052 MOTIVASI, INSENTIF MONETER DAN KINERJA SEBUAH EKSPERIMEN

MOTIVASI, INSENTIF MONETER DAN KINERJA: SEBUAH EKSPERIMEN

  Lisa Martiah Nila Puspita Universitas Bengkulu

  Abstract This experiment results show the performance of the subjects who completed a complex task under two types of compensation contract.

  Additionally, the subjects evaluated their task motivation before to learning how they would be compesated during the experiment, and after they performed the task under their assigned compensation contract. The results show that: first, when the task perceived originally motivated, the incentive scheme doesnot led to change the late perception, second, motivation can influence the task performance, finally, the fixed-wage of incentives scheme can increase the performance of subject who has been motivated originally.

  Keywords: motivation, incentive, performance

1. PENDAHULUAN

  Sistem remunerasi saat ini mulai diterapkan pemerintah sebagai bentuk penghargaan bagi pegawai pemerintah. Sistem ini diharapkan dapat memberikan keadilan bagi pegawai sesuai dengan kontribusi yang diberikannya. Selain sebagai bentuk penghargaan, sistem ini diharapkan mampu memberikan motivasi bagi pegawai untuk meningkatkan kinerja mereka di masa yang akan datang. Bagi sebuah organisasi, upaya peningkatan kinerja pegawai merupakan bagian dari upaya peningkatan kinerja instansi/organisasi secara keseluruhan (Arniati, 2012).

  Sebagai sistem yang baru saja diterapkan, tentu saja sistem ini akan menghadapi berbagai kendala, mengingat beberapa penelitian di sektor privat menunjukkan bahwa kinerja individu tidak hanya dipengaruhi oleh sistem pemberian insentif yang diberikan, melainkan terdapat berbagai faktor lain yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain: ketertarikan terhadap tugas itu sendiri, motivasi, kepuasan kerja, budaya organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem pengukuran kinerja itu sendiri. Beberapa di antara penelitian mengenai faktor-faktor kinerja tersebut dilakukan oleh (Fessler, 2003), (Thomas, 2004), (Drake et al., 2007), (Umar, 2012), (Purwati, 2012), (Arniati, 2012), dan (Arifin, 2012).

  Menurut Baker et al. (1998) dalam Fessler (2003), kepentingan karyawan dengan pemilik perusahaan dapat diselaraskan dengan menggunakan kompensasi berbasis insentif. Dalam hubungannya dengan sistem pengendalian manajemen, kompensasi memberikan pengaruh yang besar dalam menjalankan usaha suatu organisasi, karena tiap individu berpacu melaksanakan prestasi yang terbaik untuk organisasi demi mendapat balas jasa yang setimpal (Arifin, 2012). Secara teoritis, karyawan akan bekerja lebih optimal bila ia mendapatkan imbalan materi yang mempunyai kaitan dengan tugas yang diberikan kepadanya. Imbalan yang diperoleh karyawan atas pekerjaan tersebut akan berpengaruh terhadap motivasi kerja karyawan yang selanjutnya akan mempengaruhi kinerja karyawan (Anthony & Govindarajan, 2005).

  Seorang karyawan yang memiliki keinginan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan materinya maka ia akan bekerja dengan giat (lebih termotivasi) untuk meningkatkan prestasi kerjanya dan kontribusinya kepada perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan dari perusahaan. Karyawan dengan karakteristik seperti itu cenderung memiliki ketertarikan (motivasi intrinsik) yang tinggi terhadap tugas dengan tingkat kompleksitas yang tinggi asal kebutuhan materialnya terpenuhi. Namun demikian, Holmstrom dan Milgrom (1991) menyatakan bahwa seorang karyawan menjadi merasa nyaman dan senang terhadap suatu pekerjaan sampai pada batas tertentu, dan pemberian insentif hanya menjadi faktor pendorong pada batasan-batasan tertentu. Karena pada saat tertentu, karyawan akan berada pada satu titik jenuh, dimana daya tarik terhadap tugas akan menurun karena terlalu monoton dan telah menjadi rutinitas yang biasa (Colvin, 1998 dalam Fessler, 2003). Oleh karena itu, pemberian insentif moneter dengan skema tertentu dapat mempengaruhi daya tarik tugas, yang kemudian akan berpengaruh terhadap kinerja karyawan (Fessler (2003) dan Arniati (2012). Dengan kata lain, bila insentif yang diberikan tidak sesuai seperti yang diharapkan karyawan, maka tugas yang akan dilakukan tidak akan menarik baginya dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja yang dicapainya, begitu pula sebaliknya.

  Selain menciptakan ketertarikan terhadap tugas bagi karyawannya, motivasi ekstrinsik karyawan dalam berbagai bentuk bagi sebuah organisasi merupakan hal yang penting yang harus dipertahankan dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya karena motivasi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja. Salah satu upaya dilakukan untuk mempertahankan motivasi individu adalah pemberian insentif dengan menggunakan skema tertentu (Drake et al., 2002). Penelitian Drake et al. (2002) ini menunjukkan bahwa skema pemberian insentif mempengaruhi motivasi seseorang dalam melaksanakan tugas. Dengan kata lain, bila insentif yang diberikan sesuai dengan keinginan seorang karyawan, maka ia akan lebih termotivasi dalam melaksanakan tugasnya. Sementara penelitian Marsden & Richardson (1998) pada sebuah instansi pemerintah di negara Inggris menunjukkan motivasi yang berlatar skema insentif yang berbeda akan mempengaruhi kinerja individu tersebut. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa kinerja seseorang juga dipengaruhi oleh motivasi yang dimilikinya (Drake et al., 2007), (Umar, 2012), dan (Purwati, 2012).

  Penelitian ini mengembangkan penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Arniati (2012) dan Arifin (2012) yang mereplikasi penelitian Fessler (2003). Ketiga penelitian tersebut menggunakan ketertarikan terhadap tugas yang merupakan salah satu unsur motivasi intrinsik, sementara faktor motivasi ekstrinsik yang terkait dengan insentif yang diberikan tidak diteliti. Ketertarikan tugas pada penelitian tersebut diamati dalam dua (2) tahap, yaitu tahap sebelum dan setelah subjek mengetahui skema pemberian insentif yang ditetapkan untuknya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui perubahan daya tarik subjek eksperimen yang didasarkan motif ekonomi.

  Untuk itu, penelitian kali ini akan mengembangkan variabel daya tarik tugas menjadi variabel motivasi (yang meliputi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik) dengan memodifikasi instrumen yang digunakan Fessler (2003) dan Drake et al. (2007). Instrumen motivasi tersebut mengukur seberapa menarik tugas yang diberikan, dan juga mengukur keinginan untuk melaksanakan tugas dengan mempertimbangkan insentif yang diberikan.

