SASTRA DAN SUARA ZAMAN Sebuah Alternatif

SASTRA DAN SUARA ZAMAN
Sebuah Alternatif Penelitian Sastra
Oleh: Suhariyadi
Universitas PGRI Ronggolawe Tuban
Email: suhariyadi@gmail.com
Abstrak. Signifikansi sastra Indonesia modern dapat dipetakan melalui reaksi
karya sastra dalam menyuarakan semangat zaman yang melatarbelakanginya.
Asumsi dasar itulah yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini. Layaknya
sebuah pemikiran yang hendak memberikan sumbangan terhadap landasan
metodolologis suatu kajian, tulisan ini berangkat dari studi kepustakaan, yang
meliputi: 1) asumsi dasar; 2) subyek kajian; dan 3) metodologi. Ketiga
komponen tersebut masih terlalu minim untuk sebuah artikel yang bertujuan
memberikan sumbangan pemikiran. Tapi setidaknya, tulisan ini memberikan
dasar awal sebagai titik berangkatnya.
Kata Kunci: satra, suara zaman, subyek intelektual, konteks sosiokultural
1. Pendahuluan
Signifikansi sastra Indonesia modern dapat dipetakan melalui reaksi
karya sastra dalam menyuarakan semangat zaman yang melatarbelakanginya.
Pemetaan semacam itu sekaligus dapat menjelaskan peranan sastra Indonesia
memotret, mendokumentasi, dan menyikapi apa yang terjadi di masyarakatnya.
Suatu topik yang jarang dibicarakan sehingga seolah kesusastraan Indonesia

modern kurang memiliki peran dan fungsi sosial. Pembicaraan cenderung
terfragmentasi dan dilatarbelakangi kebutuhan analisis dan penganalisis
semata; bukan bertujuan untuk kesusastraan Indonesia.
Sebagai kajian awal, tulisan ini bertujuan membuka lapangan bagi
penelitian lebih lanjut tentang hal tersebut. Konsekuensinya, penelitian akan
melakukan pengulangan yang pernah terjadi, karena sebenarnya topik tersebut
telah dibicarakan beberapa kalangan. Namun demikian, hal itu dapat disikapi
secara berbeda dengan menempatkannya dalam kerangka perkembangan dan
kacamata teori yang komprehensi dan substantif. Landasan kajian semacam itu
nampaknya selama ini juga kurang menunjukkan adanya penelitian yang
komprehensif. Paling tidak, memiliki wilayah obyek material dalam rentang
sejarah perkembangan kebudayaan masyarakat, dan wilayah obyek formal
yang meliputi berbagai aspek sesuai dengan realitas yang ada.
Kajian semacam itu juga bukan semata menghilangkan hakikat karya
sastra sebagai karya seni dan meletakkannya dalam kerangka sejarah umum.
Pemenuhan kebutuhan kajian yang komprehensif justru harus menyentuh pada
persoalan karakteristik dan konvensi kesastraan sebagai suatu perkembangan

1


sikap budaya dan kreativitas dari karya sastra dan sastrawannya. Sikap budaya
dan kreativitas bersastra sepanjang sejarahnya selalu mencerminkan reaksi
terhadap realitas yang ada. Justru kajian semacam itu harus memusatkan
perhatian pada aspek intrinsik ke arah ekstrinsik.
Yang hendak menjadi fokus kajian tersebut adalah merumuskan sebuah
peta perkembangan karya sastra dalam kaitannya dengan sikap budaya dan
kreativitas dalam kesusastraan Indonesia modern untuk mereaksi keadaan
zamannya. Sebagai peta perkembangan mesti harus memahami benang merah
yang menghubungkan fragmen-fragmen dalam bersastra. Bukan sebaliknya,
justru memotong-motong sebagaimana yang pernah dilakukan dalam kajiankajian sebelumnya. Kesinambungan tersebut mutlak dilakukan agar dapat
dipahami dinamika kesusastraan itu sendiri dan sosiokultural masyarakat yang
direaksi.
2. Prinsip Dasar
a. Asumsi Dasar
Landasan kerja yang dipakai dalam prosedur kajiannya berpijak pada
asumsi dasar sebagai berikut.
1) Sebagai karya seni, karya sastra merupakan wujud ekspresi pengarang
sebagai individu dan anggota masyarakat. Dalam dua ujung posisi
pengarang tersebut, di satu ujung terletak suatu sikap yang kreatif dan
imajinatif, dan di ujung yang lain terletak sikap hidup dan budaya sebagai

perwujudan status pengarang sebagai kelompok intelektual masyarakat. Di
antara dua ujung tersebut, karya sastra muncul dalam khazanah budaya
masyarakatnya sebagai suatu produk budaya.
2) Karya sastra merupakan media komunikasi yang berisi pemikiran,
penghayatan, perenungan, pergulatan, penilaian, dan kritik sosial. Tataran
ini menempatkan karya sastra, sebagaimana wacana pengetahuan yang
lain, sebagai substansi dan abstraksi fakta-fakta sosiokultural yang
diekspresikan melalui sikap dan pandangan hidup pengarangnya. Pada
gilirannya disodorkan pengarang kepada masyarakat untuk difahami,
diapresiasi, ditanggapi, dan dikritisi. Betapapun imajinatif dan fiktifnya, karya
sastra tetap akan terjalin dalam konteks komunikasi dan interaksi sosialnya.
Dalam teori resepsi terdapat horizon penerimaan sebagai pijakan bagi
pembaca untuk merespon karya sastra.
3) Sepanjang sejarahnya, masyarakat memiliki dinamika yang semakin
kompleks, baik kompleksitas kebutuhan, aspek kehidupan, mental dan
semangat zaman, dan kompleksitas budayannya. Dinamika tersebut
membawa perubahan pola hidup ke arah positif dan negatif. Setiap periode
zaman memiliki situasi dan kondisi yang berbeda-beda, meskipun batasbatasnya sangat sulit untuk ditentukan. Perkembangan masyarakat dan
2


kebudayaannya cenderung evolutif dari pada revolutif. Realitas semacam
itulah yang direaksai dan disikapi sastrawan melalui karya sastra yang
diciptakannya.
4) Ekspresivitas karya sastra merupakan wujud penyikapan terhadap dampak
dari dinamika masyarakat dan kebudayaannya. Karya sastra dalam hal ini
mengambil peran sebagai pengetahuan tentang kehidupan. Sebagai
pengetahuan, karya sastra berisi nilai-nilai hidup yang dapat digunakan
sebagai referensi masyarakat. Melalui obyek-obyek yang diceritakan,
sebagai unsur sistem struktur, penyikapan terhadap dinamika masyarakat
dan kebudayaannya disuarakan. Di samping sebagai substansi
pengetahuan yang dikandung, penyikapan tersebut merupakan landasan
pemikiran dari bangunan struktur karya sastra. Dengan demikian, terdapat
pola segitiga dalam kaitannya dengan hal tersebut: sikap budaya - struktur
karya - landasan pemikiran bangunan struktur.
Keempat asumsi dasar di atas kiranya dapat melandasi penyusunan
landasan operasional penelitian sastra yang mengambil obyek formal sikap
sastrawan dalam karya sastra dalam menyuarakan semangat zaman. Terdapat
lima konsep dasar yang dapat digunakan sebagai pedomannya, yaitu: subyek
intelektual, fakta struktural sastra, proyeksi sosiokultural dan semangat zaman,
fakta relasional, dan sinkronik-diakronik.

b. Pengarang sebagai Subyek Intelektual
Pengarang sebagai subyek intelektual merupakan obyek formal
penelitian sastra yang hendak memahami reaksi sastrawan terhadap semangat
zaman yang melatarbelakanginya, yang tercermin dalam karya sastra yang
diciptakannya. Sedangkan pengertian subyek intelektual adalah pemikiran
sastrawan yang terkandung dalam karya sastra sebagai wujud penyikapan dan
reaksi terhadap semangat zaman yang melatarbelakanginya. Dalam konteks ini
disebut dengan istilah sikap budaya. Melalui obyek yang diceritakan, baik
tokoh, peristiwa, maupun unsur-unsur lain yang terkandung dalam struktur
karya sastra, sastrawan menyembunyikan pemikiran-pemikirannya di balik
unsur-unsur tersebut. Dengan demikian, sistem struktur karya sastra tidak
sekedar pola hubungan antra unsur-unsurnya, tetapi juga ada landasan
pemikiran yang membingkainya. Inilah yang disebut di muka sebagai pola
segitiga.
Pengarang sebagai subyek intelektual memiliki dua dimensi, yaitu:
dimensi realitas dan dimensi fiksional. Dimensi realitas menunjuk pada posisi
pengarang sebagai anggota masyarakat yang berstatus sosial kelompok
intelektual. Banyak istilah yang dapat digunakan untuk menyebut kelompok
sosial tersebut, yaitu: kelompok terpelajar, cendekiawan, budayawan, penulis,
dan seniman. Status ini diperoleh seseorang atas usahanya memproduksi

3

budaya dan pengetahuan, yang secara konsisten dan professional
dilakukannya; termasuk di dalamnya komitmen hidup. Sedangkan subyek
intelektual dimensi fiksional menunjuk pada intelektualitas yang terkandung
dalam karya sastra. Pemikiran, sikap, pandangan, dan indeologi, yang
disembunyikan melalui unsur-unsur struktur karya sastra merupakan wujud
adanya subyek yang berbicara; dalam hal ini pengarangnya.
Subyek intelektual dimensi realitas dibentuk oleh pengalaman dan
sejarah hidup pengarang di dalam masyarakat. Dalam pengalaman dan sejarah
hidupnya, pengarang mengalami peristiwa, pendewasaan, pematangan,
pendidikan, dan pengaruh, baik dari individu lain dan kolektivnya, institusi
sosial, perkembangan dan kondisi zaman, kebutuhan dan kepentingan, konflik
sosial, dan sebagainya. Secara psikologis, proses pengalaman tersebut
membentuk kepribadian dan orientasi hidup pengarang.
Di samping itu, proses pengalaman tersebut juga membentuk pola pikir
dan pandangan pengarang terhadap lingkungannya. Adanya cakrawala berpikir
yang dibentuk oleh pengalaman hidup itu. Penyikapan, tanggapan, dan dan
reaksi pengarang terhadap kehidupan dan dunia sekitarnya, pada akhirnya
akan

dibingkai ke dalam cakrawala berpikirnya itu. Cakrawala berpikir
pengarang dilatarbelakangi oleh ideologi, ras dan suku, agama, status sosial,
dan psikolgisnya.
Pada gilirannya, subyek intelektual dimensi realitas tersebut mengalami
strukturasi, baik disadari maupun tidak, ke dalam diri subyek intelektual dimensi
fiksional. Strukturasi adalah pembayangan dari sikap dan pemikiran subyek
intelektual realitas (pengarang) yang terkandung dalam karya sastra dan
sebagai landasan pemikiran bangunan struktur karya sastra itu. Dengan
demikian, strukturasi itu dapat diidentifikasi melalui unsur-unsur yang
membentuk sistem struktur karya sastra. Pola segi tiga yang dikemukakan di
atas pada akhirnya terdiri atas relasi subyek intelektual realitas, subyek
intelektual fiksional, dan struktur sastra. Jika digambarkan dalam bagan
berbentuk sebagaimana berikut ini.
Persoalannya adalah, unsur-unsur yang mana dalam struktur karya
sastra yang menggambarkan strukturasi subyek intelektual dimensi realitas?
Unsur-unsur itulah yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum memahami
semua hal tentang subyek intelektual tersebut. Sekaligus, akan mengarahkan
pada penjeleasan terhadap fokus penelitian ini.
c. Fakta Struktur Sastra
Dalam kerangka penelitian ini, struktur karya sastra tidak sebagaimana

umumnya dalam penelitian struktural sastra yang pernah ada sebelumnya.
Yang dimaksud dengan struktur di sini merujuk pada strategi kewacanaan, yaitu
model dan skema, yang diciptakan dan dipakai pengarang dalam karya sastra.
Dengan demikian, strategi kewacanaan adalah model dan skema yang

4

digunakan pengarang untuk mengungkapkan ceritanya melalui simbol-simbol,
gambar-gambar, obyek-obyek, dan tanda-tanda yang berhubungan membentuk
sistem struktur karya sastra.
Pada dasarnya memahami karya sastra dihadapkan pada model dan
skema tertentu. Model atau skema tersebut menunjukkan garis-garis hubungan
antara unsur-unsur dalam sistem struktur wacana sastra. Model merupakan
kerangka di mana unsur-unsur yang ada ditempatkan di dalamnya. Kerangka
tersebut berupa domain pemikiran yang memandang dan memperlakukan
obyek-obyek yang diceritakan sebagai sebuah unsur struktur. Domain
pemikiran tersebut dapat berupa konsep-konsep, seperti keperempuanan,
sosial budaya, aliran-aliran, gerakan pemikiran, dan sebagainya, yang dipakai
untuk menggambarkan dimensi unsur-unsur tersebut. Sedangkan skema
adalah pola atau patron hubungan antara unsur yang yang satu dengan unsur

yang lain; antara model yang satu dengan model yang lain. Dengan demikian,
dalam struktur karya sastra terdapat berbagai model dan skema yang
digunakan pengarang untuk membangun struktur karya sastra yang
diciptakannya.
Unsur-unsur karya sastra sesungguhnya dihubungkan oleh model
kewacanaan tersebut. Unsur-unsur yang menempati kerangka atau model yang
sama, jelas memiliki hubungan kemaknaan yang sama. Unsur-unsur tersebut
berhubungan dalam domain pemikiran yang sama. Ia dipahami, diperlakukan,
digambarkan, dan dijelaskan oleh domain pemikiran tersebut. Dengan
demikian, pemaham terhadap unsur-unsur tersebut tidak dapat dilepaskan dari
domain pemikiran yang ada. Cara pandang yang dipakai untuk menganalisis
unsur-unsur tersebut menggunakan konsep-konsep dari domain pemikiran
tertentu. Dengan penjelasan seperti itu, dapat dirumuskan pemikiran yang
digunakan pengarang untuk melandasi bangunan struktur karya sastranya.
Hubungan unsur-unsur yang membentuk struktur karya sastra juga
terjadi karena adanya skema yang mempolakan. Pola-pola hubungan tersebut
dapat berupa komparasi, korelasi, degradasi, dan ilustrasi. Keempat istilah
tersebut sangat penting untuk menjelaskan hubungan antara unsur yang satu
dengan unsur yang lain, sekaligus dipahami skema dan sistem yang mengatur
struktur karya sastra tersebut. Sebagai sebuah sistem, struktur karya sastra

memiliki aturan-aturan yang mengatur dan mengikat relasional unsur-unsur
tersebut membentuk suatu sistem struktur tertentu.
Pola komparasi atau perbandingan terjadi apabila hubungan antara
unsur yang satu di dasarkan atas perbandingannya dengan unsur yang lain.
Unsur yang satu dijelaskan dan dipahami berdasarkan perbandingannya
dengan unsur yang lain dan sebaliknya. Pola perbandingan akan menjelaskan
bagaimana seorang pengarang memperlakukan dan menggambarkan suatu
unsur dengan menganggapnya sebagai sesuatu. Hal tersebut akan
mengarahkan pada metafor, ironi, antitese, tamsil, dan sebagainya, yang
bernilai rasa tertentu. Perbandingan atau komparasi selalu muncul untuk
5

mewadahi nilai emotif dan sugestif tertentu yang tidak mampu diwadahi oleh
cara penggambaran langsung. Dengan demikian, tercipta kategori nilai yang
dilekatkan pengarang terhadap suatu unsur tertentu.
Pola korelasi atau pengaruh terjadi apabila suatu unsur dijelaskan
berdasarkan adanya pengaruh dari atau terhadap unsur yang lain. Hubungan
ini menunjukkan suatu gambaran adanya ketidakmandirian suatu unsur tanpa
adanya unsur yang lain. Tak ada unsur tertentu tanpa kehadiran unsur yang lain
yang berhubungan secara korelatif. Dengan begitu dapat dipahami dasar

pemikiran yang melandasi munculnya unsur-unsur tersebut dalam sistem
struktur yang dibangun pengarangnya. Landasan pemikiran tersebut
mencerminkan pemikiran pengarangnya.
Pola degradasi terjadi karena adanya hubungan yang dilandasi oleh
perbedaan dan keterpecahan suatu unsur terhadap unsur yang lain. Hubungan
tersebut dapat disebut sebagai hubungan semu. Keterpecahan dan
keberbedaan antarunsur tersebut dilatarbelakangi oleh penguasaan suatu
unsur terhadap unsur yang lain. Ada hubungan unsur yang dominan terhadap
unsur yang tersubordinasi; atas-bawah, lelaki-perempuan, putih-hitam, majikanburuh, atau kategori oposisi biner yang lain. Pola hubungan degradasi memang
berkategorial oposisi biner. Dengan memahami adanya pola hubungan
degradasi itu dapat terlihat cara pandang yang dipakai pengarang dalam
menggambarkan hubungan unsur-unsur yang diceritakannya. Pada gilirannya,
akan dipahami pemikiran yang melandasi bangunan struktur yang diciptakan
pengarangnya.
Sedangkan pola hubungan ilustrasi adalah hubungan penggambaran.
Unsur yang satu merupakan penggambaran terhadap unsur yang lain, atau
sebaliknya. Pola hubungan ilustrasi ini umumnya digunakan pengarang untuk
menggambarkan suatu unsur karya sastra. Bisa disebut sebagai pola
konvensional. Pengarang cenderung menggunakan pola ini karena secara
langsung dapat menjelaskan suatu unsur tertentu melalui pelukisan unsur yang
lain. Dengan demikian, hubungan suatu unsur didasarkan atas penggambaran
keadaan atau suasana unsur yang lain. Dalam konteks penelitian ini unsur
ilustrasi kurang memberikan pemahaman terhadap landasan pemikiran yang
dipakai pengarang untuk membangun struktur karyanya. Oleh karena itulah,
pola ini diletakkan di bawah pola-pola yang lain.
Dengan memahami skema struktur cerita di atas, akan dipahami pula
kerangka berpikir yang dipakai pengarang sebagai landasan berpikir dalam
membangun ceritanya. Jika disederhanakan, hubungan unsur-unsur tersebut
dipandang sebagai hubungan subyek-obyek. Hubungan subyek-obyek tersebut
berdasarkan perbandingan (komparasi), pengaruh (korelasi), keterpecahan
atau keberbedaan (degradasi), atau penggambaran (ilustrasi). Unsur yang satu
sebagai subyek terhadap unsur yang lain sebagai obyeknya.
Namun demikian, yang perlu dipahami adalah keempat pola hubungan
tersebut tidak dalam pengertiannya yang eksplisit. Penganalisis perlu
6

menemukan benang merah antara unsur yang satu dengan unsur yang lain
sehingga dapat dijelaskan skemanya. Berdasarkan petunjuk, baik tersirat
maupun tersurat, yang ada dalam teks, hubungan tersebut dapat diidentivikasi.
Diperlukan kecermatan dan ketelitian penganalisis untuk menemukan hal itu. Di
samping itu, ada yang perlu diingat juga, bahwa di samping terdapat skema
hubungan antarunsur-unsur yang berbeda, juga terdapat skema hubungan
obyek-obyek yang diceritakan dalam kategori unsur yang sama. Dengan
demikian, ada skema kecil di dalam skema besar; skema bawahan di dalam
skema atasan. Begitu pula dengan model, terdapat model bawahan (bagian) di
dalam model atasan (besar).
Kerumitan dan kekayaan struktur karya sastra dengan demikian terletak
pada kualitas dan kuantitas model dan skema. Kalau digambarkan terdapat
banyak garis-garis yang menghubungan unsur yang satu dengan unsur yang
lain; obyek yang satu dengan obyek yang lain dalam unsur yang sama; model
yang satu dengan model yang lain; dan sub-model yang satu dengan submodel yang lain dalam kategori model yang sama. Demikian sebaliknya,
kesederhanaan sebuah karya terletak pada kesederhanaan model dan
skemanya. Hal ini juga dapat menjadikan kriteria sebuah karya sastra yang
representatif untuk penelitian dalam konteks tulisan ini.
Model dan skema di atas pada gilirannya akan mengarah pada sebuah
gambaran proyeksi tentang sosiokultural yang disikapi pengarang dengan sikap
dan pemikiran tertentu. Pada tataran ini, analisis struktural (instrinsik) bergerak
ke arah analisis ekstrinsik. Domain-domain pemikiran (model) dan landasan
hubungan unsur dalam struktur (skema) akan merujuk pada suatu tematik
tertentu. Jika kembali pada asumsi dasar yang melandasi operasional
penelitian ini, maka secara tematis karya sastra mengungkapkan ekspresi,
komunikasi, dan pengetahuan tentang dinamika masyarakat dan
kebudayaannya. Namun demikian, hal itu hanyalah suatu gambaran proyeksi
dari masyarakat dan semangat zaman yang melatarbelakangi karya sastra itu.
d. Proyeksi Sosiokultural Dan Semangat Zaman
Yang dimaksud dengan proyeksi adalah gambaran secara tematis
mengenai apa yang diungkapkan dalam karya sastra di balik bangunan
strukturnya. Dalam konteks penelitian ini gambaran secara tematis tersebut
adalah dinamika sosiokultural dan semangat zaman yang disikapi dan
disuarakan pengarang sebagai bentuk strukturasi subyek intelektual realitas.
Kalau dalam tataran struktur, karya sastra ditempatkan dalam suatu strategi
kewacanaan yang terdiri atas model dan skema, maka dalam tataran ini
karya sastra ditempatkan dalam pola segitiga yang telah dikemukakan di
muka. Pada tahap ini analisis telah bergerak ke arah ekstrinsik berdasarkan
analisis struktur (instrinsik).
Berdasarkan analisis struktur karya sastra ditemukan domain-domain
pemikiran (analisis model) dan landasan pemikiran yang melandasi bangunan
7

strukturnya (analisis skema). Memperhatikan asumsi dasar yang melandasi
penelitian ini, maka domain pemikiran dan landasan bangunan struktur tersebut
merupakan gambaran tematis dari karya sastra sebagai ekspresi pengarang
terhadap lingkungan sekitarnya, media komunikasi dengan masyarakatnya, dan
nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra sebagai wacana pengetahuan
masyarakat. Hal itulah dalam penelitian ini disebut sebagai proyeksi
sosiokultural dan semangat zaman yang disuarakan dan disikapi pengarang.
Pengarang sebagai subyek intelektual realitas memiliki sikap dan
pandangan (cakrawala berpikir) terhadap dinamika masyarakat dan
kebudayaannya. Pada gilirannya, hal tersebut distrukturasi ke dalam karya
sastra. Kehadiran pengarang dalam teks pada akhirnya bersifat fiksional,
karena cakrawala berpikir mengenai lingkungan sekitarnya tersebut telah
mengalami pengimajinasian. Oleh karena itu, pengarang diposisikan sebagai
subyek intelektual fiksional.
Sebagaimana dikemukakan di depan, bahwa cakrawala berpikir
pengarang dilatarbelakangi oleh ideologi, ras dan suku, agama, semangat
zaman, dan status sosial. Pandangan dan sikap pengarang terhadap dinamika
masyarakatnya, yang kemudian distrukturasi ke dalam karya sastra, dengan
sendirinya akan dipengaruhi juga oleh latar belakang cakrawala berpikir
tersebut. Dalam analisis struktur karya sastra, hal itu mewujud ke dalam
domain-domain pemikiran dan landasan bangunan struktur, dan disebut
sebagai proyeksi sosiokultural dan semangat zaman. Analisisnya akan
mengarah pada aspek ekstrinsik karya sastra.
Ada fakta relasional antara sosiokultural dan semangat zaman yang
melatarbelakangi pengarang dan karya sastranya dengan sosiokultural dan
semangat zaman yang diproyeksikan ke dalam karya sastra. Penelitian ini tidak
mempersoalkan apakah fakta relasional tersebut bersifat langsung atau tidak
langsung. Hal utama yang dipersoalkan adalah analisisnya harus mampu
mengidentivikasi fakta relasional tersebut.
e. Fakta Relasional
Fakta relasional menunjuk pada relasi teks–subyek intelektual-konteks
dalam kerangka pola segitiga. Teks memiliki sistem struktur yang dibangun
berdasarkan domain dan landasan pemikiran sebagai strukturasi dan sekaligus
proyeksi sosiokultural dan semangat zaman. Subyek intelektual merupakan
pengarang yang memiliki cakrawala berpikir sebagai bentukan dari
masyarakatnya. Sedangkan konteks memiliki dimensi ganda, yaitu: latar
belakang yang membentuk pengarang sebagai subyek intelektual dan
sekaligus sebagai obyek yang disikapi dan disuarakan ke dalam karya sastra.
Hubungan karya sastra sebagai teks dengan pengarang sebagai subyek
intelektual merupakan hubungan proyeksi. Sedangkan hubungan pengarang
sebagai subyek intelektual dengan konteks masyarakat berwajah ganda. Di
satu wajah hubungannya bersifat realis sehingga pengarang berposisi sebagai
8

subyek intelektual realitas, dan di wajah yang lain hubungannya bersifat
fiksional sehingga pengarang berposisi sebagai subyek intelektual fiksional.
Hubungan karya sastra dengan subyek intelektual (pengarang) terjadi
karena adanya strukturasi dan proyeksi sosiokultural dan semangat zaman
yang hendak disuarakan dalam karya sastra. Hubungan tersebut bersifat
fiksional, oleh karena itu pengarang sebagai subyek intelektual fiksional.
Namun demikian, proyeksi dan strukturasi tersebut tidak akan pernah terjadi
tanpa adanya sikap dan pandangan pengarang terhadap lingkungan sekitarnya.
Lingkungan sekitar tersebut adalah kondisi sosiokultural dan semangat zaman
sebagai akibat dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu,
pengarang berposisi sebagai subyek intelektual realitas.
Bagaimanakah seorang pengarang mengkonstruksikan pemikirannya
tentang konteks sosiokultural dan semangat zaman dalam karya sastranya?
Pertanyaan inilah yang hendak dijelaskan dalam rangka memahami fakta
relasional dalam karya sastra. Pada taraf awal telah terjadi pengkonstruksian
fakta sosial tersebut ke dalam diri pengarang sebagai perwujudan dari
penyikapan terhadap fakta sosial itu. Pada taraf ini telah terjadi relasi dalam
konteks realitas. Karenanya pengarang bertindak sebagai subyek intelektual
realitas. Pengarang mencoba membingkai apa yang diamati, dialami, ataupun
dirasakan dalam dunia sekitar dengan cakrawala berpikirnya. Cakrawala
berpikir ini bukan murni milik pengarang, melainkan hasil bentukan dunia
sekitarnya itu. Meskipun fakta relasional ini lebih dulu terjadi dalam
hubungannya dengan penciptaan karya sastra, tetapi dalam konteks penelitian
ini menduduki tahap akhir.
Konstruksi fakta sosial di atas bukan dengan sendirinya langsung
diwadahi dalam karya sastra. Melalui proses pengimajinasian terjadi
pengkonstruksian atas hasil pengkonstruksian dalam relasi awal tersebut.
Pengkonstruksian tahap kedua ini disebut dengan strukturasi atau
pembayangan. Melalui obyek-obyek atau unsur-unsur cerita, strukturasi
tersebut diwujudkan ke dalam sistem struktur sastra. Tepatnya,
melandasibangunan struktur karya sastra. Pada taraf ini terjadi fakta relasional
kedua antara pengarang dengan dunia fiksional tersebut. Karenanya,
pengarang berposisi sebagai subyek intelektual fiksional. Kalau dalam fakta
relasional awal dilandasi oleh cakrawala berpikir yang dimiliki pengarang, maka
dalam fakta relasional kedua ini dilandasi oleh pengimajinasian. Oleh karena
itu, fakta relasional kedua ini juga dapat dipahami sebagai relasi antara hasil
konstruksi pertama dengan unsur-unsur yang hadir dalam karya sastra dengan
mediasi imajinasi.
Fakta relasional ketiga terjadi dalam sistem struktur karya sastra. Unsurunsur cerita saling berhubungan dalam kerangka (model) dan skema
membentuk sistem struktur. Namun demikian, yang utama dalam penelitian ini
bukanlah semata-mata fakta relasional itu. Fakta relasional tersebut hanyalah
bersifat permukaan. Yang utama adalah domain pemikiran yang mewadahi
9

unsur-unsur tersebut (model) dan landasan pemikiran yang menjadi dasar
hubungan antara unsur-unsur tersebut (skema). Dapat dikatakan, fakta
relasional ketiga ini hanya jembatan untuk memahami pemikiran-pemikiran atau
strukturasi sebagai hasil adanya fakta relasional kedua.
Pemahaman terhadap ketiga fakta relasional tersebut bertujuan untuk
memahami alur pengkonstruksian pemikiran subyek intelektual, baik subyek
intelektual realitas maupun fiksional. Tetapi dalam penelitian ini, analisis
terhadap fakta relasional terjadi kebalikannya, yaitu: fakta relasional dalam
sistem struktur (fakta relasional ketiga), fakta relasional strukturasi atau
pembayangan (fakta relasional kedua), dan fakta relasional dalam realitas
(fakta relasional pertama).
3. Metode Analisis
Meskipun secara implisit telah terkandung dalam penjelasan di atas,
tetapi agar memperoleh kejelasan berikut ini akan dikemukakan metode yang
bagaimanakah yang dipakai dalam penelitian ini. Jika menyarikan apa yang
dikemukakan di atas, metode dalam penelitian ini cenderung lebih dekat
dengan metode analisis isi. Menurut Vredenbreght (dalam Ratna,2011:48),
analisis isi terutama berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara verbal,
dalam bentuk bahasa, maupun nonverbal, seperti arsitektur, pakaian, alat
rumah tangga, dan media elektronik. Dalam ilmu sosial, isi yang dimaksudkan
berupa masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik, termasuk propaganda.
Jadi, keseluruhan isi dan pesan komunikasi dalam kehidupan manusia. Tetapi
dalam karya sastra, isi yang dimaksudkan adalah pesan-pesan, yang dengan
sendirinya sesuai dengan hakikat sastra.
Lebih lanjut dikatakan Vredenbreght dalam Ratna, metode analisis isi
terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi
yang terkendung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi
adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten
adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi
adalah sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen.
Obyek formal metode analisis ini adalah isi komunikasi. Analisis terhadap isi
laten akan menghasilkan arti, sedangkan analisis terhadap isi komunikasi akan
menghasilkan makna. Oleh karena itulah, metode analisis isi dilakukan dalam
dokumen-dokumen yang padat isi. Peneliti menekankan bagaimana
memaknakan isi komunikasi, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi
dalam peristiwa komunikasi.
Metode analisis isi sebagaimana dikemukakan di atas, nampak lebih
dekat dengan landasan operasional yang dimaksudkan dalam penelitian ini.
Asumsi dasar yang dikemukakan terdahulu bahwa karya sastra merupakan
media ekspresi pengarang, media komunikasi, dan media pengetahuan, telah
menunjukkan metode analisis isi sebagai cara yang dipakai untuk memahami
10

obyek penelitian ini. Namun demikian, apa yang dikemukakan Vredenbreght di
atas perlu diterjemahkan dengan meletakkannya pada prosedur penelitian yang
disarankan dalam kerangka berpikir penelitian ini.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam kerangka berpikir penelitian ini,
yang terdiri atas lima konsep dasar di atas, prosedur analisis akan bergerak
dari analisis instrinsik ke arah ekstrinsik. Berikut ini prosedur yang disarankan
dalam penelitian ini.
1) Analisis ini berangkat dari titik awal pada analisis model dan skema yang
membangun sistem struktur karya sastra. Namun demikian, yang terpenting
bukanlah pada sistem struktur itu tetapi domain pemikiran dan landasan
pemikiran subyek intelektual fiksional yang membangun hubungan unsurunsur dalam membentuk sistem struktur. Inilah yang disebut isi laten
sebagaimana disebut oleh Vredenbreght di atas.
2) Isi laten di atas merupakan pemikiran sebagai sebuah pesan yang
bermakna dalam relasinya dengan gambaran sosiokultural dan suara
zaman yang diproyeksikan dalam karya sastra. Dengan demikian, dalam
tahap kedua ini, isi laten dijelaskan dalam kaitannya dengan proyeksi
sosiokultural dan suara zaman yang hendak disampaikan subyek intelektual
fiksional kepada pembaca (masyarakat). Tahap ini merupakan jembatan ke
arah analisis isi komunikasi sebagaimana dimaksud oleh Vredenbreght.
3) Hasil analisis pada tahap kedua di atas akan mengarahkan dalam kaitannya
dengan pengarang sebagai subyek intelektual realitas. Tujuannya untuk
memahami cakrawala pemikiran yang bagaimanakah yang dipakai
pengarang dan keadaan sosiokultural dan suara zaman yang
bagaimanakah yang disikapi dan direaksi pengarang dengan cakrawala
tersebut. Keduanya akan merumuskan sebuah pemahaman tentang isi
pesan komunikasi yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Dalam
tataran inilah wilayah analisis isi akan mengarah pada aspek ekstrinsik
karya sastra; khususnya berkaitan dengan pembaca dan masyarakat yang
melatarbelakangi karya sastra itu. Di sini peneliti membutuhkan bantuan
wacana pengetahuan lain dan teori-teori sosial budaya untuk mendukung
analisis. Dengan demikian, analisis pada tahap ini menyatakan sifat
multidimensional dalam kerangka berpikir penelitian ini.
4) Berdasarkan alur pergerakan analisis di atas, analisis penelitian ini diakhiri
pada titik di mana karya sastra memiliki peran dan fungsinya sebagai media
ekpresi, komunikasi, dan pengetahuan. Peran dan fungsi karya sastra
terhadap masyarakatnya mewujud pada pemikiran dan penyikapan
terhadap suara zaman dalam konteks dinamika perkembangan masyarakat.
Dengan demikian, ada pesan yang hendak disampaikan dalam karya sastra
tentang apa yang terjadi dalam dinamika terseut.

11

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Escarpit Robert.2008. Sosiologi Sastra. Diterjemahkan oleh Ida Sundari Husen. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.
Handayani, Christina S. dan Ardhian Novianto. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS.
Harras, Kholid dan Yetty Mulyati (ed). 2003. Tegak Lurus Dengan langit, Potret Keterasingan
Manusia Modern, 25 Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra Tahun 2002.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan
Nasional.
Hudayat, Asep. 1999. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Unpad.
Kartodirdjo, Sartono. Dan Suhardjo Hatmosuprobo. 1993. Perkembangan Peradaban Priyayi.
Yogyakarta: Gama Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.2007.Beberapa Teori Sastra, Metode Krtitik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelangi.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
-----------------. 2005. Sastra dan Cltural Studies, Representasi Fiksi dan Fakta, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
----------------- 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Sutrisno, Mudji &
Hendar Putranto. 2005. Teoti-Teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Suroso dkk. 2009. Kritik Sastra, Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Elmatera Publising.
Teew, Andreas. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

12

Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Yunus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sh.

13