MATERI TEORI STATISTIKA I

BAHAN AJAR I
SESI/PERKULIAHAN KE : 1

TPU

: Setelah mengikuti matakuliah Teori Statistika I, mahasiswa dapat

TPK

memahami konsep dasar teori statistika
: Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan dapat mengingat
kembali dasar-dasar kalkulus

Pokok Bahasan : Dasar-Dasar Kalkulus
Deskripsi Singkat
: Dalam Pertemuan ini Anda akan diingkatkan kembali
mengenai dasar-dasar kalkulus yang akan sangat
berguna saat memahami Teori Statistika I
I. Bahan Bacaan Wajib (BW)
1. Casella, G & Berger, R.L. 2002. Statistical Inference. Second Edition.
Duxbury.

2. Hog and Craig, 1978. Introduction to Mathematical Statistics Callier
Macmillon Publisher, London
3. Mendenhall at. All, 1989. Mathematical Statistics With Applications,
University of Florida. Boston.
4. Mursita, D. 2007. Matematika Dasar Untuk Perguruan Tinggi. Bandung :
Rekayasa Sains. Purcell, E.J & Varberg, D.1989. Kalkulus dan Geometri
Analitis. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga
5. Tobing, H (Alm), & Siregar, P. Pengantar Statistika Matematis. Jurusan
Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Padjadjaran Bandung.
II. Pertanyaan Kunci
Ketika anda membaca bahan bacaan berikut, gunakanlah pertanyaanpertanyaan berikut ini untuk memandu anda :
Apa yang anda pahami menganai :
1.

Fungsi Real

1

2.


Turunan

3.

Rungsi Transenden

4.

Teknik Pengintegralan

5.

Barisan dan Deret
TINJAUAN MATA KULIAH
Pendahuluan

Dalam memahami teori statistika I, sangat penting bagi mahasiswa untuk
mengingat kembali pelajaran Kalkulus I dan II yang meliputi fungsi real, turunan,
rungsi transenden, teknik pengintegralan, barisan dan deret.

1.1 Fungsi Real
Sistem Bilangan Real
Bilangan real, dinotasikan dengan  memainkan peranan yang sangat penting
dalam kalkulus. Sifat-sifat yang dimiliki bilangan real adalah sifat TRIKOTOMI,
yaitu bila ada dua bilangan real a dan b, maka hanya berlaku salah satu dari tiga
sifat berikkut :
1. a = b atau
2. a < b atau
3. a > b
Definisi I- 1
Misalkan a dan b bilangan real, maka
1. a < b berarti b - a merupakan bilangan real positif
2. a  b berarti bahwa a < b atau a = b
3. a  b beratti bahwa a > b atau a = b
Berikut sifat pertidaksamaan dari bilangan real yang sangat fundamental dan
sering digunakan :
1. Bila a < b dan b < c maka a 0 maka ac < bc
5. Bila a < b dan c < 0 maka ac > bc
6. Bila a dan b keduanya bilangan real positif atau negatif dan a < b maka
1 1


a b

Secara geometri, bilangan real  dapat digambarkan sebagai garis bilangan
dengan notasi interval diberikan dengan R =(-,). Sedangkan himpunan bagian
dari bilangan real (garis bilangan) berupa segmen garis atau interaval yang dapat
dieklompokkn menjadi :
1. Interval tutup, dinotasikan dengan […,...]
2. Interval buka, dinotasikan dengan (….,…)
3. Interval setengah buka/setengah tutup dinotasikan dengan [….,…) atau
(…,…]
Selengkapnya kemungkinan interval yang ada pada sebuah garis bilangan bila
diberikan dua buah bilangan sembarang a dan b dinyatakan sebagai berikut :
-

a
b
Gambar I- 1 : Bilangan dan Himpunan

[ a, b ] = { x | a  x  b }


( a, b ) = { x | a < x < b }

[ a, b ) = { x | a  x < b }

( a, b ] = { x | a < x  b }

( b,  ) = { x | x > b }

[ b,  ) = { x | x  b }

( -, a ) = { x | x < a }

( -, a ] = { x | x  a }

Pertidaksamaan
Permasalahan matematika yang berkaitan dengan interval terletak pada
pertidaksamaan aljabar. Himpunan jawab atau solusi dari pertidaksamaan alajabar
merupakan salah satu dari bentuk interval di atas. Adapun penjelasannya diberikan
berikut :

Bentuk umum pertidaksamaan alajabar dinyatakan oleh :

3

A( x ) C ( x)

B( x) D( x)
Dengan A(x), B(x), C(x), dan D(x) : suku banyak (tanda < dapat digantikan oleh
, , >)
x2 x3

Sebagai gambaran diberikan perdiksamaan x  1 x  1 . Maka pertidaksamaan

terdiri dari suku banyak A(x) = x -2; B(x) = x -1; C(x) = x + 3 dan D(x) = x + 1
Himpunan bilangan real x yang memenuhi pertidaksamaan disebut himpunan
penyelesaian atau solusi pertidaksamaan.
Cara mencari solusi pertidaksamaan aljabar dilakukan sebagai berikut :
1. Nyatakan pertidaksamaan sehingga didapat salah satu ruasnya menjadi
nol. Misalkan ruas kanan di buat menjadi nol maka didapat
A( x ) C ( x )


0
B( x) D ( x)
P( x)
0
2. Sederhanakan bentuk ruas kiri menjadi satu suku misalkan Q( x)
3. Cari dan gambarkan pada garis bilangan semua pembuat nol dari P(x) dan
Q(x)
4. Tentukan setiap tanda ( + atau - ) pada setiap intervalyang terjadi dari garis
bilangan di atas. Misalkan pembuat nol dari P(x) dan Q(x) berturut-turut
dari kecil ke besar adalah a, b, dan c, maka interval pada garis bilangan
digambarkan berikut :
(+)

-

(-)

(+)


(-)

a
b
c
Gambar I- 2 : Bilangan Untuk Pertidaksamaan
5. Interval dengan tanda (-) merupakan solusi pertidaksamaan
Contoh I- 1
Misalkan diketahui pertidaksamaan sebagai berikut :
x2 x3

x 1 x 1

4

Penyelesaian

x2 x3
x2 x3
( x  2)( x  1)  ( x  3)( x  1)




0�
0�
x 1 x 1
x 1 x  1
( x  1)( x  1)
x 2  x  2 x  2  ( x 2  x  3 x  3)
3 x  1
0�
0
( x  1)( x  1)
( x  1)( x  1)
Pembuat nol dari pembilang dan penyebut adalah -1, 1/3 dan 1. Pada garis bialgan
didapatkan nilai pada setiap selang, yaitu :
(+)

-


(-)

(+)

-1

1/3

(-)
1

Gambar I- 3 : Bilangan Untuk Pertidaksamaan Contoh I-1
Himpunan penyelesaian (solusi) pertidaksamaan adalah (-, -1)  (1/3, 1)
Pertidaksamaan dengan Nilai Mutlak
Secara geometris, nilai multak atau nilai absolute dari bilangan real x
didefinisikan sebagai jarak dari x terhadap 0, sehingga nilai mutlak dari setiap
bilangan selalu bernilai positif. Notasi yang digunakan adalah :

�x ; x �0
| x | �

� x ; x  0
Bila diberikan bentuk nilai mutlak | x -2 | maka dapat dituliskan menjadi :

( x  2) ; x �2

| x  2 | �
� x  2 ; x  2
Sehingga bentuk nilai mutlak dapat diperumum menjadi

ax  b ; x �b / a

| ax  b | �
ax  b ; x  b / a


; a �0

Sifat-sifat nilai mutlak
2
1. | x | x

2. | x | a � a  x  a
3. | x | a � x  a atau x  a

5

| x |  | y | (ketidaksamaan segitiga)
4. | x  y |�

5. | xy || x || y |

6.

x | x|

y | y|

2
2
7. | x || y |� x  y

Fungsi dan Grafik
Pembahasan menganai fungsi tidak bisa dilepaskan dari masalah pemetaan atau
pengaitan. Suatu pengaitan f dari himpunan A ke himpunan B disebut fungsi bila
mengaitkan setiap anggota dari himpunan A dengan tepat satu anggota dari
himpunan B. Hal ini diperlihatkan seperti gambar 1.4 di bawah ini :
A
a
b
c
d

f

B

A

1
2
3
4

a
b
c
d

B
f

1
2
3
4

Gambar I- 4 : Fungsi

Himpunan A disebut domain atau daerah asal dari fungsi f dinotasikan dengan D f,
sedangkan himpunan B disebut kodomain dari fungsi f. Bila semua elemen dari
himpunan B yang merupakan pasangan dari elemen dari himpunan A dihimpun
maka akan didapatkan himpunan yang merupakan sub himpunan atau humpunan
bagian dari himpunan B yang dinamakan Range atau daerah hasil dari fungsi f.
Notasi untuk range dari fungsi adalah Rf
Gambar I-5 berikut menunjukkan bahwa pengaitan /pemetaan g dan h bukan
merupakan fungsi. Pemtaan g tidak memetakan setiap elemen dari A, sedangkan
pemetaan h memetakan satu eleman dari A terhadap lebih dari satu elemen di B.

6

A
a
b
c
d

g

B

A

1
2
3
4

a
b
c
d

B
h

1
2
3
4

Gambar I- 5 : Bukan Fungsi
Misalkan himpunan A dan B merupakan sub himpunan dari himpunan bilangan
real (A   dan B  ). Maka fungsi f yang memetakan dari himpunan A ke
himpunan B dapat dinyatakan dengan
f:AB
x | f(x) = y
Daerah hasil atau range dari fungsi f dinyatakan dengan R f = {y|f(x) = y, x A}.
Nampak bahwa setiap anggota range dari fungsi f(x) juga merupakan anggota dari
B sehingga Rf  B
Fungsi Bernilai Mutlak
Bentuk fungsi bernilai mutlak dinyatakan oleh f(x) = |x|. Grafik fungsi f(x)
simetris terhadap sumbu Y dan terletak di atas dan atau pada sumbu X seperti
terlihat pada Gambar 1.6
Y

X
Gambar I- 6 : Fungsi Mutlak

7

Hal ini menunjukkan bahwa f(x)  0 untuk setiap xDf, sehingga domain dari f(x)
adalah Rf=[0,)
Secara umum fungsi bernilai multak dapat dinyatakan oleh
�g ( x) ; x �A
f ( x) | g ( x) | �
 g ( x) ; x �Ac


; D f  A �Ac

Yang dapat disimpulkan dari fungsi bernilai mutlak adalah selalu memunya Range
[0,)
Contoh I- 2
Tentukan nilai x agar fungsi f(x) = |x2 + 1| terletak di bawah garis y=2
Penyelesaian
Dicari nilai x yang memenuhi pertidaksamaan , f(x) = |x2+1|< 2. Menggunakan
sifat pertidaksamaan nilai multak

| x 2  1| 2 � ( x 2  1) 2  4 � ( x 2  3)( x 2  1)  0 .
Dikarenakan (x2 + 3) definit positif atau selalu bernilai positif untuk setiap
bilangan real x maka x2 – 1 < 0. Sehingga nilai x yang memenuhi adalah -1< x < 1
atau |x| < 1
Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil
Fungsi f(x) disebut fungsi genap bilai f(x) = f(-x) untuk setiap x di domain f(x)
( grafik f(x) simetris terhadap sumbu y).
Fungsi f(x) disebut fungsi ganjil bila f(x) = -f(-x) untuk setiap x di domain f(x)
( Grafik f(x) simetris terhadap titik pusat atau pusat sumbu).
Bila suatu fungsi bukan merupakan fungsi genap, belum tentu merupakan fungsi
ganjil.
Tabel I- 1 : Sifat Fungsi Gendap dan Ganjil
f(x)
Genap
Genap
Ganjil

g(x)
Genap
Ganjil
Genap

f(x)g(x)
Genap
Ganjil
Ganjil

8

f(x)/g(x)
Genap
Ganjil
Ganjil

Ganjil
Limit dan Kekontinuan

Ganjil

Genap

Genap

Pengertian dan notasi dari limit suatu fungsi, f(x) di suatu nilai x = a diberikan
secara intuitif menggunakan bantuan gambar berikut :
Y

y=f(x)
L=K

a

X

Gambar I- 7 : Limit
Bila nilai f(x) mendekati L untuk nilai x mendekati a dari arah kanan maka
dikatakan bahwa limit fungsi f(x) untuk x mendekati a dari kana (x a+) sama
dengan L dan dinotasikan
lim f ( x)  L

(1.1)

x �a 

Bila nilai f(x) mendekati K untuk nilai x mendekati a dari arah kiri maka
dikatakan bahwa limit fungsi f(x) untuk x mendekati a dari arah kiri (x a-) sama
dengan K dan dinotasikan
lim f ( x)  K

(1.2)

x �a 

Bila L = K maka dikatakan bahwa limit fungsi f(x) untuk x mendekati a (x a)
sama dengan L (nilai limit dari f(x) di x = a ada dan sama dengan L dan
dinotasikan
lim f ( x)  L

(1.3)

x �a

Sedangkan bila L  K maka dikatakan bahwa limit fungsi f(x) untuk x mendekati
a tidak ada. Bentuk persamaan (1.1) dan (1.2) disebut limit sepihak. Sedangkan
bentuk (1.3) mengisyaratkan bahwa nilai limit fungsi f(x) pada suatu titik

9

dikatakan ada bila nilai limit sepihaknya sama atau nilai limit kana (1.1) sama
dengan nilai limit kiri (1.2). Dari keberadaan limit fungsi, nilai limit fungsi f(x) di
x = a tidak selamanya sama dengan fungsi f(x) di x = a atau f(a). Gambar 1.8
berikut menunjukkan nilai limit dari fungsi f(x) di x = a ada namun tidak sama
dengan f(a)
lim f ( x)  L �f (a)
x �a

Y
f(a)
y=f(x)
L=K
X
a
Gambar I- 8 : Limit
Ketidakberadaan limit fungsi f(x) di titik x =a sebab nilai limit kana dari f(x) di x
= a tisak sama dengan nilai limit kiri dari f(x) di x =a, diperlihatkan pada Gambar
1.9 berikut :

L = f(a)

y = f(x)

K

a

Gambar I- 9 : Limit

10

Gambar I-9 memperlihatkan nilai limit dari f(x) di x mendekati a dari arah kiri
sama dengan nilai fungsi f(x) di x = a,

lim f ( x)  f ( a)

x �a 

Y
f(a) =K

y = f(x)

L

a

X

Gambar I- 10 : Limit
Gambar I-10 memperlihatkan nilai limit dari f(x) di x mendekati a dari arah kanan
sama dengan nilai fungsi f(x) di x = a,

lim f ( x)  f ( a)

x �a 

Y
f(a)

L

a
K

Gambar I- 11 : Limit

11

X

y = f(x)

Gambar I-11 memperlihatkan bahwa nilai limit kanan maupun nilai limit kiri tidak
sama dengan nilai fungsi f(x) di x = a
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan tentang lmit di atas adalah
1. Nilai limit sebuah fungsi di suatu titik bisa ada dan tidak ada
2. Bila nilai limit sebuah fungsi ada maka ada dua kemungkinan yaitu nilai
limit sama dengan nilai fungsi dan nilai limit tidak sama dengan nilai
fungsi
Dalam perhitungan limit dari fungsi f(x) di x = a dilakukan dengan
mensubstitusikan nilai x =a terhadap fungsi f(x) namun sebetulnya nilai yang
dimaksud adalah nilai pendekatan.
Sifat –sifat limit
Misalkan
1.
2.
3.
4.
5.

lim f ( x)  L dan lim g ( x)  G, maka
x �a

x �a

lim[ f ( x)  g ( x )]  L  G
x �a

lim[ f ( x)  g ( x )]  L  G
x �a

lim[ f ( x) g ( x)]  L G
x �a

lim[ f ( x) / g ( x)]  L / G, bila G �0
x �a

lim n f ( x)  n lim f ( x)  n L
x �a

x�a

untuk L > 0 bila n genap

Kekontinuan Fungsi
Fungsi f(x) dikatakan kontinu pada suatu titik x = a bila nilai limit f(x) pada x
mendekati a sama dengan nilai fungsi di x = a atau f(a). Seara lebih jelas, f(x)
dikatakan kontinu di x =a bila berlaku :
1. f(a) terdefinisi atau f(a) 
2.
3.

lim f ( x)
x �a

ada, yakni

lim f ( x)  lim f ( x)

x �a 

x �a

lim f ( x)  f ( a)
x �a

12

Bila minimal salah satu dari persyaratan di atas tidak dipenuhi maka f(x)
dikatakan tidak kontinu atau diskontinu di x =a dan titik x = a disebut titik
diskontinu. Secara geometris, grafik fungsi kontinu tidak ada loncatan atau tidak
terputus. Bilamana kita menggambarkan suatu fungsi grafik fungsi sembarang
dengan menggerakkan pensi kita di atas kertas dan tanpa pernah mengangkat
pensil tersebut sebelum selesai maka akan kita dapatkan fungsi kontinu.
Contoh I- 3

2x 1
; x �1


f ( x)  � 2
�x  2 x  3 ; x  1

� x 1
Selidiki apakah fungsi

Penyelesaian
Untuk menentukan nilai fungsi di x = -1 maka digunakan rumus fungsi f(x) = 2x-1
sehingga nilai fungsi f(x) di x = -1 yaitu f(-1) = -3. Kemudian limit sepihak
ditentukan sebagai berikut :
lim f ( x )  lim



x �1



x �1

x �1

x2  2 x  3
( x  1)( x  3)
 lim
 lim ( x  3)  4
x �1
x �1
x 1
x 1
dan

lim f ( x)  lim (2 x  1)  3
x � 1

Sebab nilai limit kanan tidak sama dengan nilai limit kiri maka nilai limit fungsi
f(x) di x = -1 tidak ada. Jadi fungsi tidak kontinu (diskontinu) di x = -1 atau dapat
dikatakan bahwa x = -1 merupakan tidak diskontinu dari f(x)
1.2 Turunan Fungsi
Misalkan diberikan grafik fungsi y = f(x) dengan P(a,b) merupakan titik tetap
yang terletak pada kurva y = f(x). Bila titik Q(x,y) merupakan titik sembarang
pada kurva y =f(x) maka dapat dibuat garis yang menghubungkan titik P dan titik
Q (Misalkan dinamakan garis
Y PQ), seperti terlihat pada Gambar
y = f(x)
Q
y
b

P

a

13

x

X

Gambar I- 12 : Turunan Fungsi
Gradien garis PQ dapat dinyatakan dengan :
mPQ 

y  b f ( x)  f (a)

xa
xa

Bila titik Q digerakkan sehingga berimpi dengan P maka x akan mendekati a ( x –
a  0) dan f(x) mendekati f(a) ( f(x) – f(a)  0) serta garis PQ akan merupakan
garis singgung kurva f(x) di titik P. Adapun gradient garis sehinggung PQ
dinyatakan dengan :
m  lim
x �a

f ( x)  f ( a)
xa

Definisi I- 2 Turunan
Turunan dari fungsi f(x) di titik x =a didefinisikan sebagai gradien dari garis
singgung kurva f(x) di x = a dan diberikan :
f '( a)  lim
x �a

f ( x)  f ( a)
xa

Bila nilai limit ada maka f(x) dikatakan deferensiabel atau dapat diturunkan di x=a
Misal h = x – a, maka turunan f(x) di x = a dapat dituliskan :
f '(a)  lim
h �0

Notasi lain

f '(a ) 

f ( a  h)  f ( a )
h
df (a) dy (a)

 y '(a )
dx
dx

Secara fisis, pengertian turunan atau definisi dari turunan fungsi f(x) di titik x = a
menyatakan kecepatan V(x) benda yang bergerak dengan lintasan f(x) pada saat
x=a. Oleh karena itu, didapatkan hubungan V(a) = f’(a) dan percepatan A(x),

14

A(a ) 

dV (a )
dx

Teorema I- 1
Bila y = f(x) diferensiabel di x = a maka y = f(x) kontinyu di x = a.
Teorema tersebut tidak berlaku sebaliknya, yaitu ada fungsi yang kontinu tetapi
tidak diferensiabel.
Hal ini ditunjukkan oleh contoh berikut :
Contoh I- 4
Tunjukkan bahwa f(x) kontinu di x = 0 tetapai tidak diferensiabel di x = 0
Penyelesaian
Fungsi f(x) kontinu di x = 0, sebab

f (0)  lim f ( x )  0
x �0

Turunan f(x) di x = 0 dicari menggunakan rumus berikut :
f '(0)  lim
h �0

Karena

1  lim
h �0

f (0  h)  f (0)
f ( h)
 lim
h

0
h
h

|h|
|h|
�lim
1
h h�0 h
maka f(x) = |x| tidak diferensiabel di x = 0

Seperti bagaimana pengertian dari keberadaan limit fungsi ( limit kiri =limit
kanan) dan kekontinuan fungsi (kontinu kana dan kontinu kiri) , dapat juga
diturunkan suatu pengertian diferensiabel kanan dan diferensiabel kiri.
Definisi I- 3
Misalkan fungsi f(x) diferensiabel di x = a, dapat didefinisikan :
Diferensiabel kanan
Diferensiabel kiri

f ' (a )  lim

f ( a  h)  f ( a )
h
, dan

f ' (a )  lim

f ( a  h )  f (a )
h

h �0

h �0

15

Kekontinuan suatu fungsi merupakan syarat perlu dari suatu fungsi yang
diferensiabel. Artinya untuk menunjukkan bahwa suatu fungsi diferensiabel di
suatu titik maka fungsi tersebut harus kontinu di titik tersebut.

Selanjutnya

diperiksa apakah nilai diferensiabel kanan sama dengan diferensiabel kiri. Jadi
syarat yang harus dipenuhi agar fungsi f(x) diferensiabel di x = a adalah
f (a)  lim f ( x)



Fungsi f(x) kontinu di x = a, yaitu



Turunan kiri di x = a sama dengan turunan kana di x =a, yaitu

x �a

f ' ( a )  f ' (a)

Penjelasan di atas dinyatakan dalam teorema berikut :
Teorema I- 2
Misalkan fungsi f(x) kontinu di x – a dan kedua limit berikut ada,
lim

h �0

f (a  h )  f (a )
f ( a  h)  f ( a)
lim
h

0
h
h
dan
. Fungsi f(x) diferensiabel di x = a

jika dan hanya jika nilai kedua limit ada. Selanjutnya nilai turunan dari fungsi f(x)

di x =a dinyatakan dengan

f '(a )  lim
h �0

f (a  h)  f (a )
f (a  h)  f (a )
 lim
h �0
h
h

Rumus Turunan
Untuk menentukan turunan suatu fungsi sangat sulit bilamana harus digunakan
definisi formal di atas, namun akan lebih mudah digunakan rumus –rumus
berikut:
d ( xr )
 rx r 1
dx
1.
; x 
d [ f ( x)  g ( x)] d [ f ( x )] d [ g ( x)]


dx
dx
dx
2.
d [ f ( x) g ( x)]
d [ f ( x)]
d [ g ( x)]
 g ( x)
 f ( x)
dx
dx
dx
3.

d [ f ( x) / g ( x)] g ( x) d [ f ( x)]  f ( x) d [ g ( x)]

dx
g 2 ( x)
4.

16

Teorema I- 3 Rantai
Untuk mendapatkan turunan fungsi kompoisi dapat dilakukan dengan cara
mencari bentuk eksplisit dari hasil koposisi fungsi. Namun dapat juga dicari
dengan cara langsung mengunakan metode atau aturan rantai.
Misalkan diberikan fungsi komposisi y = f(u(x)), maka turunan pertama terhadap
x yaitu
dy d  f [u ( x)] d [u ( x)]

 f '[u ( x )]u '( x )
dx
du ( x)
dx
Bila y = f(u) dengan u = v(x) maka rurunan pertama y terhadap x dicari
dy d  f (u )  d (u (v)) d (v( x))

 f '(u )u '(v )v '( x)
dx
du
dv
dx
Metode penurunan di atas dikenal dengan teorema rantai.
Contoh I- 5
Carilah turunan pertama dari y = (2x – 3)10
Penyelesaian
10
dy d  (2 x  3)  d (2 x  3)

 10(2 x  3)9 (2)  20(2 x  3)9
dx
d (2 x  3)
dx

Turunan Tinggkat Tinggi
Turunan kedua dari fungsi f(x) didapatkan dengan menurunkan sekali lagi bentuk
turunan pertama. Demikian seterusnya untuk turunan ke-n di dapatkan dari
penurunan bentuk turunan ke-(n-1)
Turunan pertama
Turunan kedua

f "( x ) 

f '( x ) 

d ( x)
dx

d 2 ( x)
dx 2

17

f ( n ) ( x) 

Turunan ke-n

d n ( x)
dx n

Kemonotonan dan Kecekungan Kurva
perhatikan Gambar I-13, diperlihatkan bahwa grafik y = f(x) monoton naik pada
selang / interval (a, b) atau (c, d), sedangkan grafik fungsi y = f(x) monoton turun
pada selang / interval (b,c).

Y
f(b)

y = f(x)

f(d)
c
a

g

O e

b

d

X

f(c)

Gambar I- 13 : Turunan Fungsi
Definisi I- 4
Misalkan diberikan kurva y = f(x) dan selang/ interval l yang terletak pada domain
y = f(x) maka,


Grafik fungsi f(x) dikatakan Monoton Naik pada selang l bila f(x1) > f(x2)
untuk x1 > x2 ; x1,x2  l

18



Grafik fungsi f(x) dikatakan Monoton Turun pada selang l bila f(x1) < f(x2)
untuk x1 < x2 ; x1,x2  l

f(x1)

x1

f(x1)

f(x2)

f(x2)

x1

x2

a. Fungsi Naik

x2

b. Fungsi Turun

f(x1) < f(x2) bila x1 < x2

f(x1) > f(x2) bila x1 < x2

Gambar I- 14 : Fungsi Naik dan Fungsi Turun
Definisi I- 5
Misalkan diberikan fungsi y = f(x) dan selang / interval l yang memuat x =a, maka


Nilai f(a) disebut nilai (esktrim) maksimum pada selang / interval l bila
f(a) > f(x) untuk setiap x  l. Titik dengan koordinat (a, f(a)) dinamakan
titik maksimum dari fungsi y = f(x)



Nilai f(a) disebut nilai (esktrim) minimum pada selang / interval l bila f(a)
< f(x) untuk setiap x  l. Titik dengan koordinat (a, f(a)) dinamakan titik
minimum dari fungsi y = f(x)

Untuk menentukan jenis nilai esktrim (maksimum atau minimum( dari fungsi
dapat dilakukan dengan uji turunan kedua sebagai berikut :
1. Tentukan turunan pertama dan kedua, f’(x) dan f’’(x)
2. Tentukan titik stasioner yaitu pembuat nol dari turunan pertama (f’(x) = 0),
misalkan nilai statisioner x =a
3. Nilai f(a) merupakan nilai maksimum bila f’’(a) < 0, sedangkan nilai f(a)
merupakan nilai minimum bila f’’(a) > 0

19

Titik Belok
Misalkan diberikan fungsi y = f(x) maka syarat perlu x = b merupakan absis dari
titik belok bila berlaku :
1. f’’(b) = 0
2. f(x) tidak diferensiabel dua kali di x = b
Definisi I- 6 Titik Belok
Misalkan f(x) kontinu di x = b, maka (b, f(b)) disebut titik belok dari kurva f(x)
bila terjadi perubaha kecekungan di x = b, yaitu di satu sisi dari x =b cekung ke
atas dan sisi lain cekung ke bawah atau sebaliknya.

20

1.3 Integral
Integral Tak Tentu
Fungsi F(x) disebut anti turunan dari f(x) pada selang l bila F’(x) = f(x) untuk
setiap x  l. Bila x merupakan titik ujing dari selang l maka F’(x) cukup turunan
sepihak (turunan kana atau turunan kiri). Prosesa mencari anti turunan disebut
integrasi (integral). Notasi yang digunakan untuk menyatakan integral
f ( x )dx  F ( x)  C

. Bentuk integral ini disebut integral tak tentu.
Integral Tentu
Pandang suatu fungsi f(x) yang didefinisikan pada suatu selang tutup [a, b]. pada
Y
y = f(x)

f (Xk )

a

Xk-1

Xk

X

Xk b

Gambar I- 15 : Konsep Integral Tentu
Pandang suatu partisi P pada selang [a, b] yang dibagi menjadi n sub selang
(dalam hal ini diambil yang panjangnya sama walaupun hal ini tidaklah mutlak),
misalnya a = x0 < x1 < … < xn = b dan

[ xk 1 , xk ]

kita ambil suatu titik

xk  x  xk  xk 1

. Pada setiap sub selang

xk ( titik sembarang namun untuk memudahkan

dipilih titik tengah sub selang) yaitu

xk 

xk  xk 1
2

21

Partisi yang terbentuk merupakan segiempat dengan ukuran

x dan f ( xk )

sebagai panjang lebarnya, sehingga luas setiap partisi adalah

f ( xk ) x . Oleh
n

karena itu didapat jumlah luas partisi pada selang [ a, b] yaitu

�f ( x )x
k 1

k

.

Jumlah tersebut dinamakan jumlah Riemann untuk f(x) yang bersesuaian dengan
partisi P. Maka luas daerah yang dibatasi oleh y = f(x), garis x =a, garis x = b dan
sumbu X akan didekati oleh Jumlah Riemann di atas bila diambil n . Dari sini
dapat didefinisikan suatu Integral Tentu yaitu integral f(x) pada suatu selang [a,b]
berikut.
Definisi I- 7 Titik Belok
Misalkan fungsi f(x) kontinu pada selang [a, b],

dari [a, b], a = x0, b = xn,

xk 

xk 

ba
 x
n
, lebar partisi

xk  xk 1
2
, maka integral dari f(x) atas [a, b]

didefinisikan sebagai limit jumlah Riemann yaitu :
b

n

n

f ( x)dx  lim �f ( xk )x  lim �f ( xk ) x

a

x �0

k 1

n ��

k 1

Bila limit ada maka fungsi f(x) dikatakan itegrabel (dapat diintegralkan) pada [ a,
b ]. Integral ini disebut integral Riemann atau integral Tentu.
Teorema I- 4
1. Misalkan fungsi f(x) terbatas pada selang [a,b] (yaitu terdapat M 
sehingga |f(x)|  M untuk setiap x  [a, b]) dan fungsi f(x) kontinu kecuali
pada sejumlah hingga titik pada [a, b]. Maka fungsi f(x) integrabel pada
[a,b]
2. Bila fungsi f(x) kontinu pada [a,b] maka fungsi f(x) integrabel pada [a,b]

22

Teorema I- 5 Teorema Dasar Kalkulus I
Misalkan f(x) kontinu pada [a,b] dan fungsi F(x) adalah anti turunan dari fungsi
b

f(x), maka berlaku

f ( x)dx  F (b)  F (a )

a

Teorema I- 6 Teorema Dasar Kalkulus II
Misal fungsi f(x) kontinu pada [a, b], maka terdapat c (a, b) sehingga berlaku
b

f ( x )dx  f (c )(b  a )

a

Teorema ini disebut juga teorema nilai rata-rata integral dengan f(c) merupakan
nilai rata-rata integral dari fungsi f(x)
Contoh I- 6
2
Tentukan nilai rata-rata fungsi f ( x)  x 2 x  1 pada selang [0, 2]

Penyelesaian
Misalkan u = 2x2 + 1, maka du = 4 dx. Bila x = 0 da x = 2 maka berturut-turut u =
1 dan u = 9 jadi
2

Rata-rata =

9

9

1
1
1
9 1 13
f ( x)  �
x 2 x 2  1dx  �udu  u u   
20
81
12
4 12 6
1
2

Sehingga kalo dihitung nilai dari

x 2x


2

 1dx 

0

13
13
(2  0) 
6
3

Sifat-sifat Intergral Tentu :

1.

b

b

b

a

a

a

[ pf ( x )  qg ( x)]dx  �
pf ( x)dx  �
qg ( x)dx


2. Misal fungsi f(x) kontinu pada [a, b] dan f(x)  0 untuk x [a, b], maka
b

berlaku

f ( x )dx �0

a

23

3. Misalkan fungsi f(x) kontinu pada [a,b] dan f(x) 0 untuk x [a,b], maka
b

b

a

a

pf ( x)dx ��
qg ( x)dx


(sifat perbandingan)

4. Misalkan fungsi f(x) integrabel pada [a,b] dan berlaku m  f(x)  M
b

untuk x [a,b], maka m(b-a) 

5.

6.

c

b

c

a

a

b

f ( x)dx �M (b  a)

a

f ( x)dx  �
f ( x )dx  �
f ( x)dx

a

b

a

a

a

b

f ( x)dx  0 dan �
f ( x)dx   �
f ( x )dx

a

7. Bila fungsi ganjil maka

8. Bila fungsi genap maka

�f ( x)dx  0

a
a

a

a

0

f ( x)dx
�f ( x)dx  2�

9. Bila fungsi periodic dengan periode p maka

10.

b

g (b )

a

g (a)

b p

b

a p

a

f ( x )dx
�f ( x)dx  �

f  g ( x )  g '( x)dx  �f (u )du


Integral Bagian (Parsial)
Misalkan f(x) dan g(x) merupakan fungsi yang dapat diturunkan, maka dengan
teorema rantai dapat diperoleh turunan dari hasil kali kedua fungsi yaitu,
d  g ( x) 
d  f ( x) 
d
[ f ( x) g ( x)]  f ( x)
 g ( x)
dx
dx
dx
Jika dilakukan integrasi pada kedua ruas maka didapatkan

24

d

[ f ( x) g ( x)]dx  �
f ( x)

dx

d  g ( x) 
dx

dx  �
g ( x)

d  f ( x) 

dx
d  g ( x) 
d  f ( x) 
f ( x ) g ( x)  C  �
f ( x)
dx  �
g ( x)
dx
dx
dx

dx

Atau
f ( x) g '( x )  f ( x) g ( x)  �
g ( x) f '( x )  C

Karena integral pada kedua ruas akan meghasilkan konstanta C, maka
dapat dituliskan sebagai berikut :
f ( x) g '( x)  f ( x) g ( x )  �
g ( x) f '( x)

Misal
u = f(x)

du = f’(x) dx

v = g(x)

dv = g’(x) dx

Substitusikan ke dalam rumus integral di atas didapatkan rumus integral bagian
untuk integral tak tentu adalah :
udv  uv  �
vdu

Bila f(x) dan g(x) integrabel pada [a,b] maka rumus integral bilangan untuk
integral tentu dapat dituliskan
b

b

b

udv  uv a  �
vdu

a

a

Contoh I- 7
Hitunglah integral berikut :
xe dx

x

a.

e

b.

ln dx

1

Penyelesaian
xe dx

x

a.

25

Dengan memisalkan u = x dan dv = e x dax maka didapatkan du = dx dan v
= ex sehingga penyelesaian integral tak tentu dengan metode integral
bagian sebagai berikut :
xe dx  �
xd (e )  xe  �
e dx  xe

x

x

x

x

x

 ex  C

e

b.

ln dx

1

Dengan memisalkan u = ln x,

du 

1
dx
x
dan dv = dx, v = x maka

diperoleh solusi integral tak tentu
ln xdx  x ln x  �
dx  x ln x  x

Penyelesaian integral tertentu diperoleh sebagai berikut :
e

ln xdx   x ln x  x 


e
1

1

1

Integral Tak Wajar
b

Bentuk integral

f ( x )dx

a

disebut Integral Tak Wajar , jika

1. Paling sedikit satu batas integrasinya tak berhingga atau
b

a.

b

f ( x) dx
�f ( x)dx  lim �

�

a ��



b.

b

f ( x) dx  lim �
f ( x)dx

a



c.

a

b ��

a

p

�f ( x)dx  lim

�

b

f ( x)dx  lim �
f ( x)dx


a ��

a

b ��

p

Bila limit pada ruas kana nada dan bernilai hingga, maka integral tak wajar
disebut Konvergen ke nilai limit tersebut. Bila limit tidak ada atau nilainya
menunju tak hingga maka integral tak wajar disebut Divergen.
2. Integral f(x) mempunyai titik tak kontinu pada [a,b]

26

1.4 Fungsi Logaritma dan Eksponen
Fungsi logaritma dan fungsi eksponen merupakan dua fungsi yang saling
invers dan dinyatakan sebagai berikut :
y = blog x  x = by ; x , b > 0
Sifat-sifat logaritma
1.

b

2.

b

3.

b

4.

b

5.

b

6.

b

log 1 = 0
log b = 1
log ac = blog a+ blog c
log a/c = blog a - blog c
log ar = r blog a
log a = clog a / clog b

Bilangan Natural
Bilangan natural dinotasikan dengan e dan didefinisikan sebagai

e  lim(1  x)1/ x  lim(1  1/ x) x  2, 718...
x �0

x �0

Fungsi logaritma natural didefinisikan sebagai
x

1
ln x  �dt ; x  0
t
1
ln x = elog x
Turunan fungsi logaritma natural :Dx[ ln x] = 1/x
Jadi secara umum :

Dx [ln u ] 

1 du
1
� �du  ln u  C
u dx
u

Eskponen Natural
Fungsi eksponen natural didefinisikan sebagai inverse dari logaritma natural dan
dinotasikan sebagai berikut :
y = ex  x = ln y
Sifat yang dapat diturunkan langsung dari definisi adalah
1. eln y = y , untuk setiap y > 0
2. ln ex = x , untuk setiap x 

27

Turunan dan integral dari eskponen natural :
du
��
eu du  eu  C
dx

Dx (eu )  eu

Misalkan a > 0 dan x . Didefinisikan : ax = ex ln a , maka
Dx (a u )  (ln a)a u

(i)

(ii)

au du 


Dx ( a log x) 

Jadi secara umum

1 u
a C
ln a
ln x
ln a

y  a log x 

Misal y = alog x =
Maka

du
dx

1
x ln a

Dx ( a log u ) 

1 du
u ln a dx

Grafik fungsi eksponen dan logarima natural diberikan sebagai berikut :
Y
y = ex

y = ln x
1
X
1
Gambar I- 16 : Fungsi Eksponen dan Logaritma Natural
Contoh I- 8
2x
Carilah turunan dari f ( x)  e

2

1

Penyelesaian

28

Misalkan u = 2x2 – 1, maka f(x) = eu dan u’ = 4x. Jadi turunan pertama
2
df df du

 4 xe2 x 1
dx du dx

1.5 Barisan dan Deret
Barisan Bilangan
Barisan bilangan tak hingga dedefinisikan sebagai fungsi dengan domain
merupakan bilangan positif. Notasi yang biasanya digunakan adalah :

 an  n1  a1 , a2 ,.... n �B 


a:n

an  merupakan suku barisan ke –n dan tiga buah titik setelah suku kedua
menunjukkan bahwa suku-suku barisan tersebut sampai tak hingga.

 an  n1


Barisan bilangan tak hingga
lim an  L
n ��

disebut barisan konvergen ke L   bila

, sedangkan bila limit tidak ada atau nilainya tak hingga maka barisan

a 
bilangan tak hingga n n 1


disebut barisan divergen.

Definisi I- 8 Barisan Monoton

 an  n1


Barisan bilangan tak hingga

disebut :

(i)

Monoton Naik bila an  an+1

(ii)

Monoton Turun bila an  an+1

Deret Tak Hingga
Bentuk deret tak hingga dinyatakan dengan notasi sigma sebagai beriktu :


�a
k 1

k

 a1  a2  ...  ak  ...

29

ak disebut suku-suku deret
Jumlah Deret


Misalkan Sn menyatakan jumlah parsial n suku pertama deret

�a

k

k 1

, maka dapat

dinyatakan sebagai berikut :
S1 = a1
S2 = a1 + a2
……………..
n

�a

Sn = a1+a2+…+an = k 1

k



ak

S n  n1

k

1
Barisan
disebut barisan jumlah parsial deret




 Sn  n1

�a



Misalkan

merupakan barisan jumlah parsial deret

k 1

k

dikatakan deret



konvergen ke S dan S disebut jumlah dari derat

�a
k 1

k



S  �ak
k 1

, dinotasikan dengan


 Sn  n1 divergen


. Sedangkan bila barisan

maka

�a
k 1

k

dikatakan deret

divergen dan tidak ada jumlah
Deret Geometri


Bentuk deret geometri yaitu :

�ar
k 1

k 1

= a + ar + …+ark-1 + …. dengan a  0 dan r

merupakan rasio. Pandang jumlah parsial n suku petama deret geometri berikut :
Sn = a + ar+…+arn-1
rSn =

ar + ..+arn-1 +arn

_____________________ -

30

Sn 

a 1 rn 
1 r

lim r n  �
Bila r = 1 maka Sn tidak terdefinisi. Sedang untuk | r| > 1 maka n��
,
sehingga


�ar

lim S n  �
n ��

 Sn  n1


atau barisan

k 1

k 1

divergen. Untuk | r| < 1 maka

 Sn  n1


barisan

a
;(a �0)
1 r
atau

konvergen ke


�ar
k 1

k 1

divergen. Oleh karena itu, deret

lim r n  0
n ��

sehingga

a
;(a �0)
1 r
. Jadi



�ar
k 1

lim S n 
n ��

a
1  r atau

k 1

konvergen ke

a
;(a �0)
= 1 r

Deret Taylor dan Mac Laurin
Misalkan fungsi f(x) dapat diturunkan sampai k kali pada x = b, maka fungsi f(x)
dapat diperderetkan menjadi menjadi deret kuasa dalam bentuk :

f ( k ) (b)
f ''(b)
f ( x)  �
( x  b) k  f (b)  f '(b)( x  b) 
( x  b) 2  ...
k!
2!
k 0

Deret di atas disebut Deret Taylor dengan pusat x = b atau disebut deret
polynomial Taylor pada x = b. Bila b = 0 maka disebut Deret Mac Laurin, yaitu
berbentuk :

f ( k ) (0) k
f ''(0) 2
f ( x)  �
x  f (0)  f '(0) x 
x  ...
k!
2!
k 0

Contoh I- 9
Perderetkan fungsi f(x) = ex ke dalam deret Mac Laurin
Penyelesaian

31

Bila f(x) = ex maka turunan fungsi ke-n diberikan oleh f(n)(x) = ex dan nilai turunan
di x = 0 adalah f(n)(0) = 1. Oleh karena itu, deret Mac Laurin dari f(x) = ex yaitu :
f '(0)
f ''(0) 2 f ''(0) 3
x
x 
x ...
1!
2!
3!
e0
e0
e0
 e 0  x  x 2  x 3  ....
1!
2!
3!
2
3
x
x
 1  x    ....
2! 3!
k

x
�
k 0 k !

e x  f (0) 

1.6 Latihan Soal
2

�x ; x �1
f ( x)  �
diferensiabel di x  1
x ; x 1

1.1 Selidiki apakah fungsi

1.2 Carilah turunan
a.
b.
c.

f ( x) 

1
x

f ( x)  (2 x  1) x

f ( x) 

x 1
x2  1
2

d.

�x  1 �
y� �
�x  1 �

1.3 Selesaikan integral berikut
a.

(1  2 x)10


b.

( x  1)e


x  x2

x2  2 x

dx

dx

1.4 Penderetkan fungsi berikut ke dalam deret Mac Laurin

32

f ( x) 

1
1 x

33

BAHAN AJAR II
SESI/PERKULIAHAN KE : 2-3

TPU

: Setelah mengikuti matakuliah Teori Statistika I, mahasiswa dapat

TPK

memahami konsep dasar teori statistika
: Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan dapat memahami
konsep-konsep peluang dengan benar

Deskripsi Singkat

Pokok Bahasan : Dasar-Dasar Peluang
: Dalam Pertemuan ini Anda akan diingkatkan kembali
mengenai dasar-dasar peluang akan sangat berguna
saat memahami Teori Statistika I

I.

Bahan Bacaan Wajib (BW)
1. Casella, G & Berger, R.L. 2002. Statistical Inference. Second Edition.
Duxbury.
2. Hog and Craig, 1978. Introduction to Mathematical Statistics Callier
Macmillon Publisher, London
3. Mendenhall at. All, 1989. Mathematical Statistics With Applications,
University of Florida. Boston.
4. Mursita, D. 2007. Matematika Dasar Untuk Perguruan Tinggi. Bandung :
Rekayasa Sains. Purcell, E.J & Varberg, D.1989. Kalkulus dan Geometri
Analitis. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga

II. Pertanyaan Kunci
Ketika anda membaca bahan bacaan berikut, gunakanlah pertanyaanpertanyaan berikut ini untuk memandu anda :
Apa yang anda pahami menganai :
1. Peluang
2. Medan Borel (Sigma Algebra)
3. Counting

34

TINJAUAN MATA KULIAH
PE LUANG
2.1 Himpunan
Hipunan merupakan gabungan dari unsur-unsur yang bisa berupa apa saja baik
benda, manusia ataupun bilangan. Unsur biasanya dituliskan dalam hurup kecil
Yunani, himpunan biasanya dilambangkan dengan huruf besar latin, dan
himpunan semesta dilambangkan dengan S. Himpunan biasanya ditulikan dalam
kurung kurawal { }.
Kita akan mengunakan huruf besarA, B, C,…, untuk menyatakan himpunan
titik. Jika di dalam himpunan A ada a, b, c, atau dengan notasi aA, bA, cA,
kita dapat menulis A={a,b,c}. Selanjutnya a,b,c disebut unsur atau elemen
himpunan.
Ambil S menyatakan himpunan semua unsur yang menjadi perhatian, yang
disebut himpunan semesta.
Untuk setiap dua himpunan A dan B kita sebut bahwa A himpunan bagian dari
B, atau A dikandung dalam B (dinotasikan AB ), jika setiap unsur di A juga
merupakan unsur di B. Himpunan konsong dinotasikan dengan  adalah
himpunan yang tidak mengandung titik. Himpunan dan hubunan antara dua
himpunan dapat digambarkan dengan menggunakan diagram Venn.
S

S
A

S
B

A

A

B

B

AB

AB
Gambar II- 1 Diagram Venn

Perhatikan dua himpunan sembaran A dan B

35

AB

Gabungan dari A dan B dinyatakan oleh A  B, adalah himpunan semua titik
dalam A atau B atau kedua-duannya. Yaitu, gabungan A dan B memuat semua titik
yang ada di dalam paling sedikit satu dari himpunan tersebut.
Dengan notasi : A  B={x|xA atau xB}
Irisan dari A dan B dinyatakan oleh A  B, adalah himpunan semua titik dalam
kedua-duanya A dan B.
Dengan notasi A  B={x|xA dan xB}
Jika AS, maka komplemen A dinyatakan oleh A , adalah himpunan titik yang
ada di S tetapi tidak di A.
Dengan notasi : A ={x|xA dan xS}
S

S
A

B

A
A

A : Komplemen dari A

AB

Gambar II- 2 Diagram Venn Untuk A dan A  B 
Dua himpunan A dan B dikatakan lepas atau saling eksklusif jika AB= yaitu
himpunan saing eksklusif, tetapi tidak mempunyai titik persekutuan. Perhatikan
pelantuan sebuah dadu. Di sini S={1,2,3,4,5,6}.
Misalkan A={1,2}, B={1,3}, dan C={2,4,6}
Maka AB={1,2,3}, AB={1}, dan A ={3,4,5,6}
Juga perhatikan bahwa BC= sedangkan AC
Ada dua kesamaan yang sungguh penting, ialah hukum distributif diberikan oleh:
A(BC)=(AB)(AC)
A(BC)=(AB)(AC)
Contoh Operasi Himpunan
A = { 1, 2, 3 , 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 }

36

B = { 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20 }
C = { 15, 16, 17, …, 40 }
A  B = { 1, 2, 3, …,10, 11, ….., 20 }
A  C = { 1, 2, 3, …, 10, 15, 16, …, 40 }
A  B = { 8, 9, 10 }
AC={ }=
AC = { 11, 12, 13, ….}
Teorema II- 1
Misalkan A, B, C merupakan kejadian-kejadian dalam ruang contoh S :
a. Komutatif

AB = BA = A+B {x;xA atau xB}
AB = BA = A*B {x;xA dan xB}

b. Asosiatif

A(BC) = (AB)C = A+B+C
A(BC) = (AB)C = A*B*C

c. Distributif

A(BC) = (AB)(AC) = (A+B)*(A+C)
A(BC) = (AB)(AC) = A*B+A*C
(AB)C = (ACBC) = AC* BC

d. DeMorgan’s

(AB)C = (ACBC) = AC+ BC
Definisi II- 1
A dan B disebut terputus (disjoint or mutually exclusive) jika AB =  . Kejadian
A1, A2, …, Ai, …

disebut himpunan saling terputus/saling asing (pairwise

disjoint) jika AiAj =  untuk semua i ≠ j ; i = 1, 2, 3, …. dan j = 1, 2, 3, ….
Definisi II- 2
A1
A2

An

A1, A2, … , Ai,….. disebut sekatan (partition) dari himpunan
n

¿ A i =S

semesta S jika i=1
dan AiAj =  semua i ≠ j dengan n
dapat mencapai nilai tak hingga ( n →)

Peluang sering dikatakan sebagai harapan terjadinya suatu kejadian dari hasil
suatu tindakan. Peluang meliputi ruang contoh terbilang dan tidak terbilang. Di

37

bawah ini diperlihatkan kesepadanan antara Aljabar Himpunan dengan Peluang
(Aljabar Kejadian )
PELUANG
(Aljabar Kejadian)

HIMPUNAN

Tindakan (Trial)/
Eksperimen
Unsur (Element)/
Unit Pengamatan

(x)

Peristiwa (Outcome)

Himpunan (Set) /
Gabungan dari Unsur

(A)

Kejadian (Event)

Himpunan
Semesta
(Universum
)/Himpunan
meliputi semua unsur yang
diperhatikan
“Ada Pembatasan”

(S)

Ruang Contoh (Sample
Space) / Himpunan hasil
yang
mungkin
dari
percobaan

Himpunan Kosong (Empty
Set)/ Himpunan yang tidak ada
anggotanya

()

Kejadian
Mustahil
(Impossible Event)

Contoh II- 1
Eksperimen : Pelantunan Sebuah Dadu

Tindakan

: Pelembaran Sebuah Dadu bersisi 6

Peristiwa

: Munculnya satu sisi dari hasil pelantunan

Kejadian

: Muncul sisi genap
A : Muncul sisi genap

A={ 2, 4, 6 }

AC: Muncul selain sis genap AC = { 1, 3, 5 }
Ruang Sampel : Semua peristiwa yang mungkin tejadi dari hasil tindakan
S = { 1, 2, 3, 4, 5, 6 }
Himpunan Kosong

: Muncul sisi lebih dari 6

38

Diagram Venn kasus di atas.
S

AC

.1
.3

.2 .4
.5 .6

A

Gambar II- 3 Diagram Venn Untuk A dan A
Himpunan Bagian (Subset)
Jika setiap peristiwa dalam kejadian A adalah juga peristiwa dalam kejadian B,
maka dikatakan A bagian dari B (A subset B). Operasi himpunan bagian biasanya
dilambangkan dengan “ “ namun banyak buku yang melambangkan dengan “ 
“. Untuk lambang pertama “ “, misalkan A himpunan bagian B dapat ditulis A 
B. Dalam kasus ini unsur A < B. Sedangkan untuk lambang kedua misalkan A
himpunan bagian B. Dalam kasus ini unsur A ≤ B, atau dengan kata lain A bisa
lebih kecil dari B atau A sama dengan B.
2.2 Konsep Dasar Teori Peluang
Ketika eksperimen telah dilakukan, hasil dari percobaan menyatakan ruang
sampel (sample space). Jika eksperimen dilakukan berulang-ulang kali, perbedaan
hasil akan mungkin terjadi. Frekuensi dari kejadian tersebut akan dikaitkan
dengan nilai peluang.
Untuk setiap kejadian A dalam ruang sampel kita ingin mengaitkan A dengan
nilai antara 0 dan 1 yang akan kita kenal dengan nilai peluang dari A yang
dinotasikan dengan P(A).
Peluang pada dasarnya ingin memberikan nilai pada kejadian dan kejadian
masih dalam ruang lingkup pembicaraan atau memenuhi tiga syarat Medan Borel

39

(B) (Sigma Algebra). Nilai yang diberikan pada kejadian mencerminkan harapan
kita pada munculnya satu kejadian.
Definisi II- 3 Medan Borel (B)
Kumpulan subset (elemen) dari S disebut sebagai sigma algebra (Borel filed),
dinotsikan dengan B jika memenuhi syarat berikut :
1.   B
2. Jika kejadian A  B maka AC  B (B bersifat tertutup terhadap
komplementasi)

�U
Ai �


i 1
� B (B bersifat tertutup terhadap
3. Jika A1, A2, …, An  B maka �

operasi gabungan)
Himpunan kosong  merupakan bagian dari semua himpunan sehingga   S.
Ini menyebabkan  selalu anggota B (  B). Sebagai akibat dari (1)   B
dan (2) C  B dengan 

C

= S maka S selalu anggota B (S B). Sebagai

tambahan, dengan Hukum DeMorgan’s dapat ditunjukkan bahwa B bersifat
c
c
tertutup terhadap komplementasi. Jika A1, A2,…  B maka A1 , A2 ,...  B dengan



menggunakan sifat (2), sehingga

U Aic

i 1

 B. Dengan menggunakan hukum

DeMorgan’s diperoleh
c

�� c � �
U Ai � I Ai

�i 1 � i 1


Dengan menggunakan sifat (2) maka

I

Ai

i 1

B

Medan Borel (B) paling sederhana adalah Medan Borel yang hanya memuat
kejadian mustahil  dan himpunan semesta S
B = { , S }
Contoh II- 2 (Himpunan Masuk Dalam Syarat Medan Borel)
Eksperimen : Pelantunan Sebuah Dadu

40

Ruang Contoh (S) : Semua hasil yang mungkin dari pelantunan
S = { 1, 2, 3, 4, 5, 6 }
Kejadian :
A: Muncul Sisi Genap
A = { 2, 4, 6}
B : Muncul Sisi Ganjil
B = { 1, 3, 5 }
 : Kejadian Mustahil
Perhatikan himpunan B = { , A, B, S }
Jika himpunan B = { , A, B, S } memenuhi syarat Medan Borel (1), (2), (3)
berarti himpunan B = { , A, B, S } dapat dikatakan sebagai Medan Borel (B).
Pengujian :
Syarat 1 :
Himpunan B = { , A, B, S } memuat kejadian mustahil () dimana (
 B)  Terpenuhi
Syarat 2 :
Bersifat tertutut terhadap komplementasi :


 C = S. Terlihat S  B



AC = B. Terlihat B  B



B C = A. Terlihat A  B



SC = . Terlihat   B

Semua komplemen dari subset dalam himpunan B = { , A, B, S }
masuk dalam himpunan B sehingga syarat 2 Terpenuhi
Syarat 3
Bersifat tertutup terhadap operasi gabungan  A = A. Terlihat A B


B = B. Terlihat B B



AB = S. Terlihat S B



 S = S. Terlihat S B

41



AB = S. Terlihat S B



 ABS = S. Terlihat S B

Semua operasi union (penggabungan) masuk dalam himpunan B sehingga syarat
3 terpenuhi.
Contoh II- 3 (Himpunan Tidak Masuk Dalam Syarat Medan Borel)
Misalkan dalam Contoh II-2 di atas ditambah satu kejadian lagi yaitu kejadian
C : Muncul Sisi Bernomor 5 atau lebih
C = { 5, 6 }
Apakah B *= {, A, B,C, S } merupakan Medan Borel ?
Pengujian :
Syarat 1 :
Himpunan B*= {, A, B,C, S } memuat kejadian mustahil () dimana
(  B*)  Terpenuhi
Syarat 2 :
Bersifat tertutut terhadap komplementasi
Misalkan CC = D.


 C = S. Terlihat S  B *



AC = B. Terlihat B  B *



BC = A. Terlihat A  B *



CC = D. Terlihat D B * atau CC  B*



S C = . Terlihat   B*

Terlihat bahwa dalam himpunan B* tidak memuat komplemen C yaitu D
sehingga Syarat (2) tidak terpenuhi. Dapat disimpulkan B* bukan
merupakan Medan Borel (B)
Catatan :

42

1. Jika S memiliki n anggota maka akan ada sebanyak 2n himpunan dalam
Medan Borel. Ini berakibat semua himpunan kejadian (2 n) dimasukkan
dalam himpunan akan memenuhi syarat Medan Borel.
2. Memberikan nilai pada kejadian dan kejadian harus dalam ruang lingkup
pembicaraan (memiliki batasan yang jelas) atau memenuhi ketiga syarat
Medan Borel (B). Definisi ini memberikan gambaran bahwa untuk dapat
menentukan nilai peluang suatu kejadian maka kejadian tersebut harus
dalam ruang lingkup himpunan semesta S dan merupakan anggota Medan
Borel (B) yang memenuhi ketiga syarat Medan Borel. Sehingga akibatnya
jika kita mengetahui nilai pelungan kejadian A (P(A)) maka kita juga akan
dapat mengetahui nilai pelung komplemen A (P(AC)).
2.3 Model Peluang Untuk Satu Percobaan
Kasus Diskrit
Definisi II- 4 (Percobaan)
Suatu percobaan adalah proses yang mana suatu pengamatan dilakukan.
Contoh percobaan, antara lain, pelantunan mata uang dan dadu, mengukur skor IQ
untuk suatu individu, atau penentuan jumlah bakteri per cm kubik dalam bagian
pengolahan makanan. Apabila suatu percobaan dibentuk, percobaan itu dapat
menghasilkan suatu atau lebih hasil yang disebut kejadian. Jika percobaan terdiri
atas menghitung banyaknya bakteri dalam bagian makanan, beberapa kejadian
diinginkan dapat dibuat antara lain :
A: Ada 40 bakteri
B: Ada lebih dari 200 bakteri
C: Banyak bakteri antara 100 dan 300
Definisi II- 5 (Kejadian Sederhana)
Suatu kejadian sederhana ialah suatu kejadian yang tidak dapat dipecah. Setiap
kejaidan sederhana perbadanan dengan satu dan hanya satu titik sampel.
Kejadian sederhana dalam pelantunan dadu satu kali.
E1: hasil angka 1

43

E2: hasil angka 2
E3: hasil angka 3
E4: hasil angka 4
E5: hasil angka 5
E6: hasil angka 6
Definisi II- 6 (Ruang Sampel)
Ruang sampel yang dihubungkan dengan percobaan adalah himpunan yang
terdiri atas semua titik sampel yang mungkin. Suatu ruang sampel akan
dinotasikan dengan S
Dalam pelantunan sebuah dadu satu kali S={1,2,3,4,5,6}
Definisi II- 7 (Ruang Sampel Diskrit)
Ruang sampel diskrit adalah ruang sampel yang mengandung berhingga atau
terhitung banyaknya titik sampel.
Untuk percobaan dengan ruang sampel diskrit, kejadian majemuk dapat
dipandang sebagai himpunan titik sampel atau ekuivalen sebagai gabungan
himpunan sederhana. Misalnya, pelantunan dadu kejadian A (pengamatan angka
ganjil) akan terjadi jika dan hanya jika kejadian seerhana E1, E3 atau E5 terjadi.
Berarti A={ E1, E3, E5} atau A= E1 E3 E5
Sama halnya, B (pengamatan angka kurang dari 5) dapat ditulis sebagai B={E 1,
E2, E3, E4} atau B=E1 E2 E3 E4
Kejadian sederhana Ei dimasukkan dalam kejadian A jika dan hanya jika A terjadi
bilamana Ei terjadi.
Definisi II- 8
Kejadian dalam ruang sampel diskrit S adalah himpunan titik sampel,
yaitu suatu himpuan bagian S

44

Model peluang untuk percobaan dengan ruang sampel diskrit dapat dibentuk
dengan menetapkan peluang terhadap setiap kejadian sederhana dalam ruang
sampel S. Dalam melakukan demikian, kita akan memilih bilangan, suatu ukuran
kepercayaan kita, dalam kemunculannya pada tindakan (ulangan) percobaan
tunggal, sehingga hal itu akan konsisten dengan konsep frekuensi relatif untuk
peluang. Meskipun frekuensi relatif tidak memetakan definisi yang tetap untuk
peluang, suatu definisi yang dapat dipakai untuk dunia nyata setuju dengan faham
intuisi kita, akan sifat dari frekuensi relatif kejadian.
Pada analisis konsep frekuensi untuk peluang, kita lihat bahwa tiga syarat harus
dipenuhi, yaitu :
1. Frekuensi relatif akan kemunculan suatu kejadian harus lebih besar atau
sama dengan nol (fr (Ai)  0)
2. Frekuensi relatif dari ruang sampel keseluruhan S harus menjadi satu.
Karena setiap kemungkinan muncul dari percobaan adalah titk dalam S,
titik itu menyertai bahwa S harus muncul setiap waktu percobaan
n

dibentuk.(

�f ( A ) 1
i 1

r

i

)

3. Jika dua kejadian saling eksklusif, frekuensi relatif gabungan sama dengan
jumlah frekuensi relatif masing-masing (fr (Ai Aj ) = fr (Ai) + fr (Aj) ; ij
Definisi II- 9
Andaikan percobaan telah dihubungkan dengan ruang sampel S. Terhadap setiap
kejadian A di S (AS) kita menetapkan suatu bilangan P(A) disebut peluang A,
sehingga aksioma berikut dipenuhi :
Aksioma 1 : P(A) 0
Aksioma 2 : P(S) =1
Aksioma 3 : jika A1, A2, A3,….. membentuk barisan kejadian yang saling eksklusif
berpasangan (AiAj = , ij) di S maka P(A1  A2  A3  …..) = P(A1) + P(A2)
+ P(A3) +…
atau

45

Peluang suatu kejadian dalam ruang contoh S adalah suatu fungsi dengan Domain
Medan Borel B yang memenuhi Aksioma/aturan peluang berikut :
1. Peluang kejadian A , P(A)  0 untuk A B
2. Peluang ruang semesta S, P(S) = 1 untuk S B
3. Jika A1, A2, …, An  B dan Ai  Aj =  (tidak berpotongan/disjoint) untuk

�� � n
P�
Ai � �P ( Ai )
U
i

1

� i 1
setiap i  j maka
Teorema II- 2
Jika P adalah fungsi peluang dengan domain Medan Borel B :
a) P() = 0, dengan  adalah himpunan kosong
b) P(A) ≤ 1,
c) P(AC) = 1- P(A)
Bukti
a)

P() = 0
(  S) = S
(  S) = 

Aturan (3) karena  S = 
P(  S) = P() +P(S)
P(S) = P() + P(S)
1

= P() + 1 (Aksioma 2)

Sehingga P() haruslah sama dengan 0
AAC = S

b)
A AC = 
Aksioma (3) AAC = 

P(AAC) = P(A) + P(AC)
P(S)

= P(A) + P(AC)

46

= P(A) + P(AC) (Aksioma 2)

1

Sehingga P(AC) = 1-