Analisis Pengaruh Dana Otonomi Khusus Terhadap Indeks Pembangunan Manusia (Ipm) Provinsi Aceh

(1)

SKRIPSI

ANALISIS PENGARUH DANA OTONOMI KHUSUS TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) PROVINSI ACEH

OLEH

Andrika Sembiring 110501110

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

ABSTRAK

ANALISIS PENGARUH DANA OTONOMI KHUSUS TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) PROVINSI ACEH

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia dan alokasi belanja modal provinsi Aceh serta pengaruh alokasi belanja modal sebagai variabel intervening terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh. Penelitian ini adalah studi pengujian hipotesis, dengan menguji pengaruh variabel independen yaitu dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia sebagai variabel dependen, yang melibatkan alokasi belanja modal sebagai variabel intervening. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah laporan keuangan provinsi Aceh periode 2004 sampai 2014. Metode pengujian hipotesis menggunakan analisis regresi linear dengan variabel intervening. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dana otonomi khusus berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh dan alokasi belanja modal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa alokasi belanja modal tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia, sehingga tidak memediasi hubungan dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia Provinsi Aceh.

Kata Kunci: Dana Otonomi Khusus, Indeks Pembangunan Manusia, Alokasi Belanja Modal.


(3)

ABSTRACT

ANALYSIS OF THE INFLUENCE OF SPECIAL AUTONOMY FUNDS FOR HUMAN DEVELOPMENT INDEX (HDI) ACEH PROVINCE

The purpose of this study is to determinate the effect of special autonomy funds on human development index and the Aceh provincial capital expenditure as well as the effect of capital expenditure as an intervening variable of the human development index of Aceh province. This research is hypothesis testing studies, by testing the effect of independent variables, special autonomy funds to the human development index as a dependent, involving capital expenditure as intervening. The data used in this research is budget’s report of Aceh province period of 2004 till 2014. Hypothesis testing method using linear regression analysis with the intervening variables. The result of the study indicates that the acceptance of special autonomy funds have a positive effect on human development index and capital expenditures in Aceh province. The result also shows that capital expenditure is not positive significant on the human development index, so it does not mediate the relationship of special autonomy funds for human development index of Aceh province.

Keywords: special autonomy fund, human development index, capital expenditure


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi kemulian Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencurahkan kasih dan karuniaNya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan

penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Dana Otonomi Khusus Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Aceh”.

Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara dan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi. Tentunya dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, maka penulis dengan terbuka mengharapkan masukan dari berbagai pihak.

Dalam kesempatan ini, penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini dan juga penyelesaian studi penulis, terutama kepada :

1. Bapak Prof. Dr Azhar Maksum SE,MSc,Ak selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Irsyad Lubis, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Kasyful Mahalli, S.E M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan dengan penuh kesabaran membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini

5. Bapak Haroni Doli Hamoraon Ritonga, S.E, M.Si selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan saran dan kritik dalam skripsi ini

6. Bapak Dr. Rujiman, MA selaku dosen penguji saya yang telah banyak memberikan dukungan dan masukan berupa saran dan kritik

7. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, terutama Departemen Ekonomi Pembangunan

8. Kepada kedua orangtua Penulis atas kasih sayang dan pengorbanannya, serta seluruh dukungan baik doa, dana, maupun semangat selama masa perkuliahan penulis

9. Kepada para Kakak-adik dan seluruh keluarga besar penulis yang telah banyak memberikan semangat dan dukungannya selama masa perkuliahan penulis

10. Kepada semua rekan-rekan seperjuangan penulis, E.P 2011, khususnya teman-teman sepermainan penulis yang telah memberikan hari-hari yang indah dalam hidup Penulis


(5)

11. Kepada semua rekan-rekan sepergerakan di GMKI dan KMK FEB USU yang telah memberikan pengalaman berproses kepada penulis dalam hal pembentukan karakter dan spritual yang lebih baik lagi.

Akhir kata, penulis berharap semoga hasil penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2015 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Khusus dan Desentralisasi Asimetris ... 11

2.2 Dana Otonomi Khusus ... 14

2.3 Belanja Modal ... 16

2.4 Indeks Pembangunan Manusia ... 18

2.5 Penelitian Terdahulu ... 21

2.6 Kerangka Konseptual ... 24

2.7 Hipotesis ... 24

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 26

3.2 Batasan Operasional ... 26

3.3 Definisi Operasional ... 26

3.4 Jenis Data ... 27

3.5 Teknik Analisis Data ... 27

3.6 Uji Kesesuaian (Test Goodness of Fit) ... 29

3.6.1 Koefisien Determinasi (R2) ... 29

3.6.2 Uji F-Statistik ... 29

3.6.3 Uji T-Statistik ... 30

3.7 Pengujian Asumsi Klasik ... 30

3.7.1 Uji Normalitas ... 31

3.7.2 Uji Autokorelasi ... 31

3.7.3 Uji Multikolinearitas ... 31

3.7.4 Uji Heteroskedastisitas ... 31

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 33

4.1.1 Kondisi Geografis dan Demografi Provinsi Aceh ... 33

4.1.2 Perkembangan Dana Otonomi Khusus Aceh ... 35

4.1.3 Perkembangan Alokasi Belanja Modal Aceh ... 37

4.1.4 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Aceh ... 38

4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 39


(7)

4.2.2 Uji Asumsi Klasik ... 46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 49

5.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA...51


(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

4.1 10 Provinsi Dengan Anggaran Pendapatan Daerah

Tertinggi Tahun 2013 (Dalam Jutaan Rupiah)... 5

4.2 Peringkat IPM Aceh Tahun 2002-2013... 6

2.1 Isu Pendorong Permintaan (Daerah) dan Pemberian (Pusat) Status Otsus Kepada Aceh... 13

2.2 Penerimaan Provinsi Aceh Dalam Rangka Otonomi Khusus... 15

2.3 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM... 21

4.1 Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/ Kota di Provinsi Aceh Tahun 2012... 34

4.2 Nilai R Untuk Persamaan Regresi Pertama... 40

4.3 Uji T Untuk Persamaan Regresi Pertama... 40

4.4 Nilai R Untuk Persamaan Regresi Pertama... 41

4.5 Nilai T Untuk Persamaan Regresi Kedua... 42

4.6 Nilai R Squard Untuk Persamaan Regresi Ketiga... 44

4.7 Uji F Untuk Persamaan Regresi Ketiga... 44

4.8 Uji T Untuk Persamaan Regresi Ketiga... 45

4.9 Hasil Pengujian Normalitas Menggunakan Kolsmogorov- Smirnov... 46

4.10 Hasil Pengujian Multikolinearitas... 48

4.11 Pengujian Heteroskedastisitas Dengan menggunakan Uji Glejser... 49


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

1.1 Persentase sumber penerimaan Aceh pada APBD

2013... 5 1.2 Kerangka konseptual pengaruh Dana Otonomi Khusus

Terhadap IPM Provinsi Aceh... 24 4.1 Grafik Perkembangan Dana Otonomi Khusus Provinsi

Aceh Tahun 2004-2014 (Dalam Milyar Rupiah)... 36 4.2 Grafik Perkembangan Alokasi Belanja Modal Provinsi

Aceh Tahun 2004-2014 (Dalam Milyar Rupiah)... 37 4.3 Grafik Perkembangan Nilai IPM Provinsi Aceh


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman

1 Data Dana Otonomi Khusus, Alokasi Belanja Modal, Dan Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Aceh

Tahun 2004-2014... 54 2 Uji Hipotesis Untuk Persamaan Regresi 1, 2, dan 3... 55 3 Uji Asumsi Klasik... 58


(11)

ABSTRAK

ANALISIS PENGARUH DANA OTONOMI KHUSUS TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) PROVINSI ACEH

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia dan alokasi belanja modal provinsi Aceh serta pengaruh alokasi belanja modal sebagai variabel intervening terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh. Penelitian ini adalah studi pengujian hipotesis, dengan menguji pengaruh variabel independen yaitu dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia sebagai variabel dependen, yang melibatkan alokasi belanja modal sebagai variabel intervening. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah laporan keuangan provinsi Aceh periode 2004 sampai 2014. Metode pengujian hipotesis menggunakan analisis regresi linear dengan variabel intervening. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dana otonomi khusus berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh dan alokasi belanja modal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa alokasi belanja modal tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia, sehingga tidak memediasi hubungan dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia Provinsi Aceh.

Kata Kunci: Dana Otonomi Khusus, Indeks Pembangunan Manusia, Alokasi Belanja Modal.


(12)

ABSTRACT

ANALYSIS OF THE INFLUENCE OF SPECIAL AUTONOMY FUNDS FOR HUMAN DEVELOPMENT INDEX (HDI) ACEH PROVINCE

The purpose of this study is to determinate the effect of special autonomy funds on human development index and the Aceh provincial capital expenditure as well as the effect of capital expenditure as an intervening variable of the human development index of Aceh province. This research is hypothesis testing studies, by testing the effect of independent variables, special autonomy funds to the human development index as a dependent, involving capital expenditure as intervening. The data used in this research is budget’s report of Aceh province period of 2004 till 2014. Hypothesis testing method using linear regression analysis with the intervening variables. The result of the study indicates that the acceptance of special autonomy funds have a positive effect on human development index and capital expenditures in Aceh province. The result also shows that capital expenditure is not positive significant on the human development index, so it does not mediate the relationship of special autonomy funds for human development index of Aceh province.

Keywords: special autonomy fund, human development index, capital expenditure


(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dalam sejarah perjalanan sistem kepemerintahannya, Indonesia sempat mengalami masa-masa dimana sistem pemerintahan yang sentralistik pernah diterapkan. Di bawah rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, Indonesia diperintah dengan sistem yang sangat tersentralisasi. Semua kekuatan politik praktis berpusat di Jakarta, dan pemerintah pusat memegang kendali penuhatas semua kekayaan ekonomi di negara ini. Kendali pusat yang begitu besar dalam mengatur sumberdaya alam daerah sering kali memunculkan ketidakpuasan dalam hal pembagian hasil. Beberapa daerah yang kaya akan sumberdaya alam seperti Aceh dan Papua justru mengalami ketertinggalan dalam hal pembangunan dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan ekonomi di Indonesia. Ketidakadilan dalam hal pembagian keuntungan dari sumberdaya alam seperti yang terjadi pada provinsi Aceh dan Papua telah memicu konflik dan memunculkan gerakan separatis dengan tujuan untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Provinsi Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang paling merasakan dampak negatif dari diterapkannya sistem pemerintahan yang sentralistik. Ketidakadilan sosial dan ekonomi ditambah dengan munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan semangat memisahkan diri dari Indonesia, serta respon pemerintah Orde Baru yang represif dalam menangani


(14)

konflik dengan menjadikan Aceh sebagai zona militer telah membuat situasi di Aceh semakin memperburuk.

Konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia telah memberikan dampak buruk terhadap kehidupan sosial dan ekonomi di provinsi Aceh. Dampak terburuk dari konflik di Aceh adalah munculnya korban jiwa yang diperkirakan berjumlah 15.000 jiwa selama masa konflik. Selama konflik juga terjadi Pembakaran terhadap fasilitas pendidikan, pengrusakan tiang-tiang jaringan listrik yang mengakibatkan terputusnya pasokan listrik di Aceh, dan serangkaian aksi teror lainnya semakin membuat situasi keamanan di Aceh tidak kondusif (KEMITRAAN, 2008).

Situasi keamanan yang tidak kondusif membuat para investor enggan berinvestasi yang berakibat meningginya angka pengangguran di Aceh. Sepanjang periode konflik hingga tahun 1996, diperkirakan terdapat 491.800 penduduk miskin di Aceh atau sekitar 12,7% dari total penduduk Aceh. Jumlah ini meningkat menjadi 602.100 jiwa atau 14,8% dari total penduduk pada 1999 dan 1,2 juta jiwa atau 30% dari total penduduk pada 2002. Perekonomian di Aceh tidak berjalan baik dan cenderung stagnant. Pada 1990 kontribusi Aceh terhadap GDP Indonesia adalah sebesar 3,6%. Jumlah ini menurun menjadi hanya 2,2% saja pada tahun 2001 (data World Bank).

Runtuhnya kekuasaan Orde Baru dan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian juga disempurnakan menjadi UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan jalan keluar bagi struktur dan format politik pemerintahan yang sebelumnya sentralistik menjadi


(15)

desentralistik dimana salah satu kritik yang sering muncul pada era sistem pemerintahan yang sentralistik adalah terlalu dominannya peranan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah. Dengan latar belakang tingginya tingkat kemiskinan di daerah sebagai akibat tidak adanya transfer kesejahteraan kepada daerah sebagai imbalan transfer ekonomi ke pusat telah memberikan peluang kepada Aceh untuk mendapatkan status otonomi khusus. Hal ini diwujudkan dengan lahirnya UU No.18 Tahun 2001 tentang status otonomi khusus provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Namun dalam perkembangannya undang-undang ini belum juga dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di Aceh.

Pada 26 Desember 2004 provinsi Aceh dilanda oleh salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah Indonesia. Bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah merenggut banyak korban jiwa, menyebabkan kerusakan yang parah terhadap infrastruktur, dan melumpuhkan semua kegiatan perekonomian di daerah terdampak bencana. Bencana ini telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bencana ini juga melatarbelakangi munculnya perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dengan GAM di Helsinki, Finlandia yang menghasilkan memorandum of understanding (MoU) diantara pihak yang berkonflik pada 15 Agustus 2005.

MoU ini berisikan kesepakatann bahwa Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan


(16)

dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman, dan kebebasan beragama yang merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi. Komitmen Pemerintah RI kepada perjanjian damai ini diwujudkan dalam bentuk terbitnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Kedua undang-undang di atas menjadikan Aceh memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan daerah lainnya di Indonesia, salah satunya dalam hal keuangan. Dalam hal keuangan ada kekhususan yang didapat Aceh, yaitu adanya transfer dari pemerintah pusat dalam bentuk dana otonomi khusus. Transfer pemerintah dalam rangka otonomi khusus ini terbagi dalam dua periode yaitu sebelum dan sesudah tahun 2008 dimana kedua periode memiliki sumber dana yang berbeda. Sebelum tahun 2008 provinsi Aceh mendapatkan pendapatan dalam rangka otonomi khusus yang bersumber dari tambahan dana bagi hasil (DBH) sumberdaya minyak dan gas bumi di provinsi Aceh sedangkan sejak tahun 2008 dana otonomi khusus bersumber dari dana alokasi umum (DAU) Nasional yaitu sebesar 2% dari DAU Nasional. Penerimaan Dana Otonomi khusus yang dikucurkan sejak tahun 2008 akan berlangsung selama 20 tahun sampai tahun 2027 dengan proyeksi total peneriman sebesar Rp. 100 trilyun dengan asumsi pertumbuhan rata-rata sebesar 5% per tahun. Sejak tahun 2008, dana otonomi khusus menjadi sumber pendapatan terbesar bagi provinsi Aceh dengan porsi mencapai 61,5 % dari anggaran provinsi di tahun 2013.


(17)

Gambar 1.1

Persentase Sumber Pendapatan Provinsi Aceh Pada APBD 2013

Sumber : diolah dari data DJPK, 2013

Sejak diberlakukannya status otonomi khusus di provinsi Aceh, dana otonomi khusus telah membuat provinsi Aceh menjadi salah satu provinsi dengan sumber daya fiskal terbesar di Indonesia. Dengan adanya dana Otonomi khusus, provinsi Aceh berada pada urutan ke 6 sebagai provinsi dengan anggaran pendapatan daerah tertinggi pada tahun 2013.

Tabel 1.1

Anggaran Pendapatan Daerah 10 Provinsi Tertinggi Tahun Anggaran 2013 (dalam jutaan Rupiah)

Peringkat Provinsi Pendapatan

1 DKI Jakarta 41.525.337

2 Jawa Barat 16.651.602

3 Jawa Timur 14.996.874

4 Jawa Tengah 11.930.237

5 Kalimantan Timur 11.500.000

6 Aceh 10.111.367

7 Sumatra Utara 8.481.872

8 Papua 8.184.736

9 Riau 6.597.232

10 Sumatra Selatan 6.597.232

Sumber : diolah dari data DJPK, 2013 PAD

9%

Dana Perimbangan

25% Dana Otonomi

Khusus 61,5% Hibah dan Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah


(18)

Ternyata limpahan sumberdaya fiskal yang dimiliki oleh provinsi Aceh sejak diberlakukannya status otonomi khusus tidak serta merta berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusianya. Fenomena ini tak jauh berbeda dari provinsi Papua yang juga mendapatkan status yang sama. Di Aceh, menurut data BPS, dilaporkan bahwa tingkat kemiskinan pada tahun 2004 adalah 28,37%, tahun 2005 sebesar 28,69%, tahun 2006 sebesar 28,28%, dan setelah tahun 2008 sebesar 26.7%. Pada tahun 2013 tingkat kemiskinan di Aceh adalah 17,6% kendati mengalami penurunan namun secara nasional angka ini masih cukup tinggi. Hal ini juga dapat dilihat dari peringkat indeks pembangunan manusia Aceh yang rendah dan terus menurun sejak diterapkannya status otonomi khusus.

Tabel 1.2

Peringkat IPM Provinsi Aceh Tahun 2002-2013

Tahun Peringkat

2002 15

2003 16

2004 18

2005 18

2006 18

2007 17

2008 17

2009 17

2010 17

2011 18

2012 19

2013 20

Sumber: BPS, 2014

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah adalah keberhasilan dalam hal pembangunan manusianya yang tercermin dari indeks pembangunan manusia, dimana manusia adalah sebagai tujuan sekaligus pelaku ekonomi. Dalam hal ini, keterkaitan antara pembangunan dan sumberdaya


(19)

manusia (SDM) merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dan harus berjalan selaras. Oleh karena itu, potensi SDM harus ditingkatkan kualitasnya, baik pendidikan, kesehatan, maupun sosial ekonomi melalui kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilaksanakan. Dengan kualitas SDM yang tinggi, kesejahteraan akan meningkat dan perannya akan optimal. Pembangunan manusia adalah proses memperluas pilihan-pilihan penduduk (people’s choice). Dari sekian banyak pilihan, ada tiga pilihan yang dianggap paling penting, yaitu: panjang umur dan sehat, berpendidikan, dan akses ke sumber daya yang dapat memenuhi standar hidup yang layak. Kemajuan pembangunan manusia dicerminkan oleh Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks yang mengukur pencapaian kemajuan pembangunan suatu negara (daerah) yang dipresentasikan oleh dimensi Angka Harapan Hidup pada Waktu Lahir (Life Expectancy at Birth), Angka Melek Huruf Penduduk Dewasa (Literacy Rate), Rata-rata Lamanya Sekolah Penduduk Dewasa (Mean Year of Schooling), dan Pengeluaran Riil per Kapita (UNDP, 1990).

Dalam upaya untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia, selain kebijakan anggaran keuangan daerah yang baik, kebijakan belanja juga memegang peranan penting. Anggaran belanja daerah akan tidak logis jika proporsi anggarannya lebih banyak untuk belanja rutin. Semakin banyak pendapatan yang dihasilkan oleh daerah, daerah akan mampu memenuhi dan membiayai semua keperluan yang diharapkan oleh masyarakat. Dengan tingginya bantuan pemerintah pusat seharusnya tinggi juga pengeluaran pemerintah daerah


(20)

Aceh melalui belanja modal terutama dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah harus semakin mendekatkan diri pada berbagai pelayanan dasar masyarakat. Oleh karena itu, alokasi belanja modal memegang peranan penting guna peningkatan pelayanan ini. Belanja Modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah diantaranya adalah pembangunan dan perbaikan sektor pendidikan, kesehatan, transportasi, sehingga masyarakat juga menikmati manfaat dari pembangunan daerah.

Tambahan sumber daya fiskal dalam rangka otonomi khusus tersebut jika dikelola secara efektif seharusnya dapat menjadi peluang emas bagi Aceh untuk memacu pembangunan dan membalikkan trend kemunduran yang dialami Aceh selama masa konflik yang lalu. Dana otonomi khusus yang ditujukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik. Tujuan tersebut dapat dicapai melaui percepatan pembangunan di Provinsi Aceh. Dengan adanya dana otonomi khusus, diharapkan membawa perubahan kemampuan APBD untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui alokasi belanja modal. Hal ini selaras dengan salah satu fokus pemanfaatan dana otonomi khusus yang diarahkan pada peningkatan taraf pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat.

Dengan melihat fakta diatas, maka penulis terdorong untuk meneliti dan mempelajari pengaruh dari dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia di provinsi Aceh dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis pengaruh


(21)

dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) provinsi

Aceh”.

1.2 Perumusan Masalah

Pemberian status daerah otonomi khusus telah membuat sumberdaya fiskal provinsi Aceh naik secara signifikan. Penerimaan dana otonomi khusus memungkinkan Pemerintah Daerah Aceh untuk meningkatkan indeks pembangunan manusianya melalui alokasi belanja modal sebagai variabel intervening. Berdasarkan hal tersebut dapat disusun pertanyaan penelitian yang akan dibahas dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh?

2. Bagaimana pengaruh dana otonomi khusus terhadap alokasi belanja modal provinsi Aceh?

3. Bagaimana pengaruh alokasi belanja modal terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh?

4. Apakah alokasi belanja modal memediasi pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh.

2. Untuk mengetahui pengaruh dana otonomi khusus terhadap belanja modal provinsi Aceh.


(22)

3. Untuk mengetahui pengaruh belanja modal terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh.

4. Untuk mengetahui apakah alokasi belanja modal memediasi pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah Aceh dalam mengelola dana otonomi khusus yang ditujukan bagi pembangunan daerah, khususnya pembangunan manusia, yang tercermin melalui indeks pembangunan manusia. 2. Untuk menjadi bahan analisis dan evaluasi tingkat pembangunan manusia

yang ada di Aceh di era pemberlakuan status otonomi khusus.

3. Sebagai referensi kepada peneliti lain guna mengembangkan dan manambah pengetahuan untuk penelitian selanjutnya.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desentralisasi Asimetris dan Otonomi Khusus

Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari beberapa daerah merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik di banyak negara. Pengalaman ini berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang didesentralisasikan, maupun dalam format pengaturan federatif. Dalam khasanah ilmu politik dan pemerintahan, pola pengaturan yang tidak sebanding ini disebut sebagai desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization).

Konsep desentralisasi asimetris berkembang dari konsep tentang asymmetric federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton pada tahun 1965 (Tillin, 2006: 46-48). Menurut Tillin, terdapat dua jenis asymmetric federation, yakni de facto dan de jure asymmetry. Jenis pertama merujuk pada adanya perbedaan antar daerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa, atau perbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan atau kewenangan yang timbul karena adanya perbedaan karakteristik tadi. Sedangkan asimetri kedua merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja. Menurut Tim Asistensi Kementrian Keuangan bidang desentralisasi Fiskal (TADF), Asimetri diartikan sebagai perbedaan status di


(24)

antara unit-unit dalam suatu negara federal atau negara yang terdesentralisasi berdasarkan konstitusi atau ketentuan hukum lainnya.

Desentralisasi asimetris dalam bentuk otonomi khusus merupakan perwujudan desentralisasi yang disesuaikan dengan karakteristik daerah sehingga tidak disamaratakan secara general penerapannya pada seluruh daerah di dalam suatu negara. Ada beberapa negara di dunia yang menerapkan status otonomi khusus terhadap wilayah di negaranya. Sebagai contoh dapat diambil dari pengalaman Kanada dalam mengatur keistimewaan Quebec dalam kesatuannya dengan Federasi Kanada; Mindanao dalam kesatuan politiknya dengan Filipina; Sami Land dalam kesatuannya dengan Norwegia; dan Cina yang membuat kesepakatan dengan Inggris untuk menetapkan status Hongkong sebagai special administrative region pada tahun 1997 (TADF, 2012)

Provinsi Aceh, Papua, dan DKI Jakarta adalah tiga daerah di Indonesia yang ditatakelola dengan model otonomi khusus. Selain ketiganya, yang sedang dalam proses, adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam hal pemberian status otonomi khusus, ada daerah yang menuntut untuk mendapatkan status otonomi khusus dan ada pula daerah yang tidak menuntut untuk mendapatkan status otonomi khusus namun dirasa penting untuk memiliki status tersebut. Provinsi Aceh adalah salah satu provinsi yang menuntut untuk mendapatkan status otonomi khusus. Penuntutan Aceh atas status otonomi khusus dilatarbelakangi oleh beberapa isu. Secara keseluruhan, isu pokok, pendukung, dan penyerta bagi permintaan (dari daerah) akan otonomi khusus dan pemberian


(25)

(oleh Pusat) otonomi khusus kepada provinsi Aceh disampaikan pada tabel berikut ini:

Tabel 2.1

Isu Pendorong Permintaan (Daerah) dan Pemberian (Pusat) Status Otsus Kepada Provinsi Aceh

Pokok Pendukung Penyerta

Daerah Pusat Daerah Pusat Daerah Pusat

Kekayaan alam tidak dinikmati daerah Ancaman disintegrasi/ Gerakan Aceh Merdeka yang tidak pernah dapat diselesaikan secara tuntas Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat daerah Keinginan elit politik daerah untuk menjadi pelaku politik utama di daerah Memelihara kekayaan nasional yang terdapat di daerah

Sumber: Kajian otonomi khusus di Indonesia, 2008

Dengan memperhatikan pemetaan di atas, dapat dipahami jika otonomi khusus di Aceh dapat dilaksanakan dengan cepat. Alasan utama yang didesakkan oleh Aceh bermula dari alasan kultural, yang kemudian berkembang menjadi alasan sosial, sehingga menjadi sebuah gerakan sosial atau gerakan publik, yang selanjutnya berkembang menjadi desakan ekonomi karena kawasan tersebut menuntut keadilan ekonomi atas kekayaan lokal yang diekstraksi ke Pusat selama puluhan tahun tanpa trade-off yang memadai. Pada akhirnya, desakan tersebut mengerucut menjadi alasan politik, dengan tawaran yang sulit untuk ditolak oleh Pusat yaitu pemberian otonomi khusus atau meninggalkan Indonesia. Dengan


(26)

demikian, keberadaan atau pemberian otonomi khusus kepada suatu daerah di

Indonesia lebih merupakan sebuah “penjumlahan” atau “selisih” dari kekuatan

tawar dari daerah (yang menuntut otonomi khusus) dan Pemerintah Pusat (yang berkepentingan mempertahankan keberadaan daerah tersebut dalam kesatuan republik Indonesia). Apabila posisi tawar daerah lebih kuat, hasilnya adalah pemberian otonomi khusus. Sebaliknya, apabila posisi Pusat kuat, maka hasilnya adalah tidak ada pemberian otonomi khusus (KEMITRAAN,2008)

2.2 Dana Otonomi Khusus

Dana otonomi khusus merupakan salah satu bentuk transfer Pemerintah Pusat kepada daerah yang memiliki status otonomi khusus. Tujuan utama implementasi transfer Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah adalah mengurangi ketidakseimbangan fiskal yang terjadi baik secara vertikal maupun horizontal (Siddik, 2004: 131- 132). Selain itu, Pemberian dana otonomi khusus bertujuan untuk memacu daerah dengan status otonomi khusus untuk dapat mengejar ketertinggalannya dibandingkan daerah lainnya. Dana otonomi khusus yang merupakan transfer dari Pemerintah Pusat tentunya dapat mempengaruhi besarnya anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) suatu daerah. Sebagai contoh, dana otonomi khusus yang diterima oleh Aceh, telah menjadi sumber pendapatan utama dan terbesar melebihi pendapatan Asli daerah PAD dan dana perimbangan lainnya sejak diberlakukannya status otonomi khusus Aceh (data DJPK).

Menurut UU No.18 Tahun 2001, Penerimaan dalam rangka otonomi khusus, berupa tambahan penerimaan bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam


(27)

dari hasil sumber daya alam Migas di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam setelah dikurangi pajak, yaitu sebesar 55% untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 40% untuk pertambangan gas alam selama delapan tahun sejak berlakunya undang-undang ini. Penerapan UU No. 11 Tahun 2006 memberikan perubahan terhadap sumber dana otonomi khusus untuk provinsi Aceh. Dana otonomi khusus dalam UU No. 11 Tahun 2006 adalah transfer pemerintah pusat kepada Aceh yang bersumber dari pagu dana alokasi umum (DAU) nasional berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% pagu dana alokasi umum nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% pagu dana alokasi umum nasional.

Tabel 2.2

Penerimaan Provinsi Aceh Dalam Rangka Otonomi Khusus Sumber Dana Otsus

UU No. 18 Tahun 2001 UU No. 11 Tahun 2006 Tambahan dana bagi hasil

sumberdaya Migas provinsi Aceh setelah dikurangi pajak sebesar 55% untuk minyak bumi dan 40% untuk gas alam.

2% dari pagu dana alokasi umum (DAU) nasional dari tahun ke-1 sampai tahun ke-15 dan 1% hingga tahun ke-20.

Sumber: UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006

Pemberlakuan UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam yang kemudian diubah menjadi UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh telah membawa perubahan sistem desentralisasi fiskal di Indonesia. Salah satu tujuan dari pemberian dana otonomi khusus adalah


(28)

meningkatkan taraf hidup masyarakat asli melalui pemanfaatan dan pengelolaan hasil kekayaan alam dengan empat program prioritas yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat serta pembangunan infrastruktur. Dana Otonomi Khusus provinsi Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) UU No.11 Tahun 2006 ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Sedangkan dalam UU No.18 Tahun 2001, Dana otonomi khusus yang merupakan salah satu bentuk desentralisasi asimetris ditujukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik dengan rincian 30% ditetapkan untuk pembiayaan pendidikan di Aceh dan 70% untuk program pembangunan. Dengan demikian dapat terlihat bahwa tujuan dari dana otonomi khusus adalah untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia.

2.3 Belanja Modal

Belanja Modal adalah belanja yang dilakukan pemerintah yang menghasilkan aktiva tetap tertentu (Nordiawan, 2006). Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah daerah, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Menurut Halim (2006), belanja modal merupakan belanja yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah serta akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Munir (2003:36) juga menyatakan hal senada, bahwa belanja modal memiliki karakteristik spesifik dan menunjukkan adanya berbagai pertimbangan dalam pengalokasiannya. Pemerolehan aset tetap


(29)

juga memiliki konsekuensi pada beban operasional dan pemeliharaan pada masa yang akan datang (Bland & Nunn, 1992). Dewi (2006) dan Syaiful (2008) mengutarakan bahwa belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap / inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.

Definisi belanja modal mempunyai kesamaan dimensi (dimensi investasi) dengan definisi belanja pembangunan. Belanja pembangunan diartikan sebagai pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan menambah aset atau kekayaan bagi daerah, yang selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya (Halim , 2002:72).

Menurut kamus Hukum & Glosarium Otonomi Daerah (2010), Belanja modal adalah belanja (investasi) yang dibuat untuk proyek investasi modal (Capital Expenditure). Belanja pembangunan merupakan semua pengeluaran negara yang diperuntukkan bagi pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang terbagi dalam beberapa sektor, baik di tingkat pusat maupun daerah. Terdiri dari bermacam-macam pengeluaran seperti pengeluaran pembangunan SD, pusat kesehatan (Puskesmas), penyertaan modal pemerintah di perusahaan-perusahaan dan pengeluaran pembangunan melalui inpres pasar, inpres jalan, dan inpres reboisasi.


(30)

2.4 Indeks Pembangunan Manusia

Menurut UNDP (1990), pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi manusia (a process of enlarging peoples’s choices). Definisi pembangunan manusia tersebut pada dasarnya mencakup dimensi pembangunan yang sangat luas. Definisi ini lebih luas dari definisi pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam konsep pembangunan manusia, pembangunan seharusnya dianalisis serta dipahami dari sisi manusianya, bukan hanya dari sisi pertumbuhan ekonominya.

Sebagaimana laporan UNDP (1995), dasar pemikiran konsep pembangunan manusia meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1. Pembangunan harus mengutamakan penduduk sebagai pusat perhatian;

2. Pembangunan dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk, bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, konsep pembangunan manusia harus berpusat pada penduduk secara komprehensif dan bukan hanya pada aspek ekonomi semata;

3. Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan kemampuan/kapasitas manusia, tetapi juga pada upaya-upaya memanfaatkan kemampuan/kapasitas manusia tersebut secara optimal;

4. Pembangunan manusia didukung empat pilar pokok, yaitu: produktifitas, pemerataan, kesinambungan dan pemberdayaan;

5. Pembangunan manusia menjadi dasar dalam penentuan tujuan pembangunan dan dalam menganalisis pilihan-pilihan untuk mencapainya.


(31)

Konsep pembangunan manusia yang diprakarsai dan ditunjang oleh UNDP ini mengembangkan suatu indikator yang dapat menggambarkan perkembangan pembangunan manusia secara terukur dan representatif, yang dinamakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM diperkenalkan pertama sekali pada tahun 1990. IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dihitung sebagai rata-rata dari 3 (tiga) indeks yang menggambarkan kemampuan dasar manusia dalam memperluas pilihan-pilihan, yaitu (UNDP, 1990):

1. Indeks Harapan Hidup

Indeks Harapan Hidup menunjukkan jumlah tahun hidup yang diharapkan dapat dinikmati penduduk suatu wilayah. Dengan memasukkan informasi mengenai angka kelahiran dan kematian per tahun variabel e0 diharapkan akan

mencerminkan rata-rata lama hidup sekaligus hidup sehat masyarakat. 2. Indeks Pendidikan

Penghitungan Indeks Pendidikan (IP) mencakup dua indikator yaitu angka melek huruf (Lit) dan rata-rata lama sekolah (MYS). Populasi yang digunakan adalah penduduk berumur 15 tahun ke atas. Kedua indikator pendidikan ini dimunculkan dengan harapan dapat mencerminkan tingkat pengetahuan (cerminan angka Lit). Untuk menghitung indeks pendidikan digunakan rumus (BPS, 2008):


(32)

3. Indeks Standar Hidup Layak

Untuk mengukur dimensi standar hidup layak (daya beli), UNDP (1990) mengunakan indikator yang dikenal dengan real per kapita GDP adjusted. Untuk perhitungan IPM sub nasional (provinsi atau kabupaten/kota), BPS (2008) menggunakan data rata-rata konsumsi 27 komoditi terpilih dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dianggap paling dominan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Ketiga komponen indeks pembangunan tersebut diformulasikan dalam rumus umum sebagai berikut (BPS, 2008) :

IPM =1/3 (X1 + X2 + X3) Di mana :

X1 = Indeks Harapan Hidup X2 = Indeks Pendidikan

X3 = Indeks Standar Hidup Layak

Masing-masing komponen tersebut terlebih dahulu dihitung indeksnya sehingga bernilai antara 0 (terburuk) dan 1 (terbaik). Untuk memudahkan dalam analisa biasanya indeks ini dikalikan 100. Teknik penyusunan indeks tersebut pada dasarnya mengikuti rumus sebagai berikut (BPS, 2008) :

Di mana:


(33)

Xi = Nilai indikator komponen IPM ke i MaxXi = Nilai maksimum Xi

Min Xi = Nilai minimum Xi

Tabel 2.3

Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM

Sumber : BPS, 2008 2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian Yusri (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis

Determinan Indeks Pembangunan Manusia di Propinsi Aceh” ditujukan untuk menganalisis determinan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) propinsi Aceh. Metode analisis yang dipergunakan adalah Metode Generalized Least Square (GLS) dengan Random Effect Model (REM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat variabel penelitian signifikan yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Aceh. Variabel tersebut adalah pengeluaran rumah tangga makanan, pengeluaran rumah tangga bukan makanan, rasio penduduk miskin dan pengeluaran pemerintah bidang kesehatan. Sementara itu terdapat satu variabel penelitian yang tidak signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Aceh yaitu pengeluaran pemerintah bidang pendidikan.

Indikator Komponen IPM Nilai Minimum Nilai Maksimum Angka Harapan Hidup (eo)

Angka Melek Huruf (Lit) Rata-rata Lama Sekolah (MYS) Purchasing Power Parity (PPP)

25,0 0 0 360.000

85,0 100 15 737.720


(34)

Penelitian Noor Andi Fakhruddin Yusuf (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Indeks Pembangunan

Manusia di Kabupaten/ Kota eks Keresidenan Surakarta” dengan tujuan untuk

menganalisis pengaruh pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana bagi hasil (DBH) terhadap Belanja Modal (BM) di Kabupaten/ kota eks Keresidenan Surakarta serta Menganalisis pengaruh Belanja Modal (BM) terhadap Indeks pembangunan manusia (IPM). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode regresi linear panel data dengan menggunakan Fixed Effect Model dengan waktu penelitian tahun 2004–2011. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dari lima variabel yang telah diuji dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap belanja modal (BM), sedangkan pendapatan asli daerah (PAD) dan dana alokasi khusus (DAK) tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal (BM), selain itu belanja modal (BM) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap indeks pembangunan manusia di kabupaten/kota eks karesidenan surakarta.

Penelitian yang dilakukan Imam Sumardjoko (2013) dalam jurnal yang

berjudul “Pengaruh Penerimaan Dana Otonomi Khusus Terhadap Indeks

Pembangunan Manusia Papua dan Papua Barat dengan Belanja Modal Sebagai

Intervening” yang menganalisis pengaruh dana otonomi Khusus terhadap indeks

pembangunan manusia provinsi Papua dan Papua Barat dengan belanja modal sebagai intervening variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan dana otonomi khusus berpengaruh signifikan terhadap indeks pembangunan


(35)

manusia provinsi Papua dan Papua Barat dengan belanja modal sebagai variabel intervening.

Penelitian yang dilakukan Fhino Andrea Christy dan Priyo Hari Adi

(2009) dalam jurnal yang berjudul “Hubungan Antara Dana Alokasi Umum,

Belanja Modal, dan Kualitas Pembangunan Manusia” dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh dana alokasi umum terhadap belanja modal dan kualitas pembangunan manusia yang diukur dengan indeks pembangunan manusia di 35 kabupaten di Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dana alokasi umum mepunyai pengaruh yang positif terhadap variabel belanja modal, dan belanja modal juga berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia.

Penelitian yang dilakukan oleh Yudi Satria Aprizay, Darwanis, Muhammad Arfan (2014) dalam jurnal yang berjudul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Terhadap

Pengalokasian Belanja Modal Pada Kabupaten/ kota di Provinsi Aceh” dengan

tujuan untuk menguji pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran secara bersama-sama terhadap pengalokasian belanja modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Metode analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik secara bersama maupun parsial Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh terhadap Belanja Modal.


(36)

2.6 Kerangka Konseptual

Pemberian dana otonomi khusus kepada pemerintah Aceh diharapkan membawa perubahan kemampuan APBD untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui belanja modal. Hal ini selaras dengan salah satu fokus pemanfaatan dana otonomi khusus yang diarahkan pada peningkatan taraf pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat. Konsep kerangka konseptual yang dibahas dalam penelitian tentang pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh adalah sebagai berikut :

Gambar 2.1

Kerangka konseptual pengaruh Dana Otonomi Khusus Terhadap IPM Provinsi Aceh

2.7 Hipotesis

1. Dana otonomi khusus berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan Manusia provinsi Aceh.

2. Dana otonomi khusus berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal provinsi Aceh.

Alokasi Belanja Modal APBD

Dana Otonomi

Khusus

Indeks Pembangunan


(37)

3. Alokasi belanja modal berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh.

4. Alokasi belanja modal memediasi hubungan antara dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh.


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut Mudrajat Kuncoro (2009), penelitian deskriptif merupakan pengumpulan data untuk diuji hipotesis atau menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subjek penelitian. Tujuan dari penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori, dan hipotesis yang berkaitan dengan fenomena lain. Penelitian ini merupakan gabungan dari deskriptif dan kuantitatif tersebut.

3.2 Batasan Operasional

Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) provinsi Aceh, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui variabel intervening belanja modal. 3.3 Definisi Operasional

Untuk memudahkan pemahaman terhadap variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dibuat batasan operasional yaitu sebagai berikut:

1. Dana otonomi khusus adalah transfer dari pemerintah pusat yang didapatkan provinsi Aceh karena status otonomi khusus yang dimilikinya. Dalam penelitian ini dana otonomi khusus berperan sebagai variabel independen. 2. Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan


(39)

manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Dalam penelitian ini belanja modal berperan sebagai variabel intervening yang memediasi hubungan antara dana otnomi khusus dengan IPM.

3. Indeks pembangunan manusia (IPM) adalah ukuran capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup yang mewakili bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang pembangunan untuk hidup layak yang dinyatakan dalam angka. Dalam penelitian ini IPM berperan sebagai variabel dependen.

3.4 Jenis Data

Penelitian ini menggunakan data jenis sekunder yang bersifat kuantitatif. Adapun data berbentuk time series dengan periode tahun 2004-2014. Adapun data diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas keuangan Aceh (DKA), internet, jurnal dan penelitian terdahulu, serta literatur-literatur yang terkait dengan penelitian ini, yaitu data dana otonomi khusus provinsi Aceh, alokasi belanja modal provinsi Aceh, dan Indeks pembangunan manusia provinsi Aceh periode 2004-2014.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis yang dibangun dalam studi ini adalah analisis regresi linear dengan variabel mediasi (intervening). Untuk menguji pengaruh variabel intervening digunakan metode analisis jalur (path analysis). Analisis jalur merupakan perluasan dari analisis regresi linear berganda (Ghozali, 2006). Pada analisis jalur terdapat variabel yang berperan ganda yaitu sebagai variabel independen pada satu hubungan tetapi


(40)

kemudian menjadi variabel dependen pada hubungan yang lainnya sebagai hubungan kausalitas bertingkat.

Model persamaan regresi yang dibangun untuk menguji hipotesis yang ada dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Model regresi tahap pertama

IPM = α + β1 DOK + e1 ... (3. 1)

Persamaan di atas digunakan untuk menguji H1: dana otonomi khusus

berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh. 2. Model regresi tahap kedua

ABM = α + β2 DOK + e2 ... (3. 2)

Persamaan di atas digunakan untuk menguji H2: dana otonomi khusus

berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal provinsi Aceh. 3. Model regresi tahap ketiga

IPM = α + β3 DOK + β4 ABM + e3 ... (3. 3)

Persamaan di atas digunakan untuk menguji H3: alokasi belanja modal

berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh dan H4:

alokasi belanja modal memediasi hubungan antara dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh.

Keterangan :

DOK : Dana otonomi khusus

IPM : Indeks pembangunan manusia ABM : Alokasi belanja modal


(41)

Data dalam penelitian ini diolah dengan bantuan aplikasi Eviews, SPSS dan Microsoft Excel.

3.6 Uji Kesesuaian ( Test Goodness of fit) 3.6.1 Koefisien Determinasi ( R2 )

Koefisien determinasi (R2) merupakan suatu ukuran yang digunakan dalam analisis regresi, yang berfungsi untuk memeriksa apakah model regresi yang terestimasi cukup baik atau tidak. Untuk mengetahui hal tersebut, harus dilakukan suatu cara untuk mengukur seberapa dekatkah garis regresi yang terestimasi dengan data.

Ukuran koefisien determinasi ini mencerminkan seberapa besar variasi dari regressand (Y) dapat diterangkan oleh regressor (X). Nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1 (0 < R2 < 1). Bila R2 = 0, artinya variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali. Sementara bila R2 = 1, artinya variasi dari Y, 100% dapat diterangkan oleh X. Dengan kata lain bila R2 = 1, maka semua titik pengamatan berada pada garis regresi.

3.6.2 Uji F-Statistik

Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 0,05 atau 0,10. Apabila nilai F-hitung > nilai F -tabel dan nilai probabilitas (p-value) < level of signifikan, maka hipotesis yang

menyatakan bahwa semua variabel independen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen dapat diterima.


(42)

3.6.3 Uji t-Statistik

Uji t merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah koefisien regresi signifikan atau tidak. Sebelum melakukan pengujian, biasanya dibuat hipotesis terlebih dahulu, yang untuk uji t lazimnya sebagai berikut :

H0 : b = 0 Ha : b ≠ 0

Artinya, berdasarkan data yang tersedia, akan dilakukan pengujian terhadap b, apakah sama dengan nol, yang berarti tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat, atau tidak sama dengan nol, yang berarti mempunyai pengaruh signifikan. Bila t-hitung < t-tabel dan nilai probabilitas (p-value)

> level of signifikan, maka H0 diterima. Hal ini berarti bahwa variabel independen

tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Sebaliknya jika t-hitung >

t-tabel dan nilai probabilitas (p-value) < level of signifikan, maka Ha diterima.

Artinya bahwa variabel independen yang diuji berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

3.7 Pengujian Asumsi Klasik

Di dalam ilmu ekonometrika, agar suatu model dikatakan baik dan sahih, maka perlu dilakukan beberapa pengujian yang biasa disebut dengan uji asumsi klasik. Uji asumsi klasik adalah suatu pengujian yang harus dipenuhi untuk suatu hasil estimasi regresi linier agar hasil tersebut dapat dikatakan baik efisien. Adapun uji asumsi klasik yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(43)

3.7.1 Uji Normalitas

Pengujian ini untuk mengetahui apakah data residual terdistribusi secara normal dan independen. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil (Ghozali, 2006). Hasil pengujian normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test.

3.7.2 Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk mendeteksi apakah model regresi linear memiliki korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode tersebut dengan kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya. Autokorelasi muncul karena observasi yang saling berurutan sepanjang waktu (Ghozali, 2006). Salah satu cara yang digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah dengan Uji Durbin Watson (D-W Test).

3.7.3 Uji multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk mendeteksi apakah model regresi memiliki korelasi antar variabel bebas. Jika variabel independen saling berkorelasi maka variabel tersebut tidak ortogonal. Nilai cut off yang umumnya dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah nilai Tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10 (Ghozali, 2006).

3.7.4 Uji heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mendeteksi apakah model regresi mengalami ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variabel independen signifikan secara statistik mempengaruhi absolut residual maka ada indikasi terjadi heterokedastisitas (Ghozali, 2006). Uji


(44)

heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser, yaitu dengan cara meregresikan nilai absolut residual dari model regresi sebagai variabel dependen terhadap semua variabel independen yang ada dalam model regresi.


(45)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian

4.1.1 Kondisi Geografis Dan Demografi Provinsi Aceh

Provinsi Aceh merupakan provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia. Provinsi ini hingga 2009 bernama Nanggroe Aceh Darussalam sebelum berganti nama menjadi provinsi Aceh melalui Peraturan Gubernur Aceh No. 46 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009. Provinsi

Aceh terletak di antara 01° 58’ 37,2” – 06° 04’ 33,6” Lintang Utara dan 94° 57’ 57,6” – 98° 17’ 13,2” Bujur Timur. Pada tahun 2012 Provinsi Aceh dibagi

menjadi 18 Kabupaten dan 5 kota, terdiri dari 289 kecamatan, 778 mukim dan 6.493 gampong atau desa. Batas-batas wilayah Provinsi Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia

Luas daratan Aceh mencapai 56.770,81 km² yang didominasi oleh daratan dan sebagian kecil berupa pulau sebanyak 119 pulau dengan keseluruhan garis pantai sepanjang 1.660 km dan luas perairan laut hingga 15.264,06 km². Mayoritas daratan Aceh dengan rata-rata ketinggian mencapai 125 m di atas permukaan laut merupakan kawasan hutan seluas 40,36% dari wilayah Aceh. Sedangkan wilayah terkecil ialah kawasan industri yang hanya seluas 0,07% dari wilayah Aceh. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Kabupaten Gayo Lues memiliki luas wilayah yang terbesar yaitu mencapai 5.549,91 km² atau sekitar 9,78% dari


(46)

seluruh luas wilayah Aceh. Sedangkan daerah dengan luas wilayah terkecil adalah Kota Banda Aceh dengan luas wilayah 56,17 km² (0,10%).

Pada tahun 2012, jumlah penduduk di Provinsi Aceh mencapai 4.693.900 jiwa, terdiri atas 2.347.000 laki-laki dan 2.346.900 perempuan. Daerah dengan jumlah penduduk terbanyak adalah di Kabupaten Aceh Utara yaitu mencapai 549.370 jiwa. Sedangkan daerah yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah di Kota Sabang yaitu hanya sekitar 31.782 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk di provinsi Aceh yaitu sekitar 83 jiwa/km², namun demikian menurut daerahnya maka kepadatan penduduk yang tertinggi berada di Kota Banda Aceh yaitu 4.251 jiwa /km². sedangkan yang terendah adalah di Kabupaten Gayo Lues, yaitu hanya 15 jiwa/km².


(47)

Tabel 4.1

Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/ Kota di Provinsi Aceh Tahun 2012

No Kabupaen/.Kota

Luas Wilayah Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk

(Km²) (Jiwa/ Km²)

1 Kab. Simeulue 1.827,35 82.762 48

2 Kab. Aceh Singkil 1.858,03 107.781 58

3 Kab. Aceh Selatan 4.176,59 208.002 50

4 Kab. Aceh Tenggara 4.169,63 184.150 44

5 Kab. Aceh Timur 5.427,09 380.876 40

6 Kab. Aceh Tengah 4.454,04 182.680 71

7 Kab. Aceh Barat 2.758,72 182.495 66

8 Kab. Aceh Besar 2.902,56 371.412 128

9 Kab. Pidie 3.169,24 393.225 124

10 Kab. Bireuen 1.796,31 406.083 226

11 Kab. Aceh Utara 2.694,66 549.370 204

12 Kab. Aceh Barat Daya 1.882,05 131.087 70

13 Kab. Gayo Lues 5.549,91 82.962 15

14 Kab. Aceh Tamiang 2.119,73 261.125 123

15 Kab. Nagan Raya 3.544,91 146.243 41

16 Kab. Aceh Jaya 3.877,25 82.172 21

17 Kab. Bener Meriah 1.904,01 128.538 68

18 Kab. Pidie Jaya 947,95 138.415 146

19 Kota. Banda Aceh 56,17 238.784 4.251

20 Kota. Sabang 122,09 31.782 260

21 Kota. Langsa 203,41 154.722 761

22 Kota. Lhokseumawe 153,44 178.561 1164

23 Kota. Subussalam 1.175,71 70.707 60

Provinsi.Aceh 56.770,81 4.693.934 83

Sumber: BPS, 2013

4.1.2 Perkembangan Dana Otonomi Khusus Aceh

Dengan status otonomi khusus yang dimilikinya, Aceh memiliki keistimewaan dalam hal keuangan. Keistimewaan provinsi Aceh dalam hal keuangan adalah dengan adanya transfer pemerintah pusat kepada provinsi Aceh dalam bentuk dana otonomi khusus. Dalam perkembangannya, dana otonomi


(48)

khusus telah menjadi sumber pendapatan terbesar bagi provinsi Aceh. Sejak tahun 2002 hingga 2007 Aceh telah mendapatkan dana otonomi khusus yang bersumber dari tambahan dana bagi hasil (DBH) untuk sumberdaya alam Migas sebesar 55% untuk minyak bumi dan 40% untuk gas alam. Namun dengan dana yang bersumber dari tambahan DBH Migas besaran dana otonomi yang didapat menjadi fluktuatif dimana pada tahun 2002 dana yang didapat mencapai 1,3 trilyun Rupiah dan 1,36 trilyun Rupiah pada 2003 namun turun menjadi sekitar 746 milyar Rupiah pada 2004. Pada tahun 2005 dana yang didapat mencapai 1,5 trilyun Rupiah namun terus menurun menjadi sekitar 1,2 trilyun Rupiah pada 2006 dan 613 milyar Rupiah pada 2007.

Melalui UU No. 11 Tahun 2006, terjadi perubahan dalam hal sumber dana otonomi khusus Aceh dimana Aceh mendapatkan dana otonomi khusus yang besarnya setara dengan 2% alokasi dana alokasi umum (DAU) nasional yang diberikan sejak 2008 hingga tahun ke- 20. Besarnya dana otonomi khusus yang didapat sejak 2008 cenderung meningkat karena mengikuti trend DAU nasional yang juga terus naik. Pada tahun 2008 dana yang didapat mencapai 3,59 trilyun Rupiah dan terus meningkat hingga mencapai 6,2 trilyun Rupiah atau 65,1% dari total pendapatan daerah Aceh pada tahun 2013, hingga mencapai nilai 7,2 trilyun Rupiah pada tahun 2014. Perkembangan dana otonomi khusus provinsi Aceh dapat dilihat pada tabel berikut ini:


(49)

Gambar 4.1

Grafik Perkembangan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh Tahun 2004-2014 (Dalam Trilyun Rupiah)

Sumber: Data Dinas Keuangan Aceh dan DJPK, 2014 4.1.3 Perkembangan Alokasi Belanja Modal

Perkembangan alokasi belanja modal di provinsi Aceh sangat fluktuatif. Pada tahun 2004 alokasi belanja modal provinsi Aceh mencapai 349 milyar Rupiah dan mengalami penurunan pada 2005 dengan nilai 312 milyar Rupiah. Sejak tahun 2006 alokasi belanja modal provinsi Aceh mengalami kenaikan hingga mencapai puncaknya pada tahun 2009 dengan nilai alokasi mencapai 3,69 trilyun Rupiah. Namun sejak tahun 2010 alokasi belanja modal kembali menurun hingga mencapai angka 815 milyar Rupiah pada 2012 dan kembali meningkat hingga 2,96 trilyun pada tahun 2014. Perkembangan alokasi belanja modal provinsi Aceh dapat dilihat pada grafik berikut ini:

0,75

1,37 1,28

0,61 3,59

3,73 3,85

4,51 5,48

6,22 7,29

0 1 2 3 4 5 6 7 8


(50)

Gambar 4.2

Grafik Perkembangan Alokasi Belanja Modal Provinsi Aceh Tahun 2004-2014 (Dalam Trilyun Rupiah)

Sumber: Data Dinas Keuangan Aceh dan DJPK, 2014

4.1.4 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Aceh

Pada tahun 1996 provinsi Aceh pernah mencatat hasil yang cukup baik dalam hal indeks pembangunan manusianya dengan nilai IPM 69,4. Nilai ini lebih tinggi dari IPM rata-rata nasional pada saat itu yaitu 67,7 dan menempatkan Aceh di peringkat 9 dari 27 provinsi di Indonesia. Pada tahun 1999 terjadi penurunan yang drastis terhadap nilai IPM Aceh menjadi hanya 65,3. Penurunan nilai IPM Aceh ini tidak lepas dari situasi perekonomian negara yang memburuk sebagai akibat dari krisis ekonomi di Indonesia pada saat itu.

Sejak tahun 2002, dimana status otonomi khusus telah diterapkan, IPM provinsi Aceh terus mengalami peningkatan namun terus mengalami penurunan dalam hal peringkat nasionalnya. Pada tahun 2002 nilai IPM Aceh adalah 66,0 dan menduduki peringkat 15. Sejak tahun 2005 hingga tahun 2008 nilai IPM Aceh cenderung stagnan dengan nilai 69,05 pada 2005 dan 70,76 pada tahun 2008

0,35 0,31 0,49 0,78 2,61 3,7 3,27 1,47 0,82 1,86 2,97 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4


(51)

Periode ini mencatat dampak negatif dari tahun-tahun terakhir konflik dan tsunami pada akhir tahun 2004 dan setelah itu peringkat IPM Aceh terus menurun menjadi peringkat 20 dari 34 provinsi dengan nilai IPM 73,05 pada tahun 2013. penurunan peringkat nilai IPM Aceh ini menunjukkan bahwa provinsi-provinsi lain telah mengalami perkembangan yang lebih pesat dari Aceh dalam hal pembangunan manusianya. Perkembangan nilai IPM provinsi Aceh dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Gambar 4.3

Grafik Perkembangan Nilai IPM Provinsi Aceh Tahun 1996-2014

Sumber: Diolah dari data BPS, 2014 4.2 Hasil penelitian dan Pembahasan

4.2.1 Pengujian Hipotesis dan Interpretasi Data

Untuk menguji pengaruh variabel intervening dan menjawab hipotesis yang ada dalam penelitian ini digunakan metode analisis jalur (path analysis). Pada analisis jalur terdapat variabel yang berperan ganda yaitu sebagai variabel independen pada satu hubungan tetapi kemudian menjadi variabel dependen pada hubungan yang lainnya sebagai hubungan kausalitas bertingkat.

69,4

65,3

66,0 68,7 69,05 69,41 70,35 70,76 71,31 71,70 72,16 72,51 73,05 60,0 62,0 64,0 66,0 68,0 70,0 72,0 74,0


(52)

1. Model Regresi Pertama IPM = α + β1 DOK + e1

Persamaan di atas digunakan untuk menguji H1 yaitu: dana otonomi khusus

berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh. Besarnya nilai R untuk persamaan regresi pertama dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.2

Nilai R Untuk Persamaan Regresi Pertama Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .954a .910 .900 .56832

a. Predictors: (Constant), DOK Sumber: Lampiran 2

Dari tabel diatas didapat nilai R sebesar 0,954, hal ini menunjukkan bahwa 95,4% variabel indeks pembangunan manusia dapat dijelaskan oleh variabel dana otonomi khusus, sedangkan sisanya sebesar 4,6% dapat dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

Uji t untuk melihat pengaruh parsial variabel dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia pada persamaan regresi pertama dapat dilihat pada tabel berikut ini:


(53)

Tabel 4.3

Uji t Untuk Persamaan Regresi Pertama Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 68.588 .325 210.944 .000

DOK .752 .079 .954 9.566 .000

a. Dependent Variable: IPM Sumber: Lampiran 2

Berdasarkan tabel diatas, maka persamaan regresi untuk menguji hipotesis 1 adalah sebagai berikut:

IPM = 68,58765 + 0,75 DOK + e1

Persamaan diatas dapat diinterpretasikan bahwa dana dana otonomi khusus berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh. Setiap kenaikan dana otonomi khusus sebesar 1 Trilyun Rupiah, maka indeks pembangunan manusia provinsi Aceh akan naik sebesar 0,752 poin.

Analisis dengan menggunakan regresi sederhana menunjukkan nilai t-hitung

sebesar 9,566 yang lebih besar dari nilai t-tabel yaitu 1,383. Dengan nilai

probabilitas sebesar 0,000 yang lebih kecil dari nilai level signifikansi 0,10. Hasil ini membuktikan bahwa penerimaan dana otonomi khusus berpengaruh signifikan positif terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh pada level 10%. Dengan demikian, hasil pengujian ini mendukung hipotesis 1 atau dengan kata lain hipotesis 1 yang menyatakan bahwa dana otonomi khusus berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh dapat diterima.


(54)

2. Model Regresi kedua

ABM = α + β2 DOK + e2

Persamaan di atas digunakan untuk menguji H2 yaitu: dana otonomi khusus

berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal provinsi Aceh. Besarnya nilai R untuk persamaan regresi kedua dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.4

Nilai R Untuk Persamaan Regresi Kedua Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .570a .324 .249 1.08908

a. Predictors: (Constant), DOK Sumber: Lampiran 2

Dari tabel diatas didapat nilai R sebesar 0,570, hal ini berarti 57% variabel alokasi belanja modal dapat dijelaskan oleh variabel dana otonomi khusus, sedangkan sisanya sebesar 43% dapat dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

Uji t untuk melihat pengaruh parsial variabel dana otonomi khusus terhadap alokasi belanja modal pada persamaan regresi kedua dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.5

Uji t Untuk Persamaan Regresi Kedua Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

T Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) .591 .623 .949 .367

DOK .313 .151 .570 2.079 .067

a. Dependent Variable: ABM Sumber: Lampiran 2


(55)

Berdasarkan tabel diatas, maka persamaan regresi untuk menguji hipotesis 2 adalah sebagai berikut:

ABM = 0,591 + 0,313 DOK + e2

Persamaan diatas dapat diinterpretasikan bahwadana otonomi khusus berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal provinsi Aceh. Setiap kenaikan dana otonomi khusus provinsi Aceh sebesar 1 trilyun Rupiah, maka alokasi belanja modal akan naik sebesar 0,313 trilyun Rupiah.

Analisis dengan menggunakan regresi sederhana menunjukkan nilai t-hitung

sebesar 2,079 yang lebih besar dari nilai t-tabel yaitu 1,383. Dengan nilai

probabilitas yang kecil yaitu sebesar 0,067< 0,10. Hasil ini membuktikan bahwa penerimaan dana otonomi khusus berpengaruh siginifikan positif terhadap alokasi belanja modal provinsi Aceh pada level 10%. Dengan demikian, hasil pengujian ini mendukung hipotesis 2 atau dengan kata lain hipotesis 2 yang menyatakan bahwa dana otonomi khusus berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal provinsi Aceh dapat diterima.

3. Model Persamaan Regresi Ketiga

IPM = α + β3DOK + β4 ABM + e3

Persamaan di atas digunakan untuk menguji H3 yaitu: alokasi belanja modal

berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh dan H4

yaitu: Alokasi belanja modal merupakan variabel intervening yang memediasi pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh. Nilai R Squared untuk persamaan regresi ketiga dapat dilihat pada tabel berikut ini:


(56)

Tabel 4.6

Nilai R Squared Untuk Persamaan Regresi Ketiga Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .955a .912 .890 .59728

a. Predictors: (Constant), ABM, DOK Sumber: Lampiran 2

Nilai R2 sebesar 0,912, hal ini berarti 91,2% variabel indeks pembangunan manusia yang dapat dijelaskan oleh variabel dana otonomi khusus dan alokasi belanja modal, sedangkan sisanya sebesar 8,8% dapat dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

Uji f untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen pada persamaan regresi ketiga dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.7

Uji f Untuk persamaan Regresi Ketiga ANOVAb

Model

Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

1 Regression 29.606 2 14.803 41.496 .000a

Residual 2.854 8 .357

Total 32.460 10

a. Predictors: (Constant), ABM, DOK b. Dependent Variable: IPM

Sumber: Lampiran 2

Uji F untuk menilai goodness of fit menunjukkan nilai sebesar 41,496 dengan signifikansi yang kecil yaitu 0,000. Karena nilai signifikansi yang lebih


(57)

kecil dari 0,10 maka model regresi ini dapat digunakan untuk memprediksi besarnya indeks pembangunan manusia provinsi Aceh.

Uji t untuk melihat pengaruh parsial variabel dana otonomi khusus dan alokasi belanja modal terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh pada persamaan regresi ketiga dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.8

Uji t Untuk Persamaan Regresi Ketiga Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 68.546 .358 191.254 .000

DOK .730 .101 .926 7.262 .000

ABM .070 .183 .049 .385 .710

a. Dependent Variable: IPM Sumber: Lampiran 2

Berdasarkan tabel diatas, maka persamaan regresi untuk menguji hipotesis 3 dan 4 adalah sebagai berikut:

IPM = 68,54600 + 0,73 DOK + 0,070 ABM + e3

Persamaan diatas dapat diinterpretasikan bahwa alokasi belanja modal berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh. Setiap kenaikan alokasi belanja modal provinsi Aceh sebesar 1 trilyun Rupiah, maka indeks pembangunan manusia akan naik sebesar 0,07 poin. Koefisien dana otonomi khusus mengalami sedikit penurunan setelah memasukkan variabel alokasi belanja modal menjadi 0,73, dimana setiap kenaikan dana otonomi khusus sebesar 1 trilyun Rupiah, maka indeks pembangunan manusia provinsi Aceh meningkat sebesar 0,73 poin.


(58)

Analisis dengan menggunakan regresi sederhana menunjukkan nilai t-hitung

untuk variabel alokasi belanja modal sebesar 0,385 dengan nilai probabilitas sebesar 0,710 yang lebih besar dari level signifikansi sebesar 0,10. Hasil ini membuktikan bahwa alokasi belanja modal tidak berpengaruh positif signifikan terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh pada level 10%. Dengan demikian, hasil pengujian ini tidak mendukung hipotesis 3 atau dengan kata lain hipotesis 3 yang menyatakan bahwa alokasi belanja modal berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh tidak dapat diterima.

Karena pengaruh variabel alokasi belanja modal yang tidak signifikan terhadap indeks pembangunan manusia maka hipotesis 4 yang menyatakan bahwa variabel alokasi belanja modal memediasi pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia dapat ditolak.

4.2.2 Uji Asumsi Klasik 1. Uji Normalitas

Pengujian ini untuk mengetahui apakah data residual terdistribusi secara normal dan independen. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil (Ghozali, 2006). Jika signifikansi nilai Kolsmogorov-Smirnov lebih besar dari 0,05 maka dapat dinyatakan bahwa data dalam penelitian ini terdistribusi secara modal. Hasil pengujian normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test dapat dilihat pada tabel berikut ini:


(59)

Tabel 4.9

Hasil pengujian normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 11

Normal Parametersa,,b Mean .0000000

Std. Deviation .53421917

Most Extreme Differences

Absolute .203

Positive .203

Negative -.135

Kolmogorov-Smirnov Z .675

Asymp. Sig. (2-tailed) .753

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Sumber: Lampiran 3

Hasil pengujian normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test memperoleh nilai Kolmogorov-Smirnov Z sebesar 0,675 dan asymp sig. sebesar 0,753. Kedua nilai tersebut lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data penelitian ini terdistribusi secara normal.

2. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk mendeteksi apakah model regresi linear memiliki korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode tersebut dengan kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya. Autokorelasi muncul karena observasi yang saling berurutan sepanjang waktu (Ghozali, 2006). Hasil uji autokorelasi memberikan nilai Durbin-Watson sebesar 2,276. Berdasarkan tabel DW statistic untuk data penelitian ini memiliki du sebesar 1,324. Berdasarkan data tabel tersebut dapat ditentukan bahwa nilai du < 2,242 < (4-du). Hasil ini


(60)

menunjukan bahwa model regresi adalah baik karena bebas dari autokorelasi antara residual pada periode tersebut dengan periode sebelumnya.

3. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk mendeteksi apakah model regresi memiliki korelasi antar variabel bebas. Jika variabel independen saling berkorelasi maka variabel tersebut tidak ortogonal. Nilai cut off yang umumnya dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah nilai Tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10 (Ghozali, 2006). Hasil pengujian multikolinearitas dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.10

Hasil Pengujian Multikolinaritas Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

Collinearity Statistics B

Std.

Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 68.546 .358 191.254 .000

DOK .730 .101 .926 7.262 .000 .676 1.480

ABM .070 .183 .049 .385 .710 .676 1.480

a. Dependent Variable: IPM Sumber: Lampiran 3

Pengujian multikolinearitas memberikan hasil nilai Tolerance semua variabel independen yang lebih besar dari 0,10, yaitu sebesar 0,676 dan nilai VIF semua variabel independen yang lebih kecil dari 10,00, yaitu sebesar 1,480. Berdasarkan hasil pengujian tersebut disimpulkan bahwa model regresi adalah baik karena tidak terjadi korelasi antar variabel independen.


(61)

4. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mendeteksi apakah model regresi mengalami ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variabel independen signifikan secara statistik mempengaruhi absolut residual maka ada indikasi terjadi heterokedastisitas (Ghozali, 2006). Hasil pengujian heteroskedastisitas dengan menggunakan uji Glejser dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.11

Pengujian Heteroskedastisitas Dengan menggunakan Uji Glejser Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) .610 .213 2.862 .021

DOK -.073 .060 -.469 -1.214 .259

ABM .016 .109 .057 .147 .887

a. Dependent Variable: RES_2

Hasil pengujian heterokedastisitas dengan menggunakan menggunakan uji Glejser menghasilkan nilai signifikansi dari kedua variabel bernilai 0,259 untuk variabel dana otonomi khusus dan 0,887 untuk variabel alokasi belanja modal. Kedua nilai tersebut lebih besar dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi baik karena tidak terjadi heteroskedastisitas.


(62)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Dana otonomi khusus berpengaruh positif signifikan terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh, dimana setiap kenaikan dana otonomi khusus sebesar 1 trilyun Rupiah akan meningkatkan indeks pembangunan manusia provinsi Aceh sebesar 0,75 poin.

2. Dana otonomi khusus berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal provinsi Aceh, dimana setiap kenaikan dana otonomi khusus sebesar 1 trilyun Rupiah akan meningkatkan alokasi belanja modal sebesar 313 milyar Rupiah.

3. Alokasi belanja modal yang merupakan variabel intervening tidak berpengaruh positif signifikan terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh.

4. Alokasi belanja modal tidak memediasi pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh karena pengaruhnya yang tidak signifikan terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dikemukakan, penulis mencoba untuk memberikan saran sebagai berikut:


(63)

1. Kepada Pemerintah Aceh agar dapat memaksimalkan dana otonomi khusus untuk peningkatan kualitas pembangunan manusianya melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan. Hal ini penting karana anggaran pendapatan daerah yang tinggi haruslah berbanding lurus dengan indeks pembangunan manusia yang tinggi juga. 2. Kepada Pemerintah Aceh agar dapat meningkatkan sumber pendapatan

lainnya seperti yang berasal dari pajak dan retribusi daerah, mengingat dana otonomi khusus memiliki jangka waktu pengucuran hingga tahun 2027, sehingga penggalian sumber pendapatan daerah lainnya perlu ditingkatkan.

3. Kepada Pemerintah Aceh agar lebih meningkatkan alokasi belanja modal dan juga belanja lainnya yang memiliki pengaruh langsung terhadap peningkatan indeks pembangunan manusia. Hal ini penting mengingat Aceh memiliki anggaran pendapatan yang tinggi namun berada pada peringkat yang cukup rendah dalam hal indeks pembangunan manusianya dari seluruh provinsi di Indonesia.


(1)

LAMPIRAN 1

Data Dana Otonomi khusus, Alokasi Belanja Modal, dan Indeks pembangunan Manusia Provinsi Aceh tahun 2004-2014

Tahun Dana Otonomi Khusus Alokasi Belanja Modal IPM 2004 746.433.773.128 349.513.357.431 68.70 2005 1.367.052.358.221 312.378.295.397 69.05 2006 1.277.510.462.343 490.706.055.183 69.41 2007 613.068.029.698 775.174.701.021 70.35 2008 3.590.142.898.000 2.609.726.658.479 70.76 2009 3.728.282.000.000 3.696.304.078.890 71.31 2010 3.849.806.840.000 3.267.911.386.569 71.70 2011 4.510.656.496.500 1.473.983.448.179 72.16 2012 5.476.288.764.000 815.338.776.452 72.51 2013 6.222.785.780.000 1.855.440.411.309 73.05 2014 7.287.860.554.000 2.967.171.658.564 74.54


(2)

LAMPIRAN 2

Uji Hipotesis Untuk Persamaan Regresi 1, 2, dan 3 1. Persamaan Regresi 1

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .954a .910 .900 .56832

a. Predictors: (Constant), DOK

ANOVAb

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 29.553 1 29.553 91.500 .000a

Residual 2.907 9 .323

Total 32.460 10

a. Predictors: (Constant), DOK b. Dependent Variable: IPM

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 68.588 .325 210.944 .000

DOK .752 .079 .954 9.566 .000

a. Dependent Variable: IPM 2. Persamaan Regresi 2

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .570a .324 .249 1.08908


(3)

ANOVAb

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 5.126 1 5.126 4.322 .067a

Residual 10.675 9 1.186

Total 15.801 10

a. Predictors: (Constant), DOK b. Dependent Variable: ABM

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardize d Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) .591 .623 .949 .367

DOK .313 .151 .570 2.079 .067

a. Dependent Variable: ABM

3. Output Eviews Untuk Persamaan regresi 3 Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .955a .912 .890 .59728

a. Predictors: (Constant), ABM, DOK ANOVAb

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 29.606 2 14.803 41.496 .000a

Residual 2.854 8 .357

Total 32.460 10

a. Predictors: (Constant), ABM, DOK b. Dependent Variable: IPM


(4)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 68.546 .358 191.254 .000

DOK .730 .101 .926 7.262 .000

ABM .070 .183 .049 .385 .710


(5)

LAMPIRAN 3

UJI ASUMSI KLASIK

Uji Normalitas Dengan Kolsmogorov-Smirnov Test

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 11

Normal Parametersa,,b Mean .0000000

Std. Deviation .53421917 Most Extreme

Differences

Absolute .203

Positive .203

Negative -.135

Kolmogorov-Smirnov Z .675

Asymp. Sig. (2-tailed) .753

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Uji multikolinearitas Coefficientsa Model Unstandardize d Coefficients Standardized Coefficients

T Sig.

Collinearity Statistics B

Std.

Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 68.546 .358 191.254 .000

DOK .730 .101 .926 7.262 .000 .676 1.480

ABM .070 .183 .049 .385 .710 .676 1.480

a. Dependent Variable: IPM Uji autokorelasi

Model Summaryb Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

1 .955a .912 .890 .59728 2.277

a. Predictors: (Constant), BM, DOK b. Dependent Variable: IPM


(6)

Uji Heteroskedastisitas

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) .610 .213 2.862 .021

DOK -.073 .060 -.469 -1.214 .259

ABM .016 .109 .057 .147 .887