KONTRIBUSI LITERASI SAINS DAN KORELASINYA TERHADAP PERILAKU SEHAT SISWA SEKOLAH LANJUTAN ATAS KELAS X.

(1)

KONTRIBUSI LITERASI SAINS DAN KORELASINYA TERHADAP PERILAKU SEHAT SISWA SEKOLAH LANJUTAN ATAS KELAS X

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan analisis deskriptif korelasional yang bertujuan untuk menjelaskan gambaran literasi sains siswa kelas X di Bandung dan kontribusinya terhadap perilaku hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari. Sebanyak 322 siswa Sekolah Lanjutan Atas yang terdiri dari kelompok SMA dan SMK diambil melalui metode stratified random sampling, diuji dengan menggunakan instrumen sains PISA tahun 2006 dengan tema kesehatan dilanjutkan dengan mengisi angket perilaku sehat. Semua variabel diuji dengan menggunakan uji korelasi Spearman, uji Mann Whitney, uji Chi Square, uji Kruskall Wallis, Anova, dan analisis regresi melalui program SPSS versi 17.0. Hasil penelitian menemukan bahwa capaian literasi sains siswa termasuk dalam kategori “rendah” dengan rata-rata nilai 47,86 dan sikap ilmiah cenderung positif sebesar 60,05. Perilaku sehat siswa termasuk dalam kategori baik dengan rata-rata skor 72,34. Penelitian ini menemukan bahwa pengetahuan sains siswa tidak berkorelasi secara parsial terhadap perilaku sehat siswa, namun secara simultan memberikan kontribusi sebesar 2,8% bersama sikap ilmiah terhadap perilaku sehat siswa, namun secara parsial berpengaruh signifikan terhadap perilaku sehat siswa sebesar 17,7%.


(2)

CONTRIBUTION OF SCIENTIFIC LITERACY AND ITS CORRELATION TO HEALTHY BEHAVIOR OF 10th GRADE

STUDENTS IN BANDUNG

ABSTRACT

This study was a descriptive correlational analysis studies which aimed to describe scientific literacy of 10th grade students in Bandung and its correlation to student’s healthy behavior in their daily life. The samples of this research were 322 students consist of high school and vocational school groups which were taken through stratified random sampling method, and tested by using science instruments of the PISA 2006 which contained some health topics and continued by completing the questionnaires related to healthy behaviors. All variables were tested by using Rank Spearman’s test, Mann Whitney test, Chi Square test, and the Kruskall Wallis test, Anova, and Regression Analysis through SPSS version 17.0. The results showed that the students’s scientific literacy was categorized “low” with the average scores 47,86 and the scientific attitudes tends to be positive with the average scores 60,05. Student’s healthy behaviour was categorized “good” with the average scores 72,34. This study found that student’s science knowledge are not partially correlated to the students’ healthy behviour, but simultaneously contribute 2,8% together with scientific attitude to their healthy behaviour. Thus, scientific attitude partially affects to the students’ healthy behaviour significantly abou t17,7%.


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Dampak globalisasi dan kemajuan teknologi telah mengubah pandangan pendidikan dan menyebabkan semakin terbukanya peluang di skala internasional melahirkan sebuah dinamika dalam kehidupan masyarakat yang semakin lama berkembang semakin pesat. Untuk menghadapi tantangan masa depan, tuntutan kompetensi menjadi standar yang harus diupayakan melalui sebuah rancangan kurikulum yang handal sehingga mampu mencetak generasi-generasi penerus yang unggul di segala bidang. Hal ini berimplikasi pada kebutuhan untuk mengedepankan kualitas sumber daya manusia di semua sektor kehidupan.

Badan Pembangunan-Persatuan Bangsa-Bangsa (UNDP) mengembangkan sebuah ukuran untuk menilai kualitas sumber daya manusia berupa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang meliputi tiga indikator, yaitu: pendidikan (education), kesehatan (health), dan ekonomi (economy). Hal ini bermakna, jika ketiga indikator tersebut masih rendah maka mencerminkan bahwa kualitas hidup bangsa tersebut masih belum memenuhi standar (Notoatmodjo, 2012:7).

Kegiatan pembangunan selama dua dekade terakhir telah melahirkan sebuah paradigma baru yang memandang aspek kesehatan sebagai sebuah modal investasi yang berharga (human capital). Penekanan masalah kesehatan ini karena dilatarbelakangi oleh masalah tingginya angka kematian serta quality of life yang masih rendah yang secara tidak langsung berdampak pada laju pembangunan ekonomi negara. Studi mengenai hubungan antara pendidikan dan kesehatan mulai diperkenalkan oleh Grossman, seorang ahli ekonomi pada tahun 1972 (Becker, 2007: 379) yang memandang kedua hal tersebut sebagai modal investasi bagi manusia sehingga perlu mendapatkan perhatian yang cukup besar. Konsep ini berkembang sebagai implikasi dari korelasinya terhadap sektor ekonomi berdasarkan analisis investasi individu terhadap pertumbuhan perusahaan obat yang secara tidak langsung akan berdampak pada sumber devisa negara.


(4)

Notoatmojo (2012: 8) menyatakan bahwa masalah-masalah yang biasa terjadi pada negara-negara berkembang umumnya terdapat tiga macam masalah sosial, yakni: kebodohan (akibat rendahnya pendidikan); berbagai macam penyakit (akibat rendahnya derajat kesehatan); dan kemiskinan (akibat rendahnya ekonomi). Ketiga hal ini membentuk sebuah mata rantai yang saling mempengaruhi satu sama lain. Maka salah satu upaya sebagai solusinya adalah dengan memutus mata rantainya melalui upaya penguatan dalam ketiga aspek secara bersama sehingga permasalahan dapat teratasi.

Derajat kesehatan dapat terbangun pada saat masyarakat sudah memiliki pengetahuan dan kesadaran yang tinggi untuk dapat berperilaku sehat. Melalui pencapaian derajat kesehatan yang tinggi maka akan berimplikasi terhadap meningkatnya produktivitas yang selanjutnya akan berimbas terhadap perbaikan ekonomi masyarakat. Dengan meningkatnya tingkat ekonomi masyarakat, maka akses terhadap pendidikan pun akan meningkat. Dengan demikian, peran pendidikan dengan pencapaian derajat kesehatan masyarakat memiliki hubungan erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sebuah studi di Jerman menemukan bahwa prevalensi masalah kesehatan dan negara-negara industri lainnya lebih banyak terjadi pada anak dan remaja dengan latar belakang status sosial rendah (Schmidt, dkk., 2010).

Potensi demografi yang dimiliki Indonesia berimplikasi terhadap potensi Sumber Daya Manusia usia produktif yang berlimpah. Antara sistem pendidikan dan masyarakat memiliki hubungan timbal balik satu sama lain. Dalam perjalanannya, sebuah sistem pendidikan banyak dipengaruhi oleh perkembangan, bentuk dan budaya masyarakat yang selanjutnya akan berdampak terhadap kurikulum. Kurikulum merupakan motor bagi terlaksananya sebuah sistem pendidikan sehingga menjadi alat yang penting untuk mentransformasikan potensi ini menjadi modal bagi pembangunan sehingga dapat menunjang terwujudnya kesejahteraan dan kemajuan bangsa (Kemdikbud, 2013a). Perubahan masyarakat dan sistem pendidikan (kurikulum) akan menyesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan yang ada, sebagaimana yang dikemukakan oleh Oliva (1992: 28) bahwa salah satu faktor yang berperan dalam pengembangan kurikulum diantaranya adalah keyakinan dan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.


(5)

3

Saat kita bicara mengenai pendidikan kesehatan, maka sekolah merupakan media dan lingkungan yang paling strategis untuk memberikan intervensi langsung kepada siswa pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya. Sekolah merupakan pintu masuk dunia untuk mencapai tujuan kesehatan terkait dengan komitmen pendidikan. Sekolah merupakan institusi dasar dalam membangun kesejahteraan dan kesehatan sebuah negara. Pendidikan menjadi faktor kunci yang dapat menghilangkan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. WHO (1993 dalam Leger, 2001) menemukan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara kemiskinan dan rendahnya tingkat kesehatan.

Kemajuan teknologi telah banyak membawa dampak terhadap perubahan gaya hidup masyarakat. Edberg (2010: 8) membuat sebuah pemodelan ekologi yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang menjadi penentu terjadinya masalah kesehatan tersebut adalah dari faktor perilaku manusia itu sendiri. Hal ini menjadi sebuah masalah manakala perilaku seseorang sudah menyentuh terhadap kepentingan publik, terutama lingkungan di sekitarnya. Guru Biologi dalam hal ini memiliki peran penting dalam hal mengenalkan konsep-konsep biologi, terutama yang terkait dengan masalah kesehatan sehingga diharapkan dapat meningkatkan penghayatan siswa terhadap materi tersebut dan mewujudkannya dalam perilaku sehat. Jika bekal pengetahuan yang diberikan sekolah memadai, maka diharapkan akan berdampak terhadap proses pengambilan keputusan, misalnya mempertimbangkan resiko-manfaat kebiasaan merokok, memilih jenis makanan yang akan dimakan, dan lain-lain sebagai wujud implementasi literasi kesehatan (health literacy) individu.

Kindig (2014), seorang direktur Institute of Medicine di Washington DC menegaskan dalam laporan Tempo bahwa ia meyakini bahwa pengembangan health literacy adalah salah satu upaya dalam pendidikan untuk mencapai derajat kesehatan. Oleh karenanya menjadi penting untuk mengetahui sekolah seperti apa yang dapat membekali generasi muda untuk dapat berpartisipasi aktif untuk mendukung kebijakan dan mempraktifkkan program kesehatan yang selanjutnya akan berdampak untuk dirinya sendiri, masyarakat dan negaranya. Sekolah-sekolah di seluruh dunia telah berhasil meraih prestasi dalam aspek kesehatan melalui program promosi kesehatan dan semacamnya.


(6)

Literasi kesehatan merupakan sebuah konsep yang sangat sesuai dengan konsep promosi kesehatan dan dapat memberikan hasil yang dapat diterima melalui penilaian terhadap program promosi kesehatannya itu sendiri. Meskipun tidak cukup banyak kasus yang dapat mengubah struktur dan praktik dalam promosi kesehatan karena dalam situasi dan kondisi yang berbeda, namun dengan semakin banyaknya sekolah yang melakukan perubahan, maka akan semakin mendorong pemerintah untuk meningkatkan investasinya dalam tiga area, yaitu: peningkatan profesionalitas guru, framework penelitian kesehatan sekolah dan dampaknya, serta diseminasi mengenai sekolah-sekolah yang telah efektif dalam program kesehatan berbasis audience (Leger, 2001).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) bersama negara-negara maju seperti Amerika, Canada, Inggris, dan negara-negara Eropa sejak 1983 telah mengadakan sebuah studi komparatif secara international pada kesehatan remaja melalui program Health Behaviour in School-Age Children (HBSC) di bawah manajemen The International Coordinating Centre (ICC). Mereka menyusun protokol baku untuk mendata berbagai perilaku terkait masalah kesehatan remaja, meliputi kebiasaan membuli, merokok, mengkonsumsi alkohol dan minuman keras, dan lain sebagainya. Misi dari diadakannya studi ini adalah untuk memonitor perilaku kesehatan remaja, seiring dengan peningkatan pengetahuannya mengenai kesehatan dan sosial untuk menjadi informasi bagi para stakeholder (HBSC, 2014).

Penelitian dua dekade terakhir dalam pendidikan banyak memberikan informasi tentang sekolah seperti apa yang dapat secara efektif berkontribusi melalui pendidikan kesehatan sehingga mampu mencapai status kesehatan yang lebih baik. Sekolah memiliki peran yang potensial dalam menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif dalam rangka penyelenggaraan pendidikan kesehatan Bagaimanapun sekolah dan sistem pendidikan lambat laun akan berubah sejalan dengan adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Menghasilkan perubahan dengan menampilkan praktik kesehatan yang terbaik masih menjadi sebuah tantangan yang besar hingga saat ini. Literasi kesehatan menjadi konsep yang penting karena menunjukkan pada kita bagaimana pendidikan dan kesehatan dapat berkolaborasi untuk menciptakan kesehatan masyarakat dan tingkat keterampilan


(7)

5

dan pengetahuan yang tinggi pada siswa. Peningkatan pemberdayaan siswa secara luas melalui konsep literasi kesehatan sangat dimungkinkan apabila mereka mau berupaya untuk mendukung program sekolahnya (Leger, 2001). Intervensi nyata yang diberikan sekolah dapat terintegrasi dalam kurikulum dan diimplementasikan dalam berbagai program dan kegiatan sekolah, termasuk dalam kegiatan belajar mengajar (KBM).

Salah satu permasalahan negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam bidang pendidikan pada umumnya, yaitu masih tingginya angka putus sekolah, dimana setelah menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun, maka tidak semua peserta didik tersebut langsung mau meneruskan pendidikannya ke jenjang pendidikan menengah. Berdasarkan data BPS (2013) tahun 2011, Jawa Barat sendiri masuk ke dalam 18 provinsi yang berada di bawah rata-rata Nasional untuk angka masuk pendidikan menengah. Angka putus sekolah Jawa Barat untuk usia 13-15 tahun mencapai 2,58%, sedangkan angka Nasional mencapai 2,21% (BPS, 2013 dalam Kemdikbud, 2012). Hal ini dilihat oleh sebuah organisasi internasional Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) yang menganggap bahwa pada usia tersebut merupakan usia kritis dimana seorang individu akan memutuskan untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi ataukah berhenti dan mulai menapaki kehidupan nyata. Penilaian kapasitas individu ini digulirkan dalam bentuk peluncuran Programme for International Student Assessment (PISA), sebuah studi komparasi untuk mengetahui sejauh mana tingkat literasi siswa usia 15 tahun. OECD sendiri merupakan sebuah forum internasional yang dibentuk oleh pemerintah dari 30 negara yang bekerja sama dalam mengatasi tantangan ekonomi, sosial dan lingkungan globalisasi. Program ini juga merupakan satu bentuk kesepakatan internasional terhadap sebuah kerangka kerja sebagai bukti komitmen pemerintah untuk memantau seberapa baik hasil sistem pendidikan mereka dalam mempersiapkan siswa untuk menghadapi kehidupannya.

Menurut PISA, suatu kapasitas penggunaan pengetahuan ilmiah untuk mengidentifikasi persoalan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti sebagai upaya untuk memahami dan membantu pembuatan keputusan terkait dengan alam dan perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh manusia terhadap


(8)

alam disebut dengan istilah scientific literacy (melek sains) (OECD, 2007). Hasil dari PISA memberikan dasar baru bagi dialog kebijakan dan kerjasama dalam menetapkan dan mengimplementasikan tujuan pendidikan, melalui cara-cara inovatif yang mencerminkan penilaian tentang keterampilan yang relevan dengan kehidupan, dimana aspek kesehatan sebagai salah satu konten di dalamnya.

Dian (2013) dalam ulasan tempo interaktif, berdasarkan laporan “Royal Society” Inggris tahun 1985, menyatakan beberapa argumen yang diajukan untuk menjawab pertanyaan mengapa literasi sains dipandang sedemikian penting bagi banyak bangsa berdasarkan pengalaman dan upaya-upaya yang dilakukan berbagai bangsa, antara lain:

1. Argumen praktis. Bahwa untuk menjalani kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat yang kehidupannya diwarnai oleh sains dan teknologi tentunya orang akan membutuhkan pemahaman mengenai sains dan teknologi.

2. Argumen demokratis. Untuk dapat berpartisipasi dalam berbagai isu yang terkait sains-kompleks yang dihadapi oleh warga demokrasi modern, maka orang akan memerlukan pemahaman mengenai sains dan teknologi.

3. Argumen kultural. Sains adalah bagian dari warisan kultural manusia dan sangat mempengaruhi pandangan kita tentang dunia dan tempat manusia di dalamnya. Dengan menguasai sains, maka kita akan dapat berkontribusi bagi pengembangan pengetahuan maupun bagi pemeliharan alam tempat kita hidup. 4. Argumen ekonomi. Untuk mengembangkan ekonomi dibutuhkan tenaga

kerja yang literat secara keilmuan, maka sains dan teknologi memiliki peran penting dalam kemajuan ekonomi dan pembangunan.

Indonesia telah mengikuti survei OECD sejak pertama kali PISA diadakan. Untuk tahun 2000, Indonesia menempati urutan 39 untuk matematika dan ke-38 untuk sains dengan jumlah negara peserta studi sebanyak 41 (artinya, kedua dan ketiga dari bawah). Tahun 2003, dari 40 negara peserta, Indonesia menempati posisi ke-38 untuk kedua bidang pengetahuan. Tahun 2006, dari 57 negara peserta, Indonesia berada di urutan ke-50. Pada tahun 2009, Indonesia menempati posisi ke-61 untuk matematika dan 57 untuk sains dari 65 negara. Pada pengukuran terakhir yang dilakukan pada tahun 2012, Indonesia menempati


(9)

7

urutan ke-63 dari 65 negara peserta. Posisi Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara Asia. Korea Selatan, dan kemudian China, menempati posisi teratas dalam beberapa kesempatan survei PISA. Hasil studi ini menunjukkan perlu adanya perubahan orientasi kurikulum yang tidak membebani peserta didik dengan konten namun lebih kepada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga negara untuk berperan serta dalam membangun negara di masa yang akan datang (Kemdikbud, 2012; OECD, 2009).

Beberapa hasil-hasil penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa tingkat literasi sains di kalangan pelajar hingga mahasiswa Indonesia masih berada pada level rendah (Rifqiyati, 2013; Sariyati, 2013; Rohayati, 2013). Berbagai metode dan model pembelajaran dicoba diterapkan dalam rangka meningkatkan capaian literasi sains peserta didik. Terkait dengan aplikasi perilaku sehat beberapa penelitian sebelumnya dilakukan oleh Luthviatin dkk. (2011) yang menemukan bahwa terdapat korelasi antara tingkat pengetahuan siswa dengan perilaku bersih dan sehat pada siswa SD dan dominasi peran guru dalam perilaku sehatnya serta penelitian dari Smith (2012) yang menyatakan bahwa terdapat korelasi perilaku hidup sehat dengan prestasi belajar, semakin baik perilaku sehat siswa maka akan semakin baik prestasi belajarnya. Brunello, dkk. (2011) meneliti mengenai hubungan antara pendidikan dan kesehatan, yang dinyatakan dalam bentuk

“gradien pendidikan”. Terdapat hubungan saling mempengaruhi antara

pendidikan dan perilaku sehat. Pendidikan berperan sebagai fungsi protektif dalam pencapaian status kesehatan, baik pada pria maupun wanita. Demikian pula hasil penelitian Lochner (2011 dalam Brunello, dkk., 2011: 4) yang mengemukakan bahwa banyak cara yang memungkinkan melalui pendidikan dapat meningkatkan derajat kesehatan, diantaranya melalui pengurangan stres, pengambilan keputusan dan pengumpulan informasi yang lebih baik terkait kesehatannya, kecenderungan untuk memiliki asuransi kesehatan, menciptakan lingkungan yang lebih sehat, dan mempraktikkan perilaku sehat. Brunello menemukan bahwa peran pendidikan kesehatan berkontribusi sebesar 7,1% pada wanita dan 3,1% pada pria dalam mempraktikkan perilaku sehat. Peningkatan status kesehatan yang dicapai diantaranya berupa penurunan tingkat stres dan pengambilan keputusan yang lebih baik terkait perilaku sehat seperti tidak


(10)

merokok, tidak minum minuman keras, aktivitas fisik, dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Jurges (2009) meneliti mengenai faktor latar belakang jurusan terhadap praktik perilaku sehat berupa kebiasaan merokok dan obesitas. Dia menemukan bahwa tidak ada efek kausal pendidikan dalam mengurangi kasus overweight dan obesitas, namun terdapat efek negatif terhadap kebiasaan merokok.

Berdasarkan uraian di atas, mengingat pentingnya penguasaan terhadap konten sains khususnya yang terkait masalah kesehatan dan peran sekolah dalam upaya meningkatkan kualitas pembangunan manusia, maka dalam penelitian ini, penulis ingin memperoleh gambaran tingkat literasi sains pada siswa SMA dan siswa SMK kelas X sebagai kelompok usia yang merupakan calon-calon generasi penerus pembangunan serta pengaruhnya terhadap perilaku sehatnya.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Siswa sekolah menengah pada jenjang Sekolah Lanjutan Atas (SLA) merupakan kelompok usia yang merupakan calon-calon angkatan kerja dan akan berperan sebagai modal pembangunan. Secara formal, siswa SLA dapat dikelompokkan atas dua kelompok besar yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Aspek kesehatan sebagai salah satu indikator kualitas manusia membuat hal ini menjadi penting untuk diperhatikan. Individu yang produktif dapat terwujud dari individu yang sehat. Dengan demikian, faktor kesehatan dapat menjadi faktor yang mendukung produktivitas yang tinggi, sehingga akan dicapai peningkatan taraf ekonomi yang baik bagi pembangunan masyarakat.

Kesehatan merupakan salah satu bagian dari bidang kajian sains yang telah dikembangkan menjadi ilmu terapan tersendiri. Penguasaan sains yang memadai dapat menjadi salah satu bekal dalam menghadapi tantangan kehidupan. Dengan bekal pengetahuan yang cukup diharapkan usia angkatan kerja ini diantaranya dapat berperilaku sehat sehingga dapat tercapai derajat kesehatan yang pada akhirnya menjadi generasi yang produktif bagi kemajuan pembangunan. Pemberlakuan kurikulum baru 2013 diharapkan dapat memfasilitasi kebutuhan pengetahuan sains dasar dengan adanya kesamaan muatan dalam mata pelajaran wajib dan program lintas minat antar jurusan.


(11)

9

Untuk memperoleh gambaran mengenai seberapa jauh hubungan tingkat literasi sains terkait masalah kesehatan pada siswa Sekolah Lanjutan Atas (SLA) dan perilaku sehatnya, maka rumusan masalah yang ingin dikaji dalam penelitian

ini adalah : “Bagaimana tingkat literasi sains siswa SLA dan korelasinya terhadap perilaku sehatnya?”

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka selanjutnya dapat dijabarkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran tingkat literasi sains terkait masalah kesehatan pada siswa SLA kelas X?

2. Bagaimana gambaran perilaku sehat siswa SLA kelas X?

3. Bagaimana hubungan tingkat literasi sains siswa SLA kelas X terkait masalah kesehatan dan kontribusinya terhadap perilaku sehatnya?

C. Batasan Masalah Penelitian

Untuk memfokuskan kajian dalam penelitian ini maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas sebagai berikut :

1. Literasi sains yang dinilai merupakan kapasitas individu untuk memperoleh, memproses dan memahami informasi terkait sains khususnya dalam konteks kesehatan mencakup pengetahuan dan sikap ilmiah yang selanjutnya digunakan dalam pengambilan keputusan untuk meningkatkan dan memelihara kesehatannya, baik secara individu, masyarakat (sosial), maupun global.

2. Perilaku sehat yang diukur dalam penelitian ini adalah segala aktivitas yang dilakukan individu baik dalam bentuk sikap maupun tingkah laku untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya berdasarkan pengakuan siswa pada saat pengambilan data.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini bertujuan antara lain untuk memperoleh analisis tentang:

1. Tingkat literasi sains terkait kesehatan pada siswa SLA kelas X baik yang berlatar belakang SMA maupun SMK.


(12)

2. Perilaku sehat pada siswa SLA kelas X baik yang berlatar belakang SMA maupun SMK.

3. Tingkat hubungan antara penguasaan literasi sains terkait masalah kesehatan pada siswa SLA kelas X dan kontribusinya terhadap perilaku sehatnya.

E. Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam beberapa hal, yaitu:

1. Memberikan informasi mengenai gambaran tingkat literasi sains khususnya terkait masalah kesehatan yang dimiliki oleh siswa SLA kelas X sebagai produk awal kurikulum 2013 dan korelasinya dalam berperilaku sehat. 2. Memberikan informasi sebagai dasar pemikiran bagi guru sebagai praktisi

pendidikan dan evaluasi terhadap awal pelaksanaan kurikulum 2013 dalam merencanakan strategi pembelajaran terutama dalam menumbuhkan sikap kepedulian dan kesadaran siswa terhadap kesehatannya baik dalam konteks diri pribadi, sosial maupun secara global.

3. Memberikan informasi seputar muatan kurikulum di tingkat sekolah menengah khususnya dalam membangun kesadaran berperilaku hidup sehat.


(13)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai desain dan metode yang digunakan dalam memperoleh data hingga sampai pada tahap pengolahan data.

A. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan analisis korelasional. Metode deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis dan faktual tanpa adanya manipulasi tentang subjek yang diteliti (Fraenkel, Wallen & Hyun, 2012: 331). Penelitian korelasional bertujuan untuk menjelaskan pemahaman mengenai suatu fenomena dengan cara mengidentifikasi hubungan antar variabel yang terkait dengan menggunakan koefisien korelasi, tanpa ada usaha untuk mempengaruhinya.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Bandung, Jawa Barat pada bulan Mei 2014 dengan populasi siswa SMA dan SMK kelas X tahun ajaran 2013-2014. Kelompok usia ini dipilih menjadi subjek penelitian karena pada usia ini seorang anak dapat memilih untuk meninggalkan sistem pendidikan untuk mulai memasuki dunia kerja, sehingga dianggap perlu untuk mengukur kapasitas dan kesiapan siswa agar dapat menjalani kehidupannya secara mandiri (OECD, 2009b).

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode stratified random sampling. Teknik pengambilan sampel ini dilakukan mengingat jumlah populasi yang besar namun data yang diambil harus tetap dapat representatif dan dapat digeneralisasi (Fraenkel, Wallen & Hyun, 2012: 97). Pengambilan sampel dilakukan menurut rumus:

= �


(14)

Keterangan :

ni = jumlah sampel menurut stratum n = jumlah sampel seluruhnya

Ni= jumlah populasi menurut stratum

N= jumlah populasi seluruhnya (Sugiyono, 1999: 67)

Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandung dan Direktorat Pembinaan SMK tahun 2013 bahwa di wilayah Bandung terdapat siswa kelas X sebanyak 79.199 orang siswa yang terdiri atas 43.852 siswa SMK dan 35.347 siswa SMA. Sehingga diperoleh jumlah sampel keseluruhan yang harus ditarik :

= . . , + = , ~ responden pembulatan

Sehingga diperoleh perhitungan jumlah sampel yang ditarik dari tiap kelompok/ kluster adalah :

SMA (negeri & swasta) = = , ~ responden

SMK kesehatan = / = , ~ responden

SMK non kesehatan = / = , ~ responden

Berdasarkan perhitungan di atas, telah diketahui bahwa komposisi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sekitar 398 responden. Namun untuk mencegah hilangnya data akibat instrumen yang tidak dikembalikan oleh responden, maka jumlah instrumen yang disebarkan di lapangan dibuat dalam jumlah yang lebih banyak sehingga data yang terkumpul tetap dapat memenuhi target. Mekanisme pengambilan sampel dilakukan secara bertingkat dapat dilihat pada Gambar 3.1.


(15)

43

Gambar 3.1 Pengambilan sampel dengan cara stratified random sampling

Sesuai kondisi di lapangan, selanjutnya sampel dibagi berdasarkan kelompok sekolah SMA dan SMK. Kelompok siswa SMK dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan konteks materi yang dikaji, yakni SMK kesehatan dan non kesehatan; sedangkan kelompok siswa SMA dibedakan berdasarkan jurusan IPA dan non IPA. Selanjutnya, dari masing-masing kelompok diambil sampel secara acak. Meskipun jumlah responden cukup banyak, namun tidak semua responden memiliki data yang lengkap. Oleh karena itu, untuk menghindari bias dalam pengambilan kesimpulan, maka data yang tidak valid tidak diikutsertakan dalam analisis. Data yang terkumpul dari kelompok Jurusan Kesehatan diwakili oleh kelompok jurusan Farmasi sebanyak 51 orang sedangkan kelompok jurusan non kesehatan terdiri dari: teknik penerbangan, teknik mesin, listrik, teknik komputer jaringan, dan aplikasi perkantoran yang berjumlah 113 orang. Jurusan IPA terdiri dari 115 orang sedangkan jurusan non IPA dalam hal ini diwakili oleh jurusan IPS sebanyak 43 orang. Distribusi sebaran sampel dapat dilihat pada Tabel 3.1 di bawah ini.

SMK

SMA Kesehatan

(5.522)

Non Kesehatan (38.330)

IPA nonIPA

SMK

SMA Kesehatan

(51)

Non Kesehatan (113)

IPA 115

nonIPA 43


(16)

r

1

Tabel 3.1 Distribusi sebaran sampel

Siswa SMA Siswa SMK

158 orang 164 orang

Jur. IPA Jur. Non IPA Jur. Kesehatan Jur. Non Kesehatan

115 orang 43 orang 51 orang 113 orang

Jumlah total sampel = 322 orang

C. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini pengambilan data dilakukan secara cross sectional, yaitu pengukuran kedua variabel dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Data dan informasi yang diambil dari sampel dapat menggambarkan karakteristik dari suatu populasi yang telah ditentukan sebelumnya (Fraenkel, Wallen & Hyun, 2012: 394). Pemilihan desain ini didasarkan pada tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui gambaran literasi sains dan perilaku sehat siswa kelas X di Bandung. Berdasarkan tujuan tersebut, maka variabel yang diteliti berupa literasi sains siswa berupa capaian Skor PISA (X) sebagai variabel prediktor dan variabel perilaku sehat siswa (Y) sebagai variabel terikat yang selanjutnya akan dilihat apakah kedua variabel berkorelasi satu sama lain yang nilainya dinyatakan dalam suatu nilai r. Untuk lebih jelasnya, desain penelitian dapat dilihat dalam Gambar 3.2.

variabel Prediktor variabel terikat Literasi Sains Perilaku Sehat (X) (Y)

(Sumber : Fraenkel, Wallen & Hyun, 2012: 80) Gambar 3.2 Desain penelitian


(17)

45

D. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi perbedaan penafsiran tentang istilah-istilah yang digunakan, maka akan dijelaskan beberapa istilah sebagai kata kunci pada penelitian ini.

1. Literasi sains adalah capaian skor pengetahuan dan sikap siswa pada butir-butir soal PISA yang menggambarkan kapasitas dan minat siswa dalam menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan dalam mempraktekkan perilaku sehat dalam kehidupannya sehari-hari. Materi yang diujikan untuk mengukur literasi sains terdiri atas sembilan topik kesehatan terpilih disertai respon sikap siswa terhadap masalah-masalah sains dan teknologi yang relevan dengan topik perilaku sehat.

2. Sikap ilmiah adalah capaian skor sikap yang diungkap dengan menggunakan skala sikap dalam instrumen PISA terkait respon yang diberikan oleh siswa terhadap isu-isu yang melibatkan sains, mencakup minat dan dukungan terhadap inkuiri ilmiah.

3. Perilaku sehat adalah skor yang diperoleh pada pengukuran praktek perilaku sehat berdasarkan pengakuan siswa pada saat pengisian instrumen dalam bentuk angket skala diferensiasi semantik, sesuai indikator perilaku sehat yang diteliti.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini terdiri dari dua buah instrumen yaitu tes berupa butir soal literasi sains dan non tes berupa angket perilaku sehat. Untuk lebih jelasnya ringkasan instrumen dan variabel yang diukurnya dapat dilihat pada Tabel 3.2.


(18)

Tabel 3.2 Variabel Penelitian dan Instrumen

No Variabel Instrumen Output Ket

1 Pengetahuan sains Soal PISA 2006 Skor (%) 30 butir 2 Sikap Ilmiah Skala sikap dalam PISA

2006

Skala sikap (%) 21 butir 3 Perilaku sehat Angket perilaku sehat Skala diferensiasi

semantik (%)

30 butir

1. Butir soal Tes Literasi Sains

Berdasarkan fokus penelitian berupa perilaku sehat maka materi pengetahuan yang diujikan diambil dari instrumen soal bertemakan masalah kesehatan, terdiri atas sepuluh topik yang diadaptasi dari soal-soal PISA yang dipublikasikan oleh OECD tahun 2006. Soal-soal PISA tahun 2006 lebih banyak menekankan pada bidang sains sehingga memiliki komposisi soal terkait masalah sains yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan versi tahun yang lainnya. Berdasarkan framework PISA 2006, soal-soal sains ini dibagi atas aspek konten, proses, dan konteks (OECD, 2006; Bybee, McCrae, dan Laurie, 2009; Hatzinikita, Dimopoulos, dan Christidou, 2008).

Butir soal literasi sains dikembangkan berdasarkan kompetensi yang telah dirumuskan oleh PISA (2006) dengan tipe soal multiple choice (Pilihan Ganda), complex multiple choice (Pilihan Ganda kompleks), dan soal uraian singkat (essay). Komposisi soal untuk masing-masing kompetensi dapat dilihat pada Tabel. 3.3.

Tabel 3.3 Kisi-kisi Soal Literasi Sains

No Kompetensi/Proses Jumlah

1 Mengidentifikasi pertanyaan ilmiah 4

2 Menjelaskan fenomena ilmiah 17

3 Menggunakan bukti ilmiah 4

Jumlah 25

Pedoman penilaian :

Skor (raw score) = jumlah jawaban benar Nilai (derived score) = � � ℎ


(19)

47

2. Skala Sikap

Penilaian skala sikap dilakukan mempergunakan skala diferensiasi semantik dengan 5 skala. Namun dalam pengolahan data, skor mentah dari 5 skala dikonversi ke dalam skala 100 agar memperoleh kesetaraan data sehingga menghindari bias pada saat pengolahan data dengan mengacu pada rumus seperti halnya pada skor PISA, maka rumus konversi datanya menjadi:

Nilai (derived score) =

3. Angket Perilaku Sehat

Lembar angket yang digunakan berupa daftar pernyataan perilaku yang sesuai dengan indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang dikeluarkan oleh Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006) dalam Modul Field Lab PHBS dari tim Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Solo yang disesuaikan dengan kondisi usia siswa sebagai responden. Pedoman PHBS ini dipilih untuk digunakan karena sudah dijadikan standar acuan bagi praktek perilaku sehat di Indonesia. Adapun daftar perilaku sehat dibagi kedalam empat domain, yaitu:

a. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan Gizi, meliputi materi gizi dan makanan.

b. Kesehatan Lingkungan, terdiri dari materi: air bersih dan sampah

c. Gaya hidup, meliputi materi: aktivitas fisik, merokok, mencuci tangan, kesehatan gigi, dan narkoba/miras.

d. Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM), meliputi materi Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang terdiri dari 3M (Menguras, Menutup, Mengubur).

Setiap butir perilaku dibuat dalam bentuk diferensiasi semantik dengan kontinum skala selalu (skor=4) hingga tidak pernah (skor=0) untuk bentuk perilaku positif dan selalu (skor=0) dan tidak pernah (skor=4) untuk bentuk perilaku negatif. Kisi-kisi angket perilaku sehat dapat dilihat dalam Tabel 3.4.


(20)

Tabel 3.4 Kisi-kisi Angket Perilaku Sehat

Ruang

Lingkup Indikator

Angket Perilaku Sehat Perilaku (+) Perilaku (-) Nomor

butir Jml

Nomor

butir Jml

KIA dan Gizi

Penimbangan secara teratur 1 1 - -

Mengkonsumsi gizi seimbang 2, 3, 4, 5, 6

5 7, 8, 9 3 Kesehatan

Lingkungan

Menggunakan air bersih - - 10 1

Menggunakan jamban sehat 11 1 - -

Membuang sampah pada tempatnya 12, 13 2 14 1 Gaya Hidup Melakukan aktvitas fisik 15, 17, 18 3 16 1

Tidak merokok - - 19 1

Mencuci tangan memakai sabun 20, 21, 22, 23

4 - -

Menjaga kesehatan gigi & mulut 24 1 - - Tidak mengkonsumsi miras/

narkoba

- - 25, 26 2

Upaya Kesehatan Masyarakat

Melakukan Pemberantasn Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M (menguras, menutup, mengubur)

27, 28, 29, 30

4 - -

Jumlah 21 9

F. Proses Pengembangan Instrumen

Instrumen penelitian yang dapat diterima sesuai standar adalah alat ukur yang telah di uji validasi dan reliabilitas data.

1. Uji validitas

Validitas instrumen berkenaan dengan ketetapan alat penilaian terhadap konsep yang dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai. Validitas tidak berlaku universal sebab tergantung pada situasi dan tujuan penilaian sehingga validasi tetap perlu dilakukan untuk menjaga kevalidan sebuah instrumen. Ada empat jenis validitas yang sering digunakan, yaitu validitas isi, validitas bangun pengertian (konstruk), validitas ramalan, dan validitas kesamaan


(21)

49

(Sudjana, 2011:12). Instrumen diujicobakan pada sampel subyek sejumlah 117 orang dalam satu waktu dan diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Butir soal Tes Literasi Sains

Dalam penelitian ini, uji validitas konstruk diukur melalui judgment oleh ahli dan diujicobakan pada siswa, sedangkan validitas isi tidak dilakukan mengingat soal-soal yang dibuat oleh PISA ini telah mengikuti teori dan ketentuan yang ada dan telah dibakukan secara international (Arikunto, 2013:66).

Validitas butir soal pilihan ganda sebanyak 10 buah, pilihan ganda kompleks sebanyak tujuh buah dan essay sebanyak delapan buah dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17.0. Dengan adanya validasi yang menyebabkan beberapa soal menjadi gugur dan tidak dapat digunakan, maka terjadi perubahan jumlah soal dari 30 butir menjadi 19 butir. Hasil validasi butir soal dapat dilihat pada Lampiran A.1.

Untuk memperoleh kualitas soal yang baik, selain memenuhi validitas dan reliabilitas, juga diperlukan adanya keseimbangan dari tingkat kesulitan butir soal. Dalam penelitian ini, tingkat kesukaran soal dihitung dengan menggunakan rumus:

dimana, (Sudjana, 2011:137)

I =indeks kesulitan untuk setiap butir soal

B= banyaknya siswa yang menjawab benar setiap butir soal

N= banyaknya siswa yang memberikan jawaban pada soal yang dimaksud

Dari hasil pengolahan program SPSS dapat diketahui komposisi soal berdasarkan tingkat kesulitannya yang dapat dilihat secara rinci pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Rekapitulasi hasil analisis butir soal

No Kriteria f (%)

1 Mudah 2 8%

2 Sedang 15 60%

3 Sukar 8 32%

Total 25 100%


(22)

Hasil analisis butir soal diperoleh dengan hasil akhir terdiri atas 19 butir soal PISA dengan nilai Alpha Cronbach = 0,768. Dengan mengacu pada Tabel 3.6, maka reliabilitas instrumen ini termasuk dalam kategori tinggi.

b. Angket Sikap Ilmiah

Dalam penelitian ini, angket sikap Ilmiah sudah termasuk di dalam soal PISA yang digunakan sehingga uji validitas yang dilakukan hanya melalui ujicoba pada siswa, yang selanjutnya diolah melalui program SPSS versi 17.0. Dari hasil analisis diperoleh hasil bahwa keduapuluhdua butir pernyataan dinyatakan valid dengan nilai Alpha Cronbach 0,745 yang artinya dengan mengacu Tabel 3.6, maka dapat disimpulkan bahwa reliabilitas instrumen ini tinggi.

c. Angket Perilaku Sehat

Angket perilaku sehat terdiri atas 30 item perilaku yang dinyatakan dalam bentuk pernyataan positif dan negatif. Valid atau tidaknya butir menggunakan patokan angka 0,2 untuk menyatakan bahwa butir telah valid (Nisfiannoor, 2009). Validasi kriteria dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17. Hasil validasi menunjukkan dari 30 butir pernyataan, terdapat 8 butir yang gugur sehingga hanya terpakai 22 butir pernyataan dengan nilai Alpha Cronbach 0,745. Dengan mengacu pada Tabel 3.6, maka data ini menunjukkan bahwa reliabilitas instrumen ini tergolong tinggi.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas menjelaskan seberapa jauh pengukuran yang dilakukan berkali-kali akan menghasilkan banyak perbedaan informasi yang berarti. Suatu tes dapat dikatakan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi apabila tes tersebut dapat mengukur dan memberikan hasil yang konsisten (Sudjana, 2011:16). Instrumen tes dalam penelitian ini dilakukan Uji Reliabilitas dengan menggunakan program SPSSversi 17.0. Kriteria reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 3.6.


(23)

51

Tabel 3.6 Derajat Reliabilitas Soal

Koefisien Korelasi Keterangan

0,80 - 1, 00 Sangat tinggi

0,60 – 0,79 Tinggi

0,40 – 0,59 Cukup

0,20 – 0,39 Rendah

0,00 – 0,19 Sangat rendah

(Arikunto, 2013:319) 3. Uji Keterbacaan

Uji keterbacaan dilakukan melalui validasi konten oleh dosen ahli untuk menilai konsistensi makna dari materi yang dialihbahasakan dibandingkan terhadap versi bahasa aslinya. Selain itu, butir soal juga diujikan keterbacaannya pada siswa untuk menilai ketersampaian makna butir soal dan dilakukan judgment oleh ahli bahasa untuk menilai validasi konstruknya setelah proses penerjemahan.

G. Prosedur dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam pelaksanaan penelitian ini mengikuti beberapa tahap, antara lain : 1. Tahap Persiapan

Merupakan tahap penyusunan dan penyiapan instrumen penelitian yang terdiri atas butir soal literasi sains dan angket siswa.

a. Membuat instrumen soal dan angket. Butir soal literasi sains diadaptasi dari soal-soal PISA yang diterbitkan oleh OECD tahun 2006 yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia kemudian diuji keterbacaannya. Angket Perilaku Sehat dibuat berdasarkan kisi-kisi sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan sebelumnya.

b. Melakukan konsultasi instrumen ke dosen pembimbing yang selanjutnya dilakukan judgment oleh Dosen Ahli.

c. Menyiapkan perangkat penelitian yang terdiri atas: perizinan, penggandaan instrumen, dan peralatan dokumentasi.

2. Tahap Pelaksanaan

Merupakan tahap penyiapan sampel hingga pelaksanaan pengambilan data ke sekolah-sekolah sampel.


(24)

a. Tahap pemilihan sampel, dilakukan dengan menyebarkan surat permohonan izin untuk melakukan penelitian ke sekolah-sekolah yang ada di Bandung, baik SMK maupun SMA yang berstatus negeri ataupun swasta. Data sekolah diperoleh dari dokumen Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

b. Tahap konfirmasi dan tindak lanjut terhadap sekolah-sekolah yang memberikan respon. Selanjutnya dilakukan pendekatan personal kepada guru Biologi untuk diminta bantuannya dalam pengambilan data. Upaya ini dilakukan untuk mengkondisikan siswa agar mau mengerjakan soal-soal instrumen dengan lebih serius. Beberapa guru membantu dalam pengawasan pengisian instrumen, namun ada pula yang memberikan waktunya kepada peneliti untuk langsung melakukan pengambilan data di kelas saat jam pelajaran berlangsung.

c. Pelaksanaan pengambilan data dilakukan sebanyak satu kali pertemuan yang terdiri dari pelaksanaan tes PISA dan diikuti dengan pengisian angket perilaku sehat oleh siswa. Teknik pengumpulan data secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 3.10.

3. Tahap Akhir

Merupakan tahap pengumpulan hingga pengolahan terhadap data-data penelitian.

a. Lembar jawaban yang sudah terkumpul dipilah berdasarkan kelengkapan data. Lembar jawaban yang digunakan sebagai sumber data adalah lembar jawaban yang terisi lengkap, mulai dari identitas hingga kelengkapan jawaban pada kedua instrumen untuk menghindari terjadinya bias data.

b. Data yang diperoleh dari penelitian ini bersifat kuantitatif berupa skor literasi sains mencakup skor PISA dan skala sikap ilmiah dengan mengikuti panduan skor yang dikeluarkan oleh OECD tahun 2006, sedangkan dari hasil angket diperoleh data kuantitatif berupa skor perilaku sehat.


(25)

53

c. Semua jawaban responden yang terkumpul diinput dan dianalisis dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 17.0.

Tabel 3.7 Teknik Pengumpulan Data No. Sumber

Data JenisData

Teknik

Pengumpulan Instrumen

1 Siswa Literasi sains Tes Butir soal pilihan ganda dan essay yang diadopsi dari PISA release item 2006

2 Siswa Sikap Ilmiah Angket Butir skala sikap dari PISA release item 2006 3 Siswa Perilaku

sehat

Angket Butir pernyataan dalam bentuk skala perilaku

H. Analisis Data

Semua data dicatat dalam status penelitian, dikumpulkan dan kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS versi 17.0. Langkah awal dimulai dengan editing, coding, data entry, dan dilanjutkan dengan tabulasi. Setelah proses pengambilan data penelitian selesai, maka diperoleh sejumlah data kuantitatif. Data kuantitatif berupa skor literasi sains siswa dan skor perilaku dari hasil angket siswa yang kemudian akan diuji secara statistik. Analisis data secara kuantitatif mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

a. Memberi skor tiap lembar jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban. b. Menjumlahkan skor mentah dari setiap jawaban.

c. Mengubah skor PISA dan skor perilaku ke dalam bentuk prosentase dengan cara:

� % =∑ � %.

d. Menghitung nilai rata-rata keseluruhan dan nilai rata-rata siswa dengan cara:

� � − = �


(26)

Tabel 3.8 Tafsiran Kategori Kemampuan Nilai (%) Kategori Kemampuan

80-100 Sangat Baik

68-79 Baik

55-67 Cukup/sedang

45-54 Kurang

< 45 Sangat kurang

(Sumber: Gintings, 2008:196)

1. Analisis Capaian Literasi Sains

Analisis tingkat literasi sains dilakukan terhadap aspek kompetensi ilmiah dan aspek sikap terhadap sains yang ditunjukkan oleh siswa. Akan dilihat bagaimana profil tingkat literasi sains siswa secara keseluruhan data serta pengaruh beberapa faktor lain seperti jenis sekolah dan jurusan. Dalam kajian literasi sains ini, terdapat beberapa aspek yang menjadi fokus penelitian, diantaranya :

a. Aspek Kompetensi Ilmiah

Pemberian skor dari soal-soal PISA mengikuti panduan yang terdapat dalam framework PISA 2006, yang terdiri atas tiga kriteria,

yaitu: “fullcredit”, “partial credit”, dan “no credit”. Skor penuh terdiri

dari skor 2 dan 1 tergantung dari bobot soal sesuai petunjuk di dalam kunci jawaban, yaitu skor untuk jawaban benar yang menunjukkan pemahaman ilmiah yang baik terhadap materi. Skor setengah benar adalah 1, merupakan jawaban benar yang kurang menunjukkan pemahaman ilmiah terhadap materi yang dibahas dan skor salah adalah nol, ini diperuntukkan bagi jawaban yang salah atau tidak diisi sama sekali (OECD, 2007, 2009).

b. Aspek Sikap terhadap Sains

Aspek ini terdiri atas dukungan siswa terhadap inkuiri ilmiah dan ketertarikan siswa terhadap sains. Pernyataan yang mendukung terhadap inkuiri ilmiah diukur melalui sikap sangat setuju (skor=4), setuju


(27)

55

(skor=3), tidak setuju (skor=2), dan sangat tidak setuju (skor=1). Siswa yang menjawab sangat setuju dan setuju menunjukkan dukungan terhadap inkuiri ilmiah (OECD, 2007).

Jawaban pernyataan ketertarikan siswa dalam mempelajari topik sains diukur melalui sangat tertarik (skor=4), tertarik (skor=3), tidak tertarik (skor=2), dan sangat tidak tertarik (skor=1). Siswa yang menjawab pernyataan sangat tertarik dan tertarik menunjukkan ketertarikan dalam mempelajari topik sains, sedangkan siswa yang menjawab tidak tertarik dan sangat tidak tertarik artinya tidak menunjukkan ketertarikan terhadap topik sains (OECD, 2007).

2. Analisis Angket Perilaku Sehat

Skor angket dihitung berdasarkan daftar perilaku sehat dalam bentuk diferensiasi semantik dengan rentang skala 4 dalam bentuk pernyataan positif dengan pilihan selalu (skor=4) dan tidak pernah sama sekali (skor=0) serta pernyataan negatif dengan pilihan selalu (skor=0) dan tidak pernah sama sekali (skor=4). Analisis angket dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17.0.

Interpretasi skor terhadap perilaku individual dapat dilihat dari skor yang diperoleh responden dari keseluruhan butir. Skor individual akan bergerak antara 0 sampai dengan 4. Makin mendekati 4, maka skor individu dapat diinterpretasikan semakin positif atau semakin favorable. Sebaliknya, semakin mendekati 0, maka perilaku responden dinilai semakin negatif atau semakin tak favorable. Intensitas perilaku ditunjukkan oleh seberapa jauh skor yang diperoleh bergeser dari angka 2 (Azwar, 2013: 175).

3. Uji Normalitas Data

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data yang terkumpul mengikuti atau mendekati hukum sebaran normal baku dari Gauss. Sebuah data dikatakan normal apabila nilai sig (p) >0,05 dan data tidak normal apabila nilai sig (p) < 0,05 (Nisfiannoor, 2009: 91-93). Hasil yang diperoleh dari


(28)

uji normalitas ini akan menentukan langkah analisis selanjutnya apakah menggunakan analisis parametrik atau non parametrik .

4. Analisis Statistik

Untuk mengetahui sejauhmana hubungan tiap variabel yang diteliti serta faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap hasil, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas untuk menentukan metode analisis yang sesuai. Berdasarkan hasil uji normalitas diketahui bahwa sebaran data untuk variabel skor PISA dan sikap ilmiah tidak berdistribusi normal sehingga analisis data menggunakan statistik non parametrik, sementara data perilaku sehat mengikuti distribusi normal sehingga untuk menganalisisnya digunakan uji Parametrik.

Pada variabel skor PISA dan sikap ilmiah, untuk melihat perbedaan antara kedua kelompok sekolah (SMA dan SMK) analisis dilakukan dengan menggunakan uji Mann Whitney sebagai pengganti Independent-Sample T Test dan uji Kruskal-Wallis sebagai pengganti One way Anova untuk melihat pengaruh faktor jurusan terhadap capaian skor siswa. Adapun untuk variabel Perilaku sehat, karena distribusi datanya normal, maka analisis yang digunakan adalah uji t dan One way Anova. Untuk melihat korelasi antar variabel, dilakukan uji korelasi Rank Spearman (Nisfiannoor, 2009: 145).

Untuk mengetahui besarnya kontribusi variabel prediktor terhadap variabel independen digunakan analisis regresi berganda (multivariat) dan analisis logistik. Sebelum digunakan analisis regresi, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik untuk memastikan bahwa model persamaan yang digunakan sudah sesuai atau belum. Jika semua asumsi terpenuhi, maka melalui analisis regresi dapat diketahui nilai koefisien determinasi yang menggambarkan besaran kontribusi variabel X (literasi sains) terhadap Y (perilaku sehat). Oleh karena analisis regresi merupakan analisis parametrik, maka untuk data yang berdistribusi tidak normal harus dilakukan konversi ke bentuk nilai baku (Z) agar distribusinya menjadi normal sehingga analisis regresi dapat digunakan.

Ada tidaknya pengaruh interaksi kedua variabel X (literasi sains) terhadap Y (Perilaku Sehat) dianalisis menggunakan Two Way Anova dengan interaksi.


(29)

57

Selanjutnya, kedua langkah analisis ini dilakukan kembali pada tingkat kelompok jurusan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh variasi jurusan terhadap seluruh variabel yang diukur.


(30)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Setelah penulis mengadakan pembahasan mengenai seberapa jauh hubungan tingkat literasi sains terkait masalah kesehatan pada siswa Sekolah Lanjutan Atas (SLA) dan perilaku sehatnya, maka dalam bab ini penulis mencoba menarik kesimpulan dan memberikan saran berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan dalam bab sebelumnya.

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil uji hipotesis komparatif, bahwa terdapat perbedaan pengetahuan sains yang signifikan antara kelompok SMA dengan kelompok SMK, dimana kelompok SMA jurusan IPA sebagai kelompok yang memiliki pengetahuan sains yang lebih baik daripada kelompok SMK dan jurusan lainnya.

Terdapat perbedaan sikap ilmiah yang signifikan antara kelompok SMA dengan kelompok SMK, dimana kelompok SMK jurusan Kesehatan memiliki sikap ilmiah yang lebih baik daripada kelompok SMA dan jurusan lainnya.

Berdasarkan hasil uji hipotesis komparatif, maka terdapat perbedaan perilaku sehat yang signifikan antara kelompok SMA dengan kelompok SMK, dimana kelompok SMK jurusan Kesehatan memiliki perilaku sehat yang lebih baik daripada kelompok SMK dan jurusan lainnya.

Berdasarkan hasil uji hipotesis asosiatif, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Pengetahuan Sains dengan Perilaku Sehat, dimana tingkat kekuatan hubungan yang terjadi terkategori sangat lemah. Namun terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap Ilmiah dengan Perilaku Sehat, dimana tingkat kekuatan hubungan yang terjadi terkategori sangat lemah. Hal ini berimplikasi pada kenyataan bahwa tingginya tingkat keilmuan seseorang bukan merupakan jaminan bagi perilakunya.


(31)

118

B. Rekomendasi

Berdasarkan temuan dan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut :

1. Faktor pembiasaan merupakan faktor yang penting dalam membentuk perilaku sebagaimana kegiatan melakukan latihan dapat meningkatkan kemampuan seorang individu. Dalam hal penguasaan soal-soal PISA, siswa perlu diberikan lebih banyak latihan-latihan soal yang menyerupai agar siswa menjadi lebih familiar sehingga dapat meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan soal-soal PISA. Untuk meningkatkan sikap ilmiah, dapat ditempuh dengan menambah jumlah jam kegiatan praktek dalam pembelajaran.

2. Lingkungan sekolah dan keluarga sebagai tempat siswa melaksanakan aktivitas siswa sehari-hari diharapkan memiliki peran kontrol dalam mengarahkan potensi yang dimiliki oleh siswa akan menjadi poin yang penting dalam membangun budaya positif yang selanjutnya akan berdampak terhadap sikap dan perilaku sehat. Dalam usianya, siswa 15 tahun umumnya masih berada dalam tahap identifikasi sehingga sangat membutuhkan raw model untuk ditiru. Faktor lingkungan memiliki peran yang besar dalam membentuk karakter kepribadian dan perilaku sehat individu.

3. Perlu kiranya bagi pihak sekolah untuk mengadakan regulasi yang mampu mendorong setiap individu untuk melaksanakan gerakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang disertai pembekalan beserta rasionalisasinya agar masing-masing dapat menghayati dan bukan sekedar berperilaku seperti robot. Misalnya melalui program-program seperti: siswa dibiasakan memilah sampah organik dan non organik, mengadakan program bank sampah, dan lain-lain. Pada akhirnya siswa dapat memiliki budaya perilaku yang positif, pemahaman yang komprehensif dan menyadari peran pentingnya berperilaku sehat sehingga dapat berkontribusi besar dalam pembangunan.

4. Bagi pengembangan kurikulum, hendaknya memperkaya muatan materi kesehatan yang diintegrasikan dalam setiap aspek pembelajaran yang konteksnya dapat disesuaikan dengan karakteristik jurusan. Misalnya, bagi


(32)

SMK jurusan teknik dapat diperkaya materi konsep keselamatan kerja, bagi jurusan IPS dapat ditekankan mengenai peran individu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat, bagi jurusan administrasi perkantoran ditekankan pentingnya kebersihan dalam bekerja dan lain sebagainya.

5. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat menambahkan indikator-indikator perilaku sehat yang belum terukur dalam penelitian ini.


(1)

55

Afianti Sulastri, 2014

KONTRIBUSI LITERASI SAINS DAN KORELASINYA TERHADAP PERILAKU SEHAT SISWA SEKOLAH LANJUTAN ATAS KELAS X

(skor=3), tidak setuju (skor=2), dan sangat tidak setuju (skor=1). Siswa yang menjawab sangat setuju dan setuju menunjukkan dukungan terhadap inkuiri ilmiah (OECD, 2007).

Jawaban pernyataan ketertarikan siswa dalam mempelajari topik sains diukur melalui sangat tertarik (skor=4), tertarik (skor=3), tidak tertarik (skor=2), dan sangat tidak tertarik (skor=1). Siswa yang menjawab pernyataan sangat tertarik dan tertarik menunjukkan ketertarikan dalam mempelajari topik sains, sedangkan siswa yang menjawab tidak tertarik dan sangat tidak tertarik artinya tidak menunjukkan ketertarikan terhadap topik sains (OECD, 2007).

2. Analisis Angket Perilaku Sehat

Skor angket dihitung berdasarkan daftar perilaku sehat dalam bentuk diferensiasi semantik dengan rentang skala 4 dalam bentuk pernyataan positif dengan pilihan selalu (skor=4) dan tidak pernah sama sekali (skor=0) serta pernyataan negatif dengan pilihan selalu (skor=0) dan tidak pernah sama sekali (skor=4). Analisis angket dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17.0.

Interpretasi skor terhadap perilaku individual dapat dilihat dari skor yang diperoleh responden dari keseluruhan butir. Skor individual akan bergerak antara 0 sampai dengan 4. Makin mendekati 4, maka skor individu dapat diinterpretasikan semakin positif atau semakin favorable. Sebaliknya, semakin mendekati 0, maka perilaku responden dinilai semakin negatif atau semakin tak favorable. Intensitas perilaku ditunjukkan oleh seberapa jauh skor yang diperoleh bergeser dari angka 2 (Azwar, 2013: 175).

3. Uji Normalitas Data

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data yang terkumpul mengikuti atau mendekati hukum sebaran normal baku dari Gauss. Sebuah data dikatakan normal apabila nilai sig (p) >0,05 dan data tidak normal apabila nilai sig (p) < 0,05 (Nisfiannoor, 2009: 91-93). Hasil yang diperoleh dari


(2)

Afianti Sulastri, 2014

KONTRIBUSI LITERASI SAINS DAN KORELASINYA TERHADAP PERILAKU SEHAT SISWA SEKOLAH LANJUTAN ATAS KELAS X

uji normalitas ini akan menentukan langkah analisis selanjutnya apakah menggunakan analisis parametrik atau non parametrik .

4. Analisis Statistik

Untuk mengetahui sejauhmana hubungan tiap variabel yang diteliti serta faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap hasil, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas untuk menentukan metode analisis yang sesuai. Berdasarkan hasil uji normalitas diketahui bahwa sebaran data untuk variabel skor PISA dan sikap ilmiah tidak berdistribusi normal sehingga analisis data menggunakan statistik non parametrik, sementara data perilaku sehat mengikuti distribusi normal sehingga untuk menganalisisnya digunakan uji Parametrik.

Pada variabel skor PISA dan sikap ilmiah, untuk melihat perbedaan antara kedua kelompok sekolah (SMA dan SMK) analisis dilakukan dengan menggunakan uji Mann Whitney sebagai pengganti Independent-Sample T Test dan uji Kruskal-Wallis sebagai pengganti One way Anova untuk melihat pengaruh faktor jurusan terhadap capaian skor siswa. Adapun untuk variabel Perilaku sehat, karena distribusi datanya normal, maka analisis yang digunakan adalah uji t dan One way Anova. Untuk melihat korelasi antar variabel, dilakukan uji korelasi Rank Spearman (Nisfiannoor, 2009: 145).

Untuk mengetahui besarnya kontribusi variabel prediktor terhadap variabel independen digunakan analisis regresi berganda (multivariat) dan analisis logistik. Sebelum digunakan analisis regresi, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik untuk memastikan bahwa model persamaan yang digunakan sudah sesuai atau belum. Jika semua asumsi terpenuhi, maka melalui analisis regresi dapat diketahui nilai koefisien determinasi yang menggambarkan besaran kontribusi variabel X (literasi sains) terhadap Y (perilaku sehat). Oleh karena analisis regresi merupakan analisis parametrik, maka untuk data yang berdistribusi tidak normal harus dilakukan konversi ke bentuk nilai baku (Z) agar distribusinya menjadi normal sehingga analisis regresi dapat digunakan.

Ada tidaknya pengaruh interaksi kedua variabel X (literasi sains) terhadap Y (Perilaku Sehat) dianalisis menggunakan Two Way Anova dengan interaksi.


(3)

57

Afianti Sulastri, 2014

KONTRIBUSI LITERASI SAINS DAN KORELASINYA TERHADAP PERILAKU SEHAT SISWA SEKOLAH LANJUTAN ATAS KELAS X

Selanjutnya, kedua langkah analisis ini dilakukan kembali pada tingkat kelompok jurusan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh variasi jurusan terhadap seluruh variabel yang diukur.


(4)

Afianti Sulastri, 2014

KONTRIBUSI LITERASI SAINS DAN KORELASINYA TERHADAP PERILAKU SEHAT SISWA SEKOLAH LANJUTAN ATAS KELAS X

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Setelah penulis mengadakan pembahasan mengenai seberapa jauh hubungan tingkat literasi sains terkait masalah kesehatan pada siswa Sekolah Lanjutan Atas (SLA) dan perilaku sehatnya, maka dalam bab ini penulis mencoba menarik kesimpulan dan memberikan saran berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan dalam bab sebelumnya.

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil uji hipotesis komparatif, bahwa terdapat perbedaan pengetahuan sains yang signifikan antara kelompok SMA dengan kelompok SMK, dimana kelompok SMA jurusan IPA sebagai kelompok yang memiliki pengetahuan sains yang lebih baik daripada kelompok SMK dan jurusan lainnya.

Terdapat perbedaan sikap ilmiah yang signifikan antara kelompok SMA dengan kelompok SMK, dimana kelompok SMK jurusan Kesehatan memiliki sikap ilmiah yang lebih baik daripada kelompok SMA dan jurusan lainnya.

Berdasarkan hasil uji hipotesis komparatif, maka terdapat perbedaan perilaku sehat yang signifikan antara kelompok SMA dengan kelompok SMK, dimana kelompok SMK jurusan Kesehatan memiliki perilaku sehat yang lebih baik daripada kelompok SMK dan jurusan lainnya.

Berdasarkan hasil uji hipotesis asosiatif, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Pengetahuan Sains dengan Perilaku Sehat, dimana tingkat kekuatan hubungan yang terjadi terkategori sangat lemah. Namun terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap Ilmiah dengan Perilaku Sehat, dimana tingkat kekuatan hubungan yang terjadi terkategori sangat lemah. Hal ini berimplikasi pada kenyataan bahwa tingginya tingkat keilmuan seseorang bukan merupakan jaminan bagi perilakunya.


(5)

118

Afianti Sulastri, 2014

KONTRIBUSI LITERASI SAINS DAN KORELASINYA TERHADAP PERILAKU SEHAT SISWA SEKOLAH LANJUTAN ATAS KELAS X

B. Rekomendasi

Berdasarkan temuan dan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut :

1. Faktor pembiasaan merupakan faktor yang penting dalam membentuk perilaku sebagaimana kegiatan melakukan latihan dapat meningkatkan kemampuan seorang individu. Dalam hal penguasaan soal-soal PISA, siswa perlu diberikan lebih banyak latihan-latihan soal yang menyerupai agar siswa menjadi lebih familiar sehingga dapat meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan soal-soal PISA. Untuk meningkatkan sikap ilmiah, dapat ditempuh dengan menambah jumlah jam kegiatan praktek dalam pembelajaran.

2. Lingkungan sekolah dan keluarga sebagai tempat siswa melaksanakan aktivitas siswa sehari-hari diharapkan memiliki peran kontrol dalam mengarahkan potensi yang dimiliki oleh siswa akan menjadi poin yang penting dalam membangun budaya positif yang selanjutnya akan berdampak terhadap sikap dan perilaku sehat. Dalam usianya, siswa 15 tahun umumnya masih berada dalam tahap identifikasi sehingga sangat membutuhkan raw model untuk ditiru. Faktor lingkungan memiliki peran yang besar dalam membentuk karakter kepribadian dan perilaku sehat individu.

3. Perlu kiranya bagi pihak sekolah untuk mengadakan regulasi yang mampu mendorong setiap individu untuk melaksanakan gerakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang disertai pembekalan beserta rasionalisasinya agar masing-masing dapat menghayati dan bukan sekedar berperilaku seperti robot. Misalnya melalui program-program seperti: siswa dibiasakan memilah sampah organik dan non organik, mengadakan program bank sampah, dan lain-lain. Pada akhirnya siswa dapat memiliki budaya perilaku yang positif, pemahaman yang komprehensif dan menyadari peran pentingnya berperilaku sehat sehingga dapat berkontribusi besar dalam pembangunan.

4. Bagi pengembangan kurikulum, hendaknya memperkaya muatan materi kesehatan yang diintegrasikan dalam setiap aspek pembelajaran yang konteksnya dapat disesuaikan dengan karakteristik jurusan. Misalnya, bagi


(6)

Afianti Sulastri, 2014

KONTRIBUSI LITERASI SAINS DAN KORELASINYA TERHADAP PERILAKU SEHAT SISWA SEKOLAH LANJUTAN ATAS KELAS X

SMK jurusan teknik dapat diperkaya materi konsep keselamatan kerja, bagi jurusan IPS dapat ditekankan mengenai peran individu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat, bagi jurusan administrasi perkantoran ditekankan pentingnya kebersihan dalam bekerja dan lain sebagainya.

5. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat menambahkan indikator-indikator perilaku sehat yang belum terukur dalam penelitian ini.