Tinjauan Yuridis terhadap Kewajiban Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Daerah bagi Pengusaha Kaki Lima di Bidang Kuliner Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) DAN PAJAK DAERAH BAGI PENGUSAHA KAKI

LIMA DI BIDANG KULINER BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Fitri Juliandari 1187010

Pelaku usaha yang memiliki penghasilan selayaknya dikenai kewajiban pembayaran pajak. Pajak merupakan sumber pendapatan baik untuk negara maupun untuk daerah. Di tingkat pusat, terdapat Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan seorang wajib pajak. Saat ini, perkembangan usaha kaki lima di bidang kuliner khususnya di kota Bandung berkembang dengan pesat. Para pelaku usaha belum menyadari kewajiban pembayaran pajak. Di sisi lain, kota Bandung telah memberlakukan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah yang menetapkan kewajiban pembayaran pajak daerah bagi berbagai sektor usaha. Penelitian ini akan mengkaji apakah PKL sektor kuliner di Kota Bandung dapat dikenai kewajiban pembayaran pajak baik PPh maupun pajak daerah.

Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah penelitan hukum normatif. Sedangkan teknik analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif yaitu: melalui pemaparan dan uraian berdasarkan kaidah-kaidah silogisme hukum, interpretasi dan konstruksi hukum yang berlaku.

Pedagang kaki lima yang memiliki penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak dapat dikenai kewajiban membayar PPh, dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Sampai saat ini ketentuan NPWPD dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah belum dapat dikenakan terhadap pedagang usaha kaki lima (penjual makanan). Ketentuan tersebut seharusnya dapat dikenakan terhadap pedagang kaki lima yang memiliki penghasilan di atas nominal tertentu. Dasar pemikirannya adalah bahwa objek yang diperdagangkan sama dengan objek pelayanan restoran. Yang dapat dikenakan kewajiban pembayaran pajak daerah.

Kata Kunci : Pajak Daerah, Pedagang Kaki Lima, Pendapatan Daerah, Kesejahteraan,


(2)

JUDICIAL ANALYSIS TOWARDS THE OBLIGATION TO PAY LOCAL TAX AND INCOME TAX FOR STREET VENDORS

ENTREPRENEURSHIP IN THE CULINARY FIELD BASED ON REGULATION IN INDONESIA’S

Fitri Juliandari 1187010

Entrepreneurs who have income is righteously to be subjected to tax payment obligations. Taxes are a good source of revenue for the State as well as the local government. At the central level, there is income tax which is imposed upon a person who has income and is subjected to the obligation to pay the tax. Currently, the business development of street vendors in the culinary field, especially in the city of Bandung is growing rapidly. The businesses have not been aware of he obligation to pay taxes.On the other hand, the city of Bandung has imposed Bandung Regional Regulation Number 20 Year 2011 on Local Tax which sets the obligation to pay local tax for various business sectors. This research will examine whether culinary street vendor in Bandung can be subjected to both income tax obligation as well as local tax obligation.

The method that will be used by the researcher in this research is normative legal research. While the analysis technique that will be used upon the obtained data will be juridicial qualitative which is: through exposure and description based on syllogism rules of law, as well as interpretation and construction of law applicated.

Street vendors which have income above the exemption (PTKP) cannot be liable to pay income tax based on the legal basis of Government Regulation No.46 Year 2013. Until now NPWPD provisions in Bandung Regional Regulation No.20 Year 2011 on Regional Taxes cannot belevied against the business of street vendors (food vendors). Such provisions should be imposed on vendors who have income above a certain nominal. The rationale is that the object that is traded is the same with the object of restaurant service.Which may be subject to local tax payment obligations


(3)

Halaman

LEMBAR JUDUL ………..………... PERNYATAAN KEASLIAN ………...……… LEMBAR PENGESAHAN ……….…...……….. LEMBAR PERSETUJUAN REVISI... PERSETUJUAN PANITIA SIDANG ………..

KATA PENGANTAR …..………...……….. i

ABSTRAK ………. ii

DAFTAR ISI……….………..………..…….. v

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang Masalah ………...……... 1

B. Rumusan Permasalahan ………..………. 8

C. Tujuan Penelitian ………. 9

D. Kegunaan Penulisan ……… 9

E. Kerangka Pemikiran ………...……. 11

F. Metode Penelitian ……… 15

G. Sistematika Penulisan ………... 20

BAB II TINJAUAN UMUM SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA………...………….……… 22 A. Pengertian dan Azas Hukum Pajak……….………...……….. 22

B. Jenis-Jenis Pajak yang dikenal di Indonesia……….……… 31


(4)

Yang Diperoleh Dari Kegiatan Perdagangan ………...……

E. Sistem Pemungutan Pajak………..….. 48

BAB III TINJAUAN TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH……….

50

A. Pajak Daerah Sebagai Bagian Dari Perwujudan Otonomi Daerah….. 50

B. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 Tentang

Pajak Daerah……… 60

C. Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan oleh Pedagang Makanan di Kota

Bandung………...…… 68

BAB IV ANALISIS TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) DAN PAJAK DAERAH BAGI PENGUSAHA KAKI LIMA DI BIDANG KULINER BERDASARKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI

INDONESIA………... 71

A. Analisis Pengenaan Kewajiban Pembayaran Pajak Penghasilan

(PPh) Bagi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia………..

71

B. Analisis Pengenaan Kewajiban Pembayaran Pajak Restoran dalam

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah terhadap Pedagang Kaki Lima di Bidang Kuliner…….

85

BAB V PENUTUP ………. 99


(5)

DAFTAR PUSTAKA ………...…………. 102 LAMPIRAN (Curiculum Vitae) ………...………


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tujuan didirikannya sebuah negara adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, meningkatkan harkat dan martabat rakyat untuk menjadi manusia seutuhnya. Demikian juga Negara Republik Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat mempunyai tujuan dalam menjalankan pemerintahannya. Pembangunan di segala bidang dilakukan untuk membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan bangsa Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Alinea IV, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Untuk mencapai tujuan tersebut dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan senantiasa negara memiliki kewajiban menentukan kebijaksanaan di bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar stabilitas pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tetap dapat dipertahankan tanpa adanya bantuan dari luar negeri, artinya besarnya pengeluaran total tidak boleh melebihi besarnya pendapatan total (surplus). Oleh karena itu negara memerlukan beberapa unsur pendukung, salah satunya adalah tersedianya sumber penerimaan yang memadai dan dapat diandalkan


(7)

seperti pajak. Pajak sampai dengan saat ini dianggap sebagai sumber utama pendapatan negara yang digunakan pemerintah untuk membiayai pengeluaran rutin seperti pengeluaran untuk belanja pegawai, pengeluaran untuk belanja barang dan anggaran untuk pembiayaan operasional negara.

Berdasarkan kewenangan lembaga pemungutnya pajak dibedakan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, contohnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), PPh, PPN, PPnBM dan Bea Materai, sedangkan pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah untuk membiayai rumah tangga daerah, contohnya Pajak Reklame dan Pajak Hiburan.

Pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak salah satu nya adalah Pajak Penghasilan (PPh), dimana pajak ini dikenakan kepada orang atau sekumpulan orang yang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan, dinamakan wajib pajak. Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 menyatakan :

“Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan”

Wajib pajak yang dikenai pajak disebut subjek pajak. Pengertian subjek pajak itu sendiri menurut Siti Resmi, yaitu :


(8)

“Subjek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk

dikenakan PPh.” 1

Adapun pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun di luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan.

Selanjutnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan menyebutkan subjek Pajak Penghasilan antara lain :

1. Pasal 21

“wajib pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan atau jasa“.

2. Pasal 14

“wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas”.

3. Pasal 23

“subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri”. Sumber pajak penghasilan tersebut sangat penting untuk menjalankan kegiatan dari masing-masing tingkat pemerintahan, karena tanpa adanya penerimaan yang cukup maka program-program pemerintah tidak akan berjalan secara maksimal. Oleh karena itu tidak semua urusan pemerintahan

1

Siti Resmi, Perpajakan, Teori dan Kasus, Edisi Keempat, Jakarta:Salemba Empat, 2008, Hlm. 81.


(9)

dilaksanakan oleh pemerintah pusat, akan tetapi daerah diberikan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, penyelenggaraan otonomi daerah didasarkan pada Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengelola daerah masing-masing. Sebagai administrator penuh, masing-masing daerah harus bertindak efektif dan efisien agar pengelolaan daerahnya lebih terfokus dan mencapai sasaran yang telah ditentukan. Pemerintah daerah harus mulai mencari sumber lain yang ada di wilayahnya untuk diandalkan sebagai tulang punggung Pendapatan Asli daerah (PAD).

Untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah sejak lama menjadi salah satu unsur Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang utama. Semakin tinggi kewenangan keuangan yang dimiliki daerah, maka semakin


(10)

tinggi peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam struktur keuangan daerah, begitu pula sebaliknya.

Dalam Pasal 285 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa :

1) Sumber pendapatan daerah terdiri atas:

a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:

(1) pajak daerah;

(2) retribusi daerah;

(3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

(4) lain-lain PAD yang sah;

b. Pendapatan transfer, dan

c. lain-lain pendapatan Daerah yang sah.

2) Pendapatan transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

meliputi :

a. transfer Pemerintah Pusat terdiri atas:

1. dana perimbangan;

2. dana otonomi khusus;

3. dana keistimewaan; dan

4. dana Desa.

b. transfer antar-Daerah terdiri atas:

1. pendapatan bagi hasil; dan

2. bantuan keuangan

Lebih lanjut dalam Pasal 286 dijelaskan bahwa :

(1) Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan. dengan

Undang-Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Perda.

(2) Pemerintahan daerah dilarang melakukan pungutan atau

dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan undang-undang.

(3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (1) huruf a angka 3 dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 huruf a angka 4 ditetapkan dengan Perda berpedoman pada peraturan perudang-undangan.

Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan


(11)

pembangunan di daerah bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di Daerah. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka diberlakukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang merupakan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijakan dan arahan bagi Daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus menetapkan pengaturan untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan Daerah dan retribusi Daerah.

Adapun jenis pajak yang menjadi wewenang pemerintah daerah Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Kabupaten/Kota) terdiri atas :

1. Pajak Hotel;

2. Pajak Restoran;

3. Pajak Hiburan;

4. Pajak Reklame;

5. Pajak Penerangan Jalan;

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

7. Pajak Parkir;

8. Pajak Air Tanah;

9. Pajak Sarang Burung Walet;

10.Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan

11.Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Di dalam kegiatan ekonomi masyarakat, dikenal bentuk usaha informal berupa Pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima merupakan salah satu unit usaha yang sering dikategorikan pedagang/pengusaha kecil dengan modal yang relatif minim serta jam usaha yang tidak terbatas. Padahal pertumbuhan pedagang kaki lima sebagai usaha kecil dan menengah tersebut


(12)

di era saat ini hampir tidak termasuk kategori pedagang kecil, karena hampir rata-rata memiliki omzet penghasilan dalam per-hari relatif besar di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013, Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dengan peredaran bruto (omzet) sebesar Rp.4,8 miliar dalam 1 tahun Pajak

dikenakan PPh dengan tarif 1% dari omzet.2

Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 mengatur:

(3) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:

a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang,

baik yang menetap maupun tidak menetap; dan

b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan

umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di tingkat pusat dan daerah nampak bahwa pedagang kaki lima dikecualikan dari kewajiban bayar pajak Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini mengakibatkan, banyaknya pelaku usaha atau pedagang kaki lima yang tidak membayar pajak, meskipun pada kenyataannya pendapatannya yang

diperoleh cukup tinggi, sehingga Negara kehilangan pendapatan.3

2

Yang dimaksud dengan omzet adalah jumlah uang hasil penjualan barang (dagangan) tertentu selama suatu masa jual (peredaran bruto) ditetapkan bagi wajib pajak yang melakukan usaha perdagangan. Dalam hal ini tidak dilakukan penghitungan atau dasar pengasilan netto(penghasilan

bersih).http://kbbi.web.id/omzet

3

Sebelum melakukan penelitian ini, penulis melakukan pengamatan terhadap PKL yang berjualan makanan di kota Bandung. Dalam perbincangan informal yang mengatakan bahwa penghasilan perbulan dapat mencapai Rp.10.000.000,00-Rp.45.000.000,00


(13)

Uraian di atas merupakan pengaturan PPh yang berlaku nasional. Terkait dengan prinsip otonomi daerah, daerah berhak mencari potensi PAD melalui berbagai sektor sampai dengan saat ini pedagang kaki lima hanya membayar retribusi. Di kota Bandung telah berlaku Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah yang memperkenalkan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) yaitu : “nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dan usaha Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban Perpajakan Daerah”.

Berdasarkan fakta bahwa Pedagang kaki lima yang memiliki penghasilan tinggi tidak membayar PPh, penulis bermaksud mengkaji apakah terhadap pedagang kaki lima tersebut dapat dikenakan kewajiban membayar pajak (baik pajak pusat maupun pajak daerah) sehingga berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa tertarik untuk membuat penulisan hukum dan membahasnya dalam bentuk tulisan dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewajiban Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Dan Pajak Daerah Bagi Pengusaha Kaki Lima Di Bidang Kuliner Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia”.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,


(14)

memiliki penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dapat dikenai kewajiban membayar PPh?

2. Apakah kewajiban pembayaran pajak restoran sebagaimana diatur dalam

Peraturan Daerah kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 Tentang pajak daerah dapat dikenakan terhadap pedagang usaha kaki lima di bidang kuliner yang memiliki penghasilan di atas PTKP?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang

berlaku di Indonesia, apakah terhadap pedagang usaha kaki lima di bidang usaha kuliner yang memiliki penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dapat dikenai kewajiban membayar PPh

2. Untuk mengetahui dan mengkaji kewajiban pembayaran pajak restoran

sebagaimana diatur dalam peraturan daerah kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 Tentang pajak daerah dapat diterapkan terhadap pedagang usaha kaki lima di bidang usaha kuliner yang memiliki penghasilan di atas PTKP

D. Kegunaan Penulisan

Dari tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diharapkan penulisan dan pembahasan penulisan hukum ini dapat memberikan kegunaan atau


(15)

manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai bagian yang tak terpisahkan, yaitu:

1. Kegunaan Teoritis

a. Dari segi teoritis akademis, penulisan ini diharapkan berguna

bagi pengembangan teori ilmu hukum, penajaman dan aktualisasi ilmu hukum pajak khususnya tentang pajak apa yang dapat dikenakan terhadap pedagang usaha kaki lima yang memiliki penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

b. Penulisan ini sebagai referensi untuk mengetahui dan mengkaji

kewajiban pembayaran pajak restoran sebagaimana diatur dalam peraturan daerah kota Bandung Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Pajak Daerah dapat diterapkan terhadap pedagang usaha kaki lima yang memiliki penghasilan di atas PTKP.

c. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi

penulis khususnya dan mahasiswa fakultas hukum pada umumnya tentang hukum pajak khususnya tentang pajak apa yang dapat dikenakan terhadap pedagang usaha kaki lima yang memiliki penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).


(16)

2. Kegunaan Praktis

a. Secara praktis, penulis berharap penulisan ini dapat

memberikan masukan yang berarti bagi penulis secara pribadi sebab penelitian ini bermanfaat dalam menambah keterampilan guna melakukan penulisan hukum.

b. Bagi masyarakat diharapkan bermanfaat sebagai masukan

konstruktif dalam membentuk budaya tertib dan adil sesuai aturan hukum, lalu secara bersama-sama meninggalkan kecurangan yang selama ini banyak terjadi dalam praktik seperti contohnya pedagang kaki lima yang berpenghasilan tinggi tetapi tidak membayar pajak.

c. Bagi pemerintah khususnya pemerintah pusat ataupun

pemerintah kota dalam bidang pajak agar dapat melakukan perubahan paradigma dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan perubahan dinamika yang terjadi dalam memenuhi keadilan masyarakat. Sehingga dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara professional, manusiawi dan berkeadilan.

E. Kerangka Pemikiran

Dalam negara hukum modern tugas pokok negara tidak saja terletak pada pelaksanaan hukum, tetapi juga mencapai keadilan sosial (sociale gerechtigheid) bagi seluruh rakyat. Sebagai negara berdasar atas


(17)

hukum, negara Indonesia didirikan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Selain itu adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. ). Untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran itu sendiri, maka negara tidak hanya berdiam diri atau sebatas mengawasi rakyatnya atau hal itu biasanya disebut sebagai negara sebagai penjaga malam (nachtwachterstaat). Dalam rangka memenuhi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, negara dibenarkan untuk melakukan intervensi apapun demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran rakyatnya, hal ini

biasanya dikenal dengan welfare state atau negara kesejahteraan..4

Sehubungan dengan hal tersebut, terkandung makna bahwa negara atau pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban yang mutlak untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat tersebut, pajak berperan sangat sentral dalam memenuhi kebutuhan anggaran untuk itu.

“Pembangunan hukum merupakan suatu proses perubahan yang dinamis yang dilakukan terus menerus dan bahkan merupakan proses yang tidak pernah selesai karena setiap kemajuan akan menuntut

perubahan-perubahan yang lebih maju dalam masyarakat yang terus berubah”.5

Dengan kata lain bahwa hukum harus mampu memimpin kehidupan masyarakat yang sedang berkembang ke arah moderinisasi. Terlebih lagi dalam hal pembangunan hukum, hukum harus mampu menampung semua

4Tri Widodo W Utomo, “Memahami Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State)”, 2013,

(http://triwidodowutomo.blogspot.com/2013/07/memahami-konsep-negara-kesejahteraan.html), diunduh pada 15 April 2015.

5 Soenaryati Hartono, Sejarah Perkembangan Hukum Indonesia Menuju Sistem Hukum Nasional,


(18)

kebutuhan pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan tingkat kemajuan dalam segala bidang kehidupan. Berkaitan dengan Peranan Hukum dalam Pembangunan, Mochtar Kusumaatmadja, mengemukakan pendapatnya bahwa: “Hukum tidak hanya semata-mata menciptakan ketertiban dalam masyarakat, akan tetapi berperan pula sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Yang mengatakan konsepsi ini pemikiran dari Mochtar tersebut sejalan dengan konsepsi dari Roscoe

Pound “law as a tool of social engineering” 6

Bangsa Indonesia sebagai Negara hukum maka dalam segala tindakannya juga harus berdasarkan atas aturan hukum termasuk bidang perpajakan. Hal ini menjadi syarat mutlak untuk memungut pajak dari masyarakat karena pemungutan pajak yang tidak didasari hukum adalah perampokan. Ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara harus diatur dengan undang-undang, merupakan landasan yuridis konstitusional bagi Negara untuk memungut pajak.

Tujuan hukum salah satunya adalah untuk mencapai keadilan termasuk tentunya hukum pajak, baik asas-asas dan kaidah yang terdapat dalam rumusan peraturan perundang-undangan, pengenaannya dan pembagian beban yang harus dipikul oleh Wajib Pajak. Mengingat bahwa keadilan merupakan pengertian yang subjektif, maka diperlukan tolak ukur


(19)

untuk mengartikan keadilan dalam bidang perpajakan, maka asas keadilan menurut hukum pajak ditentukan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu harus memenuhi asas-asas sebagai berikut:

1. Asas Equality atau persamaan, yaitu orang yang berada dalam keadaan

yang sama harus dibebani dengan pajak yang sama (pajak subjektif) dan barang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama (pajak objektif).

2. Asas Equality/billijkheid/kepatutan, yaitu keadilan yang bersifat

khusus yang diterapkan pada suatu kasus tertentu, Misal, jika seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil dalam masalah perpajakan, maka dapat mengajukan perlindungan hukum ke Komisi Ombudsman Nasional untuk menghapuskan atau menurunkan pajak yang telah dikenakan padanya.

3. Asas sesuai daya pikul, yaitu kesamaan dalam daya pikul bagi Wajib

Pajak, dengan kata lain beban pajak harus sama atau seimbang dengan daya pikul.

4. Asas non-diskriminasi yaitu, suatu hukum tertentu harus diterapkan

dalam kasus-kasus yang sama atau dalam kasus yang sama harus diberlakukan perlakuan hukum yang sama dengan tidak

membeda-bedakan golongan, agama, politik, ras, strafikasi sosial.7

Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, cita desentralisasi senantiasa menjadi bagian dalam praktik pemerintahan

7 Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, Bandung: Refika


(20)

Negara. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, ditegaskan bahwa pemerintah terdiri atas pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang, langkah-langkah penting sudah dilakukan oleh Pemerintah, seperti halnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Melalui undang-undang tersebut bangsa Indonesia menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam sistem administrasi

pemerintahannya.8

Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Daerah diberikan kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah. Dengan demikian pungutan daerah itu meliputi pajak daerah dan retribusi daerah.

F. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Peter Mahmud Marzuki merumuskan bahwa penelitian hukum sebagai suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

dihadapi.9 Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini

adalah menggunakan metode yuridis normatif. Yaitu penelitian yang

8

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,Jakarta:Gramedia, 2007, hlm. 7.


(21)

difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau

norma-norma dalam hukum positif.10

2. Jenis Penelitian

Berdasarkan judul penelitian dan rumusan masalah, maka penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian hukum normatif, yang dilakukan dengan cara menelaah data-data sekunder. Penelitian normatif ini termasuk penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitan yang dilakukan dengan penelusuran asas-asas hukum kemudian di proses terhadap aturan yang ada dan diuji dengan prinsip-prinsip hukum umum. Penelitian normatif atau penelitian hukum kepustakaan juga adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

atau data sekunder berkala.11

Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang

merupakan patokan berperilaku manusia yang diaanggap pantas.12

10 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Edisi Revisi,

Malang:Bayumedia Publishing, 2007, hlm.295.

11 Soerjono Soekanto dan Sri mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,

Jakarta: Raja Grafindo, 2006, hlm. 13.

12 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo


(22)

3. Sifat Penelitian

Penelitian tentang “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewajiban Pembayaran (PPh) Pajak Penghasilan Daerah Bagi Pengusaha Kaki Lima di Bidang Kuliner Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”. merupakan suatu penelitian dengan menggunakan penelitian yang bersifat Preskriptif. Penelitian hukum bertujuan memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya. Peter Mahmud menyatakan “Memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya merupakan esensial dari penelitian tersebut dilakukan. Berpegang kepada karakteristik Ilmu Hukum sebagai ilmu terapan, preskripsiyang diberikan di dalam kegiatan penelitian hukum harus dapat dan

mungkin untuk diterapkan”.13

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan-bahan hukum Menurut Johnny Ibrahim sebagai berikut, antara lain:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri atas

peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang (UU/Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda). Bahan hukum primer ini mencakup peraturan perundangan antara lain,


(23)

1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,

2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha

Mikro Kecil dan Menengah,

3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan

4) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013,

5) Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011

Tentang Pajak Daerah.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang terdiri atas

buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium terhadap undang-undang yang terkait dengan pajak penghasilan dan pajak daerah.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder seperti kamus hukum.14

5. Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data melalui:

a. Penelitian Kepustakaan (library research)

14


(24)

Penelitian kepustakaan (library research) adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk mempelajari, mengkaji dan menganalisis data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

b. Penelitian lapangan (field research)

Penelitian lapangan (field research) ini dimaksudkan untuk mendapat data primer, tetapi diperlukan hanya untuk menunjang dan melengkapi data sekunder dalam data kepustakaan. Dalam hal ini untuk mengetahui kewajiban perpajakan bagi pedagang kaki lima, yang dilakukan dengan mengadakan wawancara dengan pihak-pihak terkait.

6. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian dikumpulkan dengan teknik sebagai berikut:

a. Studi dokumen, yaitu melakukan penelitian terhadap data sekunder

untuk mendapatkan landasan teori dan memperoleh informasi dalam bentuk formal dan data melalui naskah resmi yang ada.

b. Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab untuk memperoleh data

primer secara langsung dengan responden yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yang terdiri dari pedagang kaki lima.

7. Metode Analisis Data

Sesuai dengan metode pendekatan yang diterapkan, maka data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara yuridis kualitatif yaitu: analisis yang tidak mendasarkan pada penggunaan statistik,


(25)

matematika atau tabel kuantitatif, tetapi melalui pemaparan dan uraian berdasarkan kaidah-kaidah silogisme hukum, interpretasi dan konstruksi hukum yang berlaku. Analisis tersebut, meliputi:

a. Peraturan Perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan

dengan Peraturan Perundang-undangan yang lainnya, dengan memperhatikan hierarki Perundang-undangan maka ketentuan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi.

b. Kepastian hukum, artinya peraturan yang diteliti betul-betul

dilaksanakan dengan didukung oleh penguasa dan para penegak hukum.

G. Sistematika Penulisan.

Penulisan skripsi ini akan disusun sebagaimana sistematika berikut ini :

BAB I : PENDAHULUAN,

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang mengenai permasalahan yang terjadi sehingga mengangkat permasalahan tersebut, perumusan masalah, tujuan serta manfaat hasil penulisan yang ingin dicapai melalui penulisan ini, tinjauan kepustakaan, metode penulisan yang dipakai serta sistematika penulisan.


(26)

BAB II : TINJAUAN UMUM SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA Dalam sub bab ini penulis akan menguraikan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan hukum Pajak sebagaimana diatur serta usaha mikro dan menengah dan aturan PPh sebagai pajak pusat.

BAB III : TINJAUAN TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH

Dalam sub bab ini penulis akan menguraikan mengenai substansi pengaturan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah dikaitkan dengan keberadaan pedagang kaki lima sebagai bentuk usaha.

BAB IV : ANALISIS TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) DAN PAJAK DAERAH BAGI PENGUSAHA KAKI LIMA DI BIDANG KULINER BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Dalam sub bab ini penulis akan menguraikan mengenai Analisis Pengenaan Kewajiban Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Daerah Bagi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dan Analisis Penerapan Ketentuan kewajiban pembayaran pajak restoran sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun


(27)

2011 Tentang Pajak Daerah terhadap Kewajiban Perpajakan Pedagang Usaha Kaki Lima

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN,

Dalam bab ini berisikan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. Kemudian saran menurut penulis dari hasil penulisan untuk kebaikan hukum di Indonesia khususnya terhadap peraturan pajak di masa yang akan datang.


(28)

101 Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,

terhadap pedagang kaki lima yang memiliki penghasilan diatas nominal tertentu tidak dapat dikenai kewajiban membayar PPh, dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, yang dalam Pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya : a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, tidak termasuk sebagai Wajib Pajak.

2. Kewajiban pembayaran pajak daerah dalam hal ini, peraturan pemerintah

tersebut harus dikaji kembali agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan masa. Dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah seharusnya dapat dikenakan terhadap


(29)

pedagang usaha kaki lima (penjual makanan) yang memiliki penghasilan di atas Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Dasar pemikirannya adalah bahwa objek yang diperdagangkan sama dengan objek pelayanan restoran. Atas dasar penafsiran teleologis (sosiologis), pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah. Tujuan tersebut tercantum dalam bagian konsiderans butir b yaitu:

“bahwa pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Daerah bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di Daerah.”

B. Saran

1. Untuk pemerintah / pembentuk undang-undang :

Pemerintah Pusat agar dapat merevisi Pasal 2 ayat (3) Peaturan pemerintah Nomor 46 tahun 2013 yang mengatur pembebasan kewajiban perpajakan atas dasar sarana yang dipergunakan untuk berjualan. Diharapkan, tolok ukur penetapan kewajiban pembayaran pajak, tidak ditentukan berdasarkan sarana yang dipergunakan untuk berjualan, tetapi atas dasar nominal penghasilan yang diperoleh wajib pajak.


(30)

Universitas Kristen Maranatha

a.Pasal 1 angka 15 Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2011 tentang Pajak

Daerah, dengan memperluas contoh usaha penyedia makanan , bukan hanya rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering, melainkan termasuk pedagang kaki lima.

b.Pasal 8 ayat (4) Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2011 tentang Pajak Daerah, yang semula mengatur bahwa restoran yang nilai penjualannya dibawah Rp. 10.000.000,00 (Sepuluh juta rupiah) per bulan tidak termasuk objek Pajak Restoran, pengaturan ditambahkan bahwa usaha penyedia makanan yang nilai penjualannya diatas Rp. 10.000.000,00 (Sepuluh juta rupiah) merupakan objek pajak restoran, dengan demikian pedagang kaki lima yang berjualan makanan dengan penjualan per bulan diatas Rp. 10.000.000,00 (Sepuluh juta rupiah) dapat dikenakan pajak.

Disamping itu, kepada para akademisi diharapkan untuk melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut terkait dengan kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha yang menjalankan usaha dengan sarana kaki lima. Penelitian-penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pembentukan aturan hukum yang menjamin keadilan.


(31)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku :

Abdul Halim, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta, Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Managemen Perusahaan YKPN. 2004.

Agus Sudaryanto,Pengantar Ilmu Hukum Pengertian dan Perkembangannya di Indonesia, Malang, Setara Press, 2015. Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta,

Pusat Studi Hukum UII, 2002.

Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2008

Erly Suandy, Hukum Pajak, Edisi Pertama, Jakarta, Salemba Empat, 2000.

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta, Grasindo, 2007

Indra Bastian, Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta, Salemba Empat

Kesit Bambang Prakosa, Pajak dan Retribusi Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2003


(32)

Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Marihot P.Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Mardiasmo. Perpajakan, Edisi Revisi 2011, Yogyakarta, Penerbit Andi, 2011.

Mansury, R. Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta, YP 4, 2002.

Oyok Abuyamin, Perpajakan Pusat dan Daerah, Bandung, Humaniora, 2012

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2005.

R, Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung ,Rafika Aditama, 2003.

Santoso Brotodihardjo. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung, Refika Aditama, 2003.

Siti Resmi, Perpajakan, Teori dan Kasus, Edisi Keempat, Jakarta, Salemba Empat, 2008.

Soenaryati Hartono, Sejarah Perkembangan Hukum Indonesia Menuju Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.


(33)

Suandy Erly, Hukum Pajak, Edisi Tiga, Jakarta, Salemba Empat, 2005.

Sumyar, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Perpajakan, Yogyakarta, Andi Offset, 2004

Syamsudin Haris, Desentralisasi & otonomi Daerah, Jakarta, LIPI

Press, 2005.

Syofrin Syofyan, Dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, Bandung: Refika Aditama, 2004.

Wahyudi Kumorotomo, Desentralisasi Fiskal: Politik Perubahan Kebijakan 1974-2004, Jakarta, Kencana, 2006

Waluyo, dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta, 2003.

B. Peraturan Perundang-undangan :

Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga

atas Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


(34)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 Tentang Pajak

Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Peraturan Menteri Keuangan nomor 183/PMK.03/2007 tanggal 28

Desember 2007

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.03/2009 tanggal 10 Desember 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.0ll/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah

C. Laman :

http://dicilala.blogspot.com/2011/04/usaha-kecil-dan-menengah.html, diakses pada tanggal 28 pada tanggal 20 Maret 2015.


(35)

http://ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=51, diakses pada tanggal 28 Maret 2015.

http://seputarpengertian.blogspot.com/2014/03/seputar-pengertian-retribusi-daerah.html, diakses pada tanggal 11 April 2015.

http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=67799, diakses pada tanggal 1 Juni 2015.

http://repository.uin-suska.ac.id/1986/4/BAB%20III.pdf, diakses pada tanggal 15 Juni 2015, Jam 21.00 WIB.

http://kbbi.web.id/restoran diakses pada tanggal, 30 Juni 2015, Jam 14.05 WIB

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39476/4/Chapter%20I I.pdf, diakses pada tanggal 29 September 2015, jam 19.00 WIB.


(1)

103

Universitas Kristen Maranatha

a.Pasal 1 angka 15 Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2011 tentang Pajak Daerah, dengan memperluas contoh usaha penyedia makanan , bukan hanya rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering, melainkan termasuk pedagang kaki lima.

b.Pasal 8 ayat (4) Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2011 tentang Pajak Daerah, yang semula mengatur bahwa restoran yang nilai penjualannya dibawah Rp. 10.000.000,00 (Sepuluh juta rupiah) per bulan tidak termasuk objek Pajak Restoran, pengaturan ditambahkan bahwa usaha penyedia makanan yang nilai penjualannya diatas Rp. 10.000.000,00 (Sepuluh juta rupiah) merupakan objek pajak restoran, dengan demikian pedagang kaki lima yang berjualan makanan dengan penjualan per bulan diatas Rp. 10.000.000,00 (Sepuluh juta rupiah) dapat dikenakan pajak.

Disamping itu, kepada para akademisi diharapkan untuk melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut terkait dengan kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha yang menjalankan usaha dengan sarana kaki lima. Penelitian-penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pembentukan aturan hukum yang menjamin keadilan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku :

Abdul Halim, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta, Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Managemen Perusahaan YKPN. 2004.

Agus Sudaryanto,Pengantar Ilmu Hukum Pengertian dan

Perkembangannya di Indonesia, Malang, Setara Press, 2015.

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum UII, 2002.

Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2008

Erly Suandy, Hukum Pajak, Edisi Pertama, Jakarta, Salemba Empat, 2000.

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi

Daerah, Jakarta, Grasindo, 2007

Indra Bastian, Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta, Salemba Empat

Kesit Bambang Prakosa, Pajak dan Retribusi Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2003


(3)

103

Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Marihot P.Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Mardiasmo. Perpajakan, Edisi Revisi 2011, Yogyakarta, Penerbit Andi, 2011.

Mansury, R. Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta, YP 4, 2002.

Oyok Abuyamin, Perpajakan Pusat dan Daerah, Bandung, Humaniora, 2012

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2005.

R, Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung ,Rafika Aditama, 2003.

Santoso Brotodihardjo. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung, Refika Aditama, 2003.

Siti Resmi, Perpajakan, Teori dan Kasus, Edisi Keempat, Jakarta, Salemba Empat, 2008.

Soenaryati Hartono, Sejarah Perkembangan Hukum Indonesia Menuju


(4)

Suandy Erly, Hukum Pajak, Edisi Tiga, Jakarta, Salemba Empat, 2005.

Sumyar, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Perpajakan, Yogyakarta, Andi Offset, 2004

Syamsudin Haris, Desentralisasi & otonomi Daerah, Jakarta, LIPI Press, 2005.

Syofrin Syofyan, Dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan

Permasalahannya, Bandung: Refika Aditama, 2004.

Wahyudi Kumorotomo, Desentralisasi Fiskal: Politik Perubahan

Kebijakan 1974-2004, Jakarta, Kencana, 2006

Waluyo, dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta, 2003.

B. Peraturan Perundang-undangan :

Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga

atas Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


(5)

105

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 Tentang Pajak

Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Peraturan Menteri Keuangan nomor 183/PMK.03/2007 tanggal 28

Desember 2007

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.03/2009 tanggal 10 Desember 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.0ll/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah

C. Laman :

http://dicilala.blogspot.com/2011/04/usaha-kecil-dan-menengah.html, diakses pada tanggal 28 pada tanggal 20 Maret 2015.


(6)

http://ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=51, diakses pada tanggal 28 Maret 2015.

http://seputarpengertian.blogspot.com/2014/03/seputar-pengertian-retribusi-daerah.html, diakses pada tanggal 11 April 2015.

http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=67799, diakses pada tanggal 1 Juni 2015.

http://repository.uin-suska.ac.id/1986/4/BAB%20III.pdf, diakses pada tanggal 15 Juni 2015, Jam 21.00 WIB.

http://kbbi.web.id/restoran diakses pada tanggal, 30 Juni 2015, Jam 14.05 WIB

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39476/4/Chapter%20I I.pdf, diakses pada tanggal 29 September 2015, jam 19.00 WIB.