PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SERTA SELF-CONCEPT SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO-STAY TWO-STRAY.

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

LILIS 1204663

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2014


(2)

Oleh Lilis

S.Pd Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Garut, 1998

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Matematika

© Lilis 2014

Universitas Pendidikan Indonesia April 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,


(3)

KOMUNIKASI MATEMATIS SERTA SELF-CONCEPT SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO-STAY TWO-STRAY

Oleh Lilis 1204663


(4)

Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis serta

Self-Concept Siswa SMP melalui Pembelajaran Kooperatif

Tipe Two-Stay Two-Stray

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peningkatan kemampuan pemahaman, kemampuan komunikasi dan self-concept siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray dengan siswa yang memperoleh pembelajaran langsung. Penelitian ini berjenis kuasi eksperimen dengan desain penelitian pretest postest control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Cisurupan Kabupaten Garut yang berjumlah sembilan kelas, sedangkan yang menjadi sampelnya dipilih dua kelas secara acak, diperoleh kelas VIII-H sebagai kelas eksperimen yang diberi perlakuan dengan pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray, dan kelas VIII-I sebagai kelas kontrol yang diberi perlakuan dengan pembelajaran langsung. Instrumen yang digunakan terdiri dari tes kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematis serta angket skala self-concept dan lembar observasi. Berdasarkan analisis data menggunakan SPSS 19.0 dan Microsoft Office Excel 2007, diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe two-stay-two-stray lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara langsung. Kemudian peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe two-stay-two-stray lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara langsung. Hasil angket skala self-concept menunjukan self-concept siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe two-stay-two-stray lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara langsung. Secara umum siswa bersikap positif terhadap pembelajaran, baik pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray maupun pembelajaran langsung.

Kata kunci: Pembelajaran dengan tipe two-stay two-stray, kemampuan

pemahaman matematis, kemampuan komunikasi matematis, dan self-concept siswa.


(5)

The Improving Comprehension and Communication Mathematical Ability and Self Concept of Junior High School Students Through Cooperative

Learning of Two - Stay Two- Stray Type

Abstract : This study aims to analyzeimproving the capability of comprehension and communication of mathematics and self-concept of students who obtain types of cooperative two- stay two - stray ( TSTS ) learning with students who received direct instruction ( DI ). The design this study used the experimental research design with pretest posttest control group design . The population in this study were nine groups of all eighth grade students in one of the SMP in Kabupaten Garut, whereas the selected sample in this study was two groups , namely class experiment treated with types of cooperative two-stay two straylearning and class - controls treated with direct learning . The instrument used consisted of testing the ability of comprehension and mathematical communication skills and

self-concept scale questionnaire. Based on the data analysis, it is concluded that the

improving of comprehension and communication of mathematical ability of students receiving types of two - stay -two - straycooperative learning were better than students who received direct instruction. Improvingcomprehension of the mathematical ability of students receiving types of two - stay -two - stray cooperative learning were at high qualifications , while students who received direct instruction werein the averagequalification. Improving mathematical communication skills of students who obtain types of two - stay two -

straycooperative learning and students who received direct instruction were in the

average qualification . The results of the questionnaire showed an increase in the proportion of self-concept of students receiving two –stay- two- stray cooperative learning were differentsignificantly compared to the students who received direct instruction. Generally, the students have the positive attitude towards learning , both two – stay- two - stray cooperative learning and direct learning .

Keywords : Learning with types of two –stay- two-stray , mathematical


(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN... i

ABSTRAK... ii

KATA PENGANTAR... iii

UCAPAN TERIMA KASIH... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian... 9

E. Struktur Organisasi Tesis... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN... 11 A. Kajian Pustaka... 11

1. Kemampuan Pemahaman Matematis... 11

2. Kemampuan Komunikasi Matematis... 13

3. Self-concept Siswa... 19

4. Pembelajaran Kooperatif... 23

5. Pembelajaran Kooperatif Tipe Two-Stay Two-Stray... 25

6. Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)... 27

7. Penelitian Terdahulu... 31

8. Teori-teori yang Mendukung... 33

B. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian... 35

1. Kerangka Pemikiran... 35

2. Hipotesis Penelitian... 37

BAB III METODE PENELITIAN... 38

A. Lokasi dan Subjek Populasi/Sampel Penelitian... 38

B. Desain Penelitian... 38

C. Metode Penelitian... 39

D. Definisi Operasional... 39

E. Instrumen Penelitian... 42

F. Proses Pengembangan Instrumen... 46

G. Teknik Pengumpulan Data... 56

H. Analisis Data... 56


(7)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...

A. Hasil Penelitian... 67

B. Pembahasan... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 104

A. Kesimpulan... 104

B. Saran... 105

DAFTAR PUSTAKA 106


(8)

DAFTAR TABEL Tabel

2.1 Langkah-langkah Pembelajaran Langsung... 28

3.1 Kategori Gain Ternormalisasi... 42

3.2 Kriteria Penskoran Perangkat Tes Kemampuan Pemahaman Matematis... 43 3.3 Kriteria Penskoran Perangkat Tes Kemampuan Komunikasi Matematis... 44 3.4 Hasil Uji Validitas Butir tes Kemampuan Pemahaman... 47

3.5 Hasil Uji Validitas Butir tes Kemampuan Komunikasi... 48

3.6 Interpretasi Reliabilitas... 49

3.7 Hasil Uji Reliabilitas Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi... 49 3.8 Interpretasi Daya pembeda... 50

3.9 Hasil Uji Daya Pembeda Tes Kemampuan Pemahaman... 51

3.10 Hasil Uji Daya Pembeda Tes Kemampuan Komunikasi... 51

3.11 Interpretasi Tingkat Kesukaran... 52

3.12 Hasil Uji Tingkat Kesukaran Butir soal Pemahaman... 53

3.13 Hasil Uji Tingkat Kesukaran Butir soal Komunikasi... 53

3.14 Validitas dan Ketepatan Skala Self-Concept... 58

3.15 Kriteria Self-Concept Siswa... 61

4.1 Deskriptif Skor Kemampuan Pemahaman Matematis... 68

4.2 Hasil Uji Normalitas Pretes Kemampuan Pemahaman Matematis... 69 4.3 Uji Homogenitas Kemampuan Pemahaman... 69

4.4 Hasil Uji Kesamaan Rata-rata Pretes Kemampuan Pemahaman Matematis... 70 4.5 Hasil Uji Normalitas N-Gain Kemampuan Pemahaman... 71

4.6 Uji Homogenitas N-Gain Kemampuan Pemahaman... 72

4.7 Hasil Uji t N-Gain Kemampuan Pemahaman Matematis... 73

4.8 Deskriptif Kemampuan Komunikasi Matematis... 74

4.9 Hasil Uji Normalitas Kemampuan Komunikasi Matematis... 75

4.10 Uji U Mann WhitneyKemampuan Komunikasi... 76

4.11 Hasil Uji Normalitas N-Gain Kemampuan Komunikasi... 77 4.12 Hasil Uji Perbedaan rerata Gain Kemampuan Komunikasi

Matematis...

78 4.13 Analisis Self-Concept Siswa Sebelum Pembelajaran

Berdasarkan Dimensi Pengetahuan...

79 4.14 Analisis Self-Concept Siswa Sebelum Pembelajaran

Berdasarkan Dimensi Pengharapan...

81 4.15 Analisis Self-Concept Siswa Sebelum Pembelajaran

Berdasarkan Dimensi Penilaian...

84 4.16 Analisis Self-Concept Siswa Setelah Pembelajaran

Berdasarkan Dimensi Pengetahuan... 86 4.17 Analisis Self-Concept Siswa Setelah Pembelajaran

Berdasarkan Dimensi Pengharapan...


(9)

4.18 Analisis Self-Concept Siswa Setelah Pembelajaran

Berdasarkan Dimensi Penilaian...

89 4.19 Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran... 94


(10)

DAFTAR GAMBAR

4.1 Kegiatan Siswa Saat Mempresentasikan Hasil Kerja Kelompoknya

104 4.2 Kegiatan Siswa Saat Menjawab Pertanyaan Dari

Kelompok Lain


(11)

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1

1.1 Silabus... 111

1.2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran... 114

1.3 Lembar Kerja Siswa... 161

1.4 Kisi-kisi Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi... 188

1.5 Kisi-kisi Skala Self-Concept... 197

1.6 Lembar Observasi... 200

LAMPIRAN 2 2.1 Hasil Ujicoba Tes Kemampuan Pemahaman Matematis... 201

2.2 Hasil Ujicoba Tes Kemampuan Komunikasi Matematis... 209

2.3 Data Hasil Ujicoba Self-Concept... 217

LAMPIRAN 3 3.1 Hasil Pretes Kemampuan Pemahaman Kelas Eksperimen... 221

3.2 Hasil Postes Kemampuan Pemahaman Kelas Eksperimen... 225

3.3 Data Pretes, Postes dan Gain Kemampuan Pemahaman Kelas Kontrol... 229 3.4 Hasil Pretes Self-Concept Kelas Eksperimen... 233

3.5 Hasil Postes Self-Concept Kelas Eksperimen... 239

3.6 Data Kategori Perolehan Skor Pretes dan Postes Self-Concept Kelas Eksperimen... 245 LAMPIRAN 4 4.1 Deskriptif Pretes Kemampuan Pemahaman Matematis... 249 4.2 Uji Normalitas Pretes Kemampuan Pemahaman Matematis Kelas

Eksperimen...

249

4.3 Uji Homogenitas Pretes Kemampuan Pemahaman Matematis... x


(12)

4.4 Uji t Pretes Kemampuan Pemahaman Matematis... 250

4.5 Deskriptif Gain Kemampuan Pemahaman Matematis... 251 4.6

4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14

Uji Normalitas Gain Kelas Eksperimen... Uji Homogenitas Gain Kemampuan Pemahaman... Uji t Gain Kemampuan Pemahaman Matematis... Deskriptif Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis... Uji Normalitas Pretes kemampuan Komunikasi Matematis... Uji U Mann Whitney Pretes kemampuan Komunikasi Matematis Deskriptif Gain Kemampuan Komunikasi Matematis... Uji Normalitas Gain Kemampuan Komunikasi Matematis... Uji U Mann Whitney Gain Kemampuan Komunikasi Matematis

251 252 252 253 253 254 254 254 256


(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Matematika sebagai bagian dari Kurikulum di sekolah, memegang peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan lulusan yang mampu bertindak atas dasar pemikiran matematika yaitu secara logis, kritis, sistematis dalam menyelesaikan persoalan kehidupan sehari-hari atau dalam mempelajari ilmu pengetahuan lain. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa:

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab”.

Kurikulum 2013 memuat secara jelas seperangkat kompetensi yang harus dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika. Seperangkat kompetensi tersebut diantaranya adalah siswa diharapkan dapat: (1) menunjukkan sikap logis, kritis, analitik, konsisten dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah; (2) memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika; (3) memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika yang terbentuk melalui pengalaman belajar; (4) memiliki sikap terbuka, santun, objektif, menghargai pendapat dan karya teman dalam interaksi kelompok maupun aktivitas sehari-hari; (5) memahami konsep; (6) memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan matematika dengan jelas (Permendikbud, 2013).

Menurut De Lange (Yuniati: 2010) ada 8 kompetensi yang harus dipelajari dan dikuasai para siswa selama proses pembelajaran matematika di kelas, yaitu: (1) berpikir dan bernalar secara matematis; (2) berargumentasi secara matematis; (3) berkomunikasi secara matematis; (4) memodelkan;


(14)

(5) menyusun dan memecahkan masalah; (6) merepresentasi; (7) menyimbolkan; (8) menguasai alat dan teknologi.

Berdasarkan tujuan pendidikan dan seperangkat kompetensi yang harus dikuasai siswa, maka pembelajaran matematika penting untuk dipelajari oleh siswa baik siswa sekolah dasar, menengah, bahkan sampai perguruan tinggi. Pentingnya pembelajaran matematika dirumuskan dalam National

Council of Teacher of Mathematics (NCTM: 2000) yaitu (1) belajar untuk

berkomunikasi (mathematical communication); (2) belajar untuk bernalar (mathematical reasoning); (3) belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); (4) belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connection); dan (5) belajar untuk mempresentasikan ide-ide (mathematical representation).

Supaya tujuan pendidikan dan semua kompetensi tersebut dapat tercapai, guru hendaknya dapat menciptakan suasana belajar yang memungkinkan siswa belajar secara aktif dengan cara mengkonstruksi, menemukan dan mengembangkan pengetahuannya. Karena mengajar matematika tidak sekedar menyusun urutan informasi, tetapi perlu meninjau relevansinya bagi kegunaan dan kepentingan siswa dalam kehidupan. Dengan belajar matematika diharapkan siswa mampu menyelesaikan masalah, menemukan dan mengkomunikasikan ide-ide yang muncul dalam benak siswa.

Sumarmo (2012) menyatakan bahwa pembelajaran matematika diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang. Untuk kebutuhan masa kini pembelajaran matematika mengarah pada pemahaman konsep dan ide matematika yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematik dan ilmu pengetahuan lainnya. Sedangkan untuk kebutuhan masa yang akan datang mempunyai arti yang lebih luas yaitu bahwa pembelajaran matematika memberikan kemampuan nalar yang logis, sistematik, kritis dan cermat, menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa keindahan terhadap keteraturan sifat matematika, dan mengembangkan sikap


(15)

objektif dan terbuka yang diperlukan dalam mengahadapi masa depan yang selalu berubah.

Tetapi di sisi lain matematika merupakan pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa. Ruseffendi (2005) menyatakan bahwa matematika (ilmu pasti) bagi anak-anak pada umumnya merupakan pelajaran yang tidak disenangi, kalau bukan pelajaran yang dibenci. Hal tersebut salah satunya dikarenakan kemampuan siswa terhadap matematika berbeda-beda serta lingkungan yang kurang mendukung bagi siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran.

Lingkungan yang kurang mendukung salah satunya adalah aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih menggunakan pembelajaran langsung. Menurut Majid (2013) pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang berpusat pada guru. Dalam pembelajaran langsung guru menyampaikan materi dalam format yang terstruktur, mengarahkan kegiatan para siswa, dan menguji keterampilan siswa melalui latihan-latihan di bawah bimbingan dan arahan guru.

Usdiyana, dkk (dalam Indrajaya, 2011) menyatakan bahwa jika guru bertindak hanya sebagai penyampai informasi sementara siswa pasif mendengarkan dan menyalin, sesekali guru bertanya dan siswa menjawab, guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan memberi soal latihan yang sifatnya rutin, kurang melatih kemampuan matematis siswa. Aktivitas pembelajaran seperti ini mengakibatkan terjadinya proses penghafalan konsep dan prosedur, pemahaman konsep matematika yang rendah, tidak dapat menggunakannya jika diberikan permasalahan yang agak kompleks, siswa menjadi robot yang harus mengikuti aturan atau prosedur yang berlaku sehingga terjadilah pembelajaran mekanistik, pembelajaran bermakna yang diharapkan tidak terjadi.

Berdasarkan hal tersebut, perlu dikembangkan proses pembelajaran yang dapat mewujudkan pandangan konstruktivisme, yaitu mengaitkan materi dengan konteks kehidupan nyata atau kehidupan sehari-hari siswa. Dengan cara tersebut diharapkan dapat memberikan alternatif bagi guru dalam


(16)

menyampaikan pembelajarannya di kelas, sehingga proses belajar yang biasanya berpusat pada guru, perlahan-lahan dapat tergantikan dengan pembelajaran yang lebih berpusat pada siswa, di mana siswa sendiri yang berusaha untuk mengkonstruksi pengetahuannya.

Brunner (Suherman, dkk: 2003) menyatakan, pembelajaran matematika merupakan usaha untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan melalui proses, karena mengetahui adalah suatu proses bukan suatu produk. Proses Konstruksi menurut Von Glasersfeld (Suparno: 1997) diperlukan beberapa kemampuan, yaitu (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman; (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan; dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain. Menurut Piaget (Suherman, dkk: 2003) Pengetahuan atau kemampuan tidak dapat diperoleh dari membaca atau mendengarkan orang bicara tetapi dibentuk dari tindakan seseorang terhadap suatu obyek. Kemudian Vygotsky (Suparno: 1997) menyatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi sosial bersama orang lain yang lebih mengerti dan paham akan pengetahuan tersebut. Proses tersebut dimulai dari pengalaman, sehingga siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang harus dimilikinya. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu pemahaman diperoleh oleh siswa melalui suatu rangkaian proses yang dilaluinya saat belajar mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan berinteraksi dengan orang lain yang lebih memahami permasalahannya, sehingga siswa dapat membentuk pengetahuan dan pemahaman dari apa yang dialaminya.

Kemampuan pemahaman dan komunikasi merupakan kemampuan yang harus dimiliki siswa karena pemahaman merupakan pondasi dalam mengembangkan pembelajaran matematika. O’Connell (Sari, 2012) menyatakan bahwa dengan pemahaman matematis, siswa akan lebih mudah dalam memecahkan permasalahan karena siswa akan mampu mengaitkan serta memecahkan permasalahan tersebut dengan berbekal konsep yang sudah


(17)

dipahaminya. Sedangkan kemampuan komunikasi merupakan kemampuan yang termasuk dalam berpikir tingkat tinggi.

Kenyataan di lapangan kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematis siswa masih belum sesuai dengan harapan. Hal ini salah satunya dikarenakan kurikulum yang selalu berubah-ubah dan berdasarkan beberapa peneliti terdahulu. Di antaranya hasil penelitian Qohar (2010) yang meneliti tentang kemampuan pemahaman matematis siswa SMP. Dari penelitian itu, Qohar menyimpulkan bahwa rata-rata kemampuan pemahaman kelas eksperimen dan kelas kontrol sama-sama rendah. Penelitian Nanang (2009) yang meneliti tentang kemampuan pemahaman siswa SMP, menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman siswa juga tidak tinggi. Begitu juga dengan hasil penelitian Hendriana (2009) yang menyimpulkan bahwa secara keseluruhan rata-rata kemampuan matematis siswa terjadi peningkatan yang tidak terlalu tinggi setelah diberi perlakuan. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa belum sesuai dengan harapan.

Hasil penelitian Setiawan (2008) menemukan bahwa perbedaan rerata skor kemampuan komunikasi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sekitar 20%. Jika ditelaah berdasarkan kualifikasi sekolah dan berpatokan pada batas ketuntasan minimal sebesar 60%, ternyata pada kualifikasi sekolah baik hanya 9 orang (30%) siswa dinyatakan tuntas dan sisanya (70%) tidak tuntas untuk kelas eksperimen, sedangkan pada kelas kontrol semua siswa (100%) tidak tuntas. Sedangkan hasil penelitian Qohar (2010) menemukan bahwa kemampuan komunikasi matematika siswa masih kurang, baik dalam melakukan komunikasi secara lisan ataupun tulisan. Hal ini karena siswa tidak dibiasakan untuk belajar mengkomunikasikan ide atau gagasannya dalam pembelajaran sehingga siswa cenderung pasif, hanya mendengarkan apa yang disampaikan guru tanpa mau bertanya atau mengemukakan pendapatnya. Hasil penelitian Subagiyana (2009), menyatakan bahwa kemampuan pemahaman dan komunikasi siswa kelas eksperimen lebih baik secara signifikan daripada kelas kontrol. Namun hasil yang ditunjukan belum


(18)

memenuhi harapan karena masih berada pada kategori rendah. Begitu pula hasil penelitian Emay (2011), yang menyatakan bahwa walaupun peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol, tapi rata-rata peningkatan kedua kelompok tersebut berada pada katagori sedang. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti merasa bahwa kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis masih perlu ditingkatkan.

Selain kemampuan pemahaman dan komunikasi, terdapat aspek psikologis yang turut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan seseorang dalam memahami matematika dengan baik. Aspek psikologis tersebut adalah

self-concept. Burns (1993) menyatakan bahwa konsep diri adalah seperangkat

sikap yang bersipat dinamis dan memotivasi diri seseorang. Purkey, et. Al (Burns: 1993) menyatakan bahwa konsep diri yang rendah cenderung menghasilkan pencapaian prestasi yang rendah dan tingkat penampilan yang kurang baik, sedangkan orang yang mempunyai konsep diri yang positif mampu membuat penilaian yang lebih positif dan prestasi akademik yang lebih baik.

Komala (2012) menyatakan bahwa keberhasilan seorang siswa mengikuti pelajaran di sekolah secara umum merupakan ukuran dari berhasil atau tidaknya seorang siswa mencapai tujuan pembelajarannya. Keberhasilan dan kegagalan yang dialami oleh siswa dapat dipandang sebagai suatu pengalaman belajar. Dari pengalaman belajar inilah akan menghasilkan perubahan tingkah laku, tingkat pengetahuan atau pemahaman terhadap sesuatu ataupun tingkat keterampilannya.

Pengalaman belajar siswa dapat dinilai dari prestasi belajarnya. Karenanya diperlukan konsep diri (self-concept) yang positif terhadap pelajaran sesuai dengan apa yang sebenarnya ada pada diri siswa. Harter (Saputra dkk, 2012) berpendapat bahwa self concept memberi kontribusi yang menarik yang akan ditentukan oleh tingkat kepentingan yang kita tetapkan untuk ciri khas masing-masing pribadi. Ketika kita menggambarkan penilaian kita memuaskan maka kita memperoleh self-concept yang positif, dan


(19)

sebaliknya jika penilaian kita tidak memuaskan maka kita memperoleh

self-concept yang negatif.

Sebagai upaya agar kemampuan pemahaman, komunikasi dan

self-concept siswa berkembang, maka pembelajaran yang dilaksanakan harus

membuat siswa aktif, sehingga siswa leluasa untuk berpikir dan mempertanyakan kembali apa yang mereka terima dari gurunya. Ruseffendi (2006) mengatakan bahwa: “Suatu kelompok siswa bisa belajar aktif bila dalam kegiatan belajarnya ada mobilitas, misalnya nampak dari interaksi yang terjadi antar siswa itu sendiri, komunikasi yang terjadi itu tidak hanya satu arah dari guru ke siswa tetapi banyak arah”. Untuk itu perlu dilakukan inovasi dalam pembelajaran untuk mencari penyelesaian yang terbaik guna meningkatkan kreativitas berupa pengembangan kemampuan pemahaman dan komunikasi dalam pembelajaran matematika serta pengembangan

self-concept siswa.

Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba mencari solusi alternatif. Slavin (2009) menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Sementara Majid (2013) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama untuk mencapai tujuan pembelajaran dimana para siswa belajar dan bekerjasama dalam kelompok kecil secara kolaboratif, yang anggotanya terdiri dari 4-6 orang, dengan struktur kelompok yang heterogen. Rusman (2010) meyatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif, guru lebih berperan sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai jembatan penghubung ke arah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri. Guru tidak hanya memberikan pengetahuan pada siswa, tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Siswa mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam menerapkan ide-ide mereka.


(20)

Kusfianti (2013) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe

two-stay two-stray merupakan alternatif yang akan membuat siswa aktif

dalam proses pembelajaran di kelas dan dapat menjadi solusi dalam menyelesaikan permasalahan. Selain itu dengan pembelajaran kooperatif tipe

two-stay two-stray akan terjadi interaksi multi arah antara siswa dengan guru

dan siswa dengan siswa lainnya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray diharapkan menjadi solusi alternatif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa karena dapat memicu keaktifan siswa di dalam kelas yang sasarannya dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematis serta

self-concept siswa. Dengan demikian, penulis mengadakan penelitian dengan judul: ”Peningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis serta Self-Concept Siswa SMP Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe

Two-Stay Two-Stray”. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran langsung?

2. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran langsung?

3. Apakah peningkatan proporsi self-concept siswa yang belajar melalui pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran langsung?


(21)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang

belajar melalui pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray dengan siswa yang memperoleh pembelajaran langsung.

2. Menganalisis peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray dengan siswa yang memperoleh pembelajaran langsung.

3. Menganalisis peningkatan proporsi self-concept siswa yang belajar melalui pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray dengan siswa yang memperoleh pembelajaran langsung.

D. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Manfaat/signifikansi penelitian dapat dilihat dari beberapa aspek berikut :

1. Aspek Teori: Sebagai upaya untuk meningkatan kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematis serta meningkatkan self-concept siswa. Dalam hal ini penulis ingin meneliti peningkatan kemampuan pemahaman, komunikasi dan self-concept melalui model pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray.

2. Aspek Kebijakan: Menurut Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP), matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Untuk menguasai dan mencipta teknologi dimasa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan pemahaman dan komunikasi sangat berpengaruh besar dalam peningkatan prestasi belajar siswa. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam upaya meningkatan prestasi belajar siswa.


(22)

3. Aspek Praktik: Model pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray diharapkan menjadi acuan bagi guru matematika sebagai alternatif untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis serta

self-concept siswa

4. Aspek Isu serta Aksi Sosial: Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua sebagai informasi dan memberikan kesempatan bagi guru matematika untuk dapat mengenal dan mengembangkan model pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray dalam upaya meningkatkan kemampuan pemahaman, komunikasi, dan self-concept siswa. Hal ini diperlukan sebagai salah satu metode alternatif dalam menyampaikan informasi kepada siswa, khususnya dalam pembelajaran matematika.

D. Struktur Organisasi Tesis

Adapun struktur organisasi pada tesis ini adalah sebagai berikut : Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari: Latar belakang masalah, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi tesis; Bab II Kajian pustaka, kerangka pemikiran, dan hipotesis yang terdiri dari: kemampuan pemahaman matematis, kemampuan komunikasi matematis, self-concept siswa, model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray, pembelajaran langsung, penelitian yang relevan, teori yang mendukung, kerangka berpilir dan hipotesis penelitian; Bab III Metode penelitian, yang terdiri dari: lokasi dan subjek populasi/sampel penelitian , desain, metode, definisi operasional, instrumen, proses pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data, dan analisis data; Bab IV Hasil penelitian dan pembahasan, yang terdiri dari: pengolahan atau analisis data dan pembahasan atau analisis temuan dan Bab V kesimpulan dan saran.


(23)

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Populasi/Sampel Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di salah satu SMP Negeri di Kabupatan Garut. Secara geografis sekolah ini terletak di kaki Gunung Papandayan dengan panorama alam pegunungan yang indah. Jarak dari Kota Garut sekitar 20 Km ke arah selatan. Meskipun sekolah ini terletak di kaki gunung, pasilitas yang ada di sekolah cukup memadai diantaranya tersedianya komputer dan Wi-fi, dan didukung oleh jumlah tenaga pengajar yang cukup dan berkompeten di bidangnya masing-masing.

2. Populasi/Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMPN I Cisurupan yang berjumlah 9 kelas pada semester ganjil Tahun Pelajaran 2013/2014. Sampel penelitiannya diambil dua kelas, yaitu kelas VIII H dan kelas VIII I. Kelas VIII H sebagai kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray (TSTS) dan kelas VIII I sebagai kelas kontrol yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung (direct instruction) atau DI.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini berjenis kuasi eksperimen. Desain penelitian yang digunakan adalah pretest-postest control group design. Dalam penelitian ini terdapat dua kelas yang dipilih tidak secara acak, melainkan peneliti menerima subjek seadanya. Sebelum perlakuan diberikan, pada kedua kelas dilakukan pretes (tes awal) untuk mengukur kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis awal siswa. Setelah mendapat perlakuan, dilakukan postes (tes akhir) untuk melihat kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa setelah diberikan perlakuan.


(25)

Penelitian ini menggunakan kuasi-eksperimen dengan disain kelompok kontrol tidak ekivalen (the non-equivalent control grup design) yang dapat digambarkan sebagai berikut (Ruseffendi, 2010) :

O X O

O O Keterangan:

O: Pretest dan postest kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis

X: Perlakuan dengan pembelajaran kooperatif tipe TSTS --- subjek tidak dipilih secara acak

C. Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peningkatan kemampuan pemahaman, kemampuan komunikasi dan self-concept siswa SMP melalui model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Dalam penelitian ini pengukuran kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematis serta

self-concept siswa dilakukan sebelum dan sesudah pembelajaran. Tujuan

diberikannya pengukuran sebelum pembelajaran (pretes) adalah untuk melihat kesetaraan kemampuan awal kedua kelas, sedangkan tujuan pengukuran setelah pembelajaran (postes) adalah untuk melihat apakah terjadi peningkatan antara siswa yang diberi perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dengan siswa yang diberi perlakuan secara DI.

D.Definisi Operasional

1. Kemampuan Pemahaman Matematis

Kemampuan pemahaman matematis adalah kemampuan siswa dalam mengenal, memahami, dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan ide matematika

Kemampuan pemahaman matematis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika, memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep, dan menerapkan konsep secara algoritma.


(26)

2. Kemampuan Komunikasi Matematis

Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan ide, atau gagasannya secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar dan dapat menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.

Kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi dengan gambar, tabel, atau grafik; kemampuan siswa dalam menjelaskan ide atau situasi dari suatu gambar atau grafik yang diberikan dengan kata-kata sendiri; kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi ke dalam bentuk model matematika.

3. Self-concept siswa

Self-Concept adalah seperangkat sikap yang bersipat dinamis dan

memotivasi diri seseorang secara menyeluruh tentang totalitas diri baik positif maupun negatif mengenai dimensi fisik, psikis, sosial, pengharapan, dan penilaian terhadap diri sendiri.

Self-Concept yang dimaksud dalam penelitian ini adalah:

a. Pengetahuan, mengenai apa yang siswa ketahui tentang matematika. Indikatornya adalah pandangan siswa terhadap matematika dan pandangan siswa terhadap kemampuan matematis yang dimilikinya. b. Pengharapan, mengenai pandangan siswa tentang pembelajaran

matematika yang ideal. Indikatornya adalah manfaat dari matematika dan pandangan siswa terhadap pembelajaran matematika.

c. Penilaian, seberapa besar siswa menyukai matematika. Indikatornya adalah ketertarikan siswa terhadap matematika dan ketertarikan siswa terhadap soal-soal pemecahan masalah matematis.

4 Pembelajaran Kooperatif Tipe Two-Stay Two-Stray (TSTS)

Pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray (TSTS) adalah suatu model pembelajaran yang bertujuan memberi kesempatan kepada setiap kelompok untuk membagikan hasil diskusi kelompoknya kepada kelompok lain.


(27)

Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe TSTS adalah sebagai berikut:

a. Siswa bekerja sama dalam kelompok yang terdiri dari empat orang b. Setelah menyelesaikan tugas kelompoknya, dua orang dari

masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya untuk bertamu ke kelompok yang lain.

c. Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja mereka ke tamunya

d. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompoknya untuk melaporkan temuan mereka dari kelompok lain.

e. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerjanya.

5. Pembelajaran Langsung

Pembelajaran langsung yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang banyak diarahkan oleh guru. Dalam hal ini guru menyampaikan materi dengan format yang terstruktur, mengarahkan kegiatan para siswa, dan menguji ketrampilan siswa melalui latihan-latihan di bawah bimbingan dan arahan guru.

6. Peningkatan

Peningkatan yang dimaksud adalah peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis yang ditinjau berdasarkan gain ternormalisasi dari skor pretes dan postes siswa. Rumus gain ternormalisasi adalah sebagai berikut:

Gain ternormalisasi (g) =

(Meltzer: 2002)

Tabel 3.1

Kategori Gain Ternormalisasi Gain Ternormalisasi (g) Kriteria

g 0,7 Tinggi

0,3 g < 0,7 Sedang


(28)

E.Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes dan non tes. Instrumen tes untuk mengukur kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa, sedangkan instrumen non tes untuk mengukur skala

self-consept (konsep diri) siswa.

1. Tes Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa

Tes adalah alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan (Arikunto, 2011). Tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman matematis siswa terdiri dari 5 soal uraian.

Sebelum penyusunan tes, terlebih dahulu membuat kisi-kisi soal yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator kemudian dilanjutkan dengan pembuatan soal beserta alternatif jawaban masing-masing butir soal. Sebelum tes diberikan pada subjek penelitian terlebih dahulu dikonsultasikan dengan dosen pembimbing dan diujicobakan kepada siswa lain yang sudah mendapatkan materi fungsi yaitu pada kelas IX. Hasil ujicoba tersebut lalu dicek validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran, setelah itu dikonsultasikan kembali dengan dosen pembimbing.

Penilaian yang diberikan supaya objektif, kriteria pemberian skor berpedoman pada Holistic Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh Cai, Lane, dan Jakabcsin (dalam Sriwiani, 2009) yang kemudian diadaptasi. Kriteria penskoran untuk tes kemampuan pemahaman dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.2

KriteriaPenskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Pemahaman Matematis

Skor Respon Siswa

0 Tidak ada jawaban/salah menginterpretasikan

1 Jawaban sebagian besar mengandung perhitungan yang salah


(29)

penggunaan algoritma lengkap, namun mengandung perhitungan yang salah

3

Jawaban hampir lengkap (sebagian petunjuk diikuti), penggunaan algoritma secara lengkap dan benar, namun mengandung sedikit kesalahan

4

Jawaban lengkap (hampir semua petunjuk soal diikuti), penggunaan algoritma secara lengkap dan benar, dan melakukan perhitungan dengan benar

2. Tes Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa

Tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa terdiri dari 5 soal uraian. Langkah-langkah tes kemampuan komunikasi sama seperti pada tes kemampuan pemahaman, yaitu sebelum penyusunan tes, terlebih dahulu membuat kisi-kisi soal yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator kemudian dilanjutkan dengan pembuatan soal beserta alternatif jawaban masing-masing butir soal.

Sebelum tes diberikan pada subjek penelitian terlebih dahulu dikonsultasikan dengan dosen pembimbing dan diujicobakan kepada siswa lain yang sudah mendapatkan materi fungsi yaitu pada kelas IX. Hasil ujicoba tersebut lalu dicek validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran, setelah itu dikonsultasikan kembali dengan dosen pembimbing.

Penilaian yang diberikan supaya objektif, kriteria pemberian skor berpedoman pada Holistic Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh Cai, Lane, dan Jakabcsin (dalam Sriwiani, 2009) yang kemudian diadaptasi. Kriteria penskoran untuk tes kemampuan pemahaman dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.3

Kriteria Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Komunikasi Matematis


(30)

Skor Respon Siswa

0 Tidak ada jawaban/salah menginterpretasikan

1

Hanya sedikit yang benar dari penjelasan konsep, ide atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara matematik dan gambar yang dilukis.

2

Hanya sebagian yang benar dari penjelasan konsep, ide atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara matematik masuk akal, dan melukiskan gambar.

3

Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta dan hubungan dalam menyelesaikan soal, dijawab dengan lengkap dan benar namun mengandung sedikit kesalahan

4

Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan dalam menyelesaikan soal, dijawab dengan lengkap, jelas dan benar

3. Angket Skala Self-Concept Siswa

Self-concept pada penelitian ini mengacu pada tiga dimensi pengukuran

yang dilakukan Calhoun (Saputra: 2012) yaitu: Pengetahuan, harapan dan penilaian. Skala yang digunakan untuk mengukur self-concept siswa adalah skala Likert. Ruseffendi (2010) mengemukakan bahwa skala Likert disusun dalam bentuk suatu pernyataan yang diikuti oleh lima respon yang menunjukan tingkatan, yaitu: sangat setuju (SS), setuju (S), tak memutuskan (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Masing-masing jawaban dikaitkan dengan angka atau nilai, misalnya SS = 5, S = 4, N = 3, ST = 2, dan STS = 1, bagi pernyataan yang mendukung sikap positif dan nilai-nilai sebaliknya, yaitu: SS = 1, S = 2, N = 3, TS = 4, dan STS = 5 bagi pernyataan yang mendukung sikap negatif. Jadi, skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert yang terdiri dari pernyataan positif dan pernyataan negatif.


(31)

Lembar observasi digunakan untuk mengamati aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Aktivitas yang diamati adalah keaktifan siswa dalam memperhatikan penjelasan guru; memiliki keberanian untuk bertanya; berdiskusi dengan kelompoknya dalam menyelesaikan LKS; berusaha untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang terdapat dalam LKS; bertanya apabila ada hal yang tidak dimengerti; mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan kelas; memperhatikan saat ada teman yang presentasi di depan kelas; memberikan respon atas tanggapan yang diberikan oleh kelompok lain; bersama-sama membuat kesimpulan diakhir pembelajaran.