  Sebagian hasil riset yang diperoleh Arniati (2012) dan Arifin (2012) menunjukkan ketidakkonsistenan dengan penelitian Fesller (2003). Ketidakkonsistenan tersebut mungkin saja disebabkan oleh beberapa hal yang menjadi keterbatasan penelitian mereka. Keterbatasan penelitian terdahulu menunjukkan bahwa tugas yang diberikan kepada partisipan bukanlah tugas yang sifatnya berulang (hanya sekali diberikan) dan tidak menunjukkan adanya sifat untuk mengingat, mendeteksi, waspada, klerikal, dan sifat pengambilan keputusan (Fessler, 2003). Dengan menggunakan tugas yang sama dengan Fessler (2003), Arifin (2012) menyatakan bahwa tingkat kesulitan tugas yang diberikan tidak sesuai dengan rata-rata IPK partisipan, sehingga kinerja yang dicapai tidak dapat optimal. Oleh karena itu, penelitian kali ini akan menjadikan instrumen tugas yang diadopsi dari Drake et al. (2007) yang tingkat kesulitannya lebih rendah serta bersifat klerikal sebagai tugas utama untuk dikerjakan dan menjadikan instrumen Fessler (2003) sebagai tugas tambahan. Selain itu, Arifin (2012) dan Arniati (2012) yang mereplikasi murni terhadap penelitian Fessler (2003) menyatakan bahwa salah satu keterbatasan penelitian lain yang dilakukannya adalah rendahnya insentif yang diberikan, sehingga dapat menimbulkan bias hasil penelitian.

  Dari uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian kembali dengan judul “Studi Eksperimental Atas Hubungan Insentif Moneter, Motivasi, dan Kinerja” dengan mengubah tugas yang diberikan, memodifikasi instrumen motivasi yang digunakan dan meningkatkan tarif insentif itu sendiri. Selain memberikan bukti empiris, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat berupa masukan tentang pentingnya ketertarikan terhadap tugas dan mempertahankan motivasi karyawan/pegawai dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Penelitian ini memberikan bukti eksperimental yang terkait tentang pengaruh interaksi antara motivasi awal dan skema pemberian insentif tertentu terhadap perubahan motivasi, pengaruh motivasi terhadap kinerja tugas, serta pengaruh interaksi antara motivasi awal individu dan skema pemberian insentif tertentu terhadap kinerja tugas.

  Kontribusi penelitian ini berupa masukan terhadap semua instansi baik pemerintah maupun swasta agar dalam setiap pemberian tugas memperhatikan faktor- faktor yang berkaitan dengan kinerja, terutama faktor pemberian insentif, tingkat ketertarikan terhadap tugas (motivasi intrinsik) dan motivasi ektrinsik, khususnya yang berkaitan dengan insentif. Sejalan dengan teori aktivasi yang menyatakan “untuk menjaga karyawan selalu memiliki motivasi selama bekerja, aktivitas pekerjaan haruslah beragam, menarik dan diselaraskan dengan tujuan individu itu sendiri. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan” (Prentiss, 2011) Selain itu, penelitian ini juga memperkaya penelitian di bidang perilaku dengan menggunakan metode eksperimen yang masih sangat jarang digunakan dalam penelitian di Indonesia.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Activation Theory

  Untuk memenuhi kebutuhan hidup, setiap manusia akan bekerja. Tingkat kebutuhan masing-masing manusia tidaklah sama, demikian pula dengan motif kerjanya. Ada sebagian orang yang bekerja semata-mata untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan pokoknya, namun ada pula yang bekerja bukan untuk memperoleh penghasilan akan tetapi untuk mengejar prestasi dan penghargaan (teori kebutuhan Maslow). Kebutuhan ini akan selalu berubah dari waktu ke waktu. Dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan, motivasi merupakan variabel penting yang mempengaruhi perilaku seseorang pada lingkungan kerjanya. Artinya semakin tinggi motivasi seseorang maka akan semakin tinggi pula kinerja yang dapat dihasilkannya, dan akhirnya kemungkinan untuk dapat memenuhi kebutuhan bagi orang tersebut akan semakin tinggi pula ( (Steers & dan Porter, 1987) dan Prentiss (2011)).

  Motivasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik (Pinder, 1997). Salah satu bentuk motivasi ekstrinsik adalah rangsangan dari individu dapat berupa ketertarikan dengan tugas atau pekerjaan (motivasi intrinsik). Terkait dengan hal tersebut, Scott (1966) dalam Fessler (2003) mengembangkan teori aktivasi sebagai salah satu teori untuk membuktikan motivasi intrinsik seseorang terhadap tugas.

  Teori aktivasi (activation theory) ini merupakan salah satu teori motivasi yang memfokuskan pada proses psikologis yang dilibatkan dalam desain ulang pekerjaan. Teori aktivasi Scott (1966) dalam Fessler (2003) menyatakan bahwa aktivasi adalah tingkat rangsangan pada sistem reticular otak. Prinsip pendekatan teori aktivasi pada rancangan pekerjaan adalah bahwa pekerjaan itu dengan sendirinya menjadi sumber aktivasi bagi orang yang melaksanakannya. Riset menunjukkan bahwa kinerja yang jelek berada pada tingkat aktivasi yang sangat rendah atau sangat tinggi. Sehingga, pekerjaan yang membosankan atau berulang-ulang mungkin mendorong untuk tingkat kinerja yang rendah karena mereka gagal untuk aktivasi. Di sisi lain, pekerjaan yang lebih diperkaya seharusnya mendorong untuk keadaan aktivasi dengan menghasilkan peningkatan kinerja (Scott (1966) dalam Fesller (2003)).

  Pinder (1997) menyatakan bahwa beberapa sifat obyek stimulus atau pengaturan pekerjaan tertentu menghasilkan lebih tinggi derajat aktivasi dan gairah (arousal). Khususnya, intensitas, variasi dan keanekaragaman, kompleksitas, ketidakpastian, kebaruan (novelty) dan makna obyek maupun situasi merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, suatu pekerjaan yang memiliki sedikit keragaman, sedikit komponen tugas, sedikit menemukan hal-hal baru, dan tanpa ketidakpastian atau tanpa daya prediksi, kurang menimbulkan aktivasi dibandingkan suatu pekerjaan yang menunjukkan ciri (karakteristik) sebaliknya.

2.2 Insentif Moneter/Kompensasi

  Kompensasi pada dasarnya mencakup semua penghargaan, baik yang berupa penghargaan finansial maupun penghargaan non finansial. Kompensasi finasial mencakup kompensasi finansial langsung dan kompensasi finansial tak langsung. Menurut Ivanchevic (1992) dalam Iswanto (2007), kompensasi finansial langsung terdiri dari pembayaran yang diterima oleh seseorang dalam bentuk upah, gaji, bonus, dan komisi. Kompensasi finansial tidak langsung atau biasa disebut tunjangan, terdiri dari semua penghargaan finansial yang tidak termasuk dalam kompensasi finansial langsung, seperti tunjangan cuti, tunjangan hari raya, dan asuransi. Selanjutnya, Bernardin dan Russel (1998) dalam Iswanto (2007), membagi kompensasi finansial langsung dalam dua kategori, yaitu : a) Program upah dan gaji, dan, b) Pembayaran yang tergantung pada kinerja (jasa yang meningkat, bonus, bagi hasil, komisi penjualan, dan seterusnya). Selanjutnya yang termasuk dalam kompensasi non finansial adalah penghargaan / hadiah, prestise dan pengakuan (Iswanto, 2007).

  Menurut Milkovich dan Newman (1999) dalam Arniati (2012), kompensasi adalah semua bentuk return keuangan dan jasa tidak berwujud dan manfaat yang diterima pekerja sebagai bagian dari hubungan ketenagakerjaan. Kompensasi dalam bentuk insentif moneter biasanya diberikan oleh perusahaan sebagai imbalan atas kerja keras karyawan dan kontribusinya terhadap kemajuan perusahaan. Intensif moneter dapat diberikan dalam bentuk bonus, komisi, pembagian laba, bantuan hari tua.

  2.3 Motivasi

  Motivasi kerja adalah pemberian daya gerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan (Hasibuan, 2008). Motivasi menjadi bagian terpenting bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerja karyawan untuk mencapai tujuan perusahaan. Motivasi akan mendorong karyawan untuk bekerja secara optimal dan berprestasi. Menurut (Rivai, 2004), semakin kuat motivasi kerja pegawai maka akan semakin tinggi kinerja pegawai. Pemberian motivasi bersal dari dalam diri seseorang (internal) dan berasal dari luar diri seseorang (eksternal). Motivasi intrinsik mengacu pada motivasi yang didorong oleh minat dan kesenangan yang ada dalam diri individu. Sedangkan motivasi eksternal mengacu pada motivasi yang berasal dari luar diri individu. Motivasi eksternal dapat berupa pemaksaan dan ancaman hukuman serta penghargaan nilai dan kompensasi dalam bentuk intensif moneter.

  2.4 Hubungan Insentif Keuangan, Motivasi Tugas dan Kinerja

  Teori aktivasi menyatakan bahwa daya tarik yang dirasakan adalah fungsi dari tingkat kegairahan individu selama pelaksanaan tugas (Scott, 1966). Kegairahan yang moderat (sedang) menyebabkan daya tarik yang maksimum, sementara itu terlalu banyak atau terlalu sedikit kegairahan menyebabkan daya tarik menjadi berkurang. Menurut Scott (1966) kompensasi berdasarkan insentif mempunyai sifat meningkatkan kegairahan. Jadi, apabila seorang individu merasakan sebuah tugas itu menarik dan karena tingkat moderat kegairahannya dalam keadaan tidak ada kompensasi, memberikan kompensasi dapat meningkatkan kesadarannya sehingga dapat menyebabkan daya tarik pada tugas menjadi berkurang.

  Faktor lain yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah daya tarik tugas yang merupakan salah satu bentuk motivasi. Daya tarik tugas adalah suatu tingkat yang menggambarkan persepsi seseorang tentang seberapa menarik dan menantang suatu tugas/pekerjaan untuk dilakukan. Sementara motivasi kerja adalah pemberian daya gerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan (Hasibuan, 2008). Baik persepsi daya tarik karyawan terhadap suatu pekerjaan maupun motivasi itu sendiri dipengaruhi oleh persepsi karyawan tersebut terhadap insentif yang diberikan perusahaan (Fessler, 2003), (Arniati, 2012) dan (Marsden & Richardson, 1998).

  Insentif merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi instrinsik seseorang (Thomas dan Velthouse, 1990). Penelitian Fessler (2003) yang mendukung teori aktivasi tersebut, menyatakan bahwa insentif terbukti dapat menurunkan daya tarik tugas (motivasi intrinsik) ketika tugas awalnya dirasakan menarik. Sebaliknya penelitian Wimperis dan Farr (1979) dalam Fessler (2003) tidak berhasil membuktikan dukungan pengaruh insentif pada motivasi intrinsik, yang dikenal dengan

  overjustification effect .

  Selain motivasi intrinsik, motivasi yang dipengaruhi oleh lingkungan eksternal (motivasi eksternal) juga banyak diteliti, terutama motivasi yang didasari oleh motif ekonomi. Beberapa di antaranya dilakukan oleh Marsden dan Richardson (1998), Sprinkle (2000), Bonner dan Sprinkle (2000), Thomas (2004) dan Drake et al. (2007) yang menunjukkan bahwa skema pemberian insentif yang berbeda mempengaruhi motivasi tugas yang dirasakan karyawan.

  Dalam hubungannya antara daya tarik tugas dan kinerja tugas, Judge et al. (2001) dalam Fessler (2003) menunjukan bahwa terdapat korelasi positif antara daya tarik tugas dan kinerja tugas. Namun skema pengupahan insentif dengan tarif bertingkat dapat mengurangi persepsi seseorang terhadap daya tarik tugas yang pada akhirnya berpengaruh terhadap penurunan kinerja tugas. Penelitian yang sama juga telah dilakukan oleh Fessler (2003) mengenai hubungan antara insentif moneter, daya tarik tugas dan kinerja tugas. Hasil penelitian Fessler menunjukan bahwa persepsi seseorang terhadap daya tarik tugas tidak sepenuhnya berpengaruh terhadap kinerja tugas. Persepsi seseorang terhadap daya tarik tugas dapat berubah akibat perbedaan skema pengupahan insentif, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perubahan tingkat kinerja secara parsial. Menurut Fessler (2003), ketika pada awalnya subjek berpersepsi bahwa tugas itu menarik dan kemudian diberi imbalan dengan pemberian insentif bertingkat, maka dapat menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap daya tarik tugas dan berpengaruh terhadap menurunnya kinerja. Kemudian, ketika pada awalnya subjek tidak tertarik pada tugas tersebut, namun diberi insentif moneter dengan tarif tetap, tidak berpengaruh terhadap daya tarik tugas dan kinerja. Penelitian ini juga didukung oleh Arniati (2012), menunjukkan bahwa hubungan insentif keuangan, daya tarik tugas, dan kinerja, penelitian ini berhasil memperoleh bukti empiris tentang perbedaan kinerja yang lebih baik pada subyek yang tertarik dengan tugas dan mendapat kompensasi tetap, dibanding subyek yang mendapat kompensasi berdasarkan insentif. Arifin (2012) juga melakukan riset yang sama, namun hasil yang diperoleh tidak mendukung penelitian sebelumnya. Tabel 1 berikut menunjukkan penelitian yang pernah dilakukan.

  Tabel 1. PENELITIAN TERDAHULU

  KETERBATASAN RISET TERDAHULU HASIL PENELITIAN PENELITIAN 1. saat tugas pada awalnya 1. hanya menguji dua bentuk dirasakan menarik, sistem kompensasi insentif bertingkat cenderung mengurangi ketertarikan terhadap tugas dan sekaligus menurunkan kinerja tugas

  Fessler (2003) 2. saat tugas pada awalnya 2. tugas yang diberikan tidak dianggap tidak menarik, memiliki karakter tugas yang skema insentif apapun biasa pada tugas akuntan, tidak mempengaruhi daya seperti mendeteksi, mengingat, tarik tersebut begitu pula klerikal, atau pengambilan dengan kinerjanya keputusan.

  1. terdapat perbedaan 1. jumlah Kompensasi yang kinerja yang lebih baik kurang memadai sehingga pada subyek yang tertarik kurang menimbulkan motivasi dengan tugas dan mendapat bagi subjek penelitian

  Arniati (2012) kompensasi tetap, dibanding subyek yang mendapat kompensasi bertingkat

  2. tidak berhasil 2. kasus/tugas yang disajikan membuktikan bahwa dalam eksperimen tidak subjek yang dikendalikan, menggeneralisasi tugas seorang tidak tertarik dengan tugas akuntan dengan kompensasi berdasarkan insentif, kinerjanya akan lebih baik daripada subjek yang tidak dikendalikan, tertarik dengan tugas dan dengan kompensasi tetap.

  1. Tidak ada bukti yang 1. tingkat kesulitan tugas yang menunjukkan bahwa diberikan tidak sepadan dengan interaksi antara daya tarik kondisi kinerja akademik subjek tugas awal dan skema tarif pengupahan insentif moneter dapat berpengaruh terhadap perubahan daya tarik tugas.

  2. Daya tarik tugas tidak 2. kompensasi yang diberikan Arifin (2012) memiliki pengaruh kurang memotivasi subjek terhadap kinerja tugas. penelitian

  3. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa interaksi antara daya tarik tugas awal dan skema tarif pengupahan insentif moneter dapat berpengaruh terhadap Kinerja tugas

2.5 Pengembangan Hipotesis

  Kompensasi berdasarkan insentif diharapkan mempunyai pengaruh negatif pada daya tarik tugas ketika tugas awalnya dipandang menarik, tetapi berpengaruh positif pada daya tarik tugas ketika tugas awalnya dipandang tidak menarik, dan kompensasi berdasarkan insentif diharapkan untuk mempunyai pengaruh yang sama pada kinerja, yaitu berpengaruh negatif pada kinerja ketika tugas awalnya dipandang menarik dan berpengaruh positif pada daya tarik tugas ketika tugas awalnya dipandang tidak menarik (Fessler, 2003). Namun baik penelitian Fessler (2003), maupun Arniati (2012) dan Arifin (2012) tidak mampu membuktikan hipotesis tersebut, sehingga penelitian kali ini merumuskan kembali hipotesis sebagai berikut:

  H1: Interaksi antara motivasi awal dan skema pemberian insentif tertentu akan berpengaruh terhadap perubahan motivasi

  Hipotesis tersebut akan diuraikan secara lebih rinci dalam hipotesis berikut:

  

H1(a): ketika subjek melakukan sebuah tugas yang awalnya membuat mereka

termotivasi, kompensasi berdasarkan tarif bertingkat akan mengurangi motivasi mereka

  

H1(b): ketika subjek melakukan sebuah tugas yang awalnya membuat mereka tidak

termotivasi, kompensasi berdasarkan tarif bertingkat akan meningkatkan motivasi mereka

  Bila tarif insentif yang diberikan pada seseorang bersifat tetap, maka seseorang relatif tidak banyak terpengaruh pada kondisi menarik atau tidaknya pekerjaan. Hal ini dibuktikan oleh Fessler (2003) yang menunjukkan bahwa tidak ada perubahan persepsi mengenai daya tarik pada subjek penelitiannya ketika mereka dibayar berdasarkan tarif tetap. Untuk itu, hipotesis pada penelitian kali ini:

  

H1(c): ketika subjek melakukan sebuah tugas yang awalnya membuat mereka ada

yang termotivasi dan ada juga yang tidak termotivasi, kompensasi berdasarkan tarif tetap tidak mengubah kondisi tingkat motivasi yang mereka miliki.

  Persepsi mengenai daya tarik tugas yang ada pada subjek akan mempengaruhi kinerja tugas yan mereka capai. Meski Arifin (2012) tidak dapat membuktikannya, penelitian Fessler (2003) dan Arniati (2012) menunjukkan bukti yang mendukung hipotesis ini.

  H2: motivasi subjek berhubungan secara positif dengan kinerja tugas mereka

  Di awal dinyatakan bahwa skema pemberian insentif yang ditetapkan kepada seorang karyawan akan mengubah ketertarikan (motivasi) yang dimilikinya, dan motivasi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja yang dicapainya. Dengan demikian, ketika seseorang diberitahu tentang metode/skema pemberian insentif yang akan diterimanya, maka kinerjanya juga akan berubah (Yerkes dan Dodson (1908) dalam Fessler (2003)).

  Interaksi antara motivasi tugas awal individu dan skema pengupahan insentif H3: tertentu berpengaruh terhadap kinerja tugas

  Hipotesis tersebut akan diuji secara rinci melalui dua hipotesis berikut sebagaimana yang dilakukan oleh Fessler (2003):

  

H3(a): Saat melakukan tugas yang memberikan motivasi tinggi, subjek yang dibayar

dengan insentif tetap akan mencapai kinerja yang lebih baik daripada subjek yang diberi insentif bertingkat

  

H3(b): Saat melakukan tugas yang dianggap tidak memberikan motivasi, subjek

yang dibayar dengan insentif bertingkat akan mencapai kinerja yang lebih baik daripada subjek yang diberi insentif tetap.

3. METODE PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

   Skema Insentif Moneter

  Variabel independen yang dimanipulasi (treatment) dalam eksperimen ini adalah skema insentif moneter yang diukur dengan menggunakan skala dikotomi. Skema pengupahan yang dimaksud dibagi menjadi dua, yaitu tarif tetap (diberi skala 1) dan tarif bertingkat (diberi skala 2). Untuk tarif tetap, subjek akan mendapatkan Rp 10.000 atas partisipasinya, sementara untuk tarif bertingkat, subjek akan dibayar Rp 1.000 untuk setiap satu tugas I/kasus I yang diselesaikannya dan Rp2000 untuk tugas II. Dalam tarif bertingkat, subjek akan mendapat total pengupahan sebesar Rp 30.000 jika berhasil menyelesaikan semua tugas/kasus yang telah disediakan. Namun nominal yang ditentukan tersebut, baik untuk insentif tetap maupun bertingkat, akan diuji kelayakannya terlebih dahulu dalam sebuah pilot test. Hal ini dilakukan karena peneliti terdahulu Arniati (2012) dan Arifin (2012) menganggap tarif yang mereka tentukan dalam eksperimen yang mereka lakukan tergolong rendah.

  Motivasi

  Variabel independen lain yang akan diteliti dalam eksperimen ini adalah perubahan motivasi tugas yang diukur sebelum dan setelah partisipan menyelesaikan tugas/kasus dalam eksperimen. Jadi pengukuran motivasi dilakukan masing-masing 2 kali, yakni sebelum diberikannya informasi tentang skema pemberian insentif yang menyelesaikan tugas/kasus dalam eksperimen. Perbedaan dikeduanya disebut sebagai variabel selisih motivasi. Motivasi tugas individu diukur dengan menggunakan 7 skala yang diadaptasi dari Scott dan Erskine (1980) dalam Fessler (2003) dan Drake et al. (2007). Semakin tinggi nilai yang diberikan berarti semakin tinggi motivasi yang dimiliki partisipan.

  Kinerja Tugas

  Variabel dependen yang diukur adalah kinerja tugas individu. Tinggi rendahnya kinerja tugas individu dapat dilihat dari seberapa baik partisipan menyelesaikan tugas/kasus yang disediakan oleh peneliti dengan dua kondisi dari skema pengupahan insentif moneter. Kinerja Individu pada eksperimen kali ini memodifikasi instrumen yang digunakan Drake et al. (2007) yang terdiri dari seperangkat tugas dengan tingkat kesulitannya yang semakin tinggi untuk tugas I (membaca sandi selama 10 menit), dan untuk tugas II (Water Jar Problem-20 menit) akan digunakan instrumen yang pernah digunakan Fessler (2003), Arniati (2012) dan Arifin (2012). Tugas kedua dilakukan setelah tugas pertama selesai dikerjakan. Untuk 1 jawaban tugas pertama yang benar, diberi poin 5 dan poin 10 untuk tugas kedua.

  3.2 Subjek Penelitian

  Subjek eksperimen yang dipilih dalam penelitian ini adalah 60 orang mahasiswa Akuntansi yang dipilih secara acak. Namun data yang dapat diolah dari ke 60 responden tersebut hanya sebanyak 45 responden. Partisipan dikelompokkan menjadi 4 kelompok berdasarkan variabel eksperimen, meskipun demikian dalam suatu eksperimen tidak terdapat aturan baku mengenai jumlah minimal subjek yang harus dipenuhi di setiap kelompok.

  3.3 Desain Eksperimen

  Dalam eksperimen ini dirancang suatu desain mengenai pengaruh dari skema pengupahan insentif moneter terhadap perubahan daya tarik tugas dan terhadap kinerja. Gambar 1 menunjukkan desain (2 x 2) yang dimaksud.

  Skema Pengupahan Insentif Moneter Tarif Tetap Tarif Bertingkat Perubahan Perubahan Motivasi

  Termotivasi Motivasi Tugas Tugas dan Kinerja dan Kinerja Motivasi

  Tidak Perubahan Perubahan Motivasi Tugas

  Termotivasi Motivasi Tugas Tugas dan Kinerja dan Kinerja

  

Gambar 1. Desain Eksperimen (2x2)

3.4 Pilot-test

  Pengujian ini dilakukan untuk memodifikasi instrumen kinerja yang digunakan peneliti terdahulu. Pada penelitian Fessler (2003), instrumen yang digunakan adalah instrumen yang dibuat oleh Luchin (1942), begitu pula dengan eksperimen yang dilakukan Arniati (2012) dan Arifin (2012). Pada eksperimen tersebut dirasakan tingkat kesulitan yang dirasakan partisipan cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata skor yang diperoleh yakni berkisar antara 3-5 dari skor tertinggi (15) yang harusnya dapat dicapai. Untuk itu, dilakukan pilot test yang diikuti 15 orang untuk menentukan jumlah soal dalam setiap tugas dan lama waktu yang akan diberikan baik tugas pertama maupun tugas kedua. Tugas pertama menggunakan instrumen Drake et al. (2007) berupa tugas menerjemahkan sandi huruf ke dalam angka dan melakukan kalkulasi seperti halnya yang biasa dilakukan oleh seorang akuntan (lihat apendiks A). Soal yang disediakan 20 soal dan dikerjakan dalam waktu 10 menit pertama. Hasil yang diperoleh menunjukkan peserta mampu menyelesaikan rata-rata 10 soal. Tugas kedua yang diberikan sama seperti tugas terdahulu (water jug problem) dalam waktu 20 menit terakhir.

  Selain itu, pilot test juga bertujuan untuk menguji seberapa besar nominal rupiah yang dianggap material bagi partisipan. Hal ini dilakukan sesuai rekomendasi dari Arniati (2012) dan Arifin (2012) yang menyatakan bahwa pada eksperimen mereka ternyata nominal yang diberikan masih terlalu rendah sehingga kurang memotivasi mereka. Ada 2 tarif yang ditentukan untuk masing-masing jenis insentif. Untuk tarif tetap, tarif terendah ditentukan sebesar Rp5000 (asumsi: sama dengan harga pulsa terendah) dan tarif tertinggi senilai Rp10.000 (asumsi: peserta mampu menyelasaikan seluruh tugas pertama). Untuk tarif bertingkat, ditentukan Rp 500 dan Rp 1000 untuk setiap jawaban benar dari tugas pertama, serta Rp 1000 dan Rp 2000 untuk setiap jawaban benar dari tugas kedua yang tingkat kesulitannya lebih tinggi. Hasil yang diperoleh menunjukkan jawaban mahasiswa lebih bervariasi pada tarif tertinggi. Dengan demikian, untuk pelaksanaan eksperimen sesungguhnya ditentukan tarif tetap senilai Rp 10.000 dan tarif bertingkat senilai Rp1000 per jawaban benar pada tugas pertama dan Rp2000 per jawaban benar pada tugas kedua.

3.5 Skenario Eksperimen

  Berikut ini Skenario Eksperimen yang dilakukan untuk menganalisis hubungan antara insentif moneter, motivasi tugas dan kinerja tugas. Skenario ini dibagi ke dalam 8 tahap: 1.

  Pemilihan subjek penelitian secara acak/random yang kemudian tanpa sepengetahuan mereka dibagi ke dalam dua, yakni kelompok 1 dan 2.

  2. Pengisian identitas subjek pada lembar Kuisioner sekitar 2 menit.

  3. Partisipan diberi waktu 5 menit untuk latihan mengerjakan 3 contoh soal yang akan menggambarkan seperti apa soal/tugas yang harus dikerjakan dalam eksperimen ini. Tahap ini berguna untuk memastikan apakah partisipan memahami benar treatment yang akan diberikan kepada mereka.

  4. Partisipan diukur motivasi tugasnya dengan menggunakan skala motivasi tugas untuk mengetahui persepsi awal subjek terhadap contoh soal yang telah diberikan.

  5. Peneliti memberitahu mengenai dua bentuk skema pengupahan yang ada.

  Dimana kelompok 1 dikondisikan sebagai partisipan yang mendapatkan insentif moneter dengan tarif tetap, yaitu sebesar Rp 10.000 jika partisipan dapat menyelesaikan semua soal yang disediakan (tanpa memperhatikan benar atau salahnya). Kelompok 2 dikondisikan sebagai partisipan yang mendapatkan insentif moneter dengan tarif bertingkat. Artinya, subjek akan mendapatkan tambahan upah sesuai dengan tingkatan soal yang berhasil ia selesaikan dengan benar. Setiap berhasil menyelesaikan 1 soal, subjek akan diberi insentif sebesar Rp 2.000, jadi total insentif yang didapat jika semua soal terselesaikan adalah sebesar Rp 30.000. Penentuan kelompok tarif untuk subjek penelitian ini dilakukan dengan cara pengundian pada tahap awal.

  6. Partisipan diberi waktu 30 menit untuk meyelesaikan 20 soal (10 soal untuk tugas I dan 10 soal untuk tugas II) yang telah disediakan oleh peneliti.

  7. Partisipan diukur lagi motivasi tugasnya setelah menyelesaikan kasus yang diberikan

  8. Partisipan menerima Insentif sesuai dengan kontrak awal.

  4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Awal

  Dari data yang dikumpulkan melalui eksperimen yang dilakukan, diperoleh gambaran statistik untuk setiap variabel sebagai berikut:

  

Tabel 2 Statistik Deskriptif

Median Modus Std.

  N Minimum Maximum Mean Deviation Jenis Kompensasi

  45

  1.00 2.00 1.4222

  1.00 1.00 .49949 Rata-rata motivasi Awal

  45

  2.33 7.00 5.3833 6.0833 6.25 1.15435 Kinerja

  45 40.00 100.00 73.6667 70.00 65.00 18.10324 Rata-rata motivasi akhir

  45

  3.58 7.00 5.5833

  5.50 4.50 .96808 Selisih Motivasi 45 -3.25 2.58 -.2000 0.16675 -0.25 1.09642 Valid N (listwise)

  45 Sumber: data diolah (2013) Tabel 2 menunjukkan nilai minimum dan maksimum setiap variabel yang diteliti.

  Variabel jenis kompensasi merupakan variabel dikotomi yang masing-masing berjumlah 26 subjek memperoleh kompensasi tetap dan 19 subjek memperoleh kompensasi bertingkat. Standar deviasi menunjukkan nilai sebesar 1,154. Nilai standar deviasi yang lebih rendah dari nilai rata-rata yakni senilai 5,3833 memang merupakan representasi dari keseluruhan nilai yang ada.

  Untuk membedakan subjek yang termotivasi dengan yang tidak termotivasi sejak awal, digunakan cut off poin sebesar 6.25 (modus). Titik ini dipilih karena lebih besar daripada nilai mean (5.3833) dan nilai median (6.0833). Dengan demikian, nilai modus dianggap lebih merepresentasikan rata-rata motivasi awal subjek yang jumlahnya hanya 45 orang. Oleh karena itu, distribusi subjek dibagi berdasarkan kelompoknya sebagai berikut:

  

Tabel 3 Desain Eksperimen-Motivasi Awal

  Skema Pengupahan Insentif Moneter Total

  Tarif Tetap Tarif Bertingkat Tidak

  Motivasi

  16

  15

  31 Termotivasi Tugas

  Termotivasi

  10

  4

  14 Total partisipan

  26

  19

  45 Sumber: data diolah (2013) Pada tabel tersebut dapat diketahui motivasi awal subjek berkisar antara 2,33 (di bawah modus) hingga nilai maksimum 7,00 (di atas modus). Hal ini berarti, sejak awal memang terdapat subjek yang kurang termotivasi untuk melakukan tugas yang diberikan (31 orang). Subjek menanggapi secara berbeda tentang daya tarik tugas yang diberikan. Sebagaimana diketahui, ketertarikan terhadap tugas tertentu merupakan bagian dari motivasi internal yang diukur dari subjek. Di samping itu pula, terdapat subjek yang memang sejak awal sudah sangat termotivasi dengan tugas yang diberikan (14 orang).

  Namun setelah subjek mengetahui jenis kompensasi yang akan mereka terima, dari hasil perhitungan nilai motivasi akhir, diperoleh hasil yang berbeda. Seperti pada Tabel 4 subjek yang termotivasi menjadi 22 orang, dan yang tidak termotivasi menjadi 23 orang. Dengan cut-off poin senilai 5.58 (mean) yang merupakan nilai tertinggi dibanding modus dan mediannya. Hal ini menunjukkan terjadinya perubahan motivasi. Perubahan yang terjadi sebesar -0,2. Nilai minus tersebut menunjukkan adanya perubahan dari yang awalnya tidak/kurang termotivasi, menjadi lebih termotivasi, atau sebaliknya.

  

Tabel 4. Desain Eksperimen-Motivasi Akhir

  Skema Pengupahan Insentif Moneter

  Total Tarif Tetap Tarif Bertingkat

  Tidak

  11

  12

  23 Motivasi Termotivasi

  Tugas Termotivasi

  15

  7

  22 Total

  26

  19

  45 Sumber: data diolah (2013)

4.2 Jenis Kompensasi, Motivasi dan Perubahan Motivasi

  Pengujan hipotesis pertama dilakukan dengan menggunakan uji anova. Hasil yang diperoleh tampak pada tabel 5. Dari nilai siginifikansi intercept yang lebih besar dari 0,05 tersebut sudah menunjukkan bahwa variabel dependen dalam hal ini variabel perubahan motivasi, dapat berubah nilainya karena ada pengaruh dari variabel independennya, yaitu motivasi awal. Namun demikian, pengaruh ini tidak begitu signifikan, mengingat nilai signifikansi intercept sebesar 0,074 yang lebih besar 0,024 saja dari nilai signifikasi 0,05. variabel jenis kompensasi dan interaksi jenis kompensasi dan variabel motivasi awal yang tidak signifikan (> 0,05), sedangkan variabel motivasi awal menunjukkan signifikansi < 0,05.

  

Tabel 5. Uji ANOVA- Hipotesis 1

  Type III Sum of Variabel Squares df Mean Square F Sig.

  Intercept 1.452 1 1.452 4.401 .074 Jenis kompensasi .307 1 .307 .930 .367 Rata-rata motivasi awal 44.878 28 1.603 4.859 .019 Jenis kompensasi * rata-rata

  3.351 8 .419 1.270 .383 Motivasi awal Error 2.309 7 .330 Total 54.694

  45

  a. R Squared = ,956 (Adjusted R Squared = ,726) Variabel Dependen: Perubahan Motivasi Sumber: data diolah (2013) Perubahan motivasi terjadi ketika subjek telah melakukan tugas sebenarnya.

  Perubahan ditunjukkan oleh selisih antara nilai motivasi awal dengan nilai motivasi akhir. Motivasi awal diukur setelah subjek diberi sedikit gambaran mengenai tugas yang akan dilakukan dan setelah mereka melakukan latihan kecil. Motivasi akhir diukur setelah subjek melakukan tugas yang didisain memiliki karakter yang sama dengan tugas klerikal seorang akuntan.

  Dari hasil yang diperoleh menunjukkan tidak didukungnya teori aktivasi yang dicetuskan Scott (1966) dalam Fessler (2003). Teori tersebut menyatakan bahwa seseorang akan lebih bersemangat setelah ia mendapatkan rangsangan melalui pengetahuan dan pengalaman pekerjaan yang dilakukannya atau hal-hal lain yang ada di sekitar mereka. Meskipun dinyatakan oleh Pinder (1997) bahwa beberapa sifat obyek stimulus atau pengaturan pekerjaan tertentu menghasilkan lebih tinggi derajat aktivasi dan gairah (arousal), namun ternyata pemberian informasi mengenai insentif yang akan diterima tidaklah menambah motivasi subjek terhadap tugas yang diberikan.

  Dengan demikian dapat disimpulkan hipotesis 1 yang menguji pengaruh interaksi motivasi awal dan skema pemberian insentif tertentu terhadap perubahan motivasi tidak dapat diterima. Demikian pula dengan hipotesis turunannya (H1b-H1c). Hal ini konsisten dengan penelitian Arniati (2012) dan Arifin (2012) yang tidak dapat

  4.3 Motivasi dan Kinerja

  Pengujian hipotesis kedua dilakukan untuk membuktikan hubungan antara motivasi dan kinerja. Meskipun motivasi awal tidak berhubungan secara signifikan dengan kinerja, hasil yang diperoleh dari pengujian motivasi akhir dengan kinerja menunjukkan nilai yang signifikan di bawah 0,05, yakni 0,013 (Tabel 6). Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi akhir dengan kinerja.

  

Tabel 6. Uji-Hipotesis 2-Uji Korelasi-Spearman’s rho

  Rata-rata motivasi Kinerja akhir

  • Spearman's Rata-rata Correlation Coefficient 1.000 .367 rho motivasi akhir

  Sig. (2-tailed) . .013 N

  45

  45

  • Kinerja Correlation Coefficient .367 1.000 Sig. (2-tailed) .013 . N

  45

  45 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Sumber: Data Diolah (2013)

  Meski Arifin (2012) tidak dapat membuktikannya, penelitian kali ini sejalan dengan hasil penelitian Fessler (2003) dan Arniati (2012) yang menunjukkan bukti bahwa hipotesis ini dapat diterima.

  Seseorang akan melakukan tugas dengan baik apabila ia termotivasi baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Motivasi pada penelitian ini diukur dengan menilai ketertarikan subjek terhadap tugas yang diberikan. Sejalan dengan teori motivasi, semakin seseorang termotivasi untuk melaksanakan tugas dengan lebih baik, semakin baik pula kinerja yang dicapainya.

  4.4 Jenis Kompensasi, Motivasi dan Kinerja

  Hipotesis ketiga diuji dengan menggunakan uji anova. Hasil yang diperoleh ditampilkan pada tabel 7. Pada tabel tersebut nampak nilai intercept yang signifikan (0,00), hal ini berarti bahwa variabel dependen (kinerja) memang dipengaruhi oleh variabel independen (motivasi, jenis kompensasi, dan interaksi keduanya). Variabel jenis kompensasi menunjukkan nilai F=13.990 pada tingkat signifikansi <0,05, yakni 0,007. Hal ini berarti jenis kompensasi yang berupa pemberian kompensasi secara tetap dan pemberian kompensasi secara bertingkat mempengaruhi secara signifikan kinerja yang dicapai. Pada penelitian kali ini menunjukkan, pemberian kompensasi secara tetap ternyata lebih meningkatkan kinerja subjek penelitian. Sementara pemberian kompensasi secara bertingkat, justru menurunkan kinerja subjek penelitian.

  

Tabel 7. Pengaruh Motivasi dan Jenis Kompensasi terhadap Kinerja

  Panel A: Rata-rata Kinerja Kompensasi tetap Kompensasi Bertingkat

  Tidak termotivasi 79.2308 58.8889 Termotivasi 83.4615 67.0000 Panel B: Ringkasan Hasil Uji ANOVA Variabel Dependen: kinerja

  Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

  Corrected Model 13907.500

  a

  37 375.878 5.134 .015 Intercept 203571.053 1 203571.053 2.780E3 .000 Jenis kompensasi 1024.242 1 1024.242 13.990 .007 Rata-rata motivasi awal 7424.226 28 265.151 3.622 .042 Jenis kompensasi * rata-rata motivasi awal

  3116.111 8 389.514 5.320 .020

  a. R Squared = ,964 (Adjusted R Squared = ,777) sumber: Data Diolah (2013) Pada tabel 7. juga dapat diketahui, motivasi awal subjek mempengaruhi kinerja subjek penelitian pada nilai F=3,622; p<0,042. Sementara interaksi antara dua variabel independen tersebut menunjukkan nilai F=5,320; p<0,020.

  Pada panel A dapat dilihat, ketika subjek merasa tugas yang diberikan kepadanya membuat dirinya melakukan pekerjaan lebih baik daripada subjek yang diberi kompensasi bertingkat. Dengan demikian Hipotesis 3(a) dapat diterima. Hasil ini sejalan dengan penelitiannya Fessler (2003) yang menyatakan bahwa saat melakukan tugas yang memberikan motivasi tinggi, subjek yang dibayar dengan insentif tetap akan mencapai kinerja yang lebih baik daripada subjek yang diberi insentif bertingkat.

  Namun demikian, penelitian kali ini tidak dapat membuktikan hipotesis 3(b) yang menyatakan bahwa saat melakukan tugas yang dianggap tidak memberikan motivasi, subjek yang dibayar dengan insentif bertingkat akan mencapai kinerja yang lebih baik daripada subjek yang diberi insentif tetap. Hal ini dapat dillihat dari tingginya nilai kinerja subjek yang sejak awal merasa tidak termotivasi untuk mengerjakan tugas dan diberi insentif tetap (79.2308) dibanding dengan subjek yang tidak termotivasi sejak awal dan diberi insentif bertingkat (58.8889). Kecenderungan yang diperoleh menunjukkan insentif yang tetap ternyata membuat seseorang lebih termotivasi dibanding dengan insentif yang bertingkat. Seseorang yang cenderung risk- adverse akan merasa ‘nyaman’ dengan kepastian tarif tetap yang akan diterimanya.

  Dengan demikian, ketika seseorang diberitahu tentang metode/skema pemberian insentif yang akan diterimanya, maka kinerjanya juga akan berubah (Yerkes dan Dodson (1908) dalam Fessler (2003)). Secara umum dapat disimpulkan bahwa interaksi antara motivasi tugas awal individu dan skema pengupahan insentif tertentu berpengaruh terhadap kinerja tugas.

5. PENUTUP

  Pemberian kompensasi merupakan hal yang penting bagi seorang manajer atau pimpinan dalam menjalankan fungsi pengevaluasian dan memberikan penghargaan kepada bawahan/karyawannya. Pemberian kompensasi dengan jenis tertentu diharapkan dapat mengubah motivasi seseorang dalam melaksanakan tugas/pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya (Fessler, 2003).

  Penelitian kali ini sejalan dengan penelitian Fessler (2003), Arniati (2012) dan Arifin (2012) yang tidak dapat membuktikan pengaruh interaksi motivasi awal dengan jenis kompensasi yang ditetapkan terhadap perubahan motivasi. Perubahan motivasi disinyalir terjadi bukan karena kedua hal tersebut, melainkan terdapat faktor lain yang mempengaruhi perubahan tersebut.

  Hasil lainnya menunjukkan adanya pengaruh motivasi terhadap kinerja. Semakin tinggi motivasi yang dirasakan seseorang, maka kinerja yang dicapaipun semakin baik. Demikian pula sebaliknya. Hasil ini mendukung penelitian terdahulu.

  Pengujian terakhir yang merupakan inti dari penelitian ini menunjukkan hasil yang signifikan dan sejalan dengan penelitian terdahulu. Meskipun seseorang merasakan motivasi yang tinggi untuk melaksanakan tugas, pemberian insentif dengan menggunakan sistem kompensasi yang tetap, dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik daripada pemberian insentif dengan menggunakan sistem kompensasi bertingkat. Sebaliknya ketika seseorang memang tidak merasa termotivasi sejak awal, sistem kompensasi bertingkat tidak membuatnya menghasilkan kinerja yang lebih baik daripada sistem kompensasi tetap.

  Implikasi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skema pemberian kompensasi secara bertingkat justru tidak mampu meningkatkan kinerja seseorang. Seseorang akan merasa lebih ‘nyaman’ ketika sistem pemberian kompensasi dilakukan secara tetap. Hal ini kemungkinan karena setiap orang pada dasarnya tidak menyukai ketidakpastian. Sistem pemberian kompensasi secara bertingkat dianggap tidak pasti karena tergantung pada tugas yang akan dilaksanakannya. Dengan kata lain, pada kondisi tertentu sistem pemberian kompensasi secara bertingkat ternyata tidaklah efektif dalam upaya peningkatan kinerja.

  Hal ini tentu saja berdampak diperlukannya evaluasi kinerja bagi pegawai yang telah menjalani sistem remunerasi di kalangan instansi pemerintah saat ini. Sistem yang semula diharapkan dapat memotivasi para pegawai dan pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja mereka, bisa menjadi tidak efektif.

Dokumen yang terkait

PENGARUH BIAS SELF FULFILLING PROPHECY DAN INISIATIF PERUBAHAN MANAJEMEN SEBAGAI UPAYA PENGURANGBIASAN GOING CONCERN JUDGMENT

0 0 27

PENGARUH KOMPETENSI, SKEPTISME, HUBUNGAN KLIEN DENGAN AUDITOR, UKURAN KAP TERHADAP KEPUASAN KLIEN DAN KEGUNAAN UNTUK STAKEHOLDER EKSTERNAL DALAM PERSPEKTIF KLIEN IBNU IRAWAN LILI SUGENG WIYANTORO HELMI YAZID EWING YUVISA IBRANI Universitas Sultan Ageng Ti

1 2 21

PERAN KEKHAWATIRAN MENDAPAT SANKSI PROFESIONAL DALAM PROFESIONALISMA DAN INDEPENDENSI AUDITOR: PENGUJIAN TEORI KOGNITIF SOSIAL FRANCISCA RENI RETNO ANGGRAINI Universitas Sanata Dharma ZAKI BARIDWAN SUWARDJONO HARDO BASUKI Universitas Gadjah Mada Abstract

0 0 20

Universitas Airlangga Abstract - 075 PENGARUH UMUR, GENDER, DAN PENDIDIKAN TERHADAP PERILAKU

0 1 27

PENGARUH PENERAPAN SISTEM INFORMASI AKUNTANSI DAN KUALITAS AUDIT TERHADAP PENENTUAN OPINI AUDIT

1 3 21

EVALUASI EMPIRIS TRANSPARANSI DAN VISIBILITAS PRAKTIK PELAPORAN KEUANGAN PERBANKAN BASIS INTERNET (INTERNET FINANCIAL REPORTING)

0 0 28

UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2011 TENTANG AKUNTAN PUBLIK DAN DAMPAKNYA TERHADAP MINAT MAHASISWA MENJADI AKUNTAN PUBLIK

0 2 27

068 TINGKAT INTEGRASI SISTEM AKUNTANSI DAN DAMPAKNYA

0 0 23

PENGARUH PERUBAHAN OPINI AUDIT DAN LABA TAK TERDUGA TERHADAP WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN: STUDI EMPIRIS PADA PERUSAHAAN DALAM INDUSTRI KEUANGAN

0 0 27

OPINI GOING CONCERN, TINGKAT KETERGANTUNGAN AUDITOR PADA KLIEN DAN PERGANTIAN AUDITOR Studi Empiris pada Perusahaan Kesulitan Keuangan di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2012

0 0 35