PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT THERAPY MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA RESEPTOR ANDROGEN PADA KELENJAR PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN YANG DIKASTRASI.

(1)

i

TESIS

PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT

THERAPY MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA

RESEPTOR ANDROGEN PADA KELENJAR

PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

JANTAN YANG DIKASTRASI

LUH ARI ARINI

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

TESIS

PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT

THERAPY MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA

RESEPTOR ANDROGEN PADA KELENJAR

PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

JANTAN YANG DIKASTRASI

LUH ARI ARINI NIM 1490761001

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

PEMBERIAN TESTOSTERONE REPLACEMENT

THERAPY MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA

RESEPTOR ANDROGEN PADA KELENJAR

PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

JANTAN YANG DIKASTRASI

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

LUH ARI ARINI NIM 1490761001

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iv

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 18 JULI 2016

Pembimbing I

Prof. Dr.dr Wimpie I. Pangkahila, SpAnd., FAACS NIP. 194612131971071001

Pembimbing II

Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro NIP. 194612311969021001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK NIP.195805211985031002

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195902151985102001


(5)

v

Tesis Ini Telah Diuji Dan Dinilai Oleh Panitia Penguji Pada

Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal 18 Juli 2016

Panitian Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.:..., Tanggal...

Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS

Anggota :

1. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro 2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And

3. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK


(6)

vi

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : Luh Ari Arini Nim : 1490761001

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (IKR)

Judul : Pemberian Testosterone Replacement Therapy Meningkatkan Ekspresi mRNA Reseptor Androgen Pada Kelenjar Prostat Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Jantan Yang Dikastrasi.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat

Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat pada karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No.17 tahun 2010 dan peraturan perundang-undang yang berlaku.

Denpasar, 9 Juni 2016 Yang membuat pernyataan,


(7)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung wara nugraha-Nya tesis yang berjudul ”Pemberian Testosterone Replacement Therapy Meningkatkan Ekspresi mRNA Reseptor Androgen pada Kelenjar Prostat Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Jantan Yang Dikastrasi” ini dapat terselesaikan dengan baik.

Berkat petunjuk, bimbingan, serta bantuan dari berbagai pihak, segala hambatan dan rintangan dalam penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. dr. Putu Astawa. M.Kes, Sp.OT, FICS selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Universitas Udayana.

3. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku Direktur program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Pascasarjana Universitas Udayana.

4. Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK., selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana


(8)

viii

atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Biomedik (IKR).

5. Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS., selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis.

6. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis.

7. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And selaku penguji yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

8. Prof. dr. I.G.M. Aman, Sp.FK selaku penguji yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

9. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M. Repro selaku penguji yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

10. Dr. I.G.N Sri Wiryawan, M.Repro selaku Kepala Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan untuk melakukan penelitian di Laboratorium Histologi.

11. dr. I.G.K Nyoman Arijana, Msi.Med., yang telah banyak membantu dalam proses penelitian.


(9)

ix

12. Para dosen pengajar Magister Ilmu Biomedik, teman-teman sependidikan, para staf bagian Biomedik serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas bimbingan, ilmu dan bantuan yang diberikan selama ini.

Tak lupa dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan permohonan maaf apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini dan penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi penulis pribadi, bagi pembaca dan seluruh pihak yang berkepentingan.

Denpasar, 15 Mei 2016


(10)

x ABSTRAK

PEMBERIAN TESTOSTERONEREPLACEMENT THERAPY

MENINGKATKAN EKSPRESI mRNA RESEPTOR ANDROGEN PADA

KELENJAR PROSTAT TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN

YANG DIKASTRASI

Istilah andropause merupakan keadaan penuaan pada pria yang terjadi secara alami, diawali dengan menurunnya fungsi testis sehingga menimbulkan penurunan hormon testosteron. Defisiensi testosteron akan menimbulkan masalah khususnya pada pria tua seperti gangguan vasomotor, penurunan body performance, penurunan densitas tulang, menurunnya libido, disfungsi ereksi, disfungsi ejakulasi yang akhirnya mempengaruhi keadaan psikologis pria tersebut. Pengaruh defisiensi testosteron pada kelenjar prostat akan menyebabkan atropi kelenjar yang akhirnya dapat mempengaruhi volume cairan seminal yang penting ketika ejakulasi. Pemberian testosterone replacement therapy merupakan cara yang efektif digunakan untuk memulihkan keadaan defisiensi tersebut. Pemberian preparat testosteron dapat meningkatkan struktur jaringan kelenjar prostat, yang kerjanya dimediasi oleh reseptor androgen melalui mekanisme autoregulasi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan pemberian testosterone replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar jantan yang dikastrasi.

Penelitian ini menggunakan post test only control group design terhadap 36 ekor tikus wistar jantan yang dikastrasi, dan ditunggu efeknya selama 21 hari, tikus dibagi menjadi 2 kelompok yaitu, kelompok kontrol (diberikan injeksi aquadest secara intramuskuler) dan kelompok perlakuan (diberikan injeksi Sustanon 250 secara intramuskuler dengan dosis 4,5 mg/ 250 gr BB tikus), dengan jadwal injeksi 1 minggu sekali selama 21 hari/ 3 minggu. Pada minggu ke-8 tikus pada masing-masing kelompok dieuthanasia lalu diterminasi dan diambil kelenjar prostatnya untuk dianalisis ekspresi mRNA reseptor androgen dengan menggunakan metode realtime PCR. Oleh karena data berdistribusi normal maka analisis statistik yang digunakan yaitu independent-t test dengan taraf kemaknaan

(α=0,05).

Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata ekspresi mRNA reseptor androgen prostat pada kelompok kontrol (0,57 + 0,17 pg/µl) dan kelompok perlakuan (0,77 + 0,21 pg/µl). Dengan independent-t test didapatkan bahwa terjadi peningkatan mRNA reseptor androgen secara bermakna pada kelompok perlakuan dimana p= 0,003 (p<0,05).

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa pemberian testosterone replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus kastrasi. Saran yang dapat disampaikan yaitu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait peranan DHT terhadap ekspresi reseptor androgen pada kelenjar reproduksi.

Kata kunci: testosterone replacement therapy, mRNA reseptor androgen dan kelenjar prostat.


(11)

xi ABSTRACT

ADMINISTRATION OF TESTOSTERONE REPLACEMENT THERAPY INCREASED ANDROGEN RECEPTOR EXPRESSION OF mRNA IN PROSTATE GLAND OF MALE CASTRATED WISTAR RATS (Rattus

norvegicus)

Andropause is the aging process occurs naturally on men, it is preceeded by deficiency of the testicular function resulting in a decrease of testosterone hormone. This creates some problems to old men like vasomotor dysfuction, decreases on body performance, bone density, and libido, dysfunction of erection and ejaculation that consequently affect the psychological condition of the men. Testosterone deficiency effects on the genital accessories like prostate gland, will cause atrophy on the gland and affect the volume of important seminal liquid for ejaculation. The administration of testosterone replacement therapy an effective way to recover the deficiency. Administration the testosterone increased tissue structure of prostate gland, that is mediated by androgen receptor through autoregulation mechanism. This research was aimed to prove that administration of testosterone replacement therapy increased androgen receptor expression of mRNA in prostate gland of male castrated wistar rats.

This research used post test only control group design towards 36 castrated male wistar rats, with 21 days awaiting effects. The rats were divided into 2 groups namely, controlled group (aquades intramuscularly injected) and treated group (sustanon 250 intramuscularly injected with dosage of 4,5mg/ 250 gram of rat weight), with weekly injection sehedule for 21 days/ 3 weeks. In 8th week, euthanasia was done to the rats on each group to be dissected to get the prostate gland. The androgen receptor expression of mRNA was analyzed by realtime PCR method. Since the data were normally distributed, then independent t-test statistical analysis was used, with level of significance (α = 0.05).

The result of the analysis showed that the mean of mRNA expression of prostate androgen receptor on the controlled group was (0,57 + 0,17 pg/µl), and (0,77 + 0,21 pg/µl) on the treated group. With the independent-t test indicates that androgen receptor of mRNA increased significantly on the treated group with p = 0,003 (p<0.05).

The study concluded that administration of testosterone replacement therapy increased androgen receptor expression of mRNA in prostate gland of male castrated wistar rats. Thus, it was suggested that further research was required of the need to be conducted in relation to the role of DHT towards androgen receptor expression on reproductive gland.

Keywords: testosterone replacement therapy, mRNA androgen receptor and prostate gland.


(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DEPAN ... i

SAMPUL DALAM ... ii

PERSYARATAN GELAR... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... vi

UCAPAN TERIMA KASIH... vii

ABSTRAK... x

ABSTRACT... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat akademik... 6

1.4.2 Manfaat praktis... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hipogonad ... 8

2.1.1 Definisi ... 8

2.1.2 Etiologi ... 10

2.1.3 Fisologi ... 11

2.1.4 Penatalaksanaan pada hipogonad ... 14

2.1.5 Syarat penggunaan testosterone replacement therapy... 15

2.2 Tikus Galur Wistar (Rattus norvegicus) ... 16

2.2.1 Karakteristik tikus ... 16

2.2.2 Sistem reproduksi pada hewan mamalia ... 17

2.3 Reseptor Androgen Pada Tikus ... 23

2.4 Messenger Ribonucleid Acid (mRNA) ... 30

2.5 Reseptor Androgen Pada Kelenjar Prostat ... 32

2.6 Hormon Testosteron... 35

2.6.1 Pada manusia... 35

2.6.2 Pada mamalia... 39

2.7 Pengobatan LOH Dengan Testosterone Replacement Therapy... 41


(13)

xiii

2.7.2 Efek samping testosterone replacement therapy... 46

2.7.3 Kontraindikasi testosterone replacement therapy... 47

2.7.4 Monitoring pemberian testosterone replacement therapy... 48

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir ... 50

3.2 Konsep Penelitian ... 52

3.3 Hipotesis Penelitian ... 52

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 53

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 54

4.3 Penentuan Sumber Data ... 54

4.3.1 Populasi ... 54

4.3.2 Populasi terjangkau ... 55

4.3.3 Teknik sampling ... 55

4.3.4 Besar sampel ... 55

4.3.5 Kriteria sampel ... 56

4.3.5.1 Kriteria inklusi ... 56

4.3.5.2 Kriteria drop out ... 56

4.4 Variabel Penelitian ... 56

4.4.1 Identifikasi variabel... 56

4.4.2 Klasifikasi variabel ... 56

4.4.3 Hubungan antar variabel ... 57

4.4.4 Definisi operasional... 57

4.5 Bahan dan Alat penelitian ... 58

4.5.1 Bahan penelitian ... 58

4.5.2 Alat penelitian ... 59

4.6 Prosedur Penelitian ... 61

4.6.1 Pemilihan dan pemeliharaan hewan uji... 61

4.6.2 Pelaksanaan penelitian... 61

4.6.3 Metode analisis PCR... 63

4.6.4 Alur penelitian... 66

4.7 Analisis data ... 67

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Analisis Deskriptif... 68

5.1.1 Analisis deskriptif pada studi pendahuluan... 69

5.2 Distribusi Dan Homogenitas Data Hasil Penelitian... 70

5.2.1 Uji normalitas data... 70

5.2.2 Uji homogenitas data... 71

5.3 Uji Efek Perlakuan... 71

5.3.1 Uji efek perlakuan pada studi pendahuluan... 73

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subyek Penelitian... 74


(14)

xiv

6.2 Penurunan ekspresi mRNA AR pada prostat pasca kastrasi... 74 6.3 Peningkatan ekspresi mRNA AR pada prostat setelah pemberian

testosterone replacement therapy... 79 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan... 86 6.2 Saran... 86

DAFTAR PUSTAKA... 87 LAMPIRAN


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Kadar Testosteron Dan Kadar Testosteron SHBG... 13

2.2 Data Biologis Tikus... 17

2.3 Ekspresi Relatif mRNA AR Beberapa Organ Tikus Jantan... 28

2.4 Kadar Hormon Normal Pada Laki-Laki Dewasa... 38

4.1 Primer Androgen... 64

4.2 Langkah-Langkah Amplifikasi... 64

5.1 Rerata Umur Kelompok Kontrol Dan Perlakuan... 68

5.2 Rerata BB Kelompok Kontrol Dan Perlakuan... 69

5.3 Rerata Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Perlakuan... 69

5.4 Rerata Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Perlakuan... 70

5.5 Hasil Uji Normalitas Data Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Perlakuan... 70

5.6 Hasil Uji Homogenitas Data Ekspresi mRNA AR Kelompok Kontrol Dan Perlakuan... 71

5.7 Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan Perlakuan... 71

5.8 Perbedaan Rerata Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan Perlakuan... 73


(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Sistem Reproduksi Tikus Jantan... 18

2.2 Anatomi Kelenjar Prostat... 20

2.3 Histologi Kelenjar Prostat... 22

2.4 Analisis Struktur DNA Komplemen Dari AR Pada Tikus... 24

2.5 Aktivasi Dari Reseptor Hormon Steroid... 25

2.6 Struktur Kimia Hormon Testosteron... 35

3.1 Bagan Konsep Penelitian... 52

4.1 Rancangan Penelitian... 53

4.2 Hubungan Antar Variabel... 57

4.3 Alur Penelitian... 66

5.1 Perbandingan Ekspresi mRNA AR Antara Kelompok Kontrol Dan Perlakuan... 72


(17)

xvii

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH

A : Adenin

ACTB : Actin Beta

ACTH : Adenocortcotropic Hormone

ADAM : Androgen Deficiency In Aging Male

ADF : Age Dependent Factor

AR : Androgen Receptor

AREs : Androgen Respone Elements

BB : Berat Badan

BPH : Benign Prostate Hyperplasia

C : Citosin

Ct : Cycle Threshold

cDNA : complementary Deoxyribonucleic Acid DHEA : Dehydroepiandrosterone

DHT : Dihydrotestosterone DNA : Deoxyribonucleic Acid FAI : Free Androgen Index

FSH : Follicle Stimulating Hormone

G : Guanin

GF : Growth Factor

GH : Growth Hormone

GnRH : Gonadotrophin-Releasing Hormone

GR : Glucocotcicoid Receptor

gr : Gram

hAR : Human Androgen Receptor hCG : Human Chorionic Gonadotropin HPG : Hypothalamic-Pituitary-Gonadal

HSP : Heat Shock Protein

IGF : Insulin Growth Factor

IIEF : International Index Of Erection Function

IUPAC : International Union Of Pure And Applied Chemistry

kDa : kilo-Dalton

LBD : Ligand Binding Domain

LH : Luteinizing Hormone

LOH : Late Onset Hypogonadism

µl : Mikroliter

mg : miligram

MR : Mineralcorticoid Receptor

mRNA : messenger Ribonucleic Acid ng/ml : Nanogram per mililiter PBP : Prostate Binding Protein

PC3 : Prostate Cancer Line-3


(18)

xviii PSA : Prostate Specific Antigen

PR : Progesterone Receptor

rAR : rat Androgen Receptor

REST : Relative Expression Software Tool ROS : Reactive Oxygen Species

SHBG : Sex Hormone Binding Globulin

Slp : Sex Limited Protein

SPSS : Statistical Package For The Social Sciences SRCs : Steroid Receptor Coactivators

T : Timin

TRT : Testosterone Replacement Therapy TSH : Tyroid Stimulating Hormone USA : United State Of America

5’UTR :Untranslated Region’5

1-step qRT-PCR : quantification Realtime Poly Chain Reaction LAMBANG :

% : Persentase

/ : Per

º : Derajat

= : Sama dengan

® : Registered

ISTILAH :

Apoptosis : kematian sel yang terprogram Atropi : penyusutan organ

Coactivators : Pengaktif

Down-regulates : regulasi menurun et. al : dan kawan-kawan Immature : belum matang inflamasi : peradangan Intact : kontrol sehat

In Vitro : kondisi di luar organisme yang dibuat sama dengan lingkungan normalnya seperti pembiakan/kultur jaringan In Vivo : kondisi di dalam pada suatu organisme hidup

Leading gene : sintesis untaian DNA baru saat replikasi Ligand-activated : ligan yang telah aktif

Ligand-dependent : ligan yang saling terikat P53 : protein tumor suprressor gen

P21 : protein inhibitor ciklin dependent kinase reexpression : diekspresikan kembali


(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Administrasi Penelitian... 96

Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian... 98

Lampiran 3 Hasil penelitian dengan metode realtime PCR... 101

Lampiran 4 Tabulasi Data Ekspresi Absolut mRNA AR... 104

Lampiran 5 Hasil realtime PCR studi pendahuluan... 105

Lampiran 6 Karakteristik sampel penelitian... 107

Lampiran 7 Konversi Dosis... 108

Lampiran 8 Hasil Output SPSS... 109


(20)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Late-onset hypogonadism (LOH) atau andropause secara klinis dan biokimia dijelaskan sebagai penyakit pada pria tua dengan level serum testosteron di bawah parameter normal dari pria yang lebih muda dan sehat, hal ini terjadi oleh karena penurunan fungsi testis yang bertugas memproduksi hormon testosteron tersebut.

Pria andropause memiliki gejala-gejala dari defisiensi testosteron seperti penurunan libido, disfungsi ereksi, gangguan ejakulasi, penurunan massa otot, peningkatan lemak tubuh, penurunan densitas tulang, penurunan body performance dan hilangnya mood yang akhirnya mempengaruhi psikis serta menimbulkan masalah pada kualitas hidup (Nieschlag et al., 2005).

Andropause secara alami biasanya terjadi pada rentang usia antara 40-60 tahun yang dilaporkan pada Massachusetts Male Aging Study (Araujo et al., 2004). Sekitar 30% dari pria usia 60–70 tahun dan 70% dari pria usia 70–80 tahun terjadi penurunan bioavailable atau level free testosterone (Cunningham et al., 2004). Testosteron menurun sekitar satu persen per tahun setelah usia 30 tahun (Borst et al., 2007). Prevalensi dari total serum testosteron antara usia 45 tahun atau yang lebih tua sekitar 39% (Mulligan et al., 2006).

Kriteria kadar testosteron yang rendah terkait usia yaitu konsentrasi total serum testosteron kurang dari 200 ng/dl dikatakan sebagai hipogonad, prevalensi hipogonad meningkat seiring peningkatan usia (Borst et al., 2007). Seiring


(21)

2

bertambahnya usia, selain terjadi penurunan fungsi reproduksi pria yang menyebabkan penurunan jumlah testosteron bebas dan availabilitasnya, terjadi juga peningkatan sex hormone binding globulin (SHBG) sehingga pembentukan deoxyribonucleic acid (DNA), messenger ribonucleic acid (mRNA), protein termasuk growth factor (GF) juga menurun (Cunningham et al., 2004).

Kejadian hipogonad pada hewan coba dapat dibuktikan dengan cara kastrasi (pengangkatan organ testis), didapatkan bahwa kadar testosteron menurun secara drastis seperti pada percobaan yang dilakukan oleh Justulin et al. (2006), bahwa pada tikus jantan usia 3 bulan didapat kadar testosteron pada kontrol sekitar 9 ng/ml dan pada tikus yang dikastrasi (setelah 21 hari) sekitar 0,05 ng/ml. Tahun 2005 ditemukan bahwa konsentrasi testosteron pada tikus tua usia 30 bulan (sekitar 0,8 ng/ml) lebih rendah dibandingkan dengan tikus yang lebih muda yang berusia 3 bulan (sekitar 1,8 ng/ml) (Wang et al., 2005).

Pengaruh hormon testosteron pada organ reproduksi pria selain pada testis dan penis, juga berpengaruh pada organ-organ lainnya yaitu untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan kelenjar aksesori genital pria baik morfologi maupun fisiologinya, karakteristikpria, vas deferens dan skrotum (Kusdiantoro et al., 2001). Pada literatur sebelumnya efek testosteron yang diblok dengan cara kastrasi, setelah satu minggu signifikan menyebabkan penurunan berat vesikula seminalis (sekitar 0,04%) dan abnormalitas histologi jaringan dibanding kontrol (sekitar 0,2%) (Belanger et al., 2013). Hasil temuan tersebut membuktikan bahwa keadaan defisiensi hormon testosteron akan menyebabkan gangguan pada kelenjar aksesori organ reproduksi pria termasuk pada kelenjar prostat.


(22)

3

Pertumbuhan normal dan diferensiasi epitelium dari kelenjar aksesori khususnya prostat dikontrol dan diregulasi oleh androgen dengan sinyal parakrin, dimediasi oleh reseptor androgen dengan stroma sebagai lokasi reseptor androgen yang berlangsung melalui suatu mekanisme autoregulasi (Gao et al., 2005). Pada kelenjar prostat hormon testosteron akan dikonversi terlebih dahulu menjadi dihydrotestosterone (DHT) oleh enzim 5α-reductase. Androgen khususnya DHT berinteraksi dengan reseptor androgen (androgen receptor/AR) membentuk kompleks androgen-AR, dan akan memacu mRNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi proliferasi, oleh karena itu jika ekspresi AR meningkat maka akan berpengaruh positif juga pada pertumbuhan dari organ target (Culig, 2004), begitu pula sebaliknya.

Penelitian oleh Banerjee et al. (2001), mengatakan bahwa level ekspresi AR menunjukan penurunan dari pertumbuhan pada lobus ventral kelenjar prostat seiring bertambahnya usia. Ekspresi AR pada organ target juga ditemukan menurun jika dikaitkan dengan penuaan (Prakash et al., 2003). Pengaruh defisiensi androgen pada kelenjar prostat akan menyebabkan atropi pada kelenjar karena mekanisme autoregulasi di dalam jaringan tidak terjadi (Wright et al., 2006), pada akhirnya akan mempengaruhi volume cairan seminal terutama yang disekresikan oleh kelenjar prostat yang penting ketika ejakulasi.

Penelitian oleh Justulin et al. (2006), menyatakan bahwa setelah 21 hari kastrasi pada tikus menyebabkan terjadinya penghambatan proliferasi pada prostat dan vesikula seminalis yang dilihat melalui struktur histologi, keadaan tersebut dapat dipulihkan kembali dengan pemberian hormon testosteron. Penelitian oleh


(23)

4

Vargas et al. (2013), membuktikan bahwa pemberian anabolic androgen steroid jenis nandrolone decanoat 10 mg/kg BB pada tikus tua setiap satu minggu menyebabkan perubahan pada struktur prostat seperti berat dan volumenya.

Hasil temuan tersebut memberi kesan bahwa pengaruh testosteron pada tingkat jaringan menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan sel pada jaringan. Perbedaannya pada tingkat molekuler, karena didapatkan bahwa androgen menyebabkan terjadinya down-regulates level AR mRNA pada ventral prostat tikus, namun up-regulates level AR mRNA pada ginjal, otot polos, penis tikus, dan lines prostate cancer (PC3). Androgen juga menimbulkan perbaikan secara utuh dari level nuclear AR pada sel Sertoli khususnya pada tipe sel epitelium (Zhu et al., 2000).

Pemberian androgen terkait pada ekspresi reseptor androgen masih kontroversial, karena studi pada tahun 2001 mengatakan bahwa androgen menyebabkan up-regulates dari AR pada prostat, hal ini disebabkan karena AR teraktivasi oleh karena adanya ikatan bersama androgen (Takeda et al., 2001). Peningkatan sintesis AR merupakan respon sel terhadap hormon androgen (Sanborn et al., 2001). Penelitian selanjutnya oleh Pelletier (2002), menunjukan bahwa pemberian estradiol kombinasi dengan DHT pada tikus setelah kastrasi selama 3 minggu, menginduksi peningkatan prostate binding protein (PBP) secara signifikan. Menurut Shidaifat (2009), dari hasil penelitiannya membuktikan bahwa ekspresi mRNA AR pada kelenjar prostat tidak signifikan berbeda antara hewan muda maupun tua.


(24)

5

Pengaruh testosteron pada reseptor androgen berdasarkan penelitian yang lalu masih sangat beragam, namun berdasarkan teori bahwa androgen dapat meningkatkan AR dalam sel yang ditunjukan pada proliferasi sel. Pemberian hormon testosteron dipastikan dapat memelihara organ reproduksi maupun fungsi tubuh secara umum terutama pada usia tua.

Testosterone replacement therapy merupakan pengganti hormon seks pria saat terjadi defisiensi hormon testosteron yang sesuai dengan pernyataan dari The American Society Of Andrology (2009), juga merekomendasikan testosterone replacement therapy untuk terapi pengganti hormon testosteron pada pria, yang digunakan ketika terdapat tanda dan gejala klinis dari menurunnya level testosteron, yang bertujuan untuk mengurangi keluhan yang dialami oleh pria hipogonad (Surampudi et al., 2011).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh Arini (2016), pada 10 ekor tikus didapatkan terjadinya peningkatan ekspresi mRNA AR antara kelompok perlakuan yang dikastrasi dan diberikan hormon testosteron dengan berbagai dosis (4,5mg, 2,25mg dan 1,5mg), dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya dikastrasi. Pada kelompok perlakuan pertama dengan dosis hormon terbesar memiliki ekspresi mRNA AR paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lain, namun secara statistik tidak signifikan.

Berdasarkan hal tersebut dan karena masih adanya kontroversi terkait pengaruh pemberian testosteron terhadap ekspresi AR seperti pada penelitian sebelumnya, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang


(25)

6

pemberian testosterone replacement therapy yang mana pengaruhnya terhadap ekspresi mRNA AR pada prostat tikus wistar jantan yang dikastrasi.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah pemberian testosterone replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar (Rattus norvegicus) jantan yang dikastrasi?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk membuktikan pemberian testosterone replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar (Rattus norvegicus) jantan yang dikastrasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat akademik

Dapat digunakan untuk memberikan informasi ilmiah dan menambah wawasan tentang pengaruh pemberian testosterone replacement therapy dapat meningkatkan ekspresi mRNA reseptor androgen pada kelenjar prostat tikus wistar jantan yang dikastrasi, yang berguna untuk proliferasi sel dan pemeliharaan organ reproduksi pria.


(26)

7

1.4.2 Manfaat praktis

Dapat digunakan untuk memberi informasi terkait penggunaan terapi sulih hormon testosteron terutama pada pria andropause, namun masyarakat tetap harus berhati-hati dalam penggunaan terapi sulih hormon ini.


(27)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hipogonad

2.1.1 Definisi

Late onset hypogonadism (LOH), juga dikenal sebagai sindrom defisiensi testosteron terkait usia atau disebut juga sebagai andropause merupakan sebuah sindrom yang terjadi pada pria akibat turunnya produksi hormon testosteron, yang sejalan dengan bertambahnya usia dan ditandai dengan gejala defisiensi testosteron.

Penurunan serum testosteron terjadi oleh karena kegagalan hipotalamus untuk mensekresikan gonadotropin releasing hormon (GnRH), dan peningkatan sensitifitas dari hipotalamus-pituitari untuk melakukan feedback negatif efek dari testosteron. Perubahan yang memperbesar kejadian hipogonad terjadi pada hipotalamus dan testis. Penuaan dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada organ-organ reproduksi berupa berkurangnya ukuran dan fungsi dari ovarium, labia, rahim, penis dan testis (Klentze, 2003).

Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormon dan akan mempengaruhi organ targetnya. Kadar serumtestosteron pria muda yang sehat berada pada kisaran (9,8 -10,4nmol/L) (Harman et al., 2001).

Penurunan kadar serum testosteron merupakan keadaan yang berkaitan dengan proses penuaan yang terjadi secara bertahap, sehingga mengakibatkan


(28)

9

terjadi penurunan sekitar 1-2% per tahun (Araujo et al., 2004). Penurunan drastis dari kadar testosteron bioavailable (hingga 50%) dan testosteron bebas biasanya terjadi setelah usia 30 tahun (Kalra et al., 2010).Pria akan mengalami penurunan kadar testosteron darah aktif sekitar 0,8-1,6% per tahun ketika memasuki usia sekitar 40 tahun. Saat mencapai usia 70 tahun, pria akan mengalami penurunan kadar testosteron darah sebanyak 35% dari kadar semula (Nieschlag et al., 2005).

Temuan dari Baltimore Longitudinal Study of Aging (2006), menunjukkan bahwa 30% pria pada dekade kedelapan memiliki nilai total testosteron dalam rentang hipogonadisme (6,9-10,4 nmol/L), dan 50% memiliki nilai testosteron bebas yang rendah (0,17-0,31 nmol/L), serta diperkirakan 500.000 kasus baru LOH terjadi setiap tahun di Amerika Serikat (Goldenberg, 2011).

Masa andropause dapat terjadi oleh karena kegagalan testis (hipogonadisme primer), hipofisis dan kegagalan hipotalamus (hipogonadisme sekunder), serta disfungsi yang berkaitan dengan usia (umumnya kombinasi hipogonadisme primer dan sekunder). Penyebab paling umum dari hipogonadisme primer termasuk sindrom klineferter, distrofi myotonic, anorchidism bawaan, dan radiasi atau kemoterapi. Penyebab dari hipogonadisme sekunder meliputi sindrom kallman dan idiopatik hipogonadisme, tumor hipofisis termasuk prolaktoma (Bebb, 2011). Pada proses penuaan normal pria selain terjadi penurunan hormon testosteron, juga terjadi penurunan hormon-hormon lain seperti: penurunan dehydroephyandrosteron (DHEA/DHEAS), insulin growth factor (IGF) dan growth hormone (GH) (Braunstein, 2011).


(29)

10

Asosiasi Urologi Eropa pada tahun 2012 membagi hipogonadisme pada pria menjadi empat kelas, yakni (Indrayanto, 2011):

1) Hipogonadisme primer disebabkan oleh insufisiensi testis.

2) Hipogonadisme sekunder yang disebabkan oleh disfungsi hipotalamus-hipofisis.

3) Hipogonadisme onset lambat.

4) Hipogonadisme karena insensitivitas reseptor androgen.

American Association of Clinical Endocrinologists juga membagi keadaan hipogonadisme menjadi dua kelas, yakni hipogonadisme hipogonadotropik dan hipogonadisme hipergonadotropik.

2.1.2 Etiologi

Penurunan hormon pada hipogonad terjadi secara perlahan sehingga seringkali tidak menimbulkan gejala. Keluhan baru timbul jika ada penyebab lain yang mempercepat penurunan hormon testosteron dan hormon-hormon lainnya. Beberapa penyebab tersebut antara lain:

1) Faktor lingkungan:

a. Bersifat fisik: bahan kimia yang bersifat estrogenik yang sering digunakan dalam bidang pertanian, pabrik dan rumah tangga.

b. Bersifat psikis: suasana lingkungan yang buruk, kebisingan dan perasaan tidak nyaman.

2) Faktor organik (perubahan hormonal): disebabkan karena penyakit-penyakit tertentu seperti diabetes, varikokel, prostatitis kronis, kolesterol dan obesitas.


(30)

11

3) Faktor psikogenik: penyebab psikogenik sering dianggap sebagai faktor timbulnya berbagai keluhan andropause setelah terjadi penurunan hormon testosteron.

2.1.3 Fisiologi

Testosteron merupakan hormon seks steroid pria (androgen) yang terpenting, yang terbentuk dari kolesterol. Testosteron disekresikan oleh sel-sel interstitial Leydig di dalam testis. Testis mensekresi beberapa hormon kelamin pria, yang secara bersamaan disebut dengan androgen, termasuk testosteron, dehidrotestosteron dan androstenedion. Testosteron jumlahnya lebih banyak dari yang lain sehingga dapat dianggap sebagai hormon testiskuler yang terpenting (Nieschlag et al., 2010).

Androgen pada umumnya (testosteron, dehidrotestosteron, androstenedion, 17-ketosteroid) sangat dibutuhkan untuk perkembangan sifat-sifat seks primer maupun sekunder (maskulinitas) pada laki-laki. Testosteron sebagian besar (95%), disekresikan oleh sel Leydig di dalam jaringan testis dan sisanya (5%) diproduksi oleh kelenjar adrenal, disamping hormon-hormon steroid yang disebutkan tadi, testis juga memproduksi androgen yang kurang poten (bersifat androgen lemah) seperti DHEA dan androstendion (Baziad, 2002 dalam Braunstein 2011).

Sel-sel Leydig selain memproduksi estradiol, juga mensekresikan (dalam jumlah yang sangat kecil) estron, pregnenolon, progesteron, 17-alfa-hidroksi-progesteron. Dehidrotestosteron dan estradiol tidak hanya disekresikan oleh sel-sel Leydig dari testis saja, tapi hormon-hormon seks steroid tersebut dapat juga dibentuk oleh prekursor androgen dan estrogen pada jaringan seperti jaringan


(31)

12

perifer dari kelenjar adrenal, bahkan 80% dari hormon steroid yang ditemukan dalam peredaran darah berasal dari prekursor androgen (Harman et al., 2001).

Androgen atau testosteron dalam peredaran darah pada umumnya didapatkan dalam bentuk yang terikat dengan suatu molekul protein (binding protein), dan hanya sebagian kecil saja terdapat dalam bentuk yang bebas sebagai free testosterone. Free testosterone hanya dapat ditemukan sekitar 1,6%-2% saja atau sebesar 0,47 – 2,44 ng/dl (Davison, 2006). Pada remaja sekitar 38% testosteron terikat pada protein albumin, selebihnya sebanyak 60% terikat pada globulin, sedangkan pada orang tua testosteron yang terikat dengan globulin sebesar 75% dan terikat pada albumin 23%. Testosteron yang terikat dengan globulin sangat kuat sehingga sulit lepas menjadi free testosteron berbeda dengan ikatan testosteron dengan albumin yang lemah dan mudah lepas (Guyton dan Hall, 2008).

Komponen aktif dari testosteron adalah testosteron terikat albumin dan testosteron bebas yang kemudian diubah oleh enzim aromatase menjadi estradiol

dan oleh enzim 5α reduktase menjadi dehidrotestosteron. Free androgen index (FAI) menunjukan hubungan antara konsentrasi testosteron dengan protein pengikat androgen. Kadar normal testosteron pada pria berada pada kisaran 300ng/dl-700ng/dl, sedangkan FAI berkisar 70-100%, bila FAI < 50%, gejala-gejala andropause akan muncul (Surampudi et al., 2012).

Pada sel-sel targetnya hormon testosteron umumnya akan diubah menjadi dehidrotestosteron, namun di dalam hepar sebagian besar testosteron akan diubah menjadi berbagai macam metabolit, misalnya menjadi androsteron,


(32)

13

epiandrosteron dan etiokholanolon. Metabolit-metabolit tersebut setelah berkonjugasi dengan glucuronic acid akan dikeluarkan melalui urin sebagai 17-ketosteroid. Penentuan kadar 17- ketosteroid di dalam urin, perlu disadari bahwa hanya sekitar 20-30% ketosteroid urin berasal dari testosteron, sedangkan selebihnya berasal dari metabolit hormon steroid adrenal dan lainnya. Dengan demikian penentuan kadar 17- ketosteroid urin tidak dapat dijadikan pedoman untuk menentukan kadar steroid dari testis (McCence dan Huether, 2008).

Kadar testosteron dan kadar testosteron sex hormone binding globulin (SHBG) diklasifikasikan berdasarkan usia seperti tabel berikut ini:

Tabel 2.1

Kadar Testosteron Dan Kadar Testosteron SHBG Kadar testosteron Kadar testosteron SHBG

Usia ng/dl Usia nmol/l

20 - 39 400 - 1080 13 -15 13 - 63

40 - 59 350 - 890 16 - 18 13 -71

>50 350 - 720 >19 11 - 54

(Guyton dan Hall, 2008). Penurunan kadar hormon testosteron pada pria menimbulkan beberapa gejala dan keluhan pada berbagai aspek kehidupan, antara lain :

1) Ganguan vasomotor

Tubuh terasa panas, berkeringat, insomnia, rasa gelisah dan takut terhadap perubahan yang terjadi.

2) Gangguan fungsi kognitif dan suasana hati (psikis)

Mudah lelah, menurunnya konsentrasi, keluhan depresi, dan hilangnya rasa percaya diri, menurunnya motivasi dan inisiatif terhadap berbagai hal.


(33)

14

3) Gangguan virilitas

Menurunnya energi dan tenaga secara signifikan, menurunnya kekuatan dan massa otot, perubahan pertumbuhan rambut dan kualitas kulit, penumpukan lemak pada daerah abdominal, osteoporosis karena berkurangnya densitas tulang serta fraktur tulang yang meningkat.

4) Gangguan seksual

Menurunnya minat terhadap seksual, perubahan tingkah laku dan aktivitas seksual, kualitas orgasme menurun, berkurangnya kemampuan ereksi spontan, berkurangnya kemampuan ejakulasi, mengecilnya testis dan menurunnya volume ejakulasi, menurunnya libido yang berimbas pada menurunnya minat terhadap aktivitas seksual (Guyton dan Hall, 2008). 2.1.4 Penatalaksanaan pada hipogonad

Penatalaksanaan terutama ditujukan agar dapat mengurangi keluhan maupun masalah saat memasuki usia tua. Pada tahap pencegahan, memperbaiki faktor psikologis yang terganggu mempunyai arti penting dalam mempertahankan kesehatan secara umum. Selain faktor psikologis, pria juga perlu menjaga kebugaran jasmani dan menerapkan pola hidup sehat (Wibowo, 2003).

Tujuan penanganan hipogonad yaitu untuk menormalisasikan level serum testosteron dan memperbaiki simptom atau keadaan patologis yang dapat dialami oleh karena defisiensi testosteron. Pengobatan utama hipogonad saat ini adalah pemberian androgen replacement therapy, walaupun hormon yang menurun pada hipogonad terdiri dari bermacam-macam hormon, namun pemberian hormon-hormon multiple saat ini belum lazim dilakukan dan dalam tahap penelitian.


(34)

15

Terapi pengganti yang saat ini hanya dapat diberikan khususnya pada pria hipogonad adalah pemberian hormon testosteron, pemberian terapi perlu dilakukan dengan hati-hati dan konsentrasi testosteron perlu tetap dikontrol mengikuti terapi testosteron, serta tetap memperhatikan kontraindikasi sebelum pemberian terapi (Dandona et al., 2009).

2.1.5 Syarat pemberian testosterone replacement therapy

Syarat pemberian suntikan hormon testosteron menurut FDA, khususnya pada pria harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1) Pria dewasa dengan keadaan defisiensi atau hilangnya endogenous testosteron, seperti keadaan hipogonad primer dan sekunder, maupun hypogonadotropic hypogonad.

2) Terdapat tanda dan gejala hipogonadisme karena penuaan (menggunakan kuisioner ADAM) disertai dengan catatan level testosteron yang rendah. 3) Terkait dengan fungsi seksual (menggunakan domain IIEF-15).

4) Harus dievaluasi dulu penyakit yang menyertai, faktor kausatif, kejadian akut dan medikasi yang potensial menyebabkan penurunan testosteron. 5) Terdapat indikasi seperti peningkatan komposisi tubuh, penurunan minat

seksual, insomnia, sleep apnea, penurunan densitas tulang dan massa otot, kerontokan rambut, hilangnya mood dan perasaan depresi.

6) Kontraindikasi seperti kanker prostat dan kanker payudara.

7) Dilakukan pemeriksaan fisik seperti pemeriksaan bentuk tubuh (genekomastia dan lemak viseral), tekanan darah, rambut, kulit dan pemeriksaan genital seperti: ereksi penis (skor 1-4), jika skor yang didapat


(35)

16

pada pria 1-3 maka pria tersebut mengalami disfungsi ereksi dan pemeriksaan testis menggunakan orchidometer.

8) Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan hormon testosteron (di bawah 300 ng/dl), LH dan FSH, lipid, insulin, kardiovaskuler dan glukosa. 9) Preparat testosterone replacement therapy yang digunakan sesuai kebutuhan

dan pemberian dengan dosis yang tepat serta sesuai dengan demografi penderita dan catatan klinis sebelumnya (jika ada).

10) Evaluasi, follow up dan monitoring selama pemberiannya (Anonim, 2015).

2.2 Tikus Galur Wistar (Rattus norvegicus) 2.3.1 Karakteristik tikus

Tikus yang digunakan untuk penelitian di laboratorium terdiri dari beberapa galur yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-dawley, yang berwarna albino putih berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya, dan galur wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek. Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan salah satu hewan percobaan di laboratorium. Hewan ini dapat berkembangbiak secara cepat dan dalam jumlah yang cukup besar (Kusumawati, 2004). Tikus putih (Rattus norvegicus) berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat.

Tikus jarang berkelahi seperti mencit jantan dan dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat mendengar dan melihat tikus lain, jika dipegang dengan cara yang benar tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit,


(36)

17

tetapi karena hewan ini lebih besar daripada mencit untuk beberapa macam percobaan pada tikus lebih menguntungkan.

Tabel 2.2 Data Biologis Tikus

Karakteristik Ukuran

Berat badan

Jantan : 300 - 400 gram Betina : 250 – 300 gram

Berat lahir : 5 - 6 gram Lama hidup : 2,5 – 3 tahun Temperatur tubuh : 35,9 – 37,5 oC

Kebutuhan air : 8 – 11 ml/100gBB Kebutuhan makan : 5 g/100gBB Frekuensi jantung : 330 – 480 per menit Frekuensi respirasi : 66 – 114 per menit Tidal volume : 0,6 – 1,25 ml Pubertas : 50 – 60 hari Dewasa : 160 – 180 hari Saat dikawinkan

Jantan : 65 – 110 hari Betina : 65 – 110 hari Lama siklus birahi : 4 – 5 hari Lama bunting : 21 -23 hari Jumlah anak perkelahiran : 6 – 12 hari Umur sapih : 21 hari

(Kusumawati, 2004). 2.3.2 Sistem reproduksi pada hewan mamalia

1) Definisi

Sistem reproduksi pada mamalia hampir sama dengan manusia yang merupakan sistem yang menjalankan proses reproduksi yakni proses biologis, merupakan proses untuk memproduksi organisme baru yang bertujuan untuk mempertahankan diri, dan terdiri atas alat-alat reproduksi yang mendukung kegiatan reproduksi dan seksual pada hewan disamping alat-alat tubuh lainnya. Organ genital pada suatu mahluk hidup merupakan kelengkapan alat reproduksi yang berfungsi untuk berkembangbiak dan memperoleh keturunan.


(37)

18

Organ kelamin jantan dan organ kelamin betina berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing. Reproduksi pada tikus jantan diiringi oleh turunnya testis ke skrotum dan diikuti dengan mulainya spermatogenesis. Sekresi GnRH menghasilkan level sekresi testosteron yang meningkat selama pubertas. Luteinizing Hormone (LH) menstimulasi sel Leydig untuk meningkatkan produksi testosteron. Sistem reproduksi pada hewan terdiri atas organ reproduksi (penis, testis dan skrotum, epididimis), saluran reproduksi (vas deferens dan uretra), dan kelenjar seks aksesori (Syamsuharlin, 2011).

Pada mamalia jantan, organ reproduksi utama berupa sepasang testis yang terdapat di dalam skrotum. Saluran reproduksi pada mamalia jantan berfungsi sebagai jalur transportasi sperma (cairan seminal). Testis sebagai organ reproduksi utama memiliki fungsi ganda, yaitu selain untuk menghasilkan gamet (spermatozoa) juga mampu menghasilkan hormon seks pria terutama testosteron (Nuraini, 2014).

Gambar 2.1


(38)

19

2) Kelenjar prostat

a. Anatomi kelenjar prostat

Kelenjar prostat adalah organ genetalia pria yang terletak di bawah buli-buli (kandung kemih), di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Kelenjar ini lebih dikenal daripada kelenjar vesikula seminalis. Prostat Terdiri dari dua bagian yaitu badan prostat dan prostat cryptik. Bagian badan prostat terdapat di belakang ampula dekat di atas uretra pars pelvis, sehingga disebut corpus prostat. Badan prostat berukuran lebar 2,5-4,0 cm dan tebal 1,0-1,5 cm. Bagian prostat yang cryptik disebut pars disseminata, yang mengelilingi uretra pars pelvis. Di bagian dorsal ukurannya mencapai tebal 1,0-1,5 cm, panjang 10-12 cm dan tertutup oleh otot uretra (Herliyani, 2009).

Kelenjar prostat berbentuk lonjong seperti biji kenari, beratnya kurang lebih 20 gram yang mengelilingi uretra, disusun oleh 30-50 kelenjar tubula alveolar/glandular bersama otot polos dan keseluruhan kelenjar dibungkus oleh kapsul yang terdiri atas jaringan ikat. Kelenjar prostat mempunyai rangkaian duktus pendek yang secara langsung disambungkan ke uretra pars prostatika, yang menembus prostat. Otot polos tersebut digunakan untuk melengkapi tenaga yang dibutuhkan untuk ejakulasi.

Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior dari prostat berhubungan dengan kandung kemih, sedangkan bagian inferior bersandar pada diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh lemak retroperitoneal dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal


(39)

20

berbatas pada ampulla recti (Sjamsuhidajat et al., 2010). Anatomi kelenjar prostat ditunjukan pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.2

Anatomi Kelenjar Prostat Tikus (Shen dan Robert, 1997 dalam Kinblom, 2003). Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai menonjol pada masa pubertas, biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra, vas deferens dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul sehingga uretra terfiksasi pada diafrgama tersebut, dan dapat terobek bersama diafragma bila terjadi cedera serta prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur (Kinblom, 2003).

Kelenjar prostat mengandung banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot polos, disamping mengandung jaringan kelenjar. Kelenjar ini ditembus oleh uretra dan kedua duktus ejakulatorius, dan dikelilingi oleh suatu pleksus vena (Sjamsuhidajat et al,. 2010). Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteria vesciralis inferior dan arteria rectalis media. Vena-vena bergabung


(40)

21

membentuk plexus venosus prostaticus yang terletak antara kapsula fibroda dan sarung prostat, dan ditampung oleh vena iliaka interna (Moore et al., 2002). b. Histologi kelenjar prostat

Secara histologi, prostat terdiri dari kelenjar yang dilapisi dua lapis sel, bagian basal adalah epitel kuboid yang ditutupi oleh lapisan sel sekretori kolumnar. Pada beberapa daerah dipisahkan oleh stroma fibromaskular (Kumar et al., 2007). Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromaskuler anterior dan zona periurethra. Zona perifer adalah zona yang paling besar, yang terdiri dari 70% jaringan kelenjar sedangkan zona sentral terdiri dari 25% jaringan kelenjar dan zona transisional hanya terdiri dari 5% jaringan kelenjar. Sebagian besar kejadian BPH terjadi pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer (Junqueira, 2007).

Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel bertingkat silindris atau kuboid. Prostat dikelilingi suatu simpai fibroelastis bersama dengan otot polos. Septa dari simpai ini menembus kelenjar dan membaginya dalam lobus-lobus yang tidak berbatas tegas. Struktur dan fungsi prostat bergantung pada kadar testosteron seperti pada organ reproduksi lainnya (Janqueira dan Carneiro, 2007).


(41)

22

Histologi kelenjar prostat ditunjukan pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.3

Histologi Kelenjar Prostat Pada Tikus (Conti et al., 2005). c. Fisiologi kelenjar prostat

Kelenjar prostat mensekresikan cairan encer, seperti susu yang mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan profibrinolisin. Sekresi kedua bagian ini melalui beberapa muara kecil masuk ke dalam uretra. Sekresinya juga banyak mengandung ion anorganik (Na, Cl, Ca, Mg) (Syamsuharlin, 2011). Selama pengisian, otot-otot kelenjar prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairannya bersifat encer, yang dikeluarkan untuk menambah jumlah cairan seminal yang penting ketika ejakulasi. Sifat cairan prostat yang sedikat basa mungkin penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme sperma, sebagai akibatnya akan menghambat fertilisasi sperma.

Sekret vagina bersifat asam (pH 3,5 – 4) sehingga menyebabkan sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH sekitarnya meningkat menjadi 6-6,5,


(42)

23

cairan prostat yang sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan seminalis lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma (Guyton dan Hall, 2008).

2.3 Reseptor Androgen (AR/androgen receptor) Pada Tikus

Reseptor androgen juga dikenal sebagai nuclear receptor subfamily type dari nuclear receptor yang diaktivasi oleh ikatan dengan ligan dan menginduksi faktor transkripsi, yang juga termasuk reseptor untuk hormon steroid pada hewan mamalia seperti glucocorticoid receptor (GR), mineralcorticoid receptor (MR), progesterone receptor (PR), estrogen receptor (ER) dan androgen receptor (AR) (Marilia et al., 2009).

Analisis struktural dari cDNAs pada hAR (human androgen receptor) dan rAR (rat androgen receptor) mengindikasikan bahwa region dari amino terminal pada AR kaya akan oligo dan poli (amino acid), yang merupakan struktur dari beberapa gen homeotik. Reseptor androgen pada tikus mempunyai lengan atau untaian basa yang kaya akan glutamin, dan terdapat kesamaan sequence antara AR dan GR, PR dan MR dalam domain steroid-binding.

Pada proses hibridasi molekuler cDNA AR digunakan sebagai promotor yang nantinya akan membentuk mRNA AR dalam proses transkripsi. Translasi dari mRNA mengandung 94 dan 76 kDa protein dan bentuk yang lebih kecil pada ikatan DNA serta mempunyai afinitas yang tinggi terhadap androgen, mengindikasikan bahwa organ aksesori genital pria ataupun hewan jantan kaya akan mRNA AR, dan produksi mRNA AR pada organ target terjadi karena mekanisme autoregulasi oleh androgen (Chang et al., 2008).


(43)

24

Gambar 2.4

Analisis Struktur cDNA Dari AR pada Tikus (Chang et al., 2008).

Reseptor androgen bekerja secara bebas yang berinteraksi dan berikatan dengan DNA melalui protein sinyal transduksi di sitoplasma. Reseptor androgen dapat menyebabkan perubahan yang cepat pada fungsi sel yang bebas dari perubahan di gen transkripsi seperti perubahan pada ion transport (Arun et al., 2001).

Fungsi AR sebagai DNA-binding dari faktor transkripsi yang meregulasi ekspresi gen, yang mana jika diberikan testosteron akan masuk ke dalam sel yang sebelumnya telah diubah menjadi DHT, kemudian berikatan dengan reseptornya membentuk kompleks androgen-AR. Setelah pengikatan dengan steroid atau ligannya, AR mengalami perubahan bentuk dan pengeluaran heat shock protein (HSP), sehingga AR menjadi aktif (Davison, 2006). Ikatan androgen dan reseptornya yang terjadi di dalam sel kemungkinan merupakan ikatan spesifik


(44)

25

pada sequence yang dekat dengan promotor dari gen target yang diaktivasi, dan akan menghasilkan modulasi dari inisiasi transkripsi (Arun et al., 2001).

Pada ketiadaan hormon, AR dihubungkan dengan seluler chaperons seperti HSP dan protein lainnya yang berlokasi di sitoplasma dari sel target. Pada saat tersedianya hormon maka hormon yang berdifusi ke dalam sel, akan berikatan dengan reseptor dan menghasilkan perubahan pada AR yang inaktif yaitu perubahan bentuk reseptor dan peristiwa pelepasan hubungan antara reseptor dan HSP, selanjutnya AR menjadi aktif. Kompleks androgen bersama reseptornya yang telah terbentuk tersebut kemudian mengalami dimerisasi, phosphorylation dan selanjutnya translokasi ke dalam nukleus dan berikatan pada sequence DNA target (hormone response element/HRE). Di dalam nukleus, interaksi AR dengan coactivators dan enzim dari kromatin menyebabkan munculnya faktor general transkripsi pada bentuk preinisiasi dan gen target transkripsi (Weigel dan Zhang, 2008), yang dapat ditunjukan pada gambar berikut ini:

Gambar 2.5


(45)

26

Reseptor hormon steroid coactivators (SRCs) menunjukan pertumbuhan protein pada interaksinya dengan reseptor pada ligan-spesifik dan menjalani aktivitas transkripsi (Khan et al., 2005). Coactivators memiliki aktivitas enzimatik, seperti histone acetyltransferase, histone methyltransferase, ubiquitin-conjugation dan ubiquitin-protein ligase (Nawaz et al., 2000 dalam Khan et al., 2005).

Fungsi coactivator’s in vivo dimanifestasi oleh aktivitas enzimatik yang berkumpul pada region dari gen target. Kemampuan dari peningkatan reseptor dimediasi oleh ekspresi gen, coactivators memainkan peran penting dalam meregulasi besarnya respon biologis dari hormon steroid. Level dari ekspresi coactivator merupakan faktor penentu dari aktivitas reseptor pada jaringan target dan berbagai macam respon hormon yang dapat dilihat diantara individu dalam populasi (Khan et al., 2005).

Reseptor androgen berinteraksi dengan protein lain di dalam nukleus, menghasilkan up atau down regulation dari gen spesifik transkripsi. Aktivasi atau up regulasi transkripsi menghasilkan peningkatan sintesis mRNA yang diaktifkan dan ditranslasi oleh ribosom, untuk memproduksi protein spesifik yang berguna untuk pertumbuhan sel (Davison, 2006), sehingga kecepatan pertambahan jumlah sel (efek non-genomic) juga dikaitkan dengan aktivasi AR oleh karena androgen (Haelens et al., 2007). Semua AR ikut serta dalam proses transkripsi yang mengkode modular protein dari 919 asam amino yang timbul pada permukaan molekul dengan berat 110 kD (Lubhan et al., 2000 dalam Marilia et al., 2009).


(46)

27

Perbedaan spesies termasuk pada manusia, tikus, hamster membuktikan bahwa region promotor dari gen AR khususnya pada manusia dan tikus mengalami kekurangan sequence yang khas seperti TATA dan CAAT, yang merupakan model urutan basa dari 5’ UTR tapi kaya dengan region GC yang penting untuk cis-acting element untuk AR gen transkripsi, dan diduga merupakan tempat yang aktif untuk mengikat faktor transkripsi dari gen sex limited protein (Slp) yang merupakan karakteristik suatu promotor (Wolf et al., 2003).

Perbedaan antara subfamilies dari tipe reseptor nuklear, ditunjukan pada perbedaan mekanisme dari kumpulan sel dan regulasi dari promotor spesifik pada ekspresi gen, termasuk reseptor heterodimerization, jarak variabel yaitu antara HRE dan HRE site (Zechel et al., 2004 dalam Ikonen et al., 2007). Mekanisme ini tidak digunakan oleh PR, GR, MR dan AR, hal tersebut dikarenakan bahwa variabelnya tinggi pada region N-terminal yang mampu merespon sel dan regulasi dari steroid spesifik pada gen target. Gagasan tersebut mendukung pernyataan bahwa induksi dari ekspresi Slp pada tikus dimediasi oleh region N-terminal dari AR (Pearce & Yamamoto, 2003 dalamIkonen et al., 2007).

Delesi N-terminal identik pada wild-type rAR dan struktur rAR yang aktif (AR domain 641–902) tanpa ligand-binding domain (LBD), yang dihasilkan sebagai akibat dari aktivasi transkripsi yaitu delesi dari residu 149–295 yang dihilangkan dari aktivitas wild-type AR, merupakan aktivitas dari transaktivasi domain N-terminal dan dikontrol oleh hormon yang bertindak sebagai LBD. Keadaan tersebut memberi kesan bahwa terdapat interaksi yang kuat dari androgen-dependent antara region N-terminal dan LBD (Ikonen et al., 2007).


(47)

28

Ekspresi dan regulasi dari gen hAR dan rAR diobservasi pada sel lines hewan, dan dapat dipastikan bahwa ekspresi RNA AR diregulasi oleh adanya androgen (Keller et al., 2006). Ekspresi relatif mRNA AR pada beberapa jaringan dari tikus yang dianalisis menggunakan realtime PCR.

Tabel 2.3

Ekspresi Relatif mRNA AR Pada Beberapa Organ Tikus Jantan

Organ Ekspresi mRNA AR

Hipotalamus 42

Kelenjar adrenal 141

Epididimis 115

Kelenjar tiroid 68

Kelenjar pituitari 56

Kelenjar preputial 44

Otot levator ani 30

Ginjal 27

Kelenjar prostat 25

Vesikula seminalis 25

Testis 20

Liver 18

Otot bulbocavernosus 16

Hati 8

Kelenjar submaksilaris 17

(Young et al., 2001 dalam Keller et al., 2006). Data tersebut digunakan sebagai gambaran persentasi dari mRNA AR relatif pada level mRNA AR dari organ reproduksi tikus jantan termasuk pada prostat. Ekspresi AR berubah selama perkembangan fetal, perkembangan seks sekunder, penuaan dan keganasan. Regulasi dari level AR dapat terjadi kapanpun sepanjang gen AR mengalami proses transkripsi selanjutnya post-translasi. Faktor yang mempengaruhi termasuk androgen yang melibatkan modulasi dari AR protein dari ekspresi mRNA (Keller et al., 2006).

Pada perkembangan fetal tikus, mRNA AR tidak ditemukan pada urogenital pada 13,5 hari gestasi sedangkan pada 15,5 hari gestasi mRNA AR dan protein


(48)

29

dapat ditemukan (Takeda et al., 2001). Pada tikus neonatal, setelah 3 hari kastrasi tidak menghasilkan perubahan ekspresi AR pada prostat tikus (Husmann et al., 2001 dalam Keller et al., 2006). Temuan ini memberi kesan bahwa terjadi satu atau lebih perkembangan dari faktor regulasi yang mempengaruhi ekspresi. Peningkatan usia menimbulkan penurunan ekspresi AR pada tikus yang dikaitkan dengan ekspresi age dependent factor (ADF) yang diekspresikan pada semua jaringan.

Age Dependent Factor berikatan dengan fragmen rAR antara fragmen -310 sampai -330. Ikatan ADF pada promotor rAR secara in vitro menunjukan penurunan yang tergantung pada usia, ketika ADF berikatan pada tempatnya dikatakan telah terjadi mutasi sehingga menurunkan aktivitas promotor dari rAR. Beberapa faktor seperti androgen dilaporkan dapat memodifikasi ekspresi AR, yaitu terjadi penurunan ekspresi mRNA AR pada ventral prostat tikus, line kanker prostat (LNCap) dan line hepatoma sel (Shan et al., 2000 dalam Keller et al., 2006). Bagaimanapun temuan ini masih kontroversial karena up-regulation AR oleh karena androgen ditunjukan pada prostat tikus (Takeda et al., 2001), pada fibroblas genital, otot polos penis dan sel prekursor adiposa (Pergola et al., 2000 dalam Keller et al., 2006).

Menurut Mozokami et al. (2002), terjadi down-regulation dari mRNA AR oleh karena androgen pada line kanker prostat yang dikaitkan dengan peningkatan ekspresi AR protein, memberi kesan bahwa AR protein up-regulation oleh karena androgen dihasilkan dari sejak terjadinya stabilitas AR protein. Pemberian androgen menyebabkan beberapa hormon dan faktor pertumbuhan dapat


(49)

30

meregulasi ekspresi AR, seperti FSH meningkatkan level mRNA AR pada sel Sertoli. Growth Hormone, prolaktin dan ephitelial growth factor (EGF) meningkatkan mRNA AR pada sel prostatik (Mizokami et al., 2002 dalam Keller et al., 2006).

Ekspresi AR dapat dimodifikasi oleh karena variasi beberapa faktor yang muncul yang bekerja bersama androgen pada jaringan dan model sel spesifik. Meskipun androgen mengawali modulator dari perkembangan dan pemeliharaan pada struktur fenotif pria dan fungsi reproduksi, namun mekanisme molekuler yang mendasari regulasi AR secara in vivo dan mekanisme kerjanya kurang diketahui secara pasti terutama pada jaringan reproduksi (Wolf et al., 2003).

2.4 Messenger Ribonucleid Acid (mRNA)

Molekul RNA sitoplasmik yang berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis protein (memindahkan informasi genetik dari DNA ke perangkat pembentuk protein) disebut dengan RNA pembawa atau messenger RNA. Kelas RNA pembawa ini adalah yang paling heterogen dari segi jumlah, ukuran dan stabilitas. Mekanisme transkripsi maupun pascatranskripsi ikut berperan dalam kandungan mRNA yang sangat bervariasi (Heredia dan Jansen, 2003).

Pada proses ekspresi gen, mRNAs secara stabil diterjemahkan dari DNA dan akan ditranslasi oleh ribosom ke dalam protein. Jumlah keduanya dan tipe protein diekspresikan dalam sel yang penting untuk pertahanan hidup dan respon kapasitasnya oleh karena perubahan lingkungan. Regulasi transkripsi merupakan


(50)

31

mekanisme dasar yang mengontrol level ekspresi dari protein (Denake et al., 2013).

Lokasi mRNA tersebar luas saat mekanisme post-transcription untuk target sintesis protein pada tempat seluler spesifik, ini terkait pada generasi sel dengan muatan kutub yang berlawanan, terjadi pemisahan yang berbeda pada sel yang penting dan spesifikasi dari sel germinal. Aktin dan filamen mikrotubul memiliki fungsi penting selama lokalisasi RNA, khususnya selama transport dari mRNAs dan mempengaruhi targetnya. Pergerakan dan sistem filamen dihasilkan melalui perpindahan mRNA dan dari purifikasi lokalisasi dari ribonucleoprotein, serta ditemukan juga jalur dari sentrosom pada lokalisasi RNA (Kloc et al., 2002 dalam Heridia dan Jansen, 2003).

Pada sel mamalia termasuk sel manusia, molekul mRNA yang terdapat di sitoplasma bukan merupakan produk RNA yang disintesis langsung dari cetakan DNA, tetapi harus dibentuk oleh pemrosesan pre-mRNA sebelum masuk ke sitoplasma. Pada inti sel mamalia, produk langsung transkripsi gen (transkrip primer yaitu pre-mRNA) sangat heterogen dan bisa 10 hingga 50 kali lebih panjang daripada molekul mRNA matur. Molekul pre-mRNA diolah untuk membentuk molekul mRNA yang kemudian masuk ke dalam sitoplasma dan berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis protein. Messanger RNA memiliki usia hidup yang sangat beragam dalam sebuah sel. Molekul RNA yang disintesis dalam sel mamalia merupakan molekul prekursor yang masih harus menjalani pemrosesan agar menjadi RNA matur yang aktif (Murray et al., 2014).


(51)

32

Pada sel mamalia, kelimpahan mRNA bervariasi hingga kelipatan 104, yang mana keseluruhan dari anggota kelas ini berfungsi sebagai pembawa yang menyampaikan informasi dalam suatu gen ke perangkat pembentuk protein. Masing-masing mRNA berfungsi sebagai cetakan untuk membentuk polimer asam amino dengan sekuens spesifik, sehingga membentuk molekul protein spesifik yaitu produk akhir suatu gen(Denake et al., 2013).

2.5 Reseptor AndrogenPada Kelenjar Prostat

Secara ultrastruktur, kelenjar aksesori terdiri dari sel epitelium dengan morfologi sel glandular yang mensekresikan protein. Pertumbuhan epitelium dipengaruhi oleh hormon androgen tertentu yakni DHT. Hormon tersebut diperoleh dari konversi testoteron dan androgen adrenal yang memasuki sel sekretorik epithelium glandular.

Dehidrotestosteron memilliki aktivitas 30 kali lebih kuat dari testosteron, ikatan DHT dengan AR akan menyebabkan perubahan konformasional reseptor menuju nukleus yang akhirnya mempengaruhi transkripsi gen, yang menstimulasi pertumbuhan normal epitelium khususnya pada prostat, serta dapat memicu pertumbuhan sel yang abnormal seperti benign prostatic hyperplasia (BPH) dapat berkembang menjadi kanker prostat, terutama jika sebelumnya terdapat riwayat dari kanker prostat (Fernandez et al., 2005). Oleh karena itu, androgen dapat mempengaruhi perkembangan dari kelenjar prostat melalui reseptor protein intraseluler yaitu reseptor androgen (Marker et al., 2003 dalam Khan et al., 2005).


(52)

33

Penyediaan androgen merupakan syarat untuk mendorong pertumbuhan kelenjar prostat dan untuk menjaga ukuran yang tetap stabil. Meskipun testosteron merupakan androgen yang lazim beredar dalam darah, DHT adalah androgen yang paling aktif terlibat dalam regulasi kelenjar prostat. Konversi testosteron menjadi metabolit aktifnya dicapai melalui aktivitas 5α-reduktase, yang terjadi dalam dua isozim, tipe I dan tipe II. Sementara jenis II didominasi oleh sel-sel prostat, tipe I oleh jaringan lain, seperti kulit dan hati. Kekurangan tipe II sangat menghambat pengembangan kelenjar prostat pada manusia dan yang lebih rendah pada tikus (Mahendroo et al., 2001).

Reseptor androgen bertindak sebagai faktor transkripsi dimana fungsinya untuk pengikatan DNA dan mengatur ekspresi gen. Ekspresi mRNA AR secara signifikan terdeteksi pada sel kanker payudara, liver, sel line prostat, terdapat banyak pada permukaan fibroblas genital, ventral prostat dan pada line kanker prostat, ekspresi dari mRNA AR tersebut diregulasi oleh adanya androgen (Culig, 2004).

Respon androgen terlibat dalam banyak kegiatan seluler yang berkisar dari proliferasi menuju ke kematian sel yang terprogram. Ekspresi AR telah terbukti terkait dengan proliferasi sel dan berkontribusi terhadap perkembangan kanker prostat. Hasil ini menunjukkan dengan jelas pentingnya tingkat ekspresi AR dalam mengatur tingkat pertumbuhan kelenjar prostat terutama pada penuaan (Shidaifat, 2009), dan lokasi AR diketahui paling banyak terletak pada sel basal dari epitelium ventral prostat tikus (Soeffing, 2005).


(53)

34

Hormon steroid meregulasi diferensiasi dan menginduksi respon fisiologis pada beberapa variasi dari organisme eukariotik. Kerja hormon tersebut timbul jika berikatan dengan hormon steroid spesifik yang memiliki afinitas yang tinggi dengan reseptor protein pada sel-sel target, dan interaksi dari kompleks reseptor hormon steroid dengan elemen regulator pada gen spesifik (Yamamoto, 2005 dalam Chang et al., 2008).

Reseptor androgen ditemukan pada beberapa organ yang sensitif terhadap androgen seperti prostat, vesikula seminalis, folikel rambut, kelenjar sebaceus dan preputial, otot levator ani dan beberapa tumor yang sensitif terhadap androgen. Beberapa abnormalitas dari respon androgenik kemungkinan terjadi karena adanya mutasi dari gen AR (Bardin et al., 2003 dalam Chang et al., 2008). Reseptor androgen merupakan ligand-activated dari faktor transkripsi yang memediasi sinyal dari semua androgen. Ketika diaktivasi oleh androgen, AR akan berikatan pada respon elemen pada promotor gen target, termasuk protein penyandi yang terkait dengan proses mitosis, diferensiasi dan apoptosis pada prostat (Verrijdt et al., 2003).

Mekanisme aktivasi dari gen target oleh reseptor nuklear diidentifikasi oleh

banyak protein coactivator, selanjutnya protein tersebut membentuk ikatan

bersama agar dapat mengaktivasi reseptor ligand-dependent atau reseptor yang sebelumnya telah membentuk kompleks androgen-AR, dan juga meningkatkan kemampuan untuk mengaktivasi gen target (Bevan & Parker 1999 dalam Chang et al., 2008).


(54)

35

2.6 Hormon Testosteron 2.6.1 Pada manusia

Kata ”hormon” berasal dari Bahasa Yunani yang berarti membangkitkan

untuk beraktivitas. Sesuai dengan definisi klasiknya, hormon adalah suatu zat yang disintesis dari satu organ dan diangkut oleh sistem sirkulasi untuk bekerja di jaringan lain. Hormon juga dapat bekerja pada sel-sel disekitarnya (kerja parakrin) dan pada sel tempat hormon tersebut berasal (kerja autokrin) tanpa harus masuk ke sirkulasi sistemik.

Telah berkembang beragam hormon, masing-masing dengan mekanisme kerja dan biosintesis, penyimpanan, sekresi, pengangkutan serta metabolisme tersendiri untuk menghasilkan respon homeostasis (Guyton dan Hall, 2008). Seperti hormon steroid lain, testosteron juga berasal dari derivat kolesterol dengan nama sistemik (memakai sistem IUPAC) yaitu: 17-hydroxy-10,13- dimethyl 1,2,6,7,8,9,11,12,14,15,16,17 dodecahydrocyclopenta [a] phenanthren-3-one (Braunstein, 2011).

Gambar 2.6

Struktur Kimia Hormon Testosteron (Braunstein, 2011).

Hormon disintesis pada organ-organ yang disusun untuk tujuan spesifik, misalnya tiroid menghasilkan hormon triodotironin, adrenal menghasilkan


(55)

36

hormon glikokortikoid dan mineralokotikoid serta hipofisis menghasilkan hormon TSH, FSH, LH, ACTH, GH dan Prolaktin. Sebagian organ disusun untuk melakukan dua atau beberapa fungsi yang berbeda tetapi tetap berkaitan erat, misalnya ovarium yang menghasilkan oosit matang dan hormon reproduktif estradiol dan progesteron. Testis menghasilkan spermatozoa matang dan testosteron (Nieschlag et al., 2010).

Regulasi hormonal diawali dengan proses pada poros hipotalamus-hipofise-gonad pada pria sebagai fungsi dari testiskuler dan efek dari androgen. Pada pria muda regulasi poros tersebut merupakan proses sirkulasi yang akan menghasilkan konsentrasi testosteron (Belanger et al., 2013). Generator pulsasi hipotalamus akan mensekresikan GnRH kira-kira setiap 90 menit. Gonadotropin releasing hormone yang disekresikan dalam sirkulasi portal hipotalamus-pituitari, kemudian menstimulasi sekresi dari kelenjar pituitari anterior seperti luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH) ke dalam sirkulasi sistemik.

Luteinizing hormone mencapai testis dan menimbulkan keadaan tonik dan episodik pada sel Leydig yang berlokasi antara tubulus seminiferus untuk mensintesis dan mensekresikan testosteron, namun tetap di bawah kontrol dari LH (Borst dan Mulligan, 2007). Setelah sekresi oleh testis, sekitar 97% dari testosteron berikatan dengan plasma albumin atau yang lebih kuat berikatan dengan beta globulin yang dikenal sebagai SHBG, dan yang beredar dalam sirkulasi darah yaitu free testosterone atau bentuk yang tidak berikatan (Ullah et al., 2014). Bioavailable testosteron bekerja pada jaringan multi target dan dalam mekanisme regulasi pada poros Hypothalamic-pituitary-gonadal (HPG).


(56)

37

Konsentrasi serum testosteron diperlihatkan pada ritme sirkadian dan ultradian. Ritme sirkadian menghasilkan konsentrasi serum testosteron yang puncaknya selama pagi hari, sedangkan ritme ultradian merupakan siklus konsentrasi serum testosteron yang berfluktuasi sekitar 90 menit. Ritme ultradian ini mewakili keseluruhan dari pola sekresi testosteron pada sekresi basal atau tonik.

Pada dewasa muda, berlangsung dua peristiwa yaitu yang pertama, stimulasi GnRH yang menstimulasi LH untuk menskresikan testosteron dan yang kedua yaitu free atau bioavailable testosteron menghambat poros HPG, yang ditunjukan pada penurunan GnRH dan LH/FSH dari hipotalamus dan pituitari anterior (Nieschlag et al., 2010). Komponen dari poros HPG mempertahankan konsentrasi serum total testosteron dalam keadaan normal dengan range antara 450–1,000 ng/dL, dan konsentrasi serum total testosteron untuk dewasa muda yang sehat sekitar 650 ng/dL (Borst dan Mulligan, 2007).

Testosteron penting untuk perkembangan dan pemeliharaan dari beberapa organ dan fungsi fisiologi pria. Hormon steroid memberikan efek seumur hidup terutama pada pria (Ullah et al., 2014). Perkembangan sel Leydig saat masa fetus terjadi pada minggu ke tujuh yang merupakan awal mula produksi testosteron. Testosteron berguna untuk diferensiasi dari traktus genitalis pada fetal seperti pada epididimis, vesikula seminalis, dan vas deferens. Genetalia eksternal pria mulai berkembang sekitar minggu ke delapan pada fetal. Testosteron mulai memberikan efek pada perkembangan dari karakteristik seks sekunder pada masa pubertas, selain itu testosteron juga berfungsi untuk memelihara komposisi tubuh


(57)

38

termasuk massa otot, massa tulang, spermatogenesis, libido, sensitivitas insulin, metabolisme glukosa dan lain-lain (Ullah et al., 2014).

Tabel 2.4

Kadar Hormon Normal Pada Laki-Laki Dewasa

Hormon Besar normal

Total testosteron 260-1000 ng/dl (9,0 – 34,7 nmol/L) Free testosterone 50 – 210 pg/ml (173 – 729 Pmol/L) Dehidrotestosteron 27 – 75 ng/dL (0,9 – 2,6 nmol/L) Androstenedion 50 – 250 ng/dL (1,7 – 8,5 nmol/L) Estradiol 10-50 pg/ml (3,67 – 18,35 Pmol/L)

(Braunstein et al., 2011). Nilai normal kadar testosteron total pada laki-laki bervariasi antara 241 sampai 827 ng/dl, bila terjadi penurunan kadar testosteron di bawah 500 ng/dl, sudah menimbulkan gejala defisiensi (Ryan, 2007). Serum testosteron pada pria hipogonadisme setiap individu dapat bervariasi antara 6,9 nmol/L dan 10,4 nmol/L (Goldenberg, 2011).

Testosteron bertanggung jawab terhadap berbagai sifat maskulinisasi tubuh, disamping efeknya pada gametogenesis. Testosteron juga memainkan peran penting dalam pertumbuhan rambut, metabolisme tulang, massa dan distribusi otot, membantu dalam regulasi pertumbuhan dan memelihara karakteristik seks sekunder dan fungsi organ reproduksi pria seperti penis, testis dan kelenjar aksesori (Nieschlag et al., 2008; Belanger et al., 2013). Pengaruh testosteron pada perkembangan sifat kelamin primer dan sekunder pada pria dewasa antara lain: 1) Perkembangan dan pembesaran alat kelamin laki-laki (penis) yang mulai

nampak jelas pada usia 10-11 tahun (pubertas).

2) Perkembangan dan pembentukan lekuk-lekuk kulit skrotum dan pigmentasi kulit skrotum.


(1)

merupakan hallmark dari pemberian testosteron yaitu peningkatan dari sexual desire, motivasi dan penampilan (Coss et al, 2014). Pemberian testosteron sesuai resep dokter pertahunnya meningkat sekitar 300% di US antara tahun 2000 dan 2008 dan juga menjadi trend di negara-negara Eropa.

Berdasarkan data yang didapat bahwa keberhasilan dalam pemasaran preparat testosteron replacement berbanding lurus dengan keberhasilan dalam intervensi terapiutik pada pasien. Dalam pemberian terapi juga harus diperhatikan efek samping yang dapat ditimbulkan terutama pada penggunaan jangka panjang (Coss et al., 2014). Prinsip penatalaksanaan kadar testosteron adalah mempertahankan kadar testosteron tetap berada pada nilai normal, jika kadar testosteron cenderung turun, tanpa menunggu kadar testosteron tersebut berada di bawah nilai normal, terapi harus segera diberikan (Indrayanto, 2011).

2.7.1 Preparat testosterone replacement therapy

Pemberian TRT untuk hipogonadisme dapat diberikan melalui beberapa sediaan preparat, antara lain: injeksi testosteron ester, testosteron transdermal (gel atau patch), testosteron oral dan testosteron implan. Semua sediaan preparat tersebut diberikan dalam dosis yang tepat sehingga memungkinkan pasien memperoleh manfaat dan memiliki berbagai pilihan untuk dipergunakan (Bebb, 2011).

Testosteron mempunyai waktu paruh yang pendek tetapi dengan esterifikasi waktu paruhnya dapat diperpanjang setelah injeksi intramuskuler. Jenis-jenis ester yang telah digunakan adalah propionat, fenilpropionat isocaproat, enanthate, undecanoat, decanoat (Arver dan Lehtihet, 2008). Salah satu jenis preparat


(2)

testosteron replacement yang ada adalah sustanon ‘250’ yang merupakan oil-based injectable esterized testosteron, yang terdiri dari testosteron propionat 30 mg, fenilpropionat 60 mg, testosteron isocaproat 60 mg, dan testosterone decanoat 100 mg (Roberts, 2010).

Beberapa jenis sediaan preparat pemberian testosteron yang direkomendasikan untuk TRT atau sulih testosteron adalah sebagai berikut : 1) Gel : 5 sampai 10 gram per hari.

2) Tablet : 80 mg testosteron undecanoate diminum dua kali sehari.

3) Injeksi 1000 mg testosterone undecanoate intramuskuler yang diberikan pada minggu ke- 0, 6, 18, 30 dan minggu ke- 42 dapat meningkatkan komponen kesehatan mental dan kualitas hidup pada pria hipogonad, khususnya vitalitas, fungsi sosial dan peran fungsi fisik. Meskipun skor komposit kesehatan fisik tidak menunjukkan peningkatan signifikan secara statistik, akan tetapi ada kecenderungan peningkatan yang ditunjukkan pada minggu ke-30, hingga minggu ke-48 menunjukkan peningkatan yang berkelanjutan dalam kekuatan fisik (Tong, 2012).

Berikut adalah preparat testosteron yang ada di Indonesia: 1) Per oral

a. Testosteron undecanoat 400 mg. b. Meterolone tablet 25 mg.

2) Per intramuskuler injeksi

a. Kombinasi testosteron propionat 30 mg, testosteron phenypropionat 60 mg, testosteron decanoat 100 mg ampul (Sustanon).


(3)

b. Testosteron undecanoat 1000 mg ampul (Nebido). 3) Testosteron transdermal

Gel testosteron (tostrex 2% gel) (Indrayanto, 2011).

Hasil terapiutik sebaiknya dapat meningkatkan kadar testosteron sampai kadar 400-800 mg/dl untuk pria dewasa muda, untuk pria dewasa tua sebaiknya mencapai kadar yang lebih rendah yaitu 300-500 mg/dl (Bhasin et al., 2006). Testosterone replacement therapy pada umumnya dilakukan dalam jangka panjang, dan memerlukan pemeriksaan evaluasi dan monitor yang teratur, termasuk pemeriksaan kadar hormon dan reaksi yang terjadi.

2.7.2 Efek samping testosterone replacement therapy

Efek samping dalam penggunaan injeksi testosteron berbeda pada setiap individu. Gejala-gejala hiperandrogen adalah:

1) Efek pada gonadotropin, spermatogenesis, dan fungsi seksual. 2) Efek pada metabolisme dan beberapa sistem organ:

a. Efek anabolik (keseimbangan nitrogen, perkembangan otot, dan sebagainya).

b. Efek pada hematopoesis dan formasi trombus. c. Retensi air dan garam.

d. Efek metabolik lainnya (termasuk pada ginjal, pernapasan, dan metabolisme tulang).

3) Efek virilisasi pada wanita.

4) Mempengaruhi sistem saraf pusat.


(4)

6) Simptom BPH memburuk atau peningkatan risiko kanker prostat. 7) Polycythemia.

8) Gynecomastia. 9) Hypercalcemia.

10) Emotional (Ullah et al., 2014). 11) Efek teratogenik.

Efek samping testosteron dosis tinggi antara lain hirsutisme, acne, dan alopecia. Hiperandrogenisme juga dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler yang serius (seperti hipertensi, penyakit mikrovaskuler dan dislipidemi), dan penyakit metabolik lainnya (Diabetes Melitus tipe 2) (Goodman, 2001).

2.7.3 Kontraindikasi testosterone replacement therapy 1) Memiliki riwayat kanker payudara atau kanker prostat. 2) Tampak nodul atau pengerasan pada prostat.

3) PSA 4 ng/ml atau 3 ng/ml pada pria dengan risiko tinggi untuk kanker prostat seperti di negara Afrika-Amerika.

4) Sering mengalami sleep apnea. 5) Gangguan atau masalah pada liver. 6) Erythrocytosis (hematocrit 50%).

7) International prostate symptom score di bawah 19. 8) Metastasis kanker prostat.


(5)

2.7.4 Monitoring pemberian testosterone replacement therapy

Pasien yang diterapi menggunakan testosteron replacement harus dimonitor untuk respon dari terapi dan efek samping yang dapat ditimbulkan. Pasien harus dievaluasi secara klinis dan diperiksa konsentrasi serum testosteronnya setiap 2-3 bulan setelah pemberian awal dan setelah dosis pemberian selesai. Target konsentrasi serum testosteron yang diharapkan setelah injeksi testosteron enanthate atau cypionate sekitar 400–700 ng/dl, yang merupakan nilai normal dari eugonadal (Endocrine Society Clinical Practice Guideline, 2010). Sebelum pemberian terapi harus tetap diperhatikan besarnya kebutuhan serta tanda dan gejala yang terkait dengan rendahnya testosteron pada setiap individu.

Nilai testosteron tertinggi (>1,000 ng/dl) dan terendah (sekitar 300 ng/dl) konsentrasi tersebut digunakan sebagai respon dari terapi. Beberapa ahli dari endocrine society clinical practice guideline, mengatakan bahwa terapi sering diberikan pada pria tua yang memiliki konsentrasi serum testosteron di bawah nilai normal dari pria yang sehat (300 ng/dl) (Bhasin et al., 2010; Ullah et al., 2014).

Waktu pengukuran konsentrasi serum bervariasi, tergantung pada preparat yang digunakan. Testosteron injeksi bentuk ester direkomendasikan harus diperiksa konsentrasi serumnya pada pertengahan interval antara injeksi pertama dengan injeksi berikutnya, sedangkan evaluasi 3 sampai 12 jam setelah pemberian testosteron secara transdermal. Pemeriksaan yang dilakukan sebelum dan setelahnya pada pemberian buccal testosteron, pengukuran serum testosteron tidak kurang dari 1 minggu setelah pasien diterapi menggunakan gel, dan evaluasi


(6)

langsung ketika selesai penggunaan dosis interval untuk testosteron pellets, pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mendapat nilai normal dari serum testosteron.

Monitoring untuk efek samping dari TRT harus sudah diperiksa, seperti konsentrasi PSA, pemeriksaan digital rectal, dan hematocrit harus menjadi dasar dalam pemeriksaan pada 3 bulan, 6 bulan, selanjutnya setiap tahun setelah terapi. Kadar hematocrit yang berada di bawah 54%, maka terapi harus distop dulu sampai kembali ke level yang aman, tapi jika tetap harus diberikan maka dosis harus diturunkan dan dibandingkan dengan dosis awal. Pertimbangan terapi diskontinyu dilakukan jika pada pemeriksaan urologi, didapatkan ukuran PSA yang meningkat dalam interval 6 bulan atau peningkatan serum PSA 1,4 ng/ml dalam setahun (Bhasin et al., 2010; Ullah et al., 2014).

Ketika pemeriksaan digital rectal ditemukan masalah (tidak nomal) maka harus dilakukan biopsi untuk kanker prostat, selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan payudara, hal tersebut menjadi dasar dalam pemberian terapi selanjutnya. Pada pria dengan riwayat osteoporosis atau pernah trauma fraktur, densitas mineral tulang pada lumbar spine harus diukur setelah 1 atau 2 tahun pemberian terapi (Ullah et al., 2014).


Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN ALKOHOL SUB AKUT TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI HIPOKAMPUS TIKUS PUTIH JANTAN (RATTUS NORVEGICUS) STRAIN WISTAR

0 9 14

PENGARUH PEMBERIAN BORAKS PERORAL SUB-AKUT TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar)

0 19 28

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. Robusta) TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI PROSTAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR JANTAN

2 10 22

Efek Propolis Terhadap Peningkatan Kadar Kolesterol HDL Pada Tikus (Rattus norvegicus) Galur Wistar Jantan.

0 0 24

PEMBERIAN EKSTRAK BIJI PRONOJIWO (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn) SECARA ORAL DAPAT MENINGKATKAN KADAR HORMON TESTOSTERON PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN TUA.

2 15 45

PEMBERIAN GROWTH HORMONE MENINGKATKAN NEOVASKULARISASI, JUMLAH SEL FIBROBLAS DAN EPITELISASI PADA PROSES PENYEMBUHAN LUKA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN TUA.

3 8 17

PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN STEVIA (STEVIA REBAUDIANA) MENCEGAH DISLIPIDEMIA PADA TIKUS (RATTUS NORVEGICUS) WISTAR JANTAN YANG DIBERIKAN DIET TINGGI KOLESTEROL.

4 9 84

Efek Propolis Terhadap Penurunan Kadar Kolesterol Total Pada Tikus (Rattus norvegicus) Galur Wistar Jantan.

1 3 20

PEMBERIAN KOMBINASI ESTROGEN PROGESTERON DAN TESTOSTERON MENINGKATKAN EKSPRESI MESSENGER RIBONUCLEAIC ACID (mRNA) RESEPTOR ESTROGEN ALPHA DAN ANDROGEN PADA VAGINA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) DEWASA YANG DIOVAREKTOMI.

0 0 64

Tikus Wistar (Rattus norvegicus)

0 1 3