Bentuk hambatan penyesuaian sosial (4)

Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
1. tempat kedudukan manajemen;
2. cabang perusahaan;
3. kantor perwakilan;
4. gedung kantor;
5. pabrik;
6. Bengkel;
7. Gudang;
8. ruang untuk promosi dan penjualan;
9. pertambangan dan penggalian sumber alam;
10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
13. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
15. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia;dan
16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima

pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai,
perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa
peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di
Indonesia.
Contoh BUT :
adalah Perusahaan dari China yang memenangkan tender pembangunan PLTU maka untuk
membangun PLTU tersebut perusahaan dari China mendirikan BUT yang akan beroperasi
selama pembangunan PLTU tersebut, setelah selesai maka BUT tersebut bubar dan

mengajukan penghapusan NPWP.
Dasar Hukum : Pasal 2 UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

Pengertian BUT
1. Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia
2. Untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
3. Yang dapat berupa :
a. Tempat kedudukan manajemen;
b. Cabang perusahaan;
c. Kantor perwakilan;
d. Gedung kantor;
e. Pabrik;
f. Bengkel;
g. Pertambangan dan penggalian sumber daya alam, wilayah kerja pengeboran
untuk eksplorasi pertambangan;
h. Perikanan/pertanian/kehutanan/perkebunan;
i. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain yang

dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 60 hari (kecuali ditentukan lain
dalam tax treaty dengan negara yang bersangkutan) dalam jangka waktu 12
bulan;

k. Orang atau badan yang bertindak sebagai agen yang kedudukannya tidak
bebas;
l. Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung
risiko di Indonesia.
Suatu BUT mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu
fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk mesin-mesin dan peralatan, yang
bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dan
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia.
Jenis-Jenis Bentuk Usaha Tetap (BUT)
1.Tipe Fasilitas Fisik (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf a s/d h Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000), terdiri dari :
- Tempat kedudukan manajemen;
- Cabang perusahaan;
- Kantor perwakilan;

- Gedung kantor;
- Pabrik;
- Bengkel;
- Pertambangan dan penggalian sumber daya alam, wilayah kerja pengeboran untuk
eksplorasi pertambangan;
- Perikanan/pertanian/kehutanan/perkebunan.
Keberadaan BUT tipe fasilitas fisik dapat dilihat dari ada atau tidaknya fasilitas fisik seperti
cabang, bengkel, kantor, dsb di negara sumber.
2.Tipe Aktivitas (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf i dan j Undang-Undang Nomor 17 Tahun2000),
terdiri dari :
- Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
- Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan dalam
jangka waktu lebih dari 60 hari (kecuali ditentukan lain dalam tax treaty dengan negara
yang bersangkutan) dalam jangka waktu 12 bulan.
Keberadaan BUT tipe aktivitas, baik aktivitas konstruksi maupun pemberian jasa
ditentukan dari lamanya (time test) aktivitas tersebut dilakukan di negara sumber.
Penentuan time test tidak melihat pada formalitas (kontrak) tetapi pada keadaan yang
sebenarnya (Pasal 2 ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000)
Misalnya :
Berdasarkan kontrak pemberian jasa, PT XYZ yang berkedudukan di Amerika

mengirimkan Mr. Wong, penduduk Amerika ke Indonesia dari tanggal 10 April 2000 s/d 10
Juni 2000. Namun, pada kenyataannya, Mr. Wong sudah berada di Indonesia sejak bulan
Januari 2000. Dengan demikian, syarat time test yang digunakan dihitung sejak Mr. Wong
berada di Indonesia, yaitu sejak bulan Januari 2000.
3.Tipe Keagenan (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf k Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000),
terdiri dari :
Orang atau badan yang bertindak sebagai agen yang kedudukannya tidak bebas;
-

Keberadaan BUT tipe keagenan ditentukan oleh ada atau tidaknya dependent agent di
negara sumber.
4.Tipe Asuransi (Lihat Pasal 2 ayat (5) huruf l Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000),
terdiri dari :
Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di
- Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Keberadaan BUT tipe asuransi difokuskan pada ada atau tidaknya pemungutan premi dan
penanggungan resiko di negara sumber.
PENGHASILAN BUT
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari harta yang
dimiliki atau dikuasai (Penghasilan BUT sendiri).

2. Penghasilan kantor pusatnya dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/dilakukan oleh BUT
di Indonesia. Hal ini karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan kantor pusat di
Indonesia tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha dan kegiatan yang dapat
dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap.
Misalnya ;
- Sebuah bank di luar negeri yang memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia,
memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui Bentuk Usaha Tetap kepada
perusahaan di Indonesia. Dalam hal ini, penghasilan sehubungan dengan pemberian
pinjaman oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai penghasilan Bentuk Usaha Tetap.
- Sebuah perusahaan di luar negeri yang memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia
menjual produk yang sama dengan yang dijual oleh BUT secara langsung tanpa
melalui BUT-nya kepada pembeli di Indonesia. Dalam hal ini, penjualan yang
dilakukan oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai penjualannya BUT di Indonesia.
3. Penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pegembalian utang, royalty, sewa (imbalan lainnya
sehubungan dengan penggunaan harta), imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan
(kegiatan), hadiah/penghargaan, pensiunan/pembayaran berkala lainnya, yang
diterima oleh kantor pusat (wajib pajak luar negeri) dari Indonesia, sepanjang terdapat
hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan

penghasilan tersebut.
Misalnya ;

- Zenith Inc. yang berkedudukan di Amerika menutup perjanjian lisensi dengan PT Polar
untuk mempergunakan merek dagang Zenith Inc. atas hak tersebut, Zenith Inc
menerima royalty dari PT Polar.
- Sehubungan dengan perjanjian tersebut, Zenith Inc memberikan jasa manajemen
kepada PT Polar melalui BUT di Indonesia, dan dalam rangka pemasaran produk PT
Polar yang menggunakan merek Zenith Inc tersebut.
- Dalam kasus di atas, penggunaan merek dagang oleh PT Polar memiliki hubungan
efektif dengan BUT di Indonesia, sehingga penghasilan Zenith Inc yang berupa royalty
tersebut diperlakukan sebagai penghasilan BUT.

Penghasilan Kena Pajak BUT ( Pasal 16 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 )
Penghasilan Kena Pajak BUT dihitung dengan cara mengurangkan Penghasilan Bruto
BUT dengan :
- Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan BUT tesebut di atas (biaya-biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan BUT).
- Biaya administrasi Kantor Pusat yang berkaitan dengan usaha/kegiatan BUT ( KEP 62/PJ./1995 ), yaitu :
- Biaya administrasi Kantor Pusat yang berkaitan dan dalam rangka menunjang usaha

atau kegiatan BUT yang bersangkutan.
- Maksimum sebanding dengan besarnya peredaran usaha BUT di Indonesia terhadap
seluruh peredaran usaha perusahaan di seluruh dunia.
- BUT di Indonesia yang mengurangkan biaya administrasi Kantor Pusat tersebut di atas
wajib melampirkan dalam SPT-nya Laporan Keuangan Konsolidasi yang meliputi
seluruh usaha/kegiatan di seluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan.
- Laporan Keuangan Konsolidasi tersebut harus telah diaudit oleh Akuntan Publik dan
mengungkapkan rincian peredaran usaha perusahaan serta jenis dan besarnya biaya
administrasi yang dibebankan pada masing-masing BUT di negara tempat BUT tesebut
berada.

Pembayaran BUT kepada Kantor Pusat yang Tidak Dapat Dibebankan Sebagai Biaya
( Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 )

-

Royalty atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, patent, atau hak-hak
lainnya.

- Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa-jasa lainnya.

- Bunga, kecuali berkenaan dengan usaha perbankan.
Dalam hal sebaliknya (pembayaran-pembayaran tersebut di atas diterima oleh BUT dari
Kantor Pusatnya), juga bukan merupakan obyek PPh, kecuali bunga yang berkenaan dengan
usaha perbankan
PPH PASAL 26 ATAS LABA SETELAH PAJAK YANG DIPEROLEH BUT (BRANCH
PROFIT TAX)

PPh Pasal 26 atas Laba Setelah Pajak yang Diperoleh BUT ( Branch Profit Tax )
( Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 )
1. PPh Pasal 26 atas Laba Setelah Pajak yang diperoleh BUT yaitu tambahan PPh yang
dikenakan atas laba setelah pajak (net income after tax) yang diperoleh BUT sebesar
20% atau sesuai tarif yang berlaku dalam Tax Treaty.
2. Tambahan PPh tersebut wajib dilunasi oleh BUT dalam waktu yang bersamaan
dengan pelunasan PPh Pasal 29 (setoran akhir PPh tahunan), yaitu paling lambat
tanggal 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku.
3. Tambahan PPh atas laba setelah pajak yang diperoleh BUT tersebut tidak dikenakan
apabila laba setelah pajak BUT tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, dengan
syarat :
a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi
PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan

berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.
b.Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya
tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan

tersebut.
c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman modal
dilakukan berproduksi secara komersial.
4. Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh BUT dikenakan PPh

yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan
Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal
dikurangi dengan PPh yang bersifat final. (KMK Nomor 113/KMK.03/2002 tanggal 1
Mei 2002 sebagai pengganti KMK Nomor 602/KMK.04/1994)
5. WP BUT yang melakukan penanaman kembali laba setelah pajak, wajib melaporkan
secara tertulis mengenai bentuk penanaman yang dilakukan ke Kepala KPP tempat
WP BUT terdaftar dengan dilampirkan pada SPT PPh tahun pajak diterima atau
diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
6. Yang dimaksud saat berproduksi secara komersial adalah saat perusahaan untuk
pertama kalinya menghasilkan produk yang siap untuk dipasarkan, hal ini ditetapkan

oleh Kepala KPP berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan perkiraan
berdasarkan pemberitahuan secara tertulis.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14/PMK.03/2011
TENTANG
PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK
SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan perpajakan atas
penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan
dari suatu Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan
Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu mengatur
kembali perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah
Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN
ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI
SUATU BENTUK USAHA TETAP.
Pasal 1
(1) Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
(2) Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu
Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud
dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan
dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di
Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di
Indonesia sebagai pemegang saham;
c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk
menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia; atau
d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk
menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia.
Pasal 2
(1) Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk
Usaha Tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun
Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi
Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang
telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang
baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar.
(2) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah
melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun
sejak perusahaan tersebut didirikan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas
penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.

(3) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai
kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas
penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak
penyertaan modal.
(4) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. pembelian aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf c; atau
b. investasi berupa aktiva tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(3) huruf d,
selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bentuk Usaha Tetap yang
bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau
pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud
yang bersangkutan.
(5) Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4), tidak lagi dipenuhi, atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang terkait, dikenai Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terhitung sejak diperolehnya Penghasilan
Kena Pajak yang bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundangundangan perpajakan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan
Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali
yang telah dilakukan, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak
saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit meliputi hal-hal
sebagai berikut:

a. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk
Usaha Tetap dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
b. bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun
Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali.
Pasal 4
(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.
(2) Saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah saat perusahaan
yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi
perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau
jasa bagi perusahaan selain manufaktur.
(3) Keputusan tentang saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian Kantor
Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam) bulan setelah Wajib Pajak Bentuk
Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat berproduksi
komersial.
(4) Penetapan saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi
komersial yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lewat dan Direktur
Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial,
saat berproduksi komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan
oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.
Pasal 5
Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam
negeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan
Indonesia, besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana ditentukan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang
berlaku.
Pasal 6
Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha
Tetap dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung
berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah Pajak
Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 7
Tata cara pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak
sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 9
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO