Tinjauan Yuridis Pemberian Kuasa Direktur Terhadap Pemenuhan Hak Dan Kewajiban Perusahaan Dalam Pelaksanaan Proyek Pembangunan Jalan

(1)

PEMBANGUNAN JALAN

TESIS

Oleh

ALNASRIEL

097011017/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PEMBANGUNAN JALAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALNASRIEL

097011017/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : Alnasriel

Nomor Pokok : 097011017

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(5)

Nama : ALNASRIEL

Nim : 097011017

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS KUASA DIREKTUR TERHADAP

PEMENUHAN HAK DAN KEWAJIBAN DALAM

PELAKSANAAN PROYEK PEMBANGUNAN JALAN

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :ALNASRIEL


(6)

sepihak. Dalam arti bahwa kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak saja, yaitu penerima kuasa. Pemberian kuasa yang dilakukan oleh Direktur PT. Aslan Karya Putra kepada penerima kuasa untuk melaksanakan proyek pembangunan jalan didasarkan pada ketentuan pada Pasal 103 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah diberikannya kepada penerima kuasa, maka pemenuhan beserta segala sebab dan akibat dari perikatan-perikatan tersebut menjadi tanggung jawab penerima kuasa sepenuhnya. Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang akan diteliti adalah Bagaimana pelaksanaan pemberian kuasa Direktur perusahaan dalam pemenuhan hak dan kewajiban pada proyek pembangunan jalan, bagaimana tanggung jawab para pihak dalam surat kuasa Direktur pada proyek pembangunan jalan, dan bagaimanakah perlindungan hukum para pihak dalam surat kuasa Direktur pada proyek pembangunan jalan.

Penelitian yang diterapkan dalam penulisan ini adalah memakai metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus.

Dari hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian kuasa direktur pada pelaksanaan proyek pembangunan jalan diberikan dalam bentuk akta otentik yang dibuat dimuka dan dihadapan Notaris secara khusus. Tanggung jawab para pihak dalam surat kuasa direktur hanya khusus pada pelaksanaan proyek pembangunan jalan yaitu penerima kuasa bertanggung jawab untuk melaksanakan kuasanya dan menanggung segala kerugian yang diderita dari perbuatan yang disengaja, juga kelalaian yang dilakukan oleh penerima kuasa dalam menjalankan kuasanya. Perlindungan hukum penerima kuasa dalam menjalankan pekerjaan proyek pembangunan jalan yaitu dengan diberikannya jaminan bank dan jaminan asuransi jika penerima jasa wanprestasi, yaitu sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UUJK, bahwa pengguna jasa harus memiliki kemampuan membayar biaya pekerjaan kontruksi yang didukung dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan bukan bank.


(7)

action for the sake of interest and on behalf of the principal in the form of unilateral legal action. It means that the obligation to make an achievement is only found in one party, the proxy (the agent for a principal). The authorization given by the Director of PT. Aslan Karya Putra to his proxy/agent to implement a road development project based on the stipulation in Article 103 of law No.40/2007 on Limited Liability Company stating that Board of Directors can give a written authorization to 1 (one) or more than one employees of the company or to somebody else and on behalf of the company to do a certain legal action as described in the power of attorney. To meet the agreements made by the agent/proxy in accordance with the authority given to the agent/proxy, that all causes and effects resulted from the agreements are fully under the responsibility of the agent /proxy. Based on the background described above, the research questions for this study were how the authorization of Director of Company was implemented in meeting his rights and responsibilities for a road development project, what was the responsibility of the parties involved in the Director’s power of attorney for the road development project, what kinds of legal protection were in the Director’s power of attorney for the road development project for the parties involved.

This study employed normative juridical approach to refer to the legal norms stated and found in the existing regulations of legislation accepted as normative bases originating from general premises and ends at specific conclusion.

The result of this study showed that the authorization given by the Director in the implementation of road development project in the form of authentic deed especially made before a Notary. The responsibilities of the parties involved in the Director’s power of attorney is only especially for the implementation on road development project in which the agent/proxy is responsible to implement his/her authorization and to bear all losses inflicted by any action deliberately or carelessly done by the agent/proxy during the implementation of his/her authorization. The legal protection for the agent/proxy in implementing the road development project is that the agent/proxy provides bank and insurance guarantee/collateral in case he/she does not meet the requirements stated in the UUJK saying that the service user must be able to pay the cost of construction proved by the letter of evidence from banking and/or non-bank financial institutions.


(8)

sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar MAGISTER KENOTARIATAN Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Di dalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan memilih judul: “Tinjauan Yuridis Pemberian Kuasa Direktur Terhadap Pemenuhan Hak Dan Kewajiban Perusahaan Dalam Pelaksanaan Proyek Pembangunan Jalan”. Saya menyadari masih banyak kekurangan didalam penulisan Tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka, saya menerima saran dan kritik dari semua pihak agar dapat menjadi pedoman di masa yang akan datang.

Dalam penulisan dan penyusunan Tesis ini, saya mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara khusus kepadaProf. Dr. Bismar Nasution, SH. M.H., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN., Serta

Dr. T. Keizerina Devi A, SH. CN. M.Hum., masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing kepada saya dalam penulisan Tesis ini dan kepada

Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH. MKn dan Chairani Bustami, SH, Sp.N, MKn., selaku Dosen penguji saya dalam penulisan Tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku


(9)

3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar serta Seluruh Staf Pengajar dan juga para karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda tercinta, Asahim yang selalu memberikan dukungan moril maupun materil, sehingga saya dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan Ibunda

Baheram (Almarhumah) yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran dan kasih sayang dan doa restu. Serta terima kasih kepada abang saya Masrijal (Ijal), dan adik saya Mulia Harja (Imul) dan Dewi Afnida (Melly) atas segala dukungan dan doa-doanya. Tidak lupa, saya juga mengucapkan terima kasih kepada H.Baharuddin Yusuf, BA, Dan Hj Rohana, Pakcik saya Karnaini, SH, SpN, dan Bunda Mayyar, SP, kakanda saya Dr. Suherdy, Sp.PD, dan Vomy Verawaty, SE, M.Kes, Dr. Aris Fazeriandy, Irwansyah dan Syafrina, SE, David Pieterson dan Nova Rina, Ahmad Yani Lubis dan Rita Meizarni, A.Md, Ahmad Ridha, SE, Evi Rizal, SE, Wariji, SH, Buyong Rizal, Rafla Karnaini, Machrusa Karnaini, Hanania Karnaini, Putroe Sadra Karnaini, dan seluruh keluarga besar H. Abddullah Aziz yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah sangat mendukung saya dan selalu memberikan


(10)

Ucapan terima kasih juga saya persembahkan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan Tesis ini. Kawan-kawan seperjuangan dan sahabat saya Alkamra, SH, M.Kn, Andy Mulia Azmi, SH, M.Kn, Epi Sulastri, SH, M.Kn, Amelia Silvany, SH, M.Kn, Desi Melaroza Purba, SH, M.Kn, Dessi Fifi Septiany, SH, M.Kn, Mellisa Harahap, SH, M.Kn, Deddy Charlie, SH, M.Kn, Putri Rayhan Natasha, SH, Kartika Puri Mandasari, SH, M.Kn, Iskandar, SH, M.Kn, Abi Yaser Handito SH, M.Kn, J.E. Melky Purba, SH, Dony Kartien, SH, M.Kn, Ayu Fulia Sari, SH, Morina, SH, M.Kn, Gita Melisa, SH, M.Kn, Marjan Iskariman Lubis SH, M.Kn, Frans Waston SH, Mulia Pandapotan Harahap SH, Eko Pranata SH, M.Kn, Alwi Umri Nasution SH, Imroni Afif, SH, H. Ridwan Basyir SH. M.Kn, Heri Azwar Anas, SH. M.Kn, Dian Septiana Nugroho, ST, Lilla Nattaya Narirat, S.Psi, Desi Aflina, SH, serta seluruh kawan-kawan angkatan 2009 yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Allah, SWT. Akhirnya semoga Tesis ini dapat berguna bagi diri dan juga semua pihak dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

Medan, Desember 2011 Penulis,


(11)

I. DATA PRIBADI

Nama : ALNASRIEL

Tempat/Tanggal Lahir : Aceh Barat Daya / 21 November 1984 Alamat : Jl. Kesehatan No. 4 A,

Blangpidie – Aceh Barat Daya Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Perkawinan : Belum Kawin

Agama : Islam

II. DATA ORANG TUA

Nama Ayah : Asahim

Nama Ibu : Baheram ( Almarhumah )

III. PENDIDIKAN

1. SD Negeri 9 Meulaboh - Aceh Barat Tamat Tahun 1997

2. SMP Negeri 1 Blangpidie – Aceh Barat Daya Tamat Tahun 2000

3. SMU Negeri 1 Blangpidie – Aceh Barat Daya Tamat Tahun 2003

4. S1 Hukum Universitas Syiah Kuala Tamat Tahun 2009

5. S2 Magiter Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan Tamat Tahun 2011


(12)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan konsepsi ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Konsepsi ... 18

G. Metode Penelitian ... 19

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 19

2. Teknik Pengumpulan Data ... 20

3. Bahan Data ... 20

4. Alat Pengumpulan Data ... 21

5. Analisis Data ... 22

BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN... 23

A. Bentuk dan Isi Pemberian Kuasa ... 23

B. Pemberian Kuasa Direktur ... 26

C. Tata Cara Pemberian Kuasa Direktur pada Proyek Pembangunan Jalan ... 31


(13)

KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN

JALAN ... 42

A. Kedudukan Para Pihak Dalam Kuasa Direktur Pada Proyek Pembangunan Jalan ... 42

B. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Surat Kuasa Direktur Pada Proyek Pembangunan Jalan ... 45

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK DALAM SURAT KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN ... 58

A. Resiko Hukum Yang Dihadapi Para Pihak Pada Proyek Pembangunan Jalan ... 58

B. Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Surat Kuasa Pada Proyek Pembangunan Jalan ... 79

C. Upaya Penyelesaian Sengketa Masalah Pemberian Kuasa Direktur pada Proyek Pembangunan Jalan ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 108

A. Kesimpulan ... 108

B. Saran ... 109


(14)

sepihak. Dalam arti bahwa kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak saja, yaitu penerima kuasa. Pemberian kuasa yang dilakukan oleh Direktur PT. Aslan Karya Putra kepada penerima kuasa untuk melaksanakan proyek pembangunan jalan didasarkan pada ketentuan pada Pasal 103 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah diberikannya kepada penerima kuasa, maka pemenuhan beserta segala sebab dan akibat dari perikatan-perikatan tersebut menjadi tanggung jawab penerima kuasa sepenuhnya. Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang akan diteliti adalah Bagaimana pelaksanaan pemberian kuasa Direktur perusahaan dalam pemenuhan hak dan kewajiban pada proyek pembangunan jalan, bagaimana tanggung jawab para pihak dalam surat kuasa Direktur pada proyek pembangunan jalan, dan bagaimanakah perlindungan hukum para pihak dalam surat kuasa Direktur pada proyek pembangunan jalan.

Penelitian yang diterapkan dalam penulisan ini adalah memakai metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus.

Dari hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian kuasa direktur pada pelaksanaan proyek pembangunan jalan diberikan dalam bentuk akta otentik yang dibuat dimuka dan dihadapan Notaris secara khusus. Tanggung jawab para pihak dalam surat kuasa direktur hanya khusus pada pelaksanaan proyek pembangunan jalan yaitu penerima kuasa bertanggung jawab untuk melaksanakan kuasanya dan menanggung segala kerugian yang diderita dari perbuatan yang disengaja, juga kelalaian yang dilakukan oleh penerima kuasa dalam menjalankan kuasanya. Perlindungan hukum penerima kuasa dalam menjalankan pekerjaan proyek pembangunan jalan yaitu dengan diberikannya jaminan bank dan jaminan asuransi jika penerima jasa wanprestasi, yaitu sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UUJK, bahwa pengguna jasa harus memiliki kemampuan membayar biaya pekerjaan kontruksi yang didukung dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan bukan bank.


(15)

action for the sake of interest and on behalf of the principal in the form of unilateral legal action. It means that the obligation to make an achievement is only found in one party, the proxy (the agent for a principal). The authorization given by the Director of PT. Aslan Karya Putra to his proxy/agent to implement a road development project based on the stipulation in Article 103 of law No.40/2007 on Limited Liability Company stating that Board of Directors can give a written authorization to 1 (one) or more than one employees of the company or to somebody else and on behalf of the company to do a certain legal action as described in the power of attorney. To meet the agreements made by the agent/proxy in accordance with the authority given to the agent/proxy, that all causes and effects resulted from the agreements are fully under the responsibility of the agent /proxy. Based on the background described above, the research questions for this study were how the authorization of Director of Company was implemented in meeting his rights and responsibilities for a road development project, what was the responsibility of the parties involved in the Director’s power of attorney for the road development project, what kinds of legal protection were in the Director’s power of attorney for the road development project for the parties involved.

This study employed normative juridical approach to refer to the legal norms stated and found in the existing regulations of legislation accepted as normative bases originating from general premises and ends at specific conclusion.

The result of this study showed that the authorization given by the Director in the implementation of road development project in the form of authentic deed especially made before a Notary. The responsibilities of the parties involved in the Director’s power of attorney is only especially for the implementation on road development project in which the agent/proxy is responsible to implement his/her authorization and to bear all losses inflicted by any action deliberately or carelessly done by the agent/proxy during the implementation of his/her authorization. The legal protection for the agent/proxy in implementing the road development project is that the agent/proxy provides bank and insurance guarantee/collateral in case he/she does not meet the requirements stated in the UUJK saying that the service user must be able to pay the cost of construction proved by the letter of evidence from banking and/or non-bank financial institutions.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam jaman yang penuh kesibukan sekarang ini, sering kali orang tidak sempat menyelesaikan urusan-urusannya. Dikarenakan kesibukan yang sedemikian rupa, kadangkala seseorang sangat sulit untuk meluangkan waktu untuk mengurus secara langsung segala sesuatu yang penting seperti mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan. Oleh karena itu memerlukan jasa orang lain untuk menyelesaikan urusan-urusan itu. Orang ini lalu diberikannya kekuasaan atau wewenang untuk menyelesaikan urusan-urusan tersebut atas namanya. Yang dimaksudkan dengan “menyelenggarakan suatu urusan” adalah melakukan suatu “perbuatan hukum” yaitu suatu perbuatan yang mempunyai atau “menelorkan” suatu “akibat hukum”.1

Penggunaan surat kuasa saat ini sudah sangat umum di tengah masyarakat untuk berbagai keperluan. Awalnya konsep surat kuasa hanya dikenal dalam bidang hukum, dan digunakan untuk keperluan suatu kegiatan yang menimbulkan akibat hukum, akan tetapi saat ini surat kuasa bahkan sudah digunakan untuk berbagai keperluan sederhana dalam kehidupan masyarakat.


(17)

Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan seseorang sebagai pemberi kuasa dengan orang lain sebagai penerima kuasa, guna melakukan suatu perbuatan/tindakan untuk dapat “atas nama” si pemberi kuasa.2

Perjanjian Pemberian Kuasa (lastgeving) telah dikenal sejak abad pertengahan, yang dalam hukum Romawi disebut mandatum. Manus berarti tangan dan datum memiliki pengertian memberikan tangan. Pada mulanya mandatum

dilakukan karena pertemanan, dan dilakukan secara cuma-cuma. baru kemudian dapat diberikan suatu honorarium yang bersifat bukan pembayaran tapi lebih bersifat penghargaan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh si penerimamandatum.3

Kuasa merupakan kewenangan mewakili untuk melakukan tindakan hukum demi kepentingan dan atas nama pemberi kuasa dalam bentuk tindakan hukum sepihak. Dalam arti bahwa kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak saja, yaitu penerima kuasa.4

Pemberian kuasa dalam hukum positif Indonesia diatur di dalam Buku III Bab XVI mulai dari Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata. Pemberian kuasa pada masa sekarang ini sangatlah diperlukan, mengingat dinamika dan mobilitas anggota masyarakat yang terus berkembang. Tidak dapat dibayangkan suatu masyarakat tanpa lembaga perwakilan yang terwujud dalam segala segi kehidupan di bidang hukum.

2Yahya Harahap,Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 306.

3 Herlien Budiono, Perwakilan, Kuasa dan Pemberian Kuasa, Majalah Renvoi, (Nomor 6.42.IV, 3 November 2006), Hal. 68.


(18)

Pembangunan di bidang fisik dewasa ini perkembangannya seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembangunan fisik seperti gedung sekolah, jalan tol, rumah sakit dan lain-lain adalah obyek dari perjanjian pemborongan bangunan. Perjanjian pemborongan bangunan dilihat dari sistem hukum merupakan salah satu komponen dari hukum bangunan (bouwrecht). Bangunan di sini mempunyai arti yang luas, yaitu segala sesuatu yang didirikan di atas tanah. Dengan demikian yang dinamakan hukum bangunan adalah seluruh perangkat peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan bangunan, meliputi pendirian, perawatan, pembongkaran, penyerahan, baik yang bersifat perdata maupun publik.

Untuk memberikan kesempatan berpartisipasi serta memberikan kesempatan berusaha bagi swasta maka dapat dibedakan darimana asal pekerjaan tersebut :

a. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang berasal dari pemerintah untuk pengadaan barang dan jasa dilakukan melalui proses lelang.

b. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang berasal dari swasta yang diperoleh langsung sebagai hasil perundingan antara pemberi tugas (swasta) dengan pemborong (swasta).

Borongan pekerjaan yang berasal dari pihak swasta dan dikerjakan oleh perusahaan jasa konstruksi (pemborong) tersebut perlu dibuat suatu perjanjian atau kontrak yang mengikat kedua belah pihak Secara garis besar, tatanan hukum perdata Indonesia memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk saling mengadakan perjanjian tentang apa saja yang dianggap perlu bagi tujuannya.


(19)

Sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagaimana undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Mensikapi hal tersebut R. Subekti menjelaskan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti undang-undang. Atau dengan perkataan lain, dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu”.5

Ketentuan mengenai perjanjian pemborongan telah diatur dalam Pasal 1601b KUHPerdata, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemborongan pekerjaan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.6

PT. Aslan Karya Putra merupakan pihak yang ditunjuk oleh dinas Pekerjaan Umum Abdya untuk melaksanakan kegiatan pekerjaan proyek pembangunan jalan Surien pada tahun anggaran 2010. Pelaksanaan pembangunan tersebut terjadi karena pemborong menang dalam pelelangan.

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengenai kewenangan Direksi. Bahwa pada prinsipnya operasional

5R. Subekti,Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1987), hal 14.

6 Subekti, R dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita,1999), hal 391.


(20)

pelaksanaan perusahaan merupakan tanggung jawab Direksi termasuk untuk mewakili perusahaan dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak-pihak lain dan dihadapan pengadilan. Namun dengan surat kuasa Direksi dapat melimpahkan kepada pihak lain untuk mewakilinya termasuk membuat surat, menandatangani dan lain sebagainya. Seperti yang dilakukan oleh PT. Aslan Karya Putra dalam pelaksanaan pekerjaan proyek pembangunan jalan yang menyerahkan pelaksanaan proyek pembangunan jalan tersebut dengan memberikan kuasa kepada pihak ketiga untuk mengurus dan melaksanakan sampai selesai pekerjaan proyek pada dinas Pekerjaan Umum Abdya tersebut.

Pemberian kuasa yang dilakukan oleh PT. Aslan Karya Putra tersebut didasarkan pada ketentuan pada Pasal 103 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.

Untuk dapat terlaksananya kegiatan pemberian kuasa tersebut, sebelumnya harus didahului dengan pengikatan para pihak yang sepakat mengikatkan diri antara satu dengan lainnya serta dituangkan dalam suatu perjanjian, sehingga menimbulkan hubungan hukum dan akibat hukum bagi para pihak.

Memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah diberikannya kepada penerima kuasa, maka pemenuhan beserta


(21)

segala sebab dan akibat dari perikatan-perikatan tersebut menjadi tanggung jawab penerima kuasa sepenuhnya.

Selain itu dalam pemberian kuasa tersebut, wajib memuat ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para pihak, termasuk didalamnya ketentuan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak, pelaksanaan perjanjian serta berakhirnya perjanjian, dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan serta peraturan pelaksanaannya.

Dalam pemberian kuasa ini juga terdapat hak dan kewajiban yang wajib dipenuhi para pihak baik oleh pemborong atau penyedia jasa dan pelaksana pekerjaan proyek, termasuk di dalamnya hasil kerja dari pihak yang mengerjakan, dalam hal ini penyedia jasa serta adanya suatu harga atau imbalan dari pengguna jasa, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati.

Dalam pemberian kuasa ini mengandung resiko, antara lain resiko tentang keselamatan umum dan resiko tentang hambatan-hambatan dalam melaksanakan pekerjaan, maka dari itu perjanjian lazim dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis.

Selain itu dalam pelaksanaan perjanjian pemberian kuasa, tidak tertutup kemungkinan adanya keterlambatan, kelalaian dari salah satu pihak (wanprestasi), baik secara sengaja maupun karena keadaan memaksa (force majeur /overmacht).

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi, penyedia jasa harus memberitahukan kepada penngguna jasa mengenai keadaan kahar (force majeur) itu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah terjadinya kahar.


(22)

Dalam melaksanakan pekerjaan kemungkinan timbul wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Dalam keadaan demikian, berlakulah ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi yang timbul akibat wanprestasi, yaitu kemungkinan pemutusan perjanjian, penggantian kerugian atau pemenuhan.7

Permasalahan yang sering timbul menyangkut masalah batas waktu penyelesaian kontrak, dimana pihak pelaksana belum dapat menyelesaikan pekerjaan, maka hal tersebut akan menghambat penyelesaian pekerjaan yang dilaksanakan. Hal ini amat mungkin terjadi karena pekerjaan pemborongan bangunan yang diperoleh PT. Aslan Karya Putra cenderung didasari rasa percaya dari pihak pemberi borongan pekerjaan bangunan kepada PT. Aslan Karya Putra, karena adanya hubungan yang sudah terjalin dengan baik.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, disusunlah tesis ini dengan bertitik tolak pembahasan kepada pemberian surat kuasa. Oleh karena itu, maka dilakukan penelitian dengan judul : “Tinjauan Yuridis Pemberian Kuasa Direktur Terhadap Pemenuhan Hak Dan Kewajiban Perusahaan Dalam Pelaksanaan Proyek Pembangunan Jalan”

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan pemberian kuasa Direktur perusahaan dalam pemenuhan hak dan kewajiban pada proyek pembangunan jalan?

7 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan (Yogjakarta : Liberty, 1982), hal 82


(23)

2. Bagaimana tanggung jawab para pihak dalam surat kuasa Direktur pada proyek pembangunan jalan?

3. Bagaimanakah perlindungan hukum para pihak dalam surat kuasa Direktur pada proyek pembangunan jalan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian kuasa Direktur perusahaan dalam pemenuhan hak dan kewajiban pada proyek pembangunan jalan.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab para pihak dalam surat kuasa Direktur pada proyek pembangunan jalan.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum para pihak dalam surat kuasa Direktur pada proyek pembangunan jalan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat dan cukup jelas bagi pengembangan disiplin ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya. Serta dapat memberikan wawasan dan pengetahuan tentang pelaksanaan kuasa direktur perusahaan terkait pemenuhan hak dan kewajiban dalam praktek.


(24)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data yang berguna bagi masyarakat pada umumnya dan para pembaca pada khususnya mengenai pemberian kuasa.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU), menunjukkan bahwa tesis dengan judul “Tinjauan Yuridis Pemberian Kuasa Direktur Terhadap Pemenuhan Hak Dan Kewajiban Perusahaan Dalam Pelaksanaan Proyek Pembangunan Jalan” belum ada yang membahasnya sehingga tesis ini dijamin keasliannya sepanjang mengenai judul dan permasalahan yang diuraikan di atas sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan. Namun penulis ada menemukan beberapa tesis karya mahasiswa yang menyangkut masalah pemberian kuasa, namun permasalahan dan bidang kajiannya berbeda, yaitu Tesis atas nama Ahmad Feri Tanjung, NIM:

067011013, dengan judul “Tanggung Jawab Hukum Kuasa Pengguna Anggaran Atas Perubahan Teknis Pekerjaan Pasca Penandatanganan Surat Perjanjian Kontrak Pelelangan Pengadaan Barang Dan Jasa”, dengan permasalahan:

1. Bagaimana ketentuan pengadaan barang/jasa pemerintah dalam bidang kontrak kontruksi?

2. Bagaimana prosedur dan teknis perubahan pekerjaan setelah kontrak ditandatangani?


(25)

3. Bagaimana tanggung jawab Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atas perubahan teknis pekerjaan yang dilaksanakan setelah kontrak ditandatangani?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.8

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.9Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.10

Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.11 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang

8M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cetakan I, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80.

9Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI-Press, 1986), hal. 6

10J.J.J. M. Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, (Jakarta : UI Press, 1996), Hal. 203


(26)

logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.12

Teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka pikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul dalam bidang tersebut.13

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.14

Teori yang dipakai dalam tesis ini adalah Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie) yaitu Teori yang mengatakan bahwa kata sepakat ini terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.15

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, Asas Kepercayaan merupakan kemauan untuk saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.16

12 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta: Andi, 2006), hal. 6.

13 Bintoro Tjokroamidjojo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, (Jakarta: CV. Haji Mas Agung), 1988, hal. 12

14Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 35

15R. Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1987), hal.59.

16Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III,Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 89.


(27)

Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan (Verbintenis), sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 BW yang berbunyi : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Selain menggunakan teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) dari Mariam Darus Badrulzaman dalam menganalisis permasalahan pada penelitian ini, juga menggunakan teori kewajiban hukum sebagaimana dikemukakan oleh Austin, yang mendefinisikan tentang kewajiban hukum adalah:

“Diwajibkan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau ditempatkan di bawah kewajiban atau keharusan melakukan atau tidak melakukan, adalah menjadi dapat dimintai pertanggungjawaban untuk suatu sanksi dalam hal tidak mematuhi suatu perintah.”17

Kewajiban dalam pemberian kuasa direktur kepada penerima kuasa adalah dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban perusahaan untuk melaksanakan proyek pembangunan jalan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

Ketentuan mengenai perjanjian pada umumnya, diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan, pada Bab II mengenai perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Digunakan kata “atau” di antara “kontrak” dengan “perjanjian” menurut Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah sama penyebutannya secara berturut-turut seperti di atas memang sengaja untuk menunjukkan dan menganggap kedua istilah tersebut

17 Jimly Asshiddiqie, dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal 64.


(28)

adalah sama. Sedangkan pengertian perjanjian sesuai dengan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”18

Definisi berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut sebenarnya tidak lengkap, karena hanya mengatur perjanjian sepihak dan juga sangat luas karena istilah perbuatan yang dipakai mencakup juga perbuatan melawan hukum.

Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh para sarjana hukum perdata, pada umumnya menganggap definisi perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu tidak lengkap dan terlalu luas pengertiannya.

Menurut P. Setiawan19 definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Sedangkan menurut R.Subekti20 bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peritiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.

18 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita,1999), hal 388

19R. Setiawan,Op. Cit, hal 4.


(29)

Dari pengertian diatas, dapat ditafsirkan bahwa dengan adanya perjanjian maka melahirkan kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih kepada satu orang lain atau lebih yang berhak atas prestasi tersebut.

Menurut Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa perikatan dapat timbul melalui persetujuan maupun undang-undang. Selain itu dalam Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Dengan demikian maka hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan atau menimbulkan suatu perikatan. Perjanjian merupakan sumber perikatan, disamping undang-undang. Suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan karena dua pihak itu saling bersetuju atau sepakat untuk melakukan sesuatu. Dari hubungan perikatan dan perjanjian tersebut maka menimbulkan hukum perjanjian.21

Selanjutnya disebutkan lagi bahwa suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.22

Dari beberapa rumusan pengertian seperti tersebut diatas, jika disimpulkan maka dalam perjanjian terdapat unsur terdiri dari :

21Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal 3. 22Ibid, hal. 89.


(30)

a. Ada pihak-pihak,

Sedikitnya dua orang, pihak ini disebut subyek perjanjian dapat terdiri dari manusia maupun badan hukum dan mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan undang-undang.

b. Ada persetujuan antara pihak-pihak,

Persetujuan antara pihak-pihak tersebut sifatnya tetap bukan merupakan suatu perundingan.

c. Ada tujuan yang dicapai,

Mengenai tujuan para pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang-undang.

d. Ada prestasi yang dilaksanakan,

Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban membeli harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang.

e. Ada bentuk tertentu, lisan maupun tertulis,

Perlunya bentuk tertulis ini, karena undang-undang menyebutkan bahwa dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.

f. Adanya syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.

Dari syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian maka dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak.


(31)

Perjanjian pemberian kuasa atau disebut juga dengan Lastgeving.

Lastgevingdiatur di dalam Pasal 1792 s.d. Pasal 1818 KUH Perdata, sedangkan di dalam Nieuw BW Belanda, sebuah kitab revisi BW, lastgeving diatur pada Artikel 1829. Perjanjian pemberian kuasa adalah suatu perjanjian yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa.23

Dengan kata lain, pemberian kuasa adalah suatu persetujuan mengenai pemberian kekuasaan/wewenang (lastgeving) dari satu orang atau lebih kepada orang lain yang menerimanya (penerima kuasa) guna menyelenggarakan/melaksanakan sesuatu pekerjaan/urusan (perbuatan hukum) untuk dan atas nama (mewakili/mengatasnamakan) orang yang memberikan kuasa (pemberi kuasa). Pada pokoknya, pemberian kuasa merupakan suatu persetujuan “perwakilan” melaksanakan perbuatan hukum tertentu. Dalam praktek, pemberian kekuasaan tidak terbatas hanya dapat dilakukan dari seseorang kepada seseorang lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1792 KUHPerdata tersebut di atas. Tapi, dapat dilakukan dari satu orang atau lebih pemberi kuasa kepada satu orang atau lebih penerima kuasa.24

Ciri-ciri dari perjanjian pemberian kuasa, yaitu

a. bebas bentuk, artinya dapat dibuat dalam bentuk lisan atau tertulis, dan b. persetujuan timbal balik para pihak telah mencukupi.

23Lihat Pasal 1792 KUH Perdata

24Humala Sianturi, SH ,


(32)

Perjanjian pemberian kuasa yang dilakukan oleh PT. Aslan Karya Putra merupakan Pemberian kuasa dengan memberikan kepercayaan kepada penerima kuasa untuk melaksanakan pekerjaannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan yang dianggap tepat dalam rangka penyempurnaan pekerjaannya. Pemberian kuasa merupakan keterlibatan pekerja secara menyeluruh untuk melaksanakan setiap proses dalam membuat keputusan dan menyelesaikan masalah. Pemberian kuasa dipengaruhinya oleh sistem dan prosedur pemberian kuasa, kebijakan pemberi kuasa, dan peranan pekerja yang diberi kuasa.

Kuasa adalah pernyataan, dengan mana seseorang memberikan wewenang kepada penerima kuasa bahwa yang diberi kuasa itu berwenang untuk mengikat pemberi kuasa secara langsung dengan pihak lain, sehingga dalam hal ini perbuatan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa berlaku secara sah sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Dengan perkataan lain, penerima kuasa dapat berwenang bertindak dan/atau berbuat seolah-olah ia adalah orang yang memberikan kuasa itu. Pasal 1792 KUHPerdata memberikan batasan (definisi) Mengenai “lastgeving”, dimana dikatakan, bahwa “lastgeving” adalah suatu persetujuan, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk atas namanya melakukan suatu urusan”. Perkataan-perkataan “suatu urusan” (een zaak) pada umumnya diartikan sebagai suatu perbuatan hukum,


(33)

sedang perkataan-perkataan “atas namanya” mengandung arti bahwa penerima kuasa bertindak mewakili pemberi kuasa.25

2. Konsepsi

Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,26 yang disebut dengan definisi operasional.

Selanjutnya untuk menghindari salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut :

a. Kuasa adalah pernyataan, dengan mana seseorang memberikan wewenang kepada penerima kuasa bahwa yang diberi kuasa itu berwenang untuk mengikat pemberi kuasa secara langsung dengan pihak lain, sehingga dalam hal ini perbuatan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa berlaku secara sah sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. b. Kuasa direktur adalah kuasa yang diberikan oleh Direktur perseroan kepada

penerima kuasa (pihak ketiga) untuk melakukan tindakan hukum tertentu. c. Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan mengenai pemberian

kekuasaan/wewenang (lastgeving) dari satu orang atau lebih kepada orang lain 25 Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, (Ikatan Notaris Indonesia, 1990), hal. 472.


(34)

yang menerimanya (penerima kuasa) guna menyelenggarakan/melaksanakan sesuatu pekerjaan/urusan (perbuatan hukum) untuk dan atas nama (mewakili/mengatasnamakan) orang yang memberikan kuasa (pemberi kuasa). d. Penyedia jasa atau pemborong, yaitu orang perseorangan atau badan usaha

yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa pemborongan atau jasa konstruksi.

e. Pelaksana, yaitu penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain. Pada umumnya penyedia jasa sekaligus merupakan pelaksana dalam pekerjaan jasa pemborongan.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis, artinya penelitian ini berupaya menggambarkan, menjelaskan serta menganalisa peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pemberian kuasa direktur kepada pihak lain.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perUndang-Undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum


(35)

kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perUndang-Undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif.27

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perUndang-Undangan, dan karya ilmiah lainnya.

3. Bahan Data

(1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari : a. norma atau kaidah dasar.

b. peraturan perUndang-Undangan yang terkait dengan perjanjian khususnya mengenai perjanjian pemberian kuasa.


(36)

(2) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

(3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) diluar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

4. Alat Pengumpul Data

(1). Study Dokumen

Dokumen adalah data mengenai hal-hal yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Metode dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data-data tentang perjanjian pemberian kuasa, khususnya mengenai Perjanjian pemberian kuasa direktur, sebagai sumber data yang bermanfaat untuk menguji, menafsirkan, dan meramalkan.

(2). Pedoman Wawancara (Interview Guide)

Untuk mendukung data sekunder maka diperlukan wawancara terhadap informan.

Informan dalam hal ini adalah Wariji, S.H sebagai Direktur PT. Aslan Karya Putra atau pemberi kuasa dan Irwandi sebagai pelaksana proyek atau penerima kuasa.


(37)

Sebelum dilakukan wawancara dengan informan tersebut maka terlebih dahulu dipersiapkan pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini mengacu pada substansi masalah dalam penelitian. Sehingga ketika dilakukan wawancara bisa dapat mengetahui jawaban atas permasalahan yang diajukan kepada para informan tersebut.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti, untuk kebutuhan analisis data dalam penelitian ini. Analisis data terhadap data sekunder yang diperoleh dikumpulkan dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, kemudian di analisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan analisis kualitatif. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat ditarik kesimpulan dengan metode deduktif yang dapat digunakan dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini.


