya 2009

Dalam skripsi ini dijelaskan tentang bentuk dan aktifitas “pengajian Agama Islam” di radio Persada FM. Metode ceramah yang dipakai oleh Radio ini adalah dengan menggunakan pengantar bahasa Jawa dan juga bahasa Indonesia. Pemilihan kedua bahasa ini dilakukan karena pendengar radio persada merupakan masyarakat kalangan luas yang tidak semuanya paham dengan bahasa Jawa. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa persepsi masyarakat kecamatan ujung Pangkah Kabupaten Gresik terhadap “Pengajian Agama Islam” di radio Persada FM sangat baik, kebanyakan dari mereka sangat menyetujui acara tersebut dengan alasan program “Pengajian Agama Islam” dapat menambah wawasan tentang keagamaan dan sekaligus mencari pengetahuan baru. Kesamaan antara skripsi terkait dengan penelitian yang telah peneliti lakukan terletak pada materi pembahasan bab II tentang penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia sebagai strategi penyampaian dakwah.


(60)

3. Pengaruh Persepsi siswa tentang Metode Mengajar Guru dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Akuntansi siswa kelas XI IPS SMA Negeri Yogyakarta Tahun Ajaran 2015/2016

Disusun oleh: Rahma Febrianti (12803241010)

Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta 2016

Penelitian ini bertujuan untuk pengaruh persepsi siswa tentang metode mengajar guru dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar akuntasi siswa, dari hasil penghitungan diketahui bahwa terdapat pengaruh yang positif antara metode mengajar guru dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar akuntasi siswa. Kesamaan antara penelitian terkait dengan penelitian yang tengah penulis lakukan terletak pada analisis data yang sama-sama menggunakan analisis nilai korelasi yaitu dengan rumus Product moment, dan kedua penelitian ini juga sama-sama mencari nilai antara 2 variabel independent kepada 1 variabel dependen.


(61)

(62)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Yaitu penelitian yang menekankan pada data-data numerical atau angka yang diolah dengan metode statistika serta dilakukan pada penelitian inferensial atau dalam rangka pengujian hipotesis, sehingga diperoleh signifikansi perbedaan antara variabel yang diteliti.

Berdasarkan sifat dan tujuan dari penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional yaitu sebuah teknik yang digunakan untuk mencari hubungan dua variabel bila data kedua variabel berbentuk interval atau ratio, dan sumber data dari dua variabel atau lebih tersebut adalah sama1.

Penelitian korelasi merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kedekatan hubungan antara dua variabel atau lebih dan menggambarkan sejauh mana variansis pada satu variabel berdampak atas variansis pada variabel lainnya2.

Beberapa teknik statistik yang dapat digunakan untuk pengetesan hipotesis korelasi, yaitu teknik korelasi tunggal dan jamak. Teknik korelasi tunggal dipergunakan pada penelitian yang bertujuan mencari korelasi antara dua variabel penelitian, yaitu satu variabel independen dan satu variabel dependen. Sedangkan

1 Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian (Bandung: Alfabeta, 2010), hal 228

2 Tedjo N. Reksoatmojo, Statistika untuk Psikologi dan Pendidikan, (Bandung: PT. refika

Aditama, 2009), h. 133


(63)

korelasi jamak digunakan untuk penelitian yang bertujuan mencari tiga atau lebih variabel3.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan rumus korelasi ganda karena mencari hubungan antara dua variabel independen dengan satu variabel dependen. Yaitu untuk mengetahui apakah ada hubungan antara penggunaan bahasa jawa dan bahasa indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan, S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya.

B. Objek Penelitian

Dalam penelitian alam, yang menjadi objek penelitian adalah benda-benda yang darinya akan dikumpulkan datanya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengukur sifat dari objek penelitian alam menempatkan benda alam, baik benda mati maupun hidup sebagai objek yang darinya data akan dikumpulkan.4 Karena penelitian ini adalah penelitian dakwah dengan judul Hubungan antara penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah DR. H. Darmawan, S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya, maka objek penelitian dalam penelitian ini adalah Mad’u (pendengar) yang pernah mengikuti ceramah Kyai Darmawan , yaitu masyarakat RT 001 dan 008 RW 004 Jl. Pabrik Kulit Gang 1 Wonocolo Surabaya yang pernah mengikuti ceramah Kyai

Wawan pada peringatan isra’ mi’raj nabi Muhammad Saw 1436 H.

3 Burhan bungin, h. 194

4Purwanto, Instrumen Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),


(1)

kerja (Ha) yang menyatakan bahwa Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya diterima. Dan hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya ditolak.

3. Dan untuk korelasi ganda antara variabel X1&2 secara bersama-sama dengan variabel Y diperoleh nilai , jika dikonsultasikan pada taraf signifikan 5% maka rX1&2Y > rtabel ( . Dengan demikian dapat diketahui bahwa hipotesa kerja (Ha) yang menyatakan bahwa secara bersama-sama terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan

mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo

Surabaya diterima. Dan hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa secara bersama-sama tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan

mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo

Surabaya ditolak.

Berdasarkan hasil data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan persepsi kepuasan mad’u pada ceramah Dr. H. Darmawan S.HI., M.HI di Wonocolo Surabaya adalah berkorelasi atau berhubungan.


(2)

B. Saran

Hendaknya bagi masyarakat bahasa untuk menanamkan kecintaan terhadap bahasa yang dimiliki bersama, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Wujud kecintaan terhadap bahasa dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan menetapkan penggunaan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan norma dan kesopanan yang berlaku dalam masyarakat, khususnya masyarakat Jawa yang identik dengan etika dan keakraban dalam pergaulan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdullah, Asep Abbas. 2012. Humor Ulama: Pengaruh Latar Belakang Sosial

Terhadap Dakwah Di Pondok Pesantren Tebuireng (Kajian

Sosiolinguistik). Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press

Achmad & Alek. 2011. Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kencana

Arifin, E, Zainal. S. Amran Tasai. 2010. Cermat Berbahasa Indonesia untuk

Perguruan Tinggi. Jakarta: CV. Akademika Pressindo

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Mahasatya

Arikunto, Suharsimi. 2002. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Adi Mahasatya Aziz, Moh Ali. 2009. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana

Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Chaer, Abdul. Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rhineka Cipta

Darjowidjojo, Soenjono. TT. Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka


(4)

Hadi, Sutrisno. 1999. Metode Research Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset

Hajar, Ibnu. 1996. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif Pendidikan

Agama Islam. Jakarta: Grafindo Persada

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Jakarta: Balai Pustaka

Kementrian Agama RI. 2011. Al-Quran dan Tafsirnya jilid 5. Jakarta: Widya Cahaya

Kementrian Agama RI. 2011. Al-Quran dan Tafsirnya Jilid 6. Jakarta: Widya Cahaya

Keraf, Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Kridalaksana, Harimurti, 1982. Kamus Linguisti. Jakarta: Gramedia Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Mardalis. 1995. Metode Penelitian Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara Mulyana,Dedi. 2000. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: PT. Remaja

Purwanto. 2012. Instrumen Penelitian Sosial dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rahardi, Kunjana.TT. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga

Rakhmat, Jalaluddin. 1994. Belajar Cerdas. Bandung: MLC Ujung Berung

Reksoatmojo, Tedjo N. 2009. Statistika untuk Psikologi dan Pendidikan. Bandung: PT. refika Aditama

Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2010. Unggah-Ungguh Bahasa Jawa. Jakarta: Yayasan Paramalingua


(5)

Setiyanto, Aryo Bimo. 2007. Parama Sastra Bahasa Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka

Soepeno, Bambang. 1997. Statistik Terapan (Dalam Penelitian Ilmu-ilmu Sosial

dan Pendidikan). Jakarta: Rineka Cipta

Su’adah & Fauzik Lendriono. 2003. Pengantar Psikologi. Malang: Bayu

Sudijono, Anas. 1994. Pengantar statistik Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Suhandang, Kustadi. 2013. Ilmu dakwah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Suryabrata, Sumadi. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Grafindo Persada Syam, Nina W. 2011. Psikologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung:

Simbiosa Rekatama Media

Syamhudi, M. Hasyim. 2006. Manajemen Dakwah. Surabaya: Lembaga Kajian Agama dan Filsafat (eLKAF)

Tasmara, Titi. 1997. Komunikasi dakwah. Jakarta: Gaya Media Pratama Terjemah, Mushaf Al-Quran. 2009. Jakarta: Nur Publishig

Warsito, Hermawan. TT. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Yosal Iriantara, Dedy Djamaludin Malik. 1994. komunikasi Persuasif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Yuwono, Prapto. 2012. Sang Pamomong. Yogyakarta: Adiwacana (Tiara Wacana Group


(6)

B. Internet

Oleh Bagus. http://bagus710.blogspot.co.id/2015/01/makalah-bahasa-dan-sikap-berbahasa.html, di akses pada 26 Juni 2016

Oleh Ihwan. http://ihwan42.blogspot.co.id/2013/01/sifat-dan-karakter-orang-jawa.html diakses pada 26 Juli 2016