4. Pengembangan Bahan Ajar

Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada penelitian ini, menggunakan bahan ajar yang dikembangkan dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran yang disusun dengan terlebih dahulu dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Setiap rencana pelaksanaan pembelajaran yang dibuat dilengkapi dengan lembar kerja siswa (LKS) yang harus diselesaikan oleh masing-masing kelompok.

Bahan ajar yang dikembangkan pada penelitian ini bertujuan untuk membantu siswa dalam: (1) mengembangkan kemampuan pemahaman, seperti kemampuan siswa dalam menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika, memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep, dan menerapkan konsep secara algoritma; (2) mengembangkan kemampuan komunikasi, seperti kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi dengan gambar, tabel, atau grafik; kemampuan siswa dalam menjelaskan ide atau situasi dari suatu gambar atau grafik yang diberikan dengan kata-kata sendiri; kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi ke dalam bentuk model matematika.

F. Proses Pengembangan Instrumen

1. Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis

Sebelum soal dipergunakan dalam penelitian, soal tersebut diuji cobakan terlebih dahulu pada siswa yang satu tingkat lebih tinggi yaitu siswa yang sudah mendapatkan materi fungsi. Kemudian data yang diperoleh dari hasil


(32)

ujicoba tes kemampuan pemahaman dan komunikasi dianalisis dengan menggunakan program Microsoft Office Excel 2007 untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran. Secara lengkap, proses penganalisisan data hasil ujicoba sebagai berikut:

a. Analisis Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Menurut Suherman (2003) suatu alat evaluasi disebut valid (absah atau sahih) apabila alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Untuk menghitung validitas alat ukur digunakan rumus korelasi Product Moment Pearson (Suherman, 2003) yaitu:

rxy =

  

 

 

 2 2 2 2

.n Y Y

X X n Y X XY n

Keterangan :

rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y, dua

variabel yang dikorelasikan. X = Skor item butir soal

Y = Jumlah skor total tiap soal n = Jumlah responden

XY = Perkalian skor per item (X) dan Skor total perorangan (Y)

X = Jumlah skor per item

Y = Jumlah skor total per item

XY = Jumlah perkalian skor per item (X) dan skor total perorangan (Y)

2

X = Jumlah kuadrat skor per item

2

Y = Jumlah kuadrat skor per item

Setelah dilakukan penghitungan koefisien korelasi untuk setiap butir tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis, lalu dilakukan pengujian signifikansi koefisien korelasi tersebut dengan menggunakan uji t (Sugiyono, 2013) dengan rumus:


(33)

t = √ √ Keterangan : t = daya beda

r = koefisien korelasi n = banyaknya subyek

Nilai t hitung tersebut selanjutnya dibandingkan dengan t tabel dengan tingkat kesalahan 5% dan derajat kebebasan = n-2. Jika thitung > ttabel maka

koefisien korelasi signifikan (valid).

Hasil uji coba dan analisis validitas butir soal tes kemampuan pemahaman dan komunikasi, diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 3.4

Hasil Uji Validitas Butir Soal Tes Kemampuan Pemahaman

No Soal Koef.

Korelasi t hitung t tabel Interpretasi

1 0,778 7,231 2,032 Valid

2 0,633 4,766 2,032 Valid

3 0,788 7,459 2,032 Valid

4 0,668 5,236 2,032 Valid

5 0,764 6,911 2,032 Valid

Tabel di atas memperlihatkan sebaran koefisien korelasi berkisar antara 0,633 sampai dengan 0,788. Setelah dilakukan pengujian dengan menggunakan taraf signifikansi 5% diperoleh nilai thitung berkisar antara 4,766 sampai dengan

7,459; sedangkan nilai ttabel dengan derajat kebebasan (n-2) yaitu sebesar 2,032.

Dengan demikian semua nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel nya. Hal ini

menunjukkan semua butir soal pada instrumen kemampuan pemahaman termasuk ke dalam kategori valid.

Tabel 3.5

Hasil Uji Validitas Butir Soal Tes Kemampuan Komunikasi


(34)

Korelasi

6 0,779 7,250 2,032 Valid

7 0,786 7,413 2,032 Valid

8 0,837 8,927 2,032 valid

9 0,676 5,346 2,032 valid

10 0,648 4,961 2,032 valid

Tabel di atas memperlihatkan sebaran koefisien korelasi berkisar antara 0,648 sampai dengan 0,837. Setelah dilakukan pengujian dengan menggunakan taraf signifikansi 5% diperoleh nilai thitung berkisar antara 4,961 sampai dengan

8,927; sedangkan nilai ttabel dengan derajat kebebasan (n-2) yaitu sebesar 2,032.

Dengan demikian semua nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel nya. Hal ini

menunjukkan semua butir soal pada instrumen kemampuan komunikasi termasuk ke dalam kategori valid.

b. Analisis Reliabilitas

Reliabilitas adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukur atau ketetapan siswa dalam menjawab alat evaluasi tersebut. Menurut Ruseffendi (2010) suatu alat evaluasi (tes atau non tes) dikatakan baik bila antara lain, reliabilitasnya tinggi

Pengujian reliabilitas bertujuan untuk melihat ketetapan atau keajegan alat ukur yang digunakan.

Mengukur reliabilitas bentuk soal uraian, digunakan rumus Cronbach

Alpha (Suherman 2003), yaitu :

r11 = reliabilitas instrum

n = banyaknya butir soal

 Si2 = jumlah varians skor setiap item item                

2

2 11 1 1 t i s s n n r


(35)

St2 = varians skor total

Menginterpretasikan derajat reliabilitas instrumen digunakan tolak ukur yang ditetapkan J.P. Guilford (Suherman, 2003) sebagai berikut:

Tabel 3.6

Interpretasi Reliabilitas J.P. Guilford

Nilai Interpretasi

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

Berdasarkan hasil pengujian diperoleh koefisien reliabilitas tes kemampuan pemahaman dan komunikasi sebagai berikut:

Tabel 3.7

Hasil Uji Reliabilitas Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis

No rxy Interpretasi Keterangan

1 0,65 Tinggi Pemahaman Matematis

2 0,77 Tinggi Komunikasi Matematis

Berdasarkan tabel di atas, tes kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi reliabilitasnya termasuk pada kategori tinggi.


(36)

c. Analisis Daya Pembeda

Daya pembeda adalah pengukuran sejauh mana suatu butir soal mampu membedakan siswa yang sudah menguasai materi dengan siswa yang belum/kurang menguasai materi berdasarkan kriteria tertentu.

Rumus untuk menghitung daya pembeda adalah: Dp=

Keterangan:

Dp = Indeks daya pembeda suatu butir soal.

SA= Jumlah skor kelompok atas

SB = Jumlah skor kelompok bawah

IA = Jumlah skor ideal salah satu kelompok pada butir soal yang dipilih.

Oleh karena jumlah siswa kelompok atas sama dengan jumlah siswa kelompok bawah maka diambil salah satu saja.

Interpretasi perhitungan klasifikasi daya pembeda menurut Suherman (2003) adalah sebagai berikut:

Tabel 3.8

Klasifikasi Interpretasi Daya Pembeda

Nilai Dp Interpretasi

Dp 0,00 Sangat Jelek

0,00 < Dp 0,20 Jelek

0,20 < Dp 0,40 Cukup

0,40 < Dp 0,70 Baik

0,70 < Dp 1,00 Sangat Baik

Daya pembeda instrumen kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi disajikan pada tabel 3.9 dan 3.10 berikut:


(37)

Tabel 3.9

Hasil Uji Daya Pembeda Tes Kemampuan Pemahaman

No SA SB IA DP Interpretasi

1 37 19 40 0,45 Baik

2 33 16 40 0,43 Baik

3 34 18 40 0,40 Cukup

4 30 19 40 0,28 Cukup

5 32 13 40 0,48 Baik

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa untuk soal tes kemampuan pemahaman matematis yang terdiri dari lima butir soal, terdapat tiga soal yang daya pembedanya baik yaitu soal nomor 1, 2 dan soal nomor 5, sedangkan soal nomor 3 dan 4 daya pembedanya cukup.

Hasil perhitungan daya pembeda untuk tes kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.10

Hasil Uji Daya Pembeda Tes Kemampuan Komunikasi

No SA SB IA DP Interpretasi

6 40 13 40 0,68 Baik

7 36 20 40 0,40 Cukup

8 36 18 40 0,45 Baik

9 31 16 40 0,38 Cukup

10 28 11 40 0,43 Baik

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa untuk soal tes kemampuan komunikasi matematis yang terdiri dari lima butir soal, terdapat tiga soal yang daya pembedanya baik yaitu soal nomor 6, 8 dan soal nomor 10, sedangkan soal nomor 7 dan nomor 9, daya pembedanya cukup.

d. Analisis Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran digunakan untuk mengklasifikasikan setiap item instrumen tes kedalam tiga kelompok tingkat kesukaran untuk mengetahui


(38)

apakah sebuah instrumen tergolong mudah, sedang atau sukar. Tingkat kesukaran tes dihitung dengan rumus:

TK= Keterangan:

TK = Tingkat kesukaran

SA = Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar

SB = Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan

benar

2IA = IA + IB = Jumlah skor ideal kelompok atas dan kelompok bawah

Interpretasi perhitungan klasifikasi indeks kesukaran menurut Suherman (2003) adalah sebagai berikut:

Tabel 3.11

Interpretasi Tingkat Kesukaran

Nilai TK Interpretasi

TK = 0,00 Soal terlalu sukar

0,00 < TK 0,30 Soal sukar

0,30 < TK 0,70 Soal sedang

0,70 <TIK < 1,00 Soal mudah

TK = 1,00 Soal terlalu

mudah

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh tingkat kesukaran tiap butir soal tes kemampuan pemahaman dan tes kemampuan komunikasi, seperti tampak pada tabel berikut:

Tabel 3.12

Hasil Uji Tingkat Kesukaran Butir Soal Pemahaman Matematis

No SA SB IA IB IK Interpretasi

1 37 19 40 40 0,70 Sedang

2 33 16 40 40 0,61 Sedang


(39)

4 30 19 40 40 0,61 Sedang

5 32 13 40 40 0,56 Sedang

Tabel 3.13

Hasil Uji Tingkat Kesukaran Butir Soal Komunikasi Matematis

No SA SB IA IB TK Interpretasi

6 40 13 40 40 0,66 Sedang

7 36 20 40 40 0,70 Sedang

8 36 18 40 40 0,68 Sedang

9 31 16 40 40 0,59 Sedang

10 28 11 40 40 0,49 Sedang

Dari kedua tabel di atas, dapat dilihat bahwa tingkat kesukaran tes kemampuan pemahaman dan tes kemampuan komunikasi matematis, semuanya mempunyai tingkat kesukaran sedang.

Berdasarkan hasil analisis keseluruhan terhadap hasil ujicoba tes kemampuan pemahaman dan tes kemampuan komunikasi matematis, hasil analisis validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran, maka dapat disimpulkan bahwa soal tersebut layak dipakai sebagai acuan untuk mengukur kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematis siswa.

2. Angket Self-Concept Siswa

Skala self-concept siswa digunakan untuk mengetahui sikap siswa terhadap pelajaran matematika. Self-concept ini dibagikan kepada siswa kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan siswa


(40)

kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran langsung sebelum dan sesudah pembelajaran.

Self-concept dalam penelitian ini terdiri dari 30 pernyataan dengan empat

pilihan jawaban, yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat tidak setuju). Pilihan ragu-ragu (R) tidak digunakan, untuk menghindari jawaban aman, sekaligus melatih siswa untuk bersikap jujur terhadap apa yang menjadi pilihannya. Pernyataan positif dan negatif diberi skor dengan cara yang berbeda. Pernyataan positif, pemberian skornya adalah SS diberi skor 4, S diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS diberi skor 1. Sedangkan untuk pernyataan negatif, pemberian skornya adalah SS diberi skor 1, S diberi skor 2, TS diberi skor 3, dan STS diberi skor 4.

Sebelum angket dipergunakan dalam penelitian, dilakukan uji teoritik dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan uji coba terbatas pada dua orang dosen pembimbing. Tujuan dari uji coba ini adalah untuk memperoleh gambaran apakah pernyataan-pernyataan self-concept dapat dipahami oleh siswa Sekolah Menengah Pertama. Berdasarkan hasil uji teoritik tersebut terdapat beberapa item yang kurang tepat dari segi bahasa sehingga pembimbing menyarankan penulis untuk memperbaiki item tersebut sebelum diujicobakan kepada siswa. Setelah instrumen self-concept dinyatakan layak untuk digunakan, kemudian diuji cobakan pada siswa yang satu tingkat lebih tinggi yaitu siswa kelas III.

Data yang diperoleh dari hasil ujicoba angket self-concept dianalisis dengan menggunakan program Anates V.4 For Windows dan Microsoft Office

Excel 2007 untuk mengetahui validitas dan reliabilitas tes. Secara lengkap,

proses penganalisisan data hasil ujicoba sebagai berikut:

a. Analisis validitas Skala Self-Concept Siswa

Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B Rangkuman hasil analisis validitas self-concept disajikan pada Tabel 3.16 berikut:

Tabel 3.14


(41)

No Validitas Ketepatan Keterangan

1 Tinggi Tepat dipakai

2 Cukup Tepat dipakai

3 Cukup Tepat dipakai

4 Rendah Tepat dipakai

5 Cukup Tepat dipakai

6 Cukup Tepat dipakai

7 Tinggi Tepat dipakai

8 Rendah Tepat dipakai

9 Tinggi Tepat dipakai

10 Sangat Rendah Tidak tepat direvisi

11 Cukup Tepat dipakai

12 Sangat Rendah Tidak tepat direvisi

13 Cukup Tepat dipakai

14 Cukup Tepat dipakai

15 Tinggi Tepat dipakai

16 Sangat Rendah Tidak tepat direvisi

17 Cukup Tepat dipakai

18 Cukup Tepat dipakai

19 Cukup Tepat dipakai

20 Cukup Tepat dipakai

21 Cukup Tepat dipakai

22 Cukup Tepat dipakai

23 Sangat Rendah Tidak tepat direvisi

24 Sangat Rendah Tidak tepat direvisi

25 Tinggi Tepat dipakai

26 Cukup Tepat dipakai

27 Sangat Rendah Tidak tepat direvisi

28 Sangat Rendah Tidak tepat direvisi


(42)

No Validitas Ketepatan Keterangan

30 Tinggi Tepat dipakai

b. Analisis Reliabilitas Skala Self-Concept Siswa

Hasil perhitungan menunjukan bahwa nilai reliabilitas adalah 0,91 Artinya nilai reliabilitas termasuk kategori sangat tinggi. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B

G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang diperoleh dalam penelitian ini dikelompokan dengan rincian sebagai berikut:

a. Data nilai kelas eksperimen dan kelas kontrol yang terdiri dari nilai pretes dan postes uji kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. b. Data skala self-concept siswa yang menggambarkan sikap siswa terhadap

pembelajaran matematik dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan lembar observasi.

H. Analisis Data

Data yang akan dianalisis adalah data kuantitatif berupa hasil tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa dan data deskriptif berupa hasi observasi dan angket skala self concept siswa. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan software SPSS 19 dan Microsoft Office Excel 2007.

Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji perbedaan rata-rata dari kedua kelompok sampel. Untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan, terlebih dahulu diuji normalitas data dan homogenitas varians. Data yang diperoleh secara jelas dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Data yang diperoleh dari hasil tes awal dan tes akhir dianalisis untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Skor yang diperoleh dari hasil tes sebelum dan sesudah pembelajaran kooperatif tipe TSTS dianalisa dengan cara membandingkan dengan skor siswa yang memperoleh pembelajaran DI. Besarnya


(43)

peningkatan sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (normalized gain) sebagai berikut:

Keterangan :

= Skor pretes

= Skor postes = Skor maksimum

Hasil perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi sebagai berikut:

Tabel 3.15

Skor Gain Ternormalisasi

N-Gain Interpretasi

g ≥ 0,7 Tinggi

0.3 ≤ g < 0,7 Sedang

g < 0,3 Rendah

Hipotesis statistik yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H0: =

H1 : 1 > 2

a. Hipotesis I

H0: Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang belajar

melalui pembelajaran kooperatif tipe TSTS sama dengan siswa yang memperoleh pembelajaran DI.

H1: Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang belajar

melalui pembelajaran kooperatif tipe TSTS lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran DI.

b. Hipotesis II

H0: Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar

melalui pembelajaran kooperatif tipe TSTS sama dengan siswa yang memperoleh pembelajaran DI.


(44)

H1: Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar

melalui pembelajaran kooperatif tipe TSTS lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran DI.

c. Hipotesis III

H0: Peningkatan proporsi self-concept siswa yang belajar melalui

pembelajaran kooperatif tipe TSTS sama dengan self-concept siswa yang memperoleh pembelajaran DI.

H1: Peningkatan proporsi self-concept siswa yang belajar melalui

pembelajaran kooperatif tipe TSTS lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran DI.

Adapun langkah-langkah uji perbedaan rata-rata sebagai berikut:

1. Menghitung rata-rata skor hasil pretes, postes, dan gain ternormalisasi. Adapun rumus rata-rata adalah:

̅ ∑ (Sudjana, 2005)

2. Menghitung simpangan baku pretes, postes, dan gain ternormalisasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

S =

∑ ̅

(Sudjana, 2005)

3. Menghitung statististik deskriptif tes awal dan tes akhir untuk memberikan gambaran umum kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran dilaksanakan dan kemampuan akhir setelah siswa diberi perlakuan.

4. Menguji normalitas data skor pretes, postes, dan gain ternormalisasi Uji normalitas diperlukan untuk menguji apakah data berdistribusi normal atau tidak. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H0 : sampel berdistribusi normal

H1 : sampel tidak berdistribusi normal

Pengujian normalitas data dengan bantuan program SPSS yaitu menggunakan uji Shapiro-Wilk, dengan kriteria pengujian jika nilai

probabilitas (sig) lebih besar dari α, maka H0 diterima yang berarti data


(45)

5. Jika data berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji homogenitas varians data skor pretes, postes, dan gain ternormalisasi

Uji ini digunakan untuk menguji kesamaan varians dari skor pretes, postes, dan gain ternormalisasi pada kedua kelas (kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Adapun hipotesis yang digunakan adalah:

H0: Kedua varians homogen

H1: Kedua varians tidak homogen

Uji homogenitas ini dengan menggunakan uji Levene dengan menggunakan SPSS 19 dengan kriteria pengujian adalah terima H0

apabila sig> 0,05

6. Apabila sebaran data berdistribusi normal dan mempunyai varians yang homogen maka dilanjutkan dengan uji perbedaan rata-rata uji-t yang rumusnya sebagai berikut:

t = ̅̅̅ ̅̅̅ √(n ) (n )

n n n n

(Sugiyono, 2013)

Keterangan:

̅ = rata-rata sampel pertama

̅ = rata-rata sampel kedua = varians sampel pertama = varians sampel kedua

n1 = banyaknya data pada sampel pertama

n2 = banyaknya data pada sampel kedua

Rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut: H0 : Tidak terdapat perbedaan rata-rata

H1 : Terdapat perbedaan rata-rata

Kriteria pengujian adalah terima H0 jika thitung < ttabel untuk taraf


(46)

distribusi data normal tetapi tidak homogen, digunakan uji hipotesis dengan uji t sebagai berikut:

t = ̅ ̅ √ n n

(Sugiyono, 2013)

Jika datanya tidak normal maka pengujiannya menggunakan uji non parametric yaitu uji Mann-Whitney

Keterangan:

Rx = Ranking data x

Ry = Ranking data y

nx dan ny= masing-masing jumlah data x dan y

N = nx + ny

Kriteria pengujian adalah terima H0 jika zhitung < ztabel untuk

taraf signifikansi = 0,05 7. Analisis skala self-concept

Analisis skala self-concept dilakukan untuk melihat peningkatan

self- concept siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Skala self-concept

siswa dibagi menjadi pernyataan positif dan pernyataan negatif. Untuk pernyataan positif, skor tiap alternatif (option) jawaban yaitu: Sangat Setuju (SS) = 5, Setuju (S) = 4, Ragu-ragu (RR) = 3, Tidak Setuju (TS) = 2, Sangat Tidak Setuju = 1. Sedangkan untuk butir pernyataan negatif, skor tiap alternatif (option) jawaban yaitu: Sangat Setuju (SS) = 1, Setuju (S) = 2, Ragu-ragu (RR) = 3, Tidak Setuju (TS) = 4, Sangat Tidak Setuju = 5.

Skor tiap butir pernyataan tersebut selanjutnya dijumlahkan menjadi skor total. Guna keperluan analisis data, untuk selanjutnya skor

4(( 1)1)

) 1 ( 2 1 2 2 2              

N N n n R R N N n n N n R z y x y x y x x x


(47)

total ini akan disusun berdasarkan urutan tertinggi ke urutan terendah dan akan dibagi atau dikatagorikan menjadi kelompok sikap positif untuk skor total di atas rata-rata dan kelompok sikap negatif untuk skor total di bawah rata-rata.

Perolehan skor siswa yang termasuk kategori tinggi, sedang dan rendah, dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut (Arifin, 2013): a. Menentukan skor maksimal ideal, yaitu:

Jumlah pernyataan x skor maksimal = 30 x 4 = 120 b. Menentukan skor minimal ideal

Jumlah pernyataan x skor minimal = 30 x 1 = 30 c. Menentukan rentang skor

kormaksimalideal skorminimalideal

= = 30

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, diperoleh kriteria self-concept siswa sebagai berikut:

Tabel 3.16

Kriteria Self-Concept siswa Rentang Skor Kategori

30-59 Rendah

60-89 Sedang

90-120 Tinggi

Selanjutnya untuk menghitung persentase data, menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

P = persentase jawaban f = Frekuensi jawaban


(48)

n = Banyaknya responden

Untuk melihat terdapat peningkatan atau tidak, dilanjutkan dengan uji proporsi satu pihak (Sudjana, 2005), adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan hipotesis statistik

Hipotesis statistik yang akan diuji adalah: H0 : ρsce = ρsck

H1 : ρsce > ρsck

Keterangan:

zsce = Jumlah siswa yang mengalami peningkatan self-concept pada kelas

TSTS

zsck = Jumlah siswa yang mengalami peningkatan self-concept pada kelas

DI.

2. Mengambil keputusan

Keputusan diambil dengan cara membandingkan zhitung dengan zkritis.

Nilai zhitung dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

√ { } (Sudjana, 2005: 246) Dengan:

: Jumlah siswa yang belajar melalui pembelajaran dengan tipe TSTS yang self-concept nya meningkat

: Jumlah siswa yang memperoleh pembelajaran DI yang

self-concept nya meningkat

: Jumlah siswa yang belajar melalui pembelajaran kooperatif tipe TSTS

: Jumlah siswa yang memperoleh pembelajaran DI


(49)

Kriteria pengujian, tolak H0 apabila zhitung  z0,5 –α, dan terima H0 dalam

kondisi lainnya. Nilai z0,5 –α diperoleh dari daftar distribusi normal baku

dengan peluang (0,5-α).

I. Prosedur Penelitian

Prosedur yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Tahap Persiapan

1. Pembuatan proposal 2. Seminar proposal

3. Penyusunan instumen penelitian 4. Validasi instrumen penelitian 5. Memilih kelas sampel

6. Uji coba instrumen

b. Tahap Pelaksanaan Penelitian

1. Pelaksanaan pretes pada kelas eksperimen dan kelas kontrol

2. Pelaksanaan pembelajaran di kedua kelas. Pada kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan pada kelas kontrol menggunakan model pembelajaran DI.

3. Pelaksanaan postes pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

4. Pemberian angket self-concept untuk siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.

5. Mengisi lembar observasi aktivitas siswa selama proses pembelajaran oleh guru sejawat.

c. Pengumpulan Data d. Analisis Data e. Kesimpulan


(50)

Diagram Prosedur Penelitian

Prosedur yang ditempuh dalam proses penelitian ini adalah:

Pembuatan Proposal Penelitian

Seminar Proposal

Perbaikan Proposal

Penyusunan Instrumen

Uji Coba, Revisi, Validasi

Tes Akhir (Postest)

Pembelajaran Kooperatif tipe

Two-Stay Two-Stray (Kelas Eksperimen)

Pembelajaran Langsung (Kelas Kontrol)

Pemilihan subjek

Tes awal (Pretes)


(51)

Diagram Alur Uji Statistik

Pengolahan dan Analisis Data

Temuan

Kesimpulan

Uji Mann-Whitney

Normal Tidak Normal

Tidak Homogen Homogen

Kesimpulan Uji Parametrik

(Uji t)

Uji Parametrik (Uji t’) Uji Homogenitas

Uji Normalitas

Postes Pretes

Postes Pretes

Data Data

Kelas TSTS


(52)

Jadwal Penelitian

No Waktu Penelitian Kegiatan

1 Juli – Agustus 2013 Penyusunan proposal penelitian

2 Agustus – Oktober 2013 Revisi proposal dan penyusunan instrumen penelitian

3 Oktober-Nopember 2013 Uji coba instrumen dan penelitian 4 Desember 2013 – Januari

2014

Pengolahan dan analisis data Penyusunan laporan penelitian


(53)

(54)

(55)

(56)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis, temuan dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang belajar

melalui pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray lebih baik daripada kemampuan pemahaman siswa yang memperoleh pembelajaran langsung. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray berada pada kualifikasi tinggi sedangkan siswa yang memperoleh pembelajaran langsung berada pada kualifikasi sedang.

2. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran langsung. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran kooperatif tipe stay

two-stray dan siswa yang memperoleh pembelajaran langsung berada pada

kualifikasi sedang.

3. Peningkatan proporsi self-concept siswa yang belajar melalui pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray lebih baik daripada proporsi self-concept siswa yang memperoleh pembelajaran langsung. Peningkatan self-concept siswa yang belajar melalui pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray dan siswa yang memperoleh pembelajaran langsung berada pada kualifikasi sedang.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti mengusulkan beberapa rekomendasi berikut:

1. Pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray sebaiknya terus dikembangkan dan dijadikan alternatif dalam pembelajaran matematika.


(57)

2. Karena pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa, maka perlu dukungan terutama dari pihak sekolah untuk mensosialisasikan penerapan model pembelajaran kooperatif tersebut. 3. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan agar melakukan penelitian dengan

kemampuan daya matematis lainnya.

4. Subyek yang diteliti dalam penelitian ini adalah siswa SMP, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan yang sama, tetapi pada tingkatan yang berbeda.

5. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan melakukan penelitian self-concept (konsep diri) dalam waktu yang lebih lama lagi sebab pembentukan konsep diri siswa tidak bisa terlihat dalam waktu yang relatif singkat.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2011).“Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi).“Jakarta: BumiAksara.

Aqib, Z. (2013). Model-model, Media dan Strategi pembelajaran kontekstual

(Inovatif). Bandung: Yrama Widya

Ariant (2012). Makalah Model-Model Pembelajaran Kooperatif.

Online

Tersedia: http://abazariant.blogspot.com/2012/10/makalah-model-pembelajaran-kooperatif.html, diakses tgl 26-03-2013

Al-Hafizh (2013). Pembelajaran Kooperatif tipe Two-Stay Two-Stray.

Online

Tersedia: http://www.referensimakalah.com/2013/01/Pembelajaran-kooperatif-tipe-Two-Stay-Two-Stray-TS-TS.html, diunduh tgl 25 mei 2013 Agus, N.A. (2007). Agus, N.A. (2007). BSE (Buku Elektronik) Mudah Belajar

Matematika untuk Kelas VIII SMP/MTS. Jakarta: Pusat Perbukuan

Departemen Pendidikan Nasional.

Adinawan, M, C dan Sugijono (2007). Matematika untuk SMP/MTS kelas VIII. Jakarta: Erlangga

Burns, R.B. (1993). Konsep diri, teori, pengukuran, perkembangan dan prilaku. Arcan

Permendiknas (2013). Salinan Lampiran permendikbud No 68 Th 2013 Tentang

Kurikulum SMP-MTs. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas

Ervachianda (2013). Model Pembelaajaran Two-Stay Two-Stray.

Online

Tersedia: http://coretanpenacianda.wordpress.com/2013/02/10/model-pembelajaran-two-stay-two-stray/, diunduh tgl 25 mei 2013

Emay, A. (2011). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi

Matematis Siswa SMP dengan Menggunakan Pembelajaran Kooperatif Tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC). Tesis Pada SPS UPI Bandung :

Tidak Diterbitkan.

Huda, M. (2013). Cooperative Learning, Model, Teknik, Struktur dan Model


(1)

2. Karena pembelajaran kooperatif tipe two-stay two-stray dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa, maka perlu dukungan terutama dari pihak sekolah untuk mensosialisasikan penerapan model pembelajaran kooperatif tersebut. 3. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan agar melakukan penelitian dengan

kemampuan daya matematis lainnya.

4. Subyek yang diteliti dalam penelitian ini adalah siswa SMP, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan yang sama, tetapi pada tingkatan yang berbeda.

5. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan melakukan penelitian self-concept (konsep diri) dalam waktu yang lebih lama lagi sebab pembentukan konsep diri siswa tidak bisa terlihat dalam waktu yang relatif singkat.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2011).“Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi).“Jakarta:

BumiAksara.

Aqib, Z. (2013). Model-model, Media dan Strategi pembelajaran kontekstual

(Inovatif). Bandung: Yrama Widya

Ariant (2012). Makalah Model-Model Pembelajaran Kooperatif.

Online

Tersedia: http://abazariant.blogspot.com/2012/10/makalah-model-pembelajaran-kooperatif.html, diakses tgl 26-03-2013

Al-Hafizh (2013). Pembelajaran Kooperatif tipe Two-Stay Two-Stray.

Online

Tersedia: http://www.referensimakalah.com/2013/01/Pembelajaran-kooperatif-tipe-Two-Stay-Two-Stray-TS-TS.html, diunduh tgl 25 mei 2013 Agus, N.A. (2007). Agus, N.A. (2007). BSE (Buku Elektronik) Mudah Belajar

Matematika untuk Kelas VIII SMP/MTS. Jakarta: Pusat Perbukuan

Departemen Pendidikan Nasional.

Adinawan, M, C dan Sugijono (2007). Matematika untuk SMP/MTS kelas VIII. Jakarta: Erlangga

Burns, R.B. (1993). Konsep diri, teori, pengukuran, perkembangan dan prilaku. Arcan

Permendiknas (2013). Salinan Lampiran permendikbud No 68 Th 2013 Tentang

Kurikulum SMP-MTs. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas

Ervachianda (2013). Model Pembelaajaran Two-Stay Two-Stray.

Online

Tersedia: http://coretanpenacianda.wordpress.com/2013/02/10/model-pembelajaran-two-stay-two-stray/, diunduh tgl 25 mei 2013

Emay, A. (2011). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi

Matematis Siswa SMP dengan Menggunakan Pembelajaran Kooperatif Tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC). Tesis Pada SPS UPI Bandung :

Tidak Diterbitkan.

Huda, M. (2013). Cooperative Learning, Model, Teknik, Struktur dan Model


(3)

Hendriana. (2009). Pembelajaran Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking

Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama.

Bandung: Disertasi pada PPs UPI . (Tidak dipublikasikan).

Indrajaya, U (2011) . Meningkatkan kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah menengah Atas melalui Pembelajaran Kooperatif berbantuan Maple. Bandung: Tesis pada PPs UPI (Tidak diterbitkan).

Irawan, E. (2010). Evektivitas Teknik Bimbingan kelompok Untuk Meningkatkan

Konsep Diri Remaja ( Studi Pre-Eksperimen Pada Siswa Kelas X SMK Yapema Gadingrejo Lampung). Tesis pada PPS UPI (Tidak diterbitkan).

Komala, E (2012). Pembelajaran Dengan Pendekatan Diskursif Untuk

Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Dan Self-Concept Siswa Sekolah Menengah Pertama. Bandung: Tesis pada PPs UPI

(Tidak diterbitkan).

Kusfianti (2013). Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe two -stay two-

stray (TSTS) untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar matematika materi keliling dan luas segi empat dan segitiga pada siswa kelas VII SMP Negeri 7 Malang. UPT Perpustakaan Universitas Negeri Malang

Lindawati, S (2010). Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Inkuiri

Terbimbing Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis pada PPS

UPI (Tidak diterbitkan).

Majid, A (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: Rosda.

Meltzer, D.E. (2002). The Relationship between Mathematcs Preparation and Conceptual Learning Gains in Phycs: “Hidden Varable” in Diagnostic

Pretest Scores. American Journal of Physics. V70 n12:p1259-68 Dec 2002.

[online] Tersedia: www.physics.iastate.edu/-per/doc/AJP-Dec2002-Vol-70-1259-1268.pdf.[ 6 juni 2013]

NCTM, (2000). Principles and Standards for school Mathematics, Reston, Virginia: NCTM

Oktavien, Y. (2011). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan

Masalah Matematis Siswa SMA melalui Pembelajaran kooperatif Tipe Jigsaw. Tesis pada PPS UPI (Tidak diterbitkan).


(4)

Qohar, A. (2010). Mengembangkan kemampuan pemahaman, Koneksi dan

Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Matematika siswa SMP melalui Reciprocal Teaching . Desertasi PPS UPI. Bandung: tidak

diterbitkan.

Rahmat, J, (2011). Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda

Rahman, R (2010). Pengaruh Pembelajaran Berbantuan Goegebra Terhadap

Kemampuan Berpikir Kreatif Dan Self-Concept Siswa. Bandung: Tesis pada

PPs UPI (Tidak diterbitkan).

Ruseffendi, E.T (2005). Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer. edisi 5. Bandung: Tarsito

_____________ (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA.

Bandung: Tarsito

______________ (2010). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan Dan Bidang Non

Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito

Rusman, (2010). Seri Manajemen Sekolah Bermutu Model-Model Pembelajaran

Mengembangkan Propesionalisme Guru. Bandung . Mulya Mandiri Pers.

Riduwan, ((2010). Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Banding: Alfabeta

Sumarmo, U. (2012). Proses berfikir Matematik: Apa dan mengapa

Dikem-bangkan dari Kumpulan Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya. Diktat Kuliah: Tidak diterbitkan.

Sudjana, (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Suherman, E, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia.

____________ (2003). Evaluasi pembelajaran Matematika. Bandung: Jurusan pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia.


(5)

Saputra, E., Wahyudin., Nurlaelah, E. (2012). “Pengaruh Penggunaan Model

Pembelajaran Anchored Instruction terhadap Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Self-Concept Siswa.” Journal Pendidikan Matematika Sigma didaktika. 1, (1), 8-16.

Sisdiknas (2003). Undang-Undang Sisdiknas. Jakarta: Depdiknas

Sutoyo, A (2012). Pemahaman Individu Observasi, Checklist, Interviu.

Kuesioner, Sosiometri. Semarang: Pustaka Pelajar.

Sugiyono, (2013). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sudrajat, A (2011). Model Pembelajaran Langsung.

Online

. Tersedia:

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/01/27/model-pembelajaran-langsung/. diunduh tanggal 7 agustus 2013

Suparno, P (1997). Filsapat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Slavin, (2009). Cooperative Learning, teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media

Sriwiani, Y (2011). Penerapan Model Pembelajaran Generatif dalam Upaya

Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Siswa SMA.

Bandung: Tesis pada PPs UPI (Tidak diterbitkan).

Subagiyana. (2009). Peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi

Matematis Siswa SMP Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Team Assisted Individualization dengan Pendekatan Kontekstual. Bandung:

Tesis pada PPs UPI (Tidak diterbitkan).

Setiadi, Y. (2010). Meningkakan kemampuan Pemahaman dan Komunikasi

Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Kooperatif Dengan Teknik Think-Pair-Square. Tesis pada PPS UPI (Tidak diterbitkan).

Sari, V. (2012). “Pengaruh Pembelajaran Reciprocal, Kooperatif Tipe NHT, dan Langsung terhadap Kemampuan Pemahaman Matematis iswa SMP.” Journal Pendidikan Matematika Sigma didaktika. 1, (1), 99-106.

Turmudi, (2009). Landasan Pilsapat Dan Teori Pembelajaran Matematika

(Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cipta Pustaka Tamur, M.,Kusumah, Y., Juandi, D., (2012). “Pembelajaran Kooperatif Tipe

STAD Berbasis Etnomatematika Sebagai Upaya Meningkatkan

Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Mahasiswa PGSD.” Journal Pendidikan Matematika Sigma didaktika. 1, (1), 17-28.


(6)

Yuniati, S (2010). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran

Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Pembelajaran Problem Posing. Bandung: Tesis pada PPs UPI (Tidak diterbitkan).