(38)

BAB II

PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN

A. Bentuk dan Isi Pemberian Kuasa

Apabila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan menjadi enam macam yaitu:28

a. Akta umum

Pemberian kuasa dengan akta umum adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta notaris, artinya bahwa pemberian kuasa itu dilakukan dihadapan dan dimuka Notaris. Dengan demikian pemberian kuasa mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

b. Surat dibawah tangan,

Pemberian kuasa dengan surat dibawah tangan adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, artinya surat pemberian kuasa itu hanya dibuatkan oleh para pihak.

c. Lisan,

Pemberian kuasa secara lisan adalah suatu kuasa yang dilakukan secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.

d. Diam-diam,

Pemberian kuasa secara diam-diam adalah suatu kuasa yang dilakukan secara diam-diam oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.

e. Cuma-Cuma,

Pemberian kuasa secara Cuma-Cuma adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, artinya penerima kuasa tidak memungut biaya dari pemberi kuasa.

f. Kata khusus, dan

Pemberian kuasa khusus yaitu suatu pemberian kuasa yang pemberian kuasa itu hanya mengenai kepentingan tertentu saja atau lebih dari pemberi kuasa.

g. Umum ( Pasal 1793 s.d Pasal 1796 KUHPerdata ).

Pemberian kuasa umum yaitu pemberian kuasa yang dilakukan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa, artinya isi atau substansi kuasanya bersifat umum dan segala kepentingan diri pemberi kuasa.


(39)

Isi pemberian kuasa ditentukan oleh pihak pemberi kuasa. Pemberi kuasa biasanya memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk mewakilinya, baik diluar pengadilan maupun di muka pengadilan.29

Isi pemberian kuasa meliputi:30

a. Pemberian kuasa Khusus yang berisi tugas tertentu, dalam hal ini pemberi kuasa menyuruh penerima kuasa untuk melaksanakan suatu atau beberapa hal tertentu saja.

b. Pemberian kuasa umum mengandung isi dan tujuan untuk melakukan tindakan-tindakan pengurusan barang-barang harta kekayaan pemberi kuasa.

c. Kuasa istimewa, yaitu surat kuasa yang sangat khusus secara tegas menyebutkan satu persatu, tindakan apa yang harus dilakukan oleh penerima kuasa.

d. Kuasa perantara, kuasa yang hanya jadi penghubung antara pemberi kuasa dengan pihak ketiga.

Pemberi kuasa diwajibkan memenuhi perikatan-perikatan yang diperbuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah diberikan kepadanya, pemberi kuasa diwajibkan mengembalikan kepada penerima kuasa semua persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh orang ini untuk melaksanakan kuasanya begitu pula untuk membayar upahnya, jika ini telah diperjanjikan.31

Ada beberapa Kewajiban penerima kuasa yang harus dilaksanakan meliputi:

29R. Subekti,Op. Cit.,hal. 85 30Yahya Harahap,Op. Cit, hal. 308 31R. Subekti,Op. Cit, hal. 148


(40)

a. Melaksanakan kuasa yang diberikan dengan sesempurna mungkin sesuai dengan wewenang yang dilimpahkan oleh pemberi kuasa.

b. Penerima kuasa wajib mempertanggungjawabkan kerugian yang timbul akibat kelalaian dan ketidaksempurnaan dalam melaksanakan wewenang yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya.

c. Penerima kuasa wajib melaporkan dan membuat perhitungan pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang dilakukannya sehubungan dengan pelaksanaan tugas yang dilimpahkan kepadanya.

d. Penerima kuasa wajib bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh “Kuasa Subsitusi”.

Seorang penerima kuasa dapat/boleh melimpahkan kuasa yang diterimanya dari pemberi kuasa kepada orang lain sebagai penggantinya untuk melaksanakan perwakilan yang diberikan kepadanya (Pasal 1803 KUHPerdata), sesuai dengan ketentuan Pasal diatas penerima kuasa harus bertanggung jawab atas tindakan kuasa subsitusi:

a. Apabila pengangkatan kuasa subsitusi “tidak diperbolehkan“ atau tidak mendapat persetujuan lebih dahulu dari pemberi kuasa.

b. Jika dalam pengangkatan kuasa subsitusi telah mendapat wewenang dari pemberi kuasa, tanpa menentukan lebih dahulu siapa orangnya. Dalam hal ini jika yang diangkat penerima kuasa sebagai kuasa subsitusinya ternyata orang yang tak mampu, penerima kuasa harus bertanggung jawab atas tindakan kuasa subsitusi tersebut.


(41)

c. Penerima kuasa wajib membayar bunga uang tunai yang diterimanya, jika uang yang diterimanya dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri.32

B. Pemberian Kuasa Direktur

Perjanjian Pemberian Kuasa diatur dalam Pasal 1792 s.d Pasal 1818 KUHPerdata, Perjanjian Pemberian Kuasa adalah suatu perjanjian yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa. Ciri-ciri dari Perjanjian Pemberian Kuasa yaitu:33

a. Bebas bentuk, artinya dapat dibuat dalam bentuk lisan atau tertulis, dan b. Persetujuan timbal balik para pihak telah mencukupi.

Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

Dalam jaman yang penuh kesibukan sekarang ini, sering kali orang tidak sempat menyelesaikan urusan-urusannya. Oleh karena itu memerlukan jasa orang lain untuk menyelesaikan urusan-urusan itu. Orang ini lalu diberikannya kekuasaan atau wewenang untuk menyelesaikan urusan-urusan tersebut atas namanya. Yang dimaksudkan dengan “menyelenggarakan suatu urusan” adalah melakukan suatu

32Yahya Harahap,Op. Cit, hal. 310 33Salim H.S.,Op. Cit, hal. 84


(42)

“perbuatan hukum” yaitu suatu perbuatan yang mempunyai atau “menelorkan” suatu “akibat hukum”.34

Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan seseorang sebagai pemberi kuasa dengan orang lain sebagai penerima kuasa, guna melakukan suatu perbuatan/tindakan untuk dapat “atas nama” si pemberi kuasa.35

Subjek dalam perjanjian pemberian kuasa adalah pemberi kuasa dan penerima kuasa, yang menjadi pokok perjanjian pemberian kuasa adalah dapat satu atau lebih perbuatan hukum dalam hukum harta kekayaan.

Mengenai badan hukum publik yang juga terikat dengan ketentuan hukum perdata diantaranya adalah Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan maka pihak yang dapat memberi kuasa masing-masing adalah Kepala Jawatan untuk Perusahaan Jawatan, Direksi Perum untuk Perusahaan Umum dan Direksi Perseroan untuk Perusahaan Perseroan. Karenanya dalam mencermati siapa yang berhak dalam memberikan kuasa tergantung dari anggaran dasar PT tersebut mengacu pada Undang-Undang Perseroan Terbatas.

Direksi dapat memberikan kuasa dalam hal untuk menjalankan kegiatan usaha dan tujuan PT seperti yang dimuat pada Anggaran Dasar. Kuasa yang diberikan oleh direksi sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 103 UUPT bahwa:36

Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan 34R. Subekti,Op. Cit, hal. 140

35Yahya Harahap,Op. Cit, hal. 306


(43)

melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.

Menurut penjelasan pasal 103 UUPT tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud “kuasa” adalah kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa.

Klausula-klausula yang terdapat di dalam surat kuasa haruslah jelas menyebutkan identitas para pihak yakni Pihak Pemberi Kuasa dan Pihak Penerima Kuasa, hal yang dikuasakan secara khusus dan rinci, tidak boleh mempunyai arti ganda dan menyebutkan jangka waktu pemberian kuasa. Dengan demikian menjadi jelas batasan hak yang dikuasakan baik bagi pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa sendiri. Pemberi kuasa tak dapat menuntut terhadap hal-hal yang tidak dikuasakan, sedangkan penerima kuasa juga tak dapat melakukan kuasa melebihi kuasa yang diberikan. Bila hal ini terjadi maka pihak yang dirugikan dapat menuntut secara pribadi kepada penerima kuasa, sedangkan tindakan yang dilakukan penerima kuasa yang tidak dikuasakan tersebut menjadi batal demi hukum.

Pengaturan mengenai jangka waktu berlakunya kuasa tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan. KUHPerdata hanya mengatur mengenai berakhirnya kuasa yang terdapat pada Pasal 1813-1819 KUHPerdata. Jadi, jangka waktu berlakunya suatu surat kuasa bergantung pada kesepakatan para pihak, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 KUHPerdata.

Macam-macam cara berakhirnya pemberian kuasa berdasarkan KUHPerdata meliputi:


(44)

a. Dengan ditariknya kembali kuasanya oleh pemberi kuasa ; Si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya dan jika ada alasan untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya.37Yang dimaksudkan oleh ketentuan ini adalah bahwa si pemberi kuasa dapat menghentikan kuasa itu “at any time” asal dengan pemberitahuan penghentian dengan mengingat waktu yang secukupnya. Bila si kuasa tidak mau menyerahkan kembali kuasanya secara sukarela, ia dapat dipaksa berbuat demikian lewat pengadilan.

b. Dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si juru kuasa ; pemberi kuasa dapat mengakhiri atau menarik kembali kuasanya setiap waktu manakala itu dikehendakinya (pasal 1814), begitu pula dari pihaknya si penerima kuasanya, asal dengan mengindahkan waktu secukupnya dalam memberitahukan penghentian kepada si pemberi kuasa. Namun jika pemberitahuan penghentian ini baik karena ia dilakukan dengan tidak mengindahkan waktu, maupun karena salahnya si kuasa, membawa rugi bagi si pemberi kuasa, maka penerima kuasa harus diberikan ganti rugi oleh si kuasa, kecuali apabila si kuasa berada dalam keadaan tak mampu meneruskan kuasanya dengan tidak membawa rugi yang tidak sedikit bagi dirinya sendiri.38

c. Dengan meninggalnya, pengampuannya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa;

37Lihat Pasal 1814 KUHPerdata 38Lihat Pasal 1817 KUHPerdata


(45)

Jika si kuasa meninggal, para ahli warisnya harus memberitahukan hal itu kepada si pemberi kuasa, jika mereka tahu tentang adanya pemberian kuasa, dan sementara itu mengambil tindakan-tindakan yang perlu menurut keadaanbagi kepentingan si pemberi kuasa, atas ancaman mengganti biaya, kerugian dan bunga, jika ada alasan untuk itu.39

d. Dengan perkawinan si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa; Pemberian kuasa tergolong pada perjanjian dimana prestasi sangat erat hubungannya dengan pribadi para pihak. Mengenai kawinnya seorang perempuan yang memberikan atau menerima kuasa, dengan lahirnya UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menganggap seorang perempuan yang bersuami sepenuhnya cakap menurut hukum, ketentuan yang berkenaan dengan kawinnya seorang perempuan, dengan sendirinya tidak berlaku lagi.

Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa penerima kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya (Pasal 1814 KUHPerdata), yang dimaksudkan oleh ketentuan ini adalah bahwa pemberi kuasa dapat menghentikan kuasa itu kapan saja asal dengan pemberitahuan penghentian dengan mengingat waktu yang secukupnya. Bila penerima kuasa tidak mau menyerahkan kembali kuasanya secara sukarela, ia dapat dipaksa berbuat demikian lewat pengadilan.40

39Lihat Pasal 1819 KUHPerdata 40R. Subekti,Op. Cit, Hal. 151


(46)

C. Tata Cara Pemberian Kuasa Direktur Pada Proyek Pembangunan Jalan

Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Jika dilihat dari cara bertindaknya, penerima kuasa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:41 a. Penerima kuasa bertindak atas namanya sendiri.

Hal ini sering dilakukan oleh seorang komisioner yang melakukan perbuatan hukum seolah-olah untuk dirinya sendiri.

b. Penerima kuasa bertindak atas nama orang lain, perbuatan yang dilakukan untuk orang lain dan pada saat melakukannya penerima kuasa menyatakan bahwa ia melakukannya untuk orang lain. Suatu badan hukum dapat memberikan kuasanya pada seseorang untuk melakukan perbuatan hukum atas namanya. Dengan pemberian kuasa tersebut, badan hukum tersebut harus memenuhi kewajiban-kewajiban yang diatur oleh hukum.

Didalam Pasal 1793 KUHPerdata disebutkan bentuk perjanjian pemberian kuasa, dapat dilakukan dengan akta otentik, dalam bentuk tulisan dibawah tangan dan dengan lisan :

a. Pemberian kuasa dengan akta otentik adalah suatu pemberian kuasa, yang dibuat antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, artinya perjanjian kuasa dibuat dimuka dan dihadapan Notaris.


(47)

b. Pemberian kuasa dalam bentuk tulisan dibawah tangan merupakan perjanjian pemberian kuasa yang dibuat secara tertulis antara pemberi kuasa dan penerima kuasa.

c. Perjanjian pemberian kuasa secara lisan merupakan perjanjian pemberian kuasa, artinya pihak pemberi kuasa memberikan kuasa secara lisan kepada penerima kuasa tentang hal yang dikuasakannya.42

d. Kuasa bisa juga terjadi berbentuk kuasa secara diam-diam, artinya suatu kuasa bisa terjadi dengan sendirinya tanpa persetujuan lebih dahulu. Kuasa secara diam-diam dapat disimpulkan dari tindakan yang dilakukan oleh seseorang (Pasal 1793 ayat 2).

Definisi akta otentik diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Pegawai umum yang dimaksudkan dalam membuat akta secara otentik adalah notaris. Hal ini diatur dalam ketentuan umum Pasal 1 sub 1 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.43 Sebagai pegawai umum, segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam proses hukum. Akta dalam bentuk otentik dipandang sebagai alat bukti tertulis dengan kekuatan pembuktian sempurna, karena

42Ibid, hal. 85

43H. Djuhad Mahja, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Jakarta: Durat Bahagia, 2005), hal. 60


(48)

dijamin oleh notaris. Sedangkan definisi perjanjian di bawah tangan diatur dalam Pasal 1874 ayat (1) KUH Perdata, yaitu akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.

Pemberian kuasa itu adalah bebas dari sesuatu bentuk cara (formalitas) tertentu, dengan perkataan lain merupakan suatu perjanjian konsensual artinya sudah mengikat (sah) pada detik tercapainya sepakat antara si pemberi kuasa dan si penerima kuasa.44

Pemberian kuasa direktur pada proyek pembangunan jalan dilakukan secara tulisan, yaitu dengan akta otentik. Pemberian kuasa tersebut dilakukan secara khusus yaitu hanya meliputi satu kepentingan tertentu atau lebih. Dalam hal ini khusus bertindak untuk melakukan pengurusan dan melaksanakan sampai selesai kegiatan pekerjaan proyek pembangunan jalan atas nama perusahaan tersebut.

D. Pelaksanaan Pemberian Kuasa Direktur pada Proyek Pembangunan Jalan

Ketentuan mengenai perjanjian pemborongan telah diatur dalam Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemborongan pekerjaan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.45

44R. Subekti,Op. Cit, hal. 141


(49)

Kontrak kerja konstruksi, yang diartikan sebagai keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (Pasal 1 angka 5 UU No. 18 Tahun 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa pengertian kontrak kerja konstruksi adalah suatu perbuatan hukum antara pihak pengguna jasa dengan pihak penyedia jasa konstruksi dalam melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi dimana dalam hubungan hukum tersebut diatur mengenai hak dan kewajiban para pihak. Para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri dari: pengguna jasa dan penyedia jasa (perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi).46 Penjelasan ini berarti bahwa dimensi hukum dalam kontrak kerja konstruksi adalah dimensi hukum perdata, bukan hukum pidana karena dalam hukum pidana tidak dikenal adanya kontrak. Dalam konteks ini, kontrak kerja konstruksi tunduk pada Pasal 1313 KUHPerdata jo Pasal 1320 KUHPerdata.

Hubungan hukum antar para pihak dalam jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, adalah hubungan kontraktual (berdasarkan kontrak) yang harus memenuhi persyaratan sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Berdasarkan pasal 1338 KUHPdt, para pihak bebas untuk menentukan bentuk dan isi perjanjian, namun kebebasan untuk menentukan bentuk dan isi perjanjian sekiranya telah hilang karena di dalam Pasal 22 UU No. 18 Tahun 1999, telah ditentukan isi dari suatu kontrak kerja jasa konstruksi. Bentuk perjanjian

46Lihat Pasal 1 angka 3, 4, 9, 10, dan 11, jo Pasal 14, 15, dan 16 UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi


(50)

jasa konstruksi yang ada adalah bentuk kontrak standar, dengan tujuan untuk menjaga agar kontrak dan pelaksanaan tetap mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Para pihak terutama pihak penyedia jasa tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan kontrak kerja konstruksi. Karena semua proses dari tahapan awal dari pendaftaran sampai dengan penetapan pemenang lelang semuanya telah diatur oleh undang-undang berikut peraturan pelaksanaannya termasuk dalam perjanjian kontrak kerja konstruksi telah diatur dalam bentuk standar kontrak. Pihak pengguna jasa dalam hal ini terutama pemerintah dan atau lembaga negara lebih dominan untuk menentukan isi perjanjian.47

Pada umumnya pemborongan pekerjaan dari sektor swasta dikenal dua prosedur pemilihan pemborong yaitu:

1. Pemilihan kontraktor secara negosiasi

Melalui sistem negosiasi, pemilihan kontraktor tidak dilakukan dengan suatu tender tertentu, akan tetapi pihak pemilik pekerjaan bernegosiasi langsung dengan pihak pemborong untuk memastikan apakah kontraktor tersebut dapat dipilih untuk mengerjakan proyek yang bersangkutan, sehingga prosedur negosiasi ini praktis lebih bersifat informal.

Dalam hal ini pihak pemilik pekerjaan mengontak satu atau lebih pemborong yang menurut penilaiannya mampu mengerjakan pekerjaan yang dimaksud, sambil menginformasikan persyaratan-persayaratan untuk itu. 47Budi F. Supriadi, Kedudukan Para Pihak Dalam Kontrak Kerja Jasa Konstruksi Ditinjau

Dari Azas Kebebasan Berkontrak Dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.Majalah Ilmiah Unikom, Vol.5, hal. 157-158.


(51)

Biasanya pihak pemilik pekerjaan memintakan kepada pihak pemborong untuk memasukkan juga penawaran kepada pihak pemilik pekerjaan.

2. Pemilihan Kontraktor secara Tender

Ada dua macam tender yang lazim dilakukan dalam praktek, yaitu pertama sistem tender terbuka, pada sistem tender ini pihak pemilik pekerjaan mengundang semua pihak yang berkepentingan untuk berpartisipasi dalam tender tersebut, dalam hal ini diumukan dengan cara pemasangan iklan di media masa.

Kemudian tender terbatas, yaitu hanya mengundang beberapa pihak tertentu saja untuk berpartisipasi dalam tender tersebut. Tentu saja sungguhpun sistem tender ini terkesan formal dengan dokumentasi yang lebih rumit akan tetapi sistim ini mengandung manfaat yang lebih nyata, antara lain dengan semakin banyaknya pihak yang berpartisipasi dalam tender tersebut, tentu akan ditemukan semakin banyak pilihan yang pada akhirnya akan menemukan kontraktor yang terbaik.

Dari kedua prosedur pemilihan pemborong tersebut, pemilihan kontraktor secara tender terbatas yang sering digunakan untuk pekerjaan pemborongan bangunan yang berasal dari pihak swasta, untuk perusahaan swasta yang telah berbadan hukum misalnya: Perseroan Terbatas. Sedangkan untuk pemberi pekerjaan pemborongan bangunan yang berasal dari perorangan, digunakan prosedur pemilihan kontraktor secara negosiasi, misalnya: bangunan rumah tinggal.


(52)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2010 menentukan bahwa yang menjadi prosedur pemilihan perencana konstruksi dan pengawas konstruksi adalah sebagai berikut:

a. Pengumuman

b. Pendaftaran untuk mengikuti pelelangan; c. penjelasan;

d. Pemasukan penawaran e. Evaluasi penawaran

f. penetapan calon pemenang dilakukan berdasarkan penilaian kualitas, gabungan kualitas dan harga, harga tetap, atau harga terendah;

g. Pengumuman calon pemenang h. masa sanggah; dan

i. Penetapan pemenang

Untuk dapat terlaksananya kegiatan jasa pemborongan, sebelumnya harus didahului dengan pengikatan para pihak yang sepakat mengikatkan diri antara satu dengan lainnya serta dituangkan dalam suatu perjanjian jasa pemborongan, sehingga menimbulkan hubungan hukum dan akibat hukum bagi para pihak.

Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormvrij) artinya perjanjian pemborongan dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam praktek, apabila perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan kecil biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan apabila perjanjian pemborongan


(53)

menyangkut harga borongan yang agak besar, biasanya perjanjian dibuat secara tertulis baik dengan akta dibawah tangan atau akta autentik (akta notaris).48

Selain itu perjanjian jasa pemborongan juga bersifat formil, karena khusus dalam proyek-proyek pemerintah, harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk perjanjian standar artinya perjanjian pemborongan (surat perintah kerja dan surat perjanjian pemborongan) dibuat dalam model-model formulir tertentu yang isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan.

Proyek pemborongan bangunan yang diperoleh lewat prosedur lelang (tender terbatas) oleh Dinas P.U. Abdya, yang keluar sebagai pemenang lelang adalah peserta yang mengajukan penawaran terendah. Akan tetapi dalam prakteknya tidak selalu peserta lelang atau kontraktor yang mengajukan penawaran terendah yang ditunjuk sebagai kontraktor pelaksana proyek oleh panitia lelang/pengadaan, juga melihat dari harga yang ditawarkan dari pihak pemborong dalam penawaran apakah wajar atau tidak.

Harga dalam penawaran telah dianggap wajar dalam batas ketentuan mengenai harga satuan (harga standar) yang telah ditetapkan, serta telah sesuai dengan ketentuan yang ada, maka panitia dapat menetapkan peserta yang telah memasukkan penawaran yang paling menguntungkan bagi pemberi borongan pekerjaan.

a. Penawaran secara teknis dapat dipertanggungjawabkan;

48FX. Djumaialdji,Hukum Bangunan,Dasar-dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya


(54)

b. Perhitungan harga yang ditawarkan dapat dipertanggungjawabkan;

c. Penawaran tersebut adalah yang terendah diantara penawaran-penawaran yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b.49

Hal ini terjadi apabila panitia lelang melihat bahwa harga yang diajukan terlalu rendah dan dianggap tidak wajar, sehingga dikuatirkan proyek tersebut tidak dapat dikerjakan dengan hasil yang baik. Selain itu langkah ini diambil untuk menghindari penurunan kualitas hasil kerja dari pemborong dengan pola “asal jadi” dan mengantisipasi harga pasar dari harga pasar dari harga bahan baku proyek yang cenderung meningkat.

Prosedur pemilihan pemborong/rekanan/kontraktor/penyedia jasa dengan metoda pelelangan umum dalam Peraturan Presiden 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah terdiri dari :

1. Prakualifikasi, yaitu proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan syarat tertentu lainnya dari penyedia barang/jasa sebelum penawaran. Proses prakualifikasi secara umum meliputi pengumuman prakualifikasi, pengambilan dokumen prakualifikasi, pemasukan dokumen prakualifikasi, evalusi dokumen prakualifikasi, penetapan calon peserta pengadaan yang lulus prakualifikasi, dan pengumuman hasil prakualifikasi.

2. Pasca kualifikasi, yaitu proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan syarat tertentu lainnya dari penyediaan barang/jasa setelah memasukkan penawaran. Proses pasca kualifikasi secara umum meliputi


(55)

pemasukan dokumen kualifikasi bersamaan dengan dokumen penawaran dan terhadap peserta yang diusulkan untuk menjadi pemenang serta cadangan pemenang dievaluasi dokumen kualifikasinya.

Proyek pembangunan jalan Surien yang dikerjakan oleh PT. Aslan Karya Putra, didapat dari prosedur lelang (tender terbatas) yang dilakukan oleh Dinas P.U. Abdya. Akan tetapi dalam pelaksanaan pekerjaan proyek tersebut direktur perusahaan PT. Aslan Karya Putra memberikan kuasa khusus kepada pihak ketiga untuk bertindak atas nama pemberi kuasa di dalam segala hal dan segala urusan yang bersangkut paut dengan kegiatan pekerjaan proyek pembangunan jalan surien pada Dinas P.U. Abdya.

Penyerahan kuasa oleh direktur PT. Aslan Karya Putra diberikan kepada penerima kuasa sebelum tender terbatas untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan proyek dilakukan. Dalam hal ini, penerima kuasa bertindak atas nama pemberi kuasa untuk melaksanakan pekerjaan proyek tersebut dimulai dari tahap sebelum kualifikasi hingga berakhirnya pelaksanaan pekerjaan.50

Pemberian kuasa yang dilakukan oleh Direktur PT. Aslan Karya Putra tersebut didasarkan pada ketentuan pada Pasal 103 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.


(56)

Isi perjanjian yang terdapat dalam surat kuasa merupakan hal yang terpenting karena ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam perjanjian tersebut dapat menggambarkan kondisi dan informasi tentang apa yang disepakati oleh para pihak yang membuatnya baik secara tersirat maupun tersurat.

Hubungan yang terjadi antara pemberi kuasa dan penerima kuasa adalah hubungan hukum untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu oleh penerima kuasa dan sebagai kompensasinya pemberi kuasa mendapatkan sejumlah pembayaran yang telah ditetapkan. Sejumlah pembayaran yang didapat oleh pemberi kuasa yaitu didasarkan atas peminjaman perusahaan oleh pihak ketiga untuk melaksanakan proyek pembangunan jalan antara Dinas P.U. Abdya dengan PT. Aslan Karya Putra tersebut.

Klausula yang terdapat di dalam perjanjian kuasa tidak mengatur mengenai besarnya pembayaran yang akan diterima oleh pemberi kuasa, tetapi hanya mengatur hubungan-hubungan hukum dan segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan proyek pembangunan jalan. Mengenai besarnya pembayaran yang akan diterima oleh pemberi kuasa hanya dilakukan berdasarkan perjanjian dibawah tangan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, yang dilakukan sebelum penyerahan proyek pembangunan jalan kepada penerima kuasa.51

51 Wawancara dengan Wariji, S.H. Direktur PT. Aslan Karya Putra, pada tanggal 21 Juni 2011.


(57)

BAB III

TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM SURAT KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN

A. Kedudukan Para Pihak Dalam Kuasa Direktur Pada Proyek Pembangunan Jalan

Perjanjian berdampak pada hubungan hukum antara dua pihak, dimana di satu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban, sedang melakukan prestasi perikatan. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat ditemui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab undang-undang hukum perdata yang menyatakan bahwa :

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang”.

Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan pasal 1313 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Dengan demikian jelaslah bahwa perjanjian melahirkan perikatan.

Dalam pelaksanaan pekerjaan yang telah diatur dalam perjanjian jasa pemborongan atau jasa konstruksi biasanya terdapat 4 (empat) pihak, antara lain:52 1. Pengguna jasa atau pemberi tugas ataubouwheer, yaitu orang perseorangan atau

badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa pemborongan atau jasa konstruksi.

52 Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Program Penyuluhan Hukum dan Penerangan Hukum


(58)

2. Penyedia jasa atau pemborong, yaitu orang perseorangan atau badan usaha yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa pemborongan atau jasa konstruksi. 3. Pelaksana, yaitu penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang

dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain. Pada umumnya penyedia jasa sekaligus merupakan pelaksana dalam pekerjaan jasa pemborongan.

4. Pengawas, yaitu penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.

Selain pihak-pihak tersebut diatas, dalam pelaksanaan pekerjaan jasa pemborongan juga terdapat pihak perencana, yaitu penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa pemborangan atau jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain. Penunjukan perencana ini dalam prakteknya dilaksanakan melalui pelelangan tersendiri yang dilakukan sebelum pelelangan dalam rangka pemilihan penyedia jasa.

Dari pengertian pemberian kuasa dalam pasal 1792 KUHPerdata tersebut dalam perjanjian pemberian kuasa terdapat dua pihak yaitu :


(59)

1. Pemberi kuasa (lastgever).

Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan kewenangan yang diberikan dalam surat kuasa. Pemberi kuasa juga bertanggungjawab atas segala perbuatan penerima kuasa sepanjang perbuatan yang dilakukan tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa.

2. Penerima kuasa, yang diberi perintah atau mandat untuk melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa. Penerima kuasa berkuasa penuh bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa.

Secara umum pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa tidak bersifat

imperative, apabila pemberi dan penerima kuasa menghendaki dapat disepakati hal-hal yang tidak diatur dalam undang-undang, hal ini berkaitan dengan hukum perjanjian hanya bersifat mengatur apapun yang disepakati kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar norma-norma yang bersifat larangan.

Dalam perjanjian pelaksanaan pekerjaan pembangunan jalan dari pengguna jasa, pemberi kuasa memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa untuk melaksanakan suatu urusan perusahaan dengan mendapat upah.53 Maka kedudukan penerima kuasa adalah sebagai pelaksana/perwakilan dari pemberi kuasa untuk bertindak atas nama perusahaan.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pemberian kuasa direktur pada pelaksanaan proyek pembangunan jalan kepada pihak penerima kuasa diberikan dalam bentuk akta otentik yang dibuat dimuka dan dihadapan Notaris secara khusus, yaitu hanya mengenai suatu kepentingan perusahaan untuk mewakili perusahaan dalam melaksanakan segala urusan yang berkaitan dengan pekerjaan proyek pembangunan jalan. Pemberian kuasa oleh direktur kepada penerima kuasa terbatas pada hal-hal yang telah ditetapkan di dalam akta kuasa. Pemberi kuasa tak dapat menuntut terhadap hal-hal yang tidak dikuasakan, sedangkan penerima kuasa juga tak dapat melakukan kuasa melebihi kuasa yang diberikan. Bila hal ini terjadi maka pihak yang dirugikan dapat menuntut secara pribadi kepada penerima kuasa, sedangkan tindakan yang dilakukan penerima kuasa yang tidak dikuasakan tersebut menjadi batal demi hukum.

2. Tanggung jawab para pihak dalam surat kuasa direktur hanya khusus pada pelaksanaan proyek pembangunan jalan yaitu penerima kuasa bertanggung jawab untuk melaksanakan kuasanya dan menanggung segala kerugian yang diderita dari perbuatan yang disengaja, juga kelalaian yang dilakukan oleh penerima kuasa dalam menjalankan kuasanya. Apabila dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pihak penerima kuasa menyalahi atau menyimpang dari bestek


(2)

sehingga mengakibatkan mutu bangunan tidak baik, maka pihak penerima kuasa harus bertangung jawab untuk mengganti, membongkar dan memperbaiki kembali sesuai dengan bestek yang telah disetujui kedua belah pihak.

3. Perlindungan hukum para pihak dalam pemberian kuasa pada proyek pembangunan jalan diatur di dalam KUHPerdata Pasal 1792 hingga pasal 1819, yang mengatur tentang hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Sedangkan perlindungan hukum penerima kuasa dalam menjalankan pekerjaan proyek pembangunan jalan yaitu dengan diberikannya jaminan bank dan jaminan asuransi jika penerima jasa wanprestasi, yaitu sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UUJK, bahwa pengguna jasa harus memiliki kemampuan membayar biaya pekerjaan kontruksi yang didukung dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan bukan bank.

B. Saran

1. Pemberian kuasa direkur kepada pihak penerima kuasa diharapkan dapat melaksanakan kewajibannya untuk bertindak dalam pengurusan dan pelaksanaan proyek pembangunan jalan sesuai dengan perjanjian kuasa yang telah disepakatinya.

2. Tanggung jawab para pihak jika terjadi wanprestasi dalam pemberian kuasa direktur, maka diharapkan penerima kuasa dapat melaksanakan pemborongan sesuai dengan kontrak rencana kerja dan syarat-syarat yang telah ditetapkan


(3)

berdasarkan negosiasi awal antara pihak kontraktor dengan pihak pemberi kuasa dan bertanggung jawab terhadap segala biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa itu dan juga terhadap kelalaian yang dilakukannya.

3. Diharapkan penerima kuasa dalam hal ini pelaksana pekerjaan dapat memenuhi jaminan Bank maupun jaminan pelaksana yang dibebankan kepadanya, untuk menjamin perlindungan hukum jika terjadi wanprestasi. dalam mengatasi masalah yang terjadi pada pelaksanaan kuasa direktur, maka upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut sebaiknya dilakukan secara musyawarah. Karena penyelesaian sengketa melalui pengadilan pada umumnya berjalan amat sangat lambat yang mengakibatkan makin tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Andasasmita, Komar, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Ikatan Notaris Indonesia, 1990.

Badrulzaman, Mariam Darus,Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 1981.

_______________, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Bandung: Alumni, 1983.

Djulmialdji. FX,Hukum Bangunan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996.

_____________, Perjanjian Pemborongan, Dasar-dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia,Rineka Cipta, Jakarta : 1991

Fuady, Munir,Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Bandung : PT. Citra Bakti, 1998 Gautama, Sudargo, Undang-Undang Arbitrase Baru, Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1999

H.S., Salim,Hukum kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,

Hanitijo Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Harahap,Yahya,Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cetakan I, Bandung : Mandar Maju, 1994.

Muhammad, Abdul Kadir,Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990. Moleong, Lexy J.,Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya,

1993.

Prodjodikoro, Wirdjono,Azas Azas Hukum Perjanjian, Bandung: CV. Mandar Maju, 2000.


(5)

Shahab, Hamid, Aspek Hukum dalam Sengketa Bidang Konstruksi, Jakarta: Djembatan, 1996

Setiyowati, Junita Eko, Perlindungan Hukum Peserta Bagi Hasil Di Suatu Perusahaan, Bandung, 2003

Simanjuntak, P.N.H, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : Djambata, 1999

Subekti, R dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 1999.

Subekti, R.,Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, 1987

___________,Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa, 2002. ___________.Aneka Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995.

Suharnoko,Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana, 2004. Sianipar, J.,Tinggi dan Jan Pinontoan, Surety Bonds Sebagai Alternatif dari Bank

Garansi,Jakarta: CV Dharmaputra, 2003

Soedibyo, Berbagai Jenis Kontrak Pekerjaan, Jakarta : Pradnya Paramita, Cet. I, 1984

Soeyono dan Hj.Siti Ummu,Hukum Kontrak, Semarang: Universitas Sultan Agung, 2003.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, UI Press, 1986.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchun, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan BangunanYogjakarta : Liberty, 1982

Setiawan, R.Pokok-Pokok Hukum Perikatan,Bandung: Binacipta, 1987.

Suryabrata, Sumadi,Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Tjokroamidjojo, Bintoro, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta: CV.

Haji Mas Agung, 1988


(6)

Wiratha, Made, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Yogyakarta: Andi, 2006.

Wuisman, J.J.J. M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, Jakarta : UI Press, 1996.

B. Makalah, Artikel dan Karya Ilmiah

Amrigunasti, Manajemen Resiko dalam Proyek Konstruksi, http://amrigunasti. wordpress.com/2011/01/11/lingkup-manajemen-proyek/, diakses pada tanggal 20 Juni 2011

Humala Sianturi, SH., http://malasi-advokat.blogspot.com/2009/09/pengertian-bentuk-dan-jenis-pemberian.html, akses tanggal 15 April 2011.

Majalah Renvoi, Nomor 6.42.IV, 3 November 2006

]]]]]]]

C. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan

Barang/jasaPemerintah

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi