Analisis pengaruh tingkat kemandirian fiskal terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat

(1)

ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMANDIRIAN FISKAL

TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT

OLEH

SEPTIAN BAGUS PAMBUDI H 14104070

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(2)

RINGKASAN

SEPTIAN BAGUS PAMBUDI. Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat (dibimbing oleh DEWI ULFAH WARDANI).

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat diharapkan mampu menggali secara optimal sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Dengan demikian pelaksanaan otonomi daerah akan menciptakan kemandirian fiskal bagi kabupaten/kota. Dengan terciptanya kemandirian fiskal diharapkan pembangunan daerah dapat dilaksanakan secara mandiri oleh pemerintah daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya tanpa adanya campur tangan pemerintah pusat.

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan daerah dapat dilihat dari pembangunan manusianya karena manusia merupakan pelaku sekaligus tujuan utama dari pembangunan daerah. Pemerintah kabupaten/kota yang mandiri akan mampu membiayai pembangunan daerah sehingga akan menciptakan pembangunan manusia. Tingkat keberhasilan pembangunan manusia sebagai tujuan dari pembangunan daerah dapat terlihat dari pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Keberagaman potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia antar daerah menyebabkan setiap kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat memiliki kemampuan yang berbeda dalam mewujudkan kemandirian fiskal. Dengan demikian terdapat perbedaan dalam kemampuan kabupaten/kota untuk membiayai pembangunan daerahnya, sehingga perkembangan IPM sebagai indikator keberhasilan pembangunan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat juga berbeda antar daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kemandirian fiskal dan perkembangan pencapaian IPM antar daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat, serta melihat perbedaan keberhasilan pembangunan kabupaten dan perkotaan. Selain itu, dalam penelitian ini juga menganalisis hubungan antara tingkat kemandirian fiskal dengan IPM di Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan data IPM kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat selama tahun 2002 hingga tahun 2006.

Analisis dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk melihat perkembangan pencapaian IPM dan komponen penyusunnya serta tingkat kemandirian fiskal yang dilihat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat selama tahun 2002 hingga tahun 2006. Analisis kuantitatif dengan metode panel data dilakukan untuk melihat hubungan antara PAD dengan DAU, hubungan antara PAD dengan IPM, serta hubungan antara komponen PAD dengan IPM.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencapaian komponen IPM, antara lain Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), dan Purchasing Power Parity (PPP) kabupaten/kota di Jawa Barat untuk daerah perkotaan lebih baik jika dibandingkan dengan daerah kabupaten. Nilai IPM kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat secara rata-rata tergolong dalam kategori


(3)

menengah tinggi, dan pencapaian daerah perkotaan lebih baik jika dibandingkan dengan daerah kabupaten.

Tingkat kemandirian fiskal daerah yang dilihat dari angka PAD menunjukkan bahwa daerah perkotaan memiliki tingkat kemandirian yang lebih baik jika dibandingkan daerah kabupaten. Secara keseluruhan tingkat kemandirian daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat tergolong dalam kategori sangat kurang dan kurang.

Pemerintah daerah dikatakan mandiri jika memiliki PAD yang tinggi dan ketergantungan terhadap pemerintah pusat atau DAU yang rendah. Panel data digunakan untuk melihat hubungan antara DAU dengan PAD di dapat hasil estimasi bahwa keduanya berhubungan positif, sehingga dapat disimpulkan bahwa DAU tidak dapat menggambarkan tingkat kemandirian fiskal kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat. Hal ini karena DAU tidak dapat menggambarkan prinsip keadilan sebagaimana dalam UU No. 25 Tahun 1999. Oleh karena itu, untuk melihat hubungan antara tingkat kemandirian fiskal dengan IPM maka digunakan PAD yang dihubungkan dengan IPM. Berdasarkan hasil estimasi dapat diketahui bahwa PAD secara positif mempengaruhi IPM, sehingga dengan peningkatan PAD maka akan mampu meningkatkan IPM. Komponen PAD yang berpengaruh secara positif terhadap IPM adalah pajak daerah, retribusi daerah, dan laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sedangkan pendapatan asli daerah lainnya yang sah tidak berpengaruh terhadap IPM.


(4)

ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMANDIRIAN FISKAL

TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT

OLEH

SEPTIAN BAGUS PAMBUDI H 14104070

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Septian Bagus Pambudi Nomor Registrasi Pokok : H 14104070

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si NIP. 131 878 941

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan :


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2008

Septian Bagus Pambudi H 14104070


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Septian Bagus Pambudi lahir pada tangal 19 September 1986 di Malang, sebuah kota yang berada di Propinsi Jawa Timur. Penulis adalah anak terakhir dari lima bersaudara, dari pasangan Poernomo dan Sulis Rahayu.

Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 03 Sumber Pucung, Kabupaten Malang pada tahun 1998. Kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 04 Kepanjen, Kabupaten Malang dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 1 Kepanjen, Kabupaten Malang.

Pada tahun 2004 penulis meninggalkan Kota Malang untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu, keahlian dan pengembangan dalam pola pikir, sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi lingkungan dimana penulis tinggal dan dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan daerah dimana penulis berasal. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan, diantaranya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi dan Manajemen sebagai staff Divisi Olah Raga dan Budaya (OB) periode 2005-2006. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Allah Jehova

Jireh atas segala berkat, kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi yang berjudul ”Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat” ini menganalisis tentang pengaruh tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah dimasa otonomi daerah dengan tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam pembangunan manusia di Propinsi Jawa Barat.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak memperoleh dukungan dari beberapa pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan doa, kasih sayang, perhatian, semangat dan dukungan baik moril maupun materiil selama ini.

2. Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses penyusunan skripsi ini dengan sabar sehingga dapat diselesaikan dengan baik tepat pada waktunya.

3. Widyastutik, M.Si selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik dan ilmu yang bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini.

4. Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si selaku komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa untuk penyempurnaan skripsi ini.

5. Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc selaku pembimbing akademik atas kesabaran dalam membimbing penulis selama penulis menjadi mahasiswa.

6. Prof. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M.Sc yang telah memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

7. Mbak-mbakku dan mas-masku yang selalu memberikan perhatian dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian hingga penulisan ini.

8. Yuliana beserta keluarga yang telah membantu penulis selama proses penelitian di Garut.


(9)

9. Teman-teman penulis Ateris, Deni, Anwar, Saiful, Andika, Ageje, Maya, dan Prianto, terima kasih atas kebersamaan selama ini. Teman satu bimbingan Annisa, selalu semangat dan kepada seluruh teman-teman IE 41.

10. The last but not the least, terima kasih untuk Adreng Kusuma Ayuningtyas atas

dukungan, semangat, dan kasih sayang selama ini.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga hasil skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2008

Septian Bagus Pambudi H 14104070


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ...………. vi

DAFTAR TABEL ……… ix

DAFTAR GAMBAR ……….. x

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xi

I. PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang………... 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 4

1.3. Tujuan Penelitian ………... 6

1.4. Manfaat Penelitian ………. 6

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN …….. 8

2.1. Konsep Pembangunan Manusia ……… 8

2.2. Indeks Pembangunan Manusia ……….. 11

2.3. Penerimaan Pemerintah Daerah ……….……... 17

2.3.1. Pendapatan Asli Daerah ………... 18

2.3.1.1. Pajak Daerah ………... 19

2.3.1.2. Retribusi Daerah ………. 20

2.3.1.3. Laba Badan Usaha Milik Daerah ………... 20

2.3.1.4. Pendapatan Asli Daerah Lainnya yang sah ……… 21

2.3.2. Dana Alokasi Umum ………... 21

2.4. Konsep Kemandirian Fiskal ……….. 24

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu ……….. 26

2.6. Kerangka Pemikiran ……….. 28

2.7. Hipotesis Penelitian ………... 31

III. METODOLOGI PENELITIAN ………….……….. 33

3.1. Jenis dan Sumber Data ………..…. 33

3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ……….. 33

3.2.1. Metode Deskriptif ………... 34

3.2.2. Analisis Panel Data ……… 34

3.2.2.1. Metode Pooled Least Square ……… 35

3.2.2.2. Metode Efek Tetap (Fixed Effect) ……… 36

3.2.2.3. Metode Efek Random ……….. 37

3.2.3. Uji Kesesuaian Model ……… 39

3.2.3.1. Chow Test ………. 39

3.2.3.2. Hausman Test ……….... 40

3.2.4. Evaluasi Model ……….. 41

3.2.4.1. Koefisien Determinasi ……….. 41

3.2.4.2. Multikolinearitas ……… 42

3.2.4.3. Autokorelasi ………. 42

3.2.4.4. Heteroskedastisitas ………... 43


(11)

ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMANDIRIAN FISKAL

TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT

OLEH

SEPTIAN BAGUS PAMBUDI H 14104070

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(12)

RINGKASAN

SEPTIAN BAGUS PAMBUDI. Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat (dibimbing oleh DEWI ULFAH WARDANI).

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat diharapkan mampu menggali secara optimal sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Dengan demikian pelaksanaan otonomi daerah akan menciptakan kemandirian fiskal bagi kabupaten/kota. Dengan terciptanya kemandirian fiskal diharapkan pembangunan daerah dapat dilaksanakan secara mandiri oleh pemerintah daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya tanpa adanya campur tangan pemerintah pusat.

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan daerah dapat dilihat dari pembangunan manusianya karena manusia merupakan pelaku sekaligus tujuan utama dari pembangunan daerah. Pemerintah kabupaten/kota yang mandiri akan mampu membiayai pembangunan daerah sehingga akan menciptakan pembangunan manusia. Tingkat keberhasilan pembangunan manusia sebagai tujuan dari pembangunan daerah dapat terlihat dari pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Keberagaman potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia antar daerah menyebabkan setiap kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat memiliki kemampuan yang berbeda dalam mewujudkan kemandirian fiskal. Dengan demikian terdapat perbedaan dalam kemampuan kabupaten/kota untuk membiayai pembangunan daerahnya, sehingga perkembangan IPM sebagai indikator keberhasilan pembangunan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat juga berbeda antar daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kemandirian fiskal dan perkembangan pencapaian IPM antar daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat, serta melihat perbedaan keberhasilan pembangunan kabupaten dan perkotaan. Selain itu, dalam penelitian ini juga menganalisis hubungan antara tingkat kemandirian fiskal dengan IPM di Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan data IPM kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat selama tahun 2002 hingga tahun 2006.

Analisis dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk melihat perkembangan pencapaian IPM dan komponen penyusunnya serta tingkat kemandirian fiskal yang dilihat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat selama tahun 2002 hingga tahun 2006. Analisis kuantitatif dengan metode panel data dilakukan untuk melihat hubungan antara PAD dengan DAU, hubungan antara PAD dengan IPM, serta hubungan antara komponen PAD dengan IPM.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencapaian komponen IPM, antara lain Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), dan Purchasing Power Parity (PPP) kabupaten/kota di Jawa Barat untuk daerah perkotaan lebih baik jika dibandingkan dengan daerah kabupaten. Nilai IPM kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat secara rata-rata tergolong dalam kategori


(13)

menengah tinggi, dan pencapaian daerah perkotaan lebih baik jika dibandingkan dengan daerah kabupaten.

Tingkat kemandirian fiskal daerah yang dilihat dari angka PAD menunjukkan bahwa daerah perkotaan memiliki tingkat kemandirian yang lebih baik jika dibandingkan daerah kabupaten. Secara keseluruhan tingkat kemandirian daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat tergolong dalam kategori sangat kurang dan kurang.

Pemerintah daerah dikatakan mandiri jika memiliki PAD yang tinggi dan ketergantungan terhadap pemerintah pusat atau DAU yang rendah. Panel data digunakan untuk melihat hubungan antara DAU dengan PAD di dapat hasil estimasi bahwa keduanya berhubungan positif, sehingga dapat disimpulkan bahwa DAU tidak dapat menggambarkan tingkat kemandirian fiskal kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat. Hal ini karena DAU tidak dapat menggambarkan prinsip keadilan sebagaimana dalam UU No. 25 Tahun 1999. Oleh karena itu, untuk melihat hubungan antara tingkat kemandirian fiskal dengan IPM maka digunakan PAD yang dihubungkan dengan IPM. Berdasarkan hasil estimasi dapat diketahui bahwa PAD secara positif mempengaruhi IPM, sehingga dengan peningkatan PAD maka akan mampu meningkatkan IPM. Komponen PAD yang berpengaruh secara positif terhadap IPM adalah pajak daerah, retribusi daerah, dan laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sedangkan pendapatan asli daerah lainnya yang sah tidak berpengaruh terhadap IPM.


(14)

ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMANDIRIAN FISKAL

TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT

OLEH

SEPTIAN BAGUS PAMBUDI H 14104070

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(15)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Septian Bagus Pambudi Nomor Registrasi Pokok : H 14104070

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si NIP. 131 878 941

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan :


(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2008

Septian Bagus Pambudi H 14104070


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Septian Bagus Pambudi lahir pada tangal 19 September 1986 di Malang, sebuah kota yang berada di Propinsi Jawa Timur. Penulis adalah anak terakhir dari lima bersaudara, dari pasangan Poernomo dan Sulis Rahayu.

Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 03 Sumber Pucung, Kabupaten Malang pada tahun 1998. Kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 04 Kepanjen, Kabupaten Malang dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 1 Kepanjen, Kabupaten Malang.

Pada tahun 2004 penulis meninggalkan Kota Malang untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu, keahlian dan pengembangan dalam pola pikir, sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi lingkungan dimana penulis tinggal dan dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan daerah dimana penulis berasal. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan, diantaranya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi dan Manajemen sebagai staff Divisi Olah Raga dan Budaya (OB) periode 2005-2006. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan.


(18)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Allah Jehova

Jireh atas segala berkat, kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi yang berjudul ”Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat” ini menganalisis tentang pengaruh tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah dimasa otonomi daerah dengan tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam pembangunan manusia di Propinsi Jawa Barat.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak memperoleh dukungan dari beberapa pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan doa, kasih sayang, perhatian, semangat dan dukungan baik moril maupun materiil selama ini.

2. Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses penyusunan skripsi ini dengan sabar sehingga dapat diselesaikan dengan baik tepat pada waktunya.

3. Widyastutik, M.Si selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik dan ilmu yang bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini.

4. Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si selaku komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa untuk penyempurnaan skripsi ini.

5. Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc selaku pembimbing akademik atas kesabaran dalam membimbing penulis selama penulis menjadi mahasiswa.

6. Prof. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M.Sc yang telah memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

7. Mbak-mbakku dan mas-masku yang selalu memberikan perhatian dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian hingga penulisan ini.

8. Yuliana beserta keluarga yang telah membantu penulis selama proses penelitian di Garut.


(19)

9. Teman-teman penulis Ateris, Deni, Anwar, Saiful, Andika, Ageje, Maya, dan Prianto, terima kasih atas kebersamaan selama ini. Teman satu bimbingan Annisa, selalu semangat dan kepada seluruh teman-teman IE 41.

10. The last but not the least, terima kasih untuk Adreng Kusuma Ayuningtyas atas

dukungan, semangat, dan kasih sayang selama ini.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga hasil skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2008

Septian Bagus Pambudi H 14104070


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ...………. vi

DAFTAR TABEL ……… ix

DAFTAR GAMBAR ……….. x

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xi

I. PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang………... 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 4

1.3. Tujuan Penelitian ………... 6

1.4. Manfaat Penelitian ………. 6

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN …….. 8

2.1. Konsep Pembangunan Manusia ……… 8

2.2. Indeks Pembangunan Manusia ……….. 11

2.3. Penerimaan Pemerintah Daerah ……….……... 17

2.3.1. Pendapatan Asli Daerah ………... 18

2.3.1.1. Pajak Daerah ………... 19

2.3.1.2. Retribusi Daerah ………. 20

2.3.1.3. Laba Badan Usaha Milik Daerah ………... 20

2.3.1.4. Pendapatan Asli Daerah Lainnya yang sah ……… 21

2.3.2. Dana Alokasi Umum ………... 21

2.4. Konsep Kemandirian Fiskal ……….. 24

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu ……….. 26

2.6. Kerangka Pemikiran ……….. 28

2.7. Hipotesis Penelitian ………... 31

III. METODOLOGI PENELITIAN ………….……….. 33

3.1. Jenis dan Sumber Data ………..…. 33

3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ……….. 33

3.2.1. Metode Deskriptif ………... 34

3.2.2. Analisis Panel Data ……… 34

3.2.2.1. Metode Pooled Least Square ……… 35

3.2.2.2. Metode Efek Tetap (Fixed Effect) ……… 36

3.2.2.3. Metode Efek Random ……….. 37

3.2.3. Uji Kesesuaian Model ……… 39

3.2.3.1. Chow Test ………. 39

3.2.3.2. Hausman Test ……….... 40

3.2.4. Evaluasi Model ……….. 41

3.2.4.1. Koefisien Determinasi ……….. 41

3.2.4.2. Multikolinearitas ……… 42

3.2.4.3. Autokorelasi ………. 42

3.2.4.4. Heteroskedastisitas ………... 43


(21)

IV. GAMBARAN UMUM ……… 47

4.1. Letak Geografis ………. 48

4.2. Keadaan Topografi dan Iklim ……… 48

4.3. Populasi Penduduk ………. 49

4.4. Sosial Budaya ……….………... 50

4.5. Perekonomian Jawa Barat ………. 51

4.6. Pembangunan Manusia di Jawa Barat ……… 53

4.7. Tingkat Kemandirian Fiskal Propinsi Jawa Barat ………. 57

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 60

5.1. Perkembangan Komponen - Komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat ………… 60

5.1.1. Perkembangan Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat ….……….. 61

5.1.2. Perkembangan Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat ………… 63

5.1.3. Perkembangan Indikator Daya Beli Masyarakat (Purchasing Power Parity) Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat ……….. 68

5.1.4. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat ……… 70

5.2. Analisis Tingkat Kemandirian Fiskal Kabupaten / Kota di Propinsi Jawa Barat ……….. 73

5.2.1. Hubungan PAD dengan DAU Kabupaten / Kota di Propinsi Jawa Barat ………... 74

5.2.1.1. Uji Kesesuaian Model ………. 74

5.2.1.2. Interpretasi Model ………... 76

5.3. Perkembangan Tingkat Kemandirian Fiskal Kabupaten / Kota di Propinsi Jawa Barat ………...……….. 78

5.4. Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten / Kota di Propinsi Jawa Barat ……… 84

5.4.1. Hasil Estimasi Model dan Uji Asumsi OLS Klasik ……… 84

5.4.1.1. Uji Kesesuaian Model ………. 84

5.4.1.2. Interpretasi Model …..………. 86

5.5. Analisis Pengaruh Komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat ………. 87

5.5.1. Hasil Estimasi Model dan Uji Asumsi OLS Klasik ……… 88

5.5.1.1. Uji Kesesuaian Model ……… 88

5.5.1.2. Interpretasi Model ……….. 90

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 95

6.1. Kesimpulan ……….…… 95

6.2. Saran ………...………. 96


(22)

(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 2.1. Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP) .. 15 2.2. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM ... 16 2.3. Jenis Pajak dan Tarifnya ... 19 2.4. Kualifikasi Kemampuan Keuangan Daerah ... 26 3.1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi ... 43 4.1. PDRB Propinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

2002 – 2005 (Triliun Rupiah) ... 52 4.2. Perkembangan Komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Propinsi Jawa Barat ... 53 4.3. Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Propinsi Jawa

Barat……… 58

5.1. Angka Harapan Hidup Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2002-2006 ………... 61

5.2. Angka Melek Huruf Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun

2002-2006 ………... 64

5.3. Rata-Rata Lama Sekolah Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2002-2006 ………... 66

5.4. Kemampuan Daya Beli Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2002-2006 ………... 69

5.5. Kategori Keberhasilan Pencapaian IPM Kabupaten/Kota di Propinsi

Jawa Barat tahun 2002 hingga tahun 2006 ………. 72 5.6. Hasil Estimasi Panel Data dengan Model Efek Tetap dengan

Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Cross Section

Covariance ………. 75

5.7. Kualifikasi Tingkat Kemandirian Fiskal Kabupaten / Kota di Propinsi

Jawa Barat Tahun 2002 hingga Tahun 2006……… 81

5.8. Hasil Estimasi Panel Data dengan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Cross Section

Covariance ………. 85

5.9. Hasil Estimasi Panel Data dengan Model Efek Acak tanpa Pembobotan

(Cross Section Weights) dan White Cross Section


(24)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 2.1. Gambaran Umum Indeks Pembangunan Manusia ... 13 2.2. Kerangka Pemikiran Hubungan Antara Indeks Pembangunan Manusia

dengan Tingkat Kemandirian Fiskal ... 30 4.1. Performance Indeks Pembangunan Manusia Propinsi Jawa Barat

Tahun 2003 – 2006 ... 56 5.1. Performance Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten dan Kota di

Propinsi Jawa Barat Tahun 2002-2006 ……….. 71 5.2. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Penerimaan

Daerah (PAD/TPD) Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa

Barat Tahun 2002-2006 ……….……..……….. 10 101 2 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota di Propinsi

Jawa Barat Tahun 2002-2006 ………..…..……... 102 3 Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten/Kota di Propinsi

Jawa Barat Tahun 2002-2006 ………... 103 4 Pajak Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun

2002 – 2006 ………….………..………. 104

5 Retribusi Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun

2002 – 2006 ……….…..…… 105

6 Bagi Hasil Usaha Milik Daerah (BHUMD) Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002 – 2006 ...………... 106 7 Pendapatan Asli Daerah Lainnya yang Sah Kabupaten/Kota di

Propinsi Jawa Barat Tahun 2002–2006 ………. 107 8 Persentase PAD Terhadap TPD Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2002 – 2006 ……….……..……… 108

9 Hasil Estimasi PAD Terhadap DAU Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa

Barat Tahun 2002 – 2006 ………..…. 109 10 Hasil Pengujian Hausman Test PAD terhadap DAU Kabupaten/Kota

di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002 – 2006 ………... 111 11 Hasil Estimasi PAD terhadap IPM Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2002 – 2006 ……….……..………... 112 12 Hasil Pengujian Hausman Test PAD terhadap IPM Kabupaten/Kota

di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002 – 2006 ………..…. 114 13 Hasil Estimasi Komponen PAD terhadap IPM Kabupaten/Kota di Propinsi

Jawa Barat Tahun 2002 – 2006 ….………..……… 115 14 Hasil Pengujian Hausman Test Komponen PAD terhadap IPM

Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002 – 2006…………. 117 15 Peta Perkembangan Angka Melek Huruf Kabupaten dan Kota di Propinsi


(26)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang membuat keadaan di masa yang akan datang menjadi lebih baik dibandingkan dengan keadaan sekarang. Perubahan yang diharapkan berupa peningkatan kualitas hidup masyarakat yang berada di daerah tersebut, sehingga dapat diartikan bahwa pembangunan adalah sarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Sejak tahun 2001 telah terjadi perubahan yang cukup fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Perubahan tersebut terkait dengan dilaksanakannya secara efektif otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah direvisi dengan UU Nomor 33 Tahun 2004. Kedua Undang-Undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan pemberian kewenangan otonomi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan dan mengelola segala potensi daerah dan pemberdayaan sumber daya setempat sesuai dengan kepentingan masyarakat.

Menurut Mardiasmo dalam Hermani (2007), otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena


(27)

pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, yaitu:

1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. 2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat.

3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

Implikasi dari kewenangan otonomi daerah menuntut daerah untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana publik (public service). Pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya. Dengan demikian maka daerah mengurangi ketergantungannya akan bantuan dari pusat serta menghasilkan pendapatan daerah sendiri yang mampu mencukupi kebutuhan dan pembangunannya sendiri.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap daerah kabupaten/kota diharapkan mampu menggali secara optimal sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Dengan demikian pelaksanaan otonomi daerah akan menciptakan kemandirian fiskal bagi daerah kabupaten/kota. Dengan terciptanya kemandirian fiskal daerah maka pemerintah daerah akan mampu membiayai pembangunan daerahnya sesuai dengan tujuan daerah tanpa melibatkan kepentingan pusat atau campur tangan pemerintah pusat dalam proses pembangunan di daerah.

Indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), kehidupan demokrasi yang semakin maju, adanya rasa keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi secara


(28)

vertikal antar pusat dan daerah serta hubungan horizontal antar daerah. Pandangan itu sesungguhnya sejalan dengan arah kewenangan yang mencakup seluruh bidang pemerintahan dalam rangka otonomi daerah (Gozali et al., 2001).

Tujuan lain dari pelaksanaan otonomi daerah adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban yang tidak perlu dan mendorong prakarsa dan kemampuan daerah sehingga daerah menjadi lebih mandiri untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan manusia, terutama kabupaten/kota sebagai motor pelaksana kebijakan tersebut. Dengan demikian daerah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pembangunan manusia yang tercermin dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang meningkat.

Paradigma pembangunan menempatkan manusia (penduduk) sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan peningkatan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi). Konsep pembangunan manusia tersebut pada dasarnya mencakup dimensi pembangunan yang sangat luas. Lebih luas dari definisi pembangunan yang hanya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi (Bapeda Jawa Barat, 2007).

Pembangunan manusia atau peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting dalam strategi kebijakan pembangunan nasional. Penekanan terhadap pentingnya peningkatan sumber daya manusia dalam pembangunan menjadi suatu kebutuhan. Kualitas manusia di suatu wilayah memiliki andil besar dalam menentukan keberhasilan pengelolaan pembangunan di wilayahnya.


(29)

Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang penting di Indonesia karena memiliki jumlah penduduk yang terbesar. Jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat pada tahun 2007 sebesar 42,4 juta jiwa atau 18 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia, dengan laju pertumbuhan sebesar 1,99 persen Propinsi Jawa Barat memiliki potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang potensial untuk terus diberdayakan. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada Pemerintah Propinsi Jawa Barat untuk melaksanakan pembangunan daerah secara lebih mandiri. Melalui Perda Nomor 1 Tahun 2001, IPM telah dijadikan sebagai indikator keberhasilan pembangunan Propinsi Jawa Barat. Oleh sebab itu, penting untuk dilakukan penelitian bagaimanakah hubungan antara tingkat kemandirian fiskal dengan indeks pembangunan manusia (IPM) kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.

1.2 Perumusan Masalah

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat diharapkan mampu mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerah sendiri namun hal ini tentu akan menjadi kendala bagi daerah yang memiliki keterbatasan akan ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Daerah tentu akan sulit untuk mencapai tingkat kemandirian fiskal karena masih membutuhkan bantuan dari pusat yang cukup besar. Tetapi di sisi lain, hal ini tentu akan memberikan keuntungan bagi daerah yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah, karena daerah mempunyai sumber-sumber penerimaan keuangan yang cukup dan potensial untuk membiayai pembangunannya, baik yang berasal dari pajak dan retribusi daerah maupun yang berasal dari laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. Dengan pelaksanaan otonomi daerah bagi


(30)

daerah yang kaya akan sumber daya alam justru akan semakin mendorong terciptanya tingkat kemandirian fiskal. Beragamnya sumber daya alam dan sumber daya manusia menyebabkan ketimpangan pembangunan antar daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.

Beragamnya ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya manusia di Propinsi Jawa Barat menyebabkan kemampuan antar kabupaten/kota dalam membiayai pembangunannya juga beragam. Keberagaman kemampuan pembiayaan pembangunan menyebabkan tingkat kemandirian fiskal antar daerah yang juga beragam, hal ini akan menyebabkan keberagaman dan ketimpangan pula dalam menghasilkan performance pembangunan manusia sebagai sasaran akhir pembangunan daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.

Perbedaan kemampuan untuk mewujudkan tingkat kemandirian fiskal dan keberhasilan pembangunan manusia yang beragam antar daerah di Propinsi Jawa Barat menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat dari tahun 2002 hingga 2006? Apakah terdapat perbedaan perkembangan IPM antara daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat?

2. Bagaimanakah perkembangan tingkat kemandirian fiskalnya? Bagaimanakah perbedaannya antara daerah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Barat?

3. Bagaimanakah hubungan antara tingkat kemandirian fiskal dengan IPM kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat?


(31)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian analisis hubungan antara tingkat kemandirian fiskal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat pada masa otonomi daerah antara lain adalah:

1. Menganalisis perkembangan Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.

2. Menganalisis perkembangan tingkat kemandirian fiskalnya.

3. Menganalisis pengaruh tingkat kemandirian fiskal terhadap IPM kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan dilaksanakan penelitian ini, maka diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain adalah:

1. Memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang gambaran keuangan daerah tingkat kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.

2. Memberikan masukan bagi Pemerintah Jawa Barat sebagai referensi dalam pengambilan langkah-langkah kebijakan pembangunan daerah untuk mewujudkan pencapaian visi Jawa Barat mencapai IPM 80 di tahun 2010.

3. Berguna sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya tentang kemandirian fiskal atau IPM di daerah lain di Indonesia.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Konsep Pembangunan Manusia

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) (2006), dewasa ini pemikiran tentang pembangunan (paradigma) telah mengalami pergeseran, yaitu dari pembangunan yang berorientasi pada produksi (production centered development) pada dekade 60-an ke paradigma pembangunan yang lebih menekankan pada distribusi hasil-hasil pembangunan (distribution growth development) selama dekade 70-an. Selanjutnya pada dekade 80-an, muncul paradigma pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (basic need development), dan akhirnya menuju paradigma pembangunan yang terpusat pada manusia (human centered

development) yang muncul pada tahun 1990-an.

Ada enam alasan mengapa paradigma pembangunan manusia ini bernilai penting, yaitu: (1) Pembangunan bertujuan akhir meningkatkan harkat dan martabat manusia; (2) Mengemban misi pemberantasan kemiskinan; (3) Mendorong peningkatan produktivitas secara maksimal dan meningkatkan kontrol atas barang dan jasa; (4) Memelihara konservasi alam (lingkungan) dan menjaga keseimbangan ekosistem; (5) Memperkuat basis civil society dan institusi politik guna mengembangkan demokrasi; dan (6) Merawat stabilitas sosial politik yang kondusif bagi implementasi pembangunan (Basu dalam Hamudy, 2008)

Menurut Basri (2002), hakikat pembangunan adalah membentuk manusia-manusia atau individu-individu yang otonom, yang memungkinkan mereka dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Inilah yang


(33)

menjadi landasan kokoh bagi terwujudnya manusia-manusia unggulan sebagai modal utama terbentuknya daya saing nasional dalam menghadapi persaingan internasional.

Menurut Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhamnas) (1997), secara umum hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat. Hakikat pembangunan ini mengandung makna bahwa pembangunan nasional mengejar keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah. Pembangunan nasional yang berkesinambungan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa, sehingga senantiasa mampu mewujudkan ketentraman dan kesejahteraan hidup lahir dan batin

Menurut BPS (2006) pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia (penduduk) sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan peningkatan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi).

Menurut United Nations Development Program (UNDP) dalam BPS (2006), pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi manusia (a process of enlarging people’s choices). Dari definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus pembangunan suatu negara adalah penduduk karena penduduk adalah kekayaan nyata suatu negara. Konsep atau definisi pembangunan manusia tersebut pada dasarnya mencakup dimensi pembangunan yang sangat luas. Definisi ini lebih luas dari definisi pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam konsep pembangunan manusia, pembangunan seharusnya dianalisis serta dipahami dari sudut manusianya, bukan hanya dari pertumbuhan ekonominya.


(34)

Pembangunan harus mengutamakan penduduk sebagai pusat perhatian dan pembangunan dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk, tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, konsep pembangunan manusia harus terpusat pada penduduk secara keseluruhan, dan bukan hanya pada aspek ekonomi saja. Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan kemampuan (capability) manusia tetapi juga pada upaya-upaya memanfaatkan kemampuan manusia tersebut secara optimal. Pembangunan manusia menjadi dasar penentuan tujuan pembangunan dan dalam menganalisis pilihan-pilihan untuk mencapainya.

Menurut Human Development Report (HDR) dalam BPS, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas), UNDP (2004), paradigma pembangunan manusia terdiri dari 4 (empat) komponen utama, yaitu : (1) Produktifitas, masyarakat harus dapat meningkatkan produktifitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia; (2) Ekuitas, masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatankesempatan ini; (3) Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup, harus dilengkapi; dan (4) Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.


(35)

Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam masyarakat seperti pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Pambangunan manusia juga mencakup isu penting lainnya yaitu jender. Dengan demikian pembangunan manusia tidak hanya memperhatikann sektor sosial tetapi merupakan pendekatan komprehensif dari semua sektor (BPS, BAPPENAS, UNDP, 2004).

Pembangunan manusia ditujukan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam semua proses dan kegiatan pembangunan. Keberhasilan pembangunan dewasa ini seringkali dilihat dari pencapaian kualitas sumber daya manusianya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas SDM di wilayahnya, baik dari aspek fisik (kesehatan), aspek intelektualitas (pendidikan), aspek kesejahteraan ekonomi (berdaya beli), serta aspek moralitas (iman dan ketaqwaan) sehingga partisipasi rakyat dalam pembangunan akan dengan sendirinya meningkat (BPS kota Cimahi, 2004).

2.2 Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks komposit yang digunakan untuk mengukur pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga hal mendasar pembangunan manusia, yaitu : lama hidup, yang diukur dengan angka harapan ketika lahir; penddidikan yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas dan standar hidup yang diukur dengan konsumsi per kapita. Nilai indeks ini berkisar antara 0-100.

Menurut UNDP (2004) IPM memberikan suatu ukuran gabungan tiga dimensi tentang pembangunan manusia: panjang umur dan menjalani hidup sehat (diukur dari


(36)

usia harapan hidup), terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi) dan memiliki standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli/ PPP, penghasilan). Indeks tersebut bukanlah suatu ukuran yang menyeluruh tentang pembangunan manusia. Sebagai contoh, IPM tidak menyertakan indikator-indikator penting seperti misalnya ketidaksetaraan dan sulit mengukur indikator-indikator seperti penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan politik. Indeks ini memberikan sudut pandang yang lebih luas untuk menilai kemajuan manusia serta meninjau hubungan yang rumit antara penghasilan dan kesejahteraan.

Indikator Indeks Pembangunan Manusia merupakan salah satu indikator untuk mengukur taraf kualitas fisik dan non fisik penduduk . Kualitas fisik; tercermin dari angka harapan hidup; sedangkan kualitas non fisik (intelektualitas) melalui lamanya rata-rata penduduk bersekolah dan angka melek huruf; dan mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat yang tercermin dari nilai purcashing power parity

index (PPP) (BPS, 2007).

IPM mengukur pencapaian keseluruhan dari satu daerah/negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu lamanya hidup, pengetahuan dan status standar hidup yang layak. Ketiganya diukur dengan angka harapan hidup, pencapaian pendidikan dan pengeluaran per kapita.

Secara lebih lengkap, tiga dimensi pembangunan manusia tersebut, yaitu (1) Dimensi ekonomi yang diwujudkan oleh kehidupan yang layak dan diukur dengan indikator pengetahuan per kapita riil; (2) Dimensi sosial, diwujudkan oleh tingkat pengetahuan dan diukur oleh angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah; (3) Dimensi


(37)

kesehatan, perwujudannya adalah umur panjang dan sehat dengan indikator yaitu angka harapan hidup saat lahir (Siregar dalam Hidayat, 2008).

DIMENSI Umur panjang

dan sehat

Pengetahuan Kehidupan

yang layak

INDIKATOR Angka harapan

hidup pada saat lahir

Angka Melek Huruf (AMH)

Rata-rata Lama Sekolah (RLS)

Pengeluaran per kapita riil yang

disesuaikan (PPP)

Indeks AMH Indeks RLS

INDEKS DIMENSI

Indeks harapan hidup

Indeks pendidikan Indeks

pendapatan

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Sumber : BPS, BAPPENAS, UNDP (2004)

Gambar 2.1 Gambaran Umum Indeks Pembangunan Manusia

Angka Harapan Hidup ketika lahir merupakan suatu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk yang dilahirkan pada tahun tersebut (BPS, 2006). Angka Harapan Hidup ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur indikator kesehatan. Semakin tinggi Angka Harapan Hidup (AHH) suatu masyarakat mengindikasikan tingginya derajat kesehatan masyarakat tersebut.

Angka Melek Huruf (AMH) adalah persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang bisa membaca dan menulis serta mengerti sebuah kalimat sederhana dalam kehidupan sehari-hari (BPS, 2006) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) adalah lama sekolah (tahun) penduduk usia 15 tahun keatas. Seperti halnya Angka Harapan Hidup sebagai indikator kesehatan, Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) menggambarkan status keadaan pendidikan suatu masyarakat. BPS (2006) mengemukakan bahwa rendahnya Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah


(38)

dapat disebabkan oleh kurangnya fasilitas pendidikan dan biaya pendidikan yang mahal dan terkait dengan kemiskinan.

Kemampuan Daya Beli Penduduk atau Purchasing Power Parity (PPP) merupakan suatu indikator yang digunakan untuk melihat kondisi ekonomi masyarakat dalam menghitung IPM. Kemampuan daya beli ini lebih mencerminkan kemampuan masyarakat secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya, dan sangat jauh berbeda dengan PDRB per kapita atau yang dikenal dengan income per capita. Untuk mengukur standar hidup layak, data PDRB per kapita tidak dapat digunakan karena bukan ukuran yang peka untuk kemampuan daya beli penduduk. Oleh sebab itu, penghitungan daya beli penduduk menggunakan konsumsi per kapita yang kemudian disesuaikan.

Sumber data yang digunakan meliputi jumlah pengeluran per kapita baik konsumsi makanan maupun non makanan. Komoditi yang digunakan dalam perhitungan paritas daya beli (PPP) terdapat 27 komoditi yang terdiri dari konsumsi makanan dan konsumsi non makanan. Komoditi-komoditi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP)

No Komoditi Unit

1 Beras lokal Kg

2 Tepung terigu Kg

3 Ketela pon Kg

4 Ikan Kg

5 Ikan teri Ons

6 Daging sapi Kg

7 Daging ayam kampung Kg

8 Telur ayam Butir

9 Susu kental manis 397 gram

10 Bayam Kg

11 Kacang panjang Kg

12 Kacang tanah Kg

13 Tempe Kg

14 Jeruk Kg


(39)

16 Kelapa Butir

17 Gula pasir Ons

18 Kopi bubuk Ons

19 Garam Ons

20 Merica/lada Ons

21 Mie instan 80 gram

22 Rokok kretek/filter 10 batang

23 Listrik Kwh

24 Air minum m3

25 Bensin Liter

26 Minyak tanah Liter

27 Sewa rumah Unit

Sumber : BPS (2006)

IPM mencoba untuk memberikan peringkat semua negara dari skala 0 (tingkat pembangunan manusia yang paling rendah) hingga 100 (tingkat pembangunan manusia yang paling tinggi). Hal ini dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan pembangunan suatu daerah atau negara. BPS memberikan pemeringkatan dalam empat kriteria, dimana IPM tergolong kategori rendah jika nilai IPM<50, IPM tergolong kategori menengah rendah jika nilai IPM antara 50-65, jika nilai IPM antara 66-80 maka tergolong kriteria menengah tinggi, nilai IPM tergolong tinggi jika diatas 80.

Tabel 2.2 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM

Indikator IPM Nilai

Maksimum

Nilai Minimum

Catatan

Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Rata-rata Lama Sekolah Konsumsi per Kapita yang Disesuaikan 2005

85 100 15 732.720a) 25 0 0 300.000b)

Sesuai Standar Global (UNDP)

Sesuai Standar Global (UNDP)

Sesuai Standar Global (UNDP)

UNDP Menggunakan PDB per Kapita Riil yang

Disesuaikan Catatan:

a) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk propinsi yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun 1996-2018.

b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk propinsi yang memiliki angka terendah tahun 1996 di Papua.


(40)

Sumber: BPS, BAPPENAS, UNDP (2004)

Secara teknis, IPM dapat dirumuskan sebagai berikut (BPS, BAPPENAS, UNDP, 2004):

IPM = ( indeks X1 + indeks X2 + indeks X3) (2.1)

X2 = X12 + X22 (2.2)

dimana :

X1 = indeks lamanya hidup (tahun) X2 = indeks tingkat pendidikan

X3 = indeks pengeluaran riil per kapita (Rp 000) X12 = rata-rata lama bersekolah (tahun)

X22 = angka melek huruf (persen)

Perhitungan indeks dari masing-masing indikator tersebut adalah : X (ij) + X (i-min)

Indeks X(ij) = (2.3)

X (i-max) + X (i-min)

dimana :

X (ij) = indikator ke-i dari daerah j

X (i-min) = nilai minimum dari Xi

X (i-max) = nilai maximum dari Xi

2.3 Penerimaan Pemerintah Daerah

Menurut Halim (2007) pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggung jawaban dan pengawasan keuangan daerah. Berdasarkan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 Pasal 66 ayat 1, keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat


(41)

pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output dengan menggunakan konsep nilai uang (value for money) serta prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance).

Pengelolaan anggaran adalah suatu tindakan penyeimbangan berbagai kebutuhan. Kebutuhan di bidang pendidikan, sosial, dan kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan di sektor publik tersebut pemerintah mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerahnya sendiri. Sehingga dengan otonomi daerah pemerintah daerah akan semakin mampu mencukupi kebutuhan pembangunannya.

Dengan berlakunya Undang-Undang otonomi daerah maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatannya dan menjalankan pembangunan serta kewenangan yang lebih luas dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan, baik yang berasal dari daerah itu sendiri maupun dana yang berasal dari APBN.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. undang tersebut merupakan perubahan atau perbaikan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.

2.3.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber penerimaan keuangan daerah yang digali dari potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut terdiri dari: (1) Hasil pajak daerah; (2)


(42)

Hasil retribusi daerah; (3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah; serta (4) Pendapatan asli daerah lain-lain yang sah (UU Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 79).

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatannya dan menjalankan pembangunan serta kewenangan yang lebih luas dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan baik yang berasal dari daerah itu sendiri maupun dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Elmi, 2002).

2.3.1.1 Pajak Daerah

Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh wajib yang membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan (Siahaan, 2006).

Pajak daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 terbagi menjadi dua, yaitu pajak propinsi dan pajak kabupaten/kota. Pembagian ini dilakukan sesuai dengan kewenangan pengenaan dan pemungutan masing-masing jenis pajak daerah pada wilayah administrasi propinsi atau kabupaten/kota yang bersangkutan. Sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 2.3, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 ditetapkan sebelas jenis pajak daerah, yaitu empat jenis pajak propinsi dan tujuh jenis pajak kabupaten/kota.


(43)

Tabel 2.3 Jenis Pajak Daerah dan Tarifnya

Pajak Propinsi Tarif

(%)

Pajak Kabupaten/Kota Tarif

(%) 1. Pajak kendaraan bermotor dan

kendaraan diatas air

2. Bea balik nama kendaraan

bermotor dan kendaraan diatas air

3. Pajak bahan bakar kendaraan

bermotor

4. Pajak pengambilan dan

pemanfaatan air di bawah tanah dan air permukaan

5 10

5 20

1. Pajak hotel 2. Pajak restoran 3. Pajak hiburan 4. Pajak reklame

5. Pajak penerangan jalan

6. Pajak pengambilan bahan

galian golongan C 7. Pajak parkir

10 10 35 25 10 20 20

Sumber : Siahaan (2006)

2.3.1.2 Retribusi Daerah

Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar jasa retribusi yang menikmati balas jasa dari negara (Siahaan, 2006).

Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia saat ini penarikan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah. Jadi retribusi yang dipungut di Indonesia dewasa ini adalah retribusi daerah. Menurut Siahaan (2006) retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Jasa yang dimaksud adalah kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya dapat dinikmati oleh pribadi atau badan.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tidak banyak mengubah ketentuan tentang retribusi daerah dalam UU Nomor 18 Tahun 1997. Retribusi ditetapkan ke


(44)

dalam tiga golongan, yaitu retribusi umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perijinan tertentu (Siahaan, 2006).

2.3.1.3 Laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah (BUMD) merupakan salah satu sumber yang potensial untuk dikembangkan. Menurut Elmi (2002) perusahaan daerah seperti perusahaan air bersih (PDAM), bank pembangunan daerah (BPD), hotel, bioskop, percetakan, perusahaan bis kota dan pasar adalah jenis-jenis BUMD yang memiliki potensi sebagai sumber-sumber PAD, menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah.

2.3.1.4 Pendapatan Asli Daerah Lainnya Yang Sah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 6, yang termasuk pendapatan asli daerah lainnya yang sah adalah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, sumber keuangan yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) lebih penting dibandingkan dengan sumber-sumber diluar pendapatan asli daerah, karena pendapatan asli daerah dapat dipergunakan sesuai dengan prakarsa dan inisiatif daerah sedangkan bentuk pemberian pemerintah (non PAD) sifatnya lebih terikat. Dengan penggalian dan peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan pemerintah daerah juga mampu meningkatkan kemampuannya dalam penyelenggaraan urusan daerah.


(45)

2.3.2 Dana Alokasi Umum

Dana perimbangan merupakan salah satu sumber penerimaan daerah, maka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah hendaknya diarahkan pada upaya untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Upaya kearah ini dapat menciptakan independensi pemerintah daerah di bidang keuangan, di samping mengurangi ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat (Halim, 2007).

Menurut Sidik et al. (2002), Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah sehingga perbedaan antara daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Penggunaan dana alokasi umum ditetapkan oleh daerah, termasuk di dalam pengertian pemerataan kemampuan keuangan daerah adalah jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintah daerah dalam penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat dan merupakan satu kesatuan penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penggunaan dana alokasi umum dan penerimaan umum lainnya dalam APBD, harus tetap dalam kerangka pencapaian tujuan pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan. Menurut Sidik et al. (2002) penetapan besarnya DAU masing-masing kabupaten dan kota ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 2000. DAU yang berperan sebagai equalization grant, menetralkan dampak yang ditimbulkan oleh transfer lain seperti bagi hasil sumberdaya alam dan bagi hasil pajak. Tolok ukur keberhasilan DAU adalah tercapainya pemerataan total penerimaan daerah per kapita yang sebaik-baiknya.


(46)

Terkait dengan perhitungan DAU dimana DAU digunakan sebagai instrumen perimbangan keuangan antar daerah dengan konsep yang dipakai adalah kesenjangan fiskal (fiscal gap). Secara konsep, DAU digunakan untuk menutup kesenjangan yang terjadi karena kebutuhan daerah ternyata lebih besar dari potensi daerah (kapasitas fiskal). Dengan demikian, daerah-daerah yang mempunyai kapasitas fiskal relatif besar akan memperoleh DAU yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah-daerah yang miskin (kapasitas fiskal rendah) (Zainie dalam Haris, 2005).

Menurut Hamid (2003) terdapat tiga model atau formula transfer dengan berbagai variannya untuk memenuhi kebutuhan anggaran pemerintah daerah. Formula transfer tersebut adalah : (1) formula yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan fiskal daerah. Dana yang dialokasikan oleh pusat ke daerah didasarkan atas kebutuhan masing-masing daerah, yang dihitung dengan menggunakan berbagai variabel, seperti jumlah penduduk, pendapatan per kapita, luas wilayah, jumlah penduduk miskin dan sebagainya, (2) formula yang didasarkan pada kemampuan anggaran daerah atau atas dasar kapasitas fiskalnya. Pendekatan ini mendasarkan pada kemampuan daerah dalam menghimpun pajak lokal dan sumbangan daerah dalam penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh Pemerintah Pusat, dan (3) formula yang didasarkan baik pada kebutuhan fiskal maupun kapasitas fiskal. Nilai transfer yang diberikan berdasarkan selisih positif dari kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskalnya, yang disebut kesenjangan fiskal.

Menurut Sidik et al. (2002) salah satu kriteria umum yang digunakan sebagai acuan untuk mendesain sistem atau model transfer DAU yaitu adanya keadilan (equity) dimana besarnya dana transfer pusat ke daerah ini seyogyanya berhubungan positif


(47)

dengan kebutuhan fiskal daerah dan sebaliknya berkebalikan dengan besarnya kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan.

2.4 Konsep Kemandirian Fiskal

Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang yang dilakukan untuk mencapai aspek pertumbuhan wilayah (efficiency), pemerataan (equity) dan berkelanjutan (sustainability) yang lebih berdimensi lokal dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi menjadi desentralisasi menempatkan pemerintah daerah sebagai partner pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Hal ini tentunya harus didukung dengan keuangan daerah yang memadai, dimana daerah mampu memenuhi kebutuhan pembangunan daerahnya sendiri sehingga daerah dapat dikatakan mandiri.

Menurut Kartasasmita dalam Triastuti (2005), mengatakan bahwa kemandirian adalah hakikat dari kemerdekaan yaitu hakikat dari setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Tujuan pelaksanaan otonomi salah satunya memberikan peluang bagi kemandirian daerah untuk mengelola keuangannya sendiri melalui pelimpahan kewenangan dalam bentuk desentralisasi fiskal. Kemandirian fiskal menjadi hal yang sangat penting bagi daerah, terutama terkait dengan sumbangan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.

Menurut Halim (2007), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah:

1. Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan


(48)

menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan.

2. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah.

Semakin baik kinerja keuangan suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan yang positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan pembangunan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi pada daerah tersebut. Dengan kata lain menurut Zaenudin (2008), keberhasilan pengembangan otonomi daerah dapat dilihat dari derajat otonomi fiskal daerah, yaitu perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan total penerimaan daerah (TPD).

Tim Fisipol UGM dan Balitbang Depdagri RI dalam Triastuti (2005) membuat klasifikasi tentang kemampuan daerah (Tabel 2.4). Dikatakan bahwa kemampuan keuangan daerah merupakan kemampuan Daerah Tingkat (Dati) II (sekarang kabupaten/kota) dalam membiayai urusan-urusan rumah tangganya, khususnya yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).


(49)

Tabel 2.4 Kualifikasi Kemampuan Keuangan Daerah

Skala Persentase PAD thdp TPD Kualifikasi

1 0,00 % - 10,00 % Sangat Kurang

2 10,01 % - 20,00 % Kurang

3 20,01 % - 30,00 % Sedang

4 30,01 % - 40,00 % Cukup

5 40,01 % - 50,00 % Baik

6 > 50,00 % Sangat Baik

Sumber: Tim Fisipol UGM & Balitbang Depdagri dalam Triastuti (2005)

2.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian Aisyah (2004) mengenai Keterkaitan antara Indikator Pembangunan Ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia dalam Perekonomian Indonesia, analisis antar wilayah menghasilkan kesimpulan bahwa daerah yang kaya sumber daya alam dan daerah kantong-kantong industri, perdagangan dan jasa memiliki nilai PDRB per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki kelebihan ini. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa daerah yang kaya atau daerah dengan pembangunan ekonomi tinggi ternyata indeks pembangunan manusianya cenderung sama dengan daerah lain yang pembangunan ekonominya sedang. Hubungan pembangunan ekonomi dan indikator-indikator indeks pembangunan manusia tahun 1996 dan 1999 semua mempunyai nilai yang positif dan signifikan pada taraf 10 persen, sedangkan hubungan antara pembangunan ekonomi tahun 2001 dan indikator-indikator indeks pembangunan manusia tahun 2002 mempunyai nilai yang positif tetapi tidak signifikan pada taraf 10 persen.

Penelitian Haryanto (2003) tentang Kemandirian Daerah: Sebuah Perspektif dengan Metode Path Analysis, dapat disimpulkan bahwa esensi utama dari pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berjalan selama 4 tahun di Indonesia adalah mewujudkan kemandirian daerah. Selama ini kemandirian daerah yang kuat diukur dari struktur PAD


(50)

yang antara lain terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan BUMD, namun muncul permasalahan baru apakah diluar struktur PAD terdapat variabel yang juga mempengaruhi tingkat kemandirian. Sebagai proxy dari kemandirian daerah digunakan variabel kapasitas fiskal daerah sedangkan variabel independen yang digunakan adalah pajak daerah, retribusi daerah, PDRB jasa dan Bagi Hasil daerah. Dari hasil olah data dengan menggunakan metode path analysis di dapatkan hasil bahwa variabel Pajak Daerah (PD) dan Bagi Hasil Pajak (BHP) memiliki hubungan signifikan terhadap Kapasitas Fiskal Daerah. Sementara itu varabel Retribusi Daerah dan PDRB jasa tidak terbukti mempengaruhi Kapasitas Fiskal Daerah secara signifikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Landiyanto (2005) tentang Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota Di Era Otonomi Daerah: Studi kasus Kota Surabaya menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Surabaya memiliki ketergantungan yang tinggi pada pemerintah pusat, yang disebabkan oleh belum optimalnya penerimaan dari PAD Kota Surabaya. Oleh Karena itu, Pemerintah Kota Surabaya perlu meningkatkan penerimaan sumber daya dan penerimaan Kota Surabaya agar lebih dapat menyokong PAD.

Penelitian yang dilakukan oleh Puspandika (2007) mengenai Analisis Ketimpangan Pembangunan Di Era Otonomi Daerah : Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Dengan Kesejahteraan Masyarakat menunjukkan bahwa nilai indeks ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia berada pada tingkat yang tinggi. Faktor paling berpengaruh terhadap tingkat pembangunan manusia adalah pengeluaran riil per kapita sedangkan PDRB per kapita tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pembangunan manusia. Antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia tidak terdapat hubungan kausalitas, tetapi korelasi antara keduanya bersifat positif.


(51)

Penelitian yang dilakukan oleh Yunitasari (2007) yang berjudul Analisis Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Dengan Indeks Pembangunan Manusia Propinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa variabel PDRB per kapita, pengeluaran pemerintah terhadap sektor pendidikan, kebijakan otonomi daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pembangunan manusia, sedangkan variabel Indeks Pemberdayaan Jender (IDJ) berpengaruh positif terhadap pembangunan manusia tetapi tidak signifikan. Kemudian kemiskinan dan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan memiliki pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap pembangunan manusia.

2.6 Kerangka Pemikiran

Pembentukan daerah otonom didasarkan atas berbagai pertimbangan, yaitu kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lainnya yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah (Ghozali et al., 2001).

Jawa Barat merupakan propinsi dengan wilayah administratif yang terdiri dari pemerintah daerah otonom kabupaten dan kota. Masing-masing kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat memiliki modal pembangunan berupa potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang beragam. Hal ini akan mengakibatkan pada beragamnya pembangunan kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat karena sejak pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001 daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan di daerah masing-masing secara lebih otonom dan mandiri.

Pembangunan daerah yang dilaksanakan secara otonom harus disertai dengan penguatan penerimaan fiskal daerah sebagai landasan bagi perencanaan dan


(52)

pelaksanaan pembangunan. Hal ini menuntut kepada setiap daerah untuk dapat mengoptimalkan pendapatan asli daerah sebagai sumber penerimaan dan pembiayaan daerah disamping dana alokasi umum dari pemerintah pusat. Prinsip pemberian dana alokasi umum adalah untuk memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah, dengan demikian pemberian dana alokasi umum tergantung dengan kapasitas fiskal daerah yang terlihat dari pendapatan asli daerah. Tingkat kemandirian suatu daerah dapat diukur dari kemampuan pendapatan asli daerah dalam membiayai pembangunan daerahnya. Jika suatu daerah semakin mandiri maka dengan pendapatan asli daerah akan semakin mampu membiayai pembangunan daerahnya sendiri, sehingga dana alokasi umum kepada daerah tersebut akan semakin kecil.

Tujuan utama pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik dimasa yang akan datang melalui pembangunan manusia yang dapat diukur atau dinilai dari Indeks Pembangunan Manusia. IPM merupakan ukuran keberhasilan pembangunan manusia yang tersusun dari Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) dan Paritas Daya Beli (PPP).


(53)

Kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat

Daerah Otonom

16 Kabupaten dan 9 Kota di Jawa Barat

Pembangunan Daerah Penerimaan Pemerintah

Pembangunan Manusia Kemandirian Fiskal Daerah

Dana Alokasi Umum/Total Penerimaan

Daerah

Pendapatan Asli Daerah/Total Penerimaan Daerah

Indeks  Pembangunan 

Manusia : 

1. Angka  harapan 

Hidup (AHH) 

2. Angka Melek Huruf 

(AMH) 

3. Rata‐rata  Lama 

Sekolah (RLS 

4. Kemampuan  Daya 

Beli/Purchasing  Power Parity (PPP)  Komponen PAD :

1. Pajak 

2. Retribusi 

3. BHUMD 

4. Lain‐lain 

Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Barat


(54)

Kinerja pemerintah daerah yang baik akan mampu menghasilkan daerah yang mandiri dalam pembiayaan dan pelaksanaan pembangunan daerah. Kemandirian daerah akan tercapai melalui optimalisasi dan perluasan pajak daerah, retribusi daerah, laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. Daerah yang mandiri akan mampu melaksanakan pembangunan daerah dengan baik sehingga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat yang meningkat dapat dilihat dari angka harapan hidup yang semakin tinggi, angka melek huruf yang semakin baik, rata-rata lama sekolah yang semakin tinggi dan paritas daya beli yang meningkat. Kemandirian daerah dalam mewujudkan pembangunan daerah akan menghasilkan IPM yang semakin baik.

2.7 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pernyataan dan latar belakang seperti diatas, maka disusunlah hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) mempunyai hubungan yang negatif dengan Dana

Alokasi Umum (DAU). Semakin tinggi PAD maka pemberian DAU dari pusat akan semakin rendah.

2. PAD mempengaruhi dan mempunyai hubungan positif dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

3. Komponen-komponen PAD yaitu pajak daerah, retribusi daerah, laba badan usaha milik daerah dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah mempengaruhi dan mempunyai hubungan yang positif terhadap IPM. Semakin besar komponen PAD maka akan memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pendanaan pembangunan sehingga performance pembangunan manusia akan meningkat.


(55)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi: (1) Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 16 kabupaten dan 6 kota di Jawa Barat, terdiri dari: sisi penerimaan yang meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu pajak, retribusi, laba badan usaha milik daerah dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah, Dana Perimbangan yaitu: Dana Alokasi Umum (DAU); (2) Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM), terdiri dari: Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), Paritas Daya Beli (PPP) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Data-data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat Jakarta dan BPS Jawa Barat, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat, hasil-hasil penelitian terdahulu, jurnal-jurnal, fasilitas internet, dan bahan literatur lainnya untuk melengkapi data-data yang diperlukan.

3.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua metode analisis yaitu analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Pengolahan data yang digunakan untuk menganalisis seluruh analisis dalam penelitian ini menggunakan program software

Microsoft Excel 2003 dan E-views 4.1. Hasil pengolahan data disajikan pada bagian

lampiran. Untuk menjelaskan hasil analisis, dikutip beberapa bagian dan dituliskan dalam bab hasil dan pembahasan.


(56)

3.2.1 Metode Deskriptif

Metode deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole, 1995). Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran.

Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan pembangunan manusia (IPM) dan tingkat kemandirian fiskal Propinsi Jawa Barat. Analisis deskriptif dilakukan dengan membaca tabel dan grafik untuk melihat kecenderungan dari perkembangan data-data komponen atau variabel yang digunakan dalam penelitian ini.

3.2.2 Analisis Panel Data

Menurut Gujarati (1978), data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data

cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu

sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Metode data panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau cross section.

Kelebihan yang diperoleh dari penggunaan data panel adalah: 1. Dapat mengendalikan keheterogenan individu atau unit cross section.

2. Dapat memberikan informasi yang lebih luas, mengurangi kolinearitas diantara variabel, memperbesar derajat bebas dan lebih efisien.


(57)

3. Dapat lebih baik untuk mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series.

4. Lebih sesuai untuk mempelajari dan menguji model perilaku (behavioural models) yang kompleks dibandingkan dengan model data cross section atau time series. 5. Panel data lebih baik untuk studi dynamic of adjustment.

Untuk menganalisis tingkat kemandirian daerah serta hubungan antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan tingkat kemandirian fiskal dilakukan secara kuantitatif. Data yang digunakan adalah data panel atau pooled data (pooling cross

section-time series regression). Unit cross section yang digunakan adalah 16 kabupaten

dan 6 kota. Unit time series yang digunakan yaitu 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006. Estimasi model yang menggunakan data panel dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu metode kuadrat terkecil (pooled least square), metode efek tetap (fixed

effect) dan metode efek random (random effect).

3.2.2.1 Metode Pooled Least Square

Metode kuadrat terkecil biasa diterapkan dalam data yang berbentuk pool merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel. Misalkan terdapat persamaan berikut ini:

Yit = α + βj xjit + it untuk i = 1, 2, ..., N dan t = 1, 2, ..., T (3.1)

dimana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode waktunya. Dengan mengasumsikan komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil biasa, kita dapat melakukan proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross

section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cross section sebagai


(58)

Yit = α + βj xjit + it untuk i = 1, 2, ..., N (3.2)

Yang akan berimplikasi diperoleh sebanyak T persamaan yang sama. Begitu juga sebaliknya, kita juga akan dapat memeperoleh persamaan deret waktu (time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi dengan α dan β konstan sehingga akan diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi. Akan tetapi dengan demikian tidak dapat melihat perbedaan antar individu maupun antar waktu.

3.2.2.2 Model Efek Tetap (Fixed Effect)

Masalah terbesar dalam pendekatan metode pooled least square adalah asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar individu maupun antar waktu yang mungkin tidak beralasan. Generalisasi secara umum sering dilakukan adalah dengan memasukan variabel boneka (dummy variable) untuk menghasilkan nilai parameter yang berbeda-beda baik lintas unit cross section maupun antar waktu.

Secara umum, pendekatan fixed effect dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:

Yit = αi + βj xjit + eit (3.3)

dimana:

Yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i αi = intersep yang berubah-ubah antar cross section unit βj = parameter untuk variabel ke j

xjit = variable bebas j di waktu t untuk unit cross section i eit = komponen error di waktu t untuk unit cross section i


(1)

112

Lampiran 11. Hasil Estimasi PAD Terhadap IPM Kabupaten/Kota di Propinsi

Jawa Barat Tahun 2002 - 2006

Dependent Variable: LOG(IPM?) Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 09/09/08 Time: 11:36

Sample: 2002 2006 Included observations: 5

Number of cross-sections used: 22 Total panel (balanced) observations: 110 One-step weighting matrix

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(PAD?) 0.069966 0.002371 29.50849 0.0000 Fixed Effects _KBR--C 2.896300 _KSI--C 2.990563 _KCR--C 2.968529 _KBGCMH--C 2.961750 _KGT--C 2.967642 _KTA--C 3.038852 _KCSBJR--C 3.065267 _KKN--C 3.023400 _KCN--C 2.916964 _KMA--C 3.010363 _KSG--C 3.014930 _KIU--C 2.927746 _KSU--C 2.985677 _KPA--C 2.998715 _KKG--C 2.910848 _KBI--C 2.939626 _BOG--C 3.067797 _SUK--C 3.093071 _BAN--C 2.993879 _CIR--C 3.052206 _BEK--C 3.020941 _DEP--C 3.101479 Weighted Statistics

R-squared 0.999982 Mean dependent var 6.433922 Adjusted R-squared 0.999978 S.D. dependent var 3.911660 S.E. of regression 0.018367 Sum squared resid 0.029348 F-statistic 224731.3 Durbin-Watson stat 1.563847


(2)

113 Unweighted Statistics

R-squared 0.918432 Mean dependent var 4.236103 Adjusted R-squared 0.897806 S.D. dependent var 0.057535 S.E. of regression 0.018393 Sum squared resid 0.029432 Durbin-Watson stat 1.373901


(3)

114

Lampiran 12. Hasil Pengujian Hausman Test PAD Terhadap IPM

Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002 - 2006 Correlated Random Effects - Hausman Test

Pool: POOL01

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. Cross-section random 5.423258 1 0.0199


(4)

115

Lampiran 13. Hasil Estimasi Komponen PAD Terhadap IPM Kabupaten/Kota

di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002 - 2006 Dependent Variable: LOG(IPM?)

Method: GLS (Variance Components) Date: 09/09/08 Time: 11:38

Sample: 2002 2006 Included observations: 5

Number of cross-sections used: 22 Total panel (balanced) observations: 110

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 3.351555 0.117367 28.55613 0.0000 LOG(PJK?) 0.022214 0.008459 2.626101 0.0099 LOG(RTBS?) 0.016882 0.006392 2.641290 0.0095 LOG(BHUMD?) 0.017653 0.004433 3.982319 0.0001 LOG(LAIN?) -0.000720 0.004571 -0.157462 0.8752 Random Effects _KBR--C -0.092017 _KSI--C -0.022581 _KCR--C -0.037760 _KBGCMH--C -0.015317 _KGT--C -0.021471 _KTA--C 0.027487 _KCSBJR--C 0.064504 _KKN--C 0.011167 _KCN--C -0.079143 _KMA--C 0.016061 _KSG--C 0.005903 _KIU--C -0.059390 _KSU--C -0.026264 _KPA--C -0.006695 _KKG--C -0.074224 _KBI--C -0.034556 _BOG--C 0.051265 _SUK--C 0.098531 _BAN--C 0.012013 _CIR--C 0.055406 _BEK--C 0.031340 _DEP--C 0.095742 GLS Transformed Regression

R-squared 0.901347 Mean dependent var 4.238331 Adjusted R-squared 0.897588 S.D. dependent var 0.057947 S.E. of regression 0.018544 Sum squared resid 0.036107 Durbin-Watson stat 1.206217


(5)

116 Unweighted Statistics

including Random Effects

R-squared 0.922374 Mean dependent var 4.238331 Adjusted R-squared 0.919416 S.D. dependent var 0.057947 S.E. of regression 0.016449 Sum squared resid 0.028411 Durbin-Watson stat 1.532948


(6)

117

Lampiran 14. Hasil Pengujian Hausman Test Komponen PAD Terhadap IPM

Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002 – 2006 Correlated Random Effects - Hausman Test

Pool: POOL01

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. Cross-section random 9.246144 4 0.0552