Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan No Panggil D MAT KUR p-2010.

(1)

PERNYATAAN ... i

LEMBAR PERSEMBAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 17

E. Definisi Operasional ... 18

BAB III STUDI LITERATUR A. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual ... 20

B. Pembelajaran Matematika dengan Metode Jigsaw II ... 28

C. Pembelajaran Matematika secara Konvensional ... 35

D. Pemahaman Matematis ... 36

E. Belajar Matematika dengan Pemahaman ... 44

F. Karakteristik Siswa yang Bermasalah dalam Memahami Masalah dan Cara Penanganannya ... 49


(2)

I. Penelitian yang Relevan ... 75

J. Hipotesis ... 80

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 87

B. Variabel Penelitian ... 88

C. Populasi dan Sampel ... 90

D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ... 90

1. Tes Pengetahuan Awal ... 91

2. Instrumen Skala Disposisi Matematis ... 95

3. Format Observasi ... 97

4. Format Wawancara ... 98

5. Soal Pretes dan Postes ... 99

6. Pengembangan Bahan Ajar dan Desainnya ... 108

7. Kegiatan Pembelajaran ... 109

8. Teknik Pengolahan Data ... 113

9. Prosedur Penelitian ... 120

E. Jadwal Penelitian ... 123

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Pengetahuan Awal Matematis Siswa ... 125

1. Analisis Perbedaan Hasil Skor PAM Siswa pada Sekolah Level Tengah ... 127

2. Analisis Perbedaan Hasil Skor PAM Siswa pada Sekolah Level Atas ... 129


(3)

B. Analisis Data Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa

untuk Setiap Pembelajaran ... 133 1. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPM Siswa

pada Sekolah Level Tengah ... 137 2. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPM Siswa

pada Sekolah Level Atas ... 149 3. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPM Siswa

Secara Keseluruhan ... 160 C. Analisis Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Siswa untuk Setiap Pembelajaran ... 181 1. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPMM Siswa

pada Sekolah Level Tengah ... 184 2. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPMM Siswa

pada Sekolah Level Atas ... 196 3. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPMM Siswa

Secara Keseluruhan ... 207 D. Analisis Data Kemampuan Disposisi Matematis Siswa untuk

Setiap Pembelajaran ... 227 1. Analisis Data Peningkatan KDM Siswa pada Sekolah

Level Tengah ... 228 2. Analisis Data Peningkatan KDM Siswa pada Sekolah

Level Atas ... 234 3. Analisis Data Peningkatan KDM Siswa secara Keseluruhan ... 239 E. Hubungan KPM. KPMM, KDM dan PAM Siswa ... 249

1. Analisis Korelasi KPM. KPMM, KDM dan PAM Siswa

Pada Pendekatan CTLJ ... 250 2. Analisis Korelasi KPM. KPMM, KDM dan PAM Siswa

Pada Pendekatan CTL ... 253 2. Analisis Korelasi KPM. KPMM, KDM dan PAM Siswa

Pada Pendekatan PK ... 255 F. Rekapitulasi Hasil Analisis Pengujian Hipotesis ... 258 G. Respon terhadap Pembelajaran dengan Pendekatan CTLJ


(4)

4. Respon Siswa berdasarkan Hasil Jurnal ... 274

H. Pembahasan ... 276

1. PAM Siswa berdasarkan Level Sekolah ... 276

2. Peningkatan dan Pencapaian KPM Siswa ... 279

3. Peningkatan dan Pencapaian KPMM Siswa ... 286

4. Peningkatan KDM Siswa ... 292

5. Hubungan antara KPM, KPMM dan KDM Siswa Ditinjau dari Pendekatan Pembelajaran dan Faktor PAM ... 296

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 299

B. Implikasi ... 302

C. Rekomendasi ... 304 DAFTAR PUSTAKA


(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar unggul dan dapat diandalkan dalam menghadapi persaingan bebas di segala bidang kehidupan yang kian ketat sebagai akibat dari globalisasi dunia, merupakan tugas semua pihak. Penanganannya harus dilakukan secara simultan, berkesinambungan dan terarah, sehingga keterpurukan bangsa Indonesia segera dapat diatasi guna mencapai kejayaan bangsa.

Pendidikan yang baik dan tepat dipandang sebagai aset dari sektor yang strategis adalah untuk mempersiapkan SDM yang berbudi pekerti luhur serta mumpuni dalam menyelesaikan setiap permasalahan, harus benar-benar ditangani secara profesional. Hal ini terbukti dengan dilakukannya pembenahan sektor pendidikan di semua lini oleh pemerintah, baik dari kesejahteraan, sarana dan prasarana pendidikan, maupun kompetensi pendidiknya.

Usaha-usaha yang intensif dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan sudah selayaknya lebih diperhatikan, karena melalui pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi siswa sebagai calon SDM yang handal untuk dapat bersikap dan berprilaku kritis, kreatif, logis dan inovatif dalam menghadapi serta menyelesaikan setiap permasalahan. Hal tersebut senada dengan pendapat Ruseffendi (1991) yang menyatakan bahwa hasil dari pendidikan matematika yaitu siswa diharapkan memiliki kepribadian yag kreatif, kritis, berpikir ilmiah, jujur, hemat, disiplin, tekun, berprikemanusiaan,


(6)

mempunyai perasaan keadilan, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa dan negara. Begitu juga Sumarmo (2004: 1) menyatakan bahwa pendidikan matematika sebagai proses yang aktif, dinamik, dan generatif melalui kegiatan matematika (doing math) memberikan sumbangan yang penting kepada siswa dalam pengembangan nalar, berfikir logis, sistematik, kritis dan cermat, serta bersikap obyektif dan terbuka dalam menghadapi berbagai permasalahan.

Melalui pengembangan program pendidikan matematika yang berfokus pada pengkonstruksian, pengembangan pemahaman dan pemecahan masalah matematis, siswa akan terdorong untuk berpikir matematis secara sistematis, logis dan cermat. Melalui cara berpikir tersebut, maka di dalam pola pikir siwa akan tumbuh berbagai doing math, yang mendorong motivasi para siswa untuk bekerja keras dalam menerapkan hasil belajarnya di kehidupan sehari-hari serta sebagai bekal untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dalam peran mereka sebagai anggota keluarga, masyarakat dan warga negara. Sebagaimana tujuan pembelajaran matematika yang merupakan bagian kelompok program adaptif di tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) (Depdiknas, 2006) yaitu berfungsi untuk membentuk peserta didik sebagai individu agar memiliki dasar pengetahuan yang luas dan kuat untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sosial, lingkungan kerja, serta mampu mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Selain itu, tujuan pembelajaran matematika tingkat SMK kelompok teknologi (Depdiknas: 2008) adalah:


(7)

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah

2. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

3. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah

4. Menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah

5. Menalar secara logis dan kritis serta mengembangkan aktivitas kreatif dalam memecahkan masalah dan mengkomunikasikan ide. Di samping itu memberi kemampuan untuk menerapkan matematika pada setiap program keahlian.

Oleh karena itu, salah satu tujuan yang harus menjadi prioritas dalam pembelajaran matematika adalah kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sabandar (2006) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah matematis merupakan suatu kemampuan yang harus dicapai dan peningkatan berpikir matematis tersebut merupakan prioritas tujuan dalam pembelajaran matematika. Demikian pula Devlin (2007) menegaskan pemahaman dan pemecahan masalah matematis merupakan unsur penting dalam setiap pembelajaran di semua jenjang pendidikan, baik jenjang persekolahan maupun perguruan tinggi. Bahkan ia menyatakan bahwa kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis merupakan salah satu kekuatan yang menjadi tujuan pembelajaran matematika pada level sekolah menengah, yang memberi peluang besar pada siswa untuk dapat memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, dunia kerja dan ilmu pengetahuan lainnya.

Kemampuan pemahaman matematis (KPM) penting untuk dimiliki siswa, karena kemampuan tersebut merupakan prasayarat seseorang untuk memiliki


(8)

kemampuan pemecahan masalah matematis ((KPMM), ketika seseorang belajar matematika memahami konsep-konsep, maka saat itulah orang tersebut mulai merintis kemampuan-kemampuan berpikir matematis yang lainnya, salah satunya adalah pemecahan masalah matematis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sumarmo (2003b) yang menyatakan pemahaman matematis penting dimiliki siswa karena diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika, masalah dalam disiplin ilmu lain, dan masalah dalam kehidupan sehari-hari, yang merupakan visi pengembangan pembelajaran matematika untuk memenuhi kebutuhan masa kini.

Pemahaman matematis suatu konsep dan pemecahan masalah matematis, baik yang rumit maupun yang tidak rumit, akan mudah dipahami oleh para siswa jika mereka diberikan kesempatan untuk memperoleh contoh-contoh kongkrit yang pernah dikenalinya. Selain itu, dalam pembelajarannya mereka harus diberikan kesempatan untuk proaktif terlibat secara langsung dalam menemukan kembali konsep-konsep matematis, serta mempraktekkannya untuk memecahkan permasalahan dari situasi dan kondisi yang diberikan. Agar memiliki pemahaman dan pemecahan masalah matematis Ruseffendi (1991) menyarankan sebaiknya guru mengorganisir sekolah bukan untuk guru mengajar tetapi untuk anak-anak belajar. Menempatkan anak-anak kepada pusat kegiatan belajar, membantu dan mendorong anak-anak untuk belajar, bagaimana menyusun pertanyaan, bagaimana membicarakan dan menemukan jawaban-jawaban persoalan, agar siswa diaktifkkan menyelesaikan problema-problema matematika dalam kelompok-kelompok, digunakannya alat peraga, diberikannya permainan-permainan yang


(9)

menarik, menumbuhkan orginalitas berpikir, menemukan sesuatu, menemukan kembali sesuatu, membuktikan sesuatu dengan cara barunya.

Namun berdasarkan kenyataan di lapangan pendidikan menunjukkan indikasi yang berbeda, guru terbiasa melakukan pembelajaran secara konvensional, guru hanya sekedar penyampai pesan pengetahuan, sementara siswa cenderung sebagai penerima pengetahuan dengan cara mencatat, mendengarkan dan menghapal, serta berlatih mengerjakan soal-soal yang disampaikan oleh gurunya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Sumarmo (1993) yang mengungkapkan bahwa pada umumnya kondisi saat ini dilapangan pendidikan, diindikasikan pembelajaran matematika kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal sehingga siswa kurang aktif dalam belajar, begitupula Wahyudin (1999) menyatakan bahwa guru matematika pada umumnya mengajar dengan metode ceramah dan ekspositori.

Hasil laporan Trends in International Mathematics and Sciences Study

(TIMSS) tahun 1999 (Suryadi, 2005) menegaskan bahwa secara umum pembelajaran matematika di Indonesia masih terdiri atas rangkaian kegiatan berikut: awal pembelajaran dimulai dengan sajian masalah oleh guru, selanjutnya dilakukan demonstrasi penyelesaian masalah tersebut, dan terakhir guru meminta siswa untuk melakukan latihan penyelesaian soal. Selain itu hasil penilaian TIMSS tahun 2003 dengan penekanan pada kemampuan pengetahuan fakta, prosedur, konsep, pemahaman dan aplikasi matematika serta penalaran ternyata siswa kelas 8 Indonesia berada pada posisi ke-30 dari 34 negara (Mullis et al, 2004). Bahkan menurut Asosiasi Guru Matematika Indonesia (Nanang, 2009)


(10)

meskipun jumlah jam pelajaran matematika sekolah di Indonesia lebih banyak dibandingkan Malaysia dan Singapura, namun rata-rata prestasi matematika siswa Indonesia lebih rendah dibandingkan kedua negara tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa waktu belajar yang digunakan siswa-siswa di sekolah kita tidak sebanding dengan perolehan prestasi matematika yang dicapainya, diantaranya kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematisnya.

Walaupun dalam beberapa tahun terakhir anak-anak Indonesia untuk jenjang olimpiade matematika SMA sudah menunjukkan prestasi yang menggembirakan, antara lain dengan diperolehnya medali perunggu, serta medali emas untuk jenjang SD (Suryadi, 2005) namun pada umumnya penggunaan orginalitas strategi dalam pemecahan masalah tak rutin serta prestasi anak-anak Indonesia masih jauh ketinggalan dengan negara-negara Asia lainnya.

Hal tersebut, didukung fakta belum memuaskannya kemampuan pemahaman matematis terlihat dalam nilai rata-rata matematika siswa SMK pada Ujian Nasional lima tahun terakhir, relatif merupakan nilai terendah dari semua mata pelajaran yang diujiankan (Depdiknas, 2008). Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa terlihat juga dari rendahnya prestasi kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di ajang Internasional dalam

Program for International Assesment (PISSA) tahun 2003 bahwa Indonesia masih berada pada peringkat ke 38 dari 40 negara yang berpartisipasi (Syaban, 2008).

Dalam kaitannya hasil pembelajaran terhadap kemampuan disposisi matematis, seperti siswa mampu menunjukan gairah dalam belajar, menunjukkan rasa percaya diri dalam menyelesaikan soal, rasa ingin tahu, serta kemampuan


(11)

berbagi dengan orang lain, ternyata pada umunya hasil pembelajaran masih belum berkotribusi secara memuaskan terhadap kemampuan disposisi matematis siswa. Hasil penelitian Syaban (2008) mengungkapkan bahwa siswa-siswa yang belajar matematika dengan pembelajaran konvensional ternyata kurang berkontribusi terhadap pencapaian kemampuan disposisi matematisnya. Padahal kemampuan disposisi matematis tersebut akan dapat membuat siswa lebih aktif dalam belajar matematika, dan jika siswa sudah aktif belajar maka siswa diharapkan akan meningkat prestasi belajar matematikanya. Sebagaimana National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) menyarankan bahwa salah satu penilaian hasil belajar matematika siswa dapat juga ditinjau dari kemampuan disposisi matematisnya.

Alasan lain, penelitian tentang peningkatan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis perlu mendapat perhatian yang lebih serius, karena hasil sejumlah penelitian pembelajaran matematika (Suryadi, 2005) pada umumnya masih terfokus pada pengembangan berpikir matematis yang bersifat prosedural, padahal hasil laporan TIMSS mengungkapkan bahwa pembelajaran matematika yang lebih menekankan aspek penalaran dan pemecahan masalah matematis akan mampu menghasilkan siswa berprestasi tinggi. Soedjadi (Nanang, 2009) mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis bagi seseorang akan membantu keberhasilan orang tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan fakta-fakta tentang proses dan hasil belajar yang diuraikan di atas, maka dalam proses kegiatan belajar-mengajar matematika perlu adanya


(12)

inovasi pendekatan pembelajaran yang penekanannya kepada student centred

sehingga kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis, serta disposisi matematis dapat ditumbuhkembangkan. Salah satu pembelajaran dengan ciri-ciri tersebut adalah pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.

Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual disesuaikan dengan tumbuh-kembangnya ilmu pengetahuan. Konsep/pengetahuan yang akan dipelajari dibangun oleh siswa, melalui proses tanya jawab dalam bentuk diskusi kelompok kecil, atau dapat juga siswa diberi materi pelajaran melalui konteks permasalahan-permasalahan sehari-hari serta aplikasinya dalam bentuk lembar kerja siswa yang didiskusikan secara berkelompok dengan bimbingan guru.

Dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual, guru tidak serta merta secara langsung memberi tahu solusi suatu permasalahan yang disajikannya, tetapi guru menggunakan teknik Scaffolding yaitu membimbing siswa dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka (divergen) yang mengarah pada jawaban, memberikan bantuan secara terstruktur pada awal pembelajaran, kemudian secara bertahap mengaktifkan siswa untuk belajar mandiri. Selain itu, dengan bimbingan guru pula, siswa dalam kelompok-kelompok kecil akan saling bertukar pikiran dan saling membantu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.

Melalui proses pembelajaran tersebut, guru memberi peluang yang lebih besar agar siswa dapat secara aktif mengkonstruksi, menemukan dan memahami konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah secara mandiri/berkelompok. Sebagaimana pendapat Hudoyo (1979:109), “.... jika siswa


(13)

aktif terlibat dalam menemukan suatu prinsip dasar, siswa itu akan mengerti konsep tersebut lebih baik, daya mengingat lebih baik dan mampu menggunakan konsep tersebut dalam konteks yang lain”

Dengan demikian, melalui pendekatan kontekstual maka konsep-konsep matematika dan pengetahuan lainnya akan dibangun oleh siswa tahap demi tahap melalui suatu proses pengkonstruksian pengetahuan secara bermakna. Walaupun, mungkin pada tahap proses pengkonstruksian pengetahuan untuk memecahkan permasalahan tidak selalu mulus dilakukan siswa, namun melalui proses pembelajaran secara berkelompok dan tehnik Scaffolding, siswa akan selalu tertantang dan berpeluang memiliki kemampuan disposisi matematis.

Selain itu, pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dalam menyelesaikan permasalahannya dapat melalui proses penemuan pengetahuan/konsep-konsep matematika yang diperoleh melalui proses pengkonstruksian berdasarkan pengaktifan dan pengkaitan pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya, sehingga siswa akan memiliki peluang besar untuk dapat memiliki kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis. Hal ini sejalan dengan pendapat Sumarmo (2005) yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan menerapkan pendekatan Scaffolding, menyajikan permasalahan non-rutin yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari/aplikasi matematika dan kegiatan belajar dalam kelompok kecil akan mendorong siswa memiliki berpikir tingkat tinggi. Salah satu berpikir matematis tingkat tinggi diantaranya adalah pemecahan masalah matematis.


(14)

Salah satu kekuatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yaitu pada awal pembelajarannya siswa diberi permasalahan-permasalahan situasional yang dikemas dalam bentuk basis-basis konteks permasalahan yang berkaitan dengan konsep matematika, ilmu pengetahuan lain atau kehidupan nyata, dimana cara penyelesaiannya dapat dilakukan mandiri atau melalui diskusi, sharing idea

dengan teman, melakukan ekplorasi, investigasi serta pemecahan masalah yang dapat melibatkan bukan saja satu bidang studi tetapi bila diperlukan mungkin bidang studi lain, sehingga proses kegiatan tersebut akan merangsang siswa menggunakan segala kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan. Sebagaimana Sabandar (2005) menyatakan bahwa situasi pemecahan masalah merupakan tahapan dimana ketika individu dihadapkan kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi konflik kognitif yang berpeluang memaksa siswa untuk berpikir matematis. Berpikir matematis diantaranya yaitu kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis serta disposisi matematis.

Seting pembelajaran kontekstual melalui diskusi kelompok dapat dikemas dengan metode jigsaw II. Dengan metode pembelajaran jigsaw II, selain siswa mempunyai kelebihan kerjasama tim dalam kelompok, mereka juga dituntut untuk memahamai spesialisasi tugas/suatu materi yang berbeda-beda dalam memecahkan suatu permasalahan dengan berdiskusi atau mempelajari suatu materi pelajaran lebih dari dua kali. Dengan demikian, pembelajaran kontekstual yang dikemas dengan jigsaw II, selain siswa digiring menuju pengkontruksian


(15)

pengetahuannnya dengan permasalahan-permasalahan kontekstual, juga mereka dituntut harus mampu memahami materi secara keseluruhan dan menyampaikan suatu materi/permasalahan hasil diskusi di kelompok ahli pada teman-teman anggota kelompok asalnya. Dengan cara tersebut, siswa dapat terlibat secara proaktif dalam pembelajaran dan siswa akan terlatih menemukan konsep/pengetahuan sehingga konsep-konsep pengetahuan yang dipelajari siswa akan menjadi lebih bermakna dalam ingatannya. Hal tersebut senada dengan Ruseffendi (1991: 330) yang menyatakan : “...menemukan sesuatu oleh sendiri dapat menumbuhkan rasa percaya terhadap dirinya sendiri, dapat meningkatkan motivasi (termasuk motivasi intrinsik), melakukan pengkajian lebih lanjut, dapat menumbuhkan sikap positif terhadap matematika”. Sikap positif tersebut adalah bagian dari disposisi matematis yang diindikasikan berpeluang guna meningkatkan prestasi belajar matematika.

Dalam implementasi kolaborasi pembelajaran kontekstual dan metode jigsaw II perlu memperhatikan peringkat kelompok siswa ataupun level sekolah. Bagi siswa kelompok tinggi (pandai), pendekatan pembelajaran yang dilakukan bukanlah suatu hal utama dalam pencapaian ataupun peningkatan kemampuan pemahaman, pemecahan masalah matematis ataupun disposisinya. Walaupun demikian, penelitian tentang penerapan kolaborasi pembelajaran kontesktual dengan metode jigsaw II akan lebih berpeluang dilakukan pada siswa kelompok tinggi dan sedang, karena pada kelompok ini diprediksi siswa akan lebih mampu menjelaskan kembali tentang konsep-konsep matematis ataupun cara-cara pemecahan masalah matematis pada teman di kelompok belajar asalnya


(16)

masing-masing, dari materi yang telah didiskusikan dalam kelompok ahlinya. Oleh karena itu, salah satu pertimbangan terpilihnya sekolah level atas dan menengah yang dijadikan subjek penelitian, khususnya dalam pengembangan model pendekatan pembelajaran baru perlu mendapat perhatian. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suryadi (2005) yang menyatakan bahwa kenyataan menunjukkan bahwa peringkat sekolah berkaitan dengan kemampuan siswa secara umum (termasuk matematika). Selain itu, karena sifat ilmu matematika adalah ilmu yang terstruktur dengan ketat. antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya saling berkaitan, maka faktor pengetahuan awal matematis perlu mendapat kajian pula dalam suatu penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Arends (2008: 268), yang menyatakan bahwa kemampuan awal siswa untuk mempelajari ide-ide baru bergantung pada pengetahuan awal mereka sebelumnya dan struktur kognitif yang sudah ada.

Penelitian dengan subjek populasi siswa SMK, khususnya pada SMK kelompok teknologi harus segera dilaksanakan, hal tersebut karena berdasarkan pada program pemerintah bidang kependidikan yang akan membuka sekolah kejuruan, sehingga prosentase antara sekolah kejuruan dan sekolah umum adalah 70% berbanding 30%. Selain itu, agar dapat lebih mempersiapkan para lulusannya untuk memiliki dasar pengetahuan yang luas dan kuat dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sosial, lingkungan kerja, serta mampu mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Berkaitan dengan dipilihnya subjek populasi, menurut Sabandar (Kurniawan, 2006) penelitian dengan subjek siswa-siswa SMK perlu


(17)

dilakukan, karena penelitian-penelitian pada sekolah kejuruan masih sedikit, yaitu sekitar 5% dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan mahasiswa.

Menyimak harapan dan tujuan pendidikan, kenyataan pahit di lapangan pendidikan matematika dewasa ini, subjek penelitian, serta gambaran tentang pendekatan pembelajaran kontekstual yang diharapkan dapat meningkatkan disposisi matematis siswa dalam mengkonstruksi dan mengeksplorasi konsep, sehingga siswa diduga mampu memiliki pemahaman matematis serta meningkatkan pemecahan masalahnya, maka penulis termotivasi untuk meneliti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan implementasinya dalam upaya meningkatkan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, maka rumusan dan batasan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah ada perbedaan peningkatan KPM siswa yang memperoleh kolaborasi pembelajaran kontekstual dan metode jigsaw II (CTLJ), pendekatan kontekstual (CTL) dan pembelajaran konvensional (PK) ditinjau dari sekolah level tengah (ST), sekolah level atas (SA) maupun secara keseluruhan (gabungan ST dan SA)?

2. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan kelompok siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah (PAM) terhadap peningkatan KPM siswa ditinjau dari ST, SA dan secara keseluruhan?


(18)

3. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan KPM siswa secara keseluruhan?

4. Apakah ada perbedaan pencapaian KPM siswa yang memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun secara keseluruhan?

5. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan kelompok siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah (PAM) terhadap pencapaian KPM siswa ditinjau dari ST, SA dan secara keseluruhan?

6. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah terhadap pencapaian KPM siswa secara keseluruhan?

7. Apakah ada perbedaan peningkatan KPMM siswa yang memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun secara keseluruhan?

8. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa terhadap peningkatan KPMM siswa ditinjau dari ST, SA maupun secara keseluruhan? 9. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah

terhadap peningkatan KPMM siswa secara keseluruhan?

10. Apakah ada perbedaan pencapaian KPMM siswa yang memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun secara keseluruhan?

11. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa terhadap pencapaian KPMM siswa ditinjau dari ST, SA maupun secara keseluruhan?


(19)

12. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah terhadap pencapaian KPMM siswa secara keseluruhan?

13. Apakah ada perbedaan peningkatan KDM siswa yang memperoleh pembelajaran CTLJ, memperoleh CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun secara keseluruhan?

14. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan kelompok siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah (PAM) terhadap peningkatan KDM siswa ditinjau dari ST, SA dan secara keseluruhan?

15. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan KDM siswa secara keseluruhan?

16. Apakah ada hubungan antara KPM, KPMM dan KDM siswa setelah pembelajaran CTLJ, CTL dan PK?

17. Bagaimanakah respon siswa terhadap pembelajaran CTLJ dan CTL berdasarkan siswa secara keseluruhan?

D. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis apakah ada perbedaan peningkatan serta pencapaian KPM siswa yang memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun secara keseluruhan.

2. Menganalisis interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa terhadap peningkatan serta pencapaian KPM siswa ditinjau dari ST, SA maupun secara keseluruhan.


(20)

3. Menganalisis interaksi interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan serta pencapaian KPM siswa secara keseluruhan.

4. Menganalisis apakah ada perbedaan peningkatan serta pencapaian KPMM siswa yang memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun secara keseluruhan.

5. Menganalisis interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa terhadap peningkatan serta pencapaian KPMM siswa ditinjau dari ST, SA maupun secara kesluruhan.

6. Menganalisis interaksi interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan serta pencapaian KPMM siswa secara keseluruhan.

7. Menganalisis apakah ada perbedaan peningkatan KDM siswa yang memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun secara keseluruhan.

8. Menganalisis interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa terhadap peningkatan KDM siswa ditinjau dari ST, SA maupun secara kesluruhan.

9. Menganalisis interaksi interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan KDM siswa secara keseluruhan.

10.Menganalisis bagaimanakah hubungan antara KPM, KPMM dan KDM siswa setelah memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL maupun PK.


(21)

E. MANFAAT PENELITIAN

Seperti yang telah dikemukakan dalam latar belakang masalah, dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan bermanfaat:

1. Bagi siswa SMK, diharapkan pembelajaran kontekstual menyediakan suatu pengalaman yang banyak berkaitan dengan situasi kontekstual dalam dunia nyata, sehingga diharapkan bila mereka telah lulus sekolah dapat menerapkan pengetahuannya di dunia kerja dan kehidupan sehari-harinya tanpa mendapat hambatan yang berarti.

2. Bagi para pendidik matematika, diharapkan pembelajaran kontekstual ini dapat menjadi salah satu sumber rujukan dalam menerapkan pembelajaran matematika pada suatu materi tertentu agar peserta didik dapat lebih memahami konsep dan mampu memecahkan masalah matematis, dalam rangka mempersiapkan peserta didiknya memasuki dunia kerja.

3. Bagi peneliti, merupakan pengalaman yang berharga sehingga penelitian ini dapat dijadikan salah satu rujukan teori mengenai pembelajaran matematika yang bersifat konstruktivitis kontekstual, serta membuka suatu wawasan penelitian pendidikan matematika dalam mengembangkan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis pada jenjang pendidikan lainnya.

4. Bagi para pengambil kebijakan pendidikan, agar lebih memahami pembelajaran kontekstual serta implementasinya sehingga pendekatan pembelajaran tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah rujukan dalam meningkatkan prestasi belajar matematika siswa pada umumnya.


(22)

F. DEFINISI OPERASIONAL

Untuk memperoleh kesamaan persepsi tentang definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan istilah yang digunakan, yaitu:

1. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah suatu konsep proses kegiatan belajar-mengajar yang diawali dengan menghadapkan siswa pada masalah nyata atau yang disimulasikan, dikemas dalam suatu konteks sosial dan fisik yang menantang siswa, kemudian diangkat kedalam konsep yang akan dipelajari. Pembelajaran kontekstual ini berisikan karakterisitik sebagai berikut: berbasis masalah kontekstual terstruktur, berpandangan konstruktivisme (constructivism), mengajukan pertanyaan (questioning), menemukan (inquiry), komunitas belajar (learning community), menggunakan model (modeling), melaksanakan refleksi (reflection) dan authentic assessment.

2. Kolaborasi pembelajaran kontekstual dengan metode jigsaw II adalah pembelajaran matematika yang menggunakan karakteristik pendekatan kontesktual dalam seting pembelajaran kooperatif dengan metode jigsaw II. 3. Kemampuan pemahaman matematis siswa adalah suatu kemampuan

menginterpretasikan, memberikan contoh, mengklasifikasikan, merangkum,

dan membandingkan suatu konsep matematik dalam menyelesaikan persoalan. 4. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa adalah suatu kemampuan mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dalam


(23)

matematika, menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) di dalam atau di luar matematika, menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata serta menggunakan matematika secara bermakna (meaningful).

5. Disposisi matematis adalah kecenderungan siswa untuk berpikir dan bertindak dengan cara yang positif, dengan aspek: (1) keluwesan serta kepedulian siswa untuk belajar serta mengeksplorasi penyelesaian soal,; (2) keingintahuan dan kegigihan siswa dalam belajar matematika; (3) kepercayaan diri siswa; (4) kecenderungan merefleksikan buah pikiran dan hasil kerjanya; (5) kemampuan menilai (valuing) manfaat belajar dan aplikasi matematika.


(24)

8

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen. Data penelitian ini dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Tujuan dari metode penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemahaman, pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa SMK kelompok teknologi sebagai akibat dari suatu pembelajaran matematika dengan menggunakan tiga pembelajaran yang berbeda, yaitu kolaborasi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan jigsaw II (CTLJ), pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (CTL), serta pembelajaran konvensional (PK).

Pada penelitian ini ada tiga kelompok siswa yang dipilih secara acak kelas, yaitu Kelompok I (kelompok eksperimen 1), kelompok II (kelompok eksperimen 2) dan kelompok III (kelompok kontrol). Kelompok I memperoleh perlakuan berupa pembelajaran matematika dengan pendekatan CTLJ, kelompok II menggunakan pendekatan CTL, sedangkan kelompok III menggunakan pendekatan PK.

Sebelum perlakuan, ketiga kelompok diberi tes pengetahuan awal matematis (PAM), pretes dan nontes berupa skala psikologi tentang kemampuan disposisi matematis (KDM). Tujuan dilakukannya tes PAM adalah untuk memilah siswa kedalam peringkat tinggi, sedang dan rendah. Pretes dilakukan hanya pada materi Bilangan Real, tetapi tidak untuk materi Program linier. Hal ini dilakukan karena kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa pada


(25)

8

materi Program Linier belum dimiliki dan diajarkan pada siswa sebelumnya. Berbeda dengan materi Bilangan Real, mereka sudah pernah mengenalnya pada jenjang sekolah sebelumnya (ada dalam materi bahasan matematika SMP). Kemudian setelah ketiga kelompok diberikan perlakuan, maka masing-masing kelompok diberikan postes dan nontes skala KDM. Materi soal postes terdiri dari materi Bilangan Real dan Program Linier. Soal pretes dan postes untuk materi Bilangan Real memiliki kiteria kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis yang ekuivalen.

Berdasarkan uraian di atas, maka desain penelitian eksperimennya adalah sebagai berikut:

O1 X1 O1,2 O1 X2 O1,2 O1 O1,2 Keterangan:

O1 = Pretes materi Bilangan Real

O1,2 = Postes materi Bilangan Real dan Program Linier

X1 = Perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan CTLJ X2 = Perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan CTL

B. Variabel Penelitian

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel manipulasi (bebas). Variabel ini adalah pembelajaran CTLJ, CTL dan PK.


(26)

8

2. Variabel respon (terikat). Varibel terikat adalah hasil belajar siswa berupa KPM, KPMM dan KDM.

3. Variabel kontrol. Variabel kontrol terdiri atas: (1) Kategori/level sekolah (sekolah level atas dan level tengah); (2) Pengetahuan awal matematis siswa (peringkat tinggi. sedang dan rendah); (3) Waktu yang digunakan untuk KBM. Keterkaitan antara variabel bebas, variabel terikat dan variabel kontrol disajikan dalam model Weiner pada tabel 3.1.

Tabel 3.1

Keterkaitan antara Kemampuan Pemahaman, Pemecahan Masalah, Disposisi Matematis, Kelompok Pembelajaran, Level Sekolah dan PAM

Level Sekolah Peringkat PAM Siswa Pendekatan Pembelajaran

CTLJ (J) CTL (C) PK

P M PMM DM PM PMM DM PM PMM DM

Atas (A)

Tinggi

(T) PMTJA PMMTJA SMTJA PMTCA PMMTCA SMTCA PMTKA PMMTKA SMTKA Sedang

(S) PMSJA PMMSJA SMSJA PMSCA PMMSCA SMSCA PMSKA PMMSKA SMSKA Rendah

(R) PMRJA PMMRJA SMRJA PMRCA PMMRCA SMRCA PMRKA PMMRKA SMRKA (T+S+R) PMRJA PMMRJA SMRJA PMRCA PMMRCA SMRCA PMRKA PMMRKA SMRKA

Tengah (T)

Tinggi

(T) PMTJT PMMTJT SMTJT PMTCT PMMTCT SMTCT PMTKT PMMTKT SMTKT Sedang

(S) PMSJT PMMSJT SMSJT PMSCT PMMSCT SMSCT PMSKT PMMSKT SMSKT Rendah

(R) PMRJT PMMRJT SMRJT PMRCT PMMRCT SMRCT PMRKT PMMRKT SMRKT (T+S+R) PMRJT PMMRJT SMRJT PMRCT PMMRCT SMRCT PMRKT PMMRKT SMRKT

A+T (G)

Tinggi

(T) PMTJG PMMTJG SMTJG PMTCG PMMTCG SMTCG PMTKG PMMTKG SMTKG Sedang

(S) PMSJG PMMSJG SMSJG PMSCG PMMSCG SMSCG PMSKG PMMSKG SMSKG Rendah

(R) PMRJG PMMRJG SMRJG PMRCG PMMRCG SMRCG PMRKG PMMRKG SMRKG (T+S+R) PMRJA PMMRJA SMRJA PMRCA PMMRCA SMRCA PMRKA PMMRKA SMRKA

Keterangan (Contoh):

PMTJA = PMTCG =

Kemampuan pemahaman matematis kelompok tinggi dengan menggunakan pendekatan CTLJ pada siswa level sekolah atas.

Kemampuan pemahaman matematis kelompok tinggi dengan menggunakan pendekatan CTL pada siswa secara keseluruhan (gabungan level sekolah A dan T).


(27)

8

C. Populasi dan Sampel

Populasi yang terlibat dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMK kelompok teknologi se-Kabupaten Majalengka, sedangkan SMK yang dijadikan sampel adalah sekolah yang berada pada sekolah level atas dan level tengah dengan pertimbangan bahwa di Majalengka sekolah kelompok teknologi berada pada sekolah level atas dan level tengah. Selain itu, pemilihan kategori/level sekolah ditetapkan menurut klasifikasi sekolah dari Dinas Pendidikan Nasional setempat dan berdasarkan hasil Ujian Nasional tahun pelajaran 2007/2008.

Pemilihan sampel sekolah dalam penelitian ini diambil secara purposive sampling untuk memilih satu sekolah level atas dan satu sekolah level tengah. Selanjutnya dipilih secara acak kelas, tiga kelas sampel dari tiap level SMK yang akan mempelajari materi Bilangan Real dan Program Linier sesuai kurikulum yang berlaku, sehingga kelompok sampel kelas penelitian tidak membentuk kelas baru, tetapi menggunakan kelas yang sudah ada di SMK yang terpilih tersebut.

D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya

Untuk memperoleh data yang diperlukan, penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa tes pengetahuan awal matematis, disposisi matematis, format observasi selama proses pembelajaran berlangsung, format wawancara, lembar junal, serta tes untuk hasil belajar (pretes dan postes). Untuk patokan kegiatan pembelajarandibuat rencana pembelajaran dengan pendekatan CTLJ dan CTL serta bahan ajar yang disertai soal-soal yang berpeluang menumbuhkan kemampuan pemahaman, pemecahan masalah dan disposisi matematis.


(28)

8

1. Tes Pengetahuan Awal

Tes pengetahuan awal adalah tes yang berisikan soal-soal yang berkaitan dan dapat menunjang pemahaman materi kompetensi dasar tentang pemecahan masalah yang berkaitan dengan aturan konsep pada materi Bilangan Real dan Program Linier kelas X SMK kelompok teknologi. Tujuan tes ini untuk mengetahui pengetahuan yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran berlangsung serta kesiapan siswa menguasai materi yang akan dipelajari, yaitu materi Bilangan Real dan Program Linier. Selain itu, hasil tes pengetahuan awal digunakan juga untuk mengetahui kelompok siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah (PAM siswa) serta kesetaraan rerata pengetahuan awal matematis antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Untuk tujuan tersebut, peneliti membuat 15 buah soal uraian tes PAM dari materi pokok bahasan matematika SMP seperti irisan himpunan, operasi bilangan bulat dan pecahan, skala dan perbandingan, pertidaksaman linier satu dan dua variabel, persamaan linier dua variabel, sistem persamaan linier satu dan dua variabel, operasi dasar logaritma serta bilangan berpangkat dan bentuk akar. Secara lengkap instrumen tes PAM dapat dilihat pada Lampiran B.2.a.

Masing-masing skor soal tes PAM berkisar antara 3 hingga 4, sehingga setiap siswa akan memperoleh skor maksimal adalah 49. Untuk pembentukan anggota kelompok belajar pada kelas eksperimen, nilai tes PAM tersebut ditambah dengan nilai rerata harian yang dilakukan oleh guru matematika di kelas yang bersangkutan. Dengan demikian, peringkat siswa, khusus pada sekolah level atas dan tengah, selain mempertimbangkan hasil tes PAM juga dipadu dengan


(29)

8

nilai rerata harian yang sudah ada sebelumnya, sehingga penentuan klasifikasi PAM siswa mendekati yang sebenarnya. Tetapi untuk pengelompokkan, siswa secara keseluruhan (gabungan sekolah level atas dan level tengah) klasifikasi peringkat siswa hanya berdasarkan hasil tes PAM, hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa nilai-nilai harian dari guru matematika di kedua level sekolah penelitian itu berbeda dalam cara pembobotannya. Kriteria PAM siswa adalah sebagai berikut.

PAM ≥27% KSST : Siswa kelompok tinggi 27% KSSD ≤ PAM < 27% KSST : Siswa kelompok sedang PAM < 27% KSSD : Siswa kelompok rendah Keterangan:

KSST : Kelompok dari siswa yang memperoleh skor tertinggi KSSD : Kelompok dari siswa yang memperoleh skor terendah

Namun sebelum tes PAM digunakan, dilakukan Validasi secara logis (validasi konstruk dan isi) melalui bimbingan para pembimbing serta penimbang dari dua orang dosen dan tiga guru matematika SMK dan 1 guru SMP. Validasi konstruk (muka), meliputi: kejelasan dari segi bahasa, kejelasan dari sisi format penyajian, kejelasan dari segi gambar/representasi. Validasi isi, meliputi: kesesuaian dengan materi pokok yang akan diajarkan, kesesuaian dengan indikator pencapaian hasil belajar, serta tingkat kesukaran yang mungkin dicapai. Hasil pertimbangan enam orang penimbang tersaji pada Tabel.3.2 berikut.


(30)

8

Tabel 3.2

Hasil Pertimbangan Validasi Konstruk Tes PAM

No. Soal

Penimbang

I II III IV V VI

1 1 0 0 1 0 0

2 1 1 1 1 1 1

3 1 1 1 1 1 1

4 1 1 1 1 1 1

5 1 0 1 1 1 1

6 1 1 1 1 1 1

7 1 1 1 1 1 1

8 1 1 1 1 1 1

9 1 1 1 1 1 1

10 1 1 1 1 1 1

11 1 1 1 1 1 1

12 1 1 1 1 1 1

13 1 1 1 1 1 1

14 1 1 1 1 1 1

15 1 1 1 1 1 1

Keterangan : Angka 1 berarti butir soal valid; Angka 0 berarti butir soal tidak valid

Penimbang: I. Dini, SPd; II Dian, S.Pd; III Udin S.Pd; IV Dewi, SPd; V Yonandi, S.Si MT; VI Ayi Herlan M.Pd

Tabel 3.3

Hasil Pertimbangan Validasi Isi Tes PAM

No. Soal

Penimbang

I II III IV V VI

1 1 1 1 1 1 1

2 1 1 1 1 1 1

3 1 1 1 1 1 1

4 1 1 1 1 1 1

5 1 1 0 1 0 0

6 1 0 1 1 1 0

7 1 1 1 1 1 1

8 1 1 1 1 1 1

9 1 1 1 1 1 1

10 1 0 1 1 1 0

11 1 0 0 1 1 1

12 1 1 1 1 1 1

13 1 1 1 1 1 1

14 1 1 1 1 1 1

15 1 1 1 1 1 1

Keterangan : Angka 1 berarti butir soal valid; Angka 0 berarti butir soal tidak valid

Hasil analisis uji statistik Cochran-Q dari para penimbang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah para penimbang telah melakukan penilaian terhadap konstruksi dan isi naskah secara seragam atau tidak.


(31)

8

Ringkasan hasil uji keseragaman pertimbangan para penimbang disajikan pada Tabel 3.4

Tabel 3.4

Uji Cochran’s Q Keseragaman Pertimbangan terhadap Validitas Konstruk dan Validitas Isi Tes PAM

Aspek

Validasi Hasil Uji Keseragaman

Validitas Konstruk

N 15

Cochran’s Q 6.358

Df 5

Asymp. Sig. 0,257

Validitas Isi

N 15

Cochran’s Q 8.636

Df 5

Asymp. Sig. 0,124

Dari Tabel.3.4, terlihat bahwa Asymp.Sig untuk validitas konstruk dan isi adalah 0,257 dan 0,124. Nilai probabilitas ini lebih besar dari 0,05, ini dapat disimpulkan bahwa enam penimbang telah memberikan pertimbangan yang seragam terhadap setiap butir tes PAM. Dengan demikian, instrumen tes PAM yang disusun layak digunakan dalam penelitian ini.

Dari hasil pengelompokkan berdasarkan hasil tes PAM, diperoleh jumlah siswa yang berada pada PAM berkategori tinggi, sedang dan rendah sesuai dengan klasifikasi level sekolah, disajikan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5

Jumlah Siswa Peringkat Tinggi, Sedang dan Rendah Sesuai Klasifikasi Sekolah

Peringkat Siswa

Klasifikasi Level Sekolah

Atas (SA) Tengah (ST) Gabungan SA dan ST

Tinggi 32 23 55

Sedang 53 38 91

Rendah 32 23 55


(32)

8

2. Instrumen Skala Disposisi Matematis

Instrumen skala kemampuan disposisi matematis (KDM) berupa skala Likert. Skala disposisi matematis ini berisi daftar pertanyaan atau pernyataan yang sudah ada pilihan jawaban dan diberikan kepada responden baik secara langsung atau tidak langsung sehingga peneliti dapat mengetahui keadaan responden lebih mendalam. Instrumen skala disposisi matematis yang digunakan adalah skala Likert dengan 4 item pilihan jawaban yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak Setuju) dan STS (sangat tidak setuju), 4 item pilihan ini berguna untuk menghindari responden ragu-ragu atau rasa aman untuk tidak memihak pada suatu pernyataan yang diajukan. Skala disposisi matematis model Likert dalam penelitian ini berguna untuk mengetahui respon atau disposisi matematis sebelum dan sesudah perlakuan. Secara lengkap instrumen skala KDM dapat dilihat pada Lampiran B.2.e.

Skala KDM terdiri atas 50 item. Instrumen ini diberikan sebelum dan setelah pelaksanaan penelitian tes KPMM yang sebelumnya divalidasi secara logis oleh para pembimbing, dosen-dosen matematika STKIP Yasika Majalengka, rekan-rekan mahasiswa Prodi Matematika Pasca Sarjana UPI Bandung serta tiga orang guru matematika SMK Majalengka. Setelah validitas isi dipenuhi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji validitas empiris yang diujicobakan pada subyek penelitian sebelum pembelajaran. Validitas butir tes skala KDM diestimasi dan dilakukan berdasarkan “Cara Pemberian Skor Butir Skala Psikologik” sesuai analisis statistik distribusi normal (Azwar,2008:142). Dengan demikian, berdasar hasil analisis tersebut, akan dapat mengetahui validitas tiap


(33)

8

pernyataan dan bobot skor setiap option pilihan dari tiap item pernyataan (SS, S, T, ST).

Proses perhitungan validasi tes KDM menggunakan bantuan Microsoft Office Excel 2007. Selanjutnya, setelah pemberian skor dan validasi instrumen KDM, ternyata terdapat dua buah item pernyataan instrumen KDM yang tidak valid, yaitu no 31, dan 46. Data hasil uji coba, proses perhitungan penskoran dan validitas setiap item pernyataan KDM secara lengkap terdapat pada Lampiran C.7. Rekapitulasi hasil uji validitas item pernyataan KDM disajikan pada Tabel 3.6, sedangkan rekapitulasi perolehan skor KDM disajikan pada Tabel 3.7.

Tabel 3.6

Rekapitulasi Hasil Uji Coba Validitas Item Pernyataan KDM Siswa

No.

Item thitung Kriteria

No.

Item thitung Kriteria

No.

Item thitung Kriteria

1 4,117 SV 18 6,705 SV 35 2,603 SV

2 2,200 SV 19 6,360 SV 36 6,200 SV

3 3,766 SV 20 4,287 SV 37 3,934 SV

4 2,470 SV 21 7,835 SV 38 2,659 SV

5 3,620 SV 22 7,105 SV 39 3,162 SV

6 6,019 SV 23 9,974 SV 40 4,320 SV

7 4,264 SV 24 2,308 SV 41 3,123 SV

8 7,085 SV 25 4,929 SV 42 3,046 SV

9 4,363 SV 26 6,070 SV 43 4,909 SV

10 6,225 SV 27 4,579 SV 44 5,804 SV

11 7,970 SV 28 4,603 SV 45 8,300 SV

12 6,878 SV 29 6,816 SV 46 -2,510 TSV

13 4,847 SV 30 5,057 SV 47 5,863 SV

14 6,953 SV 31 1,916 TSV 48 2,148 SV

15 4,878 SV 32 5,266 SV 49 4,362 SV

16 5,933 SV 33 7,861 SV 50 5,193 SV

17 6,101 SV 34 6,637 SV

Keterangan:

SV = Signifikan Valid; TSV = Tidak Signifikan Valid


(34)

8

Tabel 3.7

Skor Setiap Item Skala KDM yang Valid

No Item

Skor No

Item

Skor No

Item

Skor

SS S TS STS SS S TS STS SS S TS STS

1 1 2 3 4 18 1 2 3 4 36 1 2 3 4

2 4 3 2 1 19 4 3 2 1 37 4 3 2 1

3 4 3 2 1 20 1 2 3 5 38 5 3 2 1

4 5 4 2 1 21 1 2 3 4 39 1 2 3 5

5 5 4 2 1 22 1 2 3 4 40 1 2 3 5

6 1 2 3 5 23 4 3 2 1 41 5 4 2 1

7 5 3 2 1 24 1 2 3 5 42 5 4 2 1

8 5 4 2 1 25 5 4 3 1 43 5 3 2 1

9 5 3 2 1 26 5 4 2 1 44 5 4 2 1

10 1 2 3 5 27 5 4 3 1 45 5 4 3 1

11 5 4 2 1 28 1 2 3 5 47 5 3 2 1

12 5 4 3 1 29 4 3 2 1 48 5 3 2 1

13 4 3 2 1 30 1 2 3 4 49 1 2 3 5

14 5 3 2 1 32 4 3 2 1 50 1 2 4 5

15 5 3 2 1 33 1 2 3 4

16 1 2 3 4 34 4 3 2 1

17 6 4 3 1 35 4 3 2 1

3. Format Observasi

Format observasi digunakan untuk mengetahui tentang bagaimanakah tingkat aktivitas siswa selama proses belajar mengajar ketika bahan ajar kontekstual (CTLJ dan CTL) diterapkan. Dalam penelitian ini aktivitas siswa diamati oleh peneliti yang berperan sebagai guru maupun oleh 3 orang pengamat yang telah mendapatkan pengetahuan tentang pembelajaran matematika dengan pendekatan CTLJ dan CTL, sehingga hal tersebut memungkinkan secara cermat dalam mengungkap tentang bagaimanakah tingkat aktivitas siswa selama proses belajar mengajar ketika bahan ajar CTLJ dan CTL diterapkan. Selain itu, obeservasi dilakukan juga terhadap aktivitas guru dalam proses belajar mengajar.


(35)

8

Hal ini dilakukan untuk mengontrol peneliti agar tetap sesuai dengan model pembelajaran yang dieksperimenkan.

Pedoman observasi berupa daftar cek dengan lima pilihan tingkat aktivitas: (1) A = Sangat Baik; (2) B = Baik; (3) C = Sedang; (4) D = Jelek; (5) E = Sangat Jelek, serta dilengkapi dengan catatan singkat dari observer. Gejala/peristiwa yang diamati dalam pedoman obervasi, yaitu merujuk pada aktivitas-aktivitas guru dan siswa berkaitan dengan kegiatan pendekatan pembelajaran CTLJ dan CTL. Selain itu, format observasi divalidasi secara logis, berdasarkan studi literatur dan saran dari rekan-rekan dosen STKIP Yasika, pertimbangan dari dosen pembimbing serta saran dari teman-teman mahasiswa matematika pasca sarjana UPI dan tiga orang guru SMK. Dengan demikian bentuk format, kalimat dan gejala/peristiwa yang akan diamati serta hasil dari pengamatan dapat dipertanggungjawabkan. Format observasi dapat dilihat pada Lampiran B.5.

4. Format Wawancara

Agar informasi yang akan didapatkan tidak melebar tapi terfokus pada penelitian maka dibuatlah pedoman format wawancara yang berguna untuk mengetahui respon siswa terhadap pendekatan pembelajaran CTLJ dan CTL, serta respon siswa terhadap unsur-unsur KDM.

Wawancara dilakukan setelah pembelajaran berakhir. Wawancara hanya dilakukan pada kelas eksperimen dan subyek yang akan diwawancarai diambil secara acak dari kelas eksperimen berdasarkan peringkat kemampuan matematisnya. Format wawancara, disusun atas saran dari tiga orang guru SMK, saran dari dosen-dosen matematika STKIP Yasika Majalengka serta arahan dan


(36)

8

bimbingan dosen pembimbing. Format wawancara dapat dilihat pada Lampiran B.6.

5. Soal Pretes dan Postes

Soal tes digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa. Soal ini disusun dalam bentuk tes uraian untuk pretes dan postes yang dibagi dalam dua kelompok:

1. Kelompok pertama adalah soal untuk mengukur peningkatan KPM dan KPMM siswa, terdiri dari lima buah soal pretes-postes KPM dan KPMM pada materi Bilangan Real.

2. Kelompok kedua adalah soal-soal untuk mengukur pencapaian KPM dan KPMM siswa pada gabungan materi Bilangan Real dan Program Linier, yaitu terdiri dari lima buah soal postes KPM dan KPMM pada materi Bilangan Real, serta empat buah soal postes KPM dan KPMM pada materi Program Linier.

Pretes dilakukan hanya dilakukan untuk materi Bilangan Real, tidak untuk materi Program linier. Hal ini dilakukan karena kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah pada materi Program Linier belum dimiliki dan diajarkan pada siswa sebelumnya. Berbeda dengan materi Bilangan Real, mereka sudah pernah mengenalnya pada jenjang sekolah sebelumnya (ada dalam bahasan materi matematika SMP). Secara lengkap instrumen tes ada pada Lampiran B.2.b-2.d.

Namun sebelum instrumen tes tersebut digunakan, dilakukan uji coba soal. Uji coba soal dimaksudkan untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya validitas empiris. Selain itu sebelum digunakan soal tes KPM dan KPMM, terlebih dahulu


(37)

8

divalidasi secara logis untuk melihat validitas isi dan validitas muka. Dengan demikian pengembangan kedua tes ini, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) Membuat kisi-kisi soal berdasarkan materi yang akan dicapai; (2) Menyusun soal tes; (3) Konsultasi dan revisi berdasarkan pertimbangan dosen pembimbing serta saran rekan-rekan mahasiswa pasca sarjana UPI dan dosen matematika STKIP Yasika; (4) Melakukan uji coba soal. Uji coba dilaksanakan di SMKN 1 Panyingkiran dan SMK PUI Majalengka pada kelas XII yang sudah mempelajari materi Bilangan Real dan Program Linier. Kemudian ditindaklanjuti dengan revisi ulang soal tes.

a) Analisis Validitas Tes

Suatu alat evaluasi disebut valid jika alat tersebut mampu mengukur apa yang semestinya diukur. Sedangkan validitas tes yang akan dikaji dalam penelitian ini terdiri dari: (1) validitas logis; (2) validitas empiris.

Validitas logis. Validitas ini berupa validitas isi dan validitas konstruk/muka. Validitas alat evaluasi/instrumen dalam penelitian ini di peroleh berdasarkan saran, arahan rekan-rekan dosen STKIP Yasika, rekan-rekan mahasiswa S3 Pascasarjana UPI Bandung dan pertimbangan dosen pembimbing, sehingga ketepatan alat evaluasi instrumen penelitian ditinjau dari segi materi, keabsahan susunan kalimat yang dipakai merupakan alat yang representatif untuk mengetahui pengetahuan, KPM dan KPMM yang akan dicapai.

Validitas empiris (kriterium). Validitas empiris, yaitu berupa validitas butir soal. Ukuran validitas butir soal adalah seberapa jauh soal tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Sebuah butir soal dikatakan valid bila skor tiap butir soal


(38)

8

mempunyai dukungan yang besar terhadap skor totalnya. Perhitungan validitasnya dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi produk moment. Rumusnya adalah sesuai dengan pendapat Arikunto (2002 : 75-78), yaitu:

RX,Y =

− − − ) ) ( )( ) (

(N X2 X 2 N Y2 Y 2

Y) X)( ( XY N Keterangan:

N = banyaknya subyek; X = skor item; Y = skor total

Interpretasi yang lebih rinci mengenai nilai rxy tentang tingkat kualitas

validitas alat evaluasi sesuai dengan pendapat Guilford (Suherman, 2003:113) adalah:

0,90 ≤ rxy≤ 1,0 Validitas sangat tinggi.

0,70 ≤ rx < 0,90 Validitas tinggi.

0,40 ≤ rxy < 0,70 Validitas sedang.

0,20 ≤ rxy < 0,40 Validitas rendah.

0,00 ≤ rxy< 0,20 Validitas sangat rendah.

rxy < 0,00 Tidak Valid.

b) Analisis Reliabilitas Tes

Reliabilitas tes adalah tingkat keajegan suatu tes. Analisis reliabilitas tes uraian, menurut Arikunto (2002 : 109) menggunakan rumus Alpha berikut:

r11 = 2

2 1 )( 1 ( t i n n σ σ

− − ) Keterangan:

r11 = reliabilitas yang dicari


(39)

8

2

i

σ = jumlah varians skor tiap-tiap item 2

t

σ = varians total

Penentuan tolak ukur koefisien reliabilitas menurut Guilford (Suherman, 2003: 139) adalah sebagai berikut:

r11≤ 0,20 derajad reliabilitas sangat rendah 0,20 ≤ r11 < 0,40 derajad reliabilitas rendah 0,40 ≤ r11 < 0,70 derajad reliabilitas sedang 0,70 ≤ r11 < 0,90 derajad reliabilitas tinggi 0,90 ≤ r11 ≤1,00 derajad reliabilitas sangat tinggi.

Selanjutnya menurut Arikunto (2002: 112), dengan diperolehnya koefisien korelasi yakni r11 sebenarnya baru diketahui tinggi rendahnya koefisien tersebut. Lebih sempurnanya penghitungan reliabilitas sampai pada kesimpulan, sebaiknya hasil tersebut dikonsultasikan dengan tabel r product moment. Jika r11 > r tabel maka tolak ukur reliabilitas yang dihitung adalah signifikan.

c) Analisis Daya Pembeda

Daya pembeda soal, adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi (pandai) dengan siswa yang memiliki kemampuan rendah (kurang). Sebuah soal dikatakan mempunyai daya pembeda yang baik jika siswa yang pandai dapat mengerjakan dengan baik, dan siswa yang kurang tidak dapat mengerjakannya dengan baik.


(40)

8

Menurut Suherman (2003: 161) klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda (DP) adalah:

DP≤0,00 sangat jelek 0,00 < DP≤ 0,20 jelek 0,20 < DP≤0,40 cukup 0,40< DP≤ 0,70 baik

0,70 < DP≤1,00 baik sekali

Cara menentukan daya pembeda dibedakan antara kelompok kecil (responden kurang dari 30) dan kelompok besar (30 orang ke atas). Menurut Arikunto (2002: 212) dengan jumlah responden yang kecil, maka pembagian kelompok tinggi dengan kelompok rendah dilakukan dengan membagi dua sama banyak, yuaitu 50% kelompok atas dan 50% kelompok bawah, sedangkan untuk kelompok besar biasanya diambil 27% skor teratas sebagai kelompok atas (JA) dan 27% skor terbawah sebagai kelompok bawah (JB).

Rumus untuk mencari indeks diskriminasi daya pembeda (DP), menurut Arikunto (2002 : 213) adalah:

DP = A A

J B

- B B

J B

= PA – PB

Keterangan:

JA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar. JB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar. PA = proporsi peserta kelompok atas.

PB = proporsi peserta kelompok bawah.

BA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar BB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab benar


(41)

8

d) Analisis Tingkat Kesukaran Tes

Tingkat kesukaran soal adalah peluang untuk menjawab benar suatu soal pada tingkat kemampuan tertentu, yang biasanya dinyatakan dengan indeks atau prosentase. Semakin besar prosentasenya tingkat kesukaran maka semakin mudah soal tersebut.

Untuk menghitung tingkat kesukaran soal uraian dapat ditempuh dengan langkah sebagai berikut:

1. Menghitung jumlah skor-skor peserta didik pada suatu soal ( JSP).

2. Menghitung jumlah skor maksimum peserta didik pada suatu soal (JSM)

3. Menghitung tingkat kesukaran soal (TK). TK =

JSM JSP

x 100%

4. Menentukan kriteria/proporsi dalam menafsirkan tingkat kesukaran.

Menurut Subino (1987: 95), tingkat kesukaran suatu butir soal tes berbentuk esai dapat digolongkan sebagai kualifikasi sukar apabila siswa dapat menjawab dengan benar hanya sampai dengan 27%, kualifikasi sedang apabila proporsi tersebut berentangan antara 28% sampai dengan 72%, dan kualifikasi

mudah apabila proporsi tersebut minimum 73%.

Perhitungan validitas butir soal, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda soal menggunakan Microsoft Office Excel 2007. Hasil perhitungannya secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran C.2 s.d C.5, sedangkan rekapitulasi hasil uji coba tes KPM dan KPMM disajikan pada Tabel 3.8.


(42)

8

Tabel 3.8

Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Soal Tes KPM dan KPMM dari Materi Bilangan Real dan Program Linier

Materi Aspek No

Soal Validitas Butir Soal Daya Pembeda Tingkat Kesukaran Reliabilitas

Soal Makna

B i l a n g a n R e a l KPM

1 T Baik Sedang

Sangat Tinggi

Sig.

2 ST Baik Sedang Sig.

3 T Cukup Sedang Sig.

4 T Cukup Sedang Sig.

5 T Cukup Sukar Sig.

KPMM

1 ST Baik Sedang

Sedang

Sig.

2 T Cukup Mudah Sig.

3 Sd Cukup Sedang Sig.

4 Sd Cukup Sukar Sig.

5 S Cukup Sukar Sig.

P r o g r a m L i n i e r KPM

1 T Baik Sedang

Sangat Tinggi

Sig.

2 ST Cukup Sedang Sig.

3 ST Baik Sedang Sig.

4 ST Baik Sedang Sig.

KPMM

1 ST Cukup Sukar

Sangat Tinggi

Sig.

2 ST Cukup Sedang Sig.

3 ST Baik Sedang Sig.

4 T Cukup Sukar Sig.

Keterangan: ST= Sangat Tinggi; T=Tinggi; Sd= Sedang; Sig=Signifikan

Untuk memperoleh data kemampuan pemecahan masalah matematis dilakukan skala penskoran KPMM terhadap jawaban siswa tiap butir soalnya. Menurut Szetela dan Nicol (Chicago Public Schools Buraeu of Student Assesment, 2009) rubrik skala penskoran penyelesaian/pemecahan masalah matematis dan pedoman penilaiannya terdiri dari tiga aspek, yaitu (1) aspek memahami masalah, (2) aspek menyelesaikan masalah, (3) aspek menjawab masalah.


(43)

8

Dengan demikian, rubrik skala penskoran KPMM tersebut adalah sebagai berikut:

Skala I: Memahami Masalah

4 : Memahami permasalahan secara lengkap

3 : Sebagian kecil salah interpretasi permasalahannya 2 : Sebagian besar salah interpretasi permasalahan 1 : Salah interpretasi permasalahan secara lengkap 0 : Sama sekali tak memahami masalah

Skala II: Menyelesaikan Permasalahan

4 : Membuat rencana yang dapat memberi petunjuk penyelesaian yang benar tanpa kesalahan perhitungan/secara aritmatika

3 : Secara substansial membuat prosedure yang benar dengan kesalahan prosedur yang kecil.

2 : Sebagian prosedur benar tapi melakukan kegagalan/kesalahan besar 1 : Secara total membuat perencanaan yang tak lengkap

0 : Tak ada perencanaan sama sekali Skala III: Menjawab Permasalahan

2 : Menjawab permasalahan secara benar

1 : Melakukan kesalahan-keselahan berulang; kesalahan perhitungan, menjawab sebagian permasalahan dari berbagai jawaban; Tak ada pernyataan jawaban; jawaban dengan label yang tidak benar

0 : Tak ada jawaban atau jawaban salah yang dilandasi perencanaan yang tidak tepat

Secara lengkap, pedoman skala penskoran KPMM disajikan sesuai Tabel 3.9.

Tabel 3.9

Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Skor

Aspek Skala I Memahami

Masalah

Aspek Skala II Menyelesaikan

Permasalahan

Aspek Skala III Menjawab Permasalahan

0

Sama sekali tak memahami masalah

Tak ada perencanaan sama sekali

Tak ada jawaban atau jawaban salah yang dilandasi perencanaan yang tidak tepat


(44)

8

Skor

Aspek Skala I Memahami

Masalah

Aspek Skala II Menyelesaikan

Permasalahan

Aspek Skala III Menjawab Permasalahan 1 Salah interpretasi permasalahan secara lengkap

Secara total membuat perencanaan yang tak lengkap Melakukan kesalahan-kesalahan berulang; kesalahan perhitungan, menjawab sebagian permasalahan dari berbagai jawaban; Tak ada pernyataan jawaban; jawaban dengan label yang tidak benar 2

Sebagian besar salah interpretasi permasalahan

Sebagian prosedur benar tapi melakukan

kegagalan/kesalahan besar

Menjawab

permasalahan secara benar

3 Sebagian kecil salah interpretasi permasalahannya

Secara substansial membuat prosedure yang benar dengan kesalahan prosedur yang kecil.

4 Memahami permasalahan secara lengkap

Membuat rencana yang dapat memberi petunjuk penyelesaian yang benar tanpa kesalahan

perhitungan/secara aritmatika

Skor maksimal 4 Skor maksimal 4 Skor maksimal 2

Interpretasi dari Szetela, W dan Nicol, C dalam buku Evaluating Problem Solving in Mathematics. Educational Leadership.hal..42-45 (Chicago Public Schools Bureau of Student Assesment, 2009) http:/ intranet.cps.k12.il.us / Assessments/Ideas_and_Rubrics/ Rubric _Bank/ MathRubrics.pdf. .

Diakses April 2009.

Kriteria penskoran KPM merupakan modifikasi dari penskoran KPMM. Dengan demikian, perolehan skor KPM tergantung dari langkah-langkah konsep penyelesaian matematisnya. Sebagai contoh soal dan pemberian skor KPM adalah sebagai berikut:


(45)

8

Langkah-langkah rubrik penyelesaian untuk soal tersebut adalah sebagai berikut: Langkah

Penyelesaian

Rubrik Penyelesaian Skor

Maksimum 1 2 3 4 5 6 7 8

Diketahui: a = 0,1111... dan b = 0,3333... Ditanyakan: nilai alog b

a = 0,1111... = 0,1

10a = 1, 1 - 9a = 1

9 1

= →a

b = 0,3333...= 0,3

10b = 3, 3 - 9b = 3

9 3

= →b =

3 1

Maka alog b = 9 1

log

3 1

→3−2

log 3−1 = (

2 1

− − )× 3

log 3 → (

2 1

)×1 =

2 1 = 0,5 1 1 1 1 1 1 1 1

Total skor maksimum 8

Rata-rata jumlah total skor maksimum (TSM) jawaban KPM untuk materi Bilangan Real adalah delapan dengan TSM 40, sedangkan rata-rata jumlah total skor maksimum jawaban materi Program Linier adalah tujuh setengah dengan TSM 30.

6. Pengembangan Bahan Ajar dan Desainnya

Materi pembelajaran dalam penelitian ini disusun dalam bentuk lembar kerja siswa (LKS) yang dilengkapi dengan petunjuk penyelesaian. Penyusunan LKS mempertimbangkan partisipasi yang dirancang dalam pendekatan


(46)

8

pembelajaran CTLJ dan CTL agar siswa memperoleh KPM dan KPMM serta KDM pada materi Bilangan Real dan Program Linier.

Sebelum bahan ajar digunakan pada kelas eksperimen, terlebih dahulu dilakukan validasi oleh berbagai pihak yang berkompeten, yakni pembimbing, pakar pendidikan matematika, guru matematika SMKN 1 Panyingkiran dan SMK PUI Majalengka. Dengan demikian, pendisainan bahan ajar kontekstual (CTLJ dan CTL) merupakan suatu bahan ajar yang benar-benar sesuai materi yang akan diteliti dan diperkirakan dapat memenuhi target penelitian. Aktifitas pengembangan terus dilakukan sampai desain bahan ajar kontekstual dirasakan cukup memadai untuk diujicobakan di lapangan. Uji coba pembelajaran dilakukan pada subyek sekolah tempat penelitian di kelas yang berbeda dengan sampel penelitian yang terpilih. Setelah dirasa cukup memadai maka bahan ajar tersebut digunakan dalam penelitian.

7. Kegiatan Pembelajaran

Proses kegiatan pembelajaran dalam penelitian ini dilakukan pada tingkat 1 (kelas X) kelompok teknologi program Teknik Mesin Otomotif (TMO1, TMO2, TMO4 SMK PUI) serta program Rekayasa Perangkat Lunak (RPL1, RPL2) dan program Teknik Komputer Jaringan (TKJ2) SMKN 1 Panyingkiran Majalengka.

Kelompok eksperimen-1 adalah kelas TKJ2 dan TMO4, yang para siswanya memperoleh pendekatan CTLJ. Kelompok eksperimen-2 adalah kelas RPL1 dan TMO2, yang para siswanya memperoleh pendekatan CTL, sedangkan kelas RPL2 dan TMO1 adalah kelompok kontrol yang pembelajarannya secara konvensional.


(47)

8

Berikut ini, disajikan langkah-langkah kegiatan guru dan siswa dalam kegiatan kolaborasi/gabungan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan Jigsaw II.

a) Pendahuluan

1) Guru dan siswa membentuk kelompok komunitas belajar dengan tingkat kemampuan tiap kelompoknya heterogen.

2) Guru menginformasikan tentang pendekatan pembelajaran yang akan diberikan serta tata cara pembelajaran siswanya

3) Guru memberitahu tentang tugas-tugas yang akan diberikan serta aturan cara mengerjakan dan bentuk penilaiannya.

4) Guru memberi pelatihan pada siswa tentang tata cara belajar pada kelompok asal, kelompok ahli, diskusi kelas dan presentasi serta bagaimana cara mengemukakan pertanyaan dan menjawab pertanyaan. b) Diskusi

1) Guru menjelaskan tujuan indikator pembelajaran yang akan dicapai.

2) Guru memberikan motivasi atau apersepsi dengan pengajuan beberapa pertanyaan akan manfaat materi pelajaran serta menggali untuk mengingatkan pengetahuan prasyarat yag berkaitan dengan materi ajar yang diberikan.

3) Penyajian masalah kontekstual, yaitu: (a) Guru menyajikan masalah kontekstual pada LKS; (b) Siswa membaca, memahami masalah dan mempelajari cara menjawab persoalan secara mandiri; (c) Siswa diberikan


(48)

8

kesempatan untuk bertanya, dan guru bertindak sebagai fasilitator dan negoisator pada seluruh siswa dalam mempelajari materi tersebut.

4) Siswa memahami dan menyelesaikan masalah kontekstual, terdiri dari: (a) Siswa berdiskusi pada anggota kelompok ahlinya, berbagi pengetahuan,

sharing idea dalam menjawab persoalan-persoalan terpilih; (b) Guru berkeliling pada setiap kelompok ahli untuk memberi bantuan jika diperlukan dengan cara scaffolding dan melakukan pertanyaan bantuan umpan balik; (c) Siswa diberikan peluang yang seluas-luasnya agar dapat menyelesaikan masalah dengan cara lain dan modelnya sendiri; (d) Guru selalu memonitor pemodelan dan evaluasi jawaban masalah dari kelompok ahli atau kelompok asal; (e) Melalui penemuan terbimbing baik dalam lembar LKS maupun diskusi terbatas pada kelompok-kelompok ahli atau kelompok asal, siswa didorong agar mampu menjawab permasalahan yang disajikan.

5) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah, terdiri atas: (a) Guru memberi kesempatan pada siswa untuk mendiskusikan jawaban; (b) Siswa berdiskusi dan menjelaskan materi hasil diskusi dari kelompok ahli pada anggota kelompok asalnya, berinetraksi, melakukan negoisasi dan adaptasi serta berbagi pengetahuan dalam menjawab seluruh persoalan-persoalan terpilih; (c) Melalui penemuan terbimbing baik dalam lembar LKS maupun diskusi terbatas pada kelompok-kelompok ahli atau kelompok asal, siswa didorong agar mampu menjawab permasalahan dengan cara lain; (d) Setelah diskusi pada kelompok asal selesai, guru


(49)

8

memberikan kesempatan siswa dalam mempresentasikan hasil kerja kelompok asalnya ke depan kelas; (e) Guru memberikan kesempatan pada kelompok lain dalam menanggapi hasil presentasi (diskusi kelas).

c) Belajar Mandiri.

1) Pada saat siswa mempelajari materi awal, dan bagaimana mencari jawaban penyelesaian dari soal-soal terpilih.

2) Menyelesaikan soal-soal latihan pada LKS Mandiri atau buku pelajaran. 3) Menyelesaikan soal Quiz setelah pembelajaran.

d) Tahap Refleksi dan Penyimpulan.

Tahapan refleksi dan penyimpulan dilakukan melalui:

1) Melalui metode penemuan, guru membantu siswa untuk menarik kesimpulan bagaimana konsep matematika dapat menyelesaikan dan menjawab persoalan terpilih.

2) Melalui tanya jawab guru membantu siswa melakukan evaluasi terhadap jawaban yang sudah ada, apakah ada cara lainnya, bagaimanakah jika…? Coba kerjakan…!

3) Melalui presentasi siswa mengungkapkan strategi atau konsep-konsep khusus dalam menjawab permasalah terpilih.

4) Guru mengulas kembali tentang konsep yang baru dipelajari, dan mengarahkan siswa agar merangkum materi pelajara serta memberikan soal-soal yang belum dikerjakan/terselesaikan untuk dijadikan PR.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Alfeld, P (2004). Understanding Mathematics. Utah: Departement of Mathematics. University of Utah. Tersedia: http:/www math utah edu/-alfeld/math html. (Mei 2008).

Anderson dan Krathwohl (2001). The Cognitive Process Dimension of The Revised Version of Bloom’s Taxonomy in The Cognitive Domain. The Lost Journal of Ven Polypheme. Tersedia: http://www.. enpolypheme.com/bloom.htm. (Mei 2008).

Arends, R.I. (2008). Learning to Teach, Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh Buku Satu. Penerjemah: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arikunto, S (2002). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Berns, R.G and Erickson, P.M. (2001). Contextual Teaching and Learning. The

Highlight Zone : Research a Work No. 5 (Online) Available: http: //www.ncte.org/publications/infosyntesis/highlight 05/index.asp ?dirid = 145 & dspid =1.

Berns, R and Se-Stefano,J (2001). Best Practise in Contextual Teaching and Learning (A Research Monograph). Office of Vocational and Adult Education.

Chicago Public Schools Bureau of Student Assesment (2009). Analytical Scale for Problem Solving. Tersedia: http://intranet.cps.kl2.il.us/ Assesment/Ideas and Rubrics/Rubrics Bank/Math Rubrics.pdf. (1 April 2009).

Dahlan, J.A (2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama melalui Pendekatan Open-ended. Disertasi. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Depdiknas (2002). Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.

Depdiknas (2003). Materi Pelatihan Peningkatan Kemampuan Guru dalam Penyusunan dan Penggunaan Alat Evaluasi serta Pengembangan Sistem Penghargaan Terhadap Siswa. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.

Depdiknas (2004). Kurikulum Standar Kompetensi SMK Edisi 2004. Jakarta: Dirjen Dikmenjur.

Depdiknas (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMK Edisi 2006. Jakarta: Dirjen Dikmenjur.


(2)

Depdiknas (2008). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMK Edisi 2008. Jakarta: Dirjen Dikmenjur.

Devlin, K (2007) Helping Children Learn Mathematics. Published by the National Academy Press. Tersedia: http//ww.maa.org/devlin/devlin0907.html. (Mei 2008).

Hariyanto (2000). Perbandingan Hasil Belajar Matematika antara Siswa yang Pembelajarannya Menggunakan Model Kooperatif Tipe Jigsaw dengan Model Tradisional di Kelas II MAN Jember. Tesis. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Henningsen, M. dan Stein, M.K. (1997). Mathematical Task and Student Cognition : Classroom-Based Factors That Support and Inhibit High Level Thingking and Reasoning. Journal for Research in Mathematics Education, 28,524-549.

Heruman. (2003). Pembelajaran Kontekstual Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika di kelas IV SD. Tesis. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Hudoyo, H (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional.

Hudoyo, H (1998). Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika. Malang: Program Pascasarjana, IKIP Malang, 4 April 1998. Hudoyo, H (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.

Malang: UM. Press.

Kadir (2010). Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir sebagau Upaya Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik, Komunikasi Matematik dan Ketrampilan Sosial siswa SMP. Disertasi. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Kirkley, J. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. Technical Paper #4. Indiana University: Plato Learning Inc.

Kurniawan, R (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMK. Tesis. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Kusumah, Y.S (2007). ”Beberapa Pendekatan dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif dan Afektif Siswa Sekolah Menengah”. Makalah pada Kegiatan Lesson Study di Wilayah


(3)

Kabupaten Sumedang. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Kusumawati, N (2009). Peningkatan Kemampuan Pemahaman, Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematis Siswa SMP melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Lestari, P (2009). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis Siswa SMK melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual. Tesis. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Matlin, MW (1994) Cognition (third edition). New York: Harcourt brace Publisher

Meltzer,D.E (2002) The Relationship between Mathematics Preperation and Conceptual Learning Gain in Physics: Apossible “Hidden variable” in Diagnostics Pretes Scores. Dalam American journal of Physics (On Line). Vol 70(12)1259-1268. Tersedia : http://www.physics. iastate.Edu/

per/docs/AJP-Dec 2002.Vo 70 -1259-1268.pdf (August 2005)

Muhibbin, S (1995) Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mullis, M., Gonzalez & Chrostowski (2004). TIMSS 2003 International Mathematics Report: Findings fromIEA’s Trends in International Mathematics and Science Study at the Fourth and Eight Grades. TIMSS & PIRLS International Study Center Lynch School of Education, Boston College.

Nanang (2009). Studi Perbandingan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematik pada Kelompok Siswa yang Pembelajarannya Menggunakan Pendekatan Kontekstual dan Metakognitif serta Konvensional. Disertasi. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

National Research Council's (2000). Helping Children Learn Mathematics. Published by the National Academy Press. Tersedia:

http://books.nap.edu/openbook.php?record_id=10434&page=37. (Mei 2008).

National Council of Teachers of Mathematics (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Virginia: NCTM, Inc.

Owens, T (2001, Spring). Teacher Preparation for Contextual Teaching and Learning A Statewide Consortium Model. Portland, Oregon; Northwest Regional Educational Laboratory.


(4)

Polya, G. (1985). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. Second Edition. New Jersey: Princeton University Press.

Posamentier, A.S., dan Stepelmen, J (2002). Teaching Secondary Mathematics: Techniques and Enrichment Units. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc

Ratnaningsih, N. (2003). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematik Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis : UPI Bandung : Tidak diterbitkan.

Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan kreatif Matematikserta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi : UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Rauf, S.A (2004). Pembelajaran Kontekstual dalam Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SLTP Negeri I Toli-Toli - Sulawesi Tengah. Tesis. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E.T (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika CBSA. Bandung: Tarsito. Ruseffendi, E.T (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung:

IKIP Bandung Pres.

Rusman (2007). Implementasi Model Pembelajaran Berbasis Komputer untuk Meningkatkan Kompetensi Siswa pada Mata Pelajaran Matematika di Sekolah Menengah Kejuruan. Disertasi. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Sabandar, J (2006). “Pertanyaan Tantangan dalam Memunculkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran Matematika”. Artikel Ilmiah. Bandung: UPI. Jurnal Pendidikan No 2 Thn XXV 2006.

Sabandar, J (2009). Matematika Kelas XI Program IPA SMA. Jakarta: Bailmu. Bumi Aksara.

Slavin, R.E (2008). Cooperative Learning. Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Soedjana, W (1986). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Karunika Jakarta UT.


(5)

Stahl, R.J (1994). Cooperative Learning in Social Studies. Handbook for Teacher USA. Kane Publishing Service, Inc.

Subino. (1987). Konstruksi dan Analisis Tes. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud. Sugandi (2009). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi

melalui Pendekatan Berbasis Masalah dengan Setting Kooperatif Tipe Jigsaw pada Siswa SMU. Disertasi. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan. Suherman, E (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA-UPI. Suherman, E. et al. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.

Bandung: JICA-UPI.

Sukarjo, O (2007). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa dengan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw disertai Pemberian Ketrampilan Bertanya. Tesis. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Sumarmo, U (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi. Bandung: Fakultas Pascasarjana IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.

Sumarmo, U (1994). Suatu Alternatif Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian. Bandung: IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.

Sumarmo, U (2003a). ”Pembelajaran Ketrampilan Membaca pada Siswa Sekolah Menengah dan Mahasiswa Calon Guru”. Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan MIPA UPI, Bandung.

Sumarmo, U (2003b). ”Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi”. Makalah pada pelatihan Guru Matematika, Jurusan Matematika ITB, Bandung.

Sumarmo, U (2004). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Sumarmo, U (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian. Bandung: Lemlit UPI. Tidak diterbitkan.


(6)

Sumarmo, U (2006). ”Berpikir Matematika Tingkat Tinggi”. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika UNPAD. Bandung.

Suryadi, D (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi. Disertasi. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Syaban, M (2008). Menumbuhkembangkan Daya dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas melalui Pembelajaran Investigasi. Disertasi. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Trihendradi, C (2009). Step by Step SPSS 16 Analisis Data Statistik. Yogyakarta: PT Andi.

Wahyudin (2004). Peranan Problem Solving. Makalah. Bandung: Program Pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan.

Wanhar (2000). Hubungan antara Konsep Matematika Siswa dengan Kemampuan Menyelesaikan Soal-Soal Fisika. Tesis. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Wardani (2002). Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika melalui Model Kooperatif Tipe Jigsaw. Tesis. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Wardani (2008). Pembelajaran Inkuiri Model Silver untuk Mengembangkan Kreatifitas dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas.Disertasi. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan. Zulkardi (2001). Seminar Sehari Realistic Mathematics Education. Makalah.

Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Zulkifli (2004). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penerapan Matematika Siswa Sekolah Dasar. Tesis: UